Pertanggungjawaban Pidana


Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas),
yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan
yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan
asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.Walaupun Konsep
berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan,
namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan
pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).Masalah kesesatan (error)
baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan
mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku
tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.17

  1. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang
    bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat
    dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada
    pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.
    Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan
    untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
    norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang
    ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa
    damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
    pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah
    pada terpidana.
    Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
    kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri
    dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
    Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si
    pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi
    pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
  2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si
    pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat
    yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti
    akan mengikuti perbuatan itu.
  3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Kesengajaan ini yang
    terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat
    yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan
    belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena
    merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai
    pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.18
    Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga
    culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu
    delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan
    pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik
    kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat,
    tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu
    sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian
    yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik
    kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu
    sendiri sudah diancam dengan pidana.19
  4. Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh
    hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat
    tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian
    tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang
    seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran
    bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.
    Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa
    akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya.
    Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
  5. Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh
    hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian
    kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan
    yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.20
    Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu
    mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
    dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau
    tidak.Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
    yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
    Undang-undang.
    Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
    dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
    tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
    sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut
    kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu
    bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
    Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas
    pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya
    seseorang yang melakukan perbuatansebagaimana yang telah diancamkan,
    ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia
    mempunyai kesalahan.21
  6. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari
    si pembuat.
    Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
    menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
  7. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang
    terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau
    lalai.
  8. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
    pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
    Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan
    bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan
    adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi.Mengingat hal ini sukar
    untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
    kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
    umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab,
    kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin
    jiwanya tidak normal.Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan
    yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh
    pihak terdakwa.Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa
    kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada
    dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak
    ada kesalahan.
    Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1)
    KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
    dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
    pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut
    Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain,
    misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal
    tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44
    KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua
    syarat yaitu:22
  9. Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna
    akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang
    mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan
    keadaan ini harus terus menerus.
  10. Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
    melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang
    timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat
    menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
    Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
    buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat
    membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Kemampuan
    untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya
    perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)
    yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana
    yang diperbolehkan dan mana yang tidak.Sebagai konsekuensi dari dua hal
    tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya
    menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai
    kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat
    dipertanggungjawabkan.
    Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa
    pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang
    melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan
    dalam undang-undang, maka orang tersebut patut
    mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan
    kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan
    mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia
    mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
    melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
    normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut