Perihal Hukum Perdata Pada Umumnya


Hukum dapat dimaknai dengan seperangkat kaidah dan perdata
diartikan dengan yang mengatur hak, harta benda dan kaitannya antara orang
atas dasar logika atau kebendaan. Hukum perdata yaitu ketetapan yang
mengatur hak dan kewajiban antar individu dalam masyarakat. Istilah hukum
perdata di negara Indonesia mulanya dari bahasa Belanda “Burgerlik Recht”
yang sumbernya pada Burgerlik Wetboek atau dalam bahasa Indonesia nya
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Secara
umum, pengertian hukum perdata yaitu semua peraturan yang mengatur hak
dan kewajiban perorangan dalam hubungan masyarakat. Hukum perdata
disebut pula dengan hukum privat karena mengatur kepentingan perseorangan.
Pengertian Hukum Perdata menurut Prof. Subekti adalah segala hukum privat
materiil yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
Hukum perdata yang ada di Indonesia, tidak terlepas dari sejarah hukum
perdata Eropa, utamanya di Eropa kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi
sebagai hukum asli dari negara di Eropa, disamping terdapat hukum tertulis
dan kebiasaan setempat. Sumber Hukum Perdata Volmare menyatakan,
terdapat dua sumber hukum perdata yakni sumber hukum perdata tertulis dan
sumber hukum perdata tidak tertulis, yakni kebiasaan.
Hukum perdata tertulis ialah hukum perdata yang termuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan hukum perdata tidak tertulis ialah
hukum adat atau mengenai kebiasaan.
Dibawah ini adalah sebagian sumber hukum perdata tertulis, antara lain
yakni:
Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), adalah ketentuan umum
pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia. Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, adalah ketetapan hukum produk Hindia Belanda yang
diberlakukan di Indonesia menurutu asas konkordansi.Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang atau Wetboek van Koopandhel (WvK), yakni Kitab Undang-
Undang Hukum dagang yang terdiri dari 754 Pasal mencakup buku I (tentang
dagang secara umum) dan Buku II (tentang hak dan kewajiban yang muncul
dalam pelayaran).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Pokok Agraria,
Undang-Undang ini mencabut pemberlakuan Buku II Kitab Undang-Undang-
Undang Hukum Perdata yang berhubungan dengan hak atas tanah, kecuali
hipotek. Secara umum, Undang-Undang ini mengatur tentang hukum
pertanahan yang mempunyai landasan pada hukum adat.1
Dalam proses pemberian ganti rugi dalam proyek kereta cepat Jakarta-
Bandung terdapat para pihak yang telah sepakat alam proses, jumlah pemberian
ganti rugi. Jika salah satu pihak lalai atau tidak memenuhi prestasi tersebut
maka disebut dengan wanprestasi. wanprestasi itu adalah ingkar janji atau tidak
menepati janji. Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer), berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan
Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah
ditentukan”.
Sehingga unsur-unsur wanprestasi adalah: Ada perjanjian oleh para
pihak; Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah
disepakati; Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi
perjanjian. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa wanprestasi
adalah keadaan di mana kreditur maupun debitur tidak/lalai melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati.
Timbulnya hak menuntut Hak menuntut ganti rugi dalam wanprestasi
muncul dari Pasal 1243 Kitab Undang-Undang HukumPerdata, yang pada
prinsipnya membutuhkan pernyataan lalai (somasi), dalam tuntutan ganti rugi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah mengatur tentang jangka waktu
perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti rugi
yang dapat dituntut dalam wanprestasi. Gugatan wanprestasi tidak dapat
menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).2

Tindak Pidana Kekerasan Bersama-Sama Dimuka Umum


Tindak pidana kekerasan bersama-sama dilakukan dimuka umum
merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam KUHP Buku II BAB V
tentang kejahatan terhadap ketertiban umum yang terdiri dari pasal 154
sampai dengan pasal 182 dan mengenai tindak pidana kekerasan
bersama-sama dilakukan dimuka umum terdapat didalam pasal 170.
Adapun isi pasal 170 KUHP:

  • Ayat (1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan
    kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama
    lamanya lima tahun enam bulan.
  • Ayat (2) Tersalah dihukum:
  1. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan
    sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu
    menyebabkan sesuatu luka.
  2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan
    itu menyebabkan luka berat pada tubuh.
  3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan
    itu menyebabkan matinya orang.
  • Ayat (3) Pasal 89 KUHP tidak berlaku
    Jika melihat Pasal ini maka jelas Pasal ini mengatur tentang tindak
    pidana, yaitu kekerasan terhadap orang atau barang, yang
    mengakibatkan luka atau kerusakan.
    Menurut R. Soesilo Unsur-unsur dari tindak pidana kekerasan
    bersama-sama dimuka umum yang terdapat dalam pasal ini sebagai
    berikut:41
    a) Melakukan kekerasan.
    “Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau
    kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya
    41 R. Soesilo. 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
    Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, Hlm 98.
    34
    memukul dengan tenaga atau dengan segala macam senjata,
    menyepak, menendang, dan sebagainya.”
    b) Bersama-sama.
    Bersama-sama berarti tindakan kekerasan tersebut harus dilakukan
    oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Orang-orang yang hanya
    mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan kekerasan tidak
    dapat turut dikenakan Pasal ini.
    c) Terhadap Orang.
    Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang, meskipun tidak akan
    terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya
    sendiri sebagai tujuan, kalau sebagai alat atau upaya-upaya untuk
    mencapai suatu hal, mungkin bisa juga terjadi.
    d) Di muka umum.
    Kekerasan itu dilakukan dimuka umum, karena kejahatan ini
    memang dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ketertiban
    umum. Di muka umum artinya di tempat publik dapat melihatnya.
    Menurut Adhi Wibowo tindak pidana pengeroyokan atau istilah
    dalam KUHP tindak pidana kekerasan bersama-sama dimuka umum dapat
    digolongkan dalam kategorikan sebagai kekerasan kolektive, karena
    didalam melakukan tindak kekerasan secara berkelomspok. Biasanya
    tindak pidana kolektif memiliki beberapa ciri-ciri seperti, memindahkan
    identitas dan tanggung jawab individu kedalam identitas dan tanggung
    jawab kelompok, hubungan antara individu dan massa menjadi dangat
    imersonal, sifat sugesti dan menularnya.42
    Pengeroyokan atau tindak pidana yang bersifat kolektif memiliki
    beberapa jenis, antara lain:43
    a. Kekerasan masal primitif
    Kekerasan masal primitif adalah kekerasan massa yang bersifat non
    pilitis atau yang ruang lingkupnya hanya terbatas pada suatu
    komonitas tertentu, contoh pengeroyokan anak sekolah, tawuran
    anak sekolah.
    b. Kekerasan massal reaksioner
    Kekerasan massal reaksiner adalah pada umumnya merupakan
    reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendungnya tidak semata-
    mata berasal dari satu komonitas melainkan siapa saja yang merasa
    berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu
    kebijakan yang dianggap tidak adil dan jujur.
    c. Kolektif modern
    Adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis
    dari suatu organisasi yang tersusun dengan baik. Pengeroyokan
    merupakan suatu tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara
    beramai-ramai, pengeroyokan tidak begitu saja terjadi, karena
    biasanya pengeroyokan itu dilatarbelakangi beberapa hal, seperti :44
    a) Faktor sekolah Sekolah merupakan salah satu faktor penyebab
    terjadinya pengeroyokan apabila didalam proses pengajaran guru
    hanya berperan sebagai penghukum dan pelaksana peraturan, serta
    sebagai tokoh otoriter yang sering kali menggunakan kekerasan
    dalam proses pembelajaran dan mendidik siswanya.
    b) Faktor lingkungan Lingkungan merupakan faktor penyebab
    terjadinya tindak pidana karena lingkungan sangat berperan penting
    didalam membentuk karakter seorang anak, lingkungan merupakan
    tempat bersosialisasi, berinteraksi. Apabila lingkungan yang
    ditempati penuh dengan perilaku buruk maka dapat mempengaruhi
    anak untuk berbuat kekerasan, misalkan lingkungan yang penuh
    dengan adanya geng.
    c) Perbedaaan persepsi Tidak sediki karena perbedaan sudut pandang
    dapat membuat perselisihan, begitu halnya dengan pengeroyokan
    banyak terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang.
    d) Masalah komunikasi. Komunikasi merupakan bagian terpenting
    untuk menjalin hubungan antara individu dengan individu atau
    individu dengan beberapa orang. Tidak sedikit terjadinya suatu
    konflik karena kurangnya komunikasi atau bahkan cara komunikasi
    yang kurang baik sehingga membuat lawan bicara menjadi marah.
    e) Peran media Media sangat mempengaruhi terjadinya suatu tindak
    pidana, karena dengan media akan sangat mudah untuk menyebar
    isu maupun provokasi. Sehingga dapat memicu terjadinya tindak
    pidana

Unsur – Unsur Tindak Pidana


Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,
apabila perbuatan tersebut mengandung unsur-unsur yang
mendukung dan termasuk dalam syarat-syarat perbuatan pidana
tersebut. Unsur tersebut terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri
sipelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu
yangter kandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif
adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-
tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Ada beberapa pandangan mengenai unsur-unsur tindak
pidana, antara lain: Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana yaitu:
a. Perbuatan manusia (baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)
maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);
b. Diancam dengan pidana;
c. Melawan hukum;
d. Dilakukan dengan kesalahan; dan
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan
pidana, maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Menurut R. Tresna, unsur-unsur perbuatan pidana harus
memuat hal-hal seperti dibawah ini:
a. Perbuatan / rangkaian perbuatan manusia.
b. Yang bertentangan dngan peraturan perUndang-Undangan.
c. Diadakan tindakan hukuman

Pengertian tindak pidana


Ada banyak istilah terkait dengan tindak pidana. Ada yang
menggunakan istilah “delik”, yang berasal dari bahasa Latin, yaitu
delictum. Dalam bahasa Jerman dan Belanda, digunakan istilah delict.
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
digunakan di Indonesia, bersumber dari Wetboek van Strafrecht
Netherland, maka pembentuk Undang-Undang menggunakan istilah
strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak
pidana. Istilah strafbaar feit, terdiri dari tiga unsur kata, yaitu straf, baar,
dan feit. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan
sebagai dapat atau boleh, dan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa,
pelanggaran, dan perbuatan. Jadi istilah strafbaar feit adalah peristiwa
yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.24
Berkaitan dengan definisi dari istilah strafbaar feit itu sendiri,
terdapat dua pandangan yang berkembang dalam kalangan ahli hukum
pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan
monistis adalah pandangan yang menyatukan atau tidak memisahkan
antara perbuatan pidana beserta akibatnya di satu pihak, dan
pertanggung jawaban pidana di pihak lainnya. Sedangkan pandangan
dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan serta
akibatnya di satu pihak, dan pertanggungjawaban pidana di lain pihak.25
Dengan kata lain bahwa, pandangan monistis adalah suatu
pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu
kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan, di mana pandangan ini
memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian
tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang
(criminal act), dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal
responbility). Sedangkan, pandangan dualistis melihat keseluruhan
syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, di mana
pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup
criminal act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana.
Ahli hukum yang menganut pandangan monistis berdasarkan
dari rumusan tindak pidana yang diberikan, sebagai berikut:27

  1. J.E. Jonkers, merumuskan peristiwa pidana adalah perbuatan yang
    melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan
    kesengajaan atau kesalahan yang berhubungan dengan
    kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
    dipertanggungjawabkan.
  2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah
    suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
  3. H.J. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum
    adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan
    hukum, sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal
    dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.
  4. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar
    hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang
    dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan
    sebagai dapat dihukum.
    26 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
    Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2009, Hlm 106-107.
    27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo,
    2010, Hlm 75
    26
    Adapun alasan Simons merumuskan strafbaar feit seperti
    yang diuraikan di atas, sebagai berikut : 28
  5. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus
    terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
    undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau
    kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan
    yang dapat dihukum;
  6. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut
    harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di
    dalam undang-undang, dan
  7. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan, atau
    kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan
    tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onfechtmatige
    handeling.
    Selanjutnya, adalah pandangan yang memisahkan perbuatan
    pidana dan pertanggung jawaban pidana yang disebut dengan
    dualistis, dianut oleh banyak ahli hukum, antara lain sebagai berikut :29
  8. Vos, merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan
    manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-
    undangan.
    R. Tresna, yang menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah
    suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang
    bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-
    undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
    penghukuman.
  9. Pompe, dengan merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tidak
    lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan
    undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
    dihukum.
    Lebih lanjut, Pompe memberikan definisi perbuatan pidana
    menurut hukum positif, sebagai berikut : 30
    Perbuatan pidana didefinisikan sebagai pelanggaran norma
    yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk
    menegakan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan
    umum. Perbuatan pidana adalah suatu kelakuan dengan tiga hal
    sebagai suatu kesatuan yaitu melawan hukum, kesalahan yang
    dapat dicela dan dapat dipidana.
    Pandangan dualistis juga dianut oleh Hazewinkel-Suringa,
    dengan mengemukakan pengertian dari strafbaar feit adalah setiap
    kelakuan perbuatan yang diancam pidana atau dapat berupa
    melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terdiri dari kejahatan-
    kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran.31 Lebih lanjut,
    Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa perbuatan pidana yaitu
    suatu kelakuan manusia yang meliputi perbuatan dan pengabaian
    yang memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang-undang dan
    diancam dengan pidana, kemudian dengan mengabstrakan
    memenuhi syarat umum melawan hukum, bersalah dan juga dapat
    dipertanggungjawabkan.32
    Di Indonesia, pandangan dualistis dianut oleh ahli hukum
    antara lain Moeljatno yang kemudian diikuti oleh Roeslan Saleh dan
    A.Z Abidin. Berdasarkan dari pengertian perbuatan pidana yang
    dikemukakan oleh Moeljatno, sama sekali tidak menyinggung
    mengenai kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Kesalahan
    adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana karena tidak
    sepatutnya menjadi bagian definisi perbuatan pidana, apakah
    inkonkreto yang melakukan perbuatan pidana dapat dijatuhi pidana
    atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana.33
    Pandangan dualistis yang dikemukakan oleh Moeljatno pada
    pokoknya adalah memisahkan tindak pidana dan
    pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut
    persoalan perbuatan, sedangkan masalah orang yang
    melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan adalah persoalan
    lain. Tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa
    sama sekali tidak patut dicelakan kepadanya. Dengan kata lain,
    bahwa walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya
    tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat
    dipertanggungjawabkan.34
    Sejalan dengan pemikiran Moeljatno di atas, Roeslan Saleh
    mengemukakan bahwa tindak pidana dan pertanggungjawaban
    pidana mempunyai perbedaan, di mana tindak pidana hanya
    berorientasi kepada perbuatan yang dilarang berdasarkan norma
    hukum, sedangkan pertanggungjawaban pidana menunjuk kepada
    sikap-sikap subyektif yang didasarkan kepada kewajiban hukum
    seseorang untuk mematuhi hukum.35 Lebih lanjut, Roeslan Saleh
    menyatakan bahwa melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu
    berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat
    mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana
    diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana
    terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan
    demikian, selain telah melakukan tindak pidana,
    pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak
    pidana dilakukan dengan kesalahan.36
    Penganut pandangan dualistis selanjutnya adalah A.Z.
    Abidin, namun berbeda dengan Moeljatno yang menggunakan istilah
    perbuatan pidana, A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah
    perbuatan kriminal karena perbuatan pidana merupakan dua kata
    benda bersambungan yaitu perbuatan dan pidana yang tidak ada
    hubungan logis antara keduanya. Dalam pandangannya, A.Z Abidin
    memisahkan antara actus reus (perbuatan pidana), dan mens rea
    (pertanggungjawaban pidana), sehingga syarat pemidanaan dibagi
    menjadi dua yaitu perbuatan kriminal sebagai syarat pemidanaan
    obyektif (actus reus), dan pertanggungjawaban kriminal sebagai
    syarat pemidanaan subyektif (mens rea).37
    Sejalan dengan pandangan Moeljatno, Roeslan Saleh, dan
    A.Z Abidin di atas, Chairul Huda mengemukakan pendapatnya
    bahwa pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau
    serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana.
    Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari
    perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-
    sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian
    dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.38
    Pemisahan antara actus reus (perbuatan pidana) sebagai
    syarat pemidanaan obyektif dan mens rea (pertanggungjawaban
    pidana) sebagai syarat pemidanaan subyektif penting diketahui oleh
    penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan, karena surat
    dakwaan cukup berisi bagian inti (bestandel) delik dan perbuatan
    nyata terdakwa yaitu actus reus, tidak perlu dimuat dalam surat
    dakwaan bahwa terdakwa dapat dipertanggungjawabkan.39
    Dengan demikian, bahwa pandangan yang memisahkan
    antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana
    sesungguhnya untuk mempermudah penuntutan terhadap
    seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dalam hal
    pembuktian, di mana dalam persidangan, pembuktian dimulai
    dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian apakah perbuatan
    pidana yang telah dilakukan dapat tidaknya dimintakan
    pertanggungjawaban terhadap terdakwa yang sedang diadili

Teori Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP


Dalam merumuskan pengertian tindak pidana ada beberapa ahli
hukum yang memasukkan perihal kemampuan bertanggungjawab kedalam
unsur tindak pidana20 menjelaskan arti kesalahan, kemampuan
bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin
orang yang normal yang sehat. Dalam KUHP kita tidak ada, ketentuan
tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu
ialah pasal 44 “Barangsiapa melakuakan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya
atau jiwa yang tergantung pada penyakit. Kalau tidak dapat
dipertanggungjawabkannya itu disebabkan oleh hal lain, misalnya jiwanya
tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pada pasal tersebut
tidak dapat dipakai.21
Dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil
kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus
ada:

  1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
    yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
  2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
    tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
    Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual faktor) yang
    dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang
    tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat
    menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang
    diperbolehkan dan mana yang tidak.22
    Sebagai konskuensi maka tentunya orang yang tidak mampu
    menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya
    perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan pidana.
    Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut
    pasal 44 KUHP tadi, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena
    alat-alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya.
    KUHP dalam merumuskan ketidakmampuan bertanggungjawab
    sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat menempuh tiga jalan
    yaitu:
    1) Ditentukan Sebab-Sebab yang Menghapuskan Pemidanaan.
    Menurut system ini, jika tabib (psychiater) telah menyatakan
    bahwa terdakwa adalah gila atau tidak sehat dalam pikirannya, maka
    hakim menyatakan seorang tersebut bersalah dengan menjatuhkan
    pidana.
    2) Menyebukan Akibatnya Saja.
    Disini yang terpenting ialah, apakah dia mampu menginsyafi
    makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu
    yang tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini
    sangat luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. System ini
    dinamakan normative (mempernilai) disini hakimlah yang
    menentukan.
    3) Gabungan dari 1 dan 2.
    Yaitu menyebabkan sebab-sebabnya penyakit jika dan
    penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap tak
    dapat dipertanggungjawabkan padanya. Cara ini yang sering dipakai
    dan juga pasal 44 KUHP juga demikian. Untuk menentukan bahwa
    terdakwa tidak mampu bertanggungjawab tidak cukup ditentukan oleh
    tabib atau hakim itu sendiri, tetapi harus ada kerjasama antara tabib
    dan hakim. Bahwa yang pertama menyebutkan bahwa adanya
    penyakit sedangkan yang kedua mempernilai bahwa penyakit yang
    ada itu sedemikian besarnya, hingga perbuatan tak dapat
    dipertanggungjawabkan kepadanya. Disini dalam pasal 44 tabib
    menentukan adanya gangguan pertumbuhan yang cacat atau adanya
    gangguan karena penyakit, sedangkan hakim mempernilai bahwa
    karena hal-hal tersebut perbuatan terdakwa tak dapat
    dipertanggungjawabkan padanya.23
    Mengenai hal ini haruslah diambil sikap bahwa mengenai
    mampu bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang
    yang diperlukan dalam hal untuk dapat dijatuhkan pidana dan bukan
    hal terjadinya pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu
    dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggungjawab
    ataukah mampu bertanggungjawab. Terjadinya tindak pidana tidak
    serta merta diikuti dengan pidana kepada petindaknya tetapi ketika
    menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan
    pidana bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah
    perhatikan atau persoalkan tentang ketidakmampuan
    bertanggungjawab dan pula haruslah dibuktikan untuk tidak
    dipidananya terhadap pembuatnya

Unsur-Unsur Tindak Pidana menurut KUHP


Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana dapat
dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang yakni : 1) dari sudut
teoritis dan 2) dari sudut Undang-undang. Maksud teoritis ialah
berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi
rumusannya. Sedangkan dalam sudut UU adalah bagaimana kenyataan
tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-
pasal peraturan perundang-undangan yang ada.
a) Unsur Tindak Pidana menurut Beberapa Teoritis
Dimuka telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang
disusun oleh para ahli hukum baik penganut paham dualisme maupun
paham monisme. Unsur-unsur apa yang ada dalam tindak pidana adalah
melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya sebagai beberapa
contoh yang diambilkan dari batasan tindak pidana oleh teoritis yang
telah dibicarakan dimuka, yakni: Moeljiatno, R.Tresna, Vos, Jonkers
dan Schravendijk.13
Sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi didalam bukunya
yang berjudul “Pelajaran umum hukum pidana 3 percobaan &
penyertaan” Menurut Moeljiatno, unsur tindak pidana adalah:
1) Perbuatan.
2) Yang dilarang (oleh aturan hukum).
3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang
adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana
maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu tapi tidak dipisahkan
dengan orangnya.
Sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi didalam bukunya
yang berjudul “Pelajaran umum hukum pidana 3 percobaan &
penyertaan” dari R.Tresna, bahwa tindak pidana terdiri dari unsur-
unsur yakni:
1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan.
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3) Diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur yang ketiga kalimat diadakan tindakan
penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan
yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan).
Sebagaimana dikutip oleh Adami Chazawi didalam bukunya
yang berjudul “Pelajaran umum hukum pidana 3 percobaan &
penyertaan” Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah:
1) Kelakuan manusia.14
2) Diancam dengan pidana.
3) Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham
dualisme tersebut, tidak ada perbedaan ialah bahwa tindak pidana itu
adalah perbuatan manusia yang dilarang dimuat dalam UU dan diancam
dipidana bagi yang melakukannya.
Menurut Jonkers, (penganut paham monisme) unsur-unsur
tindak pidana adalah:
1) Perbuatan
2) Yang melawan hukum (yang berhubungan dengan)
3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)
4) Dipertanggungjawabkan
Sedang menurut Schravendijk, unsur-unsur tindak pidana
adalah:
1) Kelakuan (orang yang).
2) Bertentangan dengan keinsyafan hukum.
3) Diancam dengan hukuman.
4) Dilakukan oleh orang (yang dapat)
5) Dipersalahkan atau kesalahan.
b) Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam UU
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana
tertentu termasuk yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan buku III
adalah pelanggaran. Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-
kadang dicantumkan dan seringkali juga tidak dicantumkan apabila
sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemanpuan
bertanggungjawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsur-unsur
lain baik sekitar atau mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan
secara khusus untuk rumusan tertentu.15
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu,
maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana yaitu:
1) Unsur Tingkah Laku.
Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku
aktif atau pasif (hendelen) atau disebut juga sebagai perbuatan
materiil (materielfeit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten).
Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang
untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud
gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh.16
Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku
membiarkan (nalaten), yaitu suatu bentuk tingkah laku yang tidak
melakukan aktifitas tertentu tubuh atau bagian tubuh yang
seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus
melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian
seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban
hukumnya.17
2) Unsur Melawan Hukum.
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau
terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat
bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil atau
formale wederrechtelijk). Karena bersumber pada masyarakat yang
sering juga disebut dengan bertentangan asas-asas hukum
masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis.
Dalam Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mampunyai
sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat melawan
terlarangnya (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang
dalam peraturan perundang-undang artinya sifat terlarangnya itu
disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Unsur Kesalahan.
Kesalahan (schuld) adalah unsur menganai keadaan atau
gambaran bati orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan,
karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat
subyektif.
4) Unsur Akibat Konsumtif.
Unsur akibat konsumtif ini terdapat pada:
a) Tindak pidana materiil (materiel delicten) atau tindak pidana
dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.
b) Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat
pemberat pidana.
c) Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya
pembuat.
5) Unsur Keadaan yang Menyertai.
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana
yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana
perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam
kenyataan rumusan tindak pidana dapat:
a) Mengenai cara melakukan perbuatan.
b) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan.
c) Mengenai obyek tindak pidana.
d) Mengenai subyek tindak pidana.
e) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana.
f)Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.
6) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana.
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak
pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana
jika adanaya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan
substansinya adalah sama dengan laporan ialah berupa keterangan
atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang
disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni
kepolisian atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor Kejaksaan
Negeri setempat. Perbedaan pengaduan dengan laporan ialah pada
pengaduan hanya :
a) Dapat dilakuakan oleh yang berhak mengadu saja yakni korban
kejahatan atau wakilnya yang sah.
b) Pengaduan diperlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja.
7) Unsur Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana.
Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat
membicarakan unsur akibat konsumtif dimuka. Unsur ini adalah
berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat
untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana
pada tindak pidana materiil.
Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana dapat
terletak pada bermacam-macam ialah:
a) Pada akibat yang timbul setelah perbuatan dilakukan.
b) Pada obyek tindak pidananya.
c) Pada cara melakukan perbuatan.
d) Pada subyek hukum pidana.
e) Pada waktu dilakukanya tindak pidana.
f) Pada berulangnya perbuatan.
8) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana.
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah
berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah
perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya
perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak
timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum
dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana

Pengertian Tindak Pidana menurut KUHP


Pengertian tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana yaitu stafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS
Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak
ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaarfeit
karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti pada istilah
itu.1
Perlu dijelaskan terlebih dahulu adanya penafsiran yang sama atau
yang berbeda mengenai pengertian “perbuatan pidana” dan “tindak
pidana”. Selain pengertian yang diajukan oleh Jonkers, juga telah
dikembangkan pengertian perbuatan pidana, sebagaimana diterapkan oleh
Prof. Moeljatno. Sebaliknya pengertaian tindak pidana belum diungkap
secara jelas pemisahannya dengan pertanggungjawaban pidana, maka
dapat dianggap bahwa tindak pidana termasuk di dalamnya unsur
pertanggungjawaban pidana, sehingga pengertian tindak pidana berbeda
dengan dengan pengertian perbuatan pidana.
Apabila pengertian tindak pidana terpisah dari pertanggungjawaban
pidana, maka dapat diartikan bahwa istilah tindak pidana dianggap sama
dengan perbuatan pidana.
Secara terbuka dalam forum ilmiah telah dikemukakan oleh Prof.
Moeljiatno, “bahwa jika menghadapi suatu kata majemuk perbuatan
pidana”, pokok pengertian harus mengenai kata yang pertama, disini
perbuatan dan tak mungkin mengenai orang yang melakukan tidak disebut
disitu, sekalipun harus diakui kebenaran ucapan Van Hattum, bahwa
antara perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat dan tidak
mungkin dipisah-pisahkan. Maka dari itu perbuatan pidana dapat diberi
arti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa
yang melanggar perbuatan tersebut.2
Yang dimaksud dengan “tindak pidana” adalah suatu tindakan
(berbuat atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan hukum nasional
jadi yang bersifat tanpa hak yang menimbulkan akibat yang oleh hukum
dilarang dengan ancaman hukuman. Suatu peristiwa hukum yang dapat
dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur
pidananya.3
Hal ini berbeda dengan hukum pidana, sedangkan pengertian
Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi
ketentuan-ketentuan tentang :
a) Aturan umum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan
tertentu yang disertai ancaman-ancaman atau sanksi-sanki.
b) Syarat-syarat tertentu kapankah yang harus dipenuhi atau harus ada
bagi pelanggaran untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang
diancamkan pada larangan-larangan perbuatan yang dilanggar.
c) Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan Negara
melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa dan hakim).4
Jenis-jenis pidana sebagaimana terdapat pada KUHP sebagai
sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 10 sampai pasal 43 KUHP pidana dibedakan
menjadi dua kelompok, antara pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok
terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda
dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan
hak-hak tertentu, pidana perampasan barang-barang tertentu dan pidana
pengumuman keputusan hakim.5



Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat
dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni : (1) dari sudut
teoritis (2) dari sudut Undang-undang. Maksud teoritis adalah berdasarkan
pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya.
Sedangkan dari sudut Undang-undang adalah sebagaimana kenyataan
tindak pidana itu dirumuskan mendaji tindak pidana tertentu dalam pasal-
pasal peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada.6
Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu pebuatan dianggap
delik (tindak pidana) bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) : pertama rukun umum, artinya unsur-unsur
yang harus terpenuhi pada setiap tindak pidana. Kedua, unsur khusus,
artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis tertentu.
Adapun yang termasuk dalam unsur umum tindak pidana adalah :
a) Unsur formil (adanya Undang-undang atas Nash). Artinya setiap
perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat
dipidana kecuali ada nash atau undang-undang yang mengaturnya.
Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan asas legalitas, yaitu
suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya
tidak dapat dikenai sanksi sebelum ada perturan yang
mengundangkannya.
b) Unsur materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku
seseorang yang membentuk jarimah, baik sifat berbuat maupun sikap
tidak berbuat.
c) Unsur moril (pelakunya mukallaf). Artinya pelaku jarimah adalah orang
yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang
dilakukannya.
Unsur-unsur diatas tidak selamanya terlihat jelas dan terang,
namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan-
persoalan hukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi.
Kedua unsur khusus. Yang dimaksud unsur khusus ialah unsur
yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan berbeda
antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah
yang lainnya

Unsur-unsur Tindak Pidana Penadahan


Tindak pidana penadahan atau disebut juga tindak pidana pemudahan
ini diatur dalam Bab XXX KUHPidana. Tindak pidana penadahan atau tindak
pidana pemudahan ini merupakan tindak pidana yang erat kaitannya dengan
tindak pidana terhadap harta kekayaan orang lain. Tindak pidana penadahan
diatur dalam ketentuan Pasal 480 KUHPidana yang menyatakan : Diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah karena penadahan. Ke-1 barang siapa menjual,
menawarkan, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk
menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan,
mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan Ke-2
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan.
Bahwa apabila diperhatikan, maka tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 480 KUHPidana ini meliputi dua macam bentuk tindak pidana
penadahan, yaitu :
a. Membeli, menyewa, menukar, menerima sebagai gadai dan
menerima sebagai hadiah sesuatu benda yang berasal dari kejahatan.
b. Karena ingin menarik keuntungan telah menjual, menyewakan,
menukarkan, memberikan sebagai gadai, mengangkut, menyimpan
atau menyembunyikan sesuatu benda yang berasal dari kejahatan.
Adapun jenis tindak pidana penadahan ini dapat dibgi kedalam dua
bentuk, yaitu :

  1. Penadahan sebagai kebiasaan
    Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 481 KUHPidana
    yang menyatakan :
    (1) Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli,
    menukarkan, menerima gadai, menyimpan atau menyembunyikan
    barang, yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara
    paling lama tujuh tahun.
    23
    (2) Yang bersalah dapat dicabut hanya tersebut dalam Pasal 35 Nomor 1
    dan haknya untuk melakukan pencaharian dalam mana kejahatan
    dilakukan.
  2. Penadahan ringan
    Jenis tidak pidana ini diatur dalam Pasal 482 KUHPidana yang
    menyatakan : Diancam karena penadahan ringan, dengan pidana penjara
    paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah, jika
    kejahatan dari mana benda diperoleh adalah satu kejahatan yang
    diterangakan dalam Pasal 364, 373 dan 379. Berdasarkan ketentuan Pasal
    482 KUHPidana di atas tersimpul bahwa penadahan yang diatur dalam
    Pasal 480 KUHPidana itu akan menjadi penadahan ringan, apabila
    perbuatan yang diatur dalam Pasal 480 KUHPidana itu dilakukan terhadap
    barang-barang hasil dari tindak pidana pencurian ringan, berasal dari
    tindak pidana penggelapan ringan atau dari penipuan ringan.
    Bentuk-bentuk dari Pemidaan atas Tindak Pidana Pencurian dan
    Penadahan Masalah pokok dalam hukum pidana adalah pemidanaan,
    disamping tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pemidanaan
    dapat dilihat sebagai rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya
    sengaja direncanakan melalui tahapan-tahapan berikut, yaitu tahap
    legislatif (kebijakan formulatif), tahap yudikatif (kebijakan aplikatif) dan
    tahap eksekutif (kebijakan administratif). Pemidanaan merupakan sarana
    yang dipakai dalam penegakan hukum pidana, dan dengan mengacu pada
    tahapan-tahapan tersbut, maka dikatakan, bahwa penegakan hukum pidana
    bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab aparat yudikatif sebagai
    pemegang kebijakan aplikatif, tetapi juga menjadi tugas dan tanggung
    jawab aparat pemegang kebijakan pembuat undang-undang. Satjipto
    Rahardjo dalam kaitan ini menyatakan, bahwa proses penegakan hukum
    itu menjangkau pula sampai kepada tahapan pembuatan undang-undang.
    Perumusan pikiran pembuat undang-undang yang dituangkan dalam
    peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana
    penegakan hukum itu nanti dijalankan.
    Menurut Sudarto, pemidanaan itu kerap kali sinonim dengan kata
    penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga
    dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan
    tentanghukum (berechten) . Penghukuman dalam perkara pidana, sinonim
    dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.
    Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau
    voorwadelijk veroordeeld yang sama artinya dengan dihukum bersyarat
    atau pidana bersyarat.
    Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan pidana dan
    tahap pemberian pidana. Sudarto menyatakan bahwa pemberian pidana itu
    mempunyai dua arti, yaitu :
  3. Dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang,
    ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana
    in abstracto)
  4. Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan
    yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum
    pidana itu (pemberian pidana in concreto).22
    Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara
    sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang
    kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum. Jerome Hall
    dalam M. Sholehuddin membuat deskripsi yang terperinci mengenai
    pemidanaan, yaitu sebagai berikut :
  5. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup
  6. Ia memaksa dengan kekerasan
  7. Ia diberikan atas nama Negara, ia “diotorisasikan”
  8. Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan,
    pelanggarannya, dan penentunnya, yang diekspresikan didalam putusan
  9. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini
    mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan
    kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika
  10. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan
    kejahatan, dan diperberat atau diperingan dengan melihat personalitas
    (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.23
    Terhadap pelaku tindak pidana pencurian maupun penadahan,
    penerapan sanksi pidananya mengacu kepada ketentuan Hukum Pidana
    Indonesia yang hanya mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan
    pidana tambahan. Dalam Pasal 10 KUHPidana terjemahan resmi oleh Tim
    Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, disebutkan Pidana terdiri:
    a. Pidana Pokok :
  11. Pidana mati
  12. Pidana penjara
  13. Pidana kurungan
  14. Pidana denda
  15. Pidana tutupan
    b. Pidana Tambahan
  16. Pencabutan hak-hak tertentu
  17. Perampasan barang-barang tertentu
  18. Pengumuman putusan hakim

Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian


Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada bermacam-macam
pencurian dalam bentuk khusus, antara lain adalah pencurian dengan
kekerasan, adapun pencurian dengan kekerasan ini diatur dalam pasal 365
KUHP yang mempunyai empat ayat dimana akan penyusun pokokkan pada
ayat 3 dan 4 dari pasal 365 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 365 KUHP adalah
sebagai berikut :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :

  1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
    pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau dijalan umum atau di
    dalam kereta api yang sedang berjalan ;
  2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu
  3. Jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
    memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
    pakaian jabatan palsu.
  4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
    (3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana
    penjara paling lama lima belas tahun.
    (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
    selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
    mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang
    atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang
    diterangkan dalam nomor 1 dan nomor 3.21
    Dari perumusan pasal 365 KUHP tersebut diatas dapatlah disebutkan
    unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari ayat 1 sampai
    dengan ayat 4.
    Unsur-unsur tindak pidana ini adalah sebagai berikut :
    Pasal 365 ayat (1) memuat unsur-unsur :
    a. Unsur Obyektif :
    Pencurian dengan ;
    1) Didahului
    2) Disertai
    3) Diikuti :
    a) Oleh kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seseorang.
    b. Unsur subyektif :
    1) Dengan maksud untuk
    2) Mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu atau
    3) Jika tertangkap tangan atau memberi kesempatan bagi diri sendiri atau
    peserta lain dalam kejahatan itu :
    a) Untuk melarikan diri
    b) Untuk mempertahankan pemilihan atas barang yang dicurinya.
    Pasal 365 ayat (2) memuat unsur-unsur :
    Pencurian yang dirumuskan dalam pasal 365 KUHP ayat (2) KUHP disertai
    masalah-masalah yang memberatkan yaitu :
    1) Pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
    rumahnya. Di jalan umum. Di dalam kereta api yang sedang berjalan.
    2) Dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih.
    3) Yang bersalah memasuki tempat kejahatan dengan cara :
    a) Membongkar
    b) Memanjat
    c) Merusak
    d) Anak kunci palsu
    e) Pakaian jabatan palsu.
    Pasal 365 ayat (3) memuat unsur-unsur :
    Perbuatan pencurian dengan kekerasan ini menimbulkan akibat matinya
    seseorang. Dalam ayat ini matinya orang lain merupakan akibat yang timbul
    karena penggunaan kekerasan.
    Pasal 365 ayat (4) memuat unsur-unsur :
    Hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara
    selamalamanya dua puluh tahun dijatuhkan, apabila perbuatan itu :
    1) Menimbulkan akibat luka berat pada seseorang atau akibat matinya
    seseorang
    2) Dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih
    3) Disertai salah satu masalah tersebut dalam nomor 1 dan nomor 3 :
    a) Nomor 1 : Pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
    tertutup dimana berdiri sebuah rumah. Di jalan umum. Di dalam kereta
    api yang sedang berjalan.
    b) Nomor 3 : Yang bersalah memasuki tempat kejahatan dengan cara :
    Membongkar. Memanjat. Memakai anak kunci palsu. Memakai
    perintah palsu. Memakai pakaian jabatan palsu

Pelaku Tindak Pidana


“Subjek perbuatan pidana yang diakui oleh KUHP adalah manusia.
Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidana adalah
manusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delik dalam KUHP yang
dimulai dengan kata-kata “barang siapa”. Kata “barang siapa” jelas
menunjuk pada orang atau manusia, bukan badan hukum. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang
digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik
hanya dapat dilakukan oleh manusia”.17
Masalah pelaku (dader) diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP.
Untuk jelasnya, perlu dicermati pasal-pasal tersebut. Pasal 55 KUHP
berbunyi sebagai berikut :
(1) Dihukum sebagai pelaku suatu tindak pidana :

  1. mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
    melakukan perbuatan itu;
  2. mereka yang dengan memberi, menjanjikan sesuatu, salah memakai
    kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
    penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
    keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
    perbuatan.
    (2) Terhadap orang-orang yang disebutkan belakangan, hanyalah
    perbuatan yang dibujuk dengan sengaja yang diperhitungkan, beserta
    akibatakibatnya.
    Pasal 56 KUHP berbunyi :
    “Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
  3. mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan;
  4. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau
    keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
    Berdasarkan rumusan pasal 55 KUHP dan pasal 56 KUHP tersebut,
    terdapat lima peranan pelaku, yaitu :
  5. Orang yang melakukan (dader or doer)
  6. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
  7. Orang yang turut serta melakukan (mededader)
  8. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)
  9. Orang yang membantu melakukan (medeplichtige).18
    Untuk memastikan siapa yang dianggap sebagai pelaku tindak
    pidana nampaknya tidak terlalu sulit akan tetapi dalam kenyataannya
    pemastian itu tidaklah mudah, dan yang dimaksud dengan pelaku tindak
    pidana adalah orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana
    dirumuskan dalam Undang-Undang, baik unsur subjektif maupun unsur
    objektif. Umumnya pelaku dapat diketahui yaitu :
  10. Delik formil, pelakunya adalah barang siapa yang telah memenuhi
    perumusan delik dalam Undang-Undang.
  11. Delik materil, pelakunya adalah barang siapa yang menimbulkan akibat
    yang dilarang dalam perumusan delik.
  12. Delik yang memuat unsur kualitas atau kedudukan, pelakunya adalah
    barang siapa yang memiliki unsur kedudukan atau kualitas sebagaimana
    yang dirumuskan. Misalnya, dalam kejahatan jabatan, pelakunya adalah
    pegawai negeri. 19
    Dader dalam pengertian luas adalah yang dimuat dalam M.v.T.
    pembentukan pasal 55 KUHP, yang antara lain mengutarakan :
    “Yang harus dipandang sebagai dader itu bukan saja mereka yang telah
    menggerakkan orang lain untuk melakukan delik melainkan juga mereka
    yang telah menyuruh melakukan dan mereka yang turut melakukan”.20
    Pada delik-delik formal yakni delik-delik yang dapat dianggap
    telah selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu setelah pelakunya itu
    melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang ataupun
    segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan
    oleh Undang-Undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang
    sebagai pelaku, memang tidak sulit orang tinggal menentukan siapa yang
    melakukan pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang telah
    disebutkan di dalam Undang-Undang

Jenis-jenis Tindak Pidana


Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).
Menurut M.v.T. dalam bukunya Smidt.L sebagaimana dikutip oleh
Moeljatno, pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan
prinsipil.
Dikatakan, bahwa kejahatan adalah rechtsdelicten, yaitu: “perbuatan-
perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-Undang,
sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran
sebaliknya adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang
sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang
menentukan demikian”.12
Menurut Tongat dalam bukunya “dasar-dasar hukum pidana
Indonesia dalam perspektif pembaharuan” sebagaimana dikutip oleh
Mahrus Ali, bahwa kejahatan dan pelanggaran adalah sebagai berikut :
“kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam
pidana dalam suatu Undang-Undang atau tidak. Sekalipun tidak
dirumuskan sebagai delik dalam Undang-Undang, perbuatan ini benar-
benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala in se,
artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat
perbuatan tersebut memang jahat”. 13
“pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru
disadari sebagai perbuatan pidana, karena Undang-Undang
merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap sebagai
tindak pidana oleh masyarakat oleh karena Undang-Undang
mengancamnya dengan sanksi pidana. Perbuatan pidana jenis ini disebut
juga dengan istilah mala prohibita (malum prohibitum crimes). 14
Menurut Molejatno, selain dari pada sifat umum bahwa ancaman
pidana bagi kejahatan adalah lebih berat dari pada pelanggaran, maka
dapat dikatakan bahwa :
a. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
b. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau
kealpaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa,
sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung
dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus atau
culpa.
c. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal
54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).
d. Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak
penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada
kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
e. Dalam hal perbarengan (concursus) cara pemidanaan berbeda buat
pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih muda
dari pada pidana berat (pasal 65, 66, 70). 15
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran tidak menjadi ukuran lagi
untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa mengadilinya, seperti
dahulunya, oleh karena sekarang semuanya diadili oleh Pengadilan Negeri.
Meskipun demikian ada perbedaan dalam acara mengadili.
Perbuatan pidana, selain dari pada dibedakan dalam kejahatan dan
pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktik dibedakan pula antara lain
dalam :
a. Delik formil, adalah suatu perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan
perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam
pasal Undang-Undang yang bersangkutan. Misalnya : Pencurian adalah
perbuatan yang sesuai dengan rumusan pasal 362 KUHP, yaitu
mengambil barang milik orang lain dengan maksud hendak memiliki
barang itu dengan melawan hukum.
b. Delik materil, adalah suatu perbuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat
yang timbul dari perbuatan itu. Misalnya : Pembunuhan. Dalam kasus
pembunuhan yang dianggap sebagai delik adalah matinya seseorang
yang merupakan akibat dari perbuatan seseorang. Perbuatannya sendiri
dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara.
c. Delik dolus, adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sengaja. Misalnya : Pembunuhan (pasal 338 KUHP).
d. Delik culpa, adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena
kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. Misalnya : (Pasal 359
KUHP).
e. Delik aduan, adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan
pengaduan orang lain. Jadi, sebelum ada pengaduan belum merupakan
delik.
f. Delik politik, adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada
keamanan Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Misalnya: Pemberontakan akan menggulingkan pemerintahan yang
sah.

Pengertian Tindak Pidana


Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “straftbaar feit” atau “delict”. Walaupun istilah ini terdapat dalam
WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), dengan
tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan straftbaar feit atau
delict itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan
isi dari istilah itu, tapi sayangnya sampai saat ini belum ada keseragaman
pendapat mengenai pengertian tindak pidana tersebut.
Menurut Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut” .4
Yulies Tiena Masriani memberikan arti Peristiwa Pidana (Tindak
Pidana) adalah “suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang
dilarang oleh Undang-Undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa
itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman)

Golongan Dan Jenis Narkotika


Sebelum masuk kepada pembahasan di atas ada baiknya terlebih dahulu
penulis menguraikan latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang salah satunya adalah meluaskan jenis-jenis narkotika itu
sendiri.
Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia
Indonesia seutuhya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur,
sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar

  1. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu
    peningkatan secara terus-menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan
    pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, di samping
    untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
    Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan
    dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan tidak sesuai dengan
    standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap
    akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat
    khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar
    bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
    melemahkan ketahanan nasional.
    Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan
    memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan,
    karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara
    berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh
    sendikat yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat rahasia.
    Di samping kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan
    dengan menggunakan modus operandi dan tehnologi canggih, termasuk
    pengamatan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan
    narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan
    umat manusia.
    Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta
    meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
    gelap narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang
    berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat
    serta keseimbangan, keserasian, keselarasan dalam perikehidupan, hukum, serta
    ilmu pengetahuan dan teknologi dan dengan mengingat ketentuan baru dalam
    Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan peredaran gelap
    narkotika dan psikotropika tahun 1983 yang telah diratifikasi dengan Undang-
    Undang No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
    Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
    Dengan demikian, undang-undang narkotika yang baru diharapkan lebih efektif
    mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
    termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan
    ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika.
    Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mempunyai
    cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun
    ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain
    didasarkan pada faktor-faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan
    kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang, berlaku tidak memadai
    lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
    peredaran gelap narkotika.
    Salah satu yang baru tentang undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
    narkotika ini adalah jenis-jenis narkotika itu sendiri. Di dalam pasal 2 Undang-
    Undang No. 35 Tahun 2009 ditentukan jenis-jenis daripada narkotika itu yaitu :
  2. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
    tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi
    serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
  3. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
    digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/
    atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
    tinggi yang mengakibatkan ketergantungan.
  4. Narkotika golongan III merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
    banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
    pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan
    ketergantungan.
    Jika dilihat dari jenis narkotika lainnya bahaya narkoba juga akan muncul
    yaitu akan dipaparkan sebagai berikut :32
    Jenis narkoba narkotika:
  5. Heroin
  • Pengguna heroin akan mengalami rasa ngantuk, lesu, jalan mengambang, rasa
    senang yang berlebihan, bengkak pada daerah bekas penyuntikan, tetanus,
    Hepatitis B dan C, sakit jantung, sakit dada dan paru-paru, sulit buang air
    besar dan meninggal dunia jika kelebihan dosis.
  • Pengguna heroin akan sangat cepat mengalami ketergantungan
  • Gejala putus zat akan menimbulkan rasa tidak nyaman pada perut, nyeri
    tulang, kram otot dan gejala seperti flu.
  1. Ganja
  • Pengguna ganja yang telah rutin akan mengalami ketergantungan psikis
  • Pengguna ganja akan mengalami turunnya keterampilan motorik, kehilangan
    konsentrasi, bingung, penurunan motivasi, rasa senang yang berlebihan,
    meningkatkan nafsu makan, komplikasi penyakit daerah pernapasan,
    gangguan sistem peredaran darah dan kanker.
  1. Hasish
  • Pengguna hasish akan mengalami efek psikologis yang merusak kesehatan.
  • Mengandung zat rezin aktif yang menimbulkan efek psikologis.
    Jenis narkoba psikotropika
  1. Ekstasi
  • Pengguna akan mengalami rasa “senang” yang berlebihan (rasa senang semu),
    detak jantung dan tekanan darah meningkat, rasa “percaya diri” (semu)
    meningkat, serta hilangnya control diri.
  • Setelah efek di atas, selanjutnya akan terjadi perasaan lelah, cemas, depresi
    yang berlangsung beberapa hari, dan cairan tubuh banyak yang keluar.
  • Akibat selanjutnya, terjadi kerusakan pada otak, atau meninggal dunia karena
    dehidrasi (Kekurangan cairan tubuh).
  1. Methamphetamine
  • Pengguna akan mengalami perasaan melayang yang berangsur-angsur
    menimbulkan kegelisahan yang luar biasa, penurunan berat badan, halusinasi
    (terjadi khayalan yang aneh-aneh yang berbeda jauh dengan kenyataan),
    sensitive (mudah tersinggung), curiga berlebihan, dan depresi.
  • Pengguna merasa lebih energik (aktivitas tubuh dipercepat) secara berlebihan.
  • Penggunaan dalam jangka waktu lama akan merusak jiwa raga dan meninggal
    dunia jika kelebihan dosis.
  1. Obat penenang
  • Pengguna akan tertidur, memperlambat respon fisik dan mental.
  • Dalam dosis tinggi akan membuat pengguna merasa cemas, dan bicaranya
    bisa jadi pelo.
  • Penggunaan dengan campuran alcohol akan menyebabkan kematian.
  • Gejala putus zat bersifat lama.
    Jenis Narkoba Zat Adiktif Lainnya:
  1. AlkoholUNIVERSITAS MEDAN AREA
    28
  • Pengguna (peminum) mengalami penurunan kesadaran berjalan
    sempoyongan, melambatnya kerja sistem saraf pusat, melambatnya refleks
    motorik, mengganggu pernapasan, jantung, serta mengganggu penalaran.
  • Peminum akan berperilaku kasar, menimbulkan kekerasan, serta
    meningkatkan resiko kecelakaan lalu lintas.
  • Gejala putus zat akan menurunkan nafsu makan, sulit tidur, kejang otot dan
    halusinasi.
  1. Zat yang mudah menguap
  • Menimbulkan perasaan puyeng, penurunan kesehatan, gangguan penglihatan,
    dan pelo dalam berbicara.
  • Mengakibatkan gangguan kesehatan pada otak, lever, ginjal, paru-paru,
    pernapasan, serta memperlambat kerja otak dan sistem sarah pusat.
  • Rasa “senang” yang semu, perubahan proses berpikir, hilangnya control diri,
    dan depresi.
  1. Zat yang dapat menimbulkan halusinasi
  • Perasaan “sejahtera” (sejahtera semu), hilangnya control, dan depresi.
  • Merusak kesadaran, emosi, serta proses berpikir.
  • Halusinasi bisa menimbulkan kecelakaan.
    Maka dengan adanya jenis-jenis dari narkotika di atas maka pengertian
    narkotika itu semakin luas, dan terhadap penyalahgunaannyapun dapat diperluas
    juga dalam hal pengenaan sanksi pidana

Pengertian Tindak Pidana Narkotika


Bila kita mempelajari narkotika, maka kita bertemu dengan beberapa
pengertian dalam bentuk istilah yang penting untuk kita ketahui secara umum.
Istilah narkotika berasal dari bahasa Junani yang disebut “Narkotikos” yang
berarti kaku seperti patung atau tidur. Seseorang menjadi kaku seperti patung atau
tidur bila orang ini menggunakan bahan-bahan tertentu. Bahan-bahan tertentu ini
dalam bahasa Yunani disebut Narkotika.
Narkotika ialah zat yang digunakan menyebabkan seseorang kaku seperti
patung atau tidur (narkotikos). Lama kelamaan istilah narkotika tidak terbatas
pada bahan yang menyebabkan keadaan yang kaku seperti patung atau tidur,
tetapi juga bahan yang menimbulkan keadaan yang sebaliknya sudah dimasukkan
pada kelompok narkotika.
Sedangkan Sylviana mendefinisikan narkotika secara umum sebagai zat-
zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan
zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf otak. Efek narkotika
disamping membius dan menurunkan kesadaran, adalah mengakibatkan daya
khayal/halusinasi (ganja), serta menimbulkan daya rangsang/stimulant (cocaine).
Narkotika tersebut dapat menimbulkan ketergantungan (dependence).26
Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris
narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. 27 Narkotika
berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti terbius sehingga
tidak merasakan apa-apa.28
Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-
bahan pembius atau obat bius.29
Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika maka narkotika ini diatur di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1976
tentang Narkotika. Pada masa ini terasa kesimpang siuran pengertian narkotika.
Ada yang menyatakan bahwa narkotika itu adalah obat bius, sebagian mengatakan
obat keras atau obat berbahaya.
Penyalahgunaan narkotika di negara kita mulai terasa kira-kira 15 tahun
yang lalu. Yang menyalahgunakan pada umumnya adalah golongan remaja, dan
yang disalahgunakan beranekaragam narkotika. Bahayanya makin meningkat
pada bahan yang lebih keras seperti morphin dan heroin.
Menyadari bahaya yang mengancam kelangsungan hidup generasi muda,
maka pemerintah sejak dini telah menanggulangi bahaya penyalahgunaan
narkotika yaitu dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 (yaitu
penanggulangan bahaya narkotika, kenakalan remaja, uang palsu, penyeludupan
dan lain sebagainya).
Setelah keluarnya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 maka kemudian
keluar pulalah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Undang-Undang No. 9 Tahun
1979 tentang Narkotika memuat tentang jenis – jenis narkotika yaitu :

Bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 13 undang-
undang ini;
a. Garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;
b. Bahan lain, baik alamiah, sistetis maupun semi sintetis yang belum
disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila
penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang
merugikan seperti Morfina atau kokaina.
c. Campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan
yang tersebut dalam huruf a, b, dan c.

  1. Tanaman Papaver adalah tanaman Papaver somniferum L. termasuk biji,
    buah dan jereaminya.
  2. Opium mentah adalah getah yang membeku sendiri diperoleh dari buah
    tanaman papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
    sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar
    morfinanya.
  3. Opium masalah adalah :
    a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
    rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan
    peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud
    merobahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan
    b. Kicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap tanpa memperhatikan
    apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
    c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
  4. Opium obat adalah opium mentah yang telah mengalami pengolahan
    sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam
    bentuk lain, atau dicampur dengan zat – zat netral sesuai dengan syaraf
    farmakope.
  5. Morfina adalah alkalida utama dari opium, dengan rumus kimia C17 H19
    No. 3.
  6. Tanaman koka adalah tanaman dari semua genus erythroxylon dari
    keluarga eryth roxylaceae.
  7. Daun koka adalah daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam
    bentuk serbuk dari semua tanaman genus erythroxylon dari keluarga
    erythroxylaceae, yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui
    perubahan kimia.
  8. Kokaina mentah adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka
    yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
  9. Kokaina adalah metil ester – 1 – bensoil ekgonina dengan rumus kimia
    C17H21NO4.
  10. Ekgonina adalah I-ekgonina dengan rumus kimia C9H15NO3H20 dan
    ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina
    Kokaina.
  11. Tanaman ganja adalah damar yang diambil dari tanaman genus cannabis,
    termasuk biji dan buahnya
    Damar ganja adalah damar yang diambil dari tanaman ganja termasuk
    hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.30
    Sebelum Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini berlaku, dipakailah
    Staatsblad 1937 No. 278 Jo. No. 536 dan disebut dengan Verdoovende Middelen
    Ordonantie yang telah diubah.
    Ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut,
    berhubung dengan perkembangan lalu lintas dan adanya alat-alat perhubungan
    dan pengangkutan moderen yang menyebabkan cepatnya penyebaran/pemasukan
    narkotika ke Indonesia, ditambah pula dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai
    dalam bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai untuk dapat
    mencapai hasil yang diharapkan. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak
    lagi sesuai dengan perkembangan zaman karena yang diatur di dalamnya hanyalah
    mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu
    dikenal dengan istilah Verdoovende Middelan atau obat bius. Sedangkan tentang
    pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak
    diatur.
    Narkotika adalah merupakan salah satu obat yang diperlukan dalam dunia
    pengobatan, demikian juga dalam bidang penelitian untuk tujuan pendidikan,
    pengembangan ilmu dan penerapannya. Tidak heran dengan hal tersebut maka
    perkembangan jenis-jenis narkotika semakin cepat sehingga undang-undang yang
    mengaturnya dirasakan tidak cocok lagi. Justru inilah yang pemerintah kita
    mengeluarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
    berlaku sekarang.
    Narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 di dalam pasal 1
    ayat (1) nya diterangkan :
    Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
    tanaman baik sintetis maupun semi sentetis yang dapat menyebabkan
    penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
    menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
    dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
    undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan
    Menteri kesehatan.
    Di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini diatur berbagai masalah
    yang berhubungan dengan narkotika meliputi pengaturan mengenai :
  12. Ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika
  13. Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika seperti penanaman,
    peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas, pengangkutan serta
    penggunaan narkotika.
  14. Ketentuan tentang wajib lapor bagi orang atau yang melakukan kegiatan-
    kegiatan sebagai tersebut dalam angka 2.
  15. Ketentuan yang mengatur penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
    depan pengadilan dari perkara yang berhubungan dengan narkotika yang
    karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan
    mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan
    pengadilan, memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang
    berlaku.31
    Meskipun diadakan penyimpangan dan pengaturan khusus, tidak berarti
    bahwa: hak asasi tersangka/terdakwa tidak dijamin atau dilindungi, bahkan
    diusahakan sedemikian rupa sehingga penyimpangan dan pengaturan khusus itu
    tidak merupakan penghapusan seluruh hak asasi tersangka/terdakwa, melainkan
    hanya pengurangan yang terpaksa dilakukan demi menyelamatkan bangsa dan
    negara dari bahaya yang ditimbulkan karena penyalahgunaan narkotika.
    Ketentuan tersebut antara lain ialah : bahwa dalam pemeriksaan di depan
    pengadilan, saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang
    dalam pemeriksaan dilarang dengan sengaja menyebut nama, alamat atau hal lain
    yang memberi kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor (pasal 76 ayat 1
    Undang-Undang No. 35 Tahun 2009).
    Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga memuat
    pengaturan tentang :
  16. Ketentuan yang mengatur tentang pemberian ganjaran (Premi)
  17. Ketentuan tentang pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika
  18. Ketentuan lain yang berhubungan dengan kerja sama internasional dalam
    penanggulangan narkotika.
    Guna memberikan efek prefentif yang lebih tinggi terhadap dilakukannya
    tindak pidana tersebut, demikian pula untuk memberikan keleluasaan kepada alat
    penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana tersebut secara efektif,
    maka ditentukan ancaman hukuman yang diperberat bagi pelaku tindak pidana,
    lebih lanjut dalam hal perbuatan tersebut dilakukan terhadap atau ditujukan
    kepada anak-anak di bawah umur.
    Karena Indonesia merupakan negara peserta dari konfrensi Tunggal
    Narkotika 1981, beserta protokol yang mengubahnya maka ketentuan-ketentuan
    dalam undang-undang ini telah pula disesuaikan dengan hal-hal yang diatur di
    dalam konferensi tersebut. Narkotika adalah sejenis zat (substance) yang peggunaannya diatur di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
    narkotika.
    Dengan berkembang pesatnya industri obat-obatan dewasa ini, maka
    kategori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti yang tertera dalam
    konferensi dan traktat internasional yang termasuk pula zat-zat yang mempunyai
    efek-efek lain di samping pembinaan

Unsur-Unsur Tindak Pidana


Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana . Tindak pidana adalah merupakan suatu pengertian yuridis, lain
halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau vebrechen
atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum atau secara
kriminologis). 22 Pengertian unsur tidak pidana hendaknya dibedakan dari
pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan
undang-undang. Pengertian yang perama (unsur), ialah lebih luas dari yang kedua
(unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana
pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUH Pidana. 23
Sedangkan PAF. Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana
dalam KUH Pidana pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua
macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif.24 Yang dimaksud unsur-unsur
subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu
adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu
keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak
pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur
tindak pidana, yaitu :
Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

  1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa).
  2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
    dimaksud dalam Pasal 53 (1) KUH Pidana.
  3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
    dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
    dan lain-lain.
  4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
    misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
    KUH Pidana.
  5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam
    rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUH Pidana.
    Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
    a. Sifat melanggar hukum
    b. Kualitas dari si pelaku
    c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
    dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat

Pengertian Tindak Pidana


Pengertian tindak pidana yang merupakan pendapat para sarjana terdapat
perbedaan dalam mendefinisikannya, ini dikarenakan masing-masing sarjana
memberikan definisi atau pengertian tentang tindak pidana itu berdasarkan
penggunaan sudut pandang yang berbeda-beda.
Pompe dalam bukunya Sudarto mengatakan, tindak pidana sebagai “suatu
tingkah laku yang dalam ketentuan undang-undang dirumuskan sebagai sesuatu
yang dapat dipidana”. 15 Beliau juga membedakan mengenai pengertian tindak
pidana (strafbaar feit) menjadi dua, yaitu :

  1. Definisi teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu
    pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si
    pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum
    dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
  2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit”
    adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang
    dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.16
    Pembahasan pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana
    sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar
    pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu
    dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang
    mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “straf” yang
    dapat diartikan juga sebagai “hukuman”. Seperti dikemukakan oleh Moeljatno
    bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” ini dan istilah “dihukum”
    yang berasal dari perkataan “wordt gestraft”, adalah merupakan istilah-istilah
    konvensional.17
    Saleh mengatakan bahwa, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud
    suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik
    itu. 18 Sir Rupert Cross, mengatakan bahwa pidana berarti pengenaan penderitaan
    oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.19
    Definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan
    bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut :
  3. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
    nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak menyenangkan;
  4. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
    mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
  5. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
    pidana menurut undang-undang.20
    Sedangkan PAF. Lamintang, mengatakan bahwa pidana itu sebenarnya
    hanya merupakan suatu penderitaaan atau suatu alat belaka. Hal itu berarti pidana
    itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.
    Pernyataan yang dikemukakan oleh Lamintang tersebut di atas adalah untuk
    mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan pemidanaan yang
    sering diartikan sama dengan menyebut tujuan pemidanaan dengan perkataan
    “tujuan pidana”

Informasi Elektronik /atau Dokumen Elektronik


Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, terdapat beberapa butir dalam Pasal 1 yang menjelaskan tentang
beberapa terminologi, yaitu data elektronik, informasi elektronik, dan dokumen
elektronik. Terminologi-terminologi ini menggambarkan beberapa konsep yang
saling mencakupi, sehingga perlu diberikan penjelasan tentang posisi masing-
masing konsep tadi.
Apabila masing-masing terminologi ini diilustrasikan dalam bentuk
“pohon porphyrius”, maka akan terlihat dengan jelas cakupannya. Konsep yang
paling konkret diletakkan paling bawah, yakni dokumen elektronik; sementara
yang paling abstrak ditaruh pada posisi teratas, yaitu data elektronik. Dokumen
elektronik adalah informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk-bentuk: analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui komputer atau sistem elekronik. Jadi, genus proximum (genus terdekat)
dari dokumen elekronik adalah informasi elektronik. Semua dokumen elektronik
adalah informasi elektronik, tetapi tidak semua informasi elektronik adalah
dokumen elektronik. Sebab, sekalipun kecil kemungkinannya, dapat saja terjadi
ada informasi elektronik yang tidak memenuhi kualifikasi untuk disebut
dokumen elektronik.
Pada tingkat berikutnya, terdapat informasi elektronik yang
didefinisikan sebagai data elektronik yang telah diolah, yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Data elektronik
adalah genus proximum dari informasi elektronik. Artinya, semua informasi
elektronik adalah data elektronik, sedangkan tidak semua data elektronik
merupakan informasi elektronik. Hanya data elektronik tertentu saja, yang dapat
disebut informasi elektronik.
Dalam definisi yang tertera dalam Pasal 1 butir 1 dan butir 4, memang
terdapat denotasi dari informasi elektronik dan dokumen elektronik itu. Denotasi
informasi elektronik adalah data berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol, atau perforasi. Denotasi ini sesungguhnya adalah “anggota-anggota”
(ekstensi) dari data elektronik yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai
informasi elektronik. Namun, denotasi di sini tidak bersifat limitatif, karena
dibuka kemungkinan atau alternatif lain di luar yang disebutkan di dalam Pasal 1
butir 1. Kata-kata “termasuk tetapi tidak terbatas pada” yang digunakan di dalam
rumusan Pasal 1 butir 1 tersebut bisa melingkupi bentuk-bentuk data yang sangat
banyak, sehingga denotasi seperti ini sebenarnya tidak perlu dicantumkan dalam
bab ketentuan umum.
Demikian juga halnya dengan denotasi dalam Pasal 1 butir 4 yang
menjelaskan makna dari dokumen elektronik. Di sini juga diberikan contoh-
contohnya, yaitu berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi. Lagi-lagi,
bentuk-bentuk ini tidaklah limitatif karena “…termasuk tetapi tidak terbatas

Manipulasi


Manipulasi adalah sebuah proses rekayasa yang secara disengaja
dengan melakukan penambahan, penyembunyian, penghilangan atau
pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah sumber informasi,
subtansi, realitas, kenyataan, fakta-fakta, data ataupun sejarah yang dibuat
berdasarkan sistem perancangan yang bisa dilakukan secara individu,
kelompok atau sebuah tata sistem nilai, manipulasi adalah bagian penting dari
suatu tujuan tertentu dalam hal tindakan penanaman gagasan, dogma,
doktrinisme, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.9
Kejahatan seperti manipulasi data sering terjadi di social media seperti
instagram. Pelaku dengan sengaja mempromosikan sesuatu data atau surat
yang dimana seakan-akan otentik untuk mendapak sebuah keuntungan.
Karakteristik suatu perbuatan dapat dikatakan manipulasi adalah
sebagai berikut :10
a. Dilakukan dengan sengaja; Kesengajaan haruslah dapat dibuktikan bahwa
pembuat “menghendaki” dilakukan tindak pidana tersebut, pembuat
mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan yang ia lakukan adalah
melawan hukum.
b. Mengandung ketidakpastian; Artinya sebuah informasi ataupun berita yag
dimanipulasi tidak jelas kebenaran dari isinya.
c. Dilakukan terhadap Informasi dan Data Elektronik yang sudah ada;
Manipulasi dilakukan terhadap informasi dan data elektronik yang sudah
ada, apabila dilakukan terhadap informasi dan data elektronik yang belum
ada maka ia melakukan “penciptaan” (menjadikan sesuatu yang baru).
d. Dilakukan dengan tujuan yang jahat/tidak baik; fat perbuatan “merubah”
dengan “manipulasi” itu sama yakni membuat Informasi dan data
elektronik lain dari yang sebenarnya (yang asli), tapi juga mengandung
sifat yang berbeda pula. Dalam “manipulasi” terkandung sifat jahat
(negatif), sedangkan “merubah” tidak mengandung konotasi jahat.
e. Perbuatan: penambahan, persembunyian, penghilangan atau pengkaburan.
Perbuatan yang dilakukan terhadap objeknya yang di manipulasi dengan
cara penambahan, persembunyian, penghilangan atau pengkaburan yang
dibuat seolah informasi dan/atau data elektronik tersebut adalah asli.
Dalam uu ite kita mengenal manipulasi data yang dimana
Manipulasi data adalah salah satu perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab dari dalam
ataupun dari luar organisasi dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan pribadi atau kelompok yang secara langsung merugikan pihak
lain. Dalam KBBI pengertian manipulasi data adalah proses rekayasa
dengan melakukan penambahan, penyembunyian, penghilangan atau
pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan,
fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan perancangan
sebuah tata sistem nilai yang merupakan tindakan yang tidak terpuji

Unsur-unsur Tindak Pidana


Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur
tentang tindak pidana. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada
umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam
rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri
atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari
perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau
dilanggar.7
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah:
a) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan)
b) Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
c) Melawan hukum (onrechtmatig)
d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand) oleh orang
yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatoaar person).
Menurut A.Fuad Usfa, dalam bukunya “Pengantar Hukum Pidana”
mengemukakan bahwa:
a. Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi:

  1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan Culpa);
  2. Maksud pada suatu perobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal
    53 ayat (1) KUHP);
  3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya terdapat
    dalam tindak pidana pencurian;
  4. Merencakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam
    Pasal 340 KUHP.
    b. Unsur Objektif Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku
    yang terdiri atas :
    Perbuatan manusia, berupa:
    a) Act, yakni perbuatan aktif atau positif;
    b) Omissions, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif yaitu
    perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
  5. Akibat (Result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan
    atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan
    yang diperintahkan oleh hukum, misalnya nyawa, badan,
    kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.
  6. Keadaan-keadaan (Circumstances). Pada umumnya keadaan ini
    dibedakan antara lain:
    a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
    b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan ;
    c. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
    Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
    membebaskan perilaku dari hukum

Klasifikasi Tindak Pidana


Membagi kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu
atau mengklasifikasikan dapat sangat beraneka ragam sesuai dengan
kehendak yang mengklasifikasikan, menurut dasar apa yang diinginkan,
demikian pula halnya dengan jenis-jenis tindak pidana.KUHP telah
mengklasifikasikan tindak pidana ke dalam 2 (dua) kelompok besar,
yaitu dalam buku kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok
kejahatan dan pelanggaran.4
Menurut M.v.T. dalam bukunya Smidt.L sebagaimana dikutip oleh
Moeljatno, pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan
prinsipil.
Dikatakan, bahwa kejahatan adalah rechtsdelicten, yaitu:
“perbuatanperbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-
Undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht,
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran
sebaliknya adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang
menentukan demikian”.
Menurut Tongat dalam bukunya “dasar-dasar hukum pidana
Indonesia dalam perspektif pembaharuan” sebagaimana dikutip oleh
Mahrus Ali, bahwa kejahatan dan pelanggaran adalah sebagai berikut :
“kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam
pidana dalam suatu Undang-Undang atau tidak. Sekalipun tidak
dirumuskan sebagai delik dalam Undang-Undang, perbuatan ini
benarbenar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut
mala in se, artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat
karena sifat perbuatan tersebut memang jahat”.5
“pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru
disadari sebagai perbuatan pidana, karena Undang-Undang
merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap
sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena Undang-Undang
mengancamnya dengan sanksi pidana. Perbuatan pidana jenis ini
disebut juga dengan istilah mala prohibita (malum prohibitum
crimes).6
2) Tindak pidana formil dan tindak pidana materil.
Pada umumnya rumusan delik didalam KUHP merupakan
rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh
pelakunya. Delik formil adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan
yang dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu.
Perumusan tindak pidana formil tidak membutuhkan dan
memperhatikan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan yang
sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata
pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP)
untuk selesainya pencurian bergantung pada selesainya perbuatan.
Sebaliknya, tindak pidana materiil inti larangan adalah pada
timbulnya akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang di pertanggung
jawabkan dan dipidana.
3) Berdasarkan bentuk kesalahan,
Bentuk kesalahan dibedakan antara tindak pidana sengaja
(dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa). Tindak
pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung
unsurkesengajaan, sedangkan tindak pidana tidak sengaja adalah
tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.
4) Berdasarkan macam perbuatannya,
Perbuatannya dapat dibedakan antara tindak pidana aktif dan
dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana
pasifdisebut juga tindak pidana omisi. Tindak pidana aktif adalah
tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif.
Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya
diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang
berbuat. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam
KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada 2 (dua),
yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak
murni.Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana yang
dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya
semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.
Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak
pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi
dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif atau tindak pidana
yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan
tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benarbenar
timbul.
5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya,
Saat dan Jangka waktu dapat dibedakan antara tindak pidana
terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau
berlangsung lama atau berlangsung terus menerus. Tindak pidana
yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya
atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,
disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya, ada tindak
pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya
tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan
dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus menerus
yang disebut dengan voordurende delicten. Tindak pidana ini juga
dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu
keadaan yang terlarang.
6) Berdasarkan sumbernya,
Sumber dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak
pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum
pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu, tindak
pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar
kodifikasi KUHP.
7) Dilihat dari segi subjekny
Dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana
yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria
(tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang
berkualitas tertentu). Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk
dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang. Akan tetapi, ada
perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan
oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya: pegawai
negeri (pada kejahatan jabatan) dan nakhoda (pada kejahatan
pelayaran).
8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan
Maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak
pidana aduan. Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah
tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap
pembuatnya dantidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang
berhak. Sementara itu, tindak aduan adalah tindak pidana yang
dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya
pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan.
9) Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan,
Dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak
pidana diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari
berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi
a. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau
dapat juga disebut dengan bentuk standar;
b. Dalam bentuk yang diperberat;
c. Dalam bentuk ringan

Pengertian Tindak Pidana


Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan
dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana
disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata
delictum. Dalam kamus hukum, “Delik adalah perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-
undang (tindak pidana).1
Tindak pidana atau strafbaar feit dalam bahasa Belanda memiliki arti
yaitu tindak pidana, delik, perbuatan pidana atau perbuatan yang di pidana.
Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, apabila perbuatan
tersebut telah diatur dalam undang-undang, sesuai dengan Asas Legalitas
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2
Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk menggambarkan
suatu perbuatan yang dapat dipidana, dalam bahasa belanda disebut sebagai
straftbaarfeit. Istilah lain yang pernahdigunakan untuk menggambarkan
perbuatan yang dapat dipidana adalah:

  1. Peristiwa pidana .
  2. Perbuatan pidana.
  3. Pelanggaran pidana.
  4. Perbuatan yang dapat dihukum

Pengaturan Tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech)


Negara Indonesia dalam pengaturannya terhadap kejahatan ujaran
kebencian,memiliki tiga buah aturan hukum yang mengatur tentang
kejahatan ini. Aturan ini dibagi menjadi dua yaitu aturan yang bersifat
umum dan aturan yang bersifat khusus.Kejahatan ujaran kebencian dalam
pengaturan yang bersifat umum terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, delik ujaran kebencian ini diatur
dalam Pasal 156, Pasal 156A, Pasal 157 (1) dan (2), yang mana bunyinya
adalah:
Pasal 156
“Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian
atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 156A
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa
dengan sengaja di muka umuam mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan :
a) yang ada pada pokokmya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b) dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 157
(1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan
tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung
pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara
atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud
supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”
(2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada
waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima
tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu
juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian
tersebut.”
Dari pasal-pasal diatas dapat kita lihat jika KUHP dalam perumusan
delik tidak memberikan batasan-batasan yang bersifat jelas mengenai
tindakan-tindakan apa saja yang dapat digolongkan sebagai pernyatan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Suku, Agama, Ras, dan
Antar Golongan yang merupakan pondasi utama dari delik ujaran
kebencian ini. KUHP juga tidak secara khusus menyebutkan media apa
saja yang dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan ujaran kebencian
tersebut, melainkan hanya media yang bersifat tulisan dimuka umum saja,
sedangkan dengan keadaan internet yang sudah marak penggunaannya saat
ini, ujaran kebencian sangat sering dilakukan melalui media itu dan secara
khusus pula KUHP tidak mengaturnya.
Undang-Undang selanjutnya yang mengatur ujaran kebencian secara
khusus adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Delik ujaran kebencian alam undang-undang ini terdapat dalam
Pasal 28 (2), yang bunyinya adalah :
Pasal 28 (2)
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yangditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan”
Dari perumusan pasal diatas, dibandingkan dengan KUHP, maka dapat kita
lihat bahwa undang-undang ini memuat sedikit lebih selengkap tentang
ruang lingkup ujaran kebencian yaitu kebencian yang menyangkut suku,
agama, ras, dan antar golongan. Karena pada dasarnya undang-undang ini
merupakan undang-undang yang mengatur tentang kejahatan cyber, maka
tentunya perumusan pasal 28 (2) tadi dapat digunakan sebagai dasar hukum
untuk menjerat pelaku ujaran kebencian yang dilakukan dengan media
online atau internet seperti yang sekarang ini sangat marak dilakukan,
tetapi tetap seperti KUHP sebelumnya, tidak ada pengaturan yang jelas
tentang kriteria perbuatan apa saja yang dikateorikan sebagai tindakan
yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu.
Terhadap kejahatan ujaran kebencian yang sudah sangat marak
dilakukan, maka pada Tahun 2015, tepatnya pada tanggal 8 Oktober 2015,
Kapolri, Jendral Polisi Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran Tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ber-Nomor SE/06/X/2015.
Surat Edaran ini pada dasarnya hanya digunakan sebagai pedoman bagi
anggota Polri agar dapat menangulangi kejahatan ujaran kebencian secara
maksimal. Pada surat edaran ini dijabarkan secara jelas tentang tindakan-
tindakan apa saja yang merupakan bentuk perbuatan yang mengandung
kebencian. Tindakan-tindakan ini terdapat pada No. 2 huruf (f) surat edaran
ini yang menyatakan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain :

  1. Penghinaan
  2. Pencemaran nama baik
  3. Penistaan
  4. Perbuatan tidak menyenangkan
  5. Memprovokasi
  6. Menghasut
  7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan
    atau bias berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan
    nyawa, dan atau konflik sosial.
    Selanjutnya pada huruf (g) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana
    disebut di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian
    terhadap individu dan atau kelompok masyarakat, dalam berbagai
    komunitas yang dibedakan dari aspek :
  8. Suku
  9. Agama
  10. Aliran Keagamaan
  11. Keyakinan atau kepercayaan
  12. Ras
  13. Antargolongan
  14. Warna Kulit
  15. Etnis
  16. Gender
  17. Kaum difabel
  18. Orientasi Seksual
    Pada huruf (h) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di
    atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain :
  19. Dalam orasi kegiatan kampanye
  20. Spanduk atau banner
  21. Jejaring media social
  22. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi)
  23. Ceramah keagamaan
  24. Media masa cetak atau elektronik
  25. Pamphlet
    Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Surat Edaran Kapolri Nomor
    SE/06/X/2015, sudah secara lengkap menjabarkan tentang perbuatan, aspek,
    dan media apa saja yang dapat dilakukan dan digunakan dalam tindak
    pidana ujaran kebencian secara keseluruhan.

Pengertian Ujaran Kebencian (Hate Speech)


Arti dari pada Ujaran Kebencian (Hate Speech) sendiri adalah Tindakan
komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam
bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok
yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat,
orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.27
Ruang lingkup kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) tergolong ke
dalam tindak pidana terhadap kehormatan, istilah lain yang juga umum
dipergunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan adalah tindak
Dalam arti hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan,
perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu
terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku
pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang
menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian (Hate Speech)ini
disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum
Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.
pidana penghinaan. Dipandang dari sisi sasaran atau objek delicti, yang
merupakan maksud atau tujuan dari Pasal tersebut yakni melindungi
kehormatan, maka tindak pidana terhadap kehormatan lebih tepat.Pembuat
undang-undang,sejak semula bermaksud melindungi kehormatan dan
nama baik
Selama ini, Ujaran Kebencian (Hate Speech) berdampak pada pelanggaran
HAM ringan hingga berat. Selalu awalnya hanya kata-kata, baik di media
sosial, maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu menggerakan massa
hingga memicu konflik dan pertumpahan darah. Oleh sebab itu maka di
perlukan adanya suatu tindakan dari para aparat dan penegak hukum
khususnya Kepolisian untuk mencegah dan melakukan tindakan preventif
maupun represif dalam menangani kasus Ujaran Kebencian (Hate
Speech) ini. Apabila tidak ditangani dengan efektif efisien dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan berpotensi
memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan
tindak diskriminasi, kekerasan dan atau penghilangan nyawa

Jenis-Jenis Cyber Crime


Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang
berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam
beberapa bentuk sesuai modus operandi yang ada, antara lain:26

  1. Unauthorized Access to Computer System and Service
    Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu
    sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa
    sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang
    dimasukinya.Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan
    maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan
    rahasia.Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena
    merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem
    yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak
    dengan berkembangnya Teknologi Internet/intranet.
  2. Illegal Contents
    Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke
    Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat
    dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
    Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan
    menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang
    berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang
    merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan
    pemerintahan yang sah dan sebagainya
  3. Data Forgery
    Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen
    penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet.
    Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce
    dengan membuat seolah-olah terjadi”salah ketik” yang pada akhirnya
    akan menguntungkan pelaku karena korban akan memasukkan data
    pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalahgunakan.data
    pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalahgunakan.
  4. Cyber Espionage
    Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk
    melakukan kegiatan matamata terhadap pihak lain, dengan memasuki
    sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.
    32
    Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen
    ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam suatu sistem yang
    computerized (tersambung dalam jaringankomputer).
  5. Cyber Sabotage and Extortion
    Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau
    penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem
    jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Biasanya kejahatan
    ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer
    ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau
    sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan
    sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki
    olehpelaku.
  6. Offense Against Intellectual Property
    Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang
    dimiliki pihak laindi Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada
    web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu
    informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang
    lain, dansebagainya.
  7. Infringements of Privacy
    Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang
    yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara
    computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat
    merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu
    kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi.

Pengertian Cyber Crime


Perkembangan internet ternyata membawa sisi negatif, dengan membuka
peluang munculnya tindakan anti sosial yang selama ini dianggap tidak
mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi. Sebuah teori menyatakan
crime is product of sociaty it self, yang secara sederhana dapat diartikan
bahwa masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan.
Cyber crime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi.Secara teknis tindak pidana tersebut dapat dibedakan
menjadi offline crime, semi online crime, cyber crime.Masing-masing
memiliki karakteristik tersendiri, namun perbedaan utama di antara
ketiganya adalah keterhubungan dengan jaringan informasi publik.Jadi
dismpulkan bahwa cyber crime merupakan perkembangan lebih lanjut dari
kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi komputer.
Secara sederhana, yang dimaksud dengan cyber crime adalah setiap
tindakan atau perilaku yang melanggar/melawan hukum, etika atau tanpa
kewengangan yang menyangkut pemrosesan data dan/atau pengiriman
data.Umumnya perbuatan tersebut dilakukan dengan atau melalui perangkat
digital dalam suatu dunia maya (Cyber).
Cyber crime dalam arti luas dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum
yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau
komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak,
dengan merugikan pihak lain. Secara sempit computer crime didefinisikan
sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
teknologi komputer yang canggih.
Kejahatan jenis ini berkembang seiring dengan perkembangan dunia cyber
itu sendiri.Pada masa-masa awal saat sistem dan jaringan dunia maya masih
sederhana, cyber crime pada umumnya hanya terbatas pada penyusupan atau
akses illegal pada sistem komputer atau layanan komputer lainnya. Dalam
perkembangannya pada saat ini cyber crime yang popular yang sering
dilakukan adalah credit card froud, stock exchange froud, banking froud,
child pornography, drug trafficking, cyber bullying, dan, cyber hate speech.
Berdasarkan beberapa literatur serta prakteknya, cyber crime memiliki
karakter yang khas dibandingkan kejahatan konvensional, anatara lain :

  1. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidka etis
    tersebut terjadi di ruang atau wilayah maya (cyberspace), sehinga tidak
    dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara mana yang berlaku
    terhadapnya.
  2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun
    yang dapat terhubung dengan internet.
    29
  3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materil maupun imateril
    (waktu, nilai, jasa, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi)
    yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional.
  4. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta
    aplikasinya.
  5. Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara transnasional/melintasi
    batas.
    Komputer sebagai barang berwujud dan berharga sudah tentu dapat menjadi
    objek kejahatan. Dalam hal ini, Andi Hamzah membagi 2 (dua) pengertian
    mengenai kejahatan yaitu :
  6. Kejahatan biasa atau Konvensional
    Adalah komputer dapat menjadi objek (fisik/real), bukan media atau alat
    untuk melakukan kejahatan.Misalnya perbuatan mencuri perangkat
    komputer, merampok komputer, merusak komputer seperti membakar,
    memecah, menembak, dan sebagainya.
  7. Penyalahgunaan Komputer
    Adalah komputer menjadi alat atau media (dunia maya) untuk
    melakukan kejahatan seperti mencuri uang melalui komputer,
    menggelapkan uang, korupsi, membocorkan rahasia perusahaan, rahasia
    negara, mata-mata, dan sebagainya.
    Menurut Donn B. Parker :
    “Computer abuse is broadly defined to be any incident associated with
    computer technology in wich a victim suffered or could suffered loss and
    perpetrator by intention made or could have gain”.
    Penyalahgunaan komputer didefinisikan secara luas sebagai suatu
    kejadian yang berhubungan dengan teknologi komputer, yang seorang
    korban menderita kerugian dan seorang pelaku dengan sengaja
    memperoleh keuntungan atau akan telah memperoleh keuntungan

Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Pidana


Kebijakan Penal merupakan suatu bentuk dari Kebijakan atau politik hukum
pidana itu sendiri.Pada Prinsipnya kebijakan hukum pidana ini ada dua jenis
yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal.Dua jenis kebijakan ini
merupakan bagian dari politik hukum pidana. Menurut Prof. Sudarto, politik
hukum pidana adalah usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk
masa-masa yang akan datang.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.Jadi
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka
politik hukum pidana identik degan pengertian “kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana”. Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum
pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana
materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan
pidana.
Menurut Sudarto, “Politik Hukum” mempunyai dua arti, yaitu Usaha
untuk mewujudkan peraturan-peratuan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu23 dan Kebijakan dari Negara melalui badan-badan
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki
yang diperkirakan bias digunakan untuk mengekspersikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.24
Dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana (penal policy), maka sasaran
dari hukum pidana tidak hanya mengatur pebuatan warga masyarakat pada
umumnya, tetapi juga mengatur perbuatan (dalam arti
“kewenangan/kekuasaan”) penguasa/aparat penegak hukum. Jadi Kebijakan
Hukum Pidana pada hakikatnya mengandung kebijakan mengatur atau
mengalokasi dan membatasi kekuasaan, baik kekuasaan atau kewenangan
warga masyarakat pada umumnya maupun kekuasaan atau kewenangan
penguasa atau penegak hukum. 25
Kebijakan penegakan hukum pidana
merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu
yang pertama adalah tahap kebijakan legislatif (formulatif), yang kedua dalah
tahap kebijakan yudikatif (aplikatif), dan yang ketiga adalah tahap kebijakan
eksekutif (administratif)

Pemidanaan


Pada dasarnya, pemidanaan dikelompokkan dalam 3 teori besar yaitu :

  1. Teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldingtheorien)
    Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan.Negara berhak
    menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan
    penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum. Oleh
    karena itu ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan kejahatan
    yang telah dilakukannya.
  2. Teori relatif atau teori tujuan (Doel theorien)
    Teori ini berpokok pangkal bahwa pidana adalah alat untuk
    menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.Tujuan pidana
    adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu
    diperlukan pidana.Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu
    kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.
  3. Teori gabungan (Vernegings theorien)
    Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
    pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini dibedakan menjadi dua
    golongan besar yaitu :
    a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi tidak
    boleh melampaui batas dan cukup untuk dapatnya
    dipertahankannya tata tertib masyarakat.
    b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
    masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
    lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana

Pidana


Pidana secara umum berasal dari katastraf (Belanda),yang pada
dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja
dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah
melakukan tindak pidana. Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan
bahwa pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri
sebagai berikut :

  1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
    atau nestapa atau akibat-akibat lainnyayang tidak menyenangkan ;
  2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
    memiliki kekuasaan (oleh yang berwenang)
  3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
    pidana menurut undang-undang

Pertanggungjawaban Pidana


Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas),
yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan
yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan
asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.Walaupun Konsep
berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan,
namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan
pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).Masalah kesesatan (error)
baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan
mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku
tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.17

  1. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang
    bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat
    dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada
    pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.
    Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan
    untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
    norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang
    ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa
    damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
    pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah
    pada terpidana.
    Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
    kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri
    dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
    Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si
    pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi
    pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
  2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si
    pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat
    yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti
    akan mengikuti perbuatan itu.
  3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Kesengajaan ini yang
    terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat
    yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan
    belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena
    merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai
    pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.18
    Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga
    culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu
    delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan
    pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik
    kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat,
    tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu
    sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian
    yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik
    kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu
    sendiri sudah diancam dengan pidana.19
  4. Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh
    hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat
    tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian
    tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang
    seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran
    bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.
    Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa
    akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya.
    Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
  5. Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh
    hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian
    kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan
    yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.20
    Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu
    mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
    dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau
    tidak.Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
    yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
    Undang-undang.
    Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
    dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
    tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
    sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut
    kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu
    bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
    Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas
    pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya
    seseorang yang melakukan perbuatansebagaimana yang telah diancamkan,
    ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia
    mempunyai kesalahan.21
  6. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari
    si pembuat.
    Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
    menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
  7. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang
    terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau
    lalai.
  8. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
    pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
    Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan
    bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan
    adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi.Mengingat hal ini sukar
    untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
    kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
    umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab,
    kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin
    jiwanya tidak normal.Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan
    yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh
    pihak terdakwa.Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa
    kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada
    dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak
    ada kesalahan.
    Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1)
    KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
    dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
    pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut
    Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain,
    misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal
    tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44
    KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua
    syarat yaitu:22
  9. Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna
    akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang
    mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan
    keadaan ini harus terus menerus.
  10. Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
    melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang
    timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat
    menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
    Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
    buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat
    membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Kemampuan
    untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya
    perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)
    yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana
    yang diperbolehkan dan mana yang tidak.Sebagai konsekuensi dari dua hal
    tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya
    menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai
    kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat
    dipertanggungjawabkan.
    Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa
    pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang
    melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan
    dalam undang-undang, maka orang tersebut patut
    mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan
    kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan
    mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia
    mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
    melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
    normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut

Tindak Pidana


Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
yang mana larangan ini disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas
Hukum Pidana Indonesia, memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam
bahasa Belanda disebut sebagai strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan
istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia.
Tindak pidana merupakan suatu dasar pokok dalam menjatuhi pidana
pada orang yang telah melakuan perbuatan pidana atas dasar
pertanggungjawaban diri orang tersebut atas perbuatan yang telah
diakukannya. Tetapi di lain sisi, tidak semua perbuatan dapat dijatuhi
pidana karena mengacu kepada asas legalitas yaitu asas yang menentukan
bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika
tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Asas legalitas yang dimaksud di atas mengandung tiga pengertian,
yaitu :13

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
    hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-
    undang.
  2. Untuk memnentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan
    analogi.
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
    Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang
    dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan kejahatan, jadi untuk
    adanya kesalahan, hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang
    menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan.
    Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk
    kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat
    menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena orang tersebut
    telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga
    atas perbuatannya tersebut maka dia harus mempertanggungjawabkan
    segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili
    dan bilamana telah terbukti benar bahwa terjadinya tindak pidana
    dikarenakan orang tersebut, maka orang tersebut dapat dijatuhi hukuman
    pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya14
    Pada dasarnya, tindak pidana mempunyai 2 unsur yaitu unsur subjektif dan
    unsur objektif. 15
  4. Unsur Subjektif :
    Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri
    si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke
    dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.Unsur
    objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
    keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
    pelaku itu harus di lakukan.
    a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
    b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
    yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP
    c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
    misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
    pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
    d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
    terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
    e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
    pidana menurut Pasal 308 KUHP
    Unsur Objektif :
    a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;
    b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai
    negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau
    keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan
    Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
    c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai
    penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
    Prof Moeljatno berpendapat bahwa pada dasarnya tindak pidana itu hanya
    memiliki 3 unsur yaitu unsur perbuatan, unsur yang dilarang (oleh
    perarturan hukum), unsur ancaman pidana.
    Tindak pidana selain memiliki unsur-unsur, juga memiliki pembagian
    dalam jenis-jenis perbuatan pidananya.Perbuatan pidana dibedakan
    menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut:16
  5. Perbuatan pidana (delik) formil, adalah suatu perbuatan pidana yang
    sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan
    yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.
    Contoh: Pencurian adalah perbuatan yang sesuai dengan rumusan Pasal
    362 KUHP, yaitu mengambil barang milik orang lain dengan maksud
    hendak memiliki barang itu dengan melawanhukum.
  6. Perbuatan pidana (delik) materiil, adalah suatu perbuatan pidana yang
    dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.Contoh:
    pembunuhan. Dalam kasus pembunuhan yang dianggap sebagai delik
    adalah matinya seseorang yang merupakan akibat dari perbuatan
    seseorang.
  7. Perbuatan pidana (delik) dolus, adalah suatu perbuatan pidana yang
    dilakukan dengan sengaja. Contoh: pembunuhan berencana (Pasal 338
    KUHP)
  8. Perbuatan pidana (delik) culpa, adalah suatu perbuatan pidana yang
    tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan luka atau matinya
    seseorang. Contoh: Pasal 359 KUHP tentang kelalaian ataukealpaan.
  9. Delik aduan, adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan
    pengaduan orang lain. Jadi, sebelum ada pengaduan belum merupakan
    delik. Contoh: Pasal 284 mengenai perzinaan atau Pasal 310 mengenai
    Penghinaan.
  10. Delik politik, adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada
    keamanan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
    Contoh: Pasal 107 mengenai pemberontakanakan penggulingan
    pemerintahan yangsah

Hukum Pidana


Hukum Pidana pada dasarnya berpokok kepada dua hal utama yaitu
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana.10Hukum
pidana menentukan pula sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang
dilakukan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara
hukum pidana dengan hukum yang lainnya.11
Dari rumusan-rumusan definisi hukum pidana yang ada, menurut
Moeljatno dapat disimpulkan bahwa hukum pidana mengadakan dasar-dasar
dan aturan untuk : 12

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan masa yang tidak boleh dilakukan,
    yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
    tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
    melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
    sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
    dapatdilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
    melanggarlarangan tersebut

Hak Pengaduan


Bab VII Buku I KUHP, tidak disebutkan mengenai siapa yang mempunyai
hak Orijiner untuk mengadukan seseorang yang telah melakukan suatu delik
aduan pada dasarnya orang yang berhak mengajukan pengaduan adalah orang
yang terkena kejahatan (korban). Pasal 72 KUHP hanya menentukan siapa-siapa
yang berhak maju sebagai pengadu atau yang berhak menggantikan pengadu yang
orijiner. Pasal 72 KUHP menentukan :
a. Pasal 72 KUHP ayat (1)
Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas
pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau
orang yang dibawa pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan,
maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara
perdata yang berhak mengadu.
b. Pasal 72 KUHP ayat (2)
Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan
dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau
majelis yang menjadi pengampu pengawas. Juga mungkin atas pengaduan
istrinya, atau seorang keluarga sedara dalam garis lurus jika itu tidak ada,
atas pengaduan seorang keluarga sedara dalam garis menyimpang sampai
derajat ke tiga.
c. Pasal 73 KUHP bahwa :
Jika yang terkena kejahatan meninggal didalam tenggang yang ditentukan
dalam Pasal berikut, maka dapat memperpanjang tenggang itu, penuntutan
dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya atau suaminya (istrinya)
yang masih hidup, kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal tidak
kehendaki penuntutan.
Dari Pasal 73 KUHP, orang yang terlanggar kepentingan hukumnya oleh
kejahatan aduan, meskipun kemudian meninggal, maka hak mengajukan
pengaduan berlangsung selama tenggang waktu hak mengadu (masih ada). Sesuai
dengan Pasal 74 KUHP hak pengaduan itu beralih pada ahli warisnya
sebagaimana tercantum secara administratif dalam Pasal 73 KUHP. Hak
pengaduan ahli waris dari korban kejahatan aduan yang dimaksud dari Pasal 73
KUHP ini tidak berlaku dalam hal kejahatan aduan, persinahan (Pasal 284 ayat (3)
KUHP).
Dapat disimpulkan orang yang berhak untuk melakukan pengaduan dalam
kejahatan-kejahatan yang diisyaratkan adanya pengaduan untuk tuntutan
perkaranya, yakni orang-orang yang terkena peristiwa pidana itu atau dapat
disebut sebagai “Orang-orang terhadap siapa kejahatan itu ditujukan”. Walaupun
delik-delik aduan itu tidak diatur secara tersendiri dalam KUHP, maka yang
berhak mengajukan pengaduan juga diatur secara tersebar. Namun demikian,
generalisasi untuk hal dapat dilakukan, yakni bahwa si pengadu adalah orang yang
terhina dan menderita secara langsung karena kejahatan itu. Tentang pengaduan
ini Pasal 103 KUHAP :
1) Laporan atau aduan yang dilaporkan secara tertulis harus di tandatangani
oleh pelapor atau pengadu.
2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus di catat oleh
penyelidik dan di tandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus
disebutkan sebagai cetakan dalam laporan atau pengaduan tersebut.

  1. Tenggang Waktu Hak Pengadu Dalam Menarik Kembali Pengaduan.
    Pasal 74 KUHP menentukan bahwa tenggang waktu pengaduan hanya 6
    (enam) bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya delik aduan
    jika ia berada di Indonesia, jika ia berada diluar negeri batas waktunya 9
    (sembilan) bulan mengenai tenggang waktu pengaduan terdapat pengecualian
    pada Pasal 293 ayat (3) KUHP yaitu 9 (sembilan) bulan bila ia berada di
    Indonesia dan 12 (dua belas) bulan bila ia berada di luar Indonesia.
    Sekalipun seorang yang berhak mengadu sudah mengajukan pengaduan,
    namun kepadanya masih diberikan hak untuk menarik kembali pengaduannya
    dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak pengaduan diajukan, akan tetapi
    haknya untuk mengadu kembali telah hilang, pengaduan yang telah diajukan
    dapat ditarik kembali bilamana masih dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan.
    Setelah pengaduan diajukan (Pasal 75 KUHP), dalam hal berlakunya 3 (tiga)
    bulan itu hilang mulai keesokan hari dari pengaduan. Ketentuan boleh ditariknya
    pengaduan ini memberikan kemungkinan apabila setelah pengaduan, si pengadu
    berubah pikiran karena misalnya, si pembuat telah meminta maaf dan menyatakan
    penyesalannya itu istilah dalam praktik “telah damai”, maka pengadu dapat
    menarik kembali pengaduannya selama masih dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah
    pengaduan diajukan. Setelah pengaduan ditarik, maka tidak dapat diajukan lagi

Unsur-unsur Delik


Delik terdiri dari dua unsur pokok, yaitu :
a. Unsur pokok subjektif
Asas pokok hukum pidana tak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan
kesalahan yang dimaksud disini adalah sengaja dan kealpaan.
b. Unsur pokok objektif

  • perbuatan manusia yang berupa Act dan Omission. Act adalah perbuatan
    aktif atau perbuatan positif. Sedangkan Omission yaitu perbuatan yang
    tidak aktif atau perbuatan negatif. Dengan kata lain adalah mendiamkan
    atau membiarkan.
  • Akibat perbuatan manusia menghilangkan, merusak, membahayakan
    kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum. Misalnya
    nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan lain sebagainya.
  • Kedaan-keadaan yaitu keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan
    setelah perbuatan melawan hukum.
  • Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. 9
  • Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan dalam satu delik.
    Satu unsur saja tidak ada atau tidak didukung bukti, akan menyebabkan
    tersangka/terdakwa dapat dihukum. Penyelidik, penuntut umum harus
    dengan cermat meneliti tentang adanya unsur-unsur delik tersebut

Kualifikasi Delik Dalam Hukum Pidana


Strafbaar feit dapat diartikan dengan perkataan delik, sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh D. Simons delik adalah suatu tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang
yang dapat di pertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat di hukum. 6 Namun pada
dasarnya dalam suatu perkara pidana, proses penyelesaian perkara ditentukan
pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara,
yaitu delik aduan dan delik biasa

  1. Klasifikasi Delik
    Sudarto menyebutkan ruang lingkup delik umum tindak pidana, sebagai
    berikut : 7
    a. Kejahatan dan pelanggaran, pembagian delik ini dianut dalam sistem KUHP
    b. Delik formil dan delik materil
  2. Delik formil adalah delik yang perumusannya di titik beratkan kepada
    perbuatan yang dilarang. Delik tersebut selesai dengan dilakukannya
    perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Pada delik formil,
    suatu akibat tertentu hanya dapat memberatkan atau meringankan pidana,
    tetapi juga tanpa akibat perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan dapat di
    pidana. Misal penghasutan Pasal 169 KUHP dimuka umum menyatakan
    kebencian, permusuhan atau penghinaan terhadap suatu atau lebih
    golongan rakyat Indonesia.
  3. Delik Materil adalah delik yang rumusannya di titik beratkan kepada
    akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling
    banyak hanya ada percobaan. Pada delik materil kita berbicara tentang
    akibat “konstitutif”
    c. Delik Commissionis, Delik Omissionis dan Delik Commissionis per
    Omissionem Comissa.
  4. Delik Commissionis delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan,
    ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
  5. Delik Omissionis, delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah
    tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan atau diharuskan, misal tidak
    menghadap sebagai saksi dimuka pengadilan Pasal 522 KUHP.
  6. Delik Commissionis per Omissionem Comissa, delik yang berupa
    pelanggaran larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat
    dilakukan dengan cara tidak berbuat.
    d. Delik Dolus dan Delik Culpa (doleuse en culpose delicten).
  7. Delik Dolus yang memuat unsur kesengajaan misal, Pasal 310 KUHP.
  8. Delik Culpa delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal,
    Pasal 360 KUHP.
    e. Delik Tunggal dan Delik Berganda (enkelvoudge en samengestelde delicten).
  9. Delik Tunggal, delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
  10. Delik Berganda, delik yang baru merupakan delik, apabila melakukan
    beberapa kali perbuatan.
    f. Delik aduan dan delik laporan (klacht delicten en niet klacht delicten). Delik
    aduan delik yang penuntutnya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari
    pihak yang terluka (gelaedeerde partij). Misalnya penghinaan Pasal 310.
    Delik aduan dibedakan menurut sifatya sebagai:
  11. Delik aduan yang absolut ialah delik yang sifatnya hanya dapat dituntut
    berdasarkan pengaduan
  12. Delik aduan yang relative ialah karena dalam delik-delik ini ada
    hubungan istimewa antara pelaku dan korban
    g. Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi
  13. Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai
    unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai
    unsur yang meringankan. 8
  14. Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur
    bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur yang memberatkan.
    h. Delik selesai dan delik Berlanjut
  15. Delik selesai yaitu delik yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau
    tidak berbuat dan delik telah selasai ketika dilakukan, seperti kejahatan
    tentang penghasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun Pasal 330.
    Delik berlanjut yaitu delik yang terdiri atas melangsungkan atau
    membiarkan suatu keadaan yang terlarang walaupun keadaan itu pada
    mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan.

Unsur-Unsur Tindak Pidana


Untuk mengenakan pidana itu harus dipatuhi syarat-syarat tertentu, syarat-
syarat tertentu lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana, jadi seseorang
dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat-syarat
tindak pidana (Strafbaar feit). Menurut Sudarto pengertian unsur tindak pidana
Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, Hak Asasii Tersangka dan Peranan Pisikologi
Dalam Konteks KUHAP, Bina Aaksara, Jakarta 1987, Hal 137.
hendaknya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana
tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur) ialah
lebih luas dari pada kedua (unsur).
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada
umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-
unsur “subjektif” dan “objektif”. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif
ialah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan
diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung
didalam hatinya sedangkan unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan dimana tindakan
si pelaku itu harus dilakukan. 5
Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah :
a. Sifat melanggar hukum.
b. Kualitas si pelaku.
c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Jadi ada dua unsur esensial pengaduan yaitu :
1) Pernyataan tentang telah di perbuatnya tindak pidana oleh seseorang.
2) Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk dilakukan
penuntutan pidana ke sidang pengadilan

Pengertian Tindak Pidana


Menurut Moeljatno, Pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu
pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian
yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah
hukum maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau
pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana
dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,
sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan
pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan perlu disampaikan disini
bahwa, pidana merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus
sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “Straf” yang dapat diartikan sebagai
hukuman.1
Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah tindak pidana adalah tetap
dipergunakan dengan istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda Strafbaar
Feit yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan
pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. 2
Roeslan Saleh, mengartikan istilah Strafbaar Feit sebagai suatu perbuatan
yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum,
dimana syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada
aturan yang melarang. 3
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
“perbuatan jahat” atau “ kejahatan” (crime atau Verbrechen atau Misdaat) yang
diartikan secara kriminologis dan pisikologis, mengenai isi dari pengertian tindak
pidana tidak ada kesatuan pendapat diantara para sarjana, sebagai gambaran
umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko
Prakoso menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana
adalah perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara pisikologis kejahatan
atau tindak pidana adalah perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat
melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari perbuatan si
pelaku tersebut.

Tinjauan Umum Tentang Polri


Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam Pasal 1 ayat(1) dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal-
ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam Undang-undang ini mengandung
dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-
undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi
kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom
dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ
pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan
menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Dari tugas-tugas polri tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tugas
polri ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban, menjamin dan
memelihara keselamatan negara, orang, benda dan masyarakat serta
mengusahakan ketaatan warga Negara dan masyarakat terhadap peraturan negara.
Tugas ini dikategorikan sebagai tugas preventif dan tugas yang kedua adalah tugas
represif. Tugas ini untuk menindak segala hal yang dapat mengacaukan keamanan
masyarakat, bangsa, dan negara.

Pengertian Pemidanaan


Pemidanaan ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang- undang hukum
pidana.
Ada tiga teori pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana yaitu : 34

  1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
    Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
    kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan
    terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa
    sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
    melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada
    sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga
    sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
  2. Teori Utilitarian (Teori Relatif atau Teori Tujuan)
    Berdasarkan teori ini bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas
    kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk
    melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan
    pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan,
    maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini
    muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan
    khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang
    ditujukan kemasyarakat.
    Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif,
    detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi
    masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat.
    Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan
    kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang.
    Ada dua macam prevensi yang dikenal yaitu prevensi khusus dan prevensi
    umum. Keduanya berdasarkan atas gagasan, bahwa sejak mulai dengan
    ancaman akan pidana sampai kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang
    akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi khusus, suatu hukuman
    atau ancaman pidana ditujukan kepada si penjahat agar si penjahat tajut
    melakukan kejahatan, sedangkan dalam prevensi umum suatu hukuman atau
    ancaman pidana dimaksudkan agar semua oknum takut melakukan kejahatan.
  3. Teori Gabungan
    Teori Gabungan, pertama kali diajukan oleh Pellegrino Rossi (1787-1884).
    Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena
    menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan retributif sebagai
    satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung
    karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam
    menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter utilitariannya terletak
    pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau
    perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Pengertian Anak


Anak dipahami sebagai individu yang belum dewasa. Dewasa dalam arti anak
belum memiliki kematangan rasional, emosional, moral, dan sosial seperti orang
dewasa pada umumnya.
Beberapa pengertian tentang anak yang dikatakan belum dewasa:

  1. Pengertian anak menurut Hukum Pidana. KUHP tidak merumuskan secara
    eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal
    45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia maksimal adalah 16 (enam belas)
    tahun. Pasal ini sudah tidak berlaku lagi karena pasal ini telah dicabut oleh
    Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak.
  2. Pengertian anak menurut Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang Hukum
    Perdata Pasal 330 ayat (1) didefenisikan bahwa anak yang belum dewasa
    adalah anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan pernah
    kawin sebelumnya.
  3. Pengertian anak menurut Hukum Islam. Dalam hukum Islam batasan anak di
    bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Seseorang yang dikatakan baliq
    atau dewasa apabila telah memenuhi satu dari sifat di bawah ini :
    a. Telah berumur 15 (lima belas) tahun;
    b. Telah keluar air mani bagi laki-laki;
    c. Telah datang haid bagi perempuan;
    batasan itu berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda- tanda perubahan
    badaniah baik bagi anak laki- laki, demikian pula bagi anak perempuan.
    Menurut Hukum Islam, anak disebut orang yang belum baliq atau belum
    berakal jika dianggap belum cakap untuk bebuat atau bertindak.
    Selanjutnya beberapa pengertian beberapa pengertian anak menurut peraturan
    perundang- undangan yang berlaku di Indonesia mengenai anak, sebagai berikut :
  4. Di dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
    pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa :
    “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
    termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
  5. Di dalam Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
    pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut : ”Anak
    adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8
    (Delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
    belum pernah kawin”.31 Selanjutnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
    bahwa batas bahwa usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana
    adalah 12 tahun. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan
    emosional, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya
    bangsa Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak
    untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana
    dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia
    Tahun 1945.
  6. Di dalam Undang- undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
    pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut : Anak
    adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
    belum pernah menikah.
  7. Menurut Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
    Manusia.Anak didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 bahwa anak adalah setiap
    manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
    termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
    kepentingannya.
    Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
    bagi anak yang mempunyai masalah. Menurut ketentuan ini, anak adalah
    seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
  8. Pengertian anak menurut kenvensi tentang hak-hak anak ( Convention on The
    Right of The Child) Pengertian anak menurut konvensi ini, tidak jauh berbeda
    dengan pengertian anak menurut beberapa perundang- undangan lainnya.
    Anak menurut konvensi hak anak sebagai berikut :
    “anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali
    menurut undang- undang yang berlaku pada anak. Kedewasaan dicapai lebih
    awal”. Sedangkan pengertian anak sebagai korban kejahatan adalah anak yang
    menderita mental, fisik, dan sosial akibat perbuatan jahat (tindak pidana
    menurut Kitab Undang- Undang Hukum Pidana) orang lain mencari
    pemenuhan kepentingan diri yang bertentangan dengan hak dan kewajiban
    pihak korban misalnya menjadi korban perlakuan salah, penelantaran,
    perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya
    oleh ibu, bapak, dan saudaranya serta anggota masyarakat disekitarnya”.
    Dengan demikan apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan
    sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum
    menikah termasuk dalam kandungan.32
    Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
    perlindungan anak, yaitu :
  9. Konvensi Hak Anak (Convention on The Right of The Child). Hak anak
    merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan konvensi hak anak
    merupakan instrumen internasional. Konvensi hak anak merupakan instrumen
    yang berisi rumusan prinsip- prinsip universal dan ketentuan norma hukum
    mengenai hak-hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional
    mengenai hak asasi manusia yang memasukkan unsur-unsur hak-hak sipil,
    politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
  10. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 juncto
    Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa
    perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
    anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
    berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
    serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.33
    Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak diatur dalam Bab
    XII yaitu mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 90

Tindak Pidana Persetubuhan


Perbuatan persetubuhan merupakan tindak pidana kesusilaan, menurut kamus
hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan
percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan norma-norma
kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan
tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.29
Pengertian persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perpaduan antara kelamin
laki-laki dan kelamin perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan
anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan
perempuan sehingga mengeluarkan air mani.30
Persetubuhan diatur dalam KUHP Buku II dengan Titel tindak pidana kesusilaan.
Dalam Pasal 285 KUHP dirumuskan bahwa :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Selanjutnya pasal yang mengatur masalah persetubuhan adalah Pasal 286 KUHP,
yang mengatur sebagai berikut:
“Barangsiapa bersetubuh dengan seseorang wanita di luar pernikahan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Pasal berikutnya adalah Pasal 287 KUHP yang korbannya disyaratkan adalah
anak yang belum berusia 15 tahun dan antara korban dan pelaku tidak terdapat
hubungan pernikahan.
Selain pasal-pasal di atas, pasal berikutnya yang mengatur masalah persetubuhan
adalah Pasal 288 KUHP, yang menyatakan bahwa dimana korban dan pelaku
tidak terikat oleh hubungan pernikahan atau merupakan suami istri, korban harus
berusia belum 15 tahun dan karena persetubuhan tersebut korban menderita luka-
luka, luka berat ataupun meninggal dunia.
Tindak pidana persetubuhan terhadap anak lebih khusus diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-
undang tersebut, pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam
Pasal 81, yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan segaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau orang lain.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 diatas dan pasal yang ada dalam KUHP
terlihat adanya rumusan baru tentang persetubuhan terhadap anak, yaitu
memasukkannya unsur tipu muslihat dan serangkaian kebohongan pada dasarnya
merupakan sesuatu yang bersifat menipu atau isinya tidak benar, namun
menimbulkan kepercayaan bagi orang lain. Sekilas orang menganggap bahwa
antara tipu muslihat dan serangkaian kebohongan adalah satu hal yang sama,
namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan yang prinsipil, yaitu dalam tipu
muslihat lebih diartikan kepada perbuatan yang menimbulkan kepercayaan pada
sesuatu yang sebenarnya tidak benar. Sementara serangkaian kebohongan lebih
diartikan kepada perkataan- perkataan pelaku. Dalam rangkaian kebohongan ini
terdapat tiga unsur, yaitu:
a. Perkataan yang isinya tidak benar;
b. Lebih dari satu kebohongan;
c. Bohong yang satu menguatkan bohong yang lain

Unsur-Unsur Tindak Pidana


Unsur tindak pidana dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan monistis
dan pandangan dualistis, sebagai berikut:

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk
adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan.25
Unsur-unsur tindak pidana menurut pandangan monistis meliputi:26
a. Ada perbuatan
b. Ada sifat melawan hukum;
c. Tidak ada alasan pembenar;
d. Mampu bertanggungjawab;
e. Kesalahan;
f. Tidak ada alasan pemaaaf.

  1. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan
    pidana dan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan
    sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang
    dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hokum tanpa
    adanya suatu dsar pembenar.
    Unsur- unsur tindak pidana menurut pandangan dualistis meliputi: 27
    a. Adanya perbuatan yang mencocoki rumusan delik
    b. Ada sifat melawan hokum
    c. Tidak ada alasan pembenar
    Selanjutnya unsur- unsur pertanggungjawaban pidana meliputi:28
    a. Mampu bertanggungjawab
    b. Kesalahan
    c. Tidak ada alasan pemaaf
    Unsur- unsur tindak pidana, antara lain:
  2. Ada Perbuatan yang Mencocoki Rumusan Delik
    Perbuatan manusia dalam arti luas adalah menenai apa yang dilakukan, apa
    yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian.
    Oleh karena itu, mencocoki rumusan delik yaitu mencocoki unsur-unsur yang
    ada dalam pasal yang didakwakan, termasuk unsure perbuatan maupun
    pertanggungjawaban pidananya.
  3. Ada Sifat Melawan Hukum
    Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
    a. Sifat melawan hukum umum
    Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana dalam rumusan
    pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia
    yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat
    dicela.
    b. Sifat melawan hukum khusus
    Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik
    dinamakan: sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan
    hukum facet”.
    c. Sifat melwan hukum formal
    Istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah
    dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).
    d. Sifat melawan hukum materil
    Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
    dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
  4. Tidak Ada Alasan Pembenar
    Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, artinya
    meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik sebagaimana
    ditentukan dalam undang-undang, dengan lain perkataan alasan pembenar
    menghapuskan dapat di pidananya perbuatan.
    Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembenar, antara lain:
    a. Daya paksa absolut
    Daya paksa absolut diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa
    barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan
    yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Dalam penjelasanya,
    Jonkers mengatakan daya paksa dikatakan bersifat absolute jika seseorang
    tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak
    dapat mengelakkannya dan tidak mungkin memilih jalan lain.
    b. Pembelaan terpaksa
    Perihal pembelaan terpaksa dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
    sebagai berikut:
    “Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya untuk
    mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan
    kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari
    pada serangan yang melawan hukum hak dan mengancam dengan
    segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
    Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Hal ini sesuai
    dengan asas keseimbangan.selain itu, juga dianut asas subsidaritas, artinya
    untuk mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan
    itu harus mengambil upaya yang paling rinagn akibatnya bagi orang lain.
    c. Menjalankan ketentuan undang-undang
    Dasar alasan pembenar karena menjalankan ketentuan undang-undang
    dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut:
    “Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
    ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
    Pasal 50 KUHP ditujukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan
    yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-
    undang. Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam
    pertimabangan suatu putusan (26-6-1911) yang menyatakan bahwa untuk
    menjalankan aturan-aturan undang-undang seorang pegawai negeri
    diperkenankan mempergunakan segala alat yang diberikan kepadanya
    untuk mematahkan perlawanan.
    d. Menjalankan perintah jabatan yang sah
    Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
    “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
    jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
    dipidana”.
    Suatu perintah dikatakan sah, apabila perintah itu berdasarkan tugas,
    wewenang, atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.
    Disamping itu, antara orang yang diperintah dengan yang memberi
    perintah harus ada hubungan jabatan dan subordinasi

Unsur-Unsur Tindak Pidana


Unsur tindak pidana dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan monistis
dan pandangan dualistis, sebagai berikut:

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk
adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan.25
Unsur-unsur tindak pidana menurut pandangan monistis meliputi:26
a. Ada perbuatan
b. Ada sifat melawan hukum;
c. Tidak ada alasan pembenar;
d. Mampu bertanggungjawab;
e. Kesalahan;
f. Tidak ada alasan pemaaaf.

  1. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan
    pidana dan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan
    sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang
    dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hokum tanpa
    adanya suatu dsar pembenar.
    Unsur- unsur tindak pidana menurut pandangan dualistis meliputi: 27
    a. Adanya perbuatan yang mencocoki rumusan delik
    b. Ada sifat melawan hokum
    c. Tidak ada alasan pembenar
    Selanjutnya unsur- unsur pertanggungjawaban pidana meliputi:28
    a. Mampu bertanggungjawab
    b. Kesalahan
    c. Tidak ada alasan pemaaf
    Unsur- unsur tindak pidana, antara lain:
  2. Ada Perbuatan yang Mencocoki Rumusan Delik
    Perbuatan manusia dalam arti luas adalah menenai apa yang dilakukan, apa
    yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian.
    Oleh karena itu, mencocoki rumusan delik yaitu mencocoki unsur-unsur yang
    ada dalam pasal yang didakwakan, termasuk unsure perbuatan maupun
    pertanggungjawaban pidananya.
  3. Ada Sifat Melawan Hukum
    Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
    a. Sifat melawan hukum umum
    Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana dalam rumusan
    pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia
    yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat
    dicela.
    b. Sifat melawan hukum khusus
    Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik
    dinamakan: sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan
    hukum facet”.
    c. Sifat melwan hukum formal
    Istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah
    dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).
    d. Sifat melawan hukum materil
    Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
    dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
  4. Tidak Ada Alasan Pembenar
    Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, artinya
    meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik sebagaimana
    ditentukan dalam undang-undang, dengan lain perkataan alasan pembenar
    menghapuskan dapat di pidananya perbuatan.
    Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembenar, antara lain:
    a. Daya paksa absolut
    Daya paksa absolut diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa
    barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan
    yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Dalam penjelasanya,
    Jonkers mengatakan daya paksa dikatakan bersifat absolute jika seseorang
    tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak
    dapat mengelakkannya dan tidak mungkin memilih jalan lain.
    b. Pembelaan terpaksa
    Perihal pembelaan terpaksa dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
    sebagai berikut:
    “Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya untuk
    mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan
    kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari
    pada serangan yang melawan hukum hak dan mengancam dengan
    segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
    Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Hal ini sesuai
    dengan asas keseimbangan.selain itu, juga dianut asas subsidaritas, artinya
    untuk mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan
    itu harus mengambil upaya yang paling rinagn akibatnya bagi orang lain.
    c. Menjalankan ketentuan undang-undang
    Dasar alasan pembenar karena menjalankan ketentuan undang-undang
    dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut:
    “Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
    ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
    Pasal 50 KUHP ditujukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan
    yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-
    undang. Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam
    pertimabangan suatu putusan (26-6-1911) yang menyatakan bahwa untuk
    menjalankan aturan-aturan undang-undang seorang pegawai negeri
    diperkenankan mempergunakan segala alat yang diberikan kepadanya
    untuk mematahkan perlawanan.
    d. Menjalankan perintah jabatan yang sah
    Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
    “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
    jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
    dipidana”.
    Suatu perintah dikatakan sah, apabila perintah itu berdasarkan tugas,
    wewenang, atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.
    Disamping itu, antara orang yang diperintah dengan yang memberi
    perintah harus ada hubungan jabatan dan subordinas

Pengertian Tindak Pidana


Pengertian tindak pidana yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang- undang sering disebut dengan
strafbaarfeit. Para pembentuk undang- undang tersebut tidak memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud
dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering digunakan oleh pakar hukum
pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta
delik.
Istilah “strafbaar feit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut terdiri
atas tiga kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat
(boleh), dan feit yang berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi
istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang
dapat dipidana.17
Menurut Pompe yang dikutip Bambang Poernomo, pengertian Strafbaar feit
dibedakan menjadi :
a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang diancam
pidana.18
Sementara kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa
Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa
belanda disebut delict. Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia19 arti delik
diberi batasan yaitu : “perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”.
Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai pengertian strafbaar
feit, antara lain sebagai berikut:

  1. Simons, memberi batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu tindakan
    melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang
    dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-
    undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.20
  2. Pompe, strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap
    tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah

    dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
    tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.21
  3. Hasewinkel Suringa, strafbaar feit yang bersifat umum yakni suatu perilaku
    manumur yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan
    hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh
    hukum pidana dengan menggunakan sarana- sarana yang bersifat memaksa
    yang terdapat didalam undang-undang.22
    Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Strafbaar feit, antara lain
    sebagai berikut:
  4. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa strafbaar feit adalah hukum sanksi.
    Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan
    dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya
    tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan
    hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya
    norma-norma di luar hukum pidana.
  5. Roeslan Saleh, mengartikan istilah strafbaar feit sebagai suatu perbuatan
    yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum,
    dimana syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa
    ada aturan yang melarang.
  6. Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana.
    Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan
    hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
    bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.23
  7. Teguh Prasetyo merumuskan bahwa : “Tindak pidana adalah perbuatan yang
    oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana.Pengertian perbuatan
    di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang
    sebenarnya dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak
    berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
  8. Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah tindak pidana adalah tetap
    dipergunakan dengan istilah tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda
    Strafbaar feit yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
    hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan “subyek”
    tindak pidana.24
    Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua)
    bagian, yaitu:
    1) Tindak pidana materil
    Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang dimaksud
    dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa
    merumuskan wujud dari perbuatan itu.
    2) Tindak pidana formil.
    Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud,
    dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang
    disebabkan oleh perbuatan itu

Tindak Pidana Anak


Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas
terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung
unsur-unsur 51:
1- adanya perbuatan manusia;
2- perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
3- adanya kesalahan
4- orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat anak harus berhadapan
dengan hukum, yaitu :52
1) Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak
menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2) Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Namun sangat tidak pantas apabila tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki
kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis,
agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu
ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan
kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang
dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan.
Menurut A.Syamsudin Meliala dan E.SumaryonoAda beberapa faktor
penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan anak, yaitu :53
1) Faktor lingkungan;
2) Faktor ekonomi/ sosial;
3) Faktor psikologis.
Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena
adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa
perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakalan yang
dilakukan oleh anak-anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada
maksud merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan
kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu
bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau
yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak
muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan / mengabaikan yang kemudian
diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia54, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku
yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
Menurut Sudarsono, suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam
masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang
didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.55
Menurut Kartini Kartono56, yang dikatakan Juvenile delinquency adalah
perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala
sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh
suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
Paul Moedikno memberikan perumusan tentang Juvenile delinquency
sebagai berikut:57
1) Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu
kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan
yang dilarang oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya,
membunuh, dan sebagainya;
2) Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya: memakai celana
jangki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya;
3) Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,
termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.
Menurut Fuad Hasan, Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial
yang dilakukan oleh remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka
dikualifikasikan sebagai kejahatan.58
Tim Proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran pada bulan Desember 1967 memberikan perumusan mengenai
Juvenile delinquency, yaitu suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
seorang anak dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan
sebagai perbuatan yang tercela.59
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
istilah “Anak Nakal” digunakan untuk anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
(Pasal 1).

Anak Yang Berhadapan dan Berkonflik Dengan Hukum


Anak yang berhadapan dengan hukum berarti anak yang dalam posisi
sebagai korban atau saksi sedangkan anak yang berkonflik dengan hukum berarti
anak yang dalam posisi sebagai pelaku tindak pidana. Baik anak yang berhadapan
maupun yang berkonflik dengan hukum harus lah memiliki prinsip keadilan bagi
keduanya. Pengertian keadilan bagi anak yang berhadapan dan berkonflik dengan
hukum adalah dipastikannya semua anak yang memperoleh layanan dan
perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum yang ada.48
Setiap anak harus diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai hak-
haknya yang dilindungi hukum walaupun seyogyanya diri si anak sedang
berkonflik dengan hukum. Suatu kenyataan bahwa hambatan akses terhadap
keadilan bagi anak justru sering datang dari masyarakat itus sendiri, yang
menyebabkan perilaku birokrasi dan aparat penegak hukum memperoleh
legitimasi dalam memperlakukan anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Prinsip keadilan anak dan akses keadilan bagi anak adalah bagian dari
implementasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Prinsip perlindungan anak meliputi
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup anak, serta
penghargaan terhadap pendapat si anak.49
Beberapa prinsip dasar perlindungan anak setelah adanya elaborasi hukum
nasional dan instrument internasional yakni:50
(1) Pelaku kenakalan anak adalah korban;
(2) Setiap anak berhak agar kepentingan terbaiknya dijadikan pertimbangan
utama;
(3) Tidak mengganggu tumbuh kembang anak;
(4) Setiap anak berhak untuk diperlakukan adil dan setara, bebas dari segala
bentuk diskriminasi;
(5) Setiap anak berhak mengekspresikan pandangan mereka dan didengar
pendapatnya;
(6) Setiap anak berhak di lindungi dari perlakuan salah, kekerasan, dan
eksploitasi;
(7) Anak berhak untuk diperlakukan kasih sayang dan penghargaan akan
harkat dan martabat sebagai manusia yang sedang tumbuh kembang;
(8) Setiap anak berhak atas jaminan kepastian hukum;
(9) Program pencegahan kenakalan remaja dan pencegahan terhadap prilaku
salah, kekerasan, eksploitasi secara umum harus menjadi bagian utama dari
sistem peradilan anak;
(10) Perenggutan kebebasan dalam bentuk apapun harus selalu digunakan
hanya sebagai upaya terakhir dan apabila terpaksa dilakukan hanya untuk
jangka waktu yang paling singkat;
(11) Perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok paling rentan dari
anak, seperti anak korban konlik senjata, anak didaerah konflik sosial, anak
didaerah bencana dll;
(12) Pendekatan peka gender harus diambil di setiap langkah, stigma dan
kerentanan khas anak perempuan dalam sistem peradilan harus diakui
sebagai sebuah permasalahan nyata;
(13) Menggembangkan perspektif futuristis dengan meniadakan penjara anak

Tinjauan Umum tentang Anak


Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-
hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan atas perlindunagn dari tindakan
kekerasan, diskriminasi serta kebebasan.
Di Indonesia terdapat pengertian yang beraneka ragam tentang anak,
dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku menentukan batasan usia
anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan masyarakat awam
mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu digunakan asas “lex
specialis derogat lex generalis”, artinya bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Batas usia anak merupakan
pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehuingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi
seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya.
Adapun beberapa pandangan yang mengatakan tentang kedewasaan anak
di lihat dari segi umur, antara lain pengertian anak menurut UU No. 3 Tahun
1997, KUH Perdata, KUH Pidana, dan anak menurut hukum perburuan diatur
dalam UU No. 12 Tahun 1998. Dan, dari beberapa pandangan tersebut
mengatakan kedewasaan anak berbeda. Adapun pengertiannya sebagai berikut :
a) Pengertian anak sebagaimana dimaksud yang terdapat dalam Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997

  1. Pasal 1 ialah Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal
    telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
    18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.
  2. Anak nakal adalah :
     Anak yang melakukan tindak pidana, atau
     Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
    terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-
    undangan maupun menurut oeraturan hukum lain yang
    hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.45
    b) Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang
    Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi :
    “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
    tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu
    dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak
    kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.” Ayat 2 : menyebutkan
    bahwa perbuatan perkawinan yang terjadi pada seseorang belum
    berumur 21 (dua puluh satu) tahun, tidak mempunyai pengaruh status
    kedewasaannya.
    Jadi, menurut Hukum Perdata yang dinamakan anak adalah mereka
    yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahundan tidak
    lebih dahulu kawin.
    c) Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang
    Hukum Pidana (KUH Pidana) adalah :46
    Anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun.
    Oleh karena itu, apabila anak yang masih dibawah umur terjerat perkara
    pidana hakim dapat menentukan supaya anak yang terjerat perkara
    pidana tersebut dapat dikembalikan kepada orang tua, atau wali, atau
    orang tua asuh dengan tidak dikenakan pidana, atau memerintahkannya
    supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sanksi
    pidana.
    d) Pengertian anak yang terdapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974
    tentang Perkawinan adalah :\
    Anak boleh melakukan pernikahan apabila seorang laki-laki sudah
    berumur 16 Tahun sedangkan Wanita berumur 19 Tahun.
    e) Pengertian anak menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
    Perlindungan Anak yang berbunyi :
    Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun (delapan belas)
    termasuk anak yang masi dalam kandungan. Perlindungan Anak adalah
    segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
    agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara
    optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
    mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
    f) Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang
    Hak Asasi Manusia Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan:
    “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun
    dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila
    hal tersebut adalah demi kepentingannya.”
    g) Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights
    of the Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No.
    36 Tahun 1990 Diatur pada Pasal 1 bagian 1 yang menentukan:
    “Seorang anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali
    berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan
    dicapai lebih cepat.”
    h) Pengertian Anak Menurut Hukum Adat, Menurut Hukum Adat tidak ada
    ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa atau
    mempunyai wewenang untuk bertindak. Hasil penelitian Mr. Soepomo
    tentang Hukum Perdata Jawa Barat menjelaskan bahwa ukuran
    kedewasaan seseorang diukur dari segi:47
    1) dapat bekerja sendiri;
    2) cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam
    kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab;
    3) dapat mengurus harta kekayaan sendiri;
    4) telah menikah
    Beberapa pandangan di atas yang telah di uraikan secara terperinci, dapat
    menyimpulkan bahwa anak dikatakan masih di bawah umur atau belum dewasa
    yaitu anak yang masih berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
    kawin. Maksud dari kata belum kawin adalah anak yang tidak terikat dalam
    perkawinana atau pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila anak terikat dalam
    suatu perkawinan, atau perkawinannya putus karena perceraian maka anak
    tersebut dianggap sudah dewasa meskipun umurnya belum 18 (delapan belas)
    tahun. Banyak hal menurut ilmu pengetahuan atau Undang-Undang
    mendefinisikan pengertian anak berbeda-beda yang menurut kebutuhannya
    masing-masing sesuai apa yang diperlukan dan batasanbatasan yang ada di
    dalamnya masing-masing disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
    Demikian juga mengenai perumusan batasan usia anak ini antara suatu
    negara dengan negara lainnya tidak terdapat keseragaman. Batasan usia anak di
    suatu Negara ditentukan oleh aturan hukum suatu Negara tersebut. Misalnya di
    Amerika Serikat, batasan usia anak-anak yakni berada pada usia 8-18 tahun di
    beberapa Negara bagian, tetapi di beberapa Negara bagian lainnya di Amerika
    Serikat batasan usia anak yakni usia 8-17 tahun.
    Dengan adanya batasan usia anak, maka dapat dibedakan antara hak dan
    kewajiban anak, dan akan memberikan tanggung jawab terhadap si anak di dalam
    hal-hal tertentu, misalnya dalam bidang pemeliharaan anak, kewajiban orang tua
    untuk memberikan kasih sayang, dan dalam hal si anak melakukan sebuah
    pelanggaran terhadap aturan hukum positif

Macam-macam Tindak Pidana Pencurian



a. Tindak Pidana Pencurian dengan kekerasan.
b. Tindak Pidana Pencurian dalam keluarga.
c. Tindak Pidana Pencurian dengan pemberatan.
d. Tindak Pidana Pencurian ringan.
a. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan
Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP
sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas
kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.15
Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP juga
merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi
ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan.
Menurut arrest Hoge Raad arti dari kata yang memberatkan adalah karena di
dalam pencurian itu, orang telah memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dari perumusan Pasal 365 KUHP dapat menyebutkan unsur-unsur tindak
pidana pencurian dengan kekerasan dari ayat 1 sampai dengan ayat 4. Adapun
unsur-unsur tindak pidana ini adalah sebagai berikut :
Ayat (1) memuat unsur-unsur :

  • Pencurian dengan :
  • Didahului.
  • Disertai.
  • Diikuti
  • Oleh kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seseorang.
    Unsur-unsur subyektifnya :
     Mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu atau,
     Jika tertangkap tangan memberi kesempatan bagi diri sendiri atau peserta
    lain dalam kejahatan itu.16
    Pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang pada intinya memiliki unsur :
  1. Maksud untuk “mempersiapkan pencurian”, yaitu perbuatan kekerasan
    atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Misalnya :
    mengikat penjaga rumah, memukul dan lain-lain.
  2. Maksud untuk “mempermudah pencurian”, yaitu pengambilan barang
    dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya :
    menodong agar diam, tidak bergerak, sedangkan si pencuri lain
    mengambil barang-barang dalam rumah.17
    b. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan
    Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa tindak pidana pencurian dengan
    pemberatan (gequalificeerde deifstal) adalah pencurian yang mempunyai unsur-
    unsur dari perbuatan pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena
    ditambah dengan lain-lain unsur, sehingga ancaman hukumannya menjadi
    diperberat.
    M. Sudradjat Bassar mengatakan, bahwa pencurian yang diatur dalam
    Pasal 363 KUHP termasuk “pencurian istimewa” maksudnya suatu pencurian
    dengan cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat.
    Kata pencurian di dalam rumusan tindak pidana pencurian dengan
    kualifikasi seperti yang diatur dalam Pasal 363 KUHP tersebut mempunyai arti
    yang sama dengan kata pencurian sebagai pencurian dalam bentuk pokok. Dan
    juga mempunyai unsur yang sama. Unsurnya yaitu :
    a. Unsur subyektif : dengan maksud untuk menguasai secara melawan hukum.
    b. Unsur-unsur obyektif :
  3. Barang siapa
  4. Mengambil.
  5. Sebuah benda.
  6. Yang sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain

Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pencurian


Di dalam masyarakat, sebuah perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan
yang melanggar hukum, apabila perbuatan tersebut berakibat merugikan orang
lain atau masyarakat, dan memiliki implikasi langsung maupun tidak lansung
melanggar kepentingan orang lain/masyarakat. Banyak perbuatan yang terkadang
dilakukan oleh setiap orang tanpa menyadari seberapa besar efeknya kepada orang
lain atau masyarakat, yang terpikir oleh sipelaku perbuatan tersebut hanya sebatas
kesenangan dan kepentingannya sendiri saja. Biasanya yang melakukan perbuatan
demikian adalah anak-anak yang masih dibawah umur, ketika mereka melakukan
sebuah perbuatan, anak-anak tersebut belum tau seberapa besar akibatnya kepada
orang lain.
Perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana memiliki sanksi
yang tegas diatur dalam hukum pidana. Di dalam hukum pidana berisi perbuatan
yang diancam pidana, syarat pembuatnya dapat di pidana, subjek hukum yang
dapat di pidana dan hukuman yang dapat dijatuhkan. Hukum pidana disebut juga
sebagai hukum materil sedangkan hukum acara pidana disebut juga hukum pidana
formil, menurut Muladi sistem peradilan pidana merupakan jaringan peradilan
yang menggunakan hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana.41
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah
mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan
sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara, perbuatan.
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan
dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk
pokoknya yang berbunyi:
“Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling
banyak Rp.900,00”.
Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil,
objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki
secara sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif
(adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).
Unsur-Unsur pencurian adalah sebagai berikut :
1) Unsur-Unsur Objektif yakni terdiri dari:
a. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan “mengambil”
barang. “Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada
menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan mengalihkannya ke
lain tempat”.42
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukan
bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formill. Mengambil adalah suatu
tingkah laku psoitif/perbuatan materill, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan
yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian
diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu
membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaannya.
Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif,
ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam
kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan
sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda
tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan mutlak.43 Unsur berpindahnya
kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupaka syarat untuk
selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk
menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang sempurna.
b. Unsur benda
Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van
toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada
benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat
menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda
bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini
sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang bergerak adalah setiap
benda yang sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509
KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang
karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian
lawandari benda bergerak.
c. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian
saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri. Contohnya seperti sepeda
motor milik bersama yaitu milik A dan B, yang kemudian A mengambil dari
kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda motor tersebut telah
berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang
terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).
2) Unsur-Unsur Subjektif yakni terdiri dari:
a. Keinginan untuk memiliki
Keinginan atau niat, maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni
unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk),
berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua
unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Maksud dari
perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk
memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam
tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mengisyaratkan beralihnya
hak milik atas barang yang dicuri ke tangan pelaku, dengan alasan. Pertama tidak
dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan
kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja.
Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri
atau untuk dijadikan barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur
maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri pelaku
sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk
dijadikan sebagai miliknya.
b. Melawan hukum
Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak pidana pencurian
yaitu Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu
ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan
perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar memiliki
benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Karena alasan inilah
maka unsur melawan hukum dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum
subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang
menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam
rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur
yang ada dibelakangnya.44

Tinjauan tentang Pemidanaan


Menurut Prof. Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dengan
istilah penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga
diartikan sebagai “ menetapkan hukum” atau “ memutuskan tentang hukumnya”.
Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidaklah hanya menyangkut bidang
hukum pidana saja, tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu, sepanjang
menyangkut penghukuman harus disempitkan artinya, yaitu penghukuman dalam
perkara pidana. Untuk menyebutkan penghukuman dalam perkara pidana dapat
dipakai perkataan pemidanaan atau pemberian (penjatuhan) pidana oleh hakim.
Dengan demikian, pemidanaan dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana
oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana
dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. 40 Jika dalam
rumusan undang-undang tercantum, misalnya “ barangsiapa mencuri, dipidana
dengan maksimum pidana 5 tahun penjara”, maka rumusan ini masih merupakan
hal yang abstrak. Artinya apakah ada orang yang mencuri, apakah jika ada orang
mencuri benar-benar dipidana? Hal tersebut tentu belum dapat dipastikan. Artinya
orang tidak dapat memastikan berapa lamakah seorang pencuri akan dijatuhi
pidana oleh hakim, karena sistem ancaman pidana yang dianut di Indonesia adalah
akan bergerak dari ancaman maksimal ke minimal 1 hari. Itu semua adalah
menyangkut proses penjatuhan pidana ( pemidanaan). Hakim mempunyai
kekuasaan dalam memilih dan menentukan berapa lama pidana penjara yang akan
dijatuhkan kepada seorang terdakwa tertentu dalam kasus konkrit. Hakim
memang harus mempertimbangkan tuntutan penuntut umum, namun ia sama
sekali tidak terikat dengan tuntutan itu.
Perkembangan tentang jenis, kualifikasi, dan sistem pemidanaan yang
berkembang dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari pemahaman atas perilaku
manusia yang dikenal dengan kejahatan. Secara umum tujuan dari penjatuhan
suatu sanksi pidana pada dasarnya memiliki dua tujuan yaitu pencegahan dan
penanggulangan kejahatan. Dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia
tentang kejahatan dapat digolongkan kedalam 4 empat mazhab dalam ilmu
kriminologi sebagai berikut:
1) Mazhab klasik
Mazhab klasik dibangun berdasarkan paradigma filosofis yang
berkembang pada abad pertengahan, terutama di Eropa pada abad ke 18, para
sarjana diabad ke 18 berjuang untuk lepas dari pemikiran dari abad kegelapan,
yakni dimana:

  • Sistem peradilan pidana yang ada dilaksanakan dengan semena-mena dan
    tanpa prosedur yang pasti;
  • Hukuman dijatuhkan secara tidak manusiawi;
  • Tidak adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan hukum pidanan dan
    hukum acara pidana yang ada
    Upaya perbaikan atas hukum pidana sistem peradilan pidana dan
    pemidanaan menjadikan perubahan mendasar yang dibawa oleh pemikiran yang
    lahir dari para sarjana pada mazhab klasik. Inti pemikiran mazhab klasik bahwa
    sebab musabab kejahatan terletak dari karakteristik dasar setiap individu yang
    otonom atas diri dan perbuatannya, karena sifat-sifat:
  1. Free will ( manusia adalah mahkluk yang memiliki kehendak bebas);
  2. Hedonist ( manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang selalu mengejar
    keuntungan atau kesenangan bagi dirinya);
  3. Felitio calculus ( manusia adalah mahkluk yang suka berhitung tentang
    untung dan rugi)
    Oleh karena ide yang lahir dari paradigm berpikir yang demikian
    menjadikan bangun dari sistem peradilan pidana didasarkan pada tradisi
    kebebasan dan persamaan dimana setiap manusia didudukan sama dihadapan
    hukum. “Kontrak sosial “menjadi konsep yang mendasari berbagai asas hukum
    dan peran lembaga Negara dalam masyarakat. Kontrak sosial juga menjadi dasar
    dari lahirnya berbagai aturan perundang-undangan dan mekanisme yang
    meliputinya. Kontrak sosial yang mendasari ikatan sosial dari elemen-elemen
    yang bekerja dalam masyarakat. Dan berdasarkan kontrak sosial maka otoritas
    dari Negara untuk memidana dibenarkan.
    Asas ius punale dan ius puniendi lahir dari paradigma yang dibangun
    berdasarkan pandangan mazhab klasik ini. Pendelegasian hak individu menjadi
    kewenangan Negara berdasarkan kontrak sosial diharapkan dapat menjamin
    penghormatan dan pemenuhan atas hak-hak dasar, kemerdekaan, kebebasan dan
    persamaan. Berdasarkan pandangan ini maka premis-premis yang berkembang
    berdasarkan pemikiran mazhab klasik adalah sebagai berikut:
    a) Pembentukan suatu masyarakat berdasarkan pada kontrak sosial untuk
    menghindari perang dan kekacauan;
    b) Sumber hukum adalah undang-undang, dan bukan hakim. Maka hanya
    undang-undang yang dapat menentukan hukuman bagi kejahatan dan
    kekuasaan untuk membentuk undang-undang hanya ada pada pembuat
    undang-undang;
    c) Tugas hakim hanyalah menentukan kesalahan seseorang;
    d) Kewenangan untuk menghukum ada pada Negara yang didasarkan pada
    keperluan mutlak dalam membela kepentingan masyarakat yang telah
    dipercayakan pada Negara;
    e) Perlunya ditentukan skala kejahatan dan hukuman dari yang teringan
    sampai dengan yang terberat;
    f) Sengsara dan kesenangan adalah dasar motif-motif manusia;
    g) Yang merupakan ukuran dari besarnya kerugian yang disebabkan oleh
    kejahatan dinilai dari perbuatannya;
    h) Prinsip dasar dari hukum pidana terletak pada sanksi yang positif (
    kepastian atas penyegaran penjatuhan hukuman)
    2) Mazhab Neo-Klasik
    Di dalam mazhab neo klasik, menyatakan bahwa pandangan perbuatan-
    perbuatan kejahatan yang dilakukan seseorang tidaklah menjadi sepenuhnya
    tanggungjawab sipelaku melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang ada
    disekitar seseorang tersebut. Hal tersebut membedakan pendapat dari mazhab neo
    klasik dengan mazhab klasik yang pada intinya mengatakan bahwa hukuman yang
    sama untuk perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari pelaku dan tidak
    pula memperhatikan kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu yang
    memaksa terjadinya perbuatan tersebut.
    Di dalam praktek peradilan didapati fakta bahwa tidak semua orang benar-
    benar bertanggungjawab atas tindakan mereka sendiri, contoh anak yang dibawah
    umur. Didalam mazhab klasik, dengan pemberlakuan asas equality before the law
    memberlakukan setiap orang adalah sama. Konsekuensi dari pandangan ini adalah
    anak-anak dibawah umur diharapkan berprilaku dengan tingkat tanggungjawab
    yang sama dengan orang dewasa.
    Hal lain yang mendorong perlunya perubahan tentang sistem
    penghukuman terkait dengan mereka yang dianggap tidak dapat
    dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya keadaan lain yang tidak
    dapat dihindarkan atau tekanan yang berasal dari luar dirinya. Keadaan ini dalam
    konteks adanya asas equality before the law yang menjadi pilar dari mazhab
    klasik dan dianggap tidak sesuai dengan harapan sehingga memicu ketidak
    setujuan dari para penganut mazhab neo klasik terhadap pandangan dari mazhab
    klasik dan hal tersebut yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan Code Penal
    Prancis 1791.
    Para sarjana penganut aliran neo klasik mencatat beberapa sebab
    kegagalan praktek peradilan saat itu antara lain;
    a. Diabaikannya faktor-faktor perbedaan individual dan arti dari situasi-
    situasi tertentu;
    b. Menyamakan pelaku tindak pidana pertama kali ( first offender) dengan
    recidive.
    c. Penghukuman diberikan atas dasar tindak pidana, bukan atas dasar
    kesalahan atau sifat individu masing-masing;
    d. Anak yang belum dewasa, idiot, terganggu jiwanya dianggap sama dengan
    orang yang cakap hukum atas dasar perbuatan yang dilakukan dan bukan
    karena keadaaan individu masing-masing;
    Pada Code Penal Perancis tahun 1819 terjadi perubahan dimana lebih diperhatikan
    keadaan-keadaan pribadi pelaku yang lebih diperhatikan. Ajaran mazhab neo
    klasik telah memperbaharui atau merevisi serta melengkapi ajaran dalam mazhab
    klasik mengenai prinsip equality before the law, kehendak bebas dan
    pertanggungjawaban pidana. Beberapa prinsip yang munculd ari
    pemikiran/mazhab neo klasik yang berkembang diantaranya:
    a) Adanya perubahan atas doktrin kehendak bebas yang dipengaruhi oleh
    perkembangan ilmu patologi ( ketidakmampuan untuk bertindak/sakit
    jiwa) dan masalah premiditasi atau niat yang menjadi ukuran dari niat
    pelaku seperti niat bagi seorang residivis yang berbeda dengan first
    offender;
    b) Pengakuan adanaya faktor yang meringankan suatu tindak pidana yang
    dipertimbangkan dalam diri individu sebagai faktor ( mental) maupun
    faktor lingkungan;
    c) Pertanggungjawaban doktrin pertanggungjawaban absolute/sempurna;
    d) Dihadirkannya saksi/keterangan ahli dalam proses peradilan pidana.
    3) Mazhab Positivis
    Dasar pemikiran mazhab positivis adlaah adanya penerapan motode
    deterministis dan ilmiah terhadap studi tentang kejahatan. Semua teori
    kriminologi ilmiah yang mutakhir adalah bersifat positif/pasti. Dalil-dalil
    teoritisnya sangat spesifik dan bersifat ilmiah.
    Di dalam perkembangan mazhab positivis, terdapat beberapa sarjana yang
    terkenal dengan teori/pendapatnya mengenai hukum pidana, yakni Cecare
    Lambroso, Enrico Verri, dan Garofalo.
    Menurut Cecare Lambroso didalam karyanya “born criminal”, terdapat 3
    golongan kejahatan, yakni:
    1) The ‘born criminal’ yang mencakup 1/3 dari jumlah penjahat’
    2) Tipe ‘insane criminal’ yang disebabkan karena penyakit kejiwaan; dan
    3) Tipe ‘criminaloid’ yang disebabkan karena susunan mental dan emosional
    yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat.
    Menurut Enrico Verri, terdapat hubungan yang erat antara faktor-faktor
    ekonomi, sosial dan politik dengan kejahatan ( kejahatan dipengaruhi oleh faktor
    fisik, antropologis dan sosial).
    Sedangkan menurut Garofalo, kejahatan disebabkan karena luka pada
    pikirian moral dan ketidakmampuannya untuk menyesuaikan diri dengan
    masyarakat. Garofalo menyarankan ada 3 syarat eliminiasi mutlak, sebagian, dan
    reparasi yang dipaksakan bagi tiap jenis keadaan psikologi pelaku yang berbeda-
    beda. Menurut Garofalo, agar hukuman dapat berjalan efektif, haruslah dipenuhi 3
    syarat yaitu:
    a. Sesuai dengan tuntutan masyrakat bahwa pelaku kejahatan harus diadili;
    b. Asas-asas mengenai eliminasi harus memiliki hukuman yang menakutkan
    sehingga menimbulkan efek jera;
    c. Seleksi sosial yang dihasilkan diharapkan mendestruksi pelaku kejahatan
    dan keturunannya

Tinjauan tentang Pidana


Istilah hukuman sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan straf
dalam bahasa belanda. Untuk menyebutkan jenis-jenis sanksi dalam hukum
pidana, pemakaian istilah hukuman cenderung diikuti oleh kalangan praktek dan
masyarkat awam, sehingga sering didengar istilah hukuman mati, hukuman
penjara. Menurut Prof. Mulyatno, istilah hukuman yang berasal dari kata straf da
istilah dihukum, yan berasal dari perkataan wordt gestraf adalah istilah-istilah
yang konvensional.34 Beliau tidak setuju dengan istilah tersebut, dan
menggunakan pidana untuk menterjemahkan isitlah straf, dan sitilah diancam
dengan pidana untuk menggantikan istilah wordt gestraf. Menurutnya kata straf
itu diterjemahkan dengan hukuman, maka strafrecht seharusnya diartikan sebagai
“hukum hukuman”. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa “dihukum”, berarti
“diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah
hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada
pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.
Menurut Sudarto, yang mengatakan bahwa “penghukuman” berasal dari
kata dasar “ hukum” sehingga dapat diartikan sebagai “menerapkan hukum” atau
memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu
peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi juga hukum
perdata. Oleh karena itu, istilah “penghukuman” dapat disempitkan artinya “
penghukuman dalam perkara pidana”. Penyempitan arti hukuman dalam perkara
pidana dapat dianggap sinonim dengan perkataan “pemidanaan” atau
“pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Penghukuman dalam arti yang
demikian itu dapat disamakan maknanya dengan “sentence” atau “ veroordeling”
misalnya dalam pengertian “sentence conditionally” atau “ voorwaardelijk
veroordeeld” yang sama artinya dengan dipidana bersyarat”. Pada akhirnya Prof.
Sudarto mengemukakan, bahwa penggunaan isitlah “ pidana” untuk mengganti
atau menterjemahkan perkataan “straf” lebih tepat daripada memakai istilah
hukuman.35
Berangkat dari dua orang pendapat ahli hukum diatas maka dapat
dipahami, bahwa istilah hukuman mengandung pengertian umum sebagai sanksi
yang dengan sengaja ditimpakan kepada seseorang yang telah melakukan
pelanggaran hukum, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Sedangkan
istilah pidana merupakan suatu pengertian yang khusus yang berkaitan dengan
hukum pidana. Artinya dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan hukum pidana, maka kepada pelaku dapat dikenakan sanksi yang
berupa pidana. Jadi untuk menyebut hukuman dalam lapangan hukum pidana,
maka sebaiknya dan lebih tepat dengan istilah pidana daripada hukuman, seperti
pidana mati, pidana penjara, pidana denda. Demikian pula dengan penyebutan
sanksi dalam perkara pidana lebih tepat disebut dengan pemidanaan daripada
hukuman.
Menurut Prof. Van Hammel, mengartikan pidana (straf) menurut hukum
positif sebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus. Penderitaan tersebut
menurut Van Hammel dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab ketertiban
hukm umum bagi seorang pelanggar. Penderitaan itu dikenakan semata-mata
karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan oleh Negara.
Sementera itu, Prof. Simon, mengartikan pidana (straf) sebagai suatu
penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang. Penderitaan tersebut oleh undang-
undang dikaitkan dengan telah terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma, yang
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.37
Menurut kedua ahli hukum Belanda tersebut, pada hakikatnya pidana
adalah suatu penderitaan. Namun harus dipahami bahwa suatu penderitaan
bukanlah semata-mata tujuan, melainkan hanyalah semata-mata sebagai alat yang
digunakan oleh Negara untuk mengingatkan orang untuk tidak melakukan
kejahatan dalam masyarakat.
Di Indonesia, ahli hukum pidana juga memiliki pandangan yang sama
dalam memahami dan memberikan batasan mengenai konsep pidana. Menurut
Prof. Sudarto, secara tradisional pidana dapat didefinisikan sebagai nestapa yang
dikenakan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.38
Menurut Prof. Roeslan Saleh, pidana merupakan reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat
delik itu.39 Dalam memberikan pemahaman terhadap konsep pidana, maka setelah
mengemukakan berbagai definisi, akhirnya Prof. Muladi sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa unsur-unsur atau ciri-ciri yang terkandung dalam pidana,
yakni:
1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
Terdapat kesamaan pendapat dalam memahami pengertian pidana, dimana
salah satu karakteristiknya adalah adanya pengenaan nestapa atau penderitaan
dengan sengaja. Ciri ini erat kaitannya dengan sifat hukum pidana yang dengan
sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang
diakui dalam hukum. Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan
kepada seorang pelaku yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana adalah
dimaksudkan untuk menimbulkan efek penjeraan, sehingga orang tidak
melakukan tindak pidana dan pelaku tidak lagi mengulangi melakukan kejahatan

Tinjauan Tentang Tindak Pidana


Pada dasarnya, kejahatan adalah sebuah kesalahan, biasanya kesalahan
moral, yang bertentangan dengan masyarakat secara keseluruhan. Penuntutan
pidana dilakukan untuk menghukum orang jahat, baik karena kita ingin mencegah
kejahatan di masa depan atau hanya karena kita percaya orang jahat pantas untuk
dihukum.
Sudarto menyatakan ”tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain
halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen
atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara
kriminologis.31
Istilah tindak pidana sering dipakai untuk menggantikan strafbaar feit.
“Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu
kenyataan atau een gedelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti
dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat
diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang
sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang
dapat di hukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan perbuatan ataupun tindakan”.32
Simon berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:33
a. perbuatan manusia,
b. diancam dengan pidana,
c. melawan hukum,
d. dilakukan dengan kesalahan,
e. oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Menurut Pompe unsur dari tidak pidana adalah :
(a) Unsur Perbuatan pidana (criminal act) yang meliputi perbuatan dan sifat
melawan hukum perbuatan
(b) Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yang mencakup
kesenjangan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab
Berikut pendapat beberapa Ahli mengenai tindak pidana, diantaranya:
a) Simons Merumuskan pengertian strafbaarfeit sebagai suatu tindakan
melanggar hak yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di
hukum.
b) Pompe mengatakan bahwa Menurut hukum positif bahwa strafbaarfeit
adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan
kesalahan dan diancam pidana.
c) Moeljanto Memberikan pengertian yaitu perbuatan pidana sebagai
perbuatan yang diacam dengan pidana, barang siapa yang melanggar
larangan tersebut
d) Vos Merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia
yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
e) Lamintang Merumuskan tindak pidana itu sebagai suatu tindakan
melanggar hak yang dengan sengaja telah dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakanya yang dinyatakan sebagai dapat
dilakukan.
Menurut Abdulsyani (Abdulsyani, 1987 ; 44-51) faktor penyebab suatu
tindak pidana dipishkan menjadi dua faktor,yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor Intern antara lain terdiri dari :
(1) Sakit jiwa
(2) Daya emosional
(3) Anatomi
(4) Umur
(5) Jenis kelamin
(6) Kedudukan individu dalam masyarakat
(7) PendidikanHiburan dalam Masyarkat
Sedangkan faktor ektern antara lain terdiri dari :
(1) Ekonomi
(2) Agama
(3) Faktor bacaan dan film
Dalam dasar-dasar hukum pidana di Indonesia untuk dapat diakatakan
seseorang telah melakukan suatu tindak pidana maka seseorang tersebut diyakini
telah melanggar beberapa unsure pidana.Setiap tindak yang terdapat dalam dibagi dalam dua bagian, yaitu unsur yang bersifat subyektif dan unsur yang
bersifat obyektif.
Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini antara lain :
(1) Kesengajaan atau kealpaan (dollus atau culpa)
(2) Maksu atau voornemen pada suatu percobaan atau poging
(3) Macam-macam maksud atau oogmerk
(4) Merencanakan terlebih dahulu atau voordebachte raad
(5) Perasaan takut atau vrees
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan yang didalam keadaan mana tindakan dari
si pelaku harus dilakukan. Unsur ini adalah :
(1) Sifat melawan hukum\
(2) Kuasalitas dari perilaku
(3) Kausalitas yaitu hubungan antar tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 1997 : 194)

Manfaat Kriminalisasi


Untuk menentukan manfaat kriminalisasi, dapat diawali dengan satu pertanyaan
yaitu apakah kriminalisasi lebih banyak membawa manfaat atau tidak kepada
masyarakat? Tidak mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya
kesulitan membedakan efek pencegahan bertahap dalam skema kriminalisasi
tertentu dari efek-efek yang bisa dicapai dengan metode non-pidana melalui
peraturan hukum maupun sarana-sarana kontrol sosial lain. Di samping itu,
adanya kesulitan menghitung dampak perilaku tertentu dalam kriminalisasi. Tidak
mudah mengukur manfaat kriminalsasi juga berkaitan dengan adanya fakta bahwa
„kriminalisasi‟ adalah sebuah variabel yang dengan sendirinya bisa dimanipulasi
karena efek keperilakuan akan tergantung pada definisi perilaku yang dilarang

Kriteria Kriminalisasi


Dalam membahas masalah kriminalisasi timbul dua pertanyaan, yaitu:
a. Apakah kriteria yang digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam
mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam
dengan sanksi pidana tertentu?
b. Apakah kriteria yang digunakan pembentuk undang-undang untuk
menetapkan ancaman pidana terhadap tindak pidana yang satu lebih tinggi
daripada ancaman pidana terhadap tindak pidana yang lain.38
Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi
harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan
bermacam-macam faktor termasuk:
a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-
hasil yang ingin dicapai,
b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,
c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber
tenaga manusia, dan
d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan
atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.39
Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang mengungkapkan bahwa dalam
menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini,
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual) atas
warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).40
Hullsman mengajukan beberapa kriteria absolut yang perlu diperhatikan dalam
proses kriminalisasi, yaitu sebagai berikut:
a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas keinginan
untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk
perilaku tertentu.
b. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan
peradilan pidana.
c. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir
sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah.41
Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria kriminalisasi dalam proses
pembaruan hukum pidana. Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan
terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu
adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan
tersebut. Ketiga, apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang
bersangkutan, betulbetul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman
pidana kalau ternyata ada yang melanggar larangan

Pengertian Krminalisasi


Kriminalisasi (criminalization) merupakan objek studi hukum pidana materiil
(substantive criminal law) yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam dengan sanksi
pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai
perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan
sanksi pidana.
Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan
penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau
golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana
menjadi perbuatan pidana.35
Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu
pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang
merupakan hasil dari suatu penimbanganpenimbangan normatif (judgments) yang
wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions). Kriminalisasi dapat pula
diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan
yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang
dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.
Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini
yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang
menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang
tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang
dipandang tercela dan perlu dipidana. Dalam perspektif labeling, kriminalisasi
adalah keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi label
terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana. 36
Pengertian kriminalisasi tersebut di atas menjelaskan bahwa ruang lingkup
kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang
diancam dengan sanksi pidana. Namun menurut Paul Cornill, pengertian
kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana
dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi pidana
terhadap tindak pidana yang sudah ada

Tujuan dan Pedoman Pemidanaan


Pedoman adalah kumpulan atau ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana
sesuatu harus dilaksanakan, pedoman juga diartikan hal (pokok) yang menjadi
dasar (pegangan, petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.29
Berkaitan dengan pemidanaan maka pedoman pemidanaan dapat diartikan
ketentuan dasar yang memberi arah/ melaksanakan pemidanaan atau pemberian
pidana atau penjatuhan pidana.
Dengan demikian “ketentuan dasar” pemidanaan harus ada terlebih dahulu
sebelum penjatuhan pidana atau dapat diartikan bahwa ketentuan dasar untuk
pemidanaan tertuang secara ekplisit dalam sistem pemidanaan, sedangkan sistem
pemidanaan dilihat dari sudut normatif-substantif (hanya dilihat dari norma
hukum pidana substantif) diartikan sebagai keseluruhan aturan/norma hukum
pidana materiil untuk pemidanaan atau keseluruhan aturan/norma hukum pidana
materiil untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.30
Membicarakan ketentuan dasar pemidanaan sama dengan membicarakan asas-asas
yang menjadi dasar pemidanaan dan yang merupakan asas yang fundamental yaitu
asas legalitas dan asas culvabilitas. KUHP sebagai ius constitutum yang memuat
prinsip-prinsip umum (general principle) hukum pidana dan pemidanaan tidak
secara ekplisit mencantumkan kedua asas di atas. Hal ini dipertegas oleh Sudarto
yang menyatakan : KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana
(straftoemetingsleiddraad) yang umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh
pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh
hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana
(straftoemetingsregels).31
Berdasarakan pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa pedoman
pemidanaan merupakan kebijakan legislatif yang “seharusnya” ada dalam aturan/
norma hukum pidana materiil yang harus diperhatikan dalam pemberian pidana.
Tujuan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “arah,haluan
(jurusan), maksud, tuntutan (yang dituntut)”.32
Tujuan pemidanaan berarti arah yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan
pidana atau dapat diartikan juga maksud yang hendak didapatkan dari pemberian
pidana/pemidanaan.
Tujuan pemidanaan mengemban fungsi pendukung dari fungsi hukum pidana
secara umum yang ingin dicapai sebagai tujuan akhir adalah terwujudnya
kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Social defence dan social welfare).
Tujuan pemidanaan secara khusus dapat dilihat dari pendapat Prof Roeslan Saleh
mengenai tiga alasan masih diperlukan hukum pidana dan pidana khususnya
alasan yang ketiga yaitu : “pengaruh pidana atau hukuman bukan semata mata
ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak
jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat”.33
Berdasarkan pendapat di atas sangat jelas terlihat bahwa tujuan hukuman/
pemberian pidana adalah di samping untuk si penjahat itu sendiri tetapi juga untuk
masyarakat secara umum agar taat terhadap norma hukum. Ditetapkan tujuan
pemidanaan terkandung maksud agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan
keadaan terpidana sehingga dapat mencapai tujuan, di samping sistem
pemidanaan ini adalah sistem yang bertujuan (purposive system).
Alasan lain ditetapkannya tujuan pemidanaan/ pemberian pidana adalah adanya
keterbatasan dari sanksi pidana itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh H.L.
PACKER yaitu :
“(The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of
human freedom. Used providently and humanely it is guarantor; used
indiscriminately and coercively, it is threatener)”
“Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan
suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
manusiawi; ia merupakan pengancam apa bila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa”.34
Pernyataan di atas secara implisit menyarankan agar tujuan pemidanaan
ditetapkan sehingga pidana yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai penjamin
terhadap tujuan hukum pidana sebagai sarana untuk mencapai perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai penjamin tidak terjadi penurunan
derajat kemanusiaan/dehumanisasi dalam pelaksanaan pidana.
Menetapkan tujuan dan pedoman pemberian pidana harus dijadikan pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana sehingga keputusan hakim tersebut dapat
terbaca oleh orang lain(masyarakat) dan khususnya oleh orang yang
berkepentingan dalam perkara itu

Pengertian Tindak Pidana


Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
perbuatan seperti yang terwujud in-abstarcto dalam peraturan pidana. Sedangkan
kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi
norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Mengenai pengertian tindak
pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda
sebagai berikut:
a. Pompe:
Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

  1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang
    dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana
    untuk mempertahankan tata hukum dan meenyelamatkan kesejahteraan
    umum.
  2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh
    peraturan undang-undang dirumuskan sebaggai perbuatan yang dapat
    dihukum.23
    b. Simons:
    Tindak pidana adalah “kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana,
    yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
    dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.24
    c. Vos:
    Tindak pidana adalah “suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh
    peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang
    dengan ancaman pidana”.25
    d. Van Hamel:
    Tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang-
    undang), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan
    dengan kesalahan”.26
    e. Moeljatno:
    Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu
    aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
    tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.27
    f. Wirjono Prodjodikoro:
    Tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang pelaku nya dapat dikenakan
    hukuman pidana”.28
    Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar diatas,
    dapat diketahui bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah merupakan suatu
    perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan
    24 Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.1987. hlm. 56
    25 Ibid.
    26 Ibid.
    27Ibid., hlm.54
    28 Wirjono P. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Eresco. Bandung. 1986. Hlm. 55
    22
    yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana
    aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi
    pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan
    kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar
    aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap
    orang tersebut sebagai pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa
    aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya
    antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai
    hubungan yang erat pula.

Pengertian Hukum Pidana


Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik
merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak
zaman dahulu. Hukum ini dianggap sangat penting eksistensinya dalam menjamin
keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan
(bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku
pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang
ada di setiap masanya.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap pegertian hukum pidana,
ada beberapa pendapat dari para ahli sebagai berikut :17
Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah “semua aturan-aturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana
dan apakah macamnya pidana itu”.18
Menurut Simons memberikan pengertian hukum pidana sebagai:
a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan
nestapa, yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan
pidana;19
Menurut Moeljanto, Hukum pidana adalah: “Bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.20
Menurut Mezger “hukum pidana adalah aturan hukum, yang mengikatkan kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa
pidana”.21
Selanjutnya dijelaskan oleh Mezger, pengertian hukum pidana itu meliputi dua hal
pokok, yaitu aturan hukum yang mengatur tentang:
a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa pengertian
dari Hukum Pidana adalah suatu aturan-aturan yang berisi larangan atas pebuatan
yang bersifat merugikan atau perbuatan yang dilarang

Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan


Pencurian yang diatur dalam Pasal 363KUHP dan Pasal 365 KUHP
dinamakan pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerd diefsal), “pencurian
khusus” sebab pencurian tersebut dilakukan dengan cara tertentu. Istilah yang
dirasa tepat yaitu “pencurian dengan pemberatan” sebab dari istilah tersebut
sekaligus dapat dilihat, bahwa karena sifatnya maka pencurian itu di perberat
ancaman pidananya.
Kata “pencurian” dalam rumusan dengan kualifikasi seperti yang
diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP tersebut
mempunyaiartiyang sama dengan kata “pencurian” sebagai pencurian dalam
bentuk pokok yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, dengan demikian
antara pencurian dengan pemberatan dan pencurian biasa mempunyai unsur-
unsur yang sama, yaitu:

  1. Unsur subjektif
    Dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.
  2. Unsur obyektif
    a) Barang siapa
    b) Mengambil
  3. Sebuah benda
  4. Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain
    Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu juga
    merupakan suatu “gequalificeerde diefstal” atau suatu pencurian dengan
    kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang
    memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP
    itu sesungguhnya hanyalah “suatu kejahatan” dan bukan “dua kejahatan”
    yang terdiri dari kejahatan “pencurian” dan kejahatan pemakaian kekerasan
    terhadap orang, ataupun bukan merupakan suatu “samenloop” dari kejahatan
    dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap
    orang.
    Kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ditujukan kepada orang-
    orang, akan tetapi tidaklah perlu bahwa orang tersebut merupakan pemilik
    dari benda yang akan dicuri atau telah dicuri.
    Unsur-unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian
    yang diatur dalam Pasal 365 ayat(2) KUHP menurut Solahuddin adalah
    sebagai berikut: Pencurian yang dirumuskan adalah Pasal 365 ayat (1)
    KUHP dengan disertai masalah-masalah yang memberatkan yaitu:
  5. Pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup
    dimana berdiri sebuah rumah;
  6. Di jalan umum;
  7. Di jalan kereta api atau trem yang sedang berjalan;
  8. Dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih;
  9. Yang bersalah memasuki tempat kejahatan dengan cara membongkar,
    memanjat anak kunci palsu, perintah palsu, pakaian jabatan palsu. 21
    Dengan melihat pengertian dari unsur-unsur yang terdapat dalam
    Pasal 365 KUHP ini dapat dikatakan bahwa Pasal tersebut merupakan
    pembatasan antara delik harta benda (vermogens delict) dan delik terhadap
    nyawa (levens delict). Lebih-lebih apabila kejahatan tersebut mengakibatkan
    matinya seseorang yang menurut KUHP Indonesia diancam dengan hukuman
    mati, sedangkan WvS Nederland hanya ancaman penjara selama-lamanya 15
    tahun

Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian


Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut Lamintang, tindak
pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362
KUHP tersebut di atas terdiri dari unsur subyektif dan obyektif19
a. Unsur subyektif “met hetoogmerk om het zich wederrehtelijk toe te
eigenen” atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara
melawan hukum;
b. Unsur Obyektif

  1. Hij atau barang siapa;
  2. Wegnemen atau mengambil;
  3. Eeniggoed atau sesuatu benda;
  4. Dat geheel of gedeeltelijk aan ander toebehoort atau yang sebagian
    atau seluruhnya kepunyaan orang lain.
    Seperti telah diketahui unsur obyektif pertama dari tindak pidana yang
    diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah hij, yang lazim diterjemahkan ke
    dalam Bahasa Indonesia dengan kata “barang siapa”. Kata hij tersebut
    menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana
    yang diatur dalam Pasal tersebut maka karena bersalah telah melakukan
    tindak pidana pencurian, ia dapat dipidana dengan pidana penjara selama-
    lamanya lima tahun atau pidana denda setinggi-tingginyaa sembilan ratus
    rupiah.
    Unsur obyektif yang kedua dari tindak pidana pencurian adalah
    perbuatan “mengambil” sudah tersimpul pengertian sengaja maka undang-
    undang tidak menyebutkan “dengan sengaja mengambil” maka pertama
    terpikir oleh kita adalah membawa sesuatu barang dari suatu tempat ke
    tempat lain. Perbuatan “mengambil” tidak cukup apabila si pelaku hanya
    memegang barangnya saja, akan tetapi si pelaku harus melakukan suatu
    perbuatan sehingga barang yang dimaksud jatuh dalam kekuasaannya.
    Mengenai pengertian unsur “mengambil” menurut Lamintang bahwa:
    Perlu diketahui bahwa baik undang-undang maupun pembentuk undang-
    undang ternyata tidak pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang
    diamksud dengan perbuatan “mengambil”, sedangkan menurut pengertian
    sehari-hari kata “mengambil” itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti,
    yakni:
  5. Mengambil dari tempat diamana suatu benda itu semula berada;
  6. Mengambil suatu benda dari penguasaan orang lain sehingga dapat
    dimengerti jika di dalam doktrin kemudian telah timbul berbagai
    pendapat tentang kata “mengambil” tersebut. 20
    Karena tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP
    itu adalah merupakan suatu “tindak pidana formil” maka tindak pidana
    tersebut harus dianggap telah selesai dialakukan oleh pelakunya yaitu segera
    setelah pelaku tersebut melakukan perbuatan “mengambil” seperti yang
    dilarang untuk dilakukan orang dalam Pasal 362 KUHP. Unsur obyektif
    ketiga dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu
    ialah suatu benda atau eenig goed. Kata goed itu oleh para pembentuk Kitab
    Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini,
    ternyata bukan hanya dipakai dalam rumusan Pasal 362 KUHP saja
    melainkan juga dalam rumusan-rumusan dari lain-lain tindak pidana, seperti
    pemerasan, penggelapan, penipuan, pengrusakan

Pengertian Tindak Pidana Pencurian


Salah satu bentuk kejahatan yang tercantum dalam Buku Kedua
KUHP adalah tindakpidana pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab
XXII Pasal 362-367 KUHP. Mengenai tindak pidana pencurian ini ada salah
satu pengkualifikasian dengan bentuk pencurian dengan pemberatan,
khususnya yang diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP.
Pencurian secara umum dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam poluh
rupiah”.18
Kaitannya dengan masalah kejahatan pencurian, di Indonesia
mengenai tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas
5 (lima) macam pencurian:

  1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) Perumusan pencurian biasa diatur
    dalam Pasal 362 KUHP yang menyatakan sebagai berikut: “Barang siapa
    mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
    orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
    diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
    atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.
    Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka unsur-unsur tindak pidana
    pencurian (biasa) adalah sebagai berikut:
  2. Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur:
    a. Mengambil;
    b. Suatu barang
    c. Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
  3. Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur:
    18 Salahuddin,2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Acara Pidana dan Perdata
    (KUHP, KUHAP dan KUHAPdt), Cet-1.Visimedia. Jakarta, hal :86.
    a. Dengan maksud;
    b. Untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri;
    c. Secara melawan hukum.
  4. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
    Istilah “pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doktrinal
    disebutsebagai “Pencurian yang dikulifikasikan ”. Pencurian yang
    dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan
    dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat
    lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula
    dari pencurian biasa.
    Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan
    pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan
    tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-
    unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan
    membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.
    Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP, maka
    unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah:
    1) Unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP
    2)Unsur-unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHP yang meliputi
    :
    a. Pencurian ternak (Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP)
    b. Pencurian pada waktu ada kebakaran, peletusan, gempa bumi,
    atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal
    terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan,
    atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHP);
    c. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau
    pekarangan tertutup yang ada rumahnya, uang dilakukan orang
    yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh
    yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP);
    d. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang yang bersekutu (Pasal
    363 ayat (1) ke-4 KUHP);
    e. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
    atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan
    dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan
    memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu
    (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP).
  5. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)
    Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari
    pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan
    unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi
    diperingan.
    Perumusan pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP yang
    menyatakan:“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 364
    ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5,
    apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup
    yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua
    ratus lima puluh rupiah, dikenai, karena pencurian ringan pidana paling
    lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.
    Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-unsur
    dalam pencurian ringan adalah:
  6. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP);
  7. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-
    sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);
  8. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau
    memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;
  9. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;
  10. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya; dan
  11. Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh
    lima rupiah.
  12. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)
    Jenis pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP lazim disebut dengan
    istilah “pencurian dengan kekerasan” atau culas. Ketentuan Pasal 365
    selengkapnya sebagai berikut:
  13. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,
    pencurian yang didahuli, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau
    ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk
    mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
    tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau
    peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
  14. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun;
    a. Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada malam hari dalam sebuah
    rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan
    umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
    b. Ke-2 jika perbuatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
    dengan bersekutu;
    c. Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan
    merusak atau memanjat dengan memakai anak kunci palsu,
    perintah palsu atau pakaian seragam palsu;
    d. Ke-4 Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
  15. Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara
    paling lama lima belas tahun.
  16. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
    selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
    mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang
    atau lebih dengan bersekutu, jika disertai oleh salah satu hal yang
    diterangkan dalam point 1 dan 3.
  17. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP)
    Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini
    merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun
    korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal 367 KUHP
    akan terjadi apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau
    membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau
    suaminya.
    Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami-isteri
    tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja
    atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayaannya, maka pencurian
    atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak
    boleh dilakukan penuntutan. Tetapi apabila dalam pencurian yang
    dilakukan oleh suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami
    atau orang lain (bukan sebagai anggota keluarga) baik sebagai pelaku
    maupun sebagai pembantu, maka terhadap orang ini tetap dapat
    dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan

Tujuan Pemidanaan


Konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54
yaitu :

  1. Pemidanaan bertujuan
    a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
    norma hukum demi pengayom masyarakat.
    b.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
    sehingga menjadi orang yang baik dan berguna
    c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkanoleh tindak pidana,
    memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
    dalam masyarakat; dan
    d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
  2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
    merendahkan martabat manusia Tujuan pemidanaan yang
    dikemukakan oleh Hakristuti sebagai berikut :
    Tujuan pemidanaan dalam konsep KUHP nampak lebih
    cenderung ke pandangan konsekuensialis, falsafah utilitarian
    memang sangat menonjol, walaupun dalam batas-batas tertentu
    aspek pembalasan sebagai salah satu tujuan pemidanaan masih
    dipertahankan. Dalam arti, tujuan pemidanaan di dalamnya juga
    mengandung arti adanya aspek pembalasan terhadap pelaku
    kejahatan yang melakukan tindak pidana.16
    Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang
    dilematis,terutama dalam menetukan apakah pemidanaan ditujukan
    untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau
    merupakan tujuan yang layak dari proses pidana sebagai
    pencegahan tingkah laku yang anti sosial.
    Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika
    tidak berhasil dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem
    atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan
    mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan
    teori-teori pemidanaan.
  3. Jenis-Jenis Pidana
    Jenis-jenis pidana (hukuman) menurut KUHP, hukuman pokok
    telah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai
    berikut :
    Pidana terdiri atas:
    a. Pidana Pokok
  4. Pidana Mati
  5. Pidana penjara
  6. Kurungan
  7. Denda
    b. Pidana Tambahan
  8. Pencabutan hak-hak tertentu
  9. Perampasan barang-barang tertentu
  10. Pengumuman putusan hakim.
    Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain
    yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.
    a. Pidana Pokok
  11. Pidana Mati
    Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan
    terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya
    pembunuhan berencana (Pasal340 KUHP), pencuriandengan
    kekerasan (Pasal 365 ayat(4), pemberontakan yang diatur dalam
    Pasal 124 KUHP.
  12. Pidana Penjara
    Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu
    berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat
    dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan.
    Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap
    pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian.
    Leden Marpaung (2008:108)mengemukakan bahwa : hukuman
    penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini
    diatur dalam Pasal 12 KUHP yang berbunyi:
    1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
    2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu
    hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
    3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk
    dua puluh tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim
    boleh memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan
    pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara
    selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas
    tahun dapat dilampaui karena pembarengan (concursus),
    pengulangan(residive) atau Karena yang telah ditentukan dalam
    Pasal 52.
    4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh
    lebih dari dua puluh tahun. 17
  13. Kurungan
    Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan
    antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan
    kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-
    hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dll.
    Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP
    yang berbunyi :
    1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan
    paling lama satu tahun.
    2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu
    tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan
    karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan
    pada Pasal 52 dan 52 a.
  14. Denda
    Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga
    diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative
    atau kumulatif. Jumlah yang dapay dikenakan pada hukuman denda
    ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak
    ada ketentuan.
    Mengenai hukuman denda diatur dalam Pasal 30 KUHP,yang
    berbunyi:
    1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima
    sen.
    2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar
    maka diganti dengan hukuman kurungan.
    3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda
    sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
    4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa,
    bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu
    hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah
    gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak
    cukup, gantinya setengah rupiah juga.
    5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya
    delapan bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah
    karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan
    atau karena ketentuan Pasal 52 dan 52a.
    6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan
    bulan.
    Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik
    keluarga atau kenalan dapat melunasinya.
    b. Pidana Tambahan
  15. Pencabutan hak-hak tertentu
    Hal ini diatur dalam Pasal 35 KUHP yang berbunyi:
    a. Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam
    hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam
    undang-undang umum lainnya, ialah
    1) Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu;
    2) Masuk balai tentara;
    3) Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan
    karena undang-undang umum;
    4) Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau
    pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang
    bukan ankanya sendiri;
    5) Kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atas anaknya
    sendiri;
    6) Melakukan pekerjaan tertentu.
    b. Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari
    jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk
    pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan
    pemecatan itu.
  16. Perampasan Barang Tertentu.
    Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang
    yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik
    terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau
    barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan
    kejahatannya.
    Hal ini diatur dalam Pasal 39 KUHP yang berbunyi:
    1) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan
    kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk
    melakukan kejahatan, boleh dirampas.
    2) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan
    tidak dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat
    juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah
    ditentukan oleh undang-undang.
    3) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang
    bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi
    hanyalah atas barang yang telah disita.
  17. Pengumuman Putusan Hakim.
    Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada
    khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum
    lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh
    hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang
    semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan
    pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43
    KUHP)

Teori Pemidanaan


Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam tiga kelompok teori, yaitu:
a. Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari
pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Adapun
tujuan utama (primair) dari pidana meneurut teori absolut ialah, untuk
memuaskan tuntutan keadilan (tosatisfy the clams of justice) sedangkan
pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan
keadilan yang bersifat absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat
Immanuel Kant sebagai berikut :
Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana
untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu
sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan
hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk
menghacurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh
terakhir yang masih ada di dalam penjara harus di pidana mati sebelum
resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini
harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari
perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada apa pada
anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat
dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu
yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.14
b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen)
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan
absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,
tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu menurut J.Andenaes, teori ini disebut sebagai “teori
perlindungan masyarakat” (the theory of social defense). Sedangkan
menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori aliran reduktif
(the redictive point of view)karena dasar pembenaran pidana menurut
teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu
para para penganutnya dapat disebut golongan “reducers” (penganut teori
reduktif).
Pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
14Chazawi, Adami.2013, Hukum Pidana Bagian 1. Rajawali Pers.Jakarta, hal. 157
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori
inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar
pembenaran adanya tindak pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “qua peccatum est”(karena orang
membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur”(supaya orang jangan
melakukan kejahatan).
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa
dibedakan antara istilah prevensi special dan prevensi general atau sering
juga digunakan istilah special deterrence dan general deterence.
Denganprevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap
terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana
dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan
tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu
berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan reformation atau
rehabilitation theory.
Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap
masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin
dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota
masyarakat pada umunya untuk tidak melakukan tindak pidana.
c. Teori gabungan (verenigings teorieen);
Di samping pembagian secara tradisionalteori-teori pemidanaan
seperti dikemukakan di atas, ada teori ketiga yang disebut gabungan
(verenigings theorieen). Teori gabungan mendasarkan pidana pada dasar
pertahanan dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:

  1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
    tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
    dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.
  2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
    masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhnya pidana tidak boleh
    lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
    Pendukung dari teori gabungan yang lebih menitikberatkan pada
    pembalasan yang lebih menitikberatkan pada pembalasan ini didukung
    oleh Pompe yang mengatakan bahwa :yang mempunyai pandangan
    bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga
    bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar supaya
    kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.
    Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat
    bagi pertahanan tata tertib hukum di dalam masyarakat

Penegakan Hukum Pidana


Penegakan hukum pidana apabila dilihat dari suatu proses kebijakan
maka penegakan pada hakikatnya merupakan penegakan melalui beberapa
tahap, yaitu:

  1. Tahap formulasi, yaitu: tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
    pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap legislatif.
  2. Tahap aplikasi, yaitu: tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
    penegak hukum mulai dari kepolisian sampai tahap pengadilan. Tahap
    kedua ini bisa disebut pula tahap kebijakan yudiakatif.
  3. Tahap eksekusi, yaitu: tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh
    aparat penegak hukum. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau
    administratif.
    Hartono mengemukakan bahwa:Penegakan hukum adalah suatu proses
    untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut
    sebagai keinginan-keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan
    pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.
    Ditambahkan lagi, bahwa dengan berakhirnya pembuatan hukum sebagaimana
    telah diuraikan di atas, proses hukum baru menyelesaikan satu tahap saja dari
    suatu perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan hukum
    masih harus disusul oleh pelaksanaanya secara kongkrit dalam kehidupan
    masyarakat sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum itu.13
    Kalau dilihat secara fungsional, maka sistem penegakan hukum itu
    merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh
    alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Adapun yang dimaksud
    dengan “alat penegak hukum” itu biasanya hanyalah kepolisian, setidak-tidaknya
    badan-badan yang mempunyai wewenang kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi
    kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, maka penegakan hukum itu
    menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintah dan
    aparat eksekusi pidana. Bukankah mereka ini mempunyai peranan dalam aktivitas
    guna mencegah dan mengatasi perbuatan yang melawan hukum pada umumnya.
    Penegakan hukum dibidang hukum pidana didukung oleh alat
    perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan hukum di
    bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksudkan disini adalah Kepolisian,
    Kejaksaan, Pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang peraturan-peraturan
    yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain ketentuan hukum acara pidana,
    Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang tentang Kepolisian,
    Undang-Undang tentang Kejaksaan

Jenis-Jenis Tindak Pidana


Dalam membahas tindak pidana ditemukan beragam tindak pidana
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik itu sengaja maupun tidak
sengaja. Tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu
yaitu sebagai berikut:
a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam Buku II
dan pelanggaran dimuat dalam Buku III.
Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis
pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari
ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana
pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan
kejahatan lebih dominasi dengan ancaman pidana.
Kriteria lain yang membedakan kejahatan dan pelanggaran yakni
kejahatan itu merupakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum
dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu
hanya membahayakan in abstracto saja.
Secara kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik
kejahatan dan pelanggaran itu sebagai berikut:

  1. Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan
    kejahatan di Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang
    digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka di pandang
    tidak perlu dituntut.
  2. Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.
  3. Pada pemidanaan terhadap anak di bawah umur tindak tergantung pada
    apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
    b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan
    tindak pidana materil.
    Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan
    sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang
    dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan
    tindak pidana formil tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari
    perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-
    mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian digantung pada
    selesainya perbuatan mengambil.
    Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan
    adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang
    menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan
    dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materil, tidak
    bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi
    sepenuhnya di gantungkan pada syarat timbulnya akibat larangan tersebut.
    c.Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara
    tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama
    atau berlangsung lama/berlangsung terus.
    Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk
    terwujudnya atau terjadinya dalam waktuseketika atau waktu singkat saja,
    disebut juga dengan aflopende delicten. Tindak pidana ini disebut sebagai
    tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.
    d.Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan
    tindak pidana tidak dengan sengaja.
    Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana dengan kesengajaan atau
    mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak sengaja adalah tindak
    pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.
    e.Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
    tindak pidana khusus.
    Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam
    KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III).
    Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak yang terdapat
    diluar kodifikasi KUHP.
    f. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
    aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana
    pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.
    Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
    perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang mewujudkan
    diisyaratkan dengan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.
    Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak
    pidana.
    Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni
    dan tindak pidana pasif tidak murni. Tindak pidana yang dirumuskan secara
    formil atau tindak pidana yang pada dasar nyasemata-mata unsur
    perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu tindak pidana
    pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa
    tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif,
    atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan
    dengan tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar
    timbul.
    g.Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan dibedakan
    antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
    Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan
    sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan
    dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian
    terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal.
    Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak
    pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai
    selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan secara
    berulang.
    h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
    dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.
    Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang
    untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak
    disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan
    adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana
    disyaratkan untuk terlebih dahulu adanyapengaduan oleh yang berhak
    mengsajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata,
    atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa
    khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.
    i. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak
    terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi.
    Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP
    didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan
    kepentingan hukum yang dilindungi ini maka dapat disebutkan misalnya
    dalam Buku II.
    Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan negara,
    dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan negara (Bab I), untuk
    melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa
    umum dibentuk kejahatan terhadap penguasa umu (Bab VIII), untuk
    melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk
    tindak pidana seperti Pencurian (Bab XII), Penggelapan (Bab XXIV),
    Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII) dan seterusnya.
    j. Dilihat dari sudut subjek hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana
    communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan
    tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang
    yang berkualitas tertentu).
    Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk
    berlaku pada semua orang dan memang bagian terbesar tindak pidana itu
    dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-
    perbuatan yang tidak patut tertentu yang khusus yang hanya dapat dilakukan
    oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada
    kejahatan jabatan) atau nahkoda (pada kejahatan pelayaran) dan sebagainya

Unsur Tindak Pidana Menurut Undang-Undang


Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat
diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu;12
a. Unsur tingkah laku;
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur di atas, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan
melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa
unsur objektif.Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada
di luar keadaan batin manusia/si pembuat, yakni semua unsur mengenai
perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat
(sekitar) pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara itu, unsur yang
bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada
keadaan batin orangnya

Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis


  1. Adami Chazawi menguraikan beberapa unsur tindak pidana
    menurut para teoritis sebagai berikut :
    a. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :
    a) Perbuatan;
    b) Yang dilarang (oleh aturan hukum);
    c) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
    b. Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:
    a) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
    b) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    c) Diadakan tindakan penghukuman.
    c. Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah:
    a) Kelakuan manusia;
    b) Diancam dengan pidana;
    c) Dalam peraturan perundang undangan.
    d. Menurut Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-
    unsur tindak pidana adalah :
    a) Perbuatan (yang);
    11 Adami Chazawi, op. cit. Hal : 79-81
    b) Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
    c) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
    d) Dipertanggungjawabkan.
    e. Menurut Schravendijk, jika dirinci unsur-unsur tindak pidana
    sebagai berikut:
    a) Kelakuan (orang yang);
    b) Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
    c) Diancam dengan hukuman;
    d) Dilakukan oleh orang (yang dapat);
    e) Dipersalahkan/kesalahan.
    Jika disimpulkan dari semua pendapat para teoritis mengenai
    unsur-unsur tindak pidana, pada hakikatnya terdapat kesamaan dari tiap
    pendapat yaitu sama-sama mengandung unsur pembuat dan unsur
    perbuatan

Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Straf diartikan sebagai pidana atau
hukum, baar diartikan sebagai dapat atau boleh dan feit diartikan sebagai
tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.5 Tetapi tidak ada penjelasan
resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah strafbaar
feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Oleh
karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari
istilah itu. Sayangnya sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.
“Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normative). Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normative
adalah perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana.
Artinya aturan yang mengatur perbuatan yang diancam pidana, pihak-pihak
yang dapat dipidana dan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana.
Para pakar hukum pidana masing-masing memberikan pengertian
berbeda mengenai strafbaar feit sebagai berikut :

  1. Moeljatno
    “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
    disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
    melanggar larangan tersebut”.6
  2. Pompe
    “Strafbaar feit adalah pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
    hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak disengaja telah dilakukan
    oleh seseorang pelaku dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku
    tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
    kepentingan umum.”7
  3. Simons
    “Strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah
    dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan dengan tidak sengaja oleh
    seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
    undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
    dihukum.”8
  4. Hazewinkel Suringa
    “Strafbaar feit adalah suatu perilaku manusia yang suatu saat tertentu
    telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap
    sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan
    menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di
    dalam Undang-Undang”.9
  5. J. E Jonkers
    Ia memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua pengertian berikut10
    a. Definisi pendek, strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat
    diancam pidana oleh undang-undang.
    b. Definisi panjang, strafbaar feit adalah suatu kelakuan melawan hukum
    yang dilakukan dengan sengaja atau karena alpa oleh orang yang
    dapat dipertanggungjawabkan.
    Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, penulis menyimpulkan
    bahwa strafbaar feit yaitu tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan
    hukum yang disertai ancaman sanksi berupa pidana tertentu, bagi siapa
    saja yang melanggar aturan itu

Pengertian Hukum Perdata


Hukum perdata merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur
segala macam hak dan kewajiban subjek hukum. Hukum perdata juga
biasa dengan hukum privat karena mengatur tentang hak-hak keperdataan
seseorang.1 Di Indonesia dasar Hukum perdata adalah Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan hasil dari
kodifikasi produk hukum belanda yakni Burgerlijk Wetboek (BW). Istilah
hukum perdata berasal dari istilah bahasa belanda yakni burgerlijkrecht
yang merupakan serangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur
interaksi orang satu dengan yang lain dan berfokus untuk mengatur
keperluan seseorang. Asal muasal lahirnya burgerlijkrecht pun juga
merupakan turunan dan kodifikasi peraturan lain yakni Code Napoleon
yang merupakan produk hukum negara Perancis. Banyak aturan-aturan
mendasar yang burgerlijkrecht ambil dari Code Napoleon untuk dijadikan
sebagai hukum keperdataannya. Tidak mengherankan jika hukum perdata
yang berlaku di Indonesia sekarang memiliki banyak kesamaan dengan
hukum perdata yang dimiliki negara Belanda dan Perancis.2

Selanjutnya para ahli hukum perdata memberikan pendapatnya
tentang apa yang dimaksud dengan hukum perdata. Berikut adalah
pendapatnya:

  • Menurut L.J. van Apeldoorn Hukum Perdata adalah peraturan-
    peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan
    khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak, diserahkan
    kepada yang berkepentingan.
  • Menurut R. Subekti, hukum perdata adalah segala hukum yang
    mengatur kepentingan-kepentingan orang.
  • Menurut Van Dunne, pada abad ke-19 menjelaskan bahwa “Suatu
    peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi
    kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan
    perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang
    minimal bagi kehidupan pribadi”
    Dasar pemberlakuan hukum perdata juga merupakan amanat
    Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalam pasal
    1 aturan peralihan UUD 1945 pada intinya menjelaskan bahwa segala
    peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama masih
    belum ada peraturan perundang-undangan yang menggantikannya.3 Dengan
    demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perdata
    mentitikberatkan substansinya terhadap pengaturan tentang perlindungan
    subjek hukum perorangan. Perlu diperhatikan, disebutkan dalam teori ilmu
    hukum bahwa subyek hukum tidak hanya terbatas pada orang atau individu,
    disebutkan subyek hukum lain yakni badan hukum. Oleh karenanya dapat
    diartikan bahwa hukum perdata adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum
    (tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subyek
    hukum satu dengan subyek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan
    dan di dalam pergaulan kemasyarakatan

Hukum Pidana dan Tindak Pidana


Sampai saat ini, pengertian hukum belum ada yang tau pasti atau dengan
kata lain, belum ada sebuah pengertian hukum yang dijadikan standar dalam
memahami makna dan konsep hukum1. Notohamidjojo mendefinisikan
hukum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis
yang biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan masyarakat negara (serta
antar negara), yang mengarah kepada keadilan, demi terwujudnya tata damai,
dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat.2 Sedangkan
menurut Soedarto pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.3
W.L.G Lemaire memberikan pengertian mengenai hukum pidana itu
terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-
larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu
sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan

suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan
yang mana hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana
terdapat suatu keharusan yang melakukan sesuatu dan dalam keadaan-
keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.4
Adanya aturan-aturan yang bersifat mengatur dan memaksa anggota
masyarakat untuk patuh dan menaatinya, akan menyebabkan terjadinya
keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan mereka. Para pakar hukum
pidana mengutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah pertama, untuk
menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (preventif).
Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik
(represif).5
Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang
perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana
di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa
kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum
pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan
hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

Tujuan Hukum Pidana sebagai Sanksi
Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan memberi
dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan sekaligus
sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana. Tujuan ini
biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari
semua ketentuan hukum pidana atau dalam penjelasan umum.

  1. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar
    hukum pidana
    Tujuan ini bercorak pragnatik dengan ukuran yang jelas dan konkret
    yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya pelanggaran
    hukum pidana dan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana.
    Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.
    Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
    pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs
    Belanda maupun berdasarkan asas konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada
    WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa
    yang dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha
    untuk memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat ini belum ada
    keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.7
    Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakekatnya tidak
    menjadi persoalan sepanjang penggunaanya disesuaikan dengan konteksnya dan
  2. dipahami maknanya. Karena itu berbagai istilah tersebut digunakan bergantian
  3. bahkan dalam konteks yang lain istilah kejahatan untuk menunjukan maksud
  4. yang sama.8
  5. Pendapat beberapa ahli mengenai tindak pidana adalah:9
  6. a. Van Hamel merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu
  7. serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.
  8. b. Menurut Simons, “strafbaar feit” itu sebagai suatu tindakan
  9. melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
  10. tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
  11. dipertanggungjawabkan atas tindakan dan oleh undang-undang
  12. telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
  13. c. Moeljatno menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
  14. yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang-siapa
  15. melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan
  16. oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang
  17. dicita-citakan oleh masyarakat.
  18. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
  19. diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan
  20. yang bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh

Tugas dan Wewenang Kepolisian

Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat.

Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah[1]:

  1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
    1. Menegakkan hukum; dan
    1. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan wewenang polisi yaitu terutama yang berseragam wajib melakukan tindakan Kepolisian bila melihat pelanggaran hukum yang terjadi.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan ketentraman di tengah – tengah masyarakat. Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, hanya dapat diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, benar dan bertanggung jawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka Rahim, menyatakan bahwa tugas yang diemban oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif. [2]

Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah dibentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana. Menurut Gewin maka  tugas Polisi adalah sebagai berikut :“Tugas polisi adalah bagian dari pada tugas negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.

Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai berikut :

(1)  Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.

(2)   Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a   menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.

Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Dari berbagai peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat


[1] Tabah, 2001, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia,  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

hal. 81.

[2]

Teori Keadilan Dalam Hukum

Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [1]

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealisme memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialisme memandang sebaliknya.

Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[2]

Keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggang waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai -nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

Dalam perkembangan teoeri keadilan procedural dan substantive dikenal berbagai tokoh. Diantaranya adalah Aristoteles yang mengemukakan bahwa pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak di pandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara di hadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.[3]

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian bermacam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak  Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. [4]

Dikenal juga adanya tokoh John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap – tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasi” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).[5]

Dalam perkembangannya dikenal juga adanya konsep mengenai hukum progresif. Dimana Hukum Progressif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progressif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final melakinkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum Progressif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berbagi paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjuriprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. [6]

Hukum Progressif muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap praktek keadilan hukum di Indonesia. Pengadilan tidak hanya berperan dari institusi hukum namun juga menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Dengan demikian hukum progressif dapat berkembang dengan lahirnya pengadilan progressif yaitu proses yang sarat dengan dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Untuk mewujudkan pengadilan yang progressif diperlukan hakim yang progressif pula yaitu hakim yang menjadikan dirinya bagian masyarakat yang tidak hanya bekerja di bawah undang-undang namun juga mampu mendengarkan keinginan dari rakyat. [7]

Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bangsa Indonesia, pada hakikatnya memerintahkan  agar manusia senantiasa melakukan hubungan  yang serasi antaar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan – hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak, menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha dan merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.[8]

Dengan demikian hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan – keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu dalam masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di dalam kelompok masyarakat hukum.


Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara menurut Pasal 1 Angka 6 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Penyelenggara dalam pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang online ini sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi. Badan hukum yang menjadi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi tersebut wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. [1]

  • Penerima Pinjaman

Penerima pinjaman menurut Pasal 1 Angka 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Penerima pinjaman dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara dengan pemberi pinjaman. Ketentuan penerima pinjaman menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.  Ketentuan mengenai syarat- syarat penerima pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara. [2]

  • Pemberi Pinjaman

Pemberi pinjaman menurut Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang, badan hukum dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjma berbasis Teknologi Informasi. Penerima pinjaman merupakan pihak yang memberikan pinjaman atau pendanaan kepada penerima pinjaman yang membutuhkan dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara. Ketentuan pemberi pinjaman menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia, orang perseorangan Warga Negara Asing, badan hukum Indonesia atau asing, badan usaha Indonesia atau asing dan/atau lembaga Internasional. Ketentuan mengenai syarat-syarat pemberi pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara. [3]

  • Hubungan Hukum

Penyelenggara dengan Penerima Pinjaman Antara pihak penyelenggara dengan penerima pinjaman, terjadi suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian. Namun, perjanjian antara penyelenggara dan penerima pinjaman berupa perjanjian pengguna layanan pinjam peminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Perjanjian tersebut lahir ketika penerima pinjaman telah melakukan penerimaan terkait dengan segala ketentuan penggunaan yang ditetapkan oleh penyelenggara dan kemudian mengajukan permohonan peminjaman berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan pula oleh penyelenggara


Tata Cara  Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Perjanjian pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (online) diawali dengan adanya penawaran yang dilakukan oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi dan dilanjutkan dengan penerimaan yang dilakukan oleh nasabah. Penawaran dan penerimaan dalam perjanjian ini tentu saja memiliki mekanisme yang berbeda dari perjanjian pinjam meminjam konvensional, hal ini dilihat dari cara perjanjian online itu lahir[1].

  1. Penawaran dilakukan secara online

Penawaran (offer) adalah pernyataan salah satu pihak, penawar (offeror), untuk masuk dalam ikatan suatu perjanjian. Dalam konteks online, sebuah jasa online lainnya dapat memajang informasi produk yang ditawarkan kepada konsumen. Informasi tersebut dapat berupa katalog produk dan layanan yang mereka berikan yang disertai dengan berbagai informasi seperti harga, spesifikasi barang, nilai rating produk atau jasa, perusahaan pembuat dan lain-lain.

  • Penerimaan dilakukan secara online

Penerimaan adalah persetujuan akhir dan mutlak terhadap isi dari suatu penawaran dan umumnya penerimaan penawaran harus disampaikan atau dikomunikasikan kepada pihak yang menyampaikan penawaran. Tanpa adanya penerimaan terhadap suatu penawaran, tidak akan mungkin lahir suatu kontrak. Biasanya penerimaan dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh offeror. Seperti halnya penawaran, penerimaan dapat diberikan secara lisan atau tulisan bahkan dapat dilakukan dengan suatu perbuatan tertentu

Dalam Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT), bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara lansung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Dalam perjanjian layanan pinjam meminjam uang yang diatur di dalam fintech berdasarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT). Diatur bahwa dalam Pasal 18 POJK, Perjanjian pelaksanaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi meliputi:

 a. Perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman; dan

 b. Perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.

Bahwa selanjutnya dalam Pasal 19, dijelaskan bahwa Perjanjian penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik. Dokumen elektronik dalam Pasal 1 angka 12 POJK, didefinisikan sebagai setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) wajib paling sedikit memuat:

a. nomor perjanjian;

b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak;

d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

 e. jumlah pinjaman;

f. suku bunga pinjaman;

g. besarnya komisi;

h. jangka waktu;

i. rincian biaya terkait;

j. ketentuan mengenai denda (jika ada);

k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan

 l. mekanisme penyelesaian dalam hal penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.

 Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Pemberi Pinjaman atas penggunaan dananya. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Penerima Pinjaman. Informasi penggunaan dana paling sedikit memuat:

a. jumlah dana yang dipinjamkan kepada Penerima Pinjaman;

 b. tujuan pemanfaatan dana oleh Penerima Pinjaman;

 c. besaran bunga pinjaman; dan

d. jangka waktu pinjaman.

 Sedangkan dalam perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam Pasal 20, dijelaskan lebih lanjut bahwa perjanjian pemberian pinjaman antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik, yang wajib paling sedikit memuat[2]:

 a. nomor perjanjian;

 b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak

 d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

e. jumlah pinjaman;

 f. suku bunga pinjaman;

g. nilai angsuran;

 h. jangka waktu;

i. objek jaminan (jika ada);

 j. rincian biaya terkait;

k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan

 l. mekanisme penyelesaian sengketa.

Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Penerima Pinjaman atas posisi pinjaman yang diterima. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Pemberi Pinjaman. Dijelaskan dalam Pasal 23, bahwa Penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penyelenggara wajib menyediakan virtual account bagi setiap Pemberi Pinjaman. Dalam rangka pelunasan pinjaman,  Penerima Pinjaman melakukan pembayaran melalui escrowaccount Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account Pemberi Pinjaman.

Dengan demikian secara singkat dapat dirangkum bahwa proses aplikasi pinjaman peer lending lazimnya mengikuti proses berikut: Peminjam masuk ke website, registrasi dan mengisi form aplikasi. Platform kemudian memverifikasi dan menganalisa kualifikasi pinjaman tersebut. Pinjaman yang berhasil lolos di posting di website di mana pendana bisa memberikan komitmen dana untuk pinjaman itu. Ada beberapa cara yang di adopsi berbagai platform peer lending untuk mencocokkan peminjam dengan pendana. [3]


[1] Kasmir, 2014, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 80-81

[2] Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Mandar Maju,. Millard

[3] Simorangkir, 2000, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 102

Pengertian Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi

Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.  Perjanjian pinjam meminjam uang online atau dikenal juga dengan nama Peer-To-Peer Lending (P2P Lending) pada dasarnya sama seperti perjanjian pinjam meminjam uang konvensional, hanya saja yang membedakan adalah para pihak tidak bertemu secara langsung, para pihak tidak perlu saling mengenal karena terdapat penyelenggara yang akan mempertemukan para pihak dan pelaksanaan perjanjian dilakukan secara online[1]

Secara teoritis, Peer-to-peer lending atau P2P Lending adalah kegiatan pinjam meminjam antar perseorangan. Praktisi ini sudah lama berjalan dalam bentuk yang berbeda, seringkali dalam bentuk perjanjian informal. Dengan berkembangnya teknologi dan e-commerce, kegiatan peminjaman turut berkembang dalam bentuk online dalam bentuk platform serupa dengan ecommerce. Dengan itu, seorang peminjam bisa mendapatkan pendanaan dari banyak individu. Dalam peer lending, kegiatan dilakukan secara online melalui platform website dari berbagai perusahaan peer lending. Terdapat berbagai macam jenis platform, produk, dan teknologi untuk menganalisa kredit. Peminjam dan pendana tidak bertemu secara fisik dan seringkali tidak saling mengenal. Peer lending tidak sama dan tidak bisa dikategorikan dalam bentuk-bentuk institusi finansial tradisional: himpunan deposito, investasi, ataupun asuransi. Karena itu, peer lending dikategorikan sebagai produk finansial alternatif.[2]

Sebelum membahas tentang aspek perlindungan data pribadi pada transaksi pinjam meminjam online, perlu dipahami bahwa layanan pinjam meminjam online merupakan layanan fintech peer-to-peer lending yang bertindak sebagai penyelenggara atau dengan kata lain, layanan pinjam meminjam yang hanya mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Direktorat Pengaturan,Perizinan dan Pengawasan Fintech (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan sebagai berikut : “Fintech adalah layanan jasa keuangan berbasis teknologi, layanan jasa keuangan ada banyak sekali, ada pendanaan, pasar modal, asuransi dan lain-lan. Fintech Peer To Peer (P2P) Lending termasuk ke dalam layanan jasa keuangan yang berbasis pada teknologi informasi. Kategori fintech ada enam kategori, Fintech Peer To Peer (P2P) Lending di Indonesia hanya sebagai penyelenggara saja atau hanya sebagai platform saja, perusahaan tersebut tidak dapat bertindak sebagai penerima pinjaman ataupun pemberi pinjaman


Konsep Hak Privasi

Hak Privasi adalah hak fundamental yang penting bagi otonomi dan perlindungan martabat manusia dan bertujuan untuk menjadi dasar dimana banyak hak asasi manusia dibangun diatasnya. Privasi memungkinkan kita untuk membuat pembatasan dan mengelolanya untuk melindungi diri dari gangguan yang tidak diinginkan, yang membolehkan kita untuk menegosiasikan siapa kita dan bagaimana kita mau berinteraksi dengan orang di sekitar kita. [1]Peraturan yang melindungi privasi memberikan legitimasi terhadap hak yang kita miliki dan menjadi penting untuk melindungi diri kita dan masyarakat Alasan hak privasi harus dilindungi adalah[2], Pertama, dalam membina hubungan dengan orang lain, seseorang harus menutupi sebagian kehidupan pribadinya sehingga dia dapat mempertahankan posisinya pada tingkat tertentu. Kedua, seseorang di dalam kehidupannya memerlukan waktu untuk dapat menyendiri sehingga privasi sangat diperlukan oleh seseorang,

Ketiga, privasi adalah hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada hak lain akan tetapi hak ini akan hilang apabila orang tersebut mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada umum. Keempat, privasi juga termasuk hak seseorang untuk melakukan hubungan domestik termasuk bagaimana seseorang membina perkawinan, membina keluarganya dan orang lain tidak boleh mengetahui hubungan pribadi tersebut. Dalam pernyataan Warren menyebutnya sebagai the right against the word. Kelima, alasan lain mengapa privasi patut mendapat perlindungan hukum karena kerugian yang diderita sulit untuk dinilai. Kerugiannya dirasakan jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian fisik, karena telah menganggu kehidupan pribadinya, sehingga bila ada kerugian yang diderita maka pihak korban wajib mendapatkan kompensasi.

 Alan Westin memberikan pengertian privasi sebagai[3]:

Privacy is the claim of individuals, groups, or institutions to determine for themselves when, how, and to what extent information about them is communicated to others (

Pernyataan di atas diartikan bahwa privasi adalah klaim individu, kelompok, atau institusi untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana,dan sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain. Hak privasi merupakan salah satu hak yang melekat pada diri setiap orang. Dalam hal lain, hak privasi merupakan martabat setiap orang yang harus dilindungi.

Indonesia memiliki aturan perlindungan data pribadi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang rahasia kondisi pribadi pasien, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur data pribadi mengenai nasabah[4]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

  1. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang. penyimpan dan simpanannya.

 Selain itu pengaturan perlindungan privasi dan data pribadi juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi , Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (telah diubah dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2013) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016), serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.[5]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut[6]:

  1. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang.

Sebelum amandemen UUD 1945, penghormatan terhadap hak privasi seseorang sesungguhnya telah mengemuka di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, bahkan ketika periode kolonial. Hal ini sebagaimana mengemuka di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan Bab XXVII KUHP tentang kejahatan Jabatan, Pasal 430 sampai dengan Pasal 434 mengatur mengenai larangan penyadapan secara melawan hukum. Sementara KUHPerdata mengatur hubungan hukum keperdataan antar-orang atau badan, yang memungkinkan adanya suatu gugatan hukum jikalau hak atas privasinya ada yang dilanggar oleh pihak lain.  Larangan penyadapan secara sewenang-wenang atau melawan hukum (unlawfull interception), yang memiliki keterkaitan erat dengan upaya perlindungan terhadap hak atas privasi juga dapat ditemukan di dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 1 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik materinya tidak hanya mengatur mengenai larangan tindakan penyadapan yang melawan hukum, tetapi juga telah mengatur (meski terbatas) larangan pemindahtanganan. [7]


Pengertian Data Pribadi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian data adalah keterangan yang benar dan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian.  Sedangkan Pribadi sendiri memiliki arti manusia sebagai perseorangan (diri manusia atau diri sendiri),  sehingga dapat disimpulkan bahwa data pribadi merupakan keterangan yang benar dan nyata yang dimiliki oleh manusia sebaga perseorangan. UU ITE tidak memberikan definisi hukum yang jelas tentang data pribadi. Akan tetapi, dilihat dari perspektif penafsiran resmi tentang hak pribadi (privacy right) dalam Pasal 26 ayat (1), maka data pribadi meliputi urusan kehidupan pribadi termasuk (riwayat) komunikasi seseorang dan data tentang seseorang.[1]

Data pribadi terdiri dari fakta-fakta, pendapat atau komunikasi yang berkaitan dengan individu yang merupakan informasi sangat pribadi atau sensitif sehingga individu yang bersangkutan ingin menyimpan atau membatas orang lain untuk mengkoleksi, menggunakan, atau menyebarkannya kepada pihak orang lain. Menurut Jerry Kang, data pribadi menggambarkan suatu informasi yang erat kaitannya dengan seseorang yang membedakan karakteristik masing-masing individu. [2]Pada dasarnya perlindungan data di bagi atas 2 (dua) jenis yaitu bentuk perlindungan data yang berupa perlindungan fisik data, baik data yang terlihat maupun tidak terlihatBentuk perlindungan data yang berikutnya adalah sisi regulasi yang mengatur mengenai penggunaan data oleh orang lain yang tidak berhak, penyalahgunaan data untuk kepentingan tertentu, dan perusakan terhadap data itu sendiri. [3]

 Dalam PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, mendefinisikan data pribadi yaitu “data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya” (Pasal 1 ayat 27). Menurut penjelasan Pasal 1 ayat 1 Data Protection Act Inggris tahun 1998 menentukan bahwa data adalah setiap informasi yang diproses melalui peralatan yang berfungsi secara otomatis menanggapi instruksi-instruksi yang diberikan bagi tujuannya dan disimpan dengan maksud untuk dapat diproses. Data juga termasuk informasi yang merupakan bagian tertentu dari catatancatatan kesehatan, kerja sosial, pendidikan atau yang disimpan sebagai bagian dari suatu sistem penyimpanan yang relevan. [4]

Apabila membahas soal dasar hukum perlindungan data pribadi bahwasannya secara umum perlindungan data pribadi sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Selain itu terdapat juga dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang sampaui saat ini masih dalam proses pembentukan. Perlindungan hukum itu sendiri adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. [5]

Apabila dikaitkan kepada perbuatan yang dilarang maka UU ITE sudah melarang perbuatan memperoleh informasi dengan cara apapun sebagaimana yang tertera dalam pasal 30 khususnya pada ayat (2). Ketika pelanggaran itu dilakukan maka dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara maksimal 7 tahun dan denda maksimal Rp 700.000.000,- (Tujuh ratus juta rupiah). Hal ini berdasarkan pasal 46 ayat (2) UU ITE yang telah tertulis sehingga dengan adanya peraturan ini data pribadi seseorang sudah memiliki payung hukum dan dilindungi oleh hukum. [6]

Sebagaimana kewajiban sebagai penyelenggara layanan aplikasi yaitu menjaga kerahasiaan serta keamanan dari informasi elektronik yang dikleolanya. Hal ini sesuai dengan pasal 15 ayat (1) karena apabila penyelenggara aplikasi tidak dapat menjaga data yang dikelolanya dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 84 ayat (1) dan (2) PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Penyelenggara layanan aplikasi juga harus mematuhi UU ITE dan Juga seluruh perundang-undangan terkait yang berlaku di Indonesia hal ini juga dipertegas oleh Surat Edaran dari KOMINFO Nomor 3 Tahun 2016 terkait Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet.[7] Sehingga dari sinilah terdapat dasar hukum perlindungan data pribadi yang tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan,

Dengan demikian data pribadi adalah data yang berkenaan dengan ciri seseorang, nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan kedudukan dalam keluarga. Data pribadi merupakan hal yang sensitif dimiliki setiap orang. Data pribadi menjadi hak privasi seseorang yang wajib dilindungi dari berbagai aspek kehidupan. Beberapa instrumen internasional seperti OECD Guidelines maupun Data Protection Convention dari Dewan Eropa data pribadi diartikan semua informasi yang berhubungan dengan orang-perorangan yang teridentifikasi dan dapat diindetifikasi (information relating to an identified or identifiable natural person ). [8]


Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat. [1]

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. [2]Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hokum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.  [3] Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial [4]Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai instrument perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia dapat terlindungi, maka hukum harus dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat terjadi juga yang namanya pelanggaran hukum  Pelanggaran hukum ini dapat terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak- hak subjek hukum lain. Oleh karenanya dalam hal ini subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum. [5]

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.  Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan. Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.  Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita. [6]

Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara, dan dilain sisi bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat, dan martabat sebagai manusia. Prinsip perlindungan hukum terhadap suatu tindakan pemerintah bersumber serta bertumpu pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat. Lahirnya konsep-konsep mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.3 Prinsip kedua menyampaikan adanya suatu perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dengan demikian, pernyataan ini mengarah pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi tempat utama serta  dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. [7]


Kata-kata yang paling sering digunakan oleh para ahli hukum ketika memuji atau mencela hukum atau pelaksanaannya adalah kata adil dan tidak adil, dan mereka seringkali menulis seolah-olah ide keadilan dan moralitas adalah dua hal yang tinggal berdampingan. Memang ada alasan yang amat kuat mengapa keadilan memiliki kedudukan paling menonjol dalam kritik atas tatanan hukum. Namun keadilan adalah segmen lain moralitas, dan bahwa hukum dan pelaksanaan hukum bisa jadi memiliki atau tidak memiliki jenis kelebihan yang berbeda pula. Ciri khas keadilan dan hubungan spesialnya dengan hukum mulai muncul jika diamati sebagian besar kritik dalam tinjauan adildan tidak adil hampir sama bisa diungkapkan dengan kata-kata fair (berimbang) dan unfair (tidak berimbang).[1] Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan untuk sebanyak-banyak orang.[2]

Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [3]

Istilah keadilan (Justitia) berasal dari kata adil yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan tidak sewenang-wenang. Keadilan menurut John Rawls adalah merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan kelompok masyarakat.[4] Sedangkan keadilan menurut Aristoteles adalah justice consists in treating equally and unequalls unequally in proporti-on to their inequality, yang berarti untuk hal-hal yang sama diperlakukan sama dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama, secara proporsional [5]

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.

Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[6]

Tendensi mengidentikkan hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theory of law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.[7]

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan makdnusia baik lahir maupun bathin.[8] Nilai itu merupakan suatu kejadian yang dapat dialami, sifatnya masih abstrak. Dalam lapangan hukum nilai tersebut harus dikonkritkan dalam bentuk asas hukum sehingga asas hukum merupakan landasan dibentuknya hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.[9]

Teori-teori Hukum Alam yang disampaikan sejak jaman Socretes hingga jaman Francois Geny menggunakan keadilan sebagai mahkota hukum. Beberapa teori yang disampaikan oleh tokoh dari jaman Socretes hingga jaman Francois Geny mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Dimaksud dengan teori-teori tersebut diantaranya adalah teori keadilan Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics, teori keadilan sosial John Rawl dalam A Theory Of Justice serta teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam  General Theory Of Law And State[10]. Dalam pernyataan teori-teori tersebut memuat mengenai hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Hal ini mendasarkan pernyataan bahwa Teori Hukum Alam  sebenarnya mengutamakan the search for justice.[11]

 Menurut pandangan Aristoteles bahwa konsep keadilan dibagi ke dalam dua macam keadilan yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief. Dimaksud dengan keadilan distributief ialah keadilan yang diberikan pada masing-masing individu sesuai dengan prestasi di antara anggota masyarakat lainnya. Sedangkan pegertian keadilan commutatief adalah keadilan yang diberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya. Dalam konsep ini maka keadilan berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.[12]

 Sementara itu, John Rawls menyampaikan konsep keadilan berdasarkan perspektif liberal-egalitarian of social justic. Dimana dalam konsep keadilan ini maka   kebajikan utama  muncul dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Namun tetap saja dalam konsep ini maka kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.[13]

Lebih lanjut lagi, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan original position dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance).[14] Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu original position yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society)[15].


Definisi UMKM

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro dan Kecil Pasl 1 yang dimaksud dengan Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.[1]

Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada bab I pasal 1, definisi UMKM adalah sebagai berikut:[2]

  1. Usaha Mikro

     Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

  • Usaha Kecil

     Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

  • Usaha Menengah

     Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


[1] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro dan Kecil

[2] Tulus T.H. Tambunan, UMKM di Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009), hal.16

Pengertian Merek Kolektif

Pengertian merek kolektif tidak dirumuskan secara pengistilahan, namun demikian terdapat beberapa karakteristik yang fungsinya yaitu untuk membuat perbedaan antara barang-barang atau jasa dari produsen atau suatu perusahaan terhadap barang-barang atau jasa dari suatu produsen atau perusahaan lain. Merek kolektif ini dipergunakan juga sebagai alat pembeda dalam hal riwayat geografis atau karakter lain yang umumnya terdapat di barang-barang atau jasa tersebut, dan tentunya dibawah pengawasan dari pihak terkait[1].

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan pengertian mengenai merek kolektif bahwasanya Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersamasama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Dengan apa yang dijelaskan diatas maka dapat diartikan bahwasanya merek kolektif tersebut hanya diperkenankan untuk kelompok atau kolektif atau bersama-sama, tidak diperuntukan sebagai   merek dagang atau jasa perseorangan. Pemohon merek kolektif juga seharusnya bisa melaksanakan pengawasan secara sah atas penggunaan merek kolektif tersebut kepada para anggotanya dalam usahanya atau perdaganganya tidak sebatas hanya sekedar penegasan atas penggunaan atau tujuan penggunaanya semata[2].

Lanham Act 15.U.S.C 1127 mendefinisikan merek kolektif, sebagai berikut[3]: “Merek kolektif berarti merek dagang atau jasa:

  1. yang digunakan oleh para anggota koperasi, asosiasi, atau kelompok kolektif lainnya atau organisasi, atau
    1. yang kooperatif tersebut, asosiasi, atau kelompok kolektig lainnya atau organisasi yang memiliki niat baik untuk digunakan dalam perdagangan dan berlaku untuk mendaftar seperti yang ditetapkan oleh Undangundang ini, dan termasuk tanda yang menunjukkan keanggotaan dalam serikat pekerja, asosiasi atau organisasi lainnya 

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa sebuah merek kolektif harus dimiliki oleh entitas kolektif. Penggunaan merek dagang atau jasa kolektif tersebut bukan dengan menegaskan penggunaan atas tujuan penggunaan merek kolektif tersebut, tetapi pemohon harus menegaskan bahwa pemohon melaksanakan control yang sah atas penggunaan merek kolektif oleh para anggotanya atau memiliki niat baik untuk melakukan control yang sah atas penggunaan merek kolektif oleh para anggotanya dalam perdagangan


[1] Sardjono, Agus, dkk. 2013. Perlindungan Hukum Merek untuk Pengusaha UKM Batik. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahun ke 44 No. 4

[2] Novianti, Trias palupi Kurnianngrum, Sulasi Rongiyati, Puteri Hikmawati. 2017. Perlindungan Merek. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

[3] Etty Susilowati, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi pasa HKI (Semarang : Badan Penerbit Undip Press.2013) hal.108-109

Pengertian Merek

Ketentuan tentang Merek yang pertama kali berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Diberlakukannya Reglement Industriele Eigendom (RIE) . Reglement Industriele Eigendom 1912 menganut sistem deklaratif. Penyusunan peraturan Merek mengikuti sistem UU Belanda dan menerapkan sistem konkondarsi. Yaitu ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk diterapkan pada negara jajahan Belanda. [1]

Setelah Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus  diganti dengan Undang-Undang No 21 Tahun 1961 tentang Merek perusahaan dan dan Merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No.290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan dalam Lembaran Negara RI No.2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961.[2] Kedua Undang-Undang ini (RIE 1912 dan Undang-Undang Merek 1961) mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan hanya berlaku pada masa berlakunya Merek; yaitu sepuluh tahun menurut Undang-Undang Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912 ; yaitu 20 tahun. Perbedaan lain yaitu, Undang-Undang Merek tahun 1961 mengenai penggolongan barang-barang dalam 35 kelas, Penggolongan yang semacam itu sejalan dengan klasifikasi internasional berdasarkan persetujuan internasional tentang klasifikasi barang-barang untuk keperluan pendaftaran Merek di Nice (Prancis) pada tahun 1957 yang diubah di Stockholm pada tahun 1967 dengan penambahan satu kelas unuk penyesuaian dengan keadaan di Indonesia, pengklasifikasian yang demikian ini tidak dikenal dalam RIE 1912 .[3]

 Undang-Undang Merek tahun 1961 ini mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian Undang-Undang ini dengan berbagai pertimbangan akhirnya harus dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tetang Merek. Adapun alasan dicabut Undang-Undang Merek tahun 1961 itu adalah karena Undang-Undang Merek No 21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Selain itu, adanya perubahan mengenai sistem pendaftaran, lisensi, Merek Kolektif, dan sebagainya.[4]

Alasan diterbitkannya Undang-Undang No 15 Tahun 2001 yaitu salah satu perkembangannya yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik dibidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. [5] Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini Merek memegang peranan penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi indonesia serta pengalaman melaksanakan administrasi Merek, diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek dengan dibuatnya Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini mengganti undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Merek adalah alat untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan lain. Para pelaku usaha akan berusaha untuk mencegah dengan Merek yang telah dimiliki untuk tidak digunakan oleh orang lain karena dengan adanya Merek, para pelaku usaha mampu memperoleh reputasi baik, dan kepercayaan dari para konsumen yang mampu memberikan keuntungan yang besar bagi pemilik Merek.[6]

Pasal 15 ayat (1) TRIPS Agreement mendefinisikan Merek sebagai: “Any sign,or any combination of sign, capable of distinguishing the goods or sevice of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names, latters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registrations as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or service. Members may make registrability depend on distinctiveness acquired  trough use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.” [7]

Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang Merek yang lama juga merumuskan Merek pada Pasal 1 angka 1, yaitu: “Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Sementara Undang-Undang Merek terbaru Nomor 20 Tahun 2016 pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan : ”Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan Hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atas jasa”[8]


[1] Nurachmad, M. (2012). Segala tentang HAKI Indonesia. Jogjakarta : Buku Biru

[2] Lindsley, Tim. 2002. HKI : Suatu Pengantar. Bandung : PT.Alumni

[3] Miru, A. (2007). Hukum Merek : Cara Mudah Memperlajari Undang-Undang Merek . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

[4] Maulana, I. B. (2019). Perlindnugan Merek Terkenal dari Masa ke Masa. Bandung: PT.Citra Aditya

[5] Roisah, K. (2015 ). Konsep Hukum Kekayaan Intelektual (HKI). Malang: Setara Press

[6] Andriansyah, S. (2013). Hak Desain Indutri berdasarkan Penilaian Kebaruan Desain Industri. Bandung: PT.Alumni

[7] Saidin, H. OK. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights). Jakarta: Rajawali Press

[8] Khoironi, Alif Iffan. 2013. Implementasi Pendaftaran Merek Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Pada Home Industry Eggroll. Unnes law Journal. Semarang: FH Unnes. Vol. 2, No. 2, Oktober

Pengertian Kekayaan Intelektual

Kekayaan Intelektual (KI) adalah perubahan dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dimana sudah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal demikian berubah dikarenakan mengikuti institusi yang berperan dalam bidang kekayaan intelektual di negara-negara lain. Rata-rata institusi di negara-negara tersebut yang berperang dalam bidang kekayaan intelektual tidak ada kata “hak” dalam nama institusinya. [1]

Penamaan dalam bidang ini telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, yaitu Ditjen HCPM, Ditjen HaKI, Ditjen HKI dan Ditjen KI. Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (Ditjen HCPM) terbentuk atas dasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1988 tentang pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta. Lalu pada tahun 1998, atas dasar Keputusan Presiden Nomor 144 Ditjen HCPM diganti menjadi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI). Kemudian atas dasar Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HaKI berganti menjadi Ditjen HKI, dan akhirnya yang berlaku saat ini atas dasar Peraturan Presiden 18 Nomor 44 Tahun 2005, Ditjen HKI berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sehingga kini istilah atau nama Kekayaan Intelektual telah sama penyebutanya dengan istilah di banyak negara.[2]

Kekayaan Intelektual merupakan hak kebendaan yang dapat dikategorikan ke dalam benda tidak berwujud (benda immateriil). Dalam konteks hukum perdata, rumusan tentang hak kekayaan immateriil dijelaskan dalam pengertian benda yang diatur dalam Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara implisit menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Jika dihubungkan dengan Pasal 503 dan 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), maka dapat dikategorikan ke dalam benda berwujud dan benda bergerak. Barang bergerak yang tidak berwujud memiliki sifat abstrak, karena barangnya memang tidak terlihat wujudnya, akan tetapi pemiliknya dapat merasakan manfaatnya .

Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa poros utama yang dilindungi pada Kekayaan Intelektual yaitu metode atau cara berpikir dari pencipta itu sendiri sehingga hak kebendaan yang menempel pada proses intelektual tersebut termasuk diantaranya adalah benda yang tidak berwujud. Hak yang turut dilindungi itu dapat dikatakan sebagai hak untuk mempertahankan kepemilikanya dan hak untuk memanfaatkan atau menggunakan kepemilikanya tersebut, misalkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atau kepemilikanya dapat dihargai. Kekayaan Intelektual dapat digolongkan menjadi dua bagian menurut World Intellectual Property Organization (WIPO): Hak Cipta (Copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights). Hak Cipta (Copyrights) merupakan hak khusus bagi pencipta untuk menyebarluaskan, mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya sendiri pada bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan atau bisa berbentuk buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang serupa itu. Sedangkan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) adalah hak yang memuat apapun tentang milik pengindustrian terkhusus yang memuat mengenai perlindungan hukum. Hak Kekayaan Industri itu sendiri terbagi atas Merek, Paten, Hak Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.[3]


[1] Sudaryat, dkk. 2010. Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Oase Media

[2] Susanto, Himawan Wijanarko. 2004. Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya. Jakarta : PT Mizan Publika

[3] Atsar, Abdul. 2018. Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: CV Budi Utama

Teori Pemisahan Kekuasaan

Pemisahan kekuasaan merupakan ide yang menghendaki baik organ, fungsi dan personal lembaga negara menjadi terpisah antara satu dengan yang lainnya. Setiap lembaga Negara masing-masing menjalankan secara sendiri dan mandiri tugas, dan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam ketentuan hukum. Di negara-negara Eropa Barat, pemisahan kekuasaan negara ini menjadi kebiasaan untuk membagi tugas pemerintahan ke dalam tiga bidang kekuasaan, yaitu:

  1. Kekuasaan yang berfungsi untuk membuat undang-undang. Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan legislatif.
    1. Kekuasaan yang berfungsi untuk menjalankan undang-undang. Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan eksekutif.
    1. Kekuasaan yang berfungsi untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili).

 Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan yudikatif. Pemisahan dari tiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan di berbagai negara-negara yang ada di dunia ini, walaupun batas pembagian itu tidak selalu sempurna, karena terkadang antara satu kekuasaan dengan kekuasaan yang lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling pengaruh-mempengaruhi.

Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks menyebabkan variasi struktur dan fungsi organisasi serta institusi kenegaraan berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya. Negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar terjamin. Kelembagaan tersebut disebut dengan istilah dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).[1]

Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Sehingga dimungkinkan adanya suatu lembaga negara baru yang menjalankan fungsi yang bersifat campuran dan masing-masing bersifat independen (independent bodies)  atau quasi independen. Terdapat beberapa ahli yang mengelompokkan independent agencies (lembaga independen) semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif. Ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government, seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan Adrew Knapp.[2]


[1] Yusa Djuyandi, 2017, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 129

[2] Suparto, “Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi Dan Kekuasaan Kehakiman Yang Independen Menurut Islam”, Jurnal Selat, I (Oktober 2016), hlm. 117.

Prinsip Independensi Hakim

Secara historis independensi hakim (independence of judge), diuraikan oleh Suzanna Sherry menyampaikan bahwa hakim-hakim di Inggris sebelum tahun 1701, tidak dapat membatalkan suatu perundang-undangan produk legislatif (there was no practice of judicial review; judges did not strike down legislative enactments). Ungkapan klasik yang berlaku kala itu adalah

 “an act of parliament can do no wrong, although it may do several things that look pretty odd”.

Pengaruh ungkapan ini kemudian ditentang oleh hakim dan menolak untuk terikat dengan segala produk parlemen (kekuasaan legislatif). Paham inilah yang kemudian bermetamorfosa sehingga lahirlah judicial review. Sir Edward Coke, the father of American judicial review, menyatakan bahwa

“when an Act of Parliament is against common right and reason, or repugnant, or impossible to be performed, the common law will control it, and adjudge such Act to be void”. [1]

Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia 1945 Amandemen ketiga mengatur tentang kekuasaan kehakiman yang terdapat pada pasal 24 ayat (1) berbunyi :

“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan”

 Diuraikan lebih lanjut bahwa orang-orang Amerika kemudian menggunakan model independensi pengadilan (judicial independence) ketika mendeklarasikan kemerdekaannya, mereka menentukan untuk memiliki hakim-hakim yang independen. Hakim-hakim di Amerika segera memulai pelaksanaan judicial review, bahkan sebelum konstitusinya dirancang, hakim-hakim telah mengambil bagian dalam judicial review dengan membatalkan produk parlemen yang dinilai tidak benar. Mereka melakukannya tidak hanya karena bertentangan dengan konstitusi tertulis (written constitution), tetapi juga dengan dasar bertentangan dengan hukum alam seperti hak-hak yang tak tertulis (unwritten constitution). Hakim-hakim menggunakan bahasa hak-hak alamiah seperti “natural rights”, “inalienable rights”, “inherent rights”, “fundamental principles of civilized society”, and the “immutable principles of justice”.

They also broadened the definition of unwritten rights, protecting not only property rights and the right to jury trial, but also the right of representation and rights against retroactive laws or laws granting special privileges”. [2]

Berdasarkan alur historis di atas maka independensi hakim berada dalam alam misterius pikiran dan nurani seorang hakim, yang peraturan perundang-undangan sekalipun tidak dapat mendeterminasi mutlak seorang hakim. Dalam proses penyelesaian suatu perkara oleh hakim yang bebas (independence of judge), kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan atas suatu tindakan yustisial hakim dalam proses peradilan, tidak dapat dikoreksi oleh pemerintah secara administratif. Kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan yang bersifat peradilan, hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum dan bukan upaya administratif. Dengan demikian hakim harus bebas dalam menjalankan tugas peradilannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya tindakan baik preventif maupun represif yang bersifat mempengaruhi, terkecuali melalui upaya hukum yang tersedia menurut undang-undang.

Independensi kekuasaan hakim sangat berkaitan dengan defenisi kekuasaan negara yang merdeka, bahwa dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang – undangan mempunyai kekuasaan yang bebas.[3] Dengan kata lain, bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas – bebasnya tanpa rambu – rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan – peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya upaya hukum.[4]Jadi dalam pelaksaanaannya, penegakan prinsip kebebasan dalam kekuas a an kehakiman tetap harus dalam koridor yang benar yaitu sesuai dengan pancasila, UUD 1945 serta hukum yang berlaku.

Dalam sistem hukum Indonesia dengan jelas disebutkan independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa[5] :

  1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
  2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari  pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan

Dengan demikian dimaksud dengan independensi kehakiman sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yustisialnya.

Dengan kata lain, hakim tidak terpengaruh oleh dorongan perilaku internal yang dapat membuatnya harus mengambil putusan yang tidak imparsial dan netral akibat pikiran dan nuraninya tidak lagi mampu berbahasa kejujuran.[6] Dalam menghadapi keadaan demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan tugasnya[7]

Hal lain  yang patut diperhatikan dalam membahas independensi hakim adalah  bahwa kebebasan hakim (independence of judiciary) harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Dalam kaitan inilah kemudian melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) termasuk di dalamnya integrity dan transparency, yang dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab hukum (legal responsibility) dan tanggungjawab kemasyarakatan (social responsibility). Dalam kerangka demikian kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep code of conduct berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim, yang keberadaannya terlihat sebagai tuntutan nasional maupun internasional.[8]

Berdasarkan berbagai uraian di atas maka indepedesi hakim adalah bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas – bebasnya tanpa rambu – rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik. Oleh karenanya dalam membahas kebebasan hakim harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan


[1] Suzanna Sherry, 1998, “Independent Judges And Independent Justice”, Journal Law and Contemporary Problems, http://www.law.duke.edu/journals/61LCPSherry

[2] Ibid

[3] K Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1977 , hlm. 17 

[4] Ibid, hlm.17

[5] Amran Suadi, H. Dr. Drs., S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, Dan Etika., Prenada Media Goup, Jakaarta,  I, 2019.Jakarta

[6] Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman

[7]  Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: JPBooks, 2006, hlm.176-177

[8] The Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002, http://www.unodc.org/pdf/crime/ corruption/judicial_group/Bangalore_principles.pdf

Pengertian Pejabat Negara

Pejabat dalam kamus KBBI memiliki arti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting selanjunya dalam kata Pejabat Negara orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan, seperti menteri, sekretaris negara.   Menurut Undang-Undang No 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dalam Pasal 11 ayat berisikan. Pejabat Negara terdiri atas:

  1. Presiden dan Wakil Presiden;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dn Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
    1. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;
    1. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
    1.  Gubernur dan Wakil Gubernur;
    1.  Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota; dan
    1.  Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan

Menurut Riant Nugroho Pejabat Negara atau Pejabat Publik di kelompokan menjadi dua, yaitu:

a. Pejabat Negara, yaitu :

 1) Pejabat legislatif, yaitu ketua dan anggota MPR, DPR, DPD,dan DPRD;

2) Pejabat yudikatif, yaitu pimpinan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

3) Pejabat Eksekutif, yaitu :

 a) Presiden dan Wakil Presiden;

 b) Menteri dan pejabat pemerintah setingkat Menteri; c) Gubernur dan Wakil Gubernur;

 d) Duta Besar;

 e) Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

4) Pejabat akuntatif, yaitu pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan;

 5) Pejabat lembaga publik semi-negara, termasuk di antaranya; lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU) hingga badan-badan regulator inrastruktur publik, seperti Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia dan Badan Regulator Air Minum PAM Jakarta. b. Pejabat administratif, yaitu:

  1.  Pejabat struktural pusat (Eselon I dan II);
  2.  Pejabat struktural daerah propinsi (Eselon I dan II);
  3.   Pejabat struktural daerah kabupaten/kotamadya (Eselon II dan III);
  4.  Para pejabat hubungan masyarakat pemerintah;
  5.  Pejabat pimpinan pelaksana di tingkat bawah (camat, kepala desa/lurah).

Setelah melihat ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Pejabat Negara atau Pejabat Negara tidak terbatas pada pengertian pejabat negara, tetapi lebih luas lagi, yaitu top managemen yang menyelenggarakan urusan negara dan pemerintahan yang memiliki kewenangan mengambil suatu keputusan yang bersifat strategis termasuk kebijakan yang mengikat terhadap masyarakat (publik). Kebijakan yang mengikat masyarakat biasanya diambil oleh pimpinan puncak satuan organisasi pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, kepala dinas tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan camat, lurah maupun kepala desa

Larangan Bagi Pegawai Negeri Sipil

Larangan Bagi PNS menurut PP No 94 Tahun 2021 Sedangkan larangan bagi PNS, yang dituangkan dalam Pasal 5 PP No 94 Tahun 2021 adalah sebagai berikut[1]

  1. menyalahgunakan wewenang; 
    1. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan;
    1. menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain; 
    1. bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK);
    1. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh PPK; 
    1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
    1. melakukan pungutan di luar ketentuan; 
    1. melakukan kegiatan yang merugikan negara;  i. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan; 
    1. menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 
    1. menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan; 
    1. meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan; 
    1. melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; dan 
    1. memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: 
      1. ikut kampanye;
      1. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; 
      1. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; 
      1. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 
      1. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; 
      1. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau 
      1. memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk

[1] Pasal 5 PP No 94 Tahun 2021

Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS)

  Menurut Sastra Djatmika, kewajiban Pegawai Negeri dibagi dalam tiga Golongan, yaitu[1]:

1) Kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan;

 2) Kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas dalam jabatan, melainkan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri pada umumnya;

3) Kewajiban-kewajiban lain. Untuk menjunjung tinggi kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), diperlukan elemen-elemen penunjang kewajiban meliputi kesetiaan, ketaatan, pengabdian kesadaran, tanggung-jawab, jujur, tertib, besemangat dengan memegang rahasia Negera dan melaksanakan tugas kedinasan.

Pasal 2 PP No 94 Tahun 2021 menyatakan PNS wajib menaati kewajiban dan menghindari larangan. Kewajiban PNS Adapun kewajiban PNS tersebut dituangkan pada Pasal 3, yaitu[2]:

  1. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Pemerintah;
    1. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; 
    1. melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang; 
    1. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
    1. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;
    1. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; 
    1. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 
    1. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI.

Selain itu, sebagaimana ketentuan Pasal 4 PP No 94 Tahun 2021, PNS juga diwajibkan untuk: 

  1. menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji PNS; 
    1. menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji jabatan;
    1.  mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan; 
    1. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara; 
    1. melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
    1. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; 
    1. menggunakan dan memelihara barang milik negara dengan sebaik-baiknya; 
    1. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan kompetensi; dan 
    1. menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

[1] Buku-Buku: Djatmika Sastra. 1987. Hukum Kepegawaian di Indonesia.Yogyakarta. Djambatan

[2] https://regional.kontan.co.id/news/inilah-kewajiban-dan-larangan-bagi-pns-menurut-aturan-baru-pp-no-94-tahun-2021.

Fungsi, Tugas, dan Peran Pegawai Aparatur Sipil Negara

  • Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) berfungsi sebagai[1]:

1) Pelaksana Kebijakan Publik

 2) Pelayanan publik

3) Perekat dan pemersatu bangsa.

  • Aparatur Sipil Negara (ASN) bertugas[2]:

1) Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.

 2) Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas.

3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesaatuan Republik Indonesia.

 Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara yang bertugas membantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan, dalam arti kata wajib mengusahakan agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh setiap masyarakat dalam melaksanakan Peraturan Perundang–undangan  pada umumnya. [3]

Pegawai Negeri Sipil diberikan tugas kedinasan untuk melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik–baiknya. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat setiap Pegawai Negeri Sipil harus mampu melakukan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Sebagai abdi Negara seorang pegawai negeri juga wajib setia dan taat kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, UUD 1945, negara dan pemerintahan. Dalam hal ini pegawai negeri harus bersikap monoloyalitas, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dapat memusatkan segala perhatian dan pikiran serta menyerahkan daya dan tenaganya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta berdaya dan berhasil guna. Kesetiaan dan ketaatan penuh yang berarti bahwa Pegawai Negeri Sipil sepenuhnya berada di bawah pimpinan pemerintahan dan sebagai abdi masyarakat. Pegawai negeri harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Sehubungan dengan kedudukan pegawai negeri maka baginya dibebankan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dan sudah tentu disamping kewajiban baginya juga diberikan apa saja yang menjadi hak yang didapat oleh seorang pegawai negeri. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil adalah mengenai hubungan Pegawai Negeri Sipil dengan Negara dan Pemerintah serta mengenai loyalitas kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. [4]

Didasari bahwa kedudukan pegawai negeri khususnya Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu  penentu kelancaran penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Sehingga untuk mencapai tujuan pembangunan, diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil sebagai warga negara, unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat. Dengan penuh kesetiaan dan ketaatan terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk keperluan tersebut, Pegawai Negeri Sipil harus bersatu padu bermental baik, berwibawa, berdaya guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan.[5]


[1] Sri Hartini dan Tedi Sudrajat, 2017, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, ,hlm.34-35

[2] Ibid

[3] Ridwan H.R, 2014,Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.2

[4] Ibid

[5] Muchsan, 1982, Hukum Kepegawaian, jakarta, Bina Aksara

Jenis Pegawai Aparatur Sipil Negara

Pasal 6 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), terdiri dari: a. PNS Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a merupakan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Kepegawaian dan memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) secara nasional. b. PPPK PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah dan ketentuan-ketentuan Undang- Undang ini. Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang menyelenggarakan tugas-tugas negara atau pemerintahan adalah pegawai negeri, karena kedudukan pegawai negeri adalah sebagai abdi negara dan abdi masayarakat, juga pegawai negeri merupakan tulang punggung pemerintah dalam proses penyelenggaraan pemerintah maupun dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Pengertian Pegawai Negeri Sipil

     Definisi Pegawai Negeri Sipil Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 1 angka 2 adalah Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerjayang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.[1]

Sedangkan pada Pasal 1 angka 2 pada Undang-Undang ASN berbunyi :

“Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetapoleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan Pejabat Negara”

Definisi jabatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

(1) pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi;

 (2) fungsi;

 (3) dinas; jawatan fungsional, jabatan yang ditinjau dari fungsinya dalam satuan organisasi (seperti dokter ahli, dosen, juru ukur);̴ negeri, jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan (termasuk jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi negara dan kepaniteraan pengadilan);̴ organik, jabatan yang telah ditetapkan dalam peraturan gaji yang berlaku dan termasuk formasi yang telah ditentukan oleh jawatan yang bersangkutan;̴rangkap, dua atau lebih jabatan yang dipegang oleh seseorang dalam pemerintahan atau organisasi, seperti sekretaris jenderal, kepala biro;̴struktural, jabatan yang terdapat dalam struktur organisasi (komunitas) secara formal sehingga tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak pejabat atau pegawai bersangkutan telah diatur[2]

Menurut Penulis Pejabat Negara adalah Orang yang menjabat tertentu dalam hal mengelolah negara yang kewajiban dan hak-haknuya diatur oleh peraturan perundang-undangan.


[1] Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

[2] Jefirstson Richset Riwukore dkk, Tinjauan Hukum Pasal 302 UU MD3 Mengenai Rangkap Jabatan dan Penggunaan Anggaran Kelembagaan Oleh Anggota DPD RI yang Berstatus Ketua PKK dan DEKRANASDA di Daerah, Jurnar Arraniri diakses pada tanggal 31 Mei 2021

Kewajiban Hakim

 Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 ayat (9) KUHAP, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui hukum (curialus novit). Jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya.

Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009).  Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat (1) UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Hakim Ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Didalam praktik ada kalanya hakim menggunakan bahasa daerah jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan si hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. [1]


[1] Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.129

Tugas dan Fungsi Hakim

 Didalam Pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negeri yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Dengan demikian fungsi seorang hakim adalah seorang yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan. Dalam peradilan, tugas hakim adalah mempertahankan tata  hukum, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Dengan demikian yang menjadi tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, seperti yang diatur dalam pokok-pokok kekuasaan kehakiman tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahum 2009[1]


[1] Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, 2013, hal 16.

Pengertian Hakim

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomer 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. [1] Dalam pengertian Hakim lainnya yaitu menurut KUHAP adalah pejabat peradilan Negara yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutuskan perkara.4 Kewenangan atau kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka atau tidak berpihak untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang berlandaskan Pancasila terutama sila pertama Pancasila sebagai dasar Negara.[2]

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seorang hakim wajib menjunjung tinggi kemandirian, harkat dan martabat badan peradilan. Oleh karena itu pihak manapun dilarang mengintervensi tugas dan kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara, kecuali dalam hal-hal yang diatur oleh UUD 1945.6 Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara yang serahkan kepadanya. Mengadili perkara merupakan kewenangan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara berdasarkan asas-asas peradilan yaitu asas bebas, jujur, dan tidak memihak sesuai dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang. [3]

Oleh karenanya dalam pengertian hakim sangat terkait erat dengan putusan hakim. Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, maka putusan Hakim adalah pernyataan pendapat dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki hukum yang berkekuatan tetap. Berlandaskan pada asas dari teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: “Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara. [4]

Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari Surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan dalam menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu didalam menjatuhkan putusan, hakim diharapkan agar selalu berhati-hati, hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar putusan yang diambil tidak mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu pada keadilan yang dapat menjatuhkan wibawa pengadilan. Hakim dalam menentukan hukuman diharapkan berpandangan tidak hanya tertuju apakah putusan itu sudah benar menurut hukum, melainkan juga terhadap akibat yang mungkin timbul, dengan berpandangan luas seperti ini maka hakim berkemungkinan besar mampu untuk menyelami kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat danjuga akan lebih dapat memahami serta meresapi makna dari putusan yang dijatuhkan, dalam dunia peradilan dibedakan antara putusan dan penetapan hakim. Putusan dalam bahasa Belanda disebut dengan vonnis, sedangkan penetapan hakim dalam bahasa Belanda disebut dengan beschikking. Putusan hakim dalam acara pidana adalah diambil untuk memutusi suatu perkara pidana, sedangkan penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan. [5]

 Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya meneurut undang-undang yang berlaku. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. [6]


[1] Undang-Undang RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

[2] Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[3] Pasal 1 Angka 9 KUHAP

[4] Lilik Mulyadi (2007) Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Prakter Pradilan. (Mandar Maju: Bandung. 2007) Hal. 127

[5] Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2010. hlm, 45.

[6] Mujahid A. Latief, 2007, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi (jilid II), Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 283

 Sistem Peradilan

Sistem peradilan di Indonesia adalah keseluruhan perkara pengadilan dalam suatu negara yang satu sama lain berbeda tetapi saling berkaitan atau berhubungan sehingga terbentuk suatu mekanisme dan dapat diterapkan secara konsisten. Dalam sistem peradilan di indonesia. Beberapa unsur pihak yang terlibat di dalam di antaranya[1]:

  1. Penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau pejabat PNS tertentu yg diberikan wewenang khusus oleh Undang Undang untuk melaksanakan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). Selain penyidik sebagai pihak yang yang terkait dalam sistem peradilan di Indonesia, dalam hukum ada yang disebut penyidikan, penyelidik, penyelidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yg diatur dalam Undang Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yg dgn bukti itu membuat terang tetang tindak pidana yg terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 angka 2 KUHAP). Penyelidik adalah pejabat polisi negara RI yg diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyelidikan (pasal 1 angka 4 KUHAP). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untu mencari dan menemukan suatu peristiwa yg diduga sebagai tindak pidana guna menetukan dpt atau tdknya dilakukan penyidikan menurut cara yg diatur dlm UU ( pasal 1 angka 5 KUHAP)
    1. Penuntut umum, (jaksa)
    1. hakim
    1.  penasihat hukum, dan
    1. Pencari keadilan.(Pengacara)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Lahirnya sistem peradilan di Indonesia berpedoman pada ketentuan diatas dan dalam melaksanakan tugasnya instansi ini harus terlepas dari intervensi berbagai pihak yang hanya menginginkan kepentinganya masing-masing. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diberikan kepada elemen-elemen lain yang ada didalamnya seperti badan-badan peradilan yang telah disebutkan didalam undang-undang. Peradilan di Indonesia mempunyai beberapa pengadilan. Berdasarkan lingkunganya masing-masing seperti [2]:

1. Peradilan Umum

2. Peradilan Agama

 3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Adapun asas yang harus digunakan dalam sistem peradilan di negara Indonesia adalah sebagai berikut[3]:

  1. Asas “ Ius Curia Novit” “setiap hakim dianggap tahu akan hukumnya”, sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak suatu perkara yang diajutkan kepadanya dengan daalil bahwa hakimnya tidak tahu hukumnya atau hukumnya belum ada.
    1. Asas peradilan cepat,(efisien) singkat (efektif) dan biaya ringan (tidak memberatkan) Asas ini mulai diatur dalam ketentuan pokok kekuasaaan hakim.
    1. Asas Audi Et Alterram Partem “mendengar kedua belah pihak yang berpekara”. Dalam asas ini menitik beratkan pada pengertian bahwa hakim diwajibkan untuk tidak memutus perkara sebelum mendengar kedua belah pihak terlebih dahulu.
    1. Asas Unus Testis Nullus Testis “satu saksi bukanlah saksi”
    1. Asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan kepada pengacara. Tidak mengatur secara tegas bahwa untuk perkara di pengadilan harus diwakilkan kepada seorang pengacara.
    1. Asas Nemo Judex Indeneus in Propria Causa. Asas ini mengajarkan bahwa tidak seorang pun yang dapat menjadi hakim dalam perkara sendiri. Dalam hukum acara perdata, asas ini menekankan pada obyektifitas pada pemeriksaan perkar. Tentunya asas ini ditunjukkan kepada hakim bahwa seorang hakim karena jabatannya harus mengundurkaan diri dari kedudukannya dalam memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya bilamana ia mempunyai kepentingan langsung terhadap tersebut atau mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan salah satu pihak yang berperkara.
    1.  Asas Lex Rae Sitae Bahwa suatu gugatan diajukan di tempat nama obyek gugatan itu berada dan bukan di tempat tinggal penggugat.

[1] Patawari, SHI.,MH. 2017 “Sistem Peradilan Di Indonesia” Pendidikan Khusus Provesi Advokat (PKPA)

DPN PERADI kerjasama Universitas Sawerigading Makassar, Sabtu 11 Pebruari 2017 Fakultas Hukum

Universitas Sawerigading Makassa

[2] Erman Rajagukguk, (2000) Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan, Jurnal Magister Hukum, Magister Hukum Unversitas Islam Indonesia, Vol. 2. No. 4, Oktober   hlm. 1

[3] Yahya Harahap, (2000), Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya, Bandung, hlm. 153 Indonesia, Vol. 2. No. 4, Oktober 2000, hlm. 1

Kekuasaan Kehakiman

Defenisi yang disebutkan dalam Undang – Undang yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945.14 Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang-undangan mempunyai kekuasaan yang bebas.  Dengan kata lain bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena itu dalam aspek beracara dalam pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya upaya hukum. [1]

Jadi dalam pelaksanaannya, penegakan prinsip kebebasan dakam kekuasaan kehakiman tetap harus dalam koridor yang benar yaitu sesuai dengan pancasila, UUD NRI 1945 serta hukum yang berlaku. Kemerdekaan, kebebasan atau kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan syarat mutlak dan sangat fundamental bagi Negara yang berlandaskan pada sistem negara hukum dan negara demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu Negara telah berada di bawah Negara tersebut tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip Negara hukum dan demokrasi. [2]

Kemerdekaan, kebebasan atau kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan syarat mutlak dan sangat fundamental bagi negara yang berlandaskan pada sistem negara hukum dan sistem negara demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah berada di bawah pengaruh kekuasaan lainnya maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut tidak menjunjung tinggi prinsipprinsip negara hukum dan demokrasi.

Menurut Bagir Manan, ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu sebagai berikut[3]:

  1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yudisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau suatu ketetapan hukum.
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur dan tidak memihak
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa oleh dan dalam lingkingan kekuasan kehakiman sendiri.
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan diluar kekuasaan kehakiman. f. Semua tindakan terhadap hakim semata mata dilakukan semata-mata dilakukan menurut undang-undang

Berdasarkan uraian di atas maka kekuasan kehakiman  merupakan salah satu pilar kekuasaan negara yang bersifat memaksa, serta diberikan kewenangan untuk itu oleh konstitusi. Kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel merupakan pilar penting dalam sebuah negara hukum yang demokratish faktor penting dalam menegakkan hukum, tanpa adanya kekuasaan yang bersifat memaksa, maka mustahil aturan akan dapat ditaati dan berlaku  


[1] Imam Anshori Saleh, 2014, Konsep Pengawasan Kehakiman, Setara Press, Malang: Hal. 131

[2] Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta: 1981, Hal. 15

[3] Ibid

Pengertian dan Tipologi Korban

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. [1]

Dalam pernyataan lain juag disebutkan mengenai pengertian korban yaitu menurut Gosita bahwa  korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.

Berbeda dengan Gosita yang memberi pengertian korban sebatas pada mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan, Muladi memberi prespektif berbeda mengenai korban. Menurut Muladi yang dimaksud dengan korban adalah : Orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik maupun mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan.  Cohen mengungkapkan bahwa korban adalah “whose pain and suffering have been neglectedby the state while it spands immense  resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.” [2]

Iswanto dan Angkasa menyatakan bahwa korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu korban termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional.[3]

Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang di klasifikasikan menjadi 6 tipe, tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. The “completely innocent victim”. Korban yang samasekali tidak bersalah oleh Mendeson dianggap sebagai korban “ideal” yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.
    1. The “victim whit minor guilty” and victim due to his ignorance”. Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian dapat dicontohkan seorang wanita yang menggoda tetapi salah alamat, sebagai akibat malah dia menjadi korban.
    1. The “victim as guilty as offender” and “ voluntary victim”. Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe sebagai berikut.

1) bunuh diri “dengan melemparkan uang logam”;

2) bunuh diri dengan adhesi;

3) euthanasia;

4)  bunuh diri yang dilakukan suami isteri (misalnya pasangan suami isteri yang putus asa karena salah satu pasangan sakit).

  • The “victim more guilty than the offender”. Dalam hal korban kesalahnaya lebih besar daripada pelaku ini ada dua tipe yakni :
    • korban yang memancing dan atau menggoda seeorang untuk berbuat jahat;
    • korban lalai yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan.
    • The “most guilty victim” and the “ victim as is gultu alone”. Korban yang sangat salah dan korban yang salah sendirian misalnya terjadi pada korban yang sangat agresif terlebih dahulu melakukan kejahatan namun akirnya justeru ia sendiri yang menjadi korban (misalnya penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari orang lain yang diserang).
    • The “simulating victim” and the “imagine as victim”. Korban pura-pura dan korban imajinasi oleh Mandesohn dicontohkan pada mereka yang mengaku menjadi korban demi kepentingan tertentu atau orang yang menjadi paranoid, hysteria atau pikun.

Sedikit berbeda dengan Mendelson yang membuat tipologi korban berdasarkan tingkat kesalahan, Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang tergantung pada pertanggung jawaban korban dalam tindak pidana tersebut. Tipologi tersebut adalah :

  1. “unrelated victim” yakni kejahatan dilakukan oleh pembuat kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban.
    1. “profokatif victim” disini korban memancing pembuat kejahatan untuk melakukan untuk melakukan kejahatan dengan perilaku tertentu mialnya korban mengingkari janji.
    1. “precipicatif victims” adalah “pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan.
    1. “biological weak victims” yakni saiapa saja yang secara fisik atau mental lemah misalnya orang yang sangat muda atau sangat tua dan orang yang tidak sadar yang menjadi target kejahatan.
    1. “ social weak victims” misalnya kaum imigran atau minoritas etnik yang memiliki posisi sosial yang lemah dalam masarakat dan sering dieksploitasi oleh elemen kejahatan.
    1. “ self-victimizing victims” dan “political victim”. Self-victimizing victim adalah korban dari tindakanya sendiri sebab mereka berkorban sendiri.

[1] Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme,

Refika Aditama Bandung, hal. 77

[2] Dalam Maya Indah S, C, 2014, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan kriminologi, Edisi kedua, Kencana, Jakarta

[3] Iswanto dan Angkasa, Diktat Viktimologi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 200

Tugas dan Wewenang Kepolisian

Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat.

Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah[1]:

  1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
    1. Menegakkan hukum; dan
    1. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan wewenang polisi yaitu terutama yang berseragam wajib melakukan tindakan Kepolisian bila melihat pelanggaran hukum yang terjadi.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan ketentraman ditengah-tengah masyarakat. Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, maka dapat diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, benar dan bertanggungjawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka Rahim, menyatakan bahwa tugas yang diembang oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif. [2]

Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah di bentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana.

Menurut Gewin maka  tugas Polisi adalah sebagai berikut :

“Tugas polisi adalah bagian daripada tugas negara perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.

Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai berikut :

(1)       Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.

(2)      Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a   menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.

Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat


[1] Tabah, 2001, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia,  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

hal. 81.

[2]

Jenis-Jenis Delik Aduan

Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relative (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu [1]:

a) Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten)

b) Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)

  1. Delik Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute Klachtdelicten)

Delik aduan absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang untuk penuntutanya pada umumnya dibutuhkan pengaduan. Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).

Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini dituntut”. Jika pengaduan itu sudah diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak akan menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut mengenai perbuatan, bukan pembuat atau orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak membatasi hak menuntut, yakni supaya yang satu dituntut dan yang lain tidak.

Larangan ini dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B, mengaku pada suaminya, bahwa ia pernah terlena terhadap godaan C, sehingga ia berzina dengan C. Karena istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B mengampuni akan tetapi ia mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C dituntut lantaran perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak karena menurut Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut, jadi A hanya boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus yang turut campur didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa permohonannya baru dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya akan menyerahkan kepada jaksa keputusan apakah istrinya dituntut.

Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik aduan absolut yang diatur dalam KUHP, yaitu :

  1. Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur dalam Pasal 284 tentang “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan” (verkrachting), Pasal 293 tentang “perbuatan cabul” (ontucht), didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus dilakukan pengaduan.
    1. Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang “menista” (menghina), Pasal 311 tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315 tentang “penghinaan sederhana” ( oenvoudige belediging), Pasal 316 (penghinaan itu terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang sedang melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319, tidak diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya bahwa kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak penderita dilakukan pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini merupakan penyimpangan dari ketentuan delik aduan itu sendiri).
    1. Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen), yang diatur dalam Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam ayat terakhir dari  kedua pasal itu.
    1. Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur dalam Pasal 369 bahwa dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan pengaduan untuk mengadakan penuntutan.
  2. Delik Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)

Delik aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu yang guna penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam hal ini hanya ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara si pembuat dan si pengadu terdapat hubungan tertentu. Hubungan tertentu antara si pembuat dan si pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis lurus (bapak, nenek, anak, cucu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (saudara) dan keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik aduan relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu[2] :

  1. Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal),
    1. Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut “pencurian di dalam lingkungan keluarga”,
    1. Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. OLeh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,
    1. Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan,
    1. Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.

Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan, maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat dipecah-pecah (splitsbaar).

Dari pasal-pasal yang tercantum mengenai delik aduan itu, penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan kalau ada pengaduan”. Maka kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi untuk kepentingan preventif. Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan tertib hukum, adalah lebih beritikad baik bilamana pengusutan itu diajukan secara lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan.

Sedangkan pengertian mengenai Laporan Polisi disebutkan dalam Pasal 1 butir ke-24 KUHAP yaitu  pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.


[1] Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982, hal 50..

[2] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 154

Konsep mengenai Laporan/Aduan Korban

Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini[1]:

  1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
    1. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan
    1. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten

Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut. Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yangndikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya.

Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan.

Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan.

Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.  Dalam pernyataan tersebut juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang dianggap baik dan adil.[2]

Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu  ”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana itu. Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.[3]

Menurut VOS unsur-unsur delik itu adalah :

  1. Suatu kelakuan manusia
  2. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman. [4]

Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum. Sedangkan menurut Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan (klacht).

 Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka  diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku


[1] Dalam R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal 87

[2] Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.

[3] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.

[4] E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.

Komponen Dalam Sistem Hukum

Sistem peradilan (atau sistem penegakan hukum) dilihat secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari komponen ”substansi hukum” (legal substance), ”stuktur hukum” (legal structure), dan ”budaya hukum” (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan/penegakan hukum terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/normatif), lembaga/struktur/aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen kultural). Yang dimaksud dengan nilai-nilai “budaya hukum” (legal culture). Dalam konteks penegakan hukum, tentunya lebih terfokus pada nilai-nilai filosofi hukum, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran/sikap perilaku hukum/perilaku sosialnya, dan pendidikan/ilmu hukum.

Bertolak dari pengertian sistem yang integral, maka pengertian sistem peradilan (sistem penegakan hukum) dapat dilihat dari berbagai aspek :

  1. Dilihat dari aspek/komponen substansi hukum (legal substance), sistem peradilan atau sistem penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum (di bidang hukum pidana meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana). Dengan demikian, dilihat dari sudut substansi hukum, sistem peradilan/sistem penegakan hukum pada hakikatnya merupakan “integrated legal system” atau “integrated legal substance”. Hal ini sesuai dengan Encyclopedia dari Sanford H. Kadish di atas yang menyebutnya dengan istilah sistem normatif (normative system).
    1. Dilihat dari aspek/komponen struktural (legal structure), sistem peradilan/sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem bekerjanya/berfungsinya badan-badan/lembaga/ aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi/ kewenangannya masing-masing di bidang penegakan hukum. Dengan demikian, dilihat secara struktural, sistem peradilan/sistem penegakan hukum (SPH) juga merupakan “sistem administrasi/penyelenggaraan“ atau “sistem fungsional/ operasional” dari berbagai struktur/profesi penegak hukum. Dilihat dari sudut struktural/administrasi/fungsional inilah, di bidang sistem peradilan pidana (SPP), muncul istilah “integrated criminal justice system” atau “the administration of criminal justice”.
    1. Dilihat dari aspek/komponen budaya hukum (“legal culture”), sistem peradilan atau sistem penegakan hukum (SPH) pada  dasarnya merupakan perwujudan dari sistem “nilai-nilai budaya hukum” (yang dapat mencakup filsafat hukum, asas-asas hukum, teori hukum, ilmu hukum dan kesadaran/sikap perilaku hukum). Dengan demikian, dilihat dari sudut budaya hukum, sistem peradilan (SPH) dapat dikatakan merupakan “integrated legal culture” atau “integrated cultural legal system”, walaupun ada pendapat bahwa tidaklah mudah membuat batasan tentang “legal culture”. Karena nilai-maka aspek/komponen budaya hukum juga dapat dilihat sebagai sistem sosial (social system)