Tugas dan Wewenang Kepolisian

Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat.

Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah[1]:

  1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
    1. Menegakkan hukum; dan
    1. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan wewenang polisi yaitu terutama yang berseragam wajib melakukan tindakan Kepolisian bila melihat pelanggaran hukum yang terjadi.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan ketentraman di tengah – tengah masyarakat. Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, hanya dapat diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, benar dan bertanggung jawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka Rahim, menyatakan bahwa tugas yang diemban oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif. [2]

Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah dibentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana. Menurut Gewin maka  tugas Polisi adalah sebagai berikut :“Tugas polisi adalah bagian dari pada tugas negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.

Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai berikut :

(1)  Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.

(2)   Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a   menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.

Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Dari berbagai peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat


[1] Tabah, 2001, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia,  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

hal. 81.

[2]

Teori Keadilan Dalam Hukum

Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [1]

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealisme memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialisme memandang sebaliknya.

Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[2]

Keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggang waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai -nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

Dalam perkembangan teoeri keadilan procedural dan substantive dikenal berbagai tokoh. Diantaranya adalah Aristoteles yang mengemukakan bahwa pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak di pandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara di hadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.[3]

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian bermacam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak  Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. [4]

Dikenal juga adanya tokoh John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap – tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasi” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).[5]

Dalam perkembangannya dikenal juga adanya konsep mengenai hukum progresif. Dimana Hukum Progressif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progressif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final melakinkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum Progressif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berbagi paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjuriprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. [6]

Hukum Progressif muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap praktek keadilan hukum di Indonesia. Pengadilan tidak hanya berperan dari institusi hukum namun juga menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Dengan demikian hukum progressif dapat berkembang dengan lahirnya pengadilan progressif yaitu proses yang sarat dengan dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Untuk mewujudkan pengadilan yang progressif diperlukan hakim yang progressif pula yaitu hakim yang menjadikan dirinya bagian masyarakat yang tidak hanya bekerja di bawah undang-undang namun juga mampu mendengarkan keinginan dari rakyat. [7]

Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bangsa Indonesia, pada hakikatnya memerintahkan  agar manusia senantiasa melakukan hubungan  yang serasi antaar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan – hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak, menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha dan merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.[8]

Dengan demikian hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan – keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu dalam masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di dalam kelompok masyarakat hukum.


Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara menurut Pasal 1 Angka 6 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Penyelenggara dalam pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang online ini sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi. Badan hukum yang menjadi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi tersebut wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. [1]

  • Penerima Pinjaman

Penerima pinjaman menurut Pasal 1 Angka 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Penerima pinjaman dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara dengan pemberi pinjaman. Ketentuan penerima pinjaman menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.  Ketentuan mengenai syarat- syarat penerima pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara. [2]

  • Pemberi Pinjaman

Pemberi pinjaman menurut Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang, badan hukum dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjma berbasis Teknologi Informasi. Penerima pinjaman merupakan pihak yang memberikan pinjaman atau pendanaan kepada penerima pinjaman yang membutuhkan dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara. Ketentuan pemberi pinjaman menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia, orang perseorangan Warga Negara Asing, badan hukum Indonesia atau asing, badan usaha Indonesia atau asing dan/atau lembaga Internasional. Ketentuan mengenai syarat-syarat pemberi pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara. [3]

  • Hubungan Hukum

Penyelenggara dengan Penerima Pinjaman Antara pihak penyelenggara dengan penerima pinjaman, terjadi suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian. Namun, perjanjian antara penyelenggara dan penerima pinjaman berupa perjanjian pengguna layanan pinjam peminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Perjanjian tersebut lahir ketika penerima pinjaman telah melakukan penerimaan terkait dengan segala ketentuan penggunaan yang ditetapkan oleh penyelenggara dan kemudian mengajukan permohonan peminjaman berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan pula oleh penyelenggara


Tata Cara  Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Perjanjian pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (online) diawali dengan adanya penawaran yang dilakukan oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi dan dilanjutkan dengan penerimaan yang dilakukan oleh nasabah. Penawaran dan penerimaan dalam perjanjian ini tentu saja memiliki mekanisme yang berbeda dari perjanjian pinjam meminjam konvensional, hal ini dilihat dari cara perjanjian online itu lahir[1].

  1. Penawaran dilakukan secara online

Penawaran (offer) adalah pernyataan salah satu pihak, penawar (offeror), untuk masuk dalam ikatan suatu perjanjian. Dalam konteks online, sebuah jasa online lainnya dapat memajang informasi produk yang ditawarkan kepada konsumen. Informasi tersebut dapat berupa katalog produk dan layanan yang mereka berikan yang disertai dengan berbagai informasi seperti harga, spesifikasi barang, nilai rating produk atau jasa, perusahaan pembuat dan lain-lain.

  • Penerimaan dilakukan secara online

Penerimaan adalah persetujuan akhir dan mutlak terhadap isi dari suatu penawaran dan umumnya penerimaan penawaran harus disampaikan atau dikomunikasikan kepada pihak yang menyampaikan penawaran. Tanpa adanya penerimaan terhadap suatu penawaran, tidak akan mungkin lahir suatu kontrak. Biasanya penerimaan dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh offeror. Seperti halnya penawaran, penerimaan dapat diberikan secara lisan atau tulisan bahkan dapat dilakukan dengan suatu perbuatan tertentu

Dalam Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT), bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara lansung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Dalam perjanjian layanan pinjam meminjam uang yang diatur di dalam fintech berdasarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT). Diatur bahwa dalam Pasal 18 POJK, Perjanjian pelaksanaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi meliputi:

 a. Perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman; dan

 b. Perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.

Bahwa selanjutnya dalam Pasal 19, dijelaskan bahwa Perjanjian penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik. Dokumen elektronik dalam Pasal 1 angka 12 POJK, didefinisikan sebagai setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) wajib paling sedikit memuat:

a. nomor perjanjian;

b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak;

d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

 e. jumlah pinjaman;

f. suku bunga pinjaman;

g. besarnya komisi;

h. jangka waktu;

i. rincian biaya terkait;

j. ketentuan mengenai denda (jika ada);

k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan

 l. mekanisme penyelesaian dalam hal penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.

 Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Pemberi Pinjaman atas penggunaan dananya. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Penerima Pinjaman. Informasi penggunaan dana paling sedikit memuat:

a. jumlah dana yang dipinjamkan kepada Penerima Pinjaman;

 b. tujuan pemanfaatan dana oleh Penerima Pinjaman;

 c. besaran bunga pinjaman; dan

d. jangka waktu pinjaman.

 Sedangkan dalam perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam Pasal 20, dijelaskan lebih lanjut bahwa perjanjian pemberian pinjaman antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik, yang wajib paling sedikit memuat[2]:

 a. nomor perjanjian;

 b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak

 d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

e. jumlah pinjaman;

 f. suku bunga pinjaman;

g. nilai angsuran;

 h. jangka waktu;

i. objek jaminan (jika ada);

 j. rincian biaya terkait;

k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan

 l. mekanisme penyelesaian sengketa.

Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Penerima Pinjaman atas posisi pinjaman yang diterima. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Pemberi Pinjaman. Dijelaskan dalam Pasal 23, bahwa Penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penyelenggara wajib menyediakan virtual account bagi setiap Pemberi Pinjaman. Dalam rangka pelunasan pinjaman,  Penerima Pinjaman melakukan pembayaran melalui escrowaccount Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account Pemberi Pinjaman.

Dengan demikian secara singkat dapat dirangkum bahwa proses aplikasi pinjaman peer lending lazimnya mengikuti proses berikut: Peminjam masuk ke website, registrasi dan mengisi form aplikasi. Platform kemudian memverifikasi dan menganalisa kualifikasi pinjaman tersebut. Pinjaman yang berhasil lolos di posting di website di mana pendana bisa memberikan komitmen dana untuk pinjaman itu. Ada beberapa cara yang di adopsi berbagai platform peer lending untuk mencocokkan peminjam dengan pendana. [3]


[1] Kasmir, 2014, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 80-81

[2] Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Mandar Maju,. Millard

[3] Simorangkir, 2000, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 102

Pengertian Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi

Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.  Perjanjian pinjam meminjam uang online atau dikenal juga dengan nama Peer-To-Peer Lending (P2P Lending) pada dasarnya sama seperti perjanjian pinjam meminjam uang konvensional, hanya saja yang membedakan adalah para pihak tidak bertemu secara langsung, para pihak tidak perlu saling mengenal karena terdapat penyelenggara yang akan mempertemukan para pihak dan pelaksanaan perjanjian dilakukan secara online[1]

Secara teoritis, Peer-to-peer lending atau P2P Lending adalah kegiatan pinjam meminjam antar perseorangan. Praktisi ini sudah lama berjalan dalam bentuk yang berbeda, seringkali dalam bentuk perjanjian informal. Dengan berkembangnya teknologi dan e-commerce, kegiatan peminjaman turut berkembang dalam bentuk online dalam bentuk platform serupa dengan ecommerce. Dengan itu, seorang peminjam bisa mendapatkan pendanaan dari banyak individu. Dalam peer lending, kegiatan dilakukan secara online melalui platform website dari berbagai perusahaan peer lending. Terdapat berbagai macam jenis platform, produk, dan teknologi untuk menganalisa kredit. Peminjam dan pendana tidak bertemu secara fisik dan seringkali tidak saling mengenal. Peer lending tidak sama dan tidak bisa dikategorikan dalam bentuk-bentuk institusi finansial tradisional: himpunan deposito, investasi, ataupun asuransi. Karena itu, peer lending dikategorikan sebagai produk finansial alternatif.[2]

Sebelum membahas tentang aspek perlindungan data pribadi pada transaksi pinjam meminjam online, perlu dipahami bahwa layanan pinjam meminjam online merupakan layanan fintech peer-to-peer lending yang bertindak sebagai penyelenggara atau dengan kata lain, layanan pinjam meminjam yang hanya mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Direktorat Pengaturan,Perizinan dan Pengawasan Fintech (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan sebagai berikut : “Fintech adalah layanan jasa keuangan berbasis teknologi, layanan jasa keuangan ada banyak sekali, ada pendanaan, pasar modal, asuransi dan lain-lan. Fintech Peer To Peer (P2P) Lending termasuk ke dalam layanan jasa keuangan yang berbasis pada teknologi informasi. Kategori fintech ada enam kategori, Fintech Peer To Peer (P2P) Lending di Indonesia hanya sebagai penyelenggara saja atau hanya sebagai platform saja, perusahaan tersebut tidak dapat bertindak sebagai penerima pinjaman ataupun pemberi pinjaman


Konsep Hak Privasi

Hak Privasi adalah hak fundamental yang penting bagi otonomi dan perlindungan martabat manusia dan bertujuan untuk menjadi dasar dimana banyak hak asasi manusia dibangun diatasnya. Privasi memungkinkan kita untuk membuat pembatasan dan mengelolanya untuk melindungi diri dari gangguan yang tidak diinginkan, yang membolehkan kita untuk menegosiasikan siapa kita dan bagaimana kita mau berinteraksi dengan orang di sekitar kita. [1]Peraturan yang melindungi privasi memberikan legitimasi terhadap hak yang kita miliki dan menjadi penting untuk melindungi diri kita dan masyarakat Alasan hak privasi harus dilindungi adalah[2], Pertama, dalam membina hubungan dengan orang lain, seseorang harus menutupi sebagian kehidupan pribadinya sehingga dia dapat mempertahankan posisinya pada tingkat tertentu. Kedua, seseorang di dalam kehidupannya memerlukan waktu untuk dapat menyendiri sehingga privasi sangat diperlukan oleh seseorang,

Ketiga, privasi adalah hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada hak lain akan tetapi hak ini akan hilang apabila orang tersebut mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada umum. Keempat, privasi juga termasuk hak seseorang untuk melakukan hubungan domestik termasuk bagaimana seseorang membina perkawinan, membina keluarganya dan orang lain tidak boleh mengetahui hubungan pribadi tersebut. Dalam pernyataan Warren menyebutnya sebagai the right against the word. Kelima, alasan lain mengapa privasi patut mendapat perlindungan hukum karena kerugian yang diderita sulit untuk dinilai. Kerugiannya dirasakan jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian fisik, karena telah menganggu kehidupan pribadinya, sehingga bila ada kerugian yang diderita maka pihak korban wajib mendapatkan kompensasi.

 Alan Westin memberikan pengertian privasi sebagai[3]:

Privacy is the claim of individuals, groups, or institutions to determine for themselves when, how, and to what extent information about them is communicated to others (

Pernyataan di atas diartikan bahwa privasi adalah klaim individu, kelompok, atau institusi untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana,dan sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain. Hak privasi merupakan salah satu hak yang melekat pada diri setiap orang. Dalam hal lain, hak privasi merupakan martabat setiap orang yang harus dilindungi.

Indonesia memiliki aturan perlindungan data pribadi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang rahasia kondisi pribadi pasien, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur data pribadi mengenai nasabah[4]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

  1. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang. penyimpan dan simpanannya.

 Selain itu pengaturan perlindungan privasi dan data pribadi juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi , Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (telah diubah dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2013) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016), serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.[5]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut[6]:

  1. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
    1. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang.

Sebelum amandemen UUD 1945, penghormatan terhadap hak privasi seseorang sesungguhnya telah mengemuka di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, bahkan ketika periode kolonial. Hal ini sebagaimana mengemuka di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan Bab XXVII KUHP tentang kejahatan Jabatan, Pasal 430 sampai dengan Pasal 434 mengatur mengenai larangan penyadapan secara melawan hukum. Sementara KUHPerdata mengatur hubungan hukum keperdataan antar-orang atau badan, yang memungkinkan adanya suatu gugatan hukum jikalau hak atas privasinya ada yang dilanggar oleh pihak lain.  Larangan penyadapan secara sewenang-wenang atau melawan hukum (unlawfull interception), yang memiliki keterkaitan erat dengan upaya perlindungan terhadap hak atas privasi juga dapat ditemukan di dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 1 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik materinya tidak hanya mengatur mengenai larangan tindakan penyadapan yang melawan hukum, tetapi juga telah mengatur (meski terbatas) larangan pemindahtanganan. [7]


Pengertian Data Pribadi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian data adalah keterangan yang benar dan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian.  Sedangkan Pribadi sendiri memiliki arti manusia sebagai perseorangan (diri manusia atau diri sendiri),  sehingga dapat disimpulkan bahwa data pribadi merupakan keterangan yang benar dan nyata yang dimiliki oleh manusia sebaga perseorangan. UU ITE tidak memberikan definisi hukum yang jelas tentang data pribadi. Akan tetapi, dilihat dari perspektif penafsiran resmi tentang hak pribadi (privacy right) dalam Pasal 26 ayat (1), maka data pribadi meliputi urusan kehidupan pribadi termasuk (riwayat) komunikasi seseorang dan data tentang seseorang.[1]

Data pribadi terdiri dari fakta-fakta, pendapat atau komunikasi yang berkaitan dengan individu yang merupakan informasi sangat pribadi atau sensitif sehingga individu yang bersangkutan ingin menyimpan atau membatas orang lain untuk mengkoleksi, menggunakan, atau menyebarkannya kepada pihak orang lain. Menurut Jerry Kang, data pribadi menggambarkan suatu informasi yang erat kaitannya dengan seseorang yang membedakan karakteristik masing-masing individu. [2]Pada dasarnya perlindungan data di bagi atas 2 (dua) jenis yaitu bentuk perlindungan data yang berupa perlindungan fisik data, baik data yang terlihat maupun tidak terlihatBentuk perlindungan data yang berikutnya adalah sisi regulasi yang mengatur mengenai penggunaan data oleh orang lain yang tidak berhak, penyalahgunaan data untuk kepentingan tertentu, dan perusakan terhadap data itu sendiri. [3]

 Dalam PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, mendefinisikan data pribadi yaitu “data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya” (Pasal 1 ayat 27). Menurut penjelasan Pasal 1 ayat 1 Data Protection Act Inggris tahun 1998 menentukan bahwa data adalah setiap informasi yang diproses melalui peralatan yang berfungsi secara otomatis menanggapi instruksi-instruksi yang diberikan bagi tujuannya dan disimpan dengan maksud untuk dapat diproses. Data juga termasuk informasi yang merupakan bagian tertentu dari catatancatatan kesehatan, kerja sosial, pendidikan atau yang disimpan sebagai bagian dari suatu sistem penyimpanan yang relevan. [4]

Apabila membahas soal dasar hukum perlindungan data pribadi bahwasannya secara umum perlindungan data pribadi sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Selain itu terdapat juga dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang sampaui saat ini masih dalam proses pembentukan. Perlindungan hukum itu sendiri adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. [5]

Apabila dikaitkan kepada perbuatan yang dilarang maka UU ITE sudah melarang perbuatan memperoleh informasi dengan cara apapun sebagaimana yang tertera dalam pasal 30 khususnya pada ayat (2). Ketika pelanggaran itu dilakukan maka dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara maksimal 7 tahun dan denda maksimal Rp 700.000.000,- (Tujuh ratus juta rupiah). Hal ini berdasarkan pasal 46 ayat (2) UU ITE yang telah tertulis sehingga dengan adanya peraturan ini data pribadi seseorang sudah memiliki payung hukum dan dilindungi oleh hukum. [6]

Sebagaimana kewajiban sebagai penyelenggara layanan aplikasi yaitu menjaga kerahasiaan serta keamanan dari informasi elektronik yang dikleolanya. Hal ini sesuai dengan pasal 15 ayat (1) karena apabila penyelenggara aplikasi tidak dapat menjaga data yang dikelolanya dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 84 ayat (1) dan (2) PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Penyelenggara layanan aplikasi juga harus mematuhi UU ITE dan Juga seluruh perundang-undangan terkait yang berlaku di Indonesia hal ini juga dipertegas oleh Surat Edaran dari KOMINFO Nomor 3 Tahun 2016 terkait Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet.[7] Sehingga dari sinilah terdapat dasar hukum perlindungan data pribadi yang tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan,

Dengan demikian data pribadi adalah data yang berkenaan dengan ciri seseorang, nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan kedudukan dalam keluarga. Data pribadi merupakan hal yang sensitif dimiliki setiap orang. Data pribadi menjadi hak privasi seseorang yang wajib dilindungi dari berbagai aspek kehidupan. Beberapa instrumen internasional seperti OECD Guidelines maupun Data Protection Convention dari Dewan Eropa data pribadi diartikan semua informasi yang berhubungan dengan orang-perorangan yang teridentifikasi dan dapat diindetifikasi (information relating to an identified or identifiable natural person ). [8]


Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat. [1]

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. [2]Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hokum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.  [3] Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial [4]Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai instrument perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia dapat terlindungi, maka hukum harus dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat terjadi juga yang namanya pelanggaran hukum  Pelanggaran hukum ini dapat terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak- hak subjek hukum lain. Oleh karenanya dalam hal ini subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum. [5]

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.  Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan. Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.  Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita. [6]

Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara, dan dilain sisi bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat, dan martabat sebagai manusia. Prinsip perlindungan hukum terhadap suatu tindakan pemerintah bersumber serta bertumpu pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat. Lahirnya konsep-konsep mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.3 Prinsip kedua menyampaikan adanya suatu perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dengan demikian, pernyataan ini mengarah pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi tempat utama serta  dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. [7]


Kata-kata yang paling sering digunakan oleh para ahli hukum ketika memuji atau mencela hukum atau pelaksanaannya adalah kata adil dan tidak adil, dan mereka seringkali menulis seolah-olah ide keadilan dan moralitas adalah dua hal yang tinggal berdampingan. Memang ada alasan yang amat kuat mengapa keadilan memiliki kedudukan paling menonjol dalam kritik atas tatanan hukum. Namun keadilan adalah segmen lain moralitas, dan bahwa hukum dan pelaksanaan hukum bisa jadi memiliki atau tidak memiliki jenis kelebihan yang berbeda pula. Ciri khas keadilan dan hubungan spesialnya dengan hukum mulai muncul jika diamati sebagian besar kritik dalam tinjauan adildan tidak adil hampir sama bisa diungkapkan dengan kata-kata fair (berimbang) dan unfair (tidak berimbang).[1] Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan untuk sebanyak-banyak orang.[2]

Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [3]

Istilah keadilan (Justitia) berasal dari kata adil yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan tidak sewenang-wenang. Keadilan menurut John Rawls adalah merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan kelompok masyarakat.[4] Sedangkan keadilan menurut Aristoteles adalah justice consists in treating equally and unequalls unequally in proporti-on to their inequality, yang berarti untuk hal-hal yang sama diperlakukan sama dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama, secara proporsional [5]

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.

Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[6]

Tendensi mengidentikkan hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theory of law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.[7]

Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan makdnusia baik lahir maupun bathin.[8] Nilai itu merupakan suatu kejadian yang dapat dialami, sifatnya masih abstrak. Dalam lapangan hukum nilai tersebut harus dikonkritkan dalam bentuk asas hukum sehingga asas hukum merupakan landasan dibentuknya hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.[9]

Teori-teori Hukum Alam yang disampaikan sejak jaman Socretes hingga jaman Francois Geny menggunakan keadilan sebagai mahkota hukum. Beberapa teori yang disampaikan oleh tokoh dari jaman Socretes hingga jaman Francois Geny mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Dimaksud dengan teori-teori tersebut diantaranya adalah teori keadilan Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics, teori keadilan sosial John Rawl dalam A Theory Of Justice serta teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam  General Theory Of Law And State[10]. Dalam pernyataan teori-teori tersebut memuat mengenai hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Hal ini mendasarkan pernyataan bahwa Teori Hukum Alam  sebenarnya mengutamakan the search for justice.[11]

 Menurut pandangan Aristoteles bahwa konsep keadilan dibagi ke dalam dua macam keadilan yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief. Dimaksud dengan keadilan distributief ialah keadilan yang diberikan pada masing-masing individu sesuai dengan prestasi di antara anggota masyarakat lainnya. Sedangkan pegertian keadilan commutatief adalah keadilan yang diberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya. Dalam konsep ini maka keadilan berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.[12]

 Sementara itu, John Rawls menyampaikan konsep keadilan berdasarkan perspektif liberal-egalitarian of social justic. Dimana dalam konsep keadilan ini maka   kebajikan utama  muncul dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Namun tetap saja dalam konsep ini maka kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.[13]

Lebih lanjut lagi, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan original position dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance).[14] Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu original position yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society)[15].


Definisi UMKM

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro dan Kecil Pasl 1 yang dimaksud dengan Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.[1]

Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada bab I pasal 1, definisi UMKM adalah sebagai berikut:[2]

  1. Usaha Mikro

     Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

  • Usaha Kecil

     Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

  • Usaha Menengah

     Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


[1] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro dan Kecil

[2] Tulus T.H. Tambunan, UMKM di Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009), hal.16

Pengertian Merek Kolektif

Pengertian merek kolektif tidak dirumuskan secara pengistilahan, namun demikian terdapat beberapa karakteristik yang fungsinya yaitu untuk membuat perbedaan antara barang-barang atau jasa dari produsen atau suatu perusahaan terhadap barang-barang atau jasa dari suatu produsen atau perusahaan lain. Merek kolektif ini dipergunakan juga sebagai alat pembeda dalam hal riwayat geografis atau karakter lain yang umumnya terdapat di barang-barang atau jasa tersebut, dan tentunya dibawah pengawasan dari pihak terkait[1].

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan pengertian mengenai merek kolektif bahwasanya Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersamasama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Dengan apa yang dijelaskan diatas maka dapat diartikan bahwasanya merek kolektif tersebut hanya diperkenankan untuk kelompok atau kolektif atau bersama-sama, tidak diperuntukan sebagai   merek dagang atau jasa perseorangan. Pemohon merek kolektif juga seharusnya bisa melaksanakan pengawasan secara sah atas penggunaan merek kolektif tersebut kepada para anggotanya dalam usahanya atau perdaganganya tidak sebatas hanya sekedar penegasan atas penggunaan atau tujuan penggunaanya semata[2].

Lanham Act 15.U.S.C 1127 mendefinisikan merek kolektif, sebagai berikut[3]: “Merek kolektif berarti merek dagang atau jasa:

  1. yang digunakan oleh para anggota koperasi, asosiasi, atau kelompok kolektif lainnya atau organisasi, atau
    1. yang kooperatif tersebut, asosiasi, atau kelompok kolektig lainnya atau organisasi yang memiliki niat baik untuk digunakan dalam perdagangan dan berlaku untuk mendaftar seperti yang ditetapkan oleh Undangundang ini, dan termasuk tanda yang menunjukkan keanggotaan dalam serikat pekerja, asosiasi atau organisasi lainnya 

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa sebuah merek kolektif harus dimiliki oleh entitas kolektif. Penggunaan merek dagang atau jasa kolektif tersebut bukan dengan menegaskan penggunaan atas tujuan penggunaan merek kolektif tersebut, tetapi pemohon harus menegaskan bahwa pemohon melaksanakan control yang sah atas penggunaan merek kolektif oleh para anggotanya atau memiliki niat baik untuk melakukan control yang sah atas penggunaan merek kolektif oleh para anggotanya dalam perdagangan


[1] Sardjono, Agus, dkk. 2013. Perlindungan Hukum Merek untuk Pengusaha UKM Batik. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahun ke 44 No. 4

[2] Novianti, Trias palupi Kurnianngrum, Sulasi Rongiyati, Puteri Hikmawati. 2017. Perlindungan Merek. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

[3] Etty Susilowati, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi pasa HKI (Semarang : Badan Penerbit Undip Press.2013) hal.108-109

Pengertian Merek

Ketentuan tentang Merek yang pertama kali berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Diberlakukannya Reglement Industriele Eigendom (RIE) . Reglement Industriele Eigendom 1912 menganut sistem deklaratif. Penyusunan peraturan Merek mengikuti sistem UU Belanda dan menerapkan sistem konkondarsi. Yaitu ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk diterapkan pada negara jajahan Belanda. [1]

Setelah Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus  diganti dengan Undang-Undang No 21 Tahun 1961 tentang Merek perusahaan dan dan Merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No.290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan dalam Lembaran Negara RI No.2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961.[2] Kedua Undang-Undang ini (RIE 1912 dan Undang-Undang Merek 1961) mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan hanya berlaku pada masa berlakunya Merek; yaitu sepuluh tahun menurut Undang-Undang Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912 ; yaitu 20 tahun. Perbedaan lain yaitu, Undang-Undang Merek tahun 1961 mengenai penggolongan barang-barang dalam 35 kelas, Penggolongan yang semacam itu sejalan dengan klasifikasi internasional berdasarkan persetujuan internasional tentang klasifikasi barang-barang untuk keperluan pendaftaran Merek di Nice (Prancis) pada tahun 1957 yang diubah di Stockholm pada tahun 1967 dengan penambahan satu kelas unuk penyesuaian dengan keadaan di Indonesia, pengklasifikasian yang demikian ini tidak dikenal dalam RIE 1912 .[3]

 Undang-Undang Merek tahun 1961 ini mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian Undang-Undang ini dengan berbagai pertimbangan akhirnya harus dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tetang Merek. Adapun alasan dicabut Undang-Undang Merek tahun 1961 itu adalah karena Undang-Undang Merek No 21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Selain itu, adanya perubahan mengenai sistem pendaftaran, lisensi, Merek Kolektif, dan sebagainya.[4]

Alasan diterbitkannya Undang-Undang No 15 Tahun 2001 yaitu salah satu perkembangannya yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik dibidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. [5] Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini Merek memegang peranan penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi indonesia serta pengalaman melaksanakan administrasi Merek, diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek dengan dibuatnya Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini mengganti undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Merek adalah alat untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan lain. Para pelaku usaha akan berusaha untuk mencegah dengan Merek yang telah dimiliki untuk tidak digunakan oleh orang lain karena dengan adanya Merek, para pelaku usaha mampu memperoleh reputasi baik, dan kepercayaan dari para konsumen yang mampu memberikan keuntungan yang besar bagi pemilik Merek.[6]

Pasal 15 ayat (1) TRIPS Agreement mendefinisikan Merek sebagai: “Any sign,or any combination of sign, capable of distinguishing the goods or sevice of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names, latters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registrations as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or service. Members may make registrability depend on distinctiveness acquired  trough use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.” [7]

Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang Merek yang lama juga merumuskan Merek pada Pasal 1 angka 1, yaitu: “Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Sementara Undang-Undang Merek terbaru Nomor 20 Tahun 2016 pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan : ”Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan Hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atas jasa”[8]


[1] Nurachmad, M. (2012). Segala tentang HAKI Indonesia. Jogjakarta : Buku Biru

[2] Lindsley, Tim. 2002. HKI : Suatu Pengantar. Bandung : PT.Alumni

[3] Miru, A. (2007). Hukum Merek : Cara Mudah Memperlajari Undang-Undang Merek . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

[4] Maulana, I. B. (2019). Perlindnugan Merek Terkenal dari Masa ke Masa. Bandung: PT.Citra Aditya

[5] Roisah, K. (2015 ). Konsep Hukum Kekayaan Intelektual (HKI). Malang: Setara Press

[6] Andriansyah, S. (2013). Hak Desain Indutri berdasarkan Penilaian Kebaruan Desain Industri. Bandung: PT.Alumni

[7] Saidin, H. OK. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights). Jakarta: Rajawali Press

[8] Khoironi, Alif Iffan. 2013. Implementasi Pendaftaran Merek Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Pada Home Industry Eggroll. Unnes law Journal. Semarang: FH Unnes. Vol. 2, No. 2, Oktober

Pengertian Kekayaan Intelektual

Kekayaan Intelektual (KI) adalah perubahan dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dimana sudah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal demikian berubah dikarenakan mengikuti institusi yang berperan dalam bidang kekayaan intelektual di negara-negara lain. Rata-rata institusi di negara-negara tersebut yang berperang dalam bidang kekayaan intelektual tidak ada kata “hak” dalam nama institusinya. [1]

Penamaan dalam bidang ini telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, yaitu Ditjen HCPM, Ditjen HaKI, Ditjen HKI dan Ditjen KI. Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (Ditjen HCPM) terbentuk atas dasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1988 tentang pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta. Lalu pada tahun 1998, atas dasar Keputusan Presiden Nomor 144 Ditjen HCPM diganti menjadi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI). Kemudian atas dasar Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HaKI berganti menjadi Ditjen HKI, dan akhirnya yang berlaku saat ini atas dasar Peraturan Presiden 18 Nomor 44 Tahun 2005, Ditjen HKI berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sehingga kini istilah atau nama Kekayaan Intelektual telah sama penyebutanya dengan istilah di banyak negara.[2]

Kekayaan Intelektual merupakan hak kebendaan yang dapat dikategorikan ke dalam benda tidak berwujud (benda immateriil). Dalam konteks hukum perdata, rumusan tentang hak kekayaan immateriil dijelaskan dalam pengertian benda yang diatur dalam Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara implisit menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Jika dihubungkan dengan Pasal 503 dan 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), maka dapat dikategorikan ke dalam benda berwujud dan benda bergerak. Barang bergerak yang tidak berwujud memiliki sifat abstrak, karena barangnya memang tidak terlihat wujudnya, akan tetapi pemiliknya dapat merasakan manfaatnya .

Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa poros utama yang dilindungi pada Kekayaan Intelektual yaitu metode atau cara berpikir dari pencipta itu sendiri sehingga hak kebendaan yang menempel pada proses intelektual tersebut termasuk diantaranya adalah benda yang tidak berwujud. Hak yang turut dilindungi itu dapat dikatakan sebagai hak untuk mempertahankan kepemilikanya dan hak untuk memanfaatkan atau menggunakan kepemilikanya tersebut, misalkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atau kepemilikanya dapat dihargai. Kekayaan Intelektual dapat digolongkan menjadi dua bagian menurut World Intellectual Property Organization (WIPO): Hak Cipta (Copyrights) dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights). Hak Cipta (Copyrights) merupakan hak khusus bagi pencipta untuk menyebarluaskan, mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya sendiri pada bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan atau bisa berbentuk buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang serupa itu. Sedangkan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) adalah hak yang memuat apapun tentang milik pengindustrian terkhusus yang memuat mengenai perlindungan hukum. Hak Kekayaan Industri itu sendiri terbagi atas Merek, Paten, Hak Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.[3]


[1] Sudaryat, dkk. 2010. Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Oase Media

[2] Susanto, Himawan Wijanarko. 2004. Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya. Jakarta : PT Mizan Publika

[3] Atsar, Abdul. 2018. Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: CV Budi Utama

Teori Pemisahan Kekuasaan

Pemisahan kekuasaan merupakan ide yang menghendaki baik organ, fungsi dan personal lembaga negara menjadi terpisah antara satu dengan yang lainnya. Setiap lembaga Negara masing-masing menjalankan secara sendiri dan mandiri tugas, dan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam ketentuan hukum. Di negara-negara Eropa Barat, pemisahan kekuasaan negara ini menjadi kebiasaan untuk membagi tugas pemerintahan ke dalam tiga bidang kekuasaan, yaitu:

  1. Kekuasaan yang berfungsi untuk membuat undang-undang. Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan legislatif.
    1. Kekuasaan yang berfungsi untuk menjalankan undang-undang. Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan eksekutif.
    1. Kekuasaan yang berfungsi untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili).

 Kekuasaan ini dinamakan kekuasaan yudikatif. Pemisahan dari tiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan di berbagai negara-negara yang ada di dunia ini, walaupun batas pembagian itu tidak selalu sempurna, karena terkadang antara satu kekuasaan dengan kekuasaan yang lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling pengaruh-mempengaruhi.

Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks menyebabkan variasi struktur dan fungsi organisasi serta institusi kenegaraan berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya. Negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar terjamin. Kelembagaan tersebut disebut dengan istilah dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).[1]

Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Sehingga dimungkinkan adanya suatu lembaga negara baru yang menjalankan fungsi yang bersifat campuran dan masing-masing bersifat independen (independent bodies)  atau quasi independen. Terdapat beberapa ahli yang mengelompokkan independent agencies (lembaga independen) semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif. Ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government, seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan Adrew Knapp.[2]


[1] Yusa Djuyandi, 2017, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 129

[2] Suparto, “Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi Dan Kekuasaan Kehakiman Yang Independen Menurut Islam”, Jurnal Selat, I (Oktober 2016), hlm. 117.

Prinsip Independensi Hakim

Secara historis independensi hakim (independence of judge), diuraikan oleh Suzanna Sherry menyampaikan bahwa hakim-hakim di Inggris sebelum tahun 1701, tidak dapat membatalkan suatu perundang-undangan produk legislatif (there was no practice of judicial review; judges did not strike down legislative enactments). Ungkapan klasik yang berlaku kala itu adalah

 “an act of parliament can do no wrong, although it may do several things that look pretty odd”.

Pengaruh ungkapan ini kemudian ditentang oleh hakim dan menolak untuk terikat dengan segala produk parlemen (kekuasaan legislatif). Paham inilah yang kemudian bermetamorfosa sehingga lahirlah judicial review. Sir Edward Coke, the father of American judicial review, menyatakan bahwa

“when an Act of Parliament is against common right and reason, or repugnant, or impossible to be performed, the common law will control it, and adjudge such Act to be void”. [1]

Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia 1945 Amandemen ketiga mengatur tentang kekuasaan kehakiman yang terdapat pada pasal 24 ayat (1) berbunyi :

“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan”

 Diuraikan lebih lanjut bahwa orang-orang Amerika kemudian menggunakan model independensi pengadilan (judicial independence) ketika mendeklarasikan kemerdekaannya, mereka menentukan untuk memiliki hakim-hakim yang independen. Hakim-hakim di Amerika segera memulai pelaksanaan judicial review, bahkan sebelum konstitusinya dirancang, hakim-hakim telah mengambil bagian dalam judicial review dengan membatalkan produk parlemen yang dinilai tidak benar. Mereka melakukannya tidak hanya karena bertentangan dengan konstitusi tertulis (written constitution), tetapi juga dengan dasar bertentangan dengan hukum alam seperti hak-hak yang tak tertulis (unwritten constitution). Hakim-hakim menggunakan bahasa hak-hak alamiah seperti “natural rights”, “inalienable rights”, “inherent rights”, “fundamental principles of civilized society”, and the “immutable principles of justice”.

They also broadened the definition of unwritten rights, protecting not only property rights and the right to jury trial, but also the right of representation and rights against retroactive laws or laws granting special privileges”. [2]

Berdasarkan alur historis di atas maka independensi hakim berada dalam alam misterius pikiran dan nurani seorang hakim, yang peraturan perundang-undangan sekalipun tidak dapat mendeterminasi mutlak seorang hakim. Dalam proses penyelesaian suatu perkara oleh hakim yang bebas (independence of judge), kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan atas suatu tindakan yustisial hakim dalam proses peradilan, tidak dapat dikoreksi oleh pemerintah secara administratif. Kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan yang bersifat peradilan, hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum dan bukan upaya administratif. Dengan demikian hakim harus bebas dalam menjalankan tugas peradilannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya tindakan baik preventif maupun represif yang bersifat mempengaruhi, terkecuali melalui upaya hukum yang tersedia menurut undang-undang.

Independensi kekuasaan hakim sangat berkaitan dengan defenisi kekuasaan negara yang merdeka, bahwa dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang – undangan mempunyai kekuasaan yang bebas.[3] Dengan kata lain, bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas – bebasnya tanpa rambu – rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan – peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya upaya hukum.[4]Jadi dalam pelaksaanaannya, penegakan prinsip kebebasan dalam kekuas a an kehakiman tetap harus dalam koridor yang benar yaitu sesuai dengan pancasila, UUD 1945 serta hukum yang berlaku.

Dalam sistem hukum Indonesia dengan jelas disebutkan independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa[5] :

  1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
  2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari  pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan

Dengan demikian dimaksud dengan independensi kehakiman sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yustisialnya.

Dengan kata lain, hakim tidak terpengaruh oleh dorongan perilaku internal yang dapat membuatnya harus mengambil putusan yang tidak imparsial dan netral akibat pikiran dan nuraninya tidak lagi mampu berbahasa kejujuran.[6] Dalam menghadapi keadaan demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan tugasnya[7]

Hal lain  yang patut diperhatikan dalam membahas independensi hakim adalah  bahwa kebebasan hakim (independence of judiciary) harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Dalam kaitan inilah kemudian melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) termasuk di dalamnya integrity dan transparency, yang dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab hukum (legal responsibility) dan tanggungjawab kemasyarakatan (social responsibility). Dalam kerangka demikian kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep code of conduct berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim, yang keberadaannya terlihat sebagai tuntutan nasional maupun internasional.[8]

Berdasarkan berbagai uraian di atas maka indepedesi hakim adalah bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas – bebasnya tanpa rambu – rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik. Oleh karenanya dalam membahas kebebasan hakim harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan


[1] Suzanna Sherry, 1998, “Independent Judges And Independent Justice”, Journal Law and Contemporary Problems, http://www.law.duke.edu/journals/61LCPSherry

[2] Ibid

[3] K Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1977 , hlm. 17 

[4] Ibid, hlm.17

[5] Amran Suadi, H. Dr. Drs., S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, Dan Etika., Prenada Media Goup, Jakaarta,  I, 2019.Jakarta

[6] Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman

[7]  Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: JPBooks, 2006, hlm.176-177

[8] The Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002, http://www.unodc.org/pdf/crime/ corruption/judicial_group/Bangalore_principles.pdf

Pengertian Pejabat Negara

Pejabat dalam kamus KBBI memiliki arti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting selanjunya dalam kata Pejabat Negara orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan, seperti menteri, sekretaris negara.   Menurut Undang-Undang No 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dalam Pasal 11 ayat berisikan. Pejabat Negara terdiri atas:

  1. Presiden dan Wakil Presiden;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dn Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
    1. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
    1. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;
    1. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
    1.  Gubernur dan Wakil Gubernur;
    1.  Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota; dan
    1.  Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan

Menurut Riant Nugroho Pejabat Negara atau Pejabat Publik di kelompokan menjadi dua, yaitu:

a. Pejabat Negara, yaitu :

 1) Pejabat legislatif, yaitu ketua dan anggota MPR, DPR, DPD,dan DPRD;

2) Pejabat yudikatif, yaitu pimpinan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

3) Pejabat Eksekutif, yaitu :

 a) Presiden dan Wakil Presiden;

 b) Menteri dan pejabat pemerintah setingkat Menteri; c) Gubernur dan Wakil Gubernur;

 d) Duta Besar;

 e) Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

4) Pejabat akuntatif, yaitu pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan;

 5) Pejabat lembaga publik semi-negara, termasuk di antaranya; lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU) hingga badan-badan regulator inrastruktur publik, seperti Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia dan Badan Regulator Air Minum PAM Jakarta. b. Pejabat administratif, yaitu:

  1.  Pejabat struktural pusat (Eselon I dan II);
  2.  Pejabat struktural daerah propinsi (Eselon I dan II);
  3.   Pejabat struktural daerah kabupaten/kotamadya (Eselon II dan III);
  4.  Para pejabat hubungan masyarakat pemerintah;
  5.  Pejabat pimpinan pelaksana di tingkat bawah (camat, kepala desa/lurah).

Setelah melihat ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Pejabat Negara atau Pejabat Negara tidak terbatas pada pengertian pejabat negara, tetapi lebih luas lagi, yaitu top managemen yang menyelenggarakan urusan negara dan pemerintahan yang memiliki kewenangan mengambil suatu keputusan yang bersifat strategis termasuk kebijakan yang mengikat terhadap masyarakat (publik). Kebijakan yang mengikat masyarakat biasanya diambil oleh pimpinan puncak satuan organisasi pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, kepala dinas tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan camat, lurah maupun kepala desa

Larangan Bagi Pegawai Negeri Sipil

Larangan Bagi PNS menurut PP No 94 Tahun 2021 Sedangkan larangan bagi PNS, yang dituangkan dalam Pasal 5 PP No 94 Tahun 2021 adalah sebagai berikut[1]

  1. menyalahgunakan wewenang; 
    1. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan;
    1. menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain; 
    1. bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK);
    1. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh PPK; 
    1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
    1. melakukan pungutan di luar ketentuan; 
    1. melakukan kegiatan yang merugikan negara;  i. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan; 
    1. menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 
    1. menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan; 
    1. meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan; 
    1. melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; dan 
    1. memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: 
      1. ikut kampanye;
      1. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; 
      1. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; 
      1. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 
      1. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; 
      1. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau 
      1. memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk

[1] Pasal 5 PP No 94 Tahun 2021

Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS)

  Menurut Sastra Djatmika, kewajiban Pegawai Negeri dibagi dalam tiga Golongan, yaitu[1]:

1) Kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan;

 2) Kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas dalam jabatan, melainkan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri pada umumnya;

3) Kewajiban-kewajiban lain. Untuk menjunjung tinggi kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), diperlukan elemen-elemen penunjang kewajiban meliputi kesetiaan, ketaatan, pengabdian kesadaran, tanggung-jawab, jujur, tertib, besemangat dengan memegang rahasia Negera dan melaksanakan tugas kedinasan.

Pasal 2 PP No 94 Tahun 2021 menyatakan PNS wajib menaati kewajiban dan menghindari larangan. Kewajiban PNS Adapun kewajiban PNS tersebut dituangkan pada Pasal 3, yaitu[2]:

  1. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Pemerintah;
    1. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; 
    1. melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang; 
    1. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
    1. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;
    1. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; 
    1. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 
    1. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI.

Selain itu, sebagaimana ketentuan Pasal 4 PP No 94 Tahun 2021, PNS juga diwajibkan untuk: 

  1. menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji PNS; 
    1. menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji jabatan;
    1.  mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan; 
    1. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara; 
    1. melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
    1. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; 
    1. menggunakan dan memelihara barang milik negara dengan sebaik-baiknya; 
    1. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan kompetensi; dan 
    1. menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

[1] Buku-Buku: Djatmika Sastra. 1987. Hukum Kepegawaian di Indonesia.Yogyakarta. Djambatan

[2] https://regional.kontan.co.id/news/inilah-kewajiban-dan-larangan-bagi-pns-menurut-aturan-baru-pp-no-94-tahun-2021.

Fungsi, Tugas, dan Peran Pegawai Aparatur Sipil Negara

  • Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) berfungsi sebagai[1]:

1) Pelaksana Kebijakan Publik

 2) Pelayanan publik

3) Perekat dan pemersatu bangsa.

  • Aparatur Sipil Negara (ASN) bertugas[2]:

1) Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.

 2) Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas.

3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesaatuan Republik Indonesia.

 Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara yang bertugas membantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan, dalam arti kata wajib mengusahakan agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh setiap masyarakat dalam melaksanakan Peraturan Perundang–undangan  pada umumnya. [3]

Pegawai Negeri Sipil diberikan tugas kedinasan untuk melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik–baiknya. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat setiap Pegawai Negeri Sipil harus mampu melakukan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Sebagai abdi Negara seorang pegawai negeri juga wajib setia dan taat kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, UUD 1945, negara dan pemerintahan. Dalam hal ini pegawai negeri harus bersikap monoloyalitas, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dapat memusatkan segala perhatian dan pikiran serta menyerahkan daya dan tenaganya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta berdaya dan berhasil guna. Kesetiaan dan ketaatan penuh yang berarti bahwa Pegawai Negeri Sipil sepenuhnya berada di bawah pimpinan pemerintahan dan sebagai abdi masyarakat. Pegawai negeri harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Sehubungan dengan kedudukan pegawai negeri maka baginya dibebankan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dan sudah tentu disamping kewajiban baginya juga diberikan apa saja yang menjadi hak yang didapat oleh seorang pegawai negeri. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil adalah mengenai hubungan Pegawai Negeri Sipil dengan Negara dan Pemerintah serta mengenai loyalitas kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. [4]

Didasari bahwa kedudukan pegawai negeri khususnya Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu  penentu kelancaran penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Sehingga untuk mencapai tujuan pembangunan, diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil sebagai warga negara, unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat. Dengan penuh kesetiaan dan ketaatan terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk keperluan tersebut, Pegawai Negeri Sipil harus bersatu padu bermental baik, berwibawa, berdaya guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan.[5]


[1] Sri Hartini dan Tedi Sudrajat, 2017, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, ,hlm.34-35

[2] Ibid

[3] Ridwan H.R, 2014,Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.2

[4] Ibid

[5] Muchsan, 1982, Hukum Kepegawaian, jakarta, Bina Aksara

Jenis Pegawai Aparatur Sipil Negara

Pasal 6 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), terdiri dari: a. PNS Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a merupakan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Kepegawaian dan memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) secara nasional. b. PPPK PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah dan ketentuan-ketentuan Undang- Undang ini. Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang menyelenggarakan tugas-tugas negara atau pemerintahan adalah pegawai negeri, karena kedudukan pegawai negeri adalah sebagai abdi negara dan abdi masayarakat, juga pegawai negeri merupakan tulang punggung pemerintah dalam proses penyelenggaraan pemerintah maupun dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Pengertian Pegawai Negeri Sipil

     Definisi Pegawai Negeri Sipil Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 1 angka 2 adalah Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerjayang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.[1]

Sedangkan pada Pasal 1 angka 2 pada Undang-Undang ASN berbunyi :

“Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetapoleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan Pejabat Negara”

Definisi jabatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

(1) pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi;

 (2) fungsi;

 (3) dinas; jawatan fungsional, jabatan yang ditinjau dari fungsinya dalam satuan organisasi (seperti dokter ahli, dosen, juru ukur);̴ negeri, jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan (termasuk jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi negara dan kepaniteraan pengadilan);̴ organik, jabatan yang telah ditetapkan dalam peraturan gaji yang berlaku dan termasuk formasi yang telah ditentukan oleh jawatan yang bersangkutan;̴rangkap, dua atau lebih jabatan yang dipegang oleh seseorang dalam pemerintahan atau organisasi, seperti sekretaris jenderal, kepala biro;̴struktural, jabatan yang terdapat dalam struktur organisasi (komunitas) secara formal sehingga tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak pejabat atau pegawai bersangkutan telah diatur[2]

Menurut Penulis Pejabat Negara adalah Orang yang menjabat tertentu dalam hal mengelolah negara yang kewajiban dan hak-haknuya diatur oleh peraturan perundang-undangan.


[1] Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

[2] Jefirstson Richset Riwukore dkk, Tinjauan Hukum Pasal 302 UU MD3 Mengenai Rangkap Jabatan dan Penggunaan Anggaran Kelembagaan Oleh Anggota DPD RI yang Berstatus Ketua PKK dan DEKRANASDA di Daerah, Jurnar Arraniri diakses pada tanggal 31 Mei 2021

Kewajiban Hakim

 Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 ayat (9) KUHAP, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui hukum (curialus novit). Jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya.

Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009).  Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat (1) UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Hakim Ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Didalam praktik ada kalanya hakim menggunakan bahasa daerah jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan si hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. [1]


[1] Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.129

Tugas dan Fungsi Hakim

 Didalam Pasal 1 ayat (8) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negeri yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Dengan demikian fungsi seorang hakim adalah seorang yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan. Dalam peradilan, tugas hakim adalah mempertahankan tata  hukum, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Dengan demikian yang menjadi tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, seperti yang diatur dalam pokok-pokok kekuasaan kehakiman tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahum 2009[1]


[1] Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, 2013, hal 16.

Pengertian Hakim

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomer 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. [1] Dalam pengertian Hakim lainnya yaitu menurut KUHAP adalah pejabat peradilan Negara yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutuskan perkara.4 Kewenangan atau kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka atau tidak berpihak untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang berlandaskan Pancasila terutama sila pertama Pancasila sebagai dasar Negara.[2]

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seorang hakim wajib menjunjung tinggi kemandirian, harkat dan martabat badan peradilan. Oleh karena itu pihak manapun dilarang mengintervensi tugas dan kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara, kecuali dalam hal-hal yang diatur oleh UUD 1945.6 Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara yang serahkan kepadanya. Mengadili perkara merupakan kewenangan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara berdasarkan asas-asas peradilan yaitu asas bebas, jujur, dan tidak memihak sesuai dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang. [3]

Oleh karenanya dalam pengertian hakim sangat terkait erat dengan putusan hakim. Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, maka putusan Hakim adalah pernyataan pendapat dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki hukum yang berkekuatan tetap. Berlandaskan pada asas dari teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: “Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara. [4]

Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari Surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan dalam menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu didalam menjatuhkan putusan, hakim diharapkan agar selalu berhati-hati, hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar putusan yang diambil tidak mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu pada keadilan yang dapat menjatuhkan wibawa pengadilan. Hakim dalam menentukan hukuman diharapkan berpandangan tidak hanya tertuju apakah putusan itu sudah benar menurut hukum, melainkan juga terhadap akibat yang mungkin timbul, dengan berpandangan luas seperti ini maka hakim berkemungkinan besar mampu untuk menyelami kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat danjuga akan lebih dapat memahami serta meresapi makna dari putusan yang dijatuhkan, dalam dunia peradilan dibedakan antara putusan dan penetapan hakim. Putusan dalam bahasa Belanda disebut dengan vonnis, sedangkan penetapan hakim dalam bahasa Belanda disebut dengan beschikking. Putusan hakim dalam acara pidana adalah diambil untuk memutusi suatu perkara pidana, sedangkan penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan. [5]

 Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya meneurut undang-undang yang berlaku. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. [6]


[1] Undang-Undang RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

[2] Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[3] Pasal 1 Angka 9 KUHAP

[4] Lilik Mulyadi (2007) Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Prakter Pradilan. (Mandar Maju: Bandung. 2007) Hal. 127

[5] Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2010. hlm, 45.

[6] Mujahid A. Latief, 2007, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi (jilid II), Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 283

 Sistem Peradilan

Sistem peradilan di Indonesia adalah keseluruhan perkara pengadilan dalam suatu negara yang satu sama lain berbeda tetapi saling berkaitan atau berhubungan sehingga terbentuk suatu mekanisme dan dapat diterapkan secara konsisten. Dalam sistem peradilan di indonesia. Beberapa unsur pihak yang terlibat di dalam di antaranya[1]:

  1. Penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau pejabat PNS tertentu yg diberikan wewenang khusus oleh Undang Undang untuk melaksanakan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). Selain penyidik sebagai pihak yang yang terkait dalam sistem peradilan di Indonesia, dalam hukum ada yang disebut penyidikan, penyelidik, penyelidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yg diatur dalam Undang Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yg dgn bukti itu membuat terang tetang tindak pidana yg terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 angka 2 KUHAP). Penyelidik adalah pejabat polisi negara RI yg diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyelidikan (pasal 1 angka 4 KUHAP). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untu mencari dan menemukan suatu peristiwa yg diduga sebagai tindak pidana guna menetukan dpt atau tdknya dilakukan penyidikan menurut cara yg diatur dlm UU ( pasal 1 angka 5 KUHAP)
    1. Penuntut umum, (jaksa)
    1. hakim
    1.  penasihat hukum, dan
    1. Pencari keadilan.(Pengacara)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Lahirnya sistem peradilan di Indonesia berpedoman pada ketentuan diatas dan dalam melaksanakan tugasnya instansi ini harus terlepas dari intervensi berbagai pihak yang hanya menginginkan kepentinganya masing-masing. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diberikan kepada elemen-elemen lain yang ada didalamnya seperti badan-badan peradilan yang telah disebutkan didalam undang-undang. Peradilan di Indonesia mempunyai beberapa pengadilan. Berdasarkan lingkunganya masing-masing seperti [2]:

1. Peradilan Umum

2. Peradilan Agama

 3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Adapun asas yang harus digunakan dalam sistem peradilan di negara Indonesia adalah sebagai berikut[3]:

  1. Asas “ Ius Curia Novit” “setiap hakim dianggap tahu akan hukumnya”, sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak suatu perkara yang diajutkan kepadanya dengan daalil bahwa hakimnya tidak tahu hukumnya atau hukumnya belum ada.
    1. Asas peradilan cepat,(efisien) singkat (efektif) dan biaya ringan (tidak memberatkan) Asas ini mulai diatur dalam ketentuan pokok kekuasaaan hakim.
    1. Asas Audi Et Alterram Partem “mendengar kedua belah pihak yang berpekara”. Dalam asas ini menitik beratkan pada pengertian bahwa hakim diwajibkan untuk tidak memutus perkara sebelum mendengar kedua belah pihak terlebih dahulu.
    1. Asas Unus Testis Nullus Testis “satu saksi bukanlah saksi”
    1. Asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan kepada pengacara. Tidak mengatur secara tegas bahwa untuk perkara di pengadilan harus diwakilkan kepada seorang pengacara.
    1. Asas Nemo Judex Indeneus in Propria Causa. Asas ini mengajarkan bahwa tidak seorang pun yang dapat menjadi hakim dalam perkara sendiri. Dalam hukum acara perdata, asas ini menekankan pada obyektifitas pada pemeriksaan perkar. Tentunya asas ini ditunjukkan kepada hakim bahwa seorang hakim karena jabatannya harus mengundurkaan diri dari kedudukannya dalam memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya bilamana ia mempunyai kepentingan langsung terhadap tersebut atau mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan salah satu pihak yang berperkara.
    1.  Asas Lex Rae Sitae Bahwa suatu gugatan diajukan di tempat nama obyek gugatan itu berada dan bukan di tempat tinggal penggugat.

[1] Patawari, SHI.,MH. 2017 “Sistem Peradilan Di Indonesia” Pendidikan Khusus Provesi Advokat (PKPA)

DPN PERADI kerjasama Universitas Sawerigading Makassar, Sabtu 11 Pebruari 2017 Fakultas Hukum

Universitas Sawerigading Makassa

[2] Erman Rajagukguk, (2000) Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan, Jurnal Magister Hukum, Magister Hukum Unversitas Islam Indonesia, Vol. 2. No. 4, Oktober   hlm. 1

[3] Yahya Harahap, (2000), Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya, Bandung, hlm. 153 Indonesia, Vol. 2. No. 4, Oktober 2000, hlm. 1

Kekuasaan Kehakiman

Defenisi yang disebutkan dalam Undang – Undang yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945.14 Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang-undangan mempunyai kekuasaan yang bebas.  Dengan kata lain bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena itu dalam aspek beracara dalam pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya upaya hukum. [1]

Jadi dalam pelaksanaannya, penegakan prinsip kebebasan dakam kekuasaan kehakiman tetap harus dalam koridor yang benar yaitu sesuai dengan pancasila, UUD NRI 1945 serta hukum yang berlaku. Kemerdekaan, kebebasan atau kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan syarat mutlak dan sangat fundamental bagi Negara yang berlandaskan pada sistem negara hukum dan negara demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu Negara telah berada di bawah Negara tersebut tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip Negara hukum dan demokrasi. [2]

Kemerdekaan, kebebasan atau kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan syarat mutlak dan sangat fundamental bagi negara yang berlandaskan pada sistem negara hukum dan sistem negara demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah berada di bawah pengaruh kekuasaan lainnya maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut tidak menjunjung tinggi prinsipprinsip negara hukum dan demokrasi.

Menurut Bagir Manan, ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu sebagai berikut[3]:

  1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yudisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau suatu ketetapan hukum.
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur dan tidak memihak
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa oleh dan dalam lingkingan kekuasan kehakiman sendiri.
    1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan diluar kekuasaan kehakiman. f. Semua tindakan terhadap hakim semata mata dilakukan semata-mata dilakukan menurut undang-undang

Berdasarkan uraian di atas maka kekuasan kehakiman  merupakan salah satu pilar kekuasaan negara yang bersifat memaksa, serta diberikan kewenangan untuk itu oleh konstitusi. Kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel merupakan pilar penting dalam sebuah negara hukum yang demokratish faktor penting dalam menegakkan hukum, tanpa adanya kekuasaan yang bersifat memaksa, maka mustahil aturan akan dapat ditaati dan berlaku  


[1] Imam Anshori Saleh, 2014, Konsep Pengawasan Kehakiman, Setara Press, Malang: Hal. 131

[2] Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta: 1981, Hal. 15

[3] Ibid

Pengertian dan Tipologi Korban

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. [1]

Dalam pernyataan lain juag disebutkan mengenai pengertian korban yaitu menurut Gosita bahwa  korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.

Berbeda dengan Gosita yang memberi pengertian korban sebatas pada mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan, Muladi memberi prespektif berbeda mengenai korban. Menurut Muladi yang dimaksud dengan korban adalah : Orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik maupun mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan.  Cohen mengungkapkan bahwa korban adalah “whose pain and suffering have been neglectedby the state while it spands immense  resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.” [2]

Iswanto dan Angkasa menyatakan bahwa korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu korban termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional.[3]

Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang di klasifikasikan menjadi 6 tipe, tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. The “completely innocent victim”. Korban yang samasekali tidak bersalah oleh Mendeson dianggap sebagai korban “ideal” yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.
    1. The “victim whit minor guilty” and victim due to his ignorance”. Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian dapat dicontohkan seorang wanita yang menggoda tetapi salah alamat, sebagai akibat malah dia menjadi korban.
    1. The “victim as guilty as offender” and “ voluntary victim”. Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe sebagai berikut.

1) bunuh diri “dengan melemparkan uang logam”;

2) bunuh diri dengan adhesi;

3) euthanasia;

4)  bunuh diri yang dilakukan suami isteri (misalnya pasangan suami isteri yang putus asa karena salah satu pasangan sakit).

  • The “victim more guilty than the offender”. Dalam hal korban kesalahnaya lebih besar daripada pelaku ini ada dua tipe yakni :
    • korban yang memancing dan atau menggoda seeorang untuk berbuat jahat;
    • korban lalai yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan.
    • The “most guilty victim” and the “ victim as is gultu alone”. Korban yang sangat salah dan korban yang salah sendirian misalnya terjadi pada korban yang sangat agresif terlebih dahulu melakukan kejahatan namun akirnya justeru ia sendiri yang menjadi korban (misalnya penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari orang lain yang diserang).
    • The “simulating victim” and the “imagine as victim”. Korban pura-pura dan korban imajinasi oleh Mandesohn dicontohkan pada mereka yang mengaku menjadi korban demi kepentingan tertentu atau orang yang menjadi paranoid, hysteria atau pikun.

Sedikit berbeda dengan Mendelson yang membuat tipologi korban berdasarkan tingkat kesalahan, Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang tergantung pada pertanggung jawaban korban dalam tindak pidana tersebut. Tipologi tersebut adalah :

  1. “unrelated victim” yakni kejahatan dilakukan oleh pembuat kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban.
    1. “profokatif victim” disini korban memancing pembuat kejahatan untuk melakukan untuk melakukan kejahatan dengan perilaku tertentu mialnya korban mengingkari janji.
    1. “precipicatif victims” adalah “pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan.
    1. “biological weak victims” yakni saiapa saja yang secara fisik atau mental lemah misalnya orang yang sangat muda atau sangat tua dan orang yang tidak sadar yang menjadi target kejahatan.
    1. “ social weak victims” misalnya kaum imigran atau minoritas etnik yang memiliki posisi sosial yang lemah dalam masarakat dan sering dieksploitasi oleh elemen kejahatan.
    1. “ self-victimizing victims” dan “political victim”. Self-victimizing victim adalah korban dari tindakanya sendiri sebab mereka berkorban sendiri.

[1] Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme,

Refika Aditama Bandung, hal. 77

[2] Dalam Maya Indah S, C, 2014, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan kriminologi, Edisi kedua, Kencana, Jakarta

[3] Iswanto dan Angkasa, Diktat Viktimologi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 200

Tugas dan Wewenang Kepolisian

Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat.

Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah[1]:

  1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
    1. Menegakkan hukum; dan
    1. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan wewenang polisi yaitu terutama yang berseragam wajib melakukan tindakan Kepolisian bila melihat pelanggaran hukum yang terjadi.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan ketentraman ditengah-tengah masyarakat. Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, maka dapat diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, benar dan bertanggungjawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka Rahim, menyatakan bahwa tugas yang diembang oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif. [2]

Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah di bentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana.

Menurut Gewin maka  tugas Polisi adalah sebagai berikut :

“Tugas polisi adalah bagian daripada tugas negara perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.

Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai berikut :

(1)       Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.

(2)      Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a   menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.

Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat


[1] Tabah, 2001, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia,  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

hal. 81.

[2]

Jenis-Jenis Delik Aduan

Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relative (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu [1]:

a) Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten)

b) Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)

  1. Delik Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute Klachtdelicten)

Delik aduan absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang untuk penuntutanya pada umumnya dibutuhkan pengaduan. Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).

Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini dituntut”. Jika pengaduan itu sudah diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak akan menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut mengenai perbuatan, bukan pembuat atau orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak membatasi hak menuntut, yakni supaya yang satu dituntut dan yang lain tidak.

Larangan ini dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B, mengaku pada suaminya, bahwa ia pernah terlena terhadap godaan C, sehingga ia berzina dengan C. Karena istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B mengampuni akan tetapi ia mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C dituntut lantaran perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak karena menurut Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut, jadi A hanya boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus yang turut campur didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa permohonannya baru dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya akan menyerahkan kepada jaksa keputusan apakah istrinya dituntut.

Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik aduan absolut yang diatur dalam KUHP, yaitu :

  1. Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur dalam Pasal 284 tentang “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan” (verkrachting), Pasal 293 tentang “perbuatan cabul” (ontucht), didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus dilakukan pengaduan.
    1. Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang “menista” (menghina), Pasal 311 tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315 tentang “penghinaan sederhana” ( oenvoudige belediging), Pasal 316 (penghinaan itu terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang sedang melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319, tidak diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya bahwa kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak penderita dilakukan pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini merupakan penyimpangan dari ketentuan delik aduan itu sendiri).
    1. Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen), yang diatur dalam Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam ayat terakhir dari  kedua pasal itu.
    1. Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur dalam Pasal 369 bahwa dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan pengaduan untuk mengadakan penuntutan.
  2. Delik Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)

Delik aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu yang guna penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam hal ini hanya ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara si pembuat dan si pengadu terdapat hubungan tertentu. Hubungan tertentu antara si pembuat dan si pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis lurus (bapak, nenek, anak, cucu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (saudara) dan keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik aduan relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu[2] :

  1. Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal),
    1. Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut “pencurian di dalam lingkungan keluarga”,
    1. Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. OLeh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,
    1. Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan,
    1. Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.

Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan, maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat dipecah-pecah (splitsbaar).

Dari pasal-pasal yang tercantum mengenai delik aduan itu, penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan kalau ada pengaduan”. Maka kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi untuk kepentingan preventif. Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan tertib hukum, adalah lebih beritikad baik bilamana pengusutan itu diajukan secara lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan.

Sedangkan pengertian mengenai Laporan Polisi disebutkan dalam Pasal 1 butir ke-24 KUHAP yaitu  pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.


[1] Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982, hal 50..

[2] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 154

Konsep mengenai Laporan/Aduan Korban

Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini[1]:

  1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
    1. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan
    1. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten

Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut. Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yangndikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya.

Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan.

Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan.

Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.  Dalam pernyataan tersebut juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang dianggap baik dan adil.[2]

Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu  ”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana itu. Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.[3]

Menurut VOS unsur-unsur delik itu adalah :

  1. Suatu kelakuan manusia
  2. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman. [4]

Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum. Sedangkan menurut Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan (klacht).

 Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka  diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku


[1] Dalam R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal 87

[2] Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.

[3] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.

[4] E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.

Komponen Dalam Sistem Hukum

Sistem peradilan (atau sistem penegakan hukum) dilihat secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari komponen ”substansi hukum” (legal substance), ”stuktur hukum” (legal structure), dan ”budaya hukum” (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan/penegakan hukum terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/normatif), lembaga/struktur/aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen kultural). Yang dimaksud dengan nilai-nilai “budaya hukum” (legal culture). Dalam konteks penegakan hukum, tentunya lebih terfokus pada nilai-nilai filosofi hukum, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran/sikap perilaku hukum/perilaku sosialnya, dan pendidikan/ilmu hukum.

Bertolak dari pengertian sistem yang integral, maka pengertian sistem peradilan (sistem penegakan hukum) dapat dilihat dari berbagai aspek :

  1. Dilihat dari aspek/komponen substansi hukum (legal substance), sistem peradilan atau sistem penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum (di bidang hukum pidana meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana). Dengan demikian, dilihat dari sudut substansi hukum, sistem peradilan/sistem penegakan hukum pada hakikatnya merupakan “integrated legal system” atau “integrated legal substance”. Hal ini sesuai dengan Encyclopedia dari Sanford H. Kadish di atas yang menyebutnya dengan istilah sistem normatif (normative system).
    1. Dilihat dari aspek/komponen struktural (legal structure), sistem peradilan/sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem bekerjanya/berfungsinya badan-badan/lembaga/ aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi/ kewenangannya masing-masing di bidang penegakan hukum. Dengan demikian, dilihat secara struktural, sistem peradilan/sistem penegakan hukum (SPH) juga merupakan “sistem administrasi/penyelenggaraan“ atau “sistem fungsional/ operasional” dari berbagai struktur/profesi penegak hukum. Dilihat dari sudut struktural/administrasi/fungsional inilah, di bidang sistem peradilan pidana (SPP), muncul istilah “integrated criminal justice system” atau “the administration of criminal justice”.
    1. Dilihat dari aspek/komponen budaya hukum (“legal culture”), sistem peradilan atau sistem penegakan hukum (SPH) pada  dasarnya merupakan perwujudan dari sistem “nilai-nilai budaya hukum” (yang dapat mencakup filsafat hukum, asas-asas hukum, teori hukum, ilmu hukum dan kesadaran/sikap perilaku hukum). Dengan demikian, dilihat dari sudut budaya hukum, sistem peradilan (SPH) dapat dikatakan merupakan “integrated legal culture” atau “integrated cultural legal system”, walaupun ada pendapat bahwa tidaklah mudah membuat batasan tentang “legal culture”. Karena nilai-maka aspek/komponen budaya hukum juga dapat dilihat sebagai sistem sosial (social system)

Tinjauan Umum Hukum Pidana

Hukum pidana sebagai obyek ilmu hukum pidana, pada dasarnya merupakan obyek yang abstrak, sedangkan obyek pidana yang lebih kongkrit sama dengan ilmu hukum pada umumnya, ialah tingkah laku (perbuatan) manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Hanya saja yang menjadi obyek adalah perbuatan manusia yang termasuk di dalam ruang lingkup sasaran dari hukum pidana itu sendiri, yaitu perbuatan dari warga masyarakat pada umumnya maupun perbuatan dari penguasa atau aparat penegak hukum.[1]

Bekerjanya hukum pidana, pemberian pidana atau pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni pada terjadinya perkara pidana, bukanlah tujuan akhir. Fungsi umum hukum pidana adalah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sementara itu, fungsi khusus hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak merugikannya dengan menggunakan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam bidang hukum lainnya.

Hukum pidana dapat dikatakan menyaring dari sekian banyak perbuatan yang tercela, yang tidak susila atau yang merugikan masyarakat, sejumlah perbuatan yang dijadikan tindak pidana yang relatif kecil jumlahnya. Memang tidak mungkin semua perbuatan tercela dan sebagainya dan sebagainya itu dijadikan tindak pidana. oleh karena itu, kita harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut sebelum memberikan ancaman pidana, yaitu: (1) tujuan hukum pidana, (2) penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, (3) perbandingan antara sarana dan hasil dan, (4) kemampuan badan penegak hukum. Dengan memperhatikan empat hal dalam hubungannya dengan persoalan kriminalitas maka dapat kita lihat bahwa penanggulangan kejahatan belum terwujud hanya dengan terbentuknya undang-undang pidana saja. [2]

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
    1. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
    1. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[3]

Unsur-unsur Tindak Pidana ialah unsur formal meliputi :

  1. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
    1. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
    1. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
    1. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
    1. Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.

Sedangkan Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :

  1. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
    1. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
    1. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.

Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.

  1. Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
    1. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan  Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).

Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :

  1. Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
    1. Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.
    1. Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP)
    1. Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain
    1. Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP)

[1] Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Surakarta Hal. 7

[2] Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni Hal 21.

[3] Bassar, S, 1986. Tindak tindak pidana tertentu didalam KUHP,bandung :CV remadja karya.

Teori Keadilan Dalam Hukum

Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [1]

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.

Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[2]

Keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilainilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

Dalam perkembangan teoeri keadilan procedural dan substantive dikenal berbagai tokoh. Diantaranya adalah Aristoteles yang mengemukakan bahwa pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.[3]

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. [4]

Dikenal juga adanya tokoh John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).[5]

Dalam perkembangannya dikenal juga adanya konsep mengenai hukum progresif. Dimana Hukum Progressif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progressif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final melakinkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum Progressif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berbagi paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjuriprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. [6]

Hukum Progressif muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap praktek keadilan hukum di Indonesia. Pengadilan tidak hanya berperan dari dari institusi hukum namun juga menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Dengan demikian hukum progressif dapat berkembang dengan lahirnya pengadilan progressif yaitu proses yang sarat dengan dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Untuk mewujudkan pengadilan yang progressif diperlukan hakim yang progressif pula yaitu hakim yang menjadikan dirinya bagian masyarakat yang tidak hanya bekerja di bawah undang-undang namun juga mampu mendengarkan keinginan dari rakyat. [7]

C

Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan  yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak, menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha dan merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.[8]

Dengan demikian hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.


[1] Theo Huijbers 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,  Jakarta Kanisius; hal. 16-17

[2] L..J. Van Apeldoorn, , 1996,  Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita: hal 11-12

[3] Satjipto Raharjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Kompas;  hal. 39

[4]

[5]

[6] John Rawls, 2006, Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, [A Theory of Justice] diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo Yogyakarta: Pustaka Media

[7] Munir Fuady, 2005, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

[8] Ibid

Pengertian Akta (skripsi, tesis, disertasi)

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “Acte”
atau ”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “Act” atau “deed” menurut
pendapat umum mempunyai dua arti, yaitu: Perbuatan (handling) atau
perbuatan hukum (rechtshandeling) dan Suatu tulisan yang dibuat untuk
dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum tertentu yaitu
berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu.
Dalam Pasal 165 Staatslad Tahun 1941 Nomor 84 dijelaskan
bahwa akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan
pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup
bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan
pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan
perhal pada akta itu.
34 Menurut Sudikmo Mertokusumo akta adalah surat
yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari
suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.35 Sependapat dengan sudikno Mertokusumo Hasanudin
Rahman menyatakan bahwa suatu akta ialah suatu tulisan yang memang
sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu tulisan yang memang sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.36
Berdasarkan ketentuan diatas maka unsur-unsur yang penting untuk
suatu akta adalah :
a. Ditandatangi;
b. Memuat peristiwa yang memuat menjadi dasar suatu hal;
c. Diperuntukan sebagai alat bukti tertulis

Hubungan Notaris Dengan Para Pihak Penghadap (skripsi, tesis, disertasi)

Ketika penghadap datang ke notaris agar tindakan atau
perbuatannya diformulasikan kedalam akta otentik sesuai dengan
kewenangan Notaris, dan kemudian notaris membuatkan akta atas
permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini
memberikan landasan kepada notaris dan para penghadap telah terjadi
hubungan hukum antara keduanya Notaris sendiri harus memberikan pelayanan terbaik kepada para
penghadap atau masyarakat, namun notaris dapat menolak untuk
memberikan pelayanan kepada para penghadap atau masyarakat dengan
alasan-alasan tertentu hal ini diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf e
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Alasan yang dimaksud dalam pasal
ini adalah alasan yang mengakibatkan notaris berpihak, seperti adanya
hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan
suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk
berbuat sesuatu, atau hal-hal lain yang tidak diperbolehkan oleh undangundang. Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan
kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal dari
tanggung gugat notaris.28 Untuk memberikan landasan kepada hubungan
hukum seperti tersebut di atas, perlu ditentukan tanggung gugat notaris
apakah dapat berlandaskan kepada wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) atau mewakili orang lain tanpa kuasa
(zaakwaarneming) atau pemberian kuasa (lastgeving), perjanjian untuk
melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan.29
Subjek hukum yang datang menghadap notaris didasari adanya
sesuatu keperluan dan keinginan sendiri, notaris tidak mungkin
melakukan suatu pekerjaan atau membuat akta tanpa ada permintaan dari
para penghadap, dengan demikian menurut notaris dalam bentuk mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) tidak mungkin
terjadi berdasarkan pasal 1354 KUHPerdata.30
Hubungan hukum yang terjadi antara notaris dengan para pihak
penghadap tidak dapat dikontruksikan, dipastikan atau ditentukan, sejak
awal ke dalam bentuk adanya atau terjadi wansprestasi atau perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau persetujuan untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu atau mewakili orang lain tanpa kuasa
(zaakwaarneming) yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut notaris
berupa penggantian biaya, ganti rugi atau bunga kontruksi seperti tidak
dapat diterapkan secara langsung terhadap notaris karena tidak adanya
syarat yang dipenuhi seperti :
a) Tidak ada perjanjian secara tertulis atau kuasa atau untuk melakukan
perjanjian tertentu;
b) Tidak ada hak-hak para pihak atau para penghadap yang dilanggar
oleh notaris;
c) Notaris tidak mempunyai alasan untuk menerima perintah melakukan
suatu pekerjaan; dan
d) Tidak ada kesukarelaan dari notaris untuk membuat akta, tanpa ada
permintaan dari para pihak.31
Dengan demikian hubungan hukum antara notaris dan para
penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter a) Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam
bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu;
b) Mereka yang datang kehadapan notaris, dengan anggapan bahwa
notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan
keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik;
c) Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris
yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; dan
d) Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan. 32
Pada dasarnya notaris hanya membuat akta atas permintaan para
penghadap, disini notaris harus menerjemahkan pasal-pasal, kalimatkalimat, ayat-ayat, sehingga selaras dan memperoleh kekuatan hukum.
Jika para pihak datang ke notaris dan akan mengadakan suatu perjanjian
maka notaris akan mengatur syarat-syarat perjanjian tersebut dengan
sedemikian rupa sehingga para pihak mendapat perlindungan yang
seimbang dari notaris. Dalam menjalankan tugas serta jabatanya notaris
harus berpegangan dengan UUJN dan Kode Etik Notaris agar ketika
menjalankan tugasnya notaris selalu prosedural seperti apa yang
semestinya yang tertuang dalam Undang-Undang jabatan notaris dan
Kode Etik. Banyak orang yang ingin menjatuhkan atau mencari
keuntungan dengan melihat celah yang ada dalam notaris menjalankan
jabatan yang tidak prosedural seperti apa yang seharusnya oleh karena itu  dalm menjalankan tugasnya notaris harus menggunakan prinsip kehatihatian agar terhindar dari masalah dikemudian hari.
Notaris harus berupaya mengetahui identitas para pihak dan
keterangan yang sebenar-benarnya dari para pihak penghadap. Notaris
dapat memperoleh keterangan identitas dari ktp para pihak yang
bersangkutan, paspor, sim dan atau surat-surat lain dari para pihak yang
ingin melakukan perbutan hukum. Apabila keterangan yang diberikan
para pihak ini tidak sesuai atau tidak benar notaris dapat membatalkan
perjanjian atau perbuatan hukum yang ingin dilakukan para pihak

Kode Etik Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

dalam menjalakan tugas ataupun jabatanya seorang notaris itu
harus berpegang teguh pada Kode Etik Notaris, dalam Kode Etik Notaris
sendiri ditetapkan beberapa kaidah yang harus dipegang oleh notaris
diantaranya adalah :
a. Kepribadian Notaris, hal ini dijabarkan kepada;
1) Dalam melaksanakan tugasnya dijiwai pancasila, sadar dan taat
kepada hukum peraturan jabatan notaris, sumpah jabatan, kode etik
notaris dan berbahasa indonesia yang baik;
2) Memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan
nasional terutama sekali dibidang hukum;
3) Berkepribadian baik dan menjujung tinggi martabat dan
kehormatan notaris, baik didalam maupun diluar tugas
jabatannya.
b. Dalam menjalankan tugas, notaris harus: Hubungan notaris dengan klien harus berlandaskan :
1) Notaris memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya;
2) Notaris memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran
hukum yang tinggi agar anggota masyarakat menyadari hak dan
kewajibanya;
3) Notaris memberikan pelayanan kepada anggota masyarakat yang
kurang mampu.25
Dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris diatur mengenai pelanggaranpelanggaran yang dapat dilakukan oleh angggota notaris, selain disebut
dalam Pasal 1 dan pada umumnya dapat dikenakan sanksi, pelanggaran
yang secara umum disebut pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris,
meliputi pelanggaran terhadap :
a) Ketentuan-ketentuan dalam jabatan notaris;
b) Apa yang oleh setiap anggota diucapkan pada waktu mengangkat
sumpah jabatanya;
c) Hal-hal yang menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
harus/wajib dilakukan oleh anggota, antara lain membayar iuran dan
lain sebagainya dan/atau hal-hal yang menurut anggaran dasar serta
anggaran rumah tangga ini (ikatan notaris indonesia) tidak boleh
dilakukan
1) Menyadari kewajibanya, bekerja mendiri, jujur tidak berpihak dan
dengan penuh rasa tanggung jawab;
2) Menggunakan satu kantor sesuai dengan yang ditetapkan oleh
undang-undang dan tidak membuka kantor cabang dan perwakilan
dan tidak menggunakan perantara;
3) Tidak menggunakan media massa yang bersifat promosi

Pemberhentian Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Sesuai dengan kedudukan notaris, notaris diangkat oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini sudah di atur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor :
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian anggota, sususan organisasi, tata kerja dan tata cara
pemeriksaan majelis pengawas notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Pasal 8 ayat (1)
bahwa ada beberapa alasan atau faktor pemberhentian Notaris dari
jabatannya yakni sebagai berikut:
20
1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat
karena:
a) meninggal dunia;
b) telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
c) permintaan sendiri;
d) tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan
tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
atau
e) merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan
mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.
21
Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) diatas, maka
notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatanya karena :
a) Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b) Berada dibawah pengampuan;
c) Melakukan perbuatan tercela; dan
d) Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.2

Pengangkatan Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Notaris diangkat oleh menteri, yang lebih jelasnya yaitu
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk bisa menjadi Notaris
yaitu harus menyelesaikan Sarjana Strata-1 bidang hukum dan telah
selesai menempuh Magister Kenotariatan dalam jenjang strata-2. Itu
merupakan kewajiban yang harus ditempuh oleh notaris. Dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris
pengangkatan notaris sendiri berada dalam Pasal 2.
Untuk melaksanakan Tugas Jabatan Notaris, maka selanjutnya
harus menempuh tahap-tahap berikut ini :1 1) Mengajukan permintaan ke departemen Hukum dan HAM untuk
pengangkatan sebagai Notaris, dengan melampirkan :
a) Nama Notaris yang akan dipakai;
b) Ijazah-ijazah yang diperlukan;
c) Surat pernyataan tidak memiliki jabatan rangkap.
Apabila semua dokumen tersebut sudah lengkap dan telah diterima
oleh departemen Hukum dan HAM, maka si calon notaris menunggu
turunnya surat keputusan menteri Hukum dan HAM. Baru setelah
surat keputusannya turun, si calon notaris akan ditempatkan di
wilayah tertentu.
2) Notaris harus bersedia disumpah sebagaimana disebutkan dalam pasal
4 dalam waktu maksimal 2 bulan sejak tanggal surat keputusan
pengangkatan sebagai notaris. Notaris mengucapkan sumpah sesuai
dengan agamanya masing-masing dihadapan menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
3) Sumpah jabatan yaitu: Melaksanakan jabatan dengan amanah, jujur,
saksama, mandiri dan tidak berpihak. Kelima sifat ini adalah dasar
karakter seorang pejabat notaris. Pada saat disumpah, notaris sudah
menyiapkan segala suatu untuk melaksanakan jabatannya seperti
kantor, pegawai, saksi, protokol notaris, plang nama, dll. Setelah
disumpah, notaris hendaknya menyampaikan alamat kantor, nama  kantor notarisnya, cap, paraf, tanda tangan dll kepada meteri Hukum
dan HAM, organisasi notaris dan majelis pengawas.
Menurut G. H. S Lumban Tobing, isi sumpah dan janji jabatan
notaris dapat dibadi menjadi 2 bagian yaitu :19
a) Belovende: pada bagian ini notaris bersumpah akan patuh setia kepada
Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang dasarnya, serta
menghormati semua pembesar-pembesar hakim pengadilan dan
pembesar-pembesar lainnya. Bagian ini dimanakan politieke eed.
b) Zuiveringsed: pada bagian ini notaris berjanji menjalankan tugasnya
dengan jujur, seksama dan tidak berpihak serta akan menaati dengan
seteliti-telitinya semua peraturan-peraturan jabatan notaris yang
sedang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapatrapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturanperaturan itu. Bagian ini dinamakan beroepseed (sumpah jabatan).

Tugas dan Wewenang Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, menyatakan
secara tegas bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik, kecuali jika undang-undang ada
yang menentukan lain. Tugas dan wewenang notaris bila dilihat dari
Undang-Undang Jabatan Notaris hanyalah membuat akta, melegalisasi
akta di bawah tangan dan membuat grosse akta serta berhak
mengeluarkan salinan atau turunan akta kepada para pihak yang
berkepentingan membuatnya. Padahal sesungguhnya dalam praktek tugas
dan wewenang notaris lebih luas dari apa yang ada dan diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam prakteknya notaris mampu
menjadi ahli penemuan hukum dan penasehat hukum.
Tugas notaris adalah mengontrol hubungan hukum antara para
pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan
suatu akta otentik dia dapat membuat dokumen yang kuat dalam suatu
proses hukum.
12 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris, kewenangan
notaris adalah membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
dan dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.13
Selain kewenangannya untuk membuat akta otentik dalam arti
“verlijden” (menyusun, membacakan dan menanda-tangani), akan tetapi
juga berdasarkan dalam Pasal 16 huruf d Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Notaris wajib untuk membuatnya, kecuali terdapat alasan yang
mempunyai dasar untuk menolak pembuatannya.
14
Tanggung jawab notaris sendiri jika di telaah dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan
notaris. Dengan demikian oleh karena selain untuk membuat akta otentik,
notaris juga ditugaskan dan bertanggung jawab untuk melakukan
mengesahkan dan pendaftaran(legalisasi dan waarmerken) surat-surat /
akta-akta yang dibuat di bawah tangan oleh para pihak.
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris
hanya diperkenankan untuk menjalankan jabatannya di daerah yang telah
ditentukan dan ditetapkan dalam UUJN dan di dalam daerah hukum
tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan itu tidak
diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun
wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat (4) hal yaitu
sebagai berikut :
1) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang
dibuat itu;
2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat;
3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat; 4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta
itu.
Beberapa kewenangan Notaris selain yang ada dalam Pasal 15 ayat
(1) dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris yang menerangkan bahwa notaris juga
memiliki wewenang untuk :
a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
penjelasan :
ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta dibawah tangan yang
dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas
kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku
khusus yang disediakan oleh notaris.
b)membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c) membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d)melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta
risalah lelang.16
Berdasarkan kewenangan notaris diatas dapat melihat salah satu
kewenangan notaris yaitu melakukan legalisasi atau dalam bahasa hukum
nya mempunyai arti mengesahkan akta dibawah tangan. Akta dibawah
tangan sendiri sudah sangat lazim dalam kehidupan bemasyarakat, tidak
sedikit dari mereka meminta jasa notaris untuk melegalisasi atau
mengesahkan akta dibawah tangan ini dengan tujuan agar apabila
dikemudian hari terdapat persengketaan dapat menambah kekuatan
pembuktian terhadap akta dibawah tangan tersebut.
Legalisasi dan waarmeking diatur secara khusus dalam Pasal 15
ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Sendiri juga mengatur legalisasi
hal ini termuat dalam pasal 1874 KUHPerdata yang menyatakan :
“ sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang
ditandatangani dibawah tangan surta-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa peraturan
seorang pegawai umum. Dengan penandatanganan sepucuk tulisan
dibawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu
pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai
lain yang diitunjuk oleh undang-undang dimana ternyata bahwa ia
mengenal si pembubuh cap jempol atau bahwa orang ini telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan
dihadapan pegawai umum. Pegawai itu harus membukukan tulisan
tersebut dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut
tentang pernyataan dan pembukuan termaksud. “
Legalisasi merupakan bentuk pengesahan akta dibawah tangan
yang mana penandatanganan akta tersebut dilakukan para pihak
dihadapan notaris, dan pada saat itu juga notaris akan memberikan
kepastian terhadap tanggal terhadap akta tersebut. Sebelumnya dalam
melakukan legalisasi notaris diharuskan memastikan siapa saja pihak
yang berwenang hadir dan setelah itu menjelaskan serta membacakan
akta yang akan dilegalisasi. Para pihak sendiri juga harus mengenal
notaris sebelum melakukan penandatangan. Hal ini mempunyai
perbedaan mendasar dengan waarmerking, ketika melakukan
waarmerking kepada notaris akta tersebut telah ditandatangani oleh para
pihak sebelumnya, diluar sepengetahuan atau dihadapan noataris. Notaris
tidak mengetahui kapan akta itu di tandatangani oleh para pihak
sebelumnya, ini diluar sepengetahuan notaris. Dalam waarmerking
notaris hanya bertugas untuk membuat nomor pendaftarannya saja
kemudian akan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh
notaris, dalam waarmerking tidak ada kepastian mengenai tanggal dan
tanda tangan para pihak. Yang di maksud dengan legalisasi dan
waarmerking adalah :
18
a) Legalisasi adalah pengesahan dari surat-surat yang dibuat dibawah
tangan dalam mana semua pihak yang membuat surat tersebut datang
dihadapan notaris, dan notaris membacakan dan menjelaskan isi surat
tersebut untuk selanjutnya surat tersebut di beri tanggal dan di
tandatangani oleh para pihak dan akhirnya baru di legalisasi oleh
notaris;
b) Waarmerking adalah pendaftaran dengan membubuhkan cap dan
kemudian mendaftarkannya dalam buku pendaftaran yang disediakan
untuk itu.

Larangan Menjadi Seorang Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Notaris dalam melakukan atau menjalankan Tugas dan jabatanya
diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yaitu
mengenai larangan menjadi seorang Notaris. Jika notaris melanggar
larangan, maka Notaris akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Pasal 17 Undang-Udang Nomor 30 Tahun 2004 Jo UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, melarang Notaris
Untuk :
1) Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
3) merangkap sebagai pegawai negeri;
4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5) merangkap jabatan sebagai advokat;
6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7) merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
8) menjadi Notaris Pengganti; atau
9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
10
Di dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris disebutkan
bahwa notaris tidak diperbolehkan meninggalkan tempat kedudukanya  lebih dari 7 hari kerja berturut-turut, hal ini dapat dikaitkan dengan Pasal
19 ayat (2) UUJN yang menyebutkan bahwa notaris tidak berwenang
secara teratur dalam menjalankan tugas jabatanya diluar tempat/wilayah
kedudukannya. Jika hal ini terjadi maka notaris mendapatkan sanksi yang
didasarkan ketentuan pasal 1868 dan 1869 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu dinilai tidak berwenangnya notaris yang
bersangkutan yang berkaitan dengan tempat dimana akta dibuat, maka
akta yang dibuat tidak diperlakukan sebagai akta otentik tapi mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, jika ditandatangani
para pihak.1

Syarat-syarat menjadi Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Notaris selaku pejabat umum, oleh penguasa yang berwenang
untuk kepentingan setiap warga Negara diangkat secara sah, diberikan
wewenang untuk memberikan otentisitas kepada tulisan-tulisannya
mengenai perbuatan-perbuatan, persetujuan-persetujuan, dan ketetapanketetapan dari orang-orang yang menghadap kepadanya.7 Untuk
menjalankan jebatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang
mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris,
beberapa syarat harus dipenuhi adalah :
1) Warga Negara Indonesia;
2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3) Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
4) Sehat jasmani dan rohani;
5) Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang dua (S-2) Kenotariatan;
6) Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai
karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat)
bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas
rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, jabatan negara, advokat, atau
tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang
dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
8) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau
lebih.8
Menurut Ira Koesoemawati & Yunirman Rijan, masih ada beberapa
beberapa persyaratan untuk menjadi notaris di Indonesia, yaitu: 1) Secara umum, syarat menjadi calon notaris adalah orang yang
berkewarganegaraan Indonesia;
2) Memiliki kedewasaan yang matang. Dengan kemampuan hukum yang
mumpuni dan kedewasaan mental yang baik, maka keputusankeputusan yang diambil merupakan keputusan yang berkualitas;
3) Tidak memiliki catatan kriminal. Terbebas dari catatan kriminal
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kepercayaan
masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa jika seseorang pernah berbuat
kriminal maka di masa depan ia tidak segan untuk mengulanginya
kembali. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka yang bersih dari
catatan kriminal akan selamanya bersih, tetapi persyaratan ini akan
menyaring calon yang tidak baik;
4) Pengetahuan hukum yang baik. Sebagai wakil negara dalam membuat
akta autentik yang sah dan mendidik masyarakat awam terkait
masalah pembuatan, pengadaan, serta hal lainnya seputar akta

Pengertian Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Notaris berasal dari kata natae, yang artinya tulisan rahasia, jadi
pejabat itu semacam penulis stero.
3 Dalam pengertian harian notaris
adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk membuat akta otentik
atau akta resmi. Notaris adalah pejabat umum, seorang menjadi pejabat
umum apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi
wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu.4
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang jabatan notaris menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Selanjutnya
dalam penjelasan UUJN dinyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta
otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat lainnya.
Salah satu unsur penting dari pengertian notaris adalah notaris
sebagai “pejabat umum”. Hal ini berarti bahwa kepada notaris diberikan
dan dilengkapi dengan kewenangan atau kekuasaan umum yang menjangkau publik (openbaar gezag). Sebagai pejabat umum notaris
diangkat oleh Negara / Pemerintah dan bekerja untuk pelayanan
kepentingan umum, walaupun notaris bukan merupakan pegawai negeri
yang menerima gaji dari Negara / Pemerintah, Notaris di pensiunkan oleh
Negara / Pemerintah tanpa mendapat pensiunan dari pemerintah.6
Dalam Pasal 1868 KUHPerdata sendiri tidak menjelaskan secara
rinci penjelasan tentang notaris, hanya dijelaskan apa yang dimaksud
akta otentik saja. Sehingga dengan fenomena ini pembuat UndangUndang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk mengatur
hal ini. Akhirnya Pemerintah mampu membuat Undang-Undang yang
mengatur secara jelas Notaris sebagai pejabat umum yaitu PJN
(pengaturan jabatan notaris) dan UUJN (Undang-Undang Jabatan
Notaris) dimana peraturan yang dibuat pemerintah ini untuk memenuhi
peraturan pelaksaan dari pasal 1868 KUHPerdata

Status akta lama (skripsi, tesis, disertasi)

Dalam rangka menelusuri eksistensi akta lama terhadap akta baru dalam tulisan ini.
Maka lebih jauh Penulis akan membahas kedua mekanisme keluarnya akta baik akta lama
dan akta baru, hal ini dimaksudkan untuk dicarinya kebenaran hukum yaitu apakah akta lama
yang memiliki hukum atau digantikan kedudukannya dengan akta baru sebagai berikut.
a. Proses keluarnya akta lama
1. Para pihak datang ke kantor Notaris untuk membuat akta, para pihak bawa saksi
kurang lebih 2 saksi
2. Perjanjian antara para pihak untuk membuat akta yang di inginkan
3. notaris menyaksikan
4. Para pihak pulang
5. Notaris menyimpan akta tetapi lupa untuk mencatatkan nomor akta ke reportorium
b. Mekanisme Keluranya Akta Baru
Berdasarkan hasil penelitian melalaui metode wawancara di beberapa kota setelah
terjadinya kelalaian sebagaimana di sebutkan di aats (proses keluarnya akta lama),
notaris selanjutnya Notaris memanggil kembali para pihak kembali kekantor, dengan
cara melihat nomor kontak di buku kontak kantor. untuk mencatat nomor akta dan
membuat akta baru sesudah membuat berita acara
Melihat kedua mekanisme diatas yaitu baik proses keluarnya akta lama maupun akta
baru maka pertanyaan yang munul adalah bagaimanakah eksistensi dan kedudukan dari pada
akta lama. Apakah akta baru menggantikan akta lama?
Akta baru berdasarkan Undang-Undang hadir sebagai pengganti akta lama. Hal ini adalah
mutatis mutandis dengan eksistensi kewajiban notaris yaitu melakukan pencatatan nomor
akta di reportorium. Artinya ketika akta lama tidak dicatatkan dibuku (Reportorium) tersebut
(nomornya) dan oleh Notaris para pihak dipanggil kembali dan mereka sepakat untuk
melakukan pembuatan akta kembali demi pencatatan akta baru. Maka secara hukum berarti
bahwa akta lama secara consensus dan legal digantikan kedudukannya dengan akata yang
baru. Akta lama tidak lagih berkekuatan hukum melainkan digantikan oleh akta baru.
Selanjutnya jika terjadi kelalaian yang bertentangan dengan Undang-Undang Jabatan
Notaris ataupun Kode Etik Notris maka Notaris hendaklah bertanggung jawab atas segala hal
yang disebabkan olehnya, maka sanksi Notaris jika tidak di catat penomeran dalam buku
(Reportorium) Notaris menurut Notaris tersebut bahwa sanksi terhadap Notaris tidak ada,
namun aka ada pemeriksaan dari MPD sehingga akan ada sanksi administratif Notaris dari
MPD sehingga akan adanya peneguran langsung terhadap Notaris mengenai hal tersebut.
Di smping itu ada juga cara tanggung jawab Notaris memanggil kembali para pihak
dalam pembuatan akta untuk membuat akta baru dengan kembali mencatatnya dalam buku
(Repertorium). Hal ini dikarenakan (Repertorium) merupakan buku pertanggung jawaban
dari Notaris dan merupakan kumpulan dokumen yang merupakan arsip Negara yang harus
disimpan dan dipelihara oleh Notaris

Kewajiban Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Lalainya notaris mencatatkan nomor akta bertentangan dengan kewajiban Notaris
menurut UUJN Nomor 2 Tahun 2014 “Pasal 16 ayat (1) yaitu: huruf a Dalam menjalankan
jabatannya28, Notaris wajib:
“a) bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak,
dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum.
“b) membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
“e) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
“k) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;
Kewajiban yang dilanggar poin a UUJN yang menurut penulis bahwa tidak dibenarkan karna
bertantangan dengan bertindak jujurnya seoran pejabat notaris dalam menjalankan kewajibanya untuk menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum artinya
dalam mencatat nomor akta tersebut.
Selanjutnya kelalaian sebagaimana dimaksud di poin a juga ikut melanggar di poin b.
hal ini terlihat pada kata ”membuat akta dalam bentuk minuta .., sebagai bagian dari
protocol notaris.” notaris diberikan kewajiban untuk membuat akta sebagaimana dan
menyimpannya sebagimana mesti di atur oleh undang-undang. Atas hal ini lebih jauh
berdasarkan protocol notaris itu akta harus di lakukan pencatatn nomor akta dalam
reportorium. Maka kelalaian pencatatan tersebut mengandung arti bahwa notaris gagal
menjalankan kewajibanya berdasarkan Undang- Undang Jabatan Notaris.
Kegagalan yang dimaksud diatas lebih ditegaskan dengan kewajiban huruf k yaitu
notaris harus mencatatkan nomor dalam reportorium. Rumusan pasal ini menitik beratkan
pada tanggal pengiriman daftar wasiat yang nota benenya tidak diulas dalam analisis ini
namun melalui frase ini ingin menegaskan kewajiban utama notaris mencatat dalam buku
reportorium. Hal ini pararel dengan pasal
58 ayat 1 dan 2 Undang- Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Jo UndangUndang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Pasal 58 ayat (1) dan (2) sebagai berikut;
“Notaris wajib membuat daftar akta, daftar surat di bawa tangan
yang di sahkan, daftar surat lain yang di wajibkan oleh Undang- Undang
ini, dan selanjutnya ayat
Dalam daftar akta sebagaimana di maksud pada ayat (1),
Notaris setiap hari mencatat semua akta yang di buat oleh
ataudi hadapanya, baik dalam bentuk minuta akta, maupun
originali, tanpa sela-sela kosong, masing- masing dalam ruang yang
di tutup dengan garis- garis tinta, dengan mencantumkan Nomor unit,
Nomor akta, Nomor bulanan, tanggal, sifat akta, dan nama semua
orang yang bertindak baik untuk diri sendiri maupun sebagai kuasa orang
lain.

Hak dan kewajiban Notaris terhadap akta (skripsi, tesis, disertasi)

a. Hak Notaris
Selain berbagai macam hak yang disebutkan sebelumnya27, terkait dengan kelalaian
pencatatan akta tersebut bersebrangan dengan kewenangan notaris pada pasal 15 ayat 1
UUJN Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa:
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang”.
Berdasarkan rumusan diatas, kelalaian pencatatan akta oleh notaris terlihat sebagai bentuk
kesewenang-wenangan notaris atas tindakannya dalam membuat akta otentik. Dalam  rumusan tersebut notaris diberikan wewenang untuk “menjamin kepastian tanggal tanggal
pembuatan akta otentik.” Kata-kata ini mengandung arti lebih dalam yaitu notaris harus
memberikan kepastian status akta yaitu sebagai akta otentik. Hal ini menjadi relefan karna
berdasarkan hasil penelitian dan (wawancara) yang penulis sebelumnya didapati bahwa para
notaris lalai dalam melakukan pencatatan akta, sehingga mengakibatkannya kepatian status
akta yaitu apakah otentik atau bawa tangan.
Akta yang tidak dicatatkan nomor dalam buku reportoriun berdasarkan pasal 15 di
atas bukan merupakan akta otentikkelalaian notaris dalam pencatatan tersebut mengakibatkan
gugurnya otentifikasi akta yaitu yang seharusnya kewenangan notaris mengharuskan untuk
menjadi akta otentik berubah menjadi akta dibawah tangan. Situasi demikian tentu tidak
sesuai dengan kewenangan notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat Negara
dalam rana authentic

Kekuatan Pembuktian Akta Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Akta otentik merupakan bukti sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta
sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya.Apa yang tersebut di dalamnya perihal
pokok masalah dan isi dari akta otentik itu dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya,
kecuali jika dapat dibuktikan bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai hal
benar tetapi tidaklah demikian halnya.
Daya bukti sempurna dari akta otentik terhadap kedua belah pihak, dimaksudkan jika
timbul suatu sengketa dimuka hakim mengenai suatu hal dan salah satu pihak mengajukan
akta otentik, maka apa yang disebutkan di dalam akta itu sudah dianggap terbukti dengan
sempurna. Jika pihak lawan menyangkal kebenaran isi akta otentik itu, maka ia wajib
membuktikan bahwa isi akta ituadalah tidak benar.
Dalam suatu proses perkara perdata apabila pihak penggugat mengajukan akta otentik
sebagai alat bukti, sedangkan pihak tergugat menyatakan bahwa isi dari akta itu tidak benar,
maka beban pembuktian beralih kepada pihak tergugat yaitu pihak tergugat wajib
membuktikan ketidakbenaran dari akta tersebut. Kekuatan pembuktian sempurna
mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan dianggap benar sampai ada bukti
perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut.
Apabila suatua akta tidak memiliki unsur sebagaimana dimaksud dengan ketentuan akta
otentik maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Pengertian Akta Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau ”akta” dan
dalam bahasa Inggris disebut “act”atau“deed”. Menurut pendapatumum, mempunyai dua
arti yaitu12 :
1.Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling). 2.Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum
tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu.
Pada pasal 165 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 85 dijelaskan pengertian tentang akta yaitu
sebagai berikut:
Akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegwai yang
berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah
pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai
hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai
pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu.
Menurut ketentuan Umum Bab I Pasal 1 angka 7 dalam Undang-Undang Republik
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), Akta Notaris adalah Akta Otentik
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo juga memberikan pengertian
tentang akta yaitu: “surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak
semuladengan sengaja untuk pembuktian.
13 Dengan demikian arti kata otentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapa pun terikat dengan
akta tersebut, sepanjang tidak bisa dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan
pengadilan yag mempunyai kekuatan hukum tetap.14
Akta memiliki 2 (dua) fungsi penting, yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan
fungsi alat bukti (probationis causa).Fungsi formil (formalitas causa) berarti bahwa untuk
lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum haruslah dibuat
suatu akta.Fungsi alat bukti (probationis causa) akta itu dibuat semula dengan sengaja untuk  pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak
membuat sahnya perjanjian, tetapi agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.15

Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat banding (skripsi, tesis, disertasi)

Menurut Peraturan Kode Etik Notaris Pasal 10 tahun 2015 sebagai berikut:
1. Permohonan banding dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga
pulu) hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat keputusan penjatuhan sanksi dari
dewan kehormatan daerah / dewan kehormatan wilayah
2. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat, atau dikirim langsung oleh anggota
yang bersangkutan kepada dewan kehormatan pusat dan tembusannya kepada
pengurus pusat, pengurus wilayah dewan kehormatan wilyah pengurus daerah
dan dewan kehormatan daerah
3. Dewan kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambat dalam waktu 14 ( empat
belas) hari kerja setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim
semua salinan fotocopy berkas pemeriksaan kepada dewan kehormatan pusat
4. Setelah menerima permohonan banding, dewan kehormatan pusat wajib memanggil,
anggota yang mengajukan banding, selambat- lambatnya dalam waktu 14 ( empat
belas hari kerja setelah menrima permohonan tersebut di dengar keterangan dan
diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang dewan kehormatan pusat
5. Dewan kehormatan pusat wajib memutuskan permohonan banding selambat-lambatnya
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah anggota yang bersangkutan di periksa
pada sidang terakhir  6. Apabila anggota yang di panggil tidak hadir, maka dewan kehormatan pusat tetap akan
memutuskan dalam waktu yang di tetukan pada ayat (5) di atas
7. Dewan kehormatan pusat wajib mengirimkan surat keputusan tersebut kepada anggota
yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada pengurus pusat,
pengurus wilayah, dewan kehormatan wilayah pengurus daerah, selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal surat keputusan
8. Dalam hal permohonan banding diajukan kepada kongres, maka permohonan banding
dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum diselengarakan
9. Permohonan banding dengan surat tercatat dikirim langsung oleh anggota yang
bersangkutan kepada presidum kongres melalui sekretariat pengurus pusat dan
tembusannya kepada pengurus pusat, dewan kehormatan pusat, pengurus wilayah,
dewan kehormatan wilayah, pengurus daerah dan dewan kehormatan daerah
10. Dewan kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambatanya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja setelah menerima surat tebusan permohonan banding wajib mengirim
semua salinan copy berkas pemeriksaan kepada presidium kongres melalui sekretariat
pengurus pusat
11. Kongres wajib mengagendakan pemeriksaan terhadap anggota yang mengajukan
banding untuk di dengar keteranganya dan diberi kesempatan untuk membela diri
dalam kongres
12. kongres wajib memutuskan permohonan banding dalam kongres tersebut
13. Apabila anggota yang mengajukan banding tidak hadir dalam kongres, maka kongres
tetap akan memutuskan permohonan banding tersebut
14. Kongres melalui dewan kehormatan pusat wajib mengirimkan surat keputusan tersebut
kepada anggota yang di periksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada pengurus
pusat, pengurus wilayah, dewan kehormatan wilayah, pengurus daera, dan dewan
kehormatan daerah
15. keputusan sanksi sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) mempunyai kekuatan
hukum tetap;
a. Anggota dikenakan sanksi berupa teguran dan peringatan
b. Anggota dikenakan sanksi berupa pemberhentian denga hormat atau pemberhentian
dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan, menerima putusan
tersebut dan tidak mengajukan banding dalam waktu yang telah ditentukan
c. Dewan kehormatan pusat/kongres telah mengeluarkan banding dalam waktu yang
telah ditentukan
16. Merubah pasal 11 sehingga bunyinya sebagai berikut;
1. Ketentuan dan tata cara pemeriksaan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh anggota dan orang lain (yang sedang dalam menjalankan Jabatan Notaris)
akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat
2. Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran kode etik pada pasal 3 dan pasal 4 akan
diatur lebih lanjut dalam peraturan dewan kehormatan pusat.

Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Pertama (skripsi, tesis, disertasi)

Menurut Peraturan Kode Etik Notaris Pasal 9 tahun 2015:
1. Dewan kehormatan daerah daerah/ dewan kehormatan wilayah/ dewan kehormatan
pusat setelah menemukan fakta atas dugaan pelanggaran kode etik sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 di atas, selambat–lambatnya dalam waktu 14 hari (empat belas ) hari kerja dewan kehormatan yang memeriksa wajib memanggil secara tertulis
anggota yang bersangkutan untuk memastikan terjadinya pelanggaran kode etik oleh
anggota perkumpulan dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan. Pemangilan tersebut dikirimkan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum tanggal pemeriksaan.
2. Dalam hal anggota yang di panggil tidak hadir pada tanggal yang telah ditentukan, maka
dewan kehormatan yang memeriksa akan memangil kembali untuk yang kedua kali
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan
pertama
3. Dalam hal anggota yang di panggil tidak hadir pada pemanggilan kedua, maka dewan
kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang ketiga kali
selambat- lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemangilan kedua
4. Apabila setelah pemangilan ketiga ternyata masi juga tidak hadir, maka dewan
kehormatan yang memeriksa tetap bersidang dan menetukan keputusan dan/ penjatuhan
sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 6 kode etik
5. Berdasarkan hasil pemeriksaan hasil tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang
ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan dewan kehormatan yang
memeriksa dalam hal anggota yang bersangkutan tidak bersedia menandatangani berita
acara pemeriksaan cukup ditandatangani oleh dewan kehormatan yang memeriksa
6. Dewan kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja setelah tanggal sidang terakhir, diwajibkan untuk mengambil keputusan
atas hasil pemeriksaan tersebut sekaligus menetukan sanksi terhadap pelanggaran
apabila terbukti ada pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 6 kode etik
yang dituangkan dalam surat keputusan
7. Apabila anggota yang bersangkutan tidak terbukti melaukan pelanggaran, maka anggota
tersebut dipulihkan namanya dengan surat keputusan dewan kehormatan yang
memeriksa
8. Dewan kehormatan yang memeriksa wajib mengirimkan surat keputusan tersebut kepada
anggota yang di periksa dengan surat tercatatdan tembusannya kepada pengurus
pusat, dewan kehormatan pusat, pengurus wilayah, dewan kehormatan wilayah,
pengurus daerah dan dewankehormatan daerah
9. Dalam hal keputusan sanksi diputuskan oleh dan dalamkongres, wajib diberitahukan
oleh kongres kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusan
nya kepada pengurus pusat, dewan kehormatan pusat, pengurus wilayah, daerah
kehormatan wilayah, pengurus daerah dan dewan kehormatan daerah
10. pemeriksaan dan pengambilan keputusan sidang dewan kehormatan yang memeriksa
harus;
a. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat anggota yang bersangkutan
b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan ;
c. Merahasiakan segala hal yang ditemukan
11. Sidang pemeriksaan dilakukan secara tertutup, sedangkan pembacaan keputusan
dilakukan secara terbuka
12. Sidang dewan kehormatan yang memerika sah jika dihadiri oleh lebih dari ½ ( satu
perdua) jumlah anggota. Apabila pada pembukaan sidang jumlah korum tida tercapai,
maka sidang diundur selama 30 (tiga puluh) menit. Apabila setelah pengunduran
waktu tersebut korum belum juga tercapai, maka sidang dianggap sah dan dapat
menga mengambil putusan yang sah
13. setiap angota dewan kehormatan yang memeriksa memepunyai hak untuk mengeluarkan
satu suara
14. apabila pada tingkat kepengurusan daerah belum dibentuk dewan kehormatan daerah,
maka tugas dan kewenangan dewan kehormatan daerah di limpahkan kepada dewan
kehormatan wilayah

Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi (skripsi, tesis, disertasi)

Maksudnya dari pemeriksaan dan penjatuhan sanksi adalah pengawas daerah atau
biasa di singkat MPD akan memeriksa Notaris mengenai problematika pencatatan Nomor
akta ke Reportorium Notaris, yang telah ada fakta dugaan pelanggaran.Menurut Pasal 8
Kode Etik Notaris Tahun 2015 sebagai berikut:
1. Dewan kehormatan daerah /dewan kehormatan wilayah/ dewan kehormatan pusat
dapat mencari fakta atas dugaan pelanggaran Kode Etik oleh anggota perkumpulan
atas prakarsa sendiri atau setelah menerima pengaduan secara tertulis dari anggota
perkumpulan atau orang lain disertai bukti-bukti yang meyakinkan bahwa
telah terjadi dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota perkumpulan,
2. Pelanggaran ataupun penerimaan pengaduan yang terlebi dahulu diperiksa oleh satu
dewan kehormatan, tidak boleh lagi di periksa oleh dewan kehormatan lainya.

Tata Cara Penegakkan Kode Etik (skripsi, tesis, disertasi)

Menurut Peraturan Kode Etik Notaris Tahun 2015 Pasal (7) sebagai berikut:
a. Pada tingkat kabupaten / kotaoleh pengurus Daerah dan Dewan kehormatan Daerah;
b. Pada tingkat provinsi oleh pengurus wilayah dan dewan kehormatan wilayah;
c. Pada tingkat Nasional oleh pengurus pusat dan dewan kehormatan pusat.9

Sanksi Terhadap Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Sanksi adalah suatu hukum yang di jatuhkan oleh Dewan Kehormatan yang
dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin Anggota
Perkumpulan maupun orang lain yang memangku menjalankan Jabatan Notaris.
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik
dapat berupa;
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Pemberhentian sementara dari keanggotaan perkumpulan;
d. Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi sebagimana terurai diatas terhadap anggota yang melanggar
Kode Etik di sesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang di
lakukan anggota tersebut
3. Dewan Kehormatan pusat berwewenang untuk memutuskan dan menjatuhkan
sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota biasa (dari Notaris
Aktif perkumpulan) terhadap pelanggaran norma susila atau perilaku yang
merendahkan harkat dan martabat Notaris, atau perbuatan yang dapat mengurangi
perbuatan masyarakat terhadap Notaris
4. Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh orang lain (yang sedang dalam
menjalankan Jabatan Notaris) dapat di jatuhkan sanksi teguran dan/ peringatan
5. Keputusan Dewan Kehormatan berupa teguran berupa peringatan tidak dapat
diajukan banding.
6. Keputusan dewan kehormatan daerah /dewan kehormatan wilayah berupa
pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat dari
keanggotaan perkumpulan dapat di ajukan banding ke dewan kehormatan
pusat.
7. Keputusan dewan kehormatan tingkat pertama berupa pemberhentian sementara
atau pemberhentiang dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak
hormat dari perkumpulan keanggotaan dapat di ajukan banding ke kongres.
8. Dewan kehormatan pusat berwewenang pula untuk memberikan rekomendasi
disertai ulasan, pemecatan debagai Notaris kepada Mentri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia.
9. Selanjutnya mengenai tanggung jawab Notaris apabila melanggar ketentuan Pasal 58
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dilihat dalam
ketentuan Pasal 65A UUJN Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris berupa
sanksi administratif yang meliputi peringatan tertulis; pemberhentian sementara;
pemberhentian dengan hormat; atau pemberhentian dengan tidak hormat. Namun juga
sesuai dengan apa yang ada dalam Pasal 16 ayat (12) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris para pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
pengantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris

Larangan Etika Bagi Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Larangan adalah sikap, perilakudan perbuatan atau tindakan apapun yang
tidak boleh dilakukan oleh anggota perkumpulan maupun orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris, yang dapat menurunkan citra, serta wibawa lembaga kenotariatan ataupun keluhuran harkat dan martabat
jabatan Notaris.
Dalam Undang- Undang Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014 hanya ada satu poin
terkait larangan Etika profesi Notaris yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf (i) yang
berbunyi: Notaris dilarang : “Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat
jabatan Notaris.”

  Kewajiban Etika Bagi Notaris; (skripsi, tesis, disertasi)

Kewajiban adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus atau wajib
dilakukan oleh Notaris dalam menjaga, memelihara citra serta wibawa, lembaga
kenotariatan dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris;
Menurut Undang- Undang Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014hanya ada satu poin
terkait kewajiban etika profesi Notaris yaitu dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a yang
berbunyi:a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga  kepentinganpihak yang terkait dalam perbuatan hukum;Sedangkan menurut Kode
Etik Notaris tahun 2015, kewajiban Etika Profesi Notaris cukup banyak diatur yaitu
dalam Pasal 3 mengenai Kewajiban Notaris yang berisi sebagai berikut:
Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris)
wajib:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris;
3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan;
4. Berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa tanggung
jawab, berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dan isi sumpah Jabatan
Notaris;
5. Menghormati, mematuhi, melaksanakan Peraturan-peraturan dan KeputusanKeputusan Perkumpulan;
6. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status
ekonomi dan/atau status sosialnya;
7. Membuat akta dalam jumlah batas kewajaran untuk menjalankan Peraturan
Perundang-Undangan, khususnya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan
Kode Etik

Kode Etik Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan di sebut Kode Etik adalah kaidah moral
yang di tentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya disebut
perkumpulan dan / di tentukan oleh atau di atur dalam Peraturan Perundang-Undanagan
yang mengatur tentang hal itu dalam menjalankan tugas Jabatan sebagai Notaris, termasuk
di dalam para Pejabat sementara Notaris, Notaris penganti saat menjalankanya.7

Kewenangan Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Notaris sebagai Pejabat Umum memiliki kewenangan sebagaimana yang diaturdalam
Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 yaitu sebagai berikut;
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan,perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangandan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatanAkta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan Akta,semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan ataudikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan olehUndang-Undang.
2.kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
b. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus
c. Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang
d. memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan
e. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
f. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta
g. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan
h. Membuat Akta risalah lelang.
2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam Peraturan PerundangUndangan Nomor 2 tahun 2014 ayat (16);
Menurut Pasal 16 ayat (1) huruf (a) – (n) UUJN Nomor 2 tahun 2014:
1). Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihakyang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari ProtokolNotaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini,
kecuali adaalasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yangdiperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali Undang-Undangmenentukan lain;
g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat
tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat
dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul
setiap buku;
h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya
surat berharga;
i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan Aktasetiap bulan;
j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil
yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang
menyelenggarakanurusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima)
hari pada minggu pertamasetiap bulan berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir
bulan;
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambing Negara Republik Indonesia
dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat
kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orangsaksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta
wasiat di bawah tangan, danditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris; dan
n. Menerima magang calon Notaris

NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM (skripsi, tesis, disertasi)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris di dalam Pasal 1 angka 1 memberikan definisi Notaris sebagai berikut : “Notaris adalah Pejabat Umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini”. Istilah dari Pejabat Umum sendiri ialah terjemahan dari
openbare ambtenaren yangterdapat pada Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, dan Pasal 1868
Burgerlijk Wetboek.Menurut kamushukum, salah satu arti dari ambtenaren adalah
Pejabat.Dengan demikianopenbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang
bertaliandengan kepentingan masyarakat.Openbare ambtenaren diartikan sebagai
Pejabatyang diserahkan tugas untuk membuat akta otentik yang melayani
kepentinganmasyarakat dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.1
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa Notaris sebagai Pejabat
Umum ialah Pejabat yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik dengan
melayani kepentingan masyarakat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Notaris sebagai
Pejabat Umum membuat akta otentik bersifat umum, sedangkan wewenang Pejabat lainnya
merupakan pengecualian, artinya wewenang itu tidak lebih dari pada pembuatan akta otentik
yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh Undang-Undang. Selain Notaris, pejabat
umum yang berwenang membuat akta otentik adalah pegawai pencatatan jiwa burgelijke
stand, jurusita deuwaarder, Hakim, Panitera Pengadilan dan lain sebagainya Produk hukum dari Notaris ialah akta otentik berupa akta Notaris, yang hanya dibuat oleh
Notaris dan tidak semua pejabat umum memiliki kewenangan demikian, kecuali memang
secara tegas dikecualikan kepada dan menjadi wewenang pejabat lain atau oleh Peraturan
Umum, ditegaskan juga diberikan wewenang untuk itu (membuat akta otentik) kepada
pejabat lain. Dalam hal ada peraturan umum atau Undang-Undang yang juga memberikan
wewenang kepada pejabat atau orang lain untuk membuat akta otentik, bukanlah berarti
bahwa mereka itu kemudian menjadi Pejabat Umum.
Karakteristik Notaris sebagai suatu jabatan Publik dapat dijelaskan sebagaiberikut;
a. Sebagai Jabatan
UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan Jabatan Notaris yang artinyasatusatunya aturan hukum dalam bentuk Undang-Undang yang mengaturJabatan Notaris di
Indonesia.Segala hal yang berkaitan dengan Notaris diIndonesia harus mengacu kepada
UUJN.Jabatan Notaris merupakan suatulembaga yang diciptakan oleh
negara.Menempatkan Notaris sebagai jabatanmerupakan suatu bidang pekerjaan atau
tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu
(kewenangan tertentu) sertabersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan
pekerjaan tetap.2
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukum yang
mengaturnya sebagai suatu batasan supaya jabatan tersebut dapat berjalan dengan baik
dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya.Dengan demikian jika seorang
pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar dari wewenang yang telah ditentukan maka pejabat tersebut dapat dikategorikan telah melakukan suatu perbuatan melanggar
wewenang.3
c. Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris,
“Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”. Dalam hal ini Menteri yang
membidangi hukum (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris).
d. Tidak menerima gaji/pensiun dari yang mengangkatnya. Pemerintah yang mengangkat
Notaris dalam hal ini adalah Menteri Hukum.Notaris hanya menerima honorarium atas
jasa hukum yang diberikan kepada masyarakat berdasarkan kewenangannya.
Hononarium seorang Notaris diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris.4
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.
Notaris mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat atas akta yang
dibuatnya.Masyarakat berhak menggugat Notaris apabila ternyata akta yang dibuatnya
bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

Hapusnya Hak Tanggungan (skripsi, tesis, disertasi)

Hak Tanggungan yang sudah selesai atau akan mengalami proses akhir
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan
yaitu :
1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
2. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya
dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
3. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi
karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam
Pasal 19.
4. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang
dijamin.
Dalam Hak Tanggungan mengenal sifat accesoir yang merupakan bahwa
adnya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin
pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena adanya pelunasan atau sebabsebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan akan ikut
hapus juga. Dalam pemberian Hak Tanggungan yang apabila dipasang objek
Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dana tidak terdapat
kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai
pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban melebihi harga pembeliannya
dan objek tersebut dapat dibersihkan dengan mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang sesuai daerah hukumnya. Sertifikat Hak
Tanggungan yang didaftar mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sebagai pengganti grosse atau hypotek. Pada Hak Tanggungan
tentunya mengenal istilah Roya, yang berarti Pencatatan hapusnya Hak
Tanggungan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Proses mencoret
catatan adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan inilah dalam jangka waktu
tujuh hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan roya dari pihak yang
berkepentingan. Dalam pelaksanaan Hak Tanggungan ini peran Pejabat
Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta juga memiliki beberapa kewenangan
secara khusu sesuai dengan perbuatan hukum yang ditunjuk. Akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta tanah adalah :
a. Pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat.
Pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat ini misalnya
program pensertifikatan yang memerlukan adanya akta PPAT terlebih
dahulu karena tanah yang bersangkutan belum atas tanah pihak yang
menguasainya.Pekerjaan yang dilakukan PPAT khusus ini adalah
pekerjaan pelayanan dan karena itu pembuatan akta dimaksud tidak
dipungut biaya.
b. Pembuatan akta tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas
resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri. Dalam
praktik hubungan internasional sering kali suatu negara memberikan
kemudahan kepada negara lain di berbagai bidang termasuk bidang
pertanahan. Atas dasar tersebut dipandang perlu ada ketentuan untuk
memberi kemungkinan Indonesia memberikan kemudahan yang sama
di bidang perubahan data pendaftaran hak atas tanah kepunyaan
negara asing

Tata Cara Pencoretan Hak Tanggungan (skripsi, tesis, disertasi)

Hak Tanggungan yang sudah didaftarkan dan apabila telah selesai dalam
utang-piutang dibank maka akan dilakukan pencoretan Hak Tanggungan di
kantor pertanahan. Suatu Hak Tanggungan dapat dilakukan pencoretan apabila
tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan telah dihapus. Dalam Pasal 22
Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa setelah Hak
Tanggunganhapus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18, Kantor
Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak
atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya hak tanggungan, sertifikat Hak
Tanggungan yang bersangkutan ditarik bersama-sama buku tanah Hak
Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan

 Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan (skripsi, tesis, disertasi)

Dalam Pasal 13 ayat (1) diatur mengenai pemberian Hak Tanggungan,
yaitu wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Menurut St. Remy
Sjahdeini, tata cara pelaksanaan pendaftaran Hak Tanggungan adalah
sebagai berikut : a. Pada saat setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak,
PPAT mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh kantor
pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang
bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan Akta Pemberian Hak Tangggungan.
b. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan
dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya
dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak
Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas
tanah yang bersangkutan.
c. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh
setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku
tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutny

Tata Cara Pemberian dan Pendaftaran Hak Tanggungan (skripsi, tesis, disertasi)

Pada Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan tata
cara pemberian Hak Tanggungan yaitu Pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek Hak Tanggungan
berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah
memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum
dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan
permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan (ayat 1,2,3)12

Asas-Asas Hak Tanggungan (skripsi, tesis, disertasi)

Dalam Undang-Undang Hak Tanggunan itu sendiri terdapat beberapa asasasas yang mengatur Hak Tanggunganantara lain :
1) Hak Tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan.
Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu dengan kreditor-kreditor lainnya ( Pasal 1 UU No. 4
Tahun 1996). Karena bisa dibebankan lebih dari satu orang, penentuan
peringkat Hak Tanggungan hanya dapat ditentukan berdasarkan pada saat
pendaftarannya. Dan apabila pendaftarannya dilakukan pada saat yang
bersamaan, barulah peringkat Hak Tanggungan ditentukan berdasarkan
pada saat pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Hal ini termuat
dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1996.
2) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan
penjelasannya menyatakan bahwa Hak Tanggungan membebani secara
utuh obyek Hak Tanggungan. Ini berarti bahwa, dengan dilunasinya
sebagian hutang tidak berarti bahwa benda dapat dikembalikan sebagian.
3) Hak Tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada.
Asas ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996. Asas ini
sebelumnya juga sudah ada dalam hipotek.Menurut Pasal 1175 KUHPer,
hipotek hanya dapat dibebankan pada benda-benda yang sudah ada.
Hipotek atas benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari adalah
batal, begitupun juga dengan hak tanggungan.
4) Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga bendabenda yang berkaitan dengan tanah.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UU No. 4 Tahun 1996, “Hak Tanggungan
dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman,
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak
atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan”. Sehingga dapat pula
disimpulkan, yang bisa dijadikan jaminan bukan hanya yang berkaitan
dengan tanah saja melainkan juga benda-benda yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah tersebut.
5) Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari.
Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan tanah yang sudah
ada, Hak Tanggungan juga dapat dibebankan pula benda-benda yang
berkaitan dengan tanah sekalipun benda-benda tersebut belum ada dan
baru akan ada dikemudian hari. Contohnya: Tahun 2000 Tn. A berhutang
pada Tn. B, yakni perjanjian pokok hutang piutang sebesar 200jt dan
perjanjian accesoir hak tanggungan. Kemudian Tahun 2001 Tn.A
membangun sebuah bangunan di tanah yang sudah dibebani Hak
Tanggungan. Secara otomatis bangunan baru tersebut ikut terbebani Hak
Tanggungantanpa perlu diperjanjikan dulu.
6) Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accesoir.
Hak Tanggungan lahir dari sebuah perjanjian yang bersifat accesoir, yang
mengikuti perjanjian pokoknya yakni hutang piutang.
7) Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang akan ada.
Hak Tanggungan memperbolehkan menjaminkan hutang yang akan ada,
sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996. Utang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang sudah ada maupun
yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan, misalnya utang yang timbul
dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor
dalam rangka pelaksanaan bank garansi. Jumlahnya pun dapat ditentukan
secara tetap di dalam perjanjian yang bersangkutan dan dapat pula
ditentukan kemudian berdasarkan cara perhitungan yang ditentukan
dalam perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang
bersangkutan, misalnya utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkosongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Perjanjian
yang dapat menimbulkan hubungan utang-piutang dapat berupa
perjanjian pinjam meminjam maupun perjanjian lain, misalnya perjanjian
pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada
dibawah pengampuan, yang diikuti dengan pemberian Hak Tanggungan
oleh pihak pengelola (Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996).
8) Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang.
Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang, hal ini
didasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (2), “Hak
Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu
hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari
beberapa hubungan hukum”.
9) Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek Hak
Tanggungan itu berada.
Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan
itu beralih kepada pihak lain. Asas ini termuat dalam Pasal 7 UU No. 4
Tahun 1996 yang berisi, “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya
dalam tangan siapapun objek tersebut berada”. Asas ini disebut juga
sebagai DROIT DE SUITE.
10) Diatas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan.
Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang
kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan untuk
didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila dimungkinkan sita, berarti
pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang
diutamakan dari kreditor pemegang Hak Tanggungan.
11) Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu.
Asas ini merupakan asas spesialiteit dari Hak Tanggungan, baik subyek,
obyek maupun utang yang dijamin. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf
e,”uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan”. Maksudnya
meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan
atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian
mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya. Hal ini juga
menghindari salah eksekusi karena tanah yang dijadikan obyek Hak
Tanggungan sudah jelas disebutkan.
12) Hak Tanggungan wajib didaftarkan.
Dari ketentuan yang ada dalam Pasal 13 UU No. 4 Tahun 1996 secara
tegas telah dijelaskan bahwa saat pendaftaran pembebanan Hak
Tanggungan adalah saat lahirnya Hak Tanggungan tersebut. Sebelum
pendaftaran dilakukan, maka Hak Tanggung andianggap tidak pernah
ada. Selain itu hanya dengan pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi
umum memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya
pembebanan Hak Tanggungan atas suatu tanah.
13) Hak Tanggungandapat diberikan dengan disertai dengan disertai janjijanji tertentu.
Asas Hak Tanggungan ini termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 4
Tahun 1996. Janji-janji yang disebutkan dalam pasal ini bersifat fakultatif
(boleh dicantumkan atau tidak, baik seuruhnya maupunsebagian) dan
tidak limitatif (dapat diperjanjikan lain selain yang disebutkan dalam
Pasal 11 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996).
14) Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh
pemegang Hak Tanggungan apabila cidera janji.
Pengaturan mengenai asas ini termuat dalam Pasal 12 UU No. 4 Tahun
1996, “janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor
cidera janji, batal demi hukum”. Ketentuan ini diadakan dalam rangka
melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya,
terutama jika nilai obyek Hak Tanggungan melebihi besar-nya utang yang
dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta
menjadi pemilik obyek Hak Tanggungan karena debitor cidera janji.
Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan
untuk menjadi pembeli obyek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur
yang diatur dalam Pasal 20 UU No. 4 Tahun 1996.
15) Pelaksaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti.
Prioritas pertama pemegang Hak Tanggungan adalah untuk menjual
obyek Hak Tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 4
Tahun 1996 apabila terjadi cidera janji. Titel eksekutorial yang terdapat
dalam Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996, obyek Hak Tanggungan dijual melalui
pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungan dengan hak mendahukui dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Dengan disebutkannya 2 dasar eksekusi diatas dalam Pasal 20 UU No. 4
Tahun 1996, terpenuhi maksud Pembentukan Undang-Undang akan cara
pelaksanaan eksekusi yang mudah dan pasti

Pengertian Hak Tanggungan (skripsi, tesis, disertasi)

Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.9Berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria menjelaskan bahwa disediakan
nya lembaga jaminan yang kuat yang dapat dibebankan hak atas tanah, yaitu
Hak Tanggungansebagai pengganti lembaga Hypoteekdan creditverband.
Dalam Hak Tanggungan itu sendiri memiliki ciri-ciri yaitu :
1. Membuat kedudukan sebagai kreditur menjadi diutamakan
dibandingkan krediturnya (Preferensi Droit De); 2. Mengikuti objek yang dibayar ditangan sambil menunggu objek yang
ada (Droit De Suit);
3. Dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum pada
pihak-pihak yang berkepentingan dengan kompas sesuai asas
Spesialitas dan asas publisitas;
4. Menyelesaikan eksekusinya eksekusi.10
Hak Tanggungan ini sendiri memiliki ciri sendiri dari pada hak
lainnya, yang mana Hak Tanggungan memiliki sifat, yaitu : tidak dapat dibagibagi (ondeelbaar) dan Hak Tanggungan hanya merupakan partisipan (Aksesoir)
dari perjanjian pokok. Pada Undang-Undang Pokok Agraria menjelaskan
tentang Hak Tanggungan tersebut sebagaimana Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang
Hak Tanggungan yang dapat menjadi objek hak antara lain
1. Hak Milik.
2. Hak Guna Usaha.
3. Hak Guna Bangunan.
4. Hak Tanggunganatas Hak Pakai Atas Tanah Negara yang sesuai
ketentuan yang diperlukan wajib didaftar dan sifatnya dapat dipindah
tangankan.
5. Hak Tanggunganatas Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
Atasan Satuan Rumah Susun.

 Kewenangan Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Profesi Notaris memiliki tugas dan kewenangan dalam membuat akta
autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.8 Pada Pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa Notaris
berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu terdapat kewenangan Notaris
selain membuat akta autentik yaitu menurut Pasal 15 ayat (2) UUJN, Notaris
juga memiliki wewenang untuk:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawag tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Dalam melaksanakan jabatannya notaris juga memiliki tugas secara
moral dan etika untuk melaksanakan jabatan nya sesuai dengan kode etik
dan sesuai Undang-Undang Jabatan Notaris. Maka dari itu untuk
melaksanakan kewenangan notaris memiliki kewajiban dalam menjalankan
tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan
Notaris yaitu :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari protocol notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta
akta;
d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan
minuta akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara republik
indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi, dan notaris; dan
n. Menerima magang calon notaris.
Untuk itu dalam melaksanakan jabatan notaris harus mematuhi aturan
kode etik dan sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris. Profesi notaris
haruslah dibekali dengan moral dan kejujuran dalam melaksanakan jabatan
profesi notaris. Dalam menjalankan profesi notaris notaris wajib mempunyai
hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. Pada penjelasan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris bahwa Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam
memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan
dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Akta autentik yang dibuat oleh
Notaris bertujuan untuk melindungi para pihak dari sengketa hukum
dikemudian hari dan demi tercapainya kepastian hukum terhadap para pihak.
Sifat autentik ini berupa perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum
atas apa yang dicantumkan dalam akta notaris. Akta yang dibuat oleh notaris
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan Akta in originali yang
meliputi :
18
a. Akta Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
d. Akta kuasa;
e. Akta keterangan kepemilikan;
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Organisasi Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa
organisasi notaris adalah organisasi profesi jabatan Notaris yang berbentuk
perkumpulan berbadan hukum. Dalam organisasi notaris memiliki struktur
yang bertujuan untuk mengawasi tingkah laku notaris dalam melakukan
jabatan sebagai notaris, serta melaksanakan standar operasional sesuai
dengan kode etik notaris baik dalam kode etik notaris maupun yang ada dalam
UUJN. Pada organisasi notaris terdapat beberapa kelengkapan yang terdiri
dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN), Dewan Kehormatan Notaris (DKN)
dan Majelis Pengawas Notaris (MPN). Dewan Kehormatan Notaris
mempunyai kewenangan sebagaimana untuk melukan penegakan hukum
secara internal ditubuh perkumpulan notaris yang dalam hal ini pelaksanaan
kode etik notaris. Majelis Pengawas Notaris memiliki kewenangan dalam
memberikan keputusan untuk memutus sidang terhadap suatu perkara terkait
profesi notaris yang melanggar kode etik dalam menjalankan tugas jabatan
notaris dengan sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas Notaris.
Sedangkan Majelis Kehormatan Notaris berwenanga dalam melaksanakan
pembinaan Notaris dan kewajiban untuk memberikan persetujuan atau
melakukan penolakan dalam proses peradilan yang dijalani oleh notaris
tersebut

Pengertian Tentang Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Notaris merupakan Profesi yang sangat penting dalam dunia
perbankan dimana dalam hal ini melakukan legalisasi setiap perjanjian yang
akan dilakukan oleh para pihak. Pada Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Pasal 1 Angka 1 menjelaskan bahwa
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Para pihak yang ada
dalam dunia perbankan dengan istilah Debitur dan Kreditur. Debitur adalah
pihak tang berhutang ke pihak lain, yang biasanya dengan menerima sesuatu
dari kreditur yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang
akan datang, pemberian pinjaman ini memerlukan jaminan atau agunan dari
pihak debitur.6
Sedangkan kreditur adalah pihak ( perorangan, organisasi,
perusahaan atau pemerintah) yang memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak
kedua) atas properti atau layanan jasa yang diberikannya (biasanya dalam
bentuk kontrak atau perjanjiandi mana diperjanjikan bahwa pihak kedua
tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak
kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang.7
Penjelasan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) yaitu Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang kewenangan Notaris
sebagai pejabat umum. Notaris merupakan pejabat yang diangkat oleh negara
untuk melaksanakan perbuatan hukum privat dan membuat akta otentik yang
digunakan untuk pembuktian secara sempurna dihadapan hukum
(pengadilan). Dalam profesi notaris terdapat organisasi yang memiliki peranan
penting untuk menghimpun profesi notaris dan sebagai tempat bantuan hukum
apabila notaris tersebut memiliki masalah hukum dikemudian hari.

Pengertian Penahanan (skripsi, tesis, disertasi)

Pasal 1 butir 21 KUHAP memberikan pengertian tentang Penahanan20 Jadi
apabila dilihat dari pengertian penahanan diatas dapat disimpulkan bahwa penahanan terhadap seseorang bisa dilakukan apabila sudah ditetapkan sebagai
tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau
hakim.

Kode Etik Profesi (skripsi, tesis, disertasi)

Kode etik merupakan norma atau peraturan yang praktis mengenai suatu
profesi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kode etik memuat etika yang
berkaitan dengan sikap yang didasari pada nilai dan standar perilaku orang yang
dinilai baik atau buruk dalam malaksanakan profesinya. Hal-hal tersebut
kemudian secara mandiri dirumuskan, ditetapkan, dan ditegakkan oleh organisasi
profesi. Kalangan Notaris membutuhkan adanya pedoman objektif yang konkret
pada perilaku profesionalnya. Oleh sebab itu diperlukan kaidah perilaku sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi Notaris yang muncul
dari dalam lingkungan para Notaris itu sendiri.
Pada dasarnya kode etik Notaris bertujuan untuk menjaga martabat profesi
yang bersangkutan dan juga untuk melindungi klien dari penyalahgunaan
keahlian atau otoritas profesional di lain pihak.17 Standar kode etik Notaris telah
dijabarkan dalam Kode Etik Notaris yang wajib dipatuhi oleh segenap Notaris. Kode Etik Notaris memuat kewajiban serta larangan bagi Notaris yang sifatnya
praktis. Terhadap pelanggaran kode etik terdapat sanksi-sanksi organisasi dan
tanggung jawab secara moril terhadap citra Notaris, baik sekarang maupun
keberadaan lembaga notariat pada masa yang akan datang.18
Pasal 1 Kode Etik Notaris menjelaskan bahwa kode etik adalah seluruh
kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI)
berdasarkan keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu. Kode Etik Notaris
ini berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan
dan semua orang yang menjalaankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di
dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris
Pengganti Khusus.
Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya ikatan profesi bagi
setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan Notaris di Indonesia
yang keberadaannya diakui oleh pemerintah. INI merupakan perkumpulan bagi
para otaris yang telah memperoleh legalitas berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2-
1022.HT.01.06 Tahun 1995. Oleh karena itu INI merupakan Organisasi Notaris
sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UUJN beserta
perubahannya.
Kode etik Notaris memuat kewajiban Notaris yang dapat dibagi menjadi 1. Kewajiban umum
a. Notaris wajib senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut ukuran yang
tertinggi dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak;
b. Notaris dalam menjalankan jabatannya jangan dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi;
c. Notaris tidak memuji diri sendiri, dan tidak memberikan imbalan atas
pekerjaan yang diterimanya;
d. Notaris hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan
kebenarannya;
e. Notaris berusaha menjadi penyuluh masyarakat dalam bidang jabatannya;
dan
f. Notaris hendaknya memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan para
pejabat pemerintah terkait ataupun dengan para profesional hukum lainnya.
2. Kewajiban Notaris terhadap klien
a. Notaris wajib bersikap tulus ikhlas terhadap klien dan mempergunakan
segala keilmuan yang dimilikinya. Dalam hal Notaris tidak cukup menguasai
bidang hukum tertentu dalam suatu pembuatan akta, ia wajib berkonsultasi
dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam masalah yang
bersangkutan;
b. Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
masalah klien. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang telah diberikan
kepadanya, bahkan setelah klien meninggal dunia.
3. Kewajiban Notaris terhadap rekan Notaris  a. Notaris wajib memperlakukan rekan Notaris sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan;
b. Notaris tidak boleh merebut klien atau karyawan dari rekan Notaris.
4. Kewajiban Notaris terhadap dirinya sendiri
a. Notaris harus memelihara kesehatannya, baik rohani maupun jasmani;
b. Notaris hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan tetap setia pada cita-cita yang luhur.
Selain kode etik, Notaris sebagai suatu bentuk profesi mengharuskan dirinya
untuk selalu bersikap secara profesional dalam bekerja. Menurut Abdulkadir
Muhammad, Notaris harus memiliki perilaku profesional. Unsur-unsur perilaku
professional yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi;
b. Integritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun
imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilainilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama;
c. Jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada diri
sendiri.

Hak, Kewajiban dan Larangan Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Otoritas Notaris diberikan oleh Undang-undang untuk pelayanan
kepentingan publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi Notaris.13 Oleh karena
itu kewajiban-kewajiban yang diemban Notaris adalah kewajiban jabatan
(ambtsplicht)14 Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya itu, sesuai
dengan isi sumpah pada waktu hendak memangku jabatan Notaris . Batasan
seorang Notaris dikatakan mengabaikan tugas atau kewajiban jabatan, apabila
Notaris tidak melakukan perintah imperatif undang-undang yang dibebankan
kepadanya.15
Di dalam melaksanakan tugasnya, Notaris mempunyai beberapa hak,
kewajiban serta larangan. Hak dari seorang Notaris berupa :
a. Hak untuk cuti (Pasal 25 ayat (1))
b. Hak untuk mendapat honorarium atas jasa hukumnya (Pasal 36 ayat (1))
c. Hak ingkar (Pasal 4, jo Pasal 16 huruf f jo Pasal 54)
Kewajiban Notaris meliputi : 16
a. Mengucapkan sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya (Pasal 4
ayat (1) b. Wajib menjalankan jabatan secara nyata, menyampaikan berita acara
sumpah/janji jabatan, alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta
teraan cap/stempel jabatan Notaris (Pasal 7 ayat (1))
c. Bertindak jujur, bijaksana, mandiri, tidak berpihak; dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (Pasal 16 ayat (1)
huruf a)
d. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf b)
e. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari pengahadap pada Minuta
Akta (Pasal 16 ayat (1) huruf c)
f. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan. Akta,
berdasarkan Minuta Akta (Pasal 16 ayat (1) huruf d)
g. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
(Pasal 16 ayat (1) huruf e)
h. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
supah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16
ayat (1) huruf f)
i. Menjilid akta (Pasal 16 ayat (1) huruf g)
j. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga (Pasal 16 ayat (1) huruf h)
k. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta tiap bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf i)
39
l. Mengirimkan daftar akta ke Daftar Pusat Wasiat Departemen dalam
waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama tiap bulan berikutnya (Pasal 16
ayat (1) huruf j)
m. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf k)
n. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) huruf l)
o. Membacakan akta di hadapan penghadap (Pasal 16 ayat (1) huruf m)
p. Menerima magang calon Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf n)
q. Berkantor di tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (1)
r. Wajib memberikan jasa hukum kepada orang yang tidak mampu (Pasal
37 ayat (1))
Larangan yang harus dipatuhi oleh Notaris menurut Pasal 17 UUJN
Perubahan, yaitu :
1. Notaris dilarang :
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
40
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta.
2.Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikenai sanksi berupa :
a. peringatan tertulis
b. pemberhentian sementara
c. pemeberhentian dengan hormat
d. pemeberhentian dengan tidak hormat

Pengangkatan Dan Pemberhentian Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Notaris sebagai pejabat umum merupakan sebuah profesi hukum yang memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan Indonesia. Sejak berlakunya UUJN maka Notaris berada di bawah kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dari itu yang dapat mengangkat dan memberhentikan Notaris hanyalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk dapat diangkatnya seseorang menjadi seorang Notaris harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Atas Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Setelah persyaratan untuk diangkatnya menjadi Notaris telah terpenuhi, maka sebelum menjalankan jabatan wajib mengucapkan Sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengucapan sumpah/janji tersebut dilakukan paling lambat 60 hari. Jika tidak terpenuhi maka keputusan pengangkatan sebagai Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri.11 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 7 UUJN Perubahan tersebut maka Notaris sebagai pejabat umum atau organisasi profesi dalam menjalankan tugasnya dapat berhenti atau diberhentikan karena alasan-alasan tertentu. Di dalam pasal 8 ayat (1) UUJN Perubahan dinyatakan bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, karena: a. meninggal dunia b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun c. permintaan sendiri  d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun e. Merangkap jabatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 huruf g. Sementara itu dalam kaitannya dengan ketentuan pasal 9 ayat (1) UUJN Perubahan diatas, maka Notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena: a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b. berada di bawah pengampuan; c. melakukan perbuatan tercela; d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik Notaris ; atau e. sedang menjalani masa penahanan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 diatas maka Notaris dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila:12 a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh ketentuan hukum tetap; b. Berada dibaah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat Notaris; Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan

Pengertian Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Munculnya lembaga Notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang
mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat
alat bukti saksi kurang memadai lagi sebab sesuai dengan perkembangan
masyarakat, perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan anggota masyarakat semakin
rumit dan kompleks.
yaitu nama yang diberikan pada orang-orang Romawi di mana tugasnya
menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada
masa itu.   karakter) yang
menyatakan sesuatu perkataan. 1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Notaris
adalah orang yang mendapat kuasa dari pemerintah (dalam hal ini Departemen
Kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat
wasiat, akta, dan sebagainya Hampir selama seabad lebih, eksistensi Notaris dalam memangku jabatannya
didasarkan pada ketentuan Reglement Of Het Notaris Ambt In Nederlandsch No.
1860 : 3 yang mulai berlaku 10 Juli 1860. Yang sekarang dikenal dengan PJN,
dalam kurun waktu itu PJN mengalami beberapa kali perubahan. dan saat ini,
Notaris telah memiliki Undang-Undang tersendiri dengan lahirnya UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang kemudian dirubah
dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 2014.
Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat Negara/pejabat umum
yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai
pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris terdapat
dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang perubahan atas
undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris3
.
Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak
dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik.
Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.4
Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki guna
mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-subyek hukum yang bersifat
perdata. Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu pemerintah
dalam melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya,
mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang
esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan
masyarakat.
Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena Notaris membuat alat
bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum
berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti
yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan
penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan
bahwa apa yang diterangkan oleh Notaris dalam aktanya adalah benar.5
Dalam
Pasal 2 Undang-undang Jabatan Notaris disebutkan bahwa Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri, sedangkan untuk dapat diangkat sebagai Notaris harus
dipenuhi persyaratan dalam Pasal 3 UUJN6
.
Pemerintah menghendaki Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk dapat
memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam membantu membuat perjanjian, membuat akta beserta pengesahannya yang juga merupakan kewenangan Notaris.
Meskipun disebut sebagai pejabat umum, namun Notaris bukanlah Pegawai
Negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan jabatan
pemerintah, Notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi
memperoleh gaji dari honorarium atau fee dari kliennya.7
Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima
gaji dari pemerintah, Notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak
menerima pensiun dari pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja Notaris yang
harus dilindungi tetapi juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa
Notaris.8
Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang
dengan pengecualian, dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik,
dalam hal ini publik yang bermakna hukum. Notaris sebagai pejabat publik tidak
berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan yang
dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat
dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai
Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan
hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian Seorang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki
keterampilan profesi di bidang hukum juga harus dilandasi dengan tanggungjawab
dan moral yang tinggi serta pelaksanaan terhadap tugas jabatannya maupun nilainilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan
ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat. Notaris dalam melaksanakan
tugasnya secara profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur,
tidak berpihak dan penuh rasa tanggungjawab dan memberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya untuk
kepentingan umum (public). Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang
Notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu,
harkat dan martabat profesionalisme akan hilang

Tinjauan Umum tentang Efektivitas Hukum (skripsi, tesis, disertasi)

Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut. Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achamad Ali  berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Achamad Ali pun berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang banyak mepengaruhi efektivitas suatu perundangundangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundangundangan tersebut. Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekamto22 adalh bahwa efektivitas atau setidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang) 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atnasasmita yaitu bahwa faktorfaktor yang menghambat efektifitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan. Menurut Soerjono Soekamto  efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman paksaannyakurang berat, mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat

Tinjauan Umum Tentang Asas Equality Before The Law (skripsi, tesis, disertasi)

Asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law principle) merupak salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam UUD 1995 kita. Bagi Mardjono Reksodiputro asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapatkan perlindungan yang sama dalam hukum tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini’’. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya. Semua orang memiliki hak diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada permasalahan di hadapan hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang.  Persamaan dihadapan hukum yang diartikan secara dinamis itu dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses memperoleh keadilan bagi semua orang. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali.  Pada awalnya dulu bantuan hukum hanya sebagai belas kasihan. Namun pada perkembangannya pemberian bantuan hukum menjadi sebuah kewajiban karena itu merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap masingmasing individu. Dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.  Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu tindakan hukum, baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak untuk mnedapatkan pelayanan yang sama dalam bidang kenotariatan.Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menegaskan “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.  Hal ini secara ekstensif dapat ditafsirkan bahwanegara bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak fakir miskin. Artinya Negara sebagai tolak pangkalnya. Bahwa kemudian Notaris mempunyai tanggungjawab sosial untuk mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk orang miskin adalah yang ideal. Tapi tahapan normatifnya tentu tidak seabsolut yang dibebankan Undang-undang Dasar 1945 kepada Negara. Pemberian jasa hukum yang diberikan oleh Notaris memang lebih mengarah kepada fungsi sosial dari profesi Notaris. Hak-hak fakir miskin ini meliputi hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik dari fakir miskin. Melihat pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) yang dihubungkan dengan pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, negara berkewajiban menjamin fakir miskin untuk memperoleh pembelaan dari Notaris melalui suatu program pemberian jasa hukum di bidang kenotariatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian jasa hukum di bidang kenotariatan merupakan hak konstitusional bagi fakir miskin yang harus dijamin perolehannya oleh negara. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa “Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.” Pasal tersebut jelas menyebutkan hal itu. Dengan demikian, para pencari jasa hukum kenotariatan yang tidak mampu tidak perlu ragu mencari notaris. Dan, jika para notaris itu menolak, ia bisa terkena sanksi kode etik notaris.

Tinjauan Umum tentang Masyarakat Tidak Mampu (skripsi, tesis, disertasi)

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerimaan Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan pada penghujung tahun 2012 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam peraturan itu, jaminan kesehatan ditujukan untuk fakir miskin dan orang tidak mampu. Menurut pasal 1 ayat (5) fakir miskin didefinisikan sebagai “orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi dirinya dan keluarganya”. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (6) golongan orang tidak mampu adalah “orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah,yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya.” Pihak yang berwenang untuk menetapkan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu adalah Kementrian Sosial setelah melakukan koordinasi dengan Menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. Antara lain Kementrian Kesehatan, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementrian Dalam Negeri. Nantinya, kriteria yang sudah ditetapkan oleh kementrian tersebut ditindaklanjuti oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan melakukan pendataan. Sedangkan dalam undang-undang nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pasal 1 ayat (1) mendefinisikan Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.16 Dalam undang-undang ini hanya memuat definisi tentang fakir miskin akan tetapi tidak mencantumkan definisi orang tidak mampu

Tinjauan Umum tentang Pemberian Jasa Hukum Secara Cuma-cuma oleh Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Ada bergagai jenis jasa yang dapat dilakukan oleh seorang notaris, antara lain:12 1. Akta pendirian Perseroan Terbatas (PT), perubahan juga risalah rapat umum pemegang saham. 2. Akta pendirian yayasan dan perubahannya berikut pengesahan dan persetujuan pada instansi berwenang 3. Akta pendirian CV dan perubahannya berikut pendaftaran pada instansi berwenang 4. Akta pendirian UD (usaha dagang) dan sejenisnya beserta perubahannya 5. Akta-akta/perjanjian-perjanjian sebagai berikut a. Perjanjian perkawinan b. Sewa-menyewa c. Hutang piutang/pengakuan hutang d. Kerjasama e. Keterangan hak waris f. Dan lainnya 6. Akta yang berkaitan dengan pertanahan a. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) b. Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) c. Pelepasan/pengoperan hak d. Jual beli rumah dengan pengoperan hak 7. Akta wasiat 8. Akta fidusia 9. Akta keterangan hak waris 10. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi) 11. Membukukan surat-surat dibawah tangan dalam buku khusus (warmerking) 12. Membuat kopi dari asli surat-surat tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan (coppy collatione) 13. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir) 14. Membuat akta risalah lelang 15. Perjanjian kredit: perjanjian utang-piutang perorangan, kredit bank konvensional, kredit bank sindikasi, kredit bank syariah, kredit perusahaan 16. Pembiayaan/multi finance dan lainnya 27 17. Pembuatan akta kuasa: akta kuasa dibuat oleh yang berhak menguasakan kepada orang lain yang dipercaya dan dan bisa dibuat dengan hak substitusi, antara lain akta kuasa perusahaan, akta kuasa perusahaan terbuka, akta kuasa perusahaan dalam rangka PMA(penanaman modal asing)/PMDN (penanaman modal dalam negeri), akta kuasa koperasi/badan usaha/instansi tertentu, akta kuasa perorangan dan lainnya 18. Perjanjian akta perikatan: pembuat akta-akta perjanjian perikatan 19. Perjanjian kerja sama antar perusahaan 20. Akta koperasi 21. Akta perkumpulan: akta pendirian dan perubahan partai politik, lembaga sosial, paguyuban, ikatan profesi, ikatan keagamaan, ikatan hobi, dan lainnya 22. Segala bentuk perjanjian yang tidak dikecualikan kepada pejabat lain Tidak semua jenis jasa diatas dapat diberikan secara cuma-cuma oleh notaris, hal di karenakan ada biaya lain yang harus dibayar oleh orang tidak mampu ataupun menjadi beban notaris. Biaya yang dimaksud adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik dalam bidang pertanahan maupun pelayanan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tentu saja pelaksanaannya tidak membedakan antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Hal ini merupan dilema bagi Notaris karena antar peraturan peraturan dan fakta sosialnya berbeda. Dimana disatu sisi harus memberikan pelayanan kepada 28 orang tidak mampu secara cuma-cuma namun disi laain adanya PNBP yang harus tetap dibayarkan kepada negara. Akan tetapi Notaris dalam melakukan tugas jabatannya wajib memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya, baik kepada masyarakat yang mampu maupun kepada masyarakat yang tidak mampu. Notaris juga berkewajiban memberikan penyuluhan hukum kepada para kliennya untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Seorang notaris bekerja tidak melulu berorientasi pada hitungan untung-rugi, melainkan dibebani pula tanggung jawab sosial. Yakni, wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada mereka yang tidak mampu. Begitulah yang ditegaskan dan di atur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014.13 Adanya kewajiban pemberian jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma oleh notaris, namun demikian pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini tidak kita jumpai baik di dalam UUJN, Kode etik Notaris, maupun peraturan lainnya yang mengatur tentang jabatan notaris, terutama mengenai pengertian jasa hukum di bidang kenotariatan, dan kualisifikasi orang yang tidak mampu seta jenis jasa apa saja yang dapat diberikan secra cuma-cuma. Berdasarkan bunyi pasal 37 UUJN dan pasal 3 angka 7 Kode Etik Notaris. 14 Seharusnya notaris memberikan pelayanan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana terlebih dahulu secara nyata diaplikasikan oleh Advokat mengenai pemberian jasa hukum secara cumacuma kepada kliennya yang lebih dikenal dengan istilah Prodeo.

Tinjauan Umum tentang Pemberian Jasa Hukum Secara Cuma-cuma oleh Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Ada bergagai jenis jasa yang dapat dilakukan oleh seorang notaris,
antara lain:
1. Akta pendirian Perseroan Terbatas (PT), perubahan juga risalah rapat
umum pemegang saham.
2. Akta pendirian yayasan dan perubahannya berikut pengesahan dan
persetujuan pada instansi berwenang
3. Akta pendirian CV dan perubahannya berikut pendaftaran pada instansi
berwenang
4. Akta pendirian UD (usaha dagang) dan sejenisnya beserta perubahannya
5. Akta-akta/perjanjian-perjanjian sebagai berikut
a. Perjanjian perkawinan
b. Sewa-menyewa
c. Hutang piutang/pengakuan hutang
d. Kerjasama
e. Keterangan hak waris

Larangan bagi Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Selain memiliki kewajiban, Notaris mempunyai larangan-larangan. Larangan menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan. Adanya larangan bagi Notaris dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris.11 Larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam ketentuan pasal 17 UUJN antara lain: 1. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya. 2. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. 3. Merangkap sebagai pegawai negeri. 4. Merangkap sebagai pejabat negara. 5. Merangkap jabatan sebagai advokat. 6. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta. 7. Merangkap jabatan sebagi Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan notaris 8. Menjadi Notaris Pengganti. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, lesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Tugas dan Wewenang Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Tugas dan wewenang Notaris diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, yaitu membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Kewenangan lain sebagaimana dimaksud dalam UUJN merujuk kepada Pasal 15 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUJN. Kewenangan Notaris dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, yaitu: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/ atau dikehendaki oleh yang berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Berdasarkan kewenangan diatas, Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut aturan hukum yang wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan   akta Notaris. Selanjutnya menurut Pasal 15 ayat (2) UUJN, Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan g. membuat akta risalah lelang Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN disebutkan bahwa selain kewenangan tersebut di atas, Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam perundang-undangan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa wewenang Notaris yang utama adalah membuat akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti yang sempurna. Suatu akta Notaris memperoleh stempel otentisitas, menurut ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata jika akta yang bersangkutan memenuhi persyaratan: a. Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.   b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang. c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Pejabat umum yang dimaksud disini adalah pejabat yang dinyatakan dengan undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, misalnya Notaris, panitera, jurusita, dan pegawai pencatat sipil. Menurut G.H.S. Lumban Tobing, Wewenang Notaris meliputi 4 hal, yaitu:10 a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu. Maksudnya adalah bahwa tidak semua akta dapat dibuat oleh Notaris. Aktaakta yang dapat dibuat oleh Notaris hanya akta-akta tertentu yang ditugaskan atau dikecualikan kepada Notaris berdasarkan peraturan perundang-undangan. b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; maksudnya Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Misalnya dalam Pasal 52 UUJN ditentukan bahwa Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/ suami, orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut menyebabkan akta Notaris tidak lagi berkedudukan sebagai akta otentik, tetapi hanya sebagai akta di bawah tangan. c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta dibuat. Maksudnya bagi setiap Notaris ditentukan wilayah jabatan sesuai dengan tempat kedudukannya. Untuk itu Notaris hanya berwenang membuat akta yang berada di dalam wilayah jabatannya. Akta yang dibuat di luar wilayah jabatannya hanya berkedudukan seperti akta di bawah tangan. d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Maksudnya adalah Notaris tidak boleh membuat akta selama masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian pula Notaris tidak berwenang membuat akta sebelum memperoleh Surat Pengangkatan (SK) dan sebelum melakukan sumpah jabatan. Apabila salah satu persyaratan kewenangan tidak terpenuhi maka akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris tidak berstatus sebagai akta otentik dan hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selain diberikan wewenang, diharuskan juga   taat kepada kewajiban yang diatur oleh UUJN dan Kode Etik Notaris serta diwajibkan untuk menghindari larangan-larangan dalam menjalankan jabatannya tersebut

Kewajiaban Notaris Menurut UUJN (skripsi, tesis, disertasi)

Dalam menjalankan jabatannya Notaris mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan, kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16, yaitu: a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta Akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; 19 e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/ janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yangtugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;   l. Mempunyai cap/ stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; n. Menerima magang calon Notaris

Pengertian Notaris (skripsi, tesis, disertasi)

Kata Notaris berasal dari kata Notarius ialah nama yang pada zaman Romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Nama Notarius ini lambat laun memiliki arti mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat, seperti stenograaf sekarang. 9 Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Notaris bertindak sebagai pelayan masyarakat karena diangkat oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan dokumendokumen legal yang sah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari notaris adalah pejabat yang bertindak secara pasif dalam artian mereka menunggu masyarakat datang ke mereka untuk kemudian dilayani Sebagai Jabatan dan Profesi yang terhormat Notaris mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai Notaris, yaitu UUJN maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang harus ditaati oleh Notaris, misalnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Notaris diangkat oleh penguasa untuk kepentingan publik. Wewenang dari Notaris diberikan oleh undang-undang untuk kepentingan publik bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri. Oleh karena itu kewajiban-kewajiban Notaris adalah kewajiban jabatan.

Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (skripsi, tesis, disertasi)

Bentuk-bentuk tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan
Pasal 9 yaitu :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat (Pasal 6 UU No. 23/2004).
b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7
UU No. 23/2004).
c. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak
wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8 UU No.
23/2004).
d. Penelantaran rumah tangga
Penelantaran rumah tangga meliputi dua tindakan yaitu: 1) orang yang
mempunyai kewajiban hukum atau karena persetujuan atau perjanjian
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak melaksanakan
kewajiban tersebut. 2) setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam dan di luar rumah tangga sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut (Pasal 9 UU No. 23/2004).
Dari bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang telah
dijabarkan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan tidak hanya
disebabkan oleh kontak fisik melainkan juga oleh hal lain yang tidak berhubungan
dengan fisik, misalnya cacian, makian, cemoohan yang dilakukan pelaku terhadap
korban.

Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga (skripsi, tesis, disertasi)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa disingkat KDRT adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU NO 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa segala
perbuatan tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan
melanggar hak asasi manusia yang dapat dikenakan sanksi hukum pidana maupun
hukum perdata.

Model Sistem Pendekatan Restoratif  (skripsi, tesis, disertasi)

Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative tidak akan
menjadi suatu realitas yang dapat diimplementasikan jika tidak dapat dibangun
atau dikembangkan suatu model struktural dengan paradigm restoratif yang akan
menjadi pilihan alternative dalam sistem hukum pidana. Dalam hal ini ada
berbagai macam model sistem pendekatan restoratif yang dijabarkan oleh Van
Ness, antara lain :30
a. Unified System
Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesetaraan dalam
hukum melihat hiptesa Christie, yaitu bahwa Negara telah mencuri konflik dari para pihak menjadi suatu pilihan yang dapat member pandangan untuk
memvisikan pendekatan restoratif menggantikan peradilan pidana.31
Untuk mengembalikan konflik itu ke “pemiliknya yang berhak, memerlukan
suatu pendekatan yang benar-benar berbeda dalam mengelola pemberian prosesproses keadilan, yang memungkinkan korban dan pelanggar dapat menentukan
sendiri hasil penyelesaian konfliknya tersebut dan Negara tidak memiliki hak
mutlak atas konflik yang dimaksud, sehingga berdasar pandangan ini, prosesproses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative seharusnya
dapat menggantikan semua proses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya.
b. Dual Track System
Model dual track system ini dapat dibuat menjadi suatu pendamping alternatif
bersama sistem peradilan pidana yang ada. Dalam suatu model jalur ganda, proses
restoratif dan proses tradisional akan berdampingan secara bersama-sama, dimana
para pihak yang menentukan wacana jalannya proses dari suatu kasus tertentu.
Jika kesepakatan untuk memasuki proses restoratif tidak dapat dicapai (dengan
konsesus semua pihak yang berkepentingan) maka sistem pengadilan peradilan
pidana akan tetap tersedia. Jadi, dalam hal ini pendekatan restoratif ditempatkan
menduduki prosisi primer sedangkan lembaga-lembaga formal adalah berperan
sebagai suatu unsure pendukung, sebagaimana model peradilan pidana Jepang  pada dasarnya terdiri dari suatu sistem dua jalur,32 yang sistem peradilan
formalnya sama dengan mayoritas Negara demokrasi industry, dengan hukum
pidana materiil dan hukum pidana formilnya yang mengatur jalannya proses suatu
kasus tindak pidana.
c. Safeguard System
Model ini adalah suatu model yang dirancang untuk menangani tindak pidana
melalui pendekatan restorative, dimana program-program restorasi akan menjadi
sarana utama untuk menangani permasalahan-permasalahan tindak pidana maka
hal ini berarti bahwa akan terjadi suatu peralihan besar dari sistem peradilan
pidana pada umunya yang akan mengalami reduksi ke sistem keadilan restorative.
Namun, untuk kasus-kasus tertentu akan tetap ditangani oleh sistem peradilan
pidana yang kontemporer, yaitu kasus-kasus yang dianggap tidak sesuai untuk
ditangani oleh suatu proses atau program restorative. Contoh-contohnya mungkin
dalam situasi-situasi dimana diperlakukan suatu jawaban pasti atas adanya suatu
pertanyaan yang riil perihal “bersalahnya” si terdakwa, atau situasi-situasi dimana
tindakan-tindakan koersif signifikan atau tindakan-tindakan pengendalian tampak
diperlukan untuk perlindungan masyarakat.
d. Hybrid System
Dalam model ini, proses penentuan atau penetapan seseorang bersalah
diproses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya dan kemudian dalam proses penentuan saksi maka konsep pendekatan restoratif dapat dipergunakan
untuk menentukan jenis sanksinya. Dalam sistem hybrid, baik respon pendekatan
restoratif maupun respon peradilan pidana kontemporer dipandang sebagai
bagian-bagian normatif dari sistem peradilan

Dasar Penerapan restorative justice dalam penyelesaian Tindak Pidana. (skripsi, tesis, disertasi)

Dasar Penerapan restorative justice dalam penyelesaian Tindak
Pidana.
Memang pada dasarnya, metode mediasi untuk menyelesaikan kasus tindak
pidana di Kepolisian tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan tentang
sistem peradilan pidana, seperti di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Meski demikian, Kapolri setidaknya
mengeluarkan surat tentang penanganan sengketa di luar pengadilan serta ada
peraturan Kapolres terkait mediasi. Mediasi oleh lembaga Kepolisian antara lain
adalah restorative justice.
Peraturan-peraturan tersebut antara lain yaitu :
a. Surat kapolri No. Pol. B/ 3022/XII/2009/sdeops tentang konsep
Alternatif Dispute Resolution (ADR).
Dalam Surat kapolri No. Pol. B/ 3022/XII/2009/sdeops tentang konsep
Alternatif Dispute Resolution (ADR), terdapat langkah-langkah penyelesaian
masalah dengan menggunakan konsep ADR yaitu antara lain :
1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian
materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR.
2. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati
oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat
kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku secara profesional dan proporsional.
3. Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada
musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan
menyertakan RT RW setempat.
27
4. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati
norma hukum sosial / adat serta memenuhi azas keadilan.
5. Memberdayakan anggota Pemolisian/ Perpolisian Masyarakat (“Polmas”)
dan memerankan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (“FKPM”)
yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasuskasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan
untuk diselesaikan melalui konsep ADR.
6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak
lagi di sentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan
tujuan Polmas.
Setelah peneliti membaca dan memahami langkah-langkah penyelesaian kasus
pidana sesuai dengan Surat kapolri No. Pol. B/ 3022/XII/2009/sdeops tentang
konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR), maka peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa dalam penyelesaian kasus pidana di Kepolisian dengan
menggunakan metode restorative justice maka yang diutamakan disini adalah
dengan musyawarah antar pihak yang terlibat dengan mengedepankan keadilan
dan ketika kasus sudah berhasil diselesaikan maka tidak boleh lagi ada tindakan
hukum lainnya atau dalam kata lain kasus telah selesai.
b. Peraturan Kepala Kepolisian NKRI Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Di dalam Peraturan Kepala Kepolisian NKRI Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri pada tercantum bahwa Pemecahan Masalah adalah
proses pendekatan permasalahan Kamtibmas dan kejahatanuntuk mencari
pemecahan suatu permasalahan melalui upaya memahami masalah, analisis
masalah, mengusulkan alternatif-alternatif solusi yang tepat dalam rangka
menciptakan rasa aman, tentram dan ketertiban (tidak hanya berdasarkan pada
hukum pidana dan penangkapan), melakukan evaluasi serta evaluasi ulang
terhadap efektifitas solusi yang dipilih.
Dalam hal ini peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa untuk menyelesaikan
masalah pidana boleh dengan menggunakan alternatif solusi yang tepat dan tidak
hanya berdasarkan pada hukum pidana dan penangkapan hal itu berarti bisa
menjadi dasar penerapan restorative justice.

Prinsip Restorative Justice (skripsi, tesis, disertasi)

Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat
dalam konsep pendekatan restoratif dalam peneyelesaian tindak pidana, antara
lain sebagai berikut :
a. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)
Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh Negara, kepada tersangka
selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang prosedur alprosedural perlindungan tertetu ketika dihadapkan pada penuntutan atau
penghukuman. Proses peradilan (due process) haruslah dianggap sebagai bentuk
perlindungan untuk member keseimbangan bagi kekuasaan Negara untuk
menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari suatu putusan
penghukuman.21
Dalam implementasinya, mekanisme proses pendekatan restoratif
menghendaki adanya keinginan untuk tetap member perlindungan bagi tersangka
yang terkait dengan due process. Akan tetapi, karena dalam proses restorasi
mengharuskan adanya pengakuan bersalah terlebih dahulu maka hal ini
menimbulkan pertanyaan mengeai sampai sejauh mana persetujuan yang
diberitahukan (informed consent) dan pelepasan hak suka rela (wiver of rights)
dapat dipergunakan sebagai awal penyelesaian yang adil.22
Menurut peneliti, konsep dasar penyelesaian melalui pendekatan restoratif
yang mengharuskan adanya pengakuan bersalah bagi pelaku adalah merupakan
syarat untuk mendapatkan jalan keluar dilanjutkannya proses pemulihan dan
sekaligus sebagai isyarat bahwa pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya, karena sebuah pengakuan bersalah adalah bentuk lain dari suatu
tanggung jawab.
b. Perlindungan yang Setara
Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative,
keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami akan makna dan tujuan
keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, asal bangsa dan
kedudukan sosial lainnya.23
Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan restoratif
dalam menyelesaikan suatu masalah dan memberikan “rasa keadilan” diantara
para partisipan yang berbeda-beda, karena dapat saja salah satu pihak mempunyai
kelebihan kekuatan ekonomi, intelektual, politik atau bahkan fisik.24 Sehingga
terjadi suatu ketidaksetaraan diantara para pihak yang berpartisipasi dalam suatu
proses restoratif.
c. Hak-Hak Korban
Dalam penyelesaian masalah melalui pendekatan restoratif, hak-hak
korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang berkepentingan
yang seharusnya mempunyai kedudukan (hukum) dalam proses penyelesaiannya.
Pada sistem peradilan pidana pada umumnya, ditengarai bahwa korban tidak
menerima perlindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan  pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan dan
kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen
peradilan pidana.25
Menurut peneliti, bahwa pengakuan dalam pemberian kesempatan untuk
member penjelasan atau ketarangan yang berhubungan dengan kejadian yang
dialami korban dalam proses persidangan belum mencerminkan adanya
kedudukan yang sama di dalam hukum. Agar kedudukan hukum korban dapat
menjadi setara dalam proses penyelesaian maka kepada korban harus juga
diberikan hak-hak untuk memperoleh ganti rugi yang memadai atas derita yang
dialaminya.
d. Proporsionalitas
Gagasan fairness di dalam sistem restoratif didasarkan pada consensus
persetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam menyelesaikan masalah,
sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan dengan lingkup kesamaan
sanksi-sanksi penderitaan yang harus dikenakan pada pelanggar yang melakukan
pelanggaran. Dalam peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap
telah terpenuhi bila telah memenuhi suatu perasaan keadilan retributive
(keseimbangan timbale balik antara punish dan reward), sedangkan dalam
pendekatan restoratif dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding
terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran yang sama.26
e. Praduga Tak Bersalah
Dalam peradilan pidana pada umumnya, Negara memiliki beban
pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan sampai beban
pembuktian itu dilakukan, tersangka harus dianggap tidak bersalah. Berbeda  halnya dalam proses restoratif, yang mensyaratkan suatu pengakuan bersalah
merupakan syarat dilanjutkannya lingkaran penyelesaian.
Dalam proses-proses restoratif, hak-hak tersangka mengenai praduga tak
bersalah dapat dikompromikan dengan cara yaitu tersangka memiliki hak untuk
melakukan terminasi proses restorasi dan menolak proses pengakuan bahwa ia
bersalah, dan selanjutnya memilih opsi proses formal dimana kesalahan harus
dibuktikan,27 atau tersangka dapat memperoleh hak untuk banding ke pengadilan
dan semua perjanjian yang disepakati dalam proses restoratif dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan mengikat.
f. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasehat Hukum
Dalam proses restoratif, advokat atau penasehat hukum memiliki peran
yang sangat strategis untuk membangun kemampuan pelanggar dalam melindungi
haknya vis a vis bantuan penasehat hukum. Dalam semua tahapan informal yang
restorative, tersangka dapat diberi informasi melalui bantuan penasehat hukum
mengenai hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan
dalam membuat membuat keputusan.28
Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpartisipasi dalam
sebuah proses restorative, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas namanya
sendiri. Posisi-posisi mereka yang mengizinkan pengacara mewakili partisipanpartisipan dalam semua titik tahapan selama proses restoratif, akan
menghancurkan banyak manfaat yang diharapkan dari “perjumpaan” (encounter),
seperti komunikasi langsung dan pengungkapan perasaan, danpembuatan
keputusan kolektif proaktif. Pengacara juga bisa sangat membantu dalam memberi
saran klien-klien mereka tentang hasil yang paling mungkin yang didapatkan dan
seharusnya diharapkan.

Konsep Restorative Justice (skripsi, tesis, disertasi)

Menurut Sarre:
…, restorative justice is concerned with rebuilding relationships after an
offence, rather driving a wedge between offenders and their communities, which
is the hallmark of modern criminal justice systems.
(Keadilan restorative bekaitan dengan bagaimana membangun kembali
hubungan setelah terjadi suatu tindak pidana, bukannya membangun tembok
pemisah antara para pelaku tindak pidana dengan masyarakat mereka, yang
merupakan hallmark (tanda/karakteristik) dari sistem-sistem peradilan pidana
modern).
Dari pendapat Sarre tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa
konsep dasar pendekatan restoratif berupa tindakan untuk “membangun kembali
hubungan yang rusak akibat tindak pidana” telah lama dikenal dan dipraktikkan di
dalam hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dengan perkataan lain dapat
dinyatakan bahwa filosifi dasar tujuan pendekatan restorative, yaitu “memulihkan
keadaan pada keadaan semula sebelum terjadinya konflik” adalah identik dengan filosofi “mengembalikan keseimbangan yang terganggu” yang terdapat dalam
Hukum Adat Indonesia.
Burt Galaway dan Joe Hudson menyatakan bahwa konsep keadilan
menurut konsep keadilan restorative, memiliki unsure-unsur yang sangat
mendasar, yaitu19 pertama, tindak pidana dipandang sebagai suatu
konflik/pertentangan antara individu-individu yang mengakibatkan kerugian
kepada para korban, masyarakat, dan para pelaku tindak pidana itu sendiri; kedua,
tujuan dari proses (criminal justice) haruslah menciptakan perdamaian di dalam
masyarakat dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan oleh konflik itu;
ketiga, proses tersebut harus menunjang partisipasi aktif oleh para korban, pelaku
dan masyarakat untuk menemukan pemecahan terhadap konflik yang
bersangkutan.20
Unsur-unsur yang mendasari pendekatan restoratif sebagaimana yang
diutarakan oleh Burt Gallaway dan Joe Hudsob tersebut, member pemahaman
bahwa korban sebagai pihak yang mengalami dampak kerugian atau kerusakan
yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana memiliki hak sepenuhnya untuk
ikut serta dalam proses penyelesaian dan pemulihan tindak pidana tersebut.
Pemahaman tersebut membawa konsekuensi logis terhadap makna dan
pengertian tindak pidana yang bukan lagi harus dipandang sebagai suatu
perbuatan melanggar hukum yang harus diberi sanksi oleh Negara tetapi suatu
perbuatan yang harus dipulihkan melalui ganti rugi atau jenis sanksi lain yang
sifatnya menjauhi efek pemenjaraan.

Pengertian Restorative Justice (skripsi, tesis, disertasi)

Pengertian Restorative Justice menurut para ahli
Umbreit dalam tulisannya menjelaskan bahwa :
“Restorative justice is a “victim-centered response to crime that allows the
victim, the offender, their families, and representatives of community to address
the harm caused by the crime”.”
(Keadilan restorative adalah sebuah “tanggapan terhadap tindak pidana
yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana,
keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani
kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana”.)
9
Terhadap pandangan tersebut Daly10 mengatakan, bahwa konsep Umbreit
tersebut memfokuskan kepada “memperbaiki kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana” yang harus ditunjang melalui konsep restitusi,
yaitu “mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita
oleh pra korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian”.11
Dengan demikian tepatlah yang dikatakan oleh Tony Marshall bahwa
sebenarnya keadilan restorative adalah suatu konsep penyelesaian suatu tindak
pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk
bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam
menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana
mengatasi implikasinya di masa datang.12
Menurut Wright, bahwa tujuan utama dari keadilan restoratif adalah
pemulihan, sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi.13 Hal ini berarti bahwa
proses penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan restoratif adalah suatu
proses penyelesaian tindak pidana, yang bertujuan untuk memulihkan keadaan
yang di dalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban melalui cara-cara tertentu
yang disepakati oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.
Menurut UNODC, bahwa yang dimaksud dengan restorative justice adalah
pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan
korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan dan masyarakat.14
Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa perilaku
kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban dan
masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku kriminal
harus, bila memungkinkan, melibatkan pelaku serta pihak-pihak yang terluka  selain menyediakan yang dibutuhkan bagi korban dan pelaku berupa bantuan dan
dukungan.15
Sedangkan menurut Clifford Dorn, seorang sarjana terkemuka dari gerakan
restorative justice, telah mendefinisikan restorative justice sebagai filosofi
keadilan menekankan pentingnya dan keterkaitan pelaku, korban, masyarakat, dan
pemerintah dalam kasus-kasus kejahatan dan kenakalan remaja.16
Menurut Centre for Justice & Reconciliation (CJR) bahwa restorative justice
adalah teori keadilan yang menekankan memperbaiki kerugian yang disebabkan
oleh perilaku kriminal. Hal ini paling baik dilakukan ketika para pihak bersamasama secara sadar bertemu untuk memutuskan bagaimana untuk melakukan hal
ini. Hal ini dapat menyebabkan transformasi hubungan antar masyarakat.17
Dari berbagai pendapat para ahli diatas maka peneliti dapat mendefinisikan
bahwa restorative justice adalah pada prisipnya merupakan suatu pendekatan yang
dipakai untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan dengan mediasi atau
musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak
yaitu antara lain pelaku tindak pidana serta korban tindak pidana untuk mencari
solusi terbaik yang disepakati oleh para pihak.
Dalam hal ini restorative justice mengandung arti yaitu keadilan yang
direstorasi atau dipulihkan.Masing masing pihak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana diberikan kesempatan untuk bermusyawarah, restorative justice menekankan pada kesejahteraan dan keadilan.Korban tindak pidana berhak
menuntut ganti rugi kepada pelaku tindak pidana yaitu kerugian yang telah
dideritanya, sedangkan pelaku tindak pidana wajib mengganti kerugian yang
disebabkan olehnya kepada korban

Pengertian Demokrasi (skripsi, tesis, disertasi)

 

Demokrasi berasal dari kata Demos yang berarti rakyat dan Cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Dalam kamus bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat (bentuk) pemerintahan Negara, yang segenap rakyat serta memerintahkan dengan peranan wakil-wakilnya.[1]

Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/ berkuasa).[2]

Demokrasi selalu meletakkan posisi rakyat sangat penting dalam sistem kenegaraan, walaupun penerapannya berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Adapun berbagai macam pengertian tentang demokrasi yang dikutip oleh penulis dari berbagai sumber.

Sementara Sidney Hook mendefinisikan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik keputusan secara langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[3] Selain itu R Kranenburg menafsirkan demokrasi sebagai cara memerintah oleh rakyat. [4]

Membahas mengenai demokrasi berarti bicara tentang rakyat atau warga kemasyarakatan . Dalam suatu negara, rakyat merupakan sentral dan pemegang kekuasaan, karena pada hakikatnya rakyat adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi yakni kedaulatan sedangkan demokrasi merupakan bentuk pengejawantahan kedaulatan.

Jadi suatu negara demokrasi merupakan negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi, berarti sebagai suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan ada di tangan rakyat. Pemerintahan negara yang merupakan hasil dari pendapat umum, merupakan cerminan dari kehendak kemasyarakatan  secara keseluruhan sehingga kepentingan negara (pemerintah) selalu sejalan dengan kepentingan kemasyarakatan .

Berkaitan dengan kehendak masyarakat maka lahirlah suatu perkumpulan sebagai sarana penyalur aspirasi dari masyarakat itu sendiri, sehingga sebagai Negara yang menjujung tinggi kebebasan berpendapat, dan mengingat pentingnya suatu Organisasi Kemasyarakatan, maka diatur dalam UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1985 maka pengertian Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.[5]

Organisasi adalah sekumpulan individu, kelompok, negara dengan kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan, keinginan-keinginan sama dan melakukan kerja sama untuk melaksanakan program kerja demi tercapainya kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan tadi.[6] Menurut Karl W Deutsch yang dimaksud dengan kepentingan dalam organisasi segala bentuk perhatian dan harapan untuk tercapainya suatu tujuan. Jika sesuatu gangguan pada proses mendapatkan hasil terjadi maka ketertarikan organisasi tersebut akan segera teralihkan untuk mengatasi gangguan tersebut. Anggota dalam organisasi akan mendapatkan hasil baik simbolis maupun secara nyata ataupun memudahkan anggota untuk mendapatkan hasil[7]

Sedangkan menurut Tarrow, organisasi kemasyarakatan didefinisikan sebagai :

Kelompok yang memiliki kesadaran diri yang bertindak in concerto untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai klaim-klaim penantang dengan menentang kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain dengan klaim-klaim tersebut. [8]

 

 Oleh karena itu, konsep kemasyarakatan yang digunakan disini bukanlah seperti apa yang digambarkan sebagai perilaku kolektif dimana rakyat ikut serta dalam usaha memperbaiki dan menyusun kembali struktur sosial yang rusak. Mc Phail berpendapat bahwa perilaku kolektif secara relatif berlangsung spontan ketimbang direncanakan, tidak berstruktur ketimbang di organisir; emosional ketimbang rasional dan menyebar dengan kasar, bentuk komunikasi yang paling dasar seperti reaksi yang tak berujung pangkal, rumor, imitasi, penyakit sosial, dan keyakinan yang digeneralisir ketimbang jaringan komunikasi formal dan informal yang telah dibentuk sebelumnya. Dalam buku ini, kemasyarakatan justru dilihat sebaliknya, yaitu sebagai gerakan yang diorganisir dengan tujuan, strategi dan metodologi yang diformulasikan secara jelas dan sadar berdasarkan analisis sosial yang kuat.[9]

Dari perspektif Gramscian, konsep organisasi kemasyarakatan dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep masyarakat sipil didasarkan pada analisis Gramsci tentang kepentingan konfliktual dan dialektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara dan masyarakat sipil. Dalam satu hal, analisis ini merupakan bagian dari penolakannya atas fokus yang sempit dimana unit analisis adalah kontradiksi dialektis antara buruh dan kapitalis. Ia menggunakan istilah “Negara” (state) dan masyarakat “sipil” (civil society) dalam analisisnya tentang supremasi dan hegemoni. Dalam membahas kaitan antara Negara dan masyarakat Gramsci mengatakan :

Apa yang dapat kita kerjakan, sejenak, adalah menyediakan dua “aras” superstruktur. Satu yang dapat disebut “masyarakat sipil”, yakni ensemble organisme yang biasanya disebut “privat”, dan aras lain yaitu “masyarakat politik” atau “negara”. Dua aras ini pada satu sisi berhubungan dengan fingsi hegemoni dimana kelompok dominan menjalankan seluruh masyarakat dan di sisi lain berhubungan dengan “dominasi langsung” atau perintah yang dijalankan melalui negara dan pemerintahan”juridis”.[10]

 

Dalam sistem teori politik, terutama dalam pembahsan infra struktur politik ada berbagai bentuk organisasi masyarakat, yaitu[11] :

  1. Organisasi masyarakat asosiasi:

yaitu suatu kelompok yang didirikan khusus untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu namun masih mencakup bidang yang luas sehingga isu, wacana dan visi masih general. Contohnya adalah organisasi massa.

  1. Organisasi masyarakat institusional

pada umumnya terdiri dari kelompok manusia yang berasal dari lembaga yang ada. tujuan yang hendak dicapai adalah memperjuangkan kepentingan-kepentingan orang-orang yang menjadi anggota lembaga yang dimaksud, contohnya adalah kelompok-kelompok profesi, misalnya IKADIN,  IDI, IKAHI dan lain-lain

  1. Organisasi masyarakat non asosiasi

golongan kepentingan semacam ini tidak didirikan secara khusus. kegiatan tidak dijalankan teratur dan berkesinambungan. Aktivitasnya hanya terlihat keluar bila kepentingan masyarakat dan dalam keadaan mendesak, yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

  1. masyarakat setempat tinggal
  2. masyarakat seketurunan (trah)
  3. masyarakat seasal pendidikan
  4. masyarakat paguyuban
  5. masyarakat patembayan
  6. kelompok anomik

yaitu suatu kelompok kepentingan yang bersifat mendadak atau spontan dan tidak bernama. Aksi-aksinya berupa demonstrasi, aksi-aksi bersama. Apabila kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak terkendali dapat menimbulkan keresahan, kerusuhan dan keonaran yang dapat mengakibatkan terganggunya keamanan dan ketertiban serta mengganggu stabilitas nasional.

Berdasarkan definisi organisasi masyarakat tersebut maka organisasi yang diharuskan mempunyai konstitusi atau hukum dasar seperti AD/ART adalah kelompok asosiasi dan institusional. sedangkan kelompok anomik dan non asosiasi bukanlah organisasi yang wajib membutuhkan ikatan formal berupa konstitusi atau AD/ART. Memang tidak semua bentuk organisasi wajib memiliki AD/ART.

 

 

Latar Belakang Lahirnya Demokrasi (skripsi, tesis, disertasi)

 

Munculnya konsep pemerintahan demokrasi, dimulai dari perdebatan antar filosof seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Polybius dan Cicero. Socrates (469-399) SM mengatakan negara yang dicita-citakan tidak hanya melayani kebutuhan penguasa tetapi negara yang berkeadilan bagi warga masyarakat (umum). Plato menempatkan demokrasi pada bentuk pemerintah yang dicitakan (bagus, baik), sementara Aristoles menempatkan demokrasi kepada kelompok yang korup (jelek, tidak bagus).

Konsep demokrasi yang sejak awal sudah dikenal sejak abad ke 5 SM, yang pada awalnya merupakan respon terhadap pengalaman buruk pemerintahan monarki dan kediktatoran di negara-negara Kota di zaman Yunani kuno. Tetapi ide-ide demokrasi modern mulai berkembang di abad 16, yakni dikembangkannya ide-ide sekularisme yang diprakarsai oleh Niccolo Manchiavelli, ide Negara Kontak oleh Thomas Hobbes, gagasan tentang Konstitusi Negara dan Liberalisme serta pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif dan lembaga federal oleh John Locke kemudian idenya mengenai pemisahan kekuasaan menjadi lesglitif, eksekutif dan yudikatif oleh Baron de Mostesquieu serta ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau.

Pengertian Hak Asasi Manusia (skripsi, tesis, disertasi)

Menurut Jan Materson dari komis HAM PBB, hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.[1]

Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.[2]

Menurut deklarasi HAM PBB  secara singkat dijelaskan seperangkat hak-hak dasar manusia yang sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak disiksa dan tidak ditahan, dipersamakan dimuka hukum (equality before the law), mendapatkan praduga tidak bersalah dan sebagainya. Hak-hak lain juga dimuat dalam deklarasi tersebut separti hak-hak akan nasionalitas, pemilikan, pemiliran, agama, pendidikan, pekerjaan dan kehidupan berbudaya.[3]

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.

Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan atau tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. [4]

Adapun hak-hak asasi manusia yang diatur dan ditetapkan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu :

  1. Hak untuk hidup[5]
  2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan[6]
  3. Hak mengembangkan diri[7]
  4. Hak memperoleh keadilan[8]
  5. Hak atas kebebasan pribadi[9]
  6. Hak atas rasa aman[10]
  7. Hak atas kesejahteraan[11]
  8. Hak turut serta dalam pemerintahan[12]
  9. Hak wanita[13]
  10. Hak anak[14]

Dalam perspektif Indonesia, proses pencarian makna hak asasi manusia (HAM) sebenarnya telah melalui proses sejarah yang panjang. Dalam perspektif historis, dapat ditemukan adanya beberapa perdebatan yang mengarah kepada upaya perumusan konsepsi HAM menurut Indonesia, diantaranya didalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebelum masa kemerdekaan pada tahun 1945, kemudian pada sekitar pertengahan tahun 1950-an, dan ketika Orde Baru mulai tampil ke panggung kekuasaan pada tahun 1965.[15] Berkaitan dengan masalah pemahaman bangsa Indonesia terhadap HAM, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM antara lain menyatakan bahwa pemahaman HAM bagi bangsa Indonesia adalah sebagai berikut :[16]

  1. Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Mengingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.
  2. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.
  3. Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pengertian tentang hak asasi manusia dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang “Hak Asasi Manusia”.[17]

 

 

 

Latar Belakang Berdirinya Hak Asasi Manusia (skripsi, tesis, disertasi)

Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan lahir dan dilatarbelakangi karena adanya Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam “Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa” (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah “penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan. ” Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang. [1]

Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa / PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.

Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh dunia dan dimana hak-hak asasi diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu dalam suatu naskah internasional. Usaha ini pada tahun 1948 berhasil dengan diterimanya Universal Declaration of Human Right ( Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia ) oleh Negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights), komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali “keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil.” Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk “melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini “untuk memperjuangkan” penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.” [2]

Dua puluh satu pasal pertama dalam Universal Declaration of Human Right tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial (suatu standar bagi kehidupan yang layak ) dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.

Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol.[3] Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Makna istilah ini tidak jelas, namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.

Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.

Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.

Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.

Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.

Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia.

Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. “standar pencapaian yang bersifat umum,” PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).

Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia.  Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.

Sejumlah kalangan mengusulkan agar suatu pernyataan hak asasi internasional di PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekadar suatu deklarasi melainkan juga tampil sebagai norma-norma yang didukung oleh prosedur penegakan yang mampu mengerahkan tekanan intemasional terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian yang senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan hak asasi manusia yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang, yaitu Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) serta Perjanjian Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights).

Hak-Hak Sipil dan Politik lebih mudah untuk dirumuskan, dibandingkan Hak-Hak Ekonomi, Sosial. Hak-hak sipil dan politik pada hakekatnya mempunyai sifat melindungi individu terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Jadi, untuk melaksanakan hak-hak sipil dan politik itu sebenarnya cukup dengan mengatur peranan pemerintah melalui perundang-undangan, agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat tidak melampaui batas-batas tertentu.

Hak-hak Sipil dan Politik mencakup antara lain :

  1. Pasal 6 : Right to life ( hak atas hidup )
  2. Pasal 7 : Right to liberty and security of person ( hak atas kebebasan dan keamanan dirinya )
  3. Pasal 14 : Right to equality before the courts and tribunals ( hak atas kesamaan dimuka badan-badan peradilan )
  4. Pasal 18 : Right to freedom of thought, conscience and religion ( hak atas kebebasan berfikir, mempunyai hati nurani, dan beragama )
  5. Pasal 19 : Right to hold opinions without interference ( hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan )
  6. Pasal 21 : Right to peaceful assembly ( hak atas kebebasan berkumpul secara damai )
  7. Pasal 22 : Right to freedom of association ( hak untuk berserikat).[4]

Lantaran permusuhan dalam era Perang Dingin saat itu, dan tamatnya dukungan bagi perjanjian hak asasi manusia yang dibuat Amerika Serikat, gerakan yang didasarkan pada Perjanjian Internasional ditangguhkan dalam waktu yang lama. Perjanjian itu belum juga disetujui Majelis Umum sampai 1966. Selama tahun-tahun tersebut ketika Perjanjian itu tampaknya tak berpengharapan, PBB mengeluarkan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang lebih terbatas yang bersangkutan dengan topik-topik yang relatif tidak kontroversial seperti pemusnahan suku bangsa / genosid, perbudakan, pengungsi, orang-orang tanpa kewarganegaraan, serta diskirminasi. Perjanjian-perjanjian ini umumnya ditandatangani oleh sejumlah besar Negara, walau tidak ditandatangani oleh Amerika Serikat  dan lewat mereka PBB mulai memetik sejumlah pengalaman untuk menjalankan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.

Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan persetujuan akhir Majelis Umum bagi Perjanjian Intemasional yang keluar pada tahun 1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari kekuasaan penjajah, memasuki PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk menegakkan hak asasi manusia, namun mereka memodifikasikannya guna mewakili kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri: mengakhiri kolonialisme, mengutuk eksploitasi negara-negara Barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta menghancurkan apartheid dan diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut: keduanya berisi paragraf-paragraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan atas ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal, dihapuskan dari Perjanjian itu. Setelah persetujuan dari Majelis Umum keluar pada tahun 1966, Perjanjian itu memerlukan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima menerakan tandatangan pada tahun 1976, dan Perjanjian itu kini berlaku sebagai hukum internasional. [5]

 

Penyelesaian Perselisihan pada Pemegang Polis Asuransi Jiwa (skripsi, tesis, disertasi)

 

Dalam perjanjian apapun, walaupun sudah diupayakan agar semua kata-kata dalam perumusan perjanjian itu dituliskan pelaksanaannya masing-masing sering menimbulkan masalah. Apabila masalah seperti itu timbul. Maka tidak akan diragukan lagi bahwa perselisihan mengenai pelaksanaan perjanjian itu akan terjadi.

Prawoto (995:131) mengatakan bahwa perjanjian itu termasuk ke dalam rung lingkup hukum privat, yang mengatur hubungan antar pribadi dengan pribadi. Dengan demikian para pihak atupun individu yang terlibat dalam suatu perjanjian dapat mengatur sendiri mengenai cara penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam perjanjian tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang dan hukum publik yang berlaku secara kesusilaan. Penyelesaian perselisihan ataupun penyelesaian diluar sidang bila tidak dapat disepakati maka penyelesaian dengan cara penunjukkan arbiter atau Pengadilan Negeri. Berkenaan dengan penunjukkan Pengadilan Negeri tempat penyelesaiaan perselisihan tersebut, Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan NO. 225/KMK.017/1993 menentukan bahwa dalam Polis dilarang dicantumkan ktentuan yang dapat ditafsirkan sebgai pembatas upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi peselisihan mengenai Polis. Selanjutnya oleh pasal 7, diatur lebih lanjutdengan menetukan bahwa ktentuan dalam Polis yang mengatur mengenai pemilihan Pengadilan dalam hal terjadinya perselisihan yang menyangkur terjadinya perselisihan asuransi, tidak boleh membatasi pemilihan pengadilan hanya pada Pengadilan Negeri ditempat kedudukan penanggung. Penyelesaian melalui Penagadilan adalah upaya akhir dan sebelum sebaiknya melalui :

  1. Penyelesaian di luar sidang Pengadilan, dengan mengadakan negoisasi langsung antara Tertanggung dengan Penanggung tanpa dicampuri oleh pihak luar, yang dilandasi dengan itikad baik dari kedua belah pihak.
  2. Apabila belum bisa menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak, diupayakan penyelesaiannya dengan pihak ketiga, yaitu dari pihak yang dikenal dengan BMAI (Badan Mediasi Asuransi Indonesia) yang didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan resmi beroperasi sejak 25 September 2006 yang beranggotakan 150 Perusahaan Asuransi berpartisipasi, dalam pembetukannya saat ini BMAI memiliki 2 rediator independen untuk melakukan upaya penyelesaian sengketa klaim asuransi (Kompas 46:2006).

Cara pertama sebelum diupayakan penyelesaian secara hukum tersebut paling praktis juga masih memungkinkan bagi Tertanggung untuk melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri, apabila dikemudian hari ditemui ada hal-hal yang dianggap sebagai penipuan dan merugikan. Sedangkan cara arbitrase, keputusan memang dapat dilakukan lebih cepat, namun semua keputusan yang diambil tidak dapat diajukan untuk diperiksa ulang di Pengadilan Tinggi (Tidak dapat diajukan banding). Melainkan hanya dapat dimintakan kasasi dari Mahkamah Agung.

Wanprestasi (skripsi, tesis, disertasi)

Pasal 1226 KUH Perdata menyebutkan : “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.

Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.

Syarat batal tidak dinyatkan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seseorang dalam mengikuti suatu perjanjian oleh Subekti (1987:45) dapat berupa empat macam :

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana mestinya
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh disalahkannya.

Lebih lanjut diungkapkan bahwa akibat-akibatnya yang akan diterima oleh seseorang yang lalai dalam mengikuti perjanjian tersebut terdiri dari 4 (empat) macam yaitu :

Pertama   : membayar kerugian yang diterima oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi.

Kedua     : pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian

Ketiga     : peralihan risiko

Keempat  : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Harahap (1986:45) mengatakan karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si beruntung melakukan wanprestasi atau lalai dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim

Hukum Agency (skripsi, tesis, disertasi)

Ketentuan umum hukum keagenan ialah bahwa apa yang diketahui agen akan dianggap diketahui principal karena pengetahuan mengenai bisnis yang ditransaksikan oleh si Agen. Principal dianggap mengetahui, terserah apakah si agen telah memberitahukan principal apa yang diketahui oleh agen itu.

Soliciting agents asuransi jiwa & kesehatan biasanya mengisi formulir aplikasi bagi aplikan. Selain itu, medical examinenya penanggung sendiri pula yang mengisi formulir sertifikat medis. Kedua agen ini kadang-kadang menuliskan keterangan yang tidak benar. Bila agen asuransi menuliskan keterangan yang tidak benar, padahal ia tahu mana yang benar, maka pengadikan di beberapa jurisdiksi berpegang bahwa pengetahuan agen itulah pengetahuan principal. Jadi, dalam jurisdiksi yang seperti ini, bila insurer’s underwriters terlanjur menerbitkan polis yng tidak akan mereka keluarkan seandainya pada underwriters ini mempunyai pengetahuan atual seperti pengetahuan soliciting agent, maka principal atau penanggung akan tetap terikat pada kontrak tersebut, yaitu kontrak akan tetap sah meskipun keterangan dalam surat permintaan tidak benar.

Hukum kontrak menyatakan, bahwa orang yang menerima kontrak tertulis dianggap telah faham dan menyetujui isi kontrak. Jadi dalam hampir semua jurisdiksi, pemohon yng telah menerima polis berikut applikasi trlampir, wajib membaca applikasi itu dan memberitahukan kepada penanggung bila ada keterangan yang tidak benar. Kemudian penanggung akan mengumpan balik kontrak itu bila keterangan yang tidak benar itu bersifat material.

 

 

  1. Kapasitas Principal dan Agen

Kapasitas yang perlu untuk menjadi principal lain dari yang perlu untuk menjadi agen. Perbedaan ini berasal dari perbedaa peran principal dan peran agen.

  1. Kapasitas untuk menjadi principal

Seorang agen dapat diangkat untuk bertindak atas nama seseorang yang mempunyai kapasitas membuat kontrak. Principal bisa saja seseorang atau suatu organisasi berbadan hukum. Perusahaan adalah badan hukum dan oleh karena itu dapat mengangkat agen-agen. Tetapi kapasitasnya mengangkat agen-agen itu terbatas. Perusahaan dapat mengangkat agen-agen hanya untuk berbagai tujuan dalam kerangka wewenang perusahaan.

Partnership tidak dapat menjadi principal karena partnership bukan badan hukum. Agen partnership sebenarnya adalah agen masing-masing pihak yang membentuk partnership itu.

Orang yang tanpa kapasitas membuat kontrak tidak dapat menjadi principal. Orang yang tidak bercompetent tidak dapat menghilangkan incapacity-nya maupun yang memperluas kapasitas yang terbatas, dengan jalan mengangkat orang lain yang mempunyai contractual capacity untuk bertindak sebagai agen. Kasus-kasus modern berpegang bahwa minor dapat mengadakan kontrak lewat agen untuk kebutuhan yang tergolong necessaries. Kontrak-kontrak lain yang dibuat oleh minor lewat agen akan dapat dibatalkan oleh minor itu sendiri.

Orang yang berpikiran goyah tidak mempunyai contractual capacity dilarang mengangkat agen. Orang yang mabuk berat hingga pikiran warasnya mengambang tidak dapat mengangkat agen, tetapi orang tersebut dapat mengangkat agen bila telah pulih menjadi waras.

  1. Kapasitas menjadi Agen

Hampir setiap orang dapat menjadi agen. Tidak perlu agen itu harus mempunyai contractual capacity karena kontrak yang dibuat oleh agen adalah kontrak principal. Itulah sebabnya mengapa minor, orang berpikiran goyah, atau orang yang terpengaruh minuman keras dan obat masih tetap dapat menjadi agen bila masih mampu memahami dan mengutarakan buah pikiran. Kontak yang diselesaikan oleh minor yang menjadi agen atas nama principal yang mempunyai contractual capacity tidak dapat dibatalkan oleh principal hanya dengan alasan agen itu masih minor.

Partnership dan perusahaan dapat juga bertindak sebagai agen. Ketentuan umum yang berlaku atas keagenan tetap berlaku apakah agen itu orang, partnership atau perusahaan.

Hukum mengharuskan agen mempunyai lisensi, maka agen dilarang bertindak tanpa lisensi. Agen asuransi dan real estate serta broker, attoner-at-law, serta agen-agen lain yang kegiatannya mencangkup umum harus mempunyai lisensi lebih dulu baru dapat mewakili pihak lain.

Menurut Fuady (1999:176) seperti yang dikutipnya dari pendapat Fox, Jr. William F (1992:72) bahwa hubungan bisnis dengan menggunakan kontrak agency dengan prinsipal terjadi dengan mana agen menawarkan produk milik prinsipal kepada para pembeli, menawarkan sampel-sampel produk dan mencari calon pembeli potensial.

Fuady (1990:176) menyatakan lebih lanjut bahwa ada perbedaan antara kontrak distribusi, pada agency, agen tidak menjual dan tidak menandatangani perjanjian jual beli dengan pihak ketiga tersebut. Perjanjian jual beli adalah langsung antara penjual dan pembelinya. Pihak agen hanya mendapat “komisi agen”, yang biasanya merupakan presentase tertentu dari harga penjualan. Fuady juga mengemukakan diantara karakteristik dan kontrol agency adalah sebagai berikut :

  1. Agen tidak bertanggung jawab secara langsung kepada pembeli, tetapi yang bertanggung jawab adalah pihak penjual
  2. Seringkali agen dibatasi untuk teritori
  3. Jangka waktu kontrak keagenan relatif singkat
  4. Asal kepemilikan terhadap produk berpindah langsung pada pihak pembeli.
  5. Merek dan logo tidak disediakan oleh agen.

Pengaturan Naskah Keagenan (skripsi, tesis, disertasi)

 

Fuady (1997:156-157) mengungkapkan bahwa di Indonesia masalah Keagenan pada prinsipnya diatur didalam (1) Peraturan Perundang-undangan, dan dalam (2) Kebiasaan Bisnis.

Ad. 1.   Pengaturan dalam Peraturan Perundang-undangan

Pengaturan masalah Keagenan dalam peraturan perundang-undangan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Yakni secara langsung mengatur masalah Keagenan yang pengatirannya tentang prinsip “Kebebasan Berkontrak”. Karena para pihak yang terlibat dalam masalah Keagenan ini menginginkan hubungan diantara mereka biasanya diatur dalam suatu kontrak keagenan, maka ketentuan hukum kontrak yang terdapat dalam KUH Perdata (Buku Ketiga) khususnya Pasal 1338 Ayat 1, termasuk prinsip kebebasan berkontrak berlaku terhadap masalah Keagenan.

  1. Pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

Dalam KUH Dagang ada pengaturan yang berkaitan dengan masalah Keagenan, yaitu pengaturan tentang “makelar” (Vide Pasal 62 sampai dengan Pasal 73).

  1. Pengaturan Administratif

Selain dalam Kitab Undang-undang, masalah keagenan diatur juga dalam peraturan-peraturan pelaksanaan. Yang terpenting di antaranya adalah Keputusan Menteri Perindustrian Republik Indonesia tentang Keagenan Tunggal Nomor 295/M/SK/1982, tanggal 7 Juli 1982. Yang antara lain isinya tentang :

  1. Ketentuan Umum
  2. Maksud dan tujuan keagenan institusi kegenan
  3. Status dari keagenan
  4. Hak dan kewajiban prinsipal
  5. Hak dan kewajiban agen tunggal
  6. Perjanjian keagenan tunggal
  7. Berakhirnya perjanjian keagenan tunggal.
  8. Pencatatan dan izin keagenan tunggal (dari Menteri Perindustrian)
  9. Penyelesaian sengketa (lewat BANI)
  10. Aturan peralihan dan penutup

Ad. 2.   Pengaturan Dalam Kebiasaan Berbisnis

Sebagaimana diketahui bahwa kontruksi hukum keagenan ini sudah sangat luas dipakai dimana-mana dalam perdagangan, baik yang berskala nasional maupun internasional. Karena itu ketentuan-ketentuan dalam kebiasaan berbisnis (trade usage) juga sudah brkembang sangat pesat. Secara yuridis, ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan tersebut dapat merupakan dasar hukum sekaligus merupakan “hukum pengisi” terhadap hal-hal yang belum diatur secara tertulis.

Perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isiny ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai Pasal 1338 KUH Perdata.

Sesuai dengan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan sesuai dengan itikad baik (goteede trow, bonafide). Rumusan dari Pasal 1338 ayat 3 tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh “kesepakatan” dari Pasal 1320 tersebut.

Dengan demikian, dapat saja suatu kontrak dibaut secara sah, dalam memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata) dan karenanya kontrak tersebut dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dlam pelaksanaanya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan salah satu pihak atu merugikan pihak ketiga. Dalam hal ini dapat dikatakanbahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertetanangan dengan itikad baik.

Wery (1990:8-9) dijelaskan arti istilah “pelaksanaan denagan itikad baik” (Uitvoering te goteede trouw) bahwa di seluruh dunia pengertiannya masih tetap sama seperti dua ribu tahun yang lalu sebagaimana dalam hukum Romawi, dimana itikad baik disebut bonafide, artinya ialah bahwa kedua belah pihak harus berperilaku yang satu terhadap yang lainnya sebagaimana antara orang-orang sopan, tanpa tipu-tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain, dengan melihat kepentingan sendiri saja, demikian juga Hoge Raad, Belanda dalam putusannya tanggal 9 Januari 1923, dimuat dalam majalah (Nederlandse Jurisprudentie) (NJ) 1923, hal 676 merumuskannya sebagai berikut :

Perjanjian harus dilaksanakan “Volagens de eisen Van Redelijkheid en bilijkheid”. Diterjemahkan dengan :”Menurut syarat-syarat dari Budi dan kepatutan.” Akan tetapi ada berbagai terjemahan lain dari “Redelijkeid en billijkheid”, antara lain “Kepatutan dan Keadilan”.

Redelijk ialah yang dapat dimengerti, denagan akal sehat, dengan budi. Daldam bnhasa Inggris, Reasonable; bahasa Perancis; Raisonnable; Jerman; Verniinfrig.

Billijk ialah yang dapat dirasakan sebagai sopan, sebagai patuh dan adil. Disini bukan intelek tapi perasaan yang penting.

Perumusan “menurut Redelijkheid dan billijkheid” meliputi semua yang dapat ditangkap baik dengan intelek maupun dengan perasaan.

Ajaran ini berarti bahwa menurut Pasal 1338 ayat 3 maka tingkah laku para pihak pada pelaksanaan perjanjiannya harus diuji atas daar norma-norma obyektif yang tidak tertulis. Pasal 1338 menunjuk kepada norma-norma tak tertulis, yang karena petunjuk itu sudah menjadi norma-norma hukum tersendiri. Dan norma-norma itu disebut obyektif, sebab tidak penting, apakah tingkah laku para pihak adalah sesuai denagan itikad baik menurut anggapan para pihak sendiri, melainkan tingkh lakunya harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik itu.

Wery (1990: 10-12) menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) fungsi-fungsi itikad baik yaitu :

  1. Fungsi pertama adalah fungsi penambah (aanvullende werking van de goede trouw). Tentang adanya fungsi ini tidak ada perselisihan : baik menurut pendapat ahli hukum maupun menurut yurisprudensi. Maka itikad baik dapat menambah isinya suatu perjanjian tertentu, dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu.
  2. Fungsi kedua adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de goede trouw). Bahwa suatu perjanjian tertentu atau suatu syarat dalam perjanjian tertentu atau pada suatu ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, dapat dikesampingkan, disingkirkan, kalau sejak membuat perjanjian itu keadaan sudah berubah sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan menurut apa yang tertulis dalam perjanjian atau dalam Undang-undang dianggap tidak adil lagi. Jadi dalam situasi itu kewajiban-kewajiban kontrak dan dapat dibatasi, malahan diadakan seluruhnya, atas dasar itikad baik.

Keadaan hukum tentang itikad baik diatas adalah gambaran sebelum Perang Dunia II. Sedangkan Wery (1990: 11-12) mengungkapkan bahwa Hoge Raad menolak pendirian itu dengan keras : hanya kalau ada keadaan memaksa (overmachth), debitur tidak usah lagi memenuhi kewajibannya. Dalam pendirian Hoge Raad Overmacth adalah kekecualian saja, karena diatur dalam Undang-undang. Kalau tidak ada overmacth debitur tidak pernah dapat dibebaskan dari perikatannya. Pendirian ini dikemukakan tidak pernah dapat dibebaskan dari perikatannya. Pendirin ini dikemukakan dalam dua putusan termasyhur yang berikut :

  1. HR 8 Januari 1926 NJ hal. 23

Keputusan ini seperti yang dikutip oleh Wery dari argumen Hoge Raad ialah Pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang-undang, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam kata Romawi : pada saat servanda (janji harus dipenuhi). Kesetiaan terhadap janji adalah dasar hukum terpenting untuk Hoge Raad pada waktu itu.

  1. HR 2 : Januari 1931 NH Hal. 274 (Mark = mark)

Perkara ini persoalan ialah apakah suatu ketentuan Undang-undang yang tidak memaksa dapat disingkirkan dalam keadaan tertentu atas dasar itikad baik. Hoge Raad putuskan : tidak bisa. Hl yang berkaitan di dalamnya yaitu pada Pasal 1756 BW (Indonesia) yang menentukan bahwa uang yang tumbuh karena peminjaman uang, hanya terdiri dari jumlah uang yang ditegaskan dalam perjanjian in case 125 ribu mark (Putusan yang berkaitan dengan suatu perseoran Belanda yang telah meminjam sejumlah uang Jerman, yaitu 125 ribu mark). Hoge Raad menimbang selanjutnya bahwa Pasal itu tidak bersifat memaksa, jadi para pihak boleh menyimpang dalam perjanjiannya, akan tetapi kalau klause penyimpangannya tidak dibuat, penyimpangannya tidak dapat didasarkan atas itikad baik. Argumen adalah bahwa hakim tidak diperkenankan menilai isi dari keadilan Undang-undang (Lihat Pasal 23 AB : Ind).

Wery (1990:12) menyatakan lebih lanjut dalam uraian terakhirnya, yakni tentang keadaan hukum sebelum perang dengan menegaskan bahwa pada akhir itu, baik menurut doktrin maupun menurut yurisprudensi, norma-norma itikad baik hanya berlaku dalam situasi yang dimaksud dalamPasal 1338 ayat 3 BW. Jadi hnya pada pelaksanaan suatu perjanjian obligator, ialah dalam suatu hubungan hukum (perikatan), kontraktuil, dalam hubungan hukum lain.

Setelah Perang Dunia II, terjadi perkembangan hukum tentang itikad baik dan Wery (1990:13) memaparkan dalam masa modern dan 2 (dua) perkembangan penting di lapangan itikad baik.

  1. Yang pertama mengenai fungsi membatasi dan meniadakan
  2. Yang kedua mengenai itikad baik sebagai asas hukum umum, juga di luar hubungan hukum kontraktuil.

Fungsi pertama yaitu membatasi dan meniadakan juga dimuat dalam BW baru. Fungsi membatasi dan meniadakan, tidak boleh dijalnkan begitu saja tetapi hanya kalau ada aksen-aksen mat penting (llee in sprekende gevalen). Baik Hoge Raad maupun BW mengizinkan pembatasan perjanjian hanya dalam kasus-kasus tertentu yang dalam pelaksanaannya dpat diterima karena tidak adil. Hal ini disebabkan karena fungsi membatasi merupakan kekecualian atas asas hukum yang penting sekali, yaitu pacta sunt serwanda.

Wery (1990:13) menyatakan ada 4 (empat) putusan mengenai fungsi membatasi ini, yaitu :

  1. HR 19 Mei 1967 No. 261 (Saladin/HBU).
  2. HR 20 Februari 1967 NJ No. 486 (Pseduo – Vogelpest)
  3. HR 16 Januari 1981 NJ No. 312 (Overbedeling)
  4. HR 29 April 1983 NJ No. 627 (Sperry Rand)

(Pada putusan ini diungkapkan bahwa menurut Hakim Agung Belanda maka hukum tak tertulis dari itikad baik lebih tinggi derajatnya daripada hukum tertulis yang bersifat memaksa).

Pasal 248 6 BW baru memuat yurisprudensi mengenai fungsi membtasi yang diuraikan tadi akan disahkan dalam BW Baru. Pasal tentang itikad baik pada pelaksanaan suatu perjanjian obligator – jadi Pasal yang menggantikan Pasal 1374 ayat 3 BW Ned (Pasal 1338 ayat 3 BW Ind) ialah Pasal 248 Buku 6 (Buku ini mengenai hukum perikatan pada umumnya). Fungsi menambah dimuat dalam Ayat 1, fungsi membatasi dalam Ayat 2, yang berbunyi :

“Suatu aturan yang berlaku antara para pihak atas dasar suatu perjajian, tidak diterapkan kalau dalam keadaan tertentu penerapan itu tidak dapat diterima menurut ukuran-ukuran dari budi dan kepatutan”.

Kata “aturan” (bahasa Belanda : “Regel”) dalam ketentuan ini, meliputi lebih bak pada aturan dalam perjanjian maupun aturan dalam Undang-undang dan pada baik aturan perundang-undangan yang tidak memaksa maupun yang memaksa.

Kata-kata “tidak dapat diterima” (“Onaanvaardbaar”) berarti menurut sejarah parlementer, bahwa ketentuan ini hanya boleh diterapkan secara terbatas (“met terughoud endheid”), jadi hanya bila ada alasan-alasan amat penting.

Perkembangan itikad baik sebagai asas hukum umum oleh Wery (1990:15) pada veramahnya tentang Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Nederland menurut Pasal 1338 yat 3 BW hanya berlaku pada pelaksanaan suatu perjanjian jadi hanya dalam hubungan-huungan kontraktuil saja. Maka setelh perang Hoge Raad lambat laun meluaskan berlakunya itikad baik kekapda lapangan-lapangan hukum lin. Pendapat Hoge Raad seperti yang diulas leh Wery (1990:15) bahwa suatu hubungan hukum tertentu yang bukan kontraktuil juga dikuasai oleh itikad baik. Itu terjadi step by step dan kondisi sekarang setelah perang dapat dipertahankan bahwa Hoge Raad menganggap itikad baik sebagai suatu asas hukum umum yang menguasai semua hubungan hukum Wery menyebutnya putusan-putusan yang terpenting dan peraturan hal ini dalam BW baru, sebagai berikut :

  1. Hubungan Hukum Prakontraktuil

Bilamana dua pihak sedang berunding untuk membuat perjanjian, maka timbul antara mereka, menurut Hoge Raad, seperti yang dikutip oleh Wery (1990:15), suatu hubungan hukum khusus, yang disebut dalamputusan HR 15 November 1957 NJ 1958 No. 67 dan kemudian dijelaskan dalam beberapa putusan lain. Akibat lain daripada adanya hubungan hukum prekontraktuil ialah bahwa kadang-kadang perundingan-perundingan tidak boleh dipotong (diputuskan) begitu saja. Arrest prinsipil dalam hal ini adalah :

  • HR 18 Juni 1982 NJ No. 723 (Plas/Valburg)
  1. Hubungan Hukum antara Para Ahli Waris

Tidak ada keraguan bahwa antara ahli waris ada hubungan hukum, tetapi hubungan hukum ini tidak bersifat kontraktuil. Namun demikian Hoge Raad sudah dalam putusannya tentng 20 Desember 1946 NJ 1947 No. 59 seperti yang dikutip kembali oleh Wery (1990 : 16) mengemukakan bahwa hubungan hukum ini juga dikuasai itikad baik. Ajaran ini diulang antara lain dalam peraturan : HR 12 Mei 1972 NJ 1973 No. 53 (Warisan van de Dory) HR 9 Mei 1980 No. 1981 No. 283 (Rumah Pelukis), yang memakai istilah “Kepentingan Khusus” (“bijzonder belang”).

  1. Hubungan Hukum antara Bekas Suami Istri

Dalam putusannya tentang 9 Mei 1952 NJ 1953 No. 536 Hoge Raad seperti yang dikutip oleh Wery (1990 : 17) berbicara tentang “asas-asas itikad baik dan kepatuhan yang juga menentukan hubungan hukum antara para peserta dalam gabugan harta perkawinan yang dibubarkan (“de beginselen van goede trouw en billijkheid, die de rechtsverhouding tussen de deelgenotn in de Outbonden huwalijksgemeeschap mede bepalen), kemudian diputuskan dalam putusan-putusan lain bhwa itikad baik juga berlaku antara bekas suami istri yang kawin tanpa gabungan harta-harta bersama. Putusan akhir dalam hal ini ialah :

  • HK 12 Juni 1987 dan 1988 No. 150 (Kriek/Smit)
  1. Peraturan Dalam BW

Arti dasar Yurisprudensi yang diuraikan oleh Wery (1990:17-18) dapat dipertahankan bahwa ia juga berpendapat bahwa kini dalam hukum perdata Belanda itikad baik sudah menjadi asas hukum umum yang menguasai segala hubungan hukum, namun asas hukum itu tidak dimuat secara tegas dalam BW. Akan tetapi ada banyak ketentuan yang bersama-sama menimbulkan gambaran asas hukum umum tersebut. Sekurang-kurangnya menurut hukum BW itikad baik dengan fungsi-fungsi penambahan dan membatasi bentuk antara lain :

  • Untuk perjanjian-perjanjian dalam arti sempit (perjanjian-perjanjian obligator); Pasal 246 buku 6, yang sudah disebut tadi.
  • Sosok pembuatan-pembuatan hukum ke harta bendaan lain yang bersegi banyak (”andree meerzijdige vermogensrechtelijke rechtshandelingen”), jadi perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst”), jadi perjanjian kebendaan (zakelijke overeekomst), perjanjian kawin (huwelijkse voorwaarden), perjanjian perceraian (ecotscheidingsconvenant) dan perjanjian-perjanjian ijin dalamarti luas ; Pasal 216 buku 6.
  • Untuk tiap-tiap perikatan, jadi juga perikatan yang tidak dilahirkan dari perjanjian, Pasal 2 Buku 6.
  • Untuk hubungan-hubungan hukum antara para peserta dalam suatu gabungan harta bersama (tusen de deelgenoten in een goederegemeenschap); Pasal 166 ayat 3 buku 3.
  • Untuk hubungan-hubungan hukum dalam organisasi dari suatu badan hukum, misalnya untuk para anggota atau persero, para pengurus atau komisaris; Pasal 7 buku 2 , yang sudah berlaku sejak 1976.

Agen Dalam Asuransi Jiwa (skripsi, tesis, disertasi)

Menurut Fuady (1997:155-156) dalam praktik ada dua macam keagenan, yaitu apa yang dapat disebut sebagai agen institusional dan agen insidental. Yang dimaksud dengan agen institusional adalah seorang atau sebuah perusahaan yang memang bertugas semata-mata untuk menjadi agen dari pihak lain. Misalnya suatu perusahaan nasional menjadi agennya perusahaan asing untui memasarkan produk-produk perusahaan asing di dalamNegeri. Dalam hal-hal tertentu, seperti agen untuk barang-barang industri tertentu, seperti untuk keagenan jenis barang kendaraan bermotor, alat-alat berat, alat-alat elektronik atau alat-alat listrik keperluan rumah tagga, dimana prinsipalnya adalah pihak asing, sementara agennya adalah pihak nasional, haruslah berbentuk agen tunggal (solo agency) dan harus didaftarkan di departemen Perindustrian. Lihat misalnya Keputusan Menteri Perindustrian No. 295/M/1982 tanggal 7 Juli 1982. Sementara itu, untuk keagenan jenis-jenis barang lainnya pendaftarannya dilakukan di Departemen Perdagangan. Perdagangan di Departemen Perdagangan ini hanya bersifat Voluntir, kecuali keagenan atas barang-barang tertentu, seperti keagenan untuk pupuk produksi luar negeri, yang harus didaftarkan di Departemen Perdagangan, dan harus dengan memakai pola keagenan tunggal. Lihat misalnya Keputusan Menteri Perdagangan No. 66/RP/III/73, tentang Keagenen Tunggal pupuk Produksi Luar Negeri. Contoh keagenen institusional lainnya adalah agen saham di pasar modal, atau yang lebih populer dengan sebutang “pialang”. Contoh lain adalah agen penjualan tikiet pesawat terbang atau kapal laut. Adapun yang dimaksud dengan “Agen Tunggal” (Solo Agency) adalah agen da hanya satu agen yang ditunjuk oleh prinsipal untuk suatu wilayah tertentu. Dalam wilayah tersebut sepanjang untuk produk yang sama prinsipalnya tidak boleh menunjuk agen lain. Disamping itu, yang dimaksud dengan agen insidental adalah agen yang semata-matabertugas atau mempunyai bisnis tidak semata-mata dibilang keagenan. Misalnya dalmhal adanya sindikasi kredit dianatra beberapa bank anggota sindikasi, ditunjuk sebuah bank untuk menjadi agen sindikasi yang disebut juga sebagai “Lead Syndication”. Bank ini nasibnya akan menjadi agen (in cash agen insidental) yang akan mewakili dan bertindak untuk dan atas nama seluruh bank anggota sindikasi lainnya.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Rancangan Undang-undang Perasuransian, definisi agen asuransi tercantum pada Pasal 1 Ayat 10 yaitu :

“Agen asuransi adalah seseorang atau Badan Hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama Penanggung.

Fungsi Polis (skripsi, tesis, disertasi)

Polis berfungsi sebagai alat bagi Tertanggung yang penerbitannya dikeluarkan oleh Penanggung. Oleh karen itu, apabila Polis belum dikeluarkan /diterbitkan maka pembuktinnya dengan Ketentuan Pasal 258 Ayat 1 dan 2 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) yang berbunyi :

“Untuk membuktikan hal ditutupinya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dengan tulisan. Namun demikian bolehlah ketetapan-ketetapan dan syarat-syarat khusus, apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan Polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti, tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan Undang-undang atas ancaman-ancaman batal, diharuskan dibuktikn dengan tulisan”.

Pembuktin sesudah/diterbitkan Polis tetap bermula dengan suatu tulisan (dalam hal ini yang dimaksud adalah Polis). Dalam praktek hal ini dapat terjadi, dimulai pada saat Tertanggung mengajukan permintaan menjadi nasabah dan ditambah dengan Polis itu sendiri yang akhirnya keduanya merupakan suatu alat bukti yang lengkap dalam satu kesatun. Yang dimaksud satu kesatuan disini ialah surat permintaan pernyataan menjadi nasabah yang ditandatangani oleh calon nasabah dengan Polis yang dikeluarkan oleh Penanggung dan ditandatangani oleh Penanggung.

Polis hanya mempunyai kekuatan pembuktian bagi Tertanggung sedangkan Penanggung tidak dapat mengajukan Polis sebagai alat bukti surat terhadap Tertanggung. Untuk alat bukti tertulis dari Penanggung terhadap Tertanggung ialah dengan surat atau permintaan menjadi nasabah (yang dilekatkan satu dengan Polis) dan disimpulkan bahwa menjadi alat bukti yang lengkap bagi suatu perjanjian pertanggungan (Hartono, 1997:132-134)

  1. Evenement dan Santunan
    1. Evenement dan Asuransi Jiwa

Pasal 304 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) yang mengatur teteng isi Polis tidak ada ketentuan keharusan mencantumkan evenemen dalam Polis asuransi jiwa. Berbeda dengan asuransi kerugian. Pasal 256 ayat (1) KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) mengenai isi Polis pegharusan pencantuman bahaya-bahaya yang menjadi beban Penanggung. Mengapa tidak ada keharusan yang menjadi beban Penanggung dalamproses asuransi jiwa? Dalam asuransi jiwa, yang dimaksud dengan bahaya adalah meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk benyawa pasti mengalami kematian, tetapi meninggalnya seseorang tidak dapat dipastikan. Inilah yang disebut peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam asuransi jiwa. Evenemen ini hanya satu yaitu ketidakpastian kapan meninggalnya seseorang, sebagai salah satu unsur yang dinyatakan dalam definisi asuransi jiwa. Karena evenemen itu hanya satu maka tidak perlu dicantumkan dalam Polis. Ketidakpastian kapan meninggalnya seseorang Tertanggung atau orang yang jiwanya diasuransikan merupakan risiko yang menjadi bban Penanggung dalam asuransi jiwa. Evenemen meninggalnya Tertanggung itu bersisi dua, yaitu meninggalnya itu benar-benar terjadi dalam waktu asuransi, dan benar-benar tidak terjadi sampai jangka waktu berakhir, kedua-duanya menjadi beban penanggung.

  1. Uang Santunan dan Pengembalian

Uang santunan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar kepada penikmat (ahli waris) dalam hal meninggalnya Tertanggung sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam Polis yang ditunjuk oleh Tertanggung atau orang yang menjadi ahli warisnya sebagai yang berhak menerima dan menikmati santunan sejumlah uang yang dibayar oleh Penanggung. Pembayaran santunan merupakan akibat terjadinya peristiwa yaitu meninggalnya Tertanggung dalam jangka waktu berlaku asuransi jiwa, tetapi apabila sampai berikutnya jangka waktu asuranai jiwa tidak terjadi peristiwa meninggalnya Tertanggung maka Tertanggung sebagai pihak dalam asuransi jiwa berhak memperoleh sejumlah uang dari Penangung yang jumlahnya telah ditetapkan berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan asuransi kerugian.

Pada asuransi kerugian apabila asuransi berakhir tanpa terjadi evenemen, premi tetap menjadi hak Penanggung sedangkan dalam asuransi jiwa premi yang telah diterima Penanggung diangap sebagai tabungan yang dikembalikan kepada penabungnya yaitu Tertanggung (Muhammmad, 1999:174-175).

  1. Asuransi Jiwa Berakhir
  1. Karena Jangka Waktu Berakhir

Asuransi jiwa satu-satunya evenemen yang menjadi beban risiko Penanggung adalah meningalnya Tertanggung. Terkadang evenemen inilah diadakan asuransi jiwa antara Tertanggung dan Penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya Tertanggung maka Penanggung berkewajiban membayar uang santunan kepada penikmat yang ditunjuk oleh Penanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak Penanggung melunasi yang santunan tersebut sejak itu pula asuransi jiwa brbalik (Muhammad, 1999:175).

Menurut hukum perjanjian suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang mengajukan klaim apabila prestasi masing-masing pihak telah dipenuhi, karena asuransi jiwa adalah perjanjian maka asuransi jiwa berakhir sejak Penanggung melunasi uang santunan sebagai akibat dari meninggalnya Tertanggung. Dengan kata lain asuransi jiwa berakhir sejak terjadi evenemen yang diikuti dengan pelunasan klaim.

Muhammad (1999:175-176) mengungkapkan bahwa apabila jangka waktu berlaku asuransi jiwa itu habis tanpa terjadi evenemen, maka beban Penanggung akan mengembalikan sejumlah uang kepada Tertanggung. Dengan kata lain asuransi jiwa berakhir sejak waktu berlaku asuransi habis diikuti dengan pengembalian sejumlah uang kepada Tertanggung.

  1. Karena Asuransi Gugur

Menurut ketentuan Pasal 306 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

“Apabila orang yang diasuransikan pada saat diadakan asuransi ternyata sudah meninggal, maka asuransinya gugur, meskipun Tertanggung tidak mengetahui kematian tersebut kecuali jika diperjanjikan lain”.

Kata-kata bagian akhir Pasal ini “Kecuali diperjanjikan lain” memberikan peluang pada pihak-pihak untuk memperjanjikan menyimpang dari Pasal ini, misalnya asuransi jiwa yang diadakan itu tetap dinyatakan sah asalkan Tertanggung betul-betul tidak mengetahui meninggalnya itu. Apabila asuransi jiwa itu gugur, bagaimana dengan premi yang sudah dibayar karena Penanggung sudah tidak menjalani risiko? Hal inipun diserahkan kepada pihak-pihak untuk memperjanjikannya.

Pasal 307 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) ditentukan,

“Apabila orang yang mengasuransikan jiwanya bunuh diri, maka asuransinya itu gugur”.

Menurut Purwosutjipto, seperti yang dikutip oleh Muhammad (1999:176), penyimpangan dari ketentuan itu masih mungkin, sebab kebanyakan asuransi jiwa ditutup dengan sebuah klausula yang memperbolehkan Penanggung melakukan prestasinya dalam hal ada peristiwa bunuh diri dari Tertanggung asalkan peristiwa itu terjadi sesudah lampau waktu dua tahun sejak diadakan asuransi.

  1. Pinjaman Polis

Pemegang Polis asuransi jiwa yang sudah mempunyai nilai tunai dapat memperoleh uang dengan menggunakan polis itu. Ini dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, pemegang polis menggadaikan polisnya pada bank atau lembaga pemberi pinjaman sebagai agunan pinjaman. Atau pemegang polis dapat meminta uang muka tunai dari penanggung menurut ketentuan pinjaman dalam Polis.

Pinjaman polis mula-mula disediakan oleh para penanggung secara sukarela. Waktu dulu itu, belum ada hukum yang mengharuskan pinjaman polis. Pinjaman premi otomatis, atau praktek seperti, sudah berlaku sejak 1845, dan sudah umum dalam tahun-tahun 1980n. jadi, pinjaman-pinjaman polis terdahulu dilakukan agar Polis tetap berlaku. Memang, ini menguntungkan baik pemegang polis tetap berlaku. Memang, ini menguntungkan baik pemegang polis maupun pnanggung.kemudian, privilage pinjaman polis itu diperluas agar pemegang polis dapat menerima uang tunai dari penanggung.

  1. Pinjaman Polis dibanding Pinjaman Sesungguhnya

Istilah pinjaman polis itu salah kaprah. Pinjaman polis itu bukan pinjaman sesungguhnya. Pinjaman diartikan sebagai transfer uang oleh seseorang, yaitu kreditur, kepada orang lainb, yaitu debitur, berdasarkan perjanjian bahwa debitur akan mengembalikan kepada kreditur uang yanbg setara kemudian hari (biasanya plus bunga). Pinjaman polis lain dari pinjaman sesungguhnya karena pemegang polis tidak berjanji mengembalikan uang yang ditransfer oleh Penanggung. Malah pinjaman polis itu lebih berarti uang muka dari sejumlah uang yang nanti harus dibayarkan oleh penanggung menurut Polis itu. Jadi, pinjaman polis tidak menyebabkan hubungan kreditur-kreditur antara pemegang polis dan penanggung.

Dalam salah satu vonis pengadilan terkemuka yang menyangkut pinjaman polis. Hakim Agung Oliver Wendell Holmes mengatakan :

Yang disebut liability (tanggungan) pemegang polis tidak pernah ada sebagai liability pribadi, tidak pernah berupa hutang, tetapi hanya potongan dalam perhitungan dari uang yang nantinya harus dibyarkan oleh penuntut (penanggung).

Polis contoh pada Lampiran diatas menentukan bahwa “Polis ini adalah satu-satunya agunan untuk pinjaman apapun”. Penanggung harus membayarkan uang tunai polis tiu kepada pmegang polis atas permintaan. Karena penanggung brhak memotong pinjaman polis brikut tabungannya dari uang tunai polis itu, maka penanggung terjamin 100 % terhadap kerugian bila pinjaman berikut bunganya dapat dipotong dari proceeds setelah tertanggung meninggal, maka penanggung pun terjamin pula 100% bila pinjaman itu tidak dilunasi bila btertanggung meninggal. Inilah alasanya mengapa pinjaman dan bunganya tidak harus dilnuasi. Ini sejalan dengan pandangan bahwa pinjaman polis itu bukan pinjaman sebenarnya, malah lebih tepat sebagai uang muka yang nantinya harus dibayarkan penanggung.

Meskipun istilah pinjaman polis itu, salah kaprah, namun itulah istilah yang sudah lama digunakan oleh seluruh industri asuransi. Oleh karena itulah maka istilah itu digunakan dalam buku ini.

  1. Pinjaman Premi dan Pinjaman Tunai

Pinjaman polis ada dua macam pinjaman premi dan pinjaman tunai., pinjaman premi adalah uang muka dari nilai tunai polis yang diberikan pada pmegang polis untuk pembayaran premi.pinjaman premi otomatis juga uang muka menurut klausula polis yang menetapkan bahwa bila pemegang polis menunggak premi setelah grace period berakhir, mka jumlah premi tertunggak itu otomatis diberikan untuk membayar premi bila nilai tunai polis masih cukup. Polis contoh pada lampiran diatas menentukan seperti ini:

  1. Pinjaman Premi Otomatis

Ketentuan ini baru berlaku bila anda mencantumkannya dalam aplikasi atau surat permohonan tersendiri saat premi tidak ada yang tertunggak setelah grace period. Anda dapat membatalkanya ketentuan ini dengan surat permohonan tersendiri pula.

Bila ketentuan ini berlaku, maka premi yang tertunggak setelah grace period habis akan dilunasi dengan pinjaman otomatis ini. Kami dapat mengubah frekuensi pembayaran premi agar jarak antara tanggal jatuh tmpo premi menjadi tiga, enam atau dua belas setelah premi pertama yang dilunasi dengan permohonan premi otomatis itu. Bila nilai pinjaman polis ini tidak cukup membayar premi yang tertunggak, maka Pilihan Santunan Nonforfeiture yang akan diterapkan. Setiap pinjaman otomatis harus menurut ketentuan pinjaman Polis.

Ketentuan pinjaman otomatis biasanya tidak diharuskan oleh hukum, tetapi hampir semua penanggung mencantumkan ketentuan itu dalam polisnya, untuk mencegah polis menjadi lapse.

Pinjaman tunai, atau sering juga disebut pinjaman diminta (request loan), adalah uang tunai dari penanggung kepada pemegang polis untuk digunakan menurut keinginannya. Biasanya, bila orang bicara soal “pinjaman polis” yang dimaksud ialah pinjaman tunai. Namun, pinjaman premi juga tergolong pinjaman polis. Pinjamn premi dan pinjaman polis sama-sama uang yang diambil dari nilai

tunai yang itu-itu juga, bunganya juga sama, dan agunannya juga sama, polis itu. Perhatikan bahwa polis contoh yang dikutip diatas menyatakan bahwa pinjaman premi otomatis “harus menurut persyaratan Pinjama Polis”. Ketentuan polis yang mengizinkan pinjaman polis bila polis mempunyai nilai tunai yang diharuskan di negara-negara bagian tempat perusahaan-perusahaan asuransi besar berdomisili. Jadi ketentuan pinjaman polis akan dapat terlihat dalam hampir semua polis nilai tunai.

  1. Besarnya Pinjaman Polis

Polis contoh dalam lampiran diatas menyatakan sebagai berikut:

Anda memperoleh pinjaman dari kami bilamana polis ini mempunyai nilai pinjaman. Nilai pinjaman ialah jumlah uang yang tercantum (dalam polis) yang dihitung sampai tanggal jatuh tempo premi berikutnya, atau sampai ulang tahun berikutnya pinjaman itu bila tidak lagi premi yang harus dibayar, akan sama dengan nilai tunai pada tanggal atau ulang tahun itu. Setiap premi yang jatuh tempo dan belum bebas premi saat pinjaman dibuat akan dipotong dari proceeds pinjaman itu.

Besarnya pinjaman polis yang dapat diperoleh dari penanggung selalu berubah menurut waktu. Misalnya, pada akhir tahun ketiga polis itu, polois contoh itu sudah mempunyai nilai atau nilai pinjaman sebesar $ 1,713.50. Pada akhir tahun kelima, nilai itu sudah $ 3,178.50. Selain itu, semakin tua umur polis dalam tahun polis semakin besar uang yang tersedia, dan selain itu semakin kecil pula bunganya.

  1. Bunga Pinjaman Polis

Pemegang polis yang mendapat pinjaman polis tidak berjanji melunasi pokok maupun bunga pinjaman. Polis contoh pada Lampiran B menyatakan :

Pinjaman polis ini akan kami kenakan bunga harian dengan suku bunga yang tercantum (dalam polis). Bunga harus dibayar pada tanggal ulang tahun pinjaman. Setiap bunga yang tidak dilunasi pada tanggal jatuh tempo akan disatukan dengan pinjaman, tetapi bila bunga terus tertunggak sehingga pinjaman plus bunganya jadi lebih besar dari nilai tunai, maka polis akan mati. Polis contoh memuat klausula berikut:

Bila hutang atas Polis ini lebih besar dari jaminan nilai tunai Polis ini maka Polis ini akan berakhir. Kami akan memposkan pemberitahuan pada alamat Anda terakhir yang kami ketahui, dan pada alamat assignee yang telah didaftarkan pada kami, selambat-lambatnya 31 hari sebelum matinya polis itu.

Dengan kalimat lain, bunganya harus ditanggung, tetapi tidak harus dibayar. Bila pada suatu saat, seluruh pinjaman plus bunganya yang tertunggak sudah lebih besar dari nilai pinjaman maksimum, maka paling-paling polis dinyatakan mati saja.

Penanggung harus mengenakan bunga atas pinjaman polis. Alasan terpentingnya ialah agar penanggung menetapkan nilai polis itu berdasarkan asumsi bahwa bagian dari semua premi yang belum digunakan selama tahun-tahun permulaan polis itu akan diinvesastikan menurut projeksi suku bunga tertentu. Seandainya nilai tunai itu dibayarkan tanpa bunga pada penanggung, maka struktur rumit premi itu akan mengalami kerugian.

Suku bunga pinjaman polis itu biasanya tidak sama dengan suku bunga yang digunakan waktu menghitung nilai polis. Biasanya, suku bunga pinjaman polis itu lebih tinggi, karena penanggung bermaksud agar para pemegang polis enggan meminta pinjaman polis dan karena memproses pinjaman polis, yang umumnya berjumlah kecil-kecil itu, biayanya mahal.

Semua negara bagian mempunyai peraturan pelaksanaan yang mengatur suku bunga pinjaman polis. Hingga beberapa tahun lalu, suku bunga maximum yang paling umum diizinkan adalah delapan persen. Lalu awal 1980-an, hampir semua negara bagian memberlakukan Undang-undang suku bunga pinjaman polis variabel menurut NAIC Model Policy Loan Interest Rate Bill.

Undang-undang suku bunga pinjaman polis variabel ini diberlakukan tergesa-gesa adalah karena tingginya suku bunga yang diperoleh pemegang polis dari investasi-investasi lain pada awal 1980-an itu. Banyak pemegang polis yang mengambil pinjaman polis dengan

suku bunga yang tercantum dalam polis (hanya empat persen dalam polis-polis lama) lalu menginvestasikan pinjaman itu pada pasar modal, sertifikat deposito, dan investasi-investasi lain yang bunganya jauh lebih tinggi daripada bunga pinjaman polis, inilah yang menimbulkan masalah cash outflow pada para penanggung dan terkurasnya uang polis asuransi.

Undang-undang suku bunga pinjaman polis akan membantu mencegah masalah seperti itu di masa depan, meskipun masalah itu belum mempengaruhi suku bunga pinjaman polis yang tercantum dalam polis-polis yang sudah berjalan. Polis-polis yang diterbitkan setelag undang-undang ini diberlakukan dapat mencantumkan ketentuan bahwa suku bunga pinjaman polis akan berfluktuasi menurut indikator suku bunga lainnya. Moody’s Monthly Corporate Bond Yield Average adalah indikator yang diharuskan oleh NAIC Model Policy Loan Interest Rate Bill. Rancangan Undang-undang model ini selanjutnya mengatur bahwa “Suku maksimum untuk tiap polis harus ditetapkan secara berkala yang paling tidak tiap 12 bulan, namun jangan lebih kerap daripada sekali tiga buln.

Suku bunga variabel pinjaman polis menguntungkan para pemegng polis. Beneficiary dan penanggung. Para pemegang polis beruntung karena suku bunga pinjaman polis dapat dibuat mendekati suku bunga yang diperoleh penanggung dari berbagai investasi baru. Suku bunga pinjaman polis itu tidak harus dibuat tinggi untuk melindungi penanggung terhadap fluktuasi suku bunga. Para beneficiary beruntung karena suku bunga variabel pinjaman polis itu membuat pemegang polis enggan menguras nilai polisnya, yang sering menyebabkan polis itu lapse atau santunan kematiannya jadi berkurang. Para penanggung beruntung karena terlindung dari cash outflow besar-besaran dan tiba-tiba yang diakibatkan oleh banyaknya permintaan pinjaman polis bila suku bunga investasi-investasi baru ternyata sedang lebih tinggi dari suku bunga pinjaman polis.

  1. Endorsement

Polis asuransi jiwa itu adalah satu-satunya agunan pinjaman polis. Dulu banyak penanggung yang menharuskan polis diserahkan pada penanggung untuk pengesahan persetujuan pinjaman polis pada polis itu. Endorsement itu hanya demi kepentingan penanggung dan oleh karena itu dapat dihilangkan oleh penanggung pula. Sekarang hampir semua penanggung sudah menghilangkan keharusan endorsement itu, karena membuat pengesahan polis setiap kali pinjaman diberikan ternyata mahal dan merepotkan. Tetapi sebagian penanggung tetap berhak mengharuskan endorsement itu bila penanggung menghendakinya.

  1. Penundaan Pembayaran (Daferment)

Polis contoh pada Lampiran B menetapkan bahwa penanggung dapat menunda, atau defer, pinjaman polis sampai enam bulan. Ketentuan ini berbunyi seperti ini :

“Kami berhak menunda pinjaman Anda sampai enam bulan kecuali bila pinjaman itu akan digunakan untuk membayar premi polis yang kami terbitkan untuk anda”.

Pada ketentuan penundaan penyerahan tunai, ketentuan penundaan pinjaman polis pun juga dimaksudkan untuk melindungi perusahaan-perusahaan asuransi jiwa bila terjadi keadaan ekonomi yang tidak biasa hingga menyebabkan banyak pemegang polis yang ingin menarik pinjaman polis. Keadaan seperti itu dapat mengacaukan kestabilan keuangan perusahaan asuransi.

Ketentuan penundaan pinjaman polis itu tidak dimanfaatkan oleh Penanggung. Pinjaman Polis biasanya segera diproses. Meskipun sewaktu para pemegang polis ramai-ramai menarik pinjaman polis, seperti para awal 1980-an, para penanggung masih segan menolak menunda pinjaman.

Ketentuan penundaan pinjaman polis itu tidak berlaku pada pinjaman premi. Bahkan pinjaman premi untuk pembayaran premi polis-polis lain yang diterbitkan oleh penanggung itu tidak akan ditunda. Alasannya ialah penanggung tidak membayar pinjaman premi itu dengan uang tunai.

  1. Polis Asuransi Berjangka Diperpanjang dan Polis Bebas Premi (Extended Term and Reduced Pain – Up Policies).

Ketentuan pinjaman polis tidak brlaku pada asuransi berjangka diperpanjang (Extended term insurance). Polis contoh melarang pinjaman seperti itu sebagai berikut : “Anda tidak dapat memperoleh pinjaman bila polis ini berlaku sebagai Asuransi Berjangka Diperpanjang”. Alasannya ialah asuransi berjangka diperpanjang tidak mempunyai nilai pinjaman polis. Beberapa polis, seperti polis contoh itu, juga tidak mempunyai nilai tunai. Bila polis berjangka diperpanjang memuat ketentuan nilai tunai maka nilai itu akan terus berkurang, dan pada akhirnya tidak dapat menjadi agunan pinjaman. Apabila polis berlaku menurut pilihan asuransi bebas premi (reduced paid-up), pemegang polis dapat memperoleh pinjaman sebesar nilai tunai polis, tetapi bila penumpukan bunga menyebabkan besarnya pinjaman plus bunganya lebih besar dari nilai tunai polis, dan bunga itu belum dilunasi, maka pennggung dapat membatalkan polisnya, persis seolah-olah itu polis berpremi, menurut majoritas pengadilan.

Pinjaman polis masih belum dilunasi saat dilaksanakan pilihan-pilihan non-forfeiture, maka pinjaman itu dpat dipotong saat menghitung besarnya uang tunai untuk nilai yang harus dibayarkan, atau untuk asuransi jiwa reduced paid-up atau premi-premi asuransi brjangka diperpanjang. Polis contoh itu menentukan sebagai berikut :

Istilah “Nilai Turun” sebagai yang digunakan dalam Polis ini artinya nilai tunai yang tercantum dalam table nilai-nilai terjamin…dipotong hutang bila ada… Anda dapat menggunakan nilai tunai itu membeli polis asuransi jiwa seumur hidup dengan nilai asuransi yang berkurang.

Besarnya asuransi berjangka (diperpanjang) itu adalah Uang Yang Diasuransikan dikurangi hutang bila ada…lamanya jangka itu mulai sejak tanggal jatuh tempo premi trtunggak pertama dan akan sebesar nilai tunai yang dapat jadi premi netto tunggal pada usia tertanggung saat itu.

Besarnya pinjaman polis berikut bunganya dipotong dua kali dalam kasus asuransi brjangka diperpanjang. Pertama, dipotong dari tabel nilai terjamin untuk menetakan besarnya nilai tunai. Kedua, dipotong lagi dari Face Amount Polis untuk menetapkan besarnya. Ketiga, dipotong lagi dari face amount polis untuk menetapkan besarnya nilai asuransi berjangka diperpanjang yang masih ada. Prosedur ini adil (fair), karena nilai tunai itu dapat membeli asuransi berjangka selama kurun yang lebih panjang bila face amount dikurangi.

  1. Hak-hak Beneficiary

Revocable Beneficiary biasanya hanya untuk mempunyai harapan saja, bukan hak, menurut polis asuransi jiwa. Karena itu izin revocable beneficiary atas pinjaman polis tidak perlu. Juga tidak perlu izin revocable beneficiary bila dalam polis telah tercantum jelas bahwa pemegang polis berhak memperoleh pinjaman polis tanpa izin tersebut.

Estatenya pemegang polis tertanggung, Beneficiary tidak berhak menagih uang pinjaman polis yang dipotong (oleh penanggung) dari proceeds, menurut majoritas pengadilan. Beneficiary berhak hanya atas proceeds netto, karena itulah maksud para pihak dalam kontrak asuransi. Polis contoh menyatakan bahwa “setiap hutang akan dipotong dari setiap proceeds yang dibayarkan menurut Polis ini”.

  1. Melunasi Premi Pinjaman Polis

Pinjaman polis dapat dilunasi sebelum tertanggung meninggal bila pemegang polis mau begitu. Dalam polis contoh pada Lampiran B tercantum:

Apabila polis ini sudah berlaku dan bukan sebagai asuransi berjangka diperpanjang, maka pinjaman anda dapat dilunasi sekaligus dicicil kapan saja sebelum tertanggung meninggal. Tetapi, cicilan pelunasan harus paling tidak $20 kecuali bila sisa pinjaman kurang dari $20, yang berarti pelunasan sekaligus pinjaman itu.

Polis tersebut menyatakan pinjaman itu dapat dilunasi bukan “harus” dilunasi. Selain itu, ada dua keadaan yang membuat pinjaman itu tidak dapat dilunasi, bila tertanggung telah mninggal, atau bila polis itu polis asuransi berjangka diperpanjang. Ada penanggung yang mengizinkan pelunasan setelah tertanggung meninggal, agar seluruh proceeds dapat dibagi-bagikan menurut perjanjian pembagian proceeds menurut program pemegang polis, apabila pemegang polis tidak melunasi pinjaman, maka penanggung akan mendapat pelunasan dari satu atau dua sumber dana nilai tunai atau proceeds santunan kematian

Pertanggungan Jiwa (skripsi, tesis, disertasi)

Beberapa literatur dari Vollmer seperti yang dikutip oleh Simanjutak (975:91) bahwa pertanggungan jiwa ini termasuk ke dalam golongan yang jenisnya lain dari pada pertanggungan kerugian yaitu golongan pertanggungan yang tidak sesungguhnya atau yang disebut juga “Sommenverzekering” secara luas Sommenverzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian dimana satu pihak yang mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara sekaligus atau periodik, sedangkan pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar premi atau pembayaran uang itu adalah tergantung kepada mati atau hidupnya seseorang tertentu atau lebih salah satu dari perjanjian itu ialah apa yang disebut lijfrente di dalan KUH Perdata. Perbedaan lijfrente dari pertanggungan jiwa ialah bahwa di dalam suatu pertanggungan jiwa, premi itu dibayarkan. Tertanggung pada umumnya secara sekaligus dari Penanggung sedangkan pada lijfrente, pemberian uang yang seperti premi itu adalah sekaligus untuk dapat menerima pembayaran sejumlah uang secara periodik.

Pertanggungan jiwa dalam KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) diatur dalam Pasal 302 sampai dengan Pasal 308 yang dipertanggungkan dalam perjanjian asuransi ini adalah jiwa seseorang, yang dipertanggungkan untuk keperluan seseorang yang berkepentingan baik untuk suatu waktu tertentu yang diperjanjikan atau untuk seumur hidup Tertanggung. Asuransi jiwa yang diatur dalam Buku 1 Bab X Pasal 302 sampai 308 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) , yang terdiri hanya tujuh Pasal dan tidak satu Pasal pun yang memuat rumusan definisi asuransi jiwa.

Purwosutjipto seperti yang dikutip oleh Muhammad (1998:196) memperjelas lagi pengertian asuransi jiwa dengan mengemukakan definisi sebagai berikut :

“Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan Penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan dari selama jalannya pertanggungan, membayar uang premi kepada Penanggung, sedangkan Penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau denagan lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, pengikatan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh Penutup asuransi sebagai penikmatnya”.

Definisi Purwosutjipto yang dikutip oleh Muhammad (1999:170) agak sedikit berbeda dengan definisi yang terdapat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992. tentang Usaha Perasuransian dan Rancangan Undang-undang Perasuransian.

Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Rancangan Undang-undang Perasuransian, dengan tegas disebutkan pihak-pihak yang mengikatkan diri secara timbal balik maka disebut Penanggung dan Tertanggung. Sedangkan Purwosutjipto seperti yang dikutip oleh Muhammad (1999:170) menyebutnya Penanggung dan Penutup (pengambil) asuransi.
  2. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Rancangan Undang-undang Perasuransian, dengan tegas disebutkan, Penanggung membayarkan premi kepada Tertanggung, tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya. Kesannya hanya untuk asuransi jiwa selama hidup, tidak dimasukkan dalam jangka waktu tertentu, tetapi dalam praktiknya perbedaan tersebut dapat diatasi melalui perjanjian bebas antara kedua pihak dengan mencantumkan ketentuan tegas dalam polis.

Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi Jiwa (skripsi, tesis, disertasi)

Secara umum, sahnya suatu perjanjian diatur dan harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata (Subekti dan Tjitrosudibio, 2001:339).

Setiap perjanjian, termasuk perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut :

  1. Sepakat yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal

Berikut ini akan penulis uraikan satu persatu secara lebih rinci.

Ad 1.  Sepakat yang Mengikatkan Dirinya

Syarat ini disebut syarat subyektif karena langsung mengenai subyek pemnbuat perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpebuhi maka perjanjian dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan dari yang bersangkutan. Persetujuan kehendak adalah kesepakatan antara pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian persetujuan disini sifatnya sudah mantap.

Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela para pihak, dalam hal ini bebas berarti tiada paksaan sama sekali dari pihak manapun.

Ad.2  Kecakapan untuk Membuat Perjanjian

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan perjanjian, jika oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Jadi pada asasnya setiap orang itu cakap membuat perjanjian. Sebagai pengecualian, ada beberapa golongan orang yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu seperti di bawah umur, orang di bawah pengawasan atau pengampunan. Syarat ini disebut juga subyektif, karena langsung mengenai subyek yang membuat perjanjian.jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan oleh Hakim tas tidak terpenuhi,maka perjanjian dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan yang bersangkutan, jadi kedua belah pihak harus cakap menurut hukum.

Ad. 3  Suatu Hal Tertentu

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas, tertentu atau setidaknya dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi, yang terdiri dari :

  • Benda-benda yang sudah ada
  • Benda-benda yang masih akan ada di masa mendatang, baik dalam arti mutlak, yaitu pada saat tertentu benda itu sama sekali belum ada, maupun dalam arti relatif yang bendanya sudah ada, tapi bagi pihak tertentu masih merupakan harapan-harapan untuk memilikinya.

Syarat ini merupakan obyektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada dari semula. Pentingnya syarat ini untuk dapat mnentukan kewajibannya jika terjadi perselisihan.

Ad. 4  Ada Suatu Sebab yang Halal

Undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada sebab atau causa yang halal atau diperbolehkan. Secara harfiah kuasa berarti “sebab”, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksud dengan kuasa adalah “tujuan” yaitu apa yang dikehendaki oleh para pihak dengan mengadakan perjanjian itu.

Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian yang tidak memakai kuasa atau dibuat dengan kuasa yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Dari apa yang diterangkan diatas, jelaslah bahwa praktis tidak ada perjanjian yang tidak mempunyai kuasa, adapun suatu kuasa yang tidak diperbolehkan adalah yang bertentangan dengan Undang-undang; kesusilaan dan ketertiban umum. Bertentangan dengan Undang-undang misalnya suatu perjanjian dimana satu pihak harus meninggalkan agamanya untuk memeluk suatu agama lain. Dalam hal semacam ini, perjanjian ini dianggap dari semula sudah batal dan hakim diberi wewenang karena jabatannya mengucapkan pembatalan lain, meskipun tidak diminta oleh salah satu pihak (batal secara mutlak), sedangkan untuk perjanjian asuransi atau pertanggungan syarat-syarat diatas tetap diberlakukan hanya saja ditambah dengan syarat khusus yaitu kewajiban pemberitahuan dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apbila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya, asuransi menjadi batal. Kewajiban pemberitahuan ini berlaku juga apabila diadakan asuransi terjadi pemberataan risiko atas obyek asuransi.

Sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah sah diadakan dan sudah berjalan, tidak selalu berakhir dengan pemenuhan prestasi yang sempurna, belum tentu ia pasti mendapatkan ganti rugi. Apabila ia tidak secara nyata memang menderita kerugian. Meskipun penanggung secara keseluruhan tidak memberikan ganti rugi kerugian, tidak berarti penanggung tidak bertanggung jawab. Dalam perjanjian asuransi diperjanjikan apabila tertanggung menderita kerugian secara keseluruhan, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Perlindungan yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi oleh penanggung perjanjian asuransi apabila syarat-syarat terpenuhi.

Dengan demikian untuk sampai pada suatu keadaan dimana penanggung harus benar-benar memberi ganti rugi harus terpenuhi tiga syarat berikut ini :

  • Harus Terjadi Peristiwa yang Diasuransikan

Dalam polis harus dicantumkan nama Tetanggung sebagai pihak yang wajib membayar premi dan berhak menerima polis. Apabila terjadi evenemen, atau apabila masa berlakunya asuransi berakhir, Tertanggung berhak menerima sejumlah uang santunan atau pengembalian dari Penanggung. Selain Tertanggung, dalam praktik asuransi jika dikenal pula penikmat (beneficiary), yaitu orang yang berhak menerima sejumlah tetentu uang karena ditunjuk oleh Tertanggung atau karena ahli warisnya, dan tercantum dalam Polis. Penikmat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.

  • Pihak Tertanggung Menderita Kerugian

Jumlah asuransi adalah sejumlah uang tertentu yang diperjanjikan pada saat diadakan asuransi sebagai jumlah santunan yang wajib dibayar oleh Penanggung kepada penikmat dalam hal terjadinya evenemen, atau pengembalian pada Tertanggung sendiri dalam hal berakhirnya masa waktu asuransi tanpa terjadi evenemen. Menurut ketentuan Pasal 305 KUH Perdata, perkiraan jumlah dan syarat-syarat asuransi sama sekali ditentukan oleh perjanjian bebas antara Tertanggung dan Penanggung, dengan adanya perjanjian bebas tersebut, atas kepentingan dan asas keseimbangan dalam asuransi jiwa dikesampingkan.

  • Ada Hubungan Sebab Akibat Antar Peristiwa dengan Kerugian.

Saat mulai dan berakhirnya enemen merupakan jangka waktu berakhirnya asuransi, artinya dalam jangka waktu itu risiko menjadi beban Penanggung, misalnya mulai 1 Januari 2002 sampai 1 Januari 2012, apabila dalam jangka waktu itu terjadi evenemen, maka Penanggung berkewajiban membayar santunan kepada Tertanggung atau orang yang ditunjuk sebagai penikmat (beneficiary)

Suatu perjanjian atau kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian itu haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, syarat-syarat sah perjanjian itu digolongkan Fuady (1999:33-34) sebagai berikut :

  1. Syarat sah umum yang terdiri dari :
    1. Syarat sah umum, berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari :
      • Kesepakatan kehendak
      • Wewenang berbuat
      • Perihal tertentu
      • Kuasa yang legal
    2. Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari :
      • Syarat itikad baik
      • Syarat sesuai dengan kebiasaan
      • Syarat sesuai dengan keputusan
      • Syarat sesuai dengan kepentingan umum
    3. Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari :
      1. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak
      2. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
      3. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
      4. Syarat ijin dari yang berwenang

Fuady (1999:34-35) juga mengungkapkan bahwa yang merupakan konsekunsi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya kontrak tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Batal demi hukum (Nietig, Null and Void), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat objektif tersebut adalah :
    1. Perihal tertentu
    2. Kausal yang legal
  2. Dapat dibatalkannya (Vernietigbaar, Voidabel), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat subjektif tersebut adalah :
    1. Kesepakatan kehendak dan
    2. Wewenang berbuat
  3. Kontrak tidak dapat dilaksanakan (Unenforceable) kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak begitu saja batal, tetapi tidak dapat dilaksanakan, sehingga masih mempunyai status hukum tertentu, bedanya dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah bahwa kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih dapat dikonversi menjadi bentuk yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkannya kontrak tersebut, sementara kontrak yang tidak dapat dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi sah.

Contoh : kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang seharusnya dapat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan.

  1. Sanksi Administrasi

Ada juga syarat kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua pihak dalam kontrak tersebut. Misalnya apabila terhadap instansi tertentu, seperti ijin pelaporan kepada Bank Indonesia untuk suatu kontrak Offshore Loan.

Itikad Baik dalam Kontrak Asuransi (skripsi, tesis, disertasi)

Itikad baik menjadi asas yang sangat penting dalam hukum kontrak dan telah diterima dalam berbagai hukum nasional dan internasional, tetapi sampai sekarang permasalahan tentang definisi itikad baik tetap sangat abstrak. Tidak ada pengertian itikad baik memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi subjektif, yang berarti itikad baik mengarah kepada makna kejujuran. Dimensi yang kedua adalah dimensi yang memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan kepatutan atau keadilan. Kecenderungan dewasa ini dalam berbagai sistem hukum mengkaitkan itikad baik pelaksanaan kontrak dengan kerasionalan dan kepatutan. Jadi, ini adalah itikad baik yang bersifat objektif. Itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata harus didasarkan pada kerasionalan dan kepatutan. Itikad naik pra kontrak tetap mengacu kepada itikad baik yang bersifat subjektif. Itikad baik yang bersifat subjektif ini digantungkan pada kejujuran para pihak.

Dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak, pihak kreditur memiliki kewajiban untuk menjelaskan fakta material yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan sedangkan debitur memiliki kewajiban untuk meneliti fakta material tersebut. Terciptanya itikad baik dalam tahap pra kontrak ini sangat dipengaruhi ajaran culpa ini contrahendo.

Standar itikad baik dalam pra kontrak didasarkan prinsip kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Standar itikad baik pelaksanaan kontrak adalah standart objektif. Dengan standar ini, perilaku para pihak dalam melaksanakan kontrak, dan penilaian terhadap isi kontrak harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan. Kontrak tidak hanya dilihat dari apa yang secara tegas diperjanjikan, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kontrak.

Itikad baik dalam kontrak memiliki tiga fungsi. Pertama, semua kontrak harus ditafsirkan dengan itikad baik. Itikad juga memiliki fungsi menambah suatu kewajiban kontraktual. Selain itu, itikad baik juga memiliki fungsi membatasi dan meniadakan suatu kewajiban kontraktual. Dalam fungsi yang pertama, penafsiran kontak tidak hanya didasarkan kepada apa yang secara jelas diperjanjikan atau kepada kehendak para pihak, tetapi juga harus memperhatikan itikad baik. Bahkan, terhadap kontrak yang sudah jelaspun masih dapat ditafsirkan dengan itikad baik. Dalam fungsinya yang kedua, berdasarkan itikad baik, hakim dalam suatu perkara tertentu menemukan isi kontrak yang bersangkutan sangat bertentangan dengan keadilan atau kepatuhan, ia dapat mengurangi bahkan meniadakan suatu kewajiban kontraktual. (Wery; Jakarta : 1990).