Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas),
yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan
yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan
asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.Walaupun Konsep
berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan,
namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan
pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).Masalah kesesatan (error)
baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan
mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku
tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.17
- Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang
bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat
dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada
pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan
untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah
pada terpidana.
Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri
dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si
pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi
pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. - Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si
pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat
yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti
akan mengikuti perbuatan itu. - Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Kesengajaan ini yang
terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat
yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan
belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena
merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.18
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga
culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu
delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan
pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik
kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat,
tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu
sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian
yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik
kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu
sendiri sudah diancam dengan pidana.19 - Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh
hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat
tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian
tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang
seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran
bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.
Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa
akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya.
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu: - Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh
hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian
kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan
yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.20
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu
mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau
tidak.Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
Undang-undang.
Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas
pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya
seseorang yang melakukan perbuatansebagaimana yang telah diancamkan,
ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia
mempunyai kesalahan.21 - Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari
si pembuat.
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu: - Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang
terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau
lalai. - Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan
bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan
adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi.Mengingat hal ini sukar
untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab,
kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin
jiwanya tidak normal.Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan
yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh
pihak terdakwa.Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa
kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada
dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1)
KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut
Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain,
misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal
tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44
KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua
syarat yaitu:22 - Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna
akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang
mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan
keadaan ini harus terus menerus. - Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang
timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat
menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat
membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Kemampuan
untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya
perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)
yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana
yang diperbolehkan dan mana yang tidak.Sebagai konsekuensi dari dua hal
tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya
menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai
kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang
melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang, maka orang tersebut patut
mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan
kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut