Teori Stakeholder


Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya
beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholdernya yaitu pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah,
masyarakat, analis dan pihak lain. Definisi stakeholder telah berubah selama
empat dekade terakhir, yang pada mulanya, pemegang saham dipandang sebagai
satu-satunya stakeholder perusahaan. Seiring berjalannya waktu, pandangan akan
stakeholder berubah dengan memperluas definisi, tidak hanya kelompok
pemegang saham saja yang dipandang sebagai stakeholder dari perusahaan,
bahkan kelompok yang tidak menguntungkan (adversial grup) seperti pihak
regulator dan pihak yang memiliki kepentingan tertentu juga dimasukkan dalam
cakupan stakeholder. Kelompok stakeholder inilah yang menjadi bahan
pertimbangan bagi manajemen perusahaan dalam mengungkap atau tidak suatu
informasi di dalam laporan perusahaan tersebut. Tujuan utama dari teori
stakeholder adalah untuk membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan
penciptaan nilai sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan
meminimalkan kerugian yang mungkin muncul bagi stakeholder. (Imam Ghozali
dan Anis Chariri,)

Teori Legitimasi


Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa
tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang
diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan
definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman, 1995 dalam Kirana, 2009).
Legitimasi dianggap penting bagi perusahaan dikarenakan legitimasi masyarakat
kepada perusahaan menjadi faktor yang strategis bagi perkembangan perusahaan
ke depan. O’Donovan (2000) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat
sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang
diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian legitimasi
memiliki manfaat untuk mendukung keberlangsungan hidup suatu perusahaan.
Hal yang melandasi teori legitimasi adalah kontrak sosial yang terjadi antara
perusahaan dengan masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi. Perusahaan beroperasi dalam lingkungan
eksternal yang berubah secara konstan dan mereka berusaha menyakinkan bahwa
perilaku mereka sesuai dengan batas-batas dan norma masyarakat. Teori
legistimasi memfokuskan pada interaksi antara perusahaan dengan masyarakat.
O’Donovan berpendapat bahwa legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu
yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau
dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi merupakan
manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going
concern).
Teori legitimasi kaitannya dengan kinerja sosial dan kinerja keuangan adalah
apabila jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai
masyarakat (atau sering disebut legitimacy gap), maka perusahaan dapat
kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup
perusahaan. Namun demikian harus diingat bahwa keberadaan dan besarnya
legitimacy gap bukanlah hal yang mudah untuk ditentukan, yang penting adalah
bagaimana perusahaan berusaha memonitor nilai-nilai perusahaan dan nilai-nilai
sosial masyarakat dan mengindentifikasi kemungkinan munculnya gap tersebut
Legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada
keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok
masyarakat, Gray et al. (1996: 46) dalam Ahmad dan Sulaiman (2004). Untuk itu,
sebagai suatu sistem yang mengutamakan keberpihakan atau kepentingan
masyarakat. Operasi perusahaan harus sesuai dengan harapan dari masyarakat.
Deegan, Robin dan Tobin (2002) dalam Fitriyani (2012) menyatakan legitimasi
dapat diperolehmanakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak
mengganggu atau sesuai (congruent) dengan eksistensi sistem nilai yang ada
dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju
ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam. Dasar
pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus berlanjut
keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk
sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori
legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan
kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan
tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab lingkungan,
sehingga mereka diterima oleh masyarakat

Pengungkapan Anti Korupsi


Pengungkapan anti korupsi merupakan dasar pencegahan yang dapat diukur
dan ditunjukkan kepada para pemangku kepentingan bahwa mereka berkomitmen
untuk memerangi korupsi (Global Reporting Initiative, 2016). Program anti korupsi
merupakan garis pertahanan pertama perusahaan terhadap korupsi (UNGC IT,
2009). Pengungkapan penuh dan transparansi dari program-program tersebut
menunjukkan komitmen untuk melawan korupsi dan meningkatkan perilaku etis
antara manajemen, karyawan, mitra, agen dan pihak terkait lainnya (Hoyer, 2014).
Korupsi secara luas dikaitkan dengan efek negatif, seperti kemiskinan
selama transisi ekonomi, degradasi lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia,
penyalahgunaan demokrasi, salah alokasi investasi dan pelanggaran aturan hukum
(Golden et al., 2006). Organisasi diharapkan oleh pasar, norma internasional, dan
pemangku kepentingan untuk menunjukkan kepatuhan mereka terhadap integritas,
tata kelola, dan praktik bisnis yang bertanggung jawab (Global Reporting Initiative,
2016). Oleh karena itu, secara internal, perusahaan harus transparan dalam
mengungkapkan informasi antikorupsi.
Pengungkapan anti korupsi dapat memastikan bahwa pemangku
kepentingan dapat mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya kepada
publik. Pelaporan program antikorupsi yang berlebihan juga tidak kalah
pentingnya. Ini adalah kesadaran dari perusahaan bahwa mereka memiliki
kewajiban pada tindakan yang dilakukannya dan menyadari akibat buruk bagi
integritas, legitimasi, dan reputasi ketika menjadi sasaran skandal korupsi (ACCA,
2008). Sejumlah pedoman dan prakarsa tersedia bagi untuk membantu mereka
dalam kaitannya dengan perusahaan terkait dengan memerangi penyuapan dan
korupsi, yang meliputi Global Reporting Initiative, UN Global Compact,
Transparency International, dan FYSE Good Index Series (ACCA, 2008).
Berdasarkan Global Reporting Index, 2016 aspek anti korupsi yaitu terdiri
dari:

  1. Pengungkapan 205-1 Operasi-operasi yang dinilai memiliki risiko terkait
    korupsi
  2. Pengungkapan 205-2 Komunikasi dan pelatihan tentang kebijakan dan
    prosedur anti-korupsi
  3. Pengungkapan 205-3 Insiden korupsi yang terbukti dan tindakan yang diambil

Komite Audit


Kerangka hukum Indonesia mengamanatkan setiap entitas harus memiliki
adanya komite audit. Komite audit berfungsi mengevaluasi dan mengidentifikasi
manajemen atas risiko kecurangan, penerapan tindakan anti-penipuan, dan
penciptaan “tone at the top” yang sesuai (Crain et al., 2015). Pengawasan aktif oleh
komite audit dapat membantu memperkuat komitmen manajemen untuk
menciptakan budaya dengan “zero tolerance” untuk penipuan (Hightower, 2005).
Evaluasi dan pengawasan komite audit tidak hanya membantu memastikan bahwa
manajemen senior memenuhi tanggung jawabnya, tetapi juga dapat berfungsi
sebagai penghalang bagi manajemen senior untuk terlibat dalam aktivitas penipuan
(yaitu, dengan memastikan terciptanya lingkungan di mana segala usaha yang
dilakukan manajemen senior dapat membujuk karyawan agar menjadi pelaku
tindakan kecurangan yang terjadi, apabila ada tindakan yang mengarah pada
kecurangan tersebut yang dilakukan manajemen senior, maka karyawan dapat
melaporkan kejadian kepada pihak yang tepat yaitu komite audit) (Graham, 2008).
Komite audit juga memiliki peran utama dalam membantu manajemen
untuk melakukan pemenuhan kewajiban pada sistem pengendalian internal dan
proses pelaporan keuangan entitas agar dapat terpenuhi oleh perusahaan (Golden et
al., 2006). Dalam melaksanakan tanggung jawab pengawasan ini, komite audit
harus mempertimbangkan potensi pengabaian manajemen, pengendalian atau
pengaruh lain yang tidak pantas atas proses pengungkapan yang terjadi didalam
perusahaan (Moeller, 2011).
Komite audit berkewajiban untuk memonitor dan menilai tugas tanggung
jawab manajemen, kegiatan audit internal, dan auditor eksternal independen karena
kewajiban dan tugas tersebut berkaitan dengan proses berkewajiban atas
menentukan bahwa semua masalah utama yang dilaporkan oleh aktivitas audit
internal, auditor eksternal, dan penasihat luar lainnya telah diselesaikan dengan
memuaskan (Hightower, 2005).
Komite audit dalam menjalankan fungsinya harus memiliki karakteristik
yang menjadi dasar kepercayaan bagi anggota komite audit agar dapat bekerja
secara optimal. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Nomor
55/POJK.04/2015 komite audit merupakan komite yang berasal dari luar
perusahaan publik atau dari luar emiten yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab
kepada dewan komisaris untuk mendukung tugas serta fungsi dewan komisaris.
Jumlah rapat komite audit untuk memonitor dan mendiskusikan rapat
diadakan oleh komite audit untuk mendiskusikan dan memonitor situasi perusahaan
dalam jangka waktu tertentu. Untuk memonitor perusahaan, komite audit
setidaknya melakukan pertemuan untuk memastikan kualitas dan reabilitas
pelaporan perusahaan serta membahas masalah yang terdapat di perusahaan (Blue
Ribbon Committee, 1999). Financial Reporting Council (2016) menjelaskan
pertemuan formal komite audit ialah jantung dari pekerjaannya. Blue Ribbon
Committee (1999) menyebutkan agar komite audit berfungsi efektif, pertemuan
komite audit dilakukan minimal empat kali dalam setahun. Begitu pula pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.04/2015 pada pasal 13
mencatumkan bahwa pertemuan komite audit setidaknya dilaksanakan minimal (1)
satu kali dalam jangka waktu (3) tiga bulan, yang artinya dalam setahun komite
audit melaksanakan pertemuan minimal sejumlah (4) kali.

Keterbatasan Pengendalian Internal


COSO 2013 menyoroti batas-batas tertentu dari pengendalian internal yaitu
bahwa kerangka kerja memberikan keyakinan yang memadai dengan menyetujui
sementara bahwa pengendalian internal dapat memberikan keyakinan tersebut.
Pencapain tujuan dari entitas memiliki adanya batasan. Keputusan ataupun
penilaian buruk terhadap pengendalian internal tidak dapat dicegah atau terdapat
adanya peristiwa eksternal yang dapat mencegah organisasi mencapai tujuan yang
telah dijalankan di dalam bisnisnya.
Keterbatasan dan peninjauan dari adanya biaya dan manfaat, pengendalian
internal semata-mata dapat memastikan bahwa risiko diminimalkan seminimal
mungkin sehingga organisasi dapat menerimanya. Oleh karena itu, sistem
pengendalian internal dimaksudkan tidak menyingkirkan semua kontinjensi. Sistem
pengendalian memiliki faktor-faktor akibat kesalahan manusia dan lingkungan
yang berubah sehingga tidak dapat melindungi perusahaan dari kerugian yang
dihadapi sepenuhnya

Pengendalian Internal yang Baik


Menurut Nugroho (2009), pengendalian internal yang efektif mencakup
pemberian kepercayaan agar dapat meraih tujuan dari entitas. Hal ini mensyaratkan
bahwa setiap elemen pengendalian internal bekerja sama dan prinsip serta fungsi
terkait bekerja dalam kombinasi.
Pengendalian internal yang baik meliputi karakteristik antara lain: pada
struktur organisasi, pencatatan dan proses otorisasi harus sesuai untuk pengendalian
aset, pendapatan konsisten, kewajiban,dan harus orang berkompeten agar dapat
dimiliki pemisahan tanggung jawab sesuai fungsinya (Tunggal, 2013). Seperti
karyawan melakukan tugas dan tanggung jawabnya yang diamanahkan kepadanya.
Pengendalian internal yang baik, artinya organisasi harus memiliki struktur
standar, sistem akuntansi yang memenuhi, sistem pembagian kekuasaan yang jelas,
dan memiliki staf atau badan audit internal; dan Dewan Pembina adalah orang-
orang yang memiliki keahlian dan melakukan aktivitas pada profesi masing-masing
tersebut. Apabila bidang- bidang tersebut terpenuhi, maka terciptalah sistem
pengendalian internal efektif yang membantu untuk mencapai tujuan dari
organisasi

Komponen Pengendalian Internal


Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission
(COSO) pada tahun 1992, telah membuat kerangka kerja untuk dapat membantu
menilai dan meningkatkan sistem pengendalian internal didalam perusahaan
mereka (Hightower, 2005). Komponen-komponen kerangka kerja yang dirumuskan
oleh COSO dipantau untuk membantu memastikan bahwa pengendalian terus
beroperasi dengan baik dari waktu ke waktu. Komponen COSO meliputi:

  1. Lingkungan pengendalian
    Sikap manajemen, direktur, dan pemilik entitas harus dicerminkan
    dengan serangkaian prosedur, tindakan, dan kebijakan sehubungan dengan
    pengendalian internal dan kepentingan perusahaan. Pemahaman dan evaluasi
    untuk lingkungan kontrol, ada bagian komponen kontrol perlu untuk dipahami
    dan ditaati, yaitu:
    a. Komitmen kompetensi, dibutuhkan suatu keterampilan dalam menjalankan
    pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
    b. Nilai integritas dan etika, tindakan yang diambil meminimalisir godaan dan
    insentif dilakukan oleh manajemen yang dapat menyebabkan karyawan
    bertindak tidak jujur, melanggar hukum, atau tidak etis. Ini juga mencakup
    mengkomunikasikan nilai-nilai entitas dan standar perilaku kepada
    karyawan melalui pernyataan kebijakan, kode etik, dan contoh.
    c. Partisipasi dewan komisaris atau komite audit memainkan peranan utama
    pada tata kelola perusahaan yang efektif, sebab organisasi memiliki
    kewajiban utama untuk menetapkan pelaksanaan telah dilakukan
    manajemen terhadap pengendalian internal dan laporan keuangan yang
    tepat.
    d. Praktik dan kebijakan sumber daya manusia
    e. Struktur organisasi, mendefinisikan jalur kewajiban dan wewenang
    f. Filosofi dan gaya operasi yang dijalankan oleh manajemen dapat
    memberikan penjelasan kepada karyawan kegunaan dari pentingnya
    pengendalian internal dijalankan pada perusahaan.
  2. Penilaian risiko
    Penilaian risiko adalah cara untuk mengelola risiko agar dapat
    dikendalikan dengan mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang dapat
    terjadi untuk mencapai tujuan perusahaan (Golden et al., 2006). Komponen ini
    membentuk dasar bagaimana risiko diidentifikasi, dikelola dan dilaporkan.
  3. Aktivitas pengendalian
    Proses operasional dan keuangan yang telah dijalankan di dalam
    perusahaan berdasarkan aktivitas pengendalian sehingga dapat menghindari dan
    mengatasi risiko untuk dapat meraih tujuan perusahaan. Kegiatan yang
    dibutuhkan pengendalian terdiri atas lima, antara lain:
    a. Persetujuan atas tiap aktivitas dan transaksi yang tepat
    b. Pembagian pekerjaan yang jelas
    c. Kontrol fisik aset dan catatan
    d. Audit operasional independen
    e. Catatan dan dokumentasi yang memadai
  4. Informasi dan Komunikasi
    Berhasil mengoperasikan dan mengendalikan bisnis biasanya
    memerlukan persiapan dan komunikasi informasi yang relevan dan tepat waktu
    (Golden et al., 2006). Fungsi ini sebagian tergantung pada bagaimana
    mengambil keputusan tepat dengan dibutuhkannya suatu sistem informasi yang
    mampu membuat laporan terkait data keuangan, kepatuhan, dan keuangan.
    Komunikasi yang dijalankan harus dilakukan dalam arti lebih luas mulai dari
    bawah, ke atas dan melintasi perusahaan sehingga pegawai memahami peran
    mereka sendiri untuk dapat berkomunikasi dengan pihak lainnya. Tetapi, harus
    ada komunikasi kuat dengan pihak luar misalnya pembuat kebijakan,
    pelanggan, investor, pemasok serta pemangku kepentingan lainnya.
  5. Pengawasan
    Mengacu pada proses yang menilai dan mengevaluasi efektivitas
    proses, efisiensi dan kepatuhan dalam menangani tujuan pengendalian internal.
    Termasuk dalam komponen monitor COSO adalah tanggung jawab untuk
    melaporkan postur pengendalian internal perusahaan dan pengendalian
    operasional yang diarahkan misalnya dapat menyesuaikan dengan situasi dan
    harapan yang diinginkan.

Pengertian Sistem Pengendalian Internal


Sistem pengendalian internal yaitu bagian dan terintegrasi dengan proses
manajemen (COSO, 2012). Salah satu indikator tindakan fraud yaitu pengendalian
internal yang lemah, sehingga peluang terjadinya kecurangan sangat besar.
Penipuan lebih sering terjadi ketika pengendalian internal diabaikan (Manning,
2005). Penerapan sistem pengendalian internal yang dijalankan pada perusahaan
setidaknya membantu dalam memahami bagaimana tindakan kecurangan itu
terjadi. Pemahaman tersebut diperlukan untuk menutupi kelemahan yang dapat
dilakukan dengan mengungkapkan kebijakan tertentu untuk mengatasi kelemahan
tersebut salah satunya yaitu pengungkapan kebijakan anti korupsi (Crain et al.,
2015).
Hadirnya sistem pengendalian internal didalam perusahaan dapat
membantu perusahaan untuk menghindari risiko yang melekat dalam perusahaan
untuk tercapainya tujuan perusahaan perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian
(Graham, 2008). Sehingga, pengendalian internal dapat diartikan sebagai suatu
untuk memberi jaminan yang memadai tercapainya kepatuhan pada regulasi yang
telah ditetapkan, keandalan laporan keuangan, dan efektifitas efisiensi operasi
melalui suatu kebijakan, proses, dan metode yang direncanakan dan dibuat oleh
manajemen dan personil beserta dewan komisaris.

Teori Legitimasi


Legitimasi adalah persepsi atau asumsi umum bahwa tindakan suatu entitas
diinginkan, pantas, atau sesuai dalam beberapa sistem norma, nilai, keyakinan, dan
definisi yang dibangun secara sosial (Suchman, 1995). Teori legitimasi dalam
menerapkan dan mengembangkan yang menjelaskan peranan perilaku organisasi
untuk mengungkapkan informasi secara sukarela terkait informasi lingkungan dan
sosial agar mencakup kontrak sosial untuk mendapatkan pengakuan dan
kelangsungan suatu organisasi (Delgado & Castelo, 2013). Ketika aktivitas
perusahaan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka muncul ancaman
legitimasi. Teori legitimasi memberikan lensa teoretis untuk menguji interaksi
antara media pelaporan perusahaan dan lingkungan fisik dan sosialnya (Owen,
2008). Sebagai prasyarat dukungan masyarakat dan pemangku kepentingan yang
berkelanjutan, teori legitimasi memberikan wawasan tentang mengapa organisasi
sesuai dengan harapan masyarakat.
Teori legitimasi cocok digunakan dalam menganalisis pengungkapan yang
dilakukan secara sukarela seperti pengungkapan anti korupsi, terdapat dua alasan
utama mengapa hal ini dapat berlaku. Pertama, teori legitimasi memberikan
perspektif komplementer dari teori stakeholder dan legitimasi tentang
pengungkapan sukarela (Deegan & Unerman, 2011). Perusahaan menggunakan
pengungkapan sukarela untuk mengatasi nilai ekonomi dan etika serta kepedulian
pemangku kepentingan yang memiliki kekuasaan terbesar atas kegiatan organisasi
(Deegan & Unerman, 2011). Kedua teori legitimasi akan membantu menganalisis
dan memahami persamaan dan perbedaan yang digabungkan dengan praktik
organisasi seperti prosedur akuntansi dan pelaporan perusahaan dengan nilai
perusahaan seperti masalah sosial dan budaya yang akan mempengaruhi perusahaan
untuk mempertahankan legitimasinya dalam konteks negara berkembang (Joseph
et al., 2016).

Hubungan CSR dengan Return Saham


Perusahaan yang tidak melakukan CSR akan cenderung mendapatkan
protes dan atau demo dari masyarakat yang dapat mengakibatkan terhentinya
kegiatan operasional suatu perusahaan sehingga dapat menimbulkan kerugian,
sebaliknya perusahaan yang melakukan CSR dengan baik dapat terhindar dari
protes masyarakat sehingga perusahaan dapat terus beroperasi dengan efektif
sehingga dapat mencapai tujuan profit keseluruhan. Peningkatan keuntungan
perusahaan jelas berbanding lurus dengan peningkatan rasio – rasio profitabilitas
perusahaan yang terdiri return on assets (ROA), dan return on equity (ROE)
(Hartini & Rahayu, 2019).
CSR dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai salah satu strategi
untuk meminimalisir risiko dan meningkatkan profitabilitas. Pelaksanaan CSR
memberikan banyak manfaat antara lain menurunkan biaya operasional perusahaan,
meningkatkan volume penjualan dan pangsa pasar, menarik calon investor melalui
citra positif yang tercipta dan lain sebagainya. Reputasi perusahaan menjadi
perhatian penting bagi calon investor. Reputasi tersebut dapat dinilai dari
profitabilitas perusahaan, sehingga reputasi perlu dijaga untuk mendukung
keberlangsungan hidup perusahaan. Dengan melakukan kegiatan CSR diharapkan
mampu mencapai tujuan utama perusahaan dalam mencari laba tanpa mengabaikan
kepentingan stakeholders dan kelestarian lingkungan sebagai bentuk tanggung
jawab atas dampak yang telah ditimbulkan akibat kegiatan operasional perusahaan
(Rosdwianti et al., 2016)

Tujuan Analisis Kinerja Keuangan


Munawir (2012), tujuan analisis kinerja keuangan dari suatu perusahaan
adalah:
1) Untuk mengetahui tingkat Likuiditas suatu perusahaan, yaitu
kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban saat ditagih.
2) Untuk mengetahui tingkat Leverage suatu perusahaan, yaitu
kemampuan untuk memenuhi kewajiban keuangan bila perusahaan
terkena likuidasi baik jangka panjang atau jangka pendek.
3) Untuk mengetahui tingkat profitabilitas perusahaan, yaitu
kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba selama periode
tertentu.
4) Untuk mengetahui stabilitas usaha perusahaan,yaitu kemampuan
untuk melakukan usahanya dengan stabil yang diukur dengan
pertimbangan kemampuan perusahaan membayar beban bunga atas
hutangnya, termasuk kemampuan perusahaan membayar deviden
secara teratur kepada pemegang saham tanpa mengalami hambatan.
Prastowo (2011) menyatakan ada lima teknik analisis yang dapat digunakan:

  1. Profitabilitas, menunjukan kemampuan perusahaan menghasilkan
    keuntungan (laba).
  2. Solvabilitas/ leverage (struktur modal), yang mengukur kemampuan
    suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang atau
    mengukur tingkat proteksi kreditor jangka panjang.
  3. Likuditas, yang mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam
    memenuhi kewajiban jangka pendek.
  4. Aktivitas, mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan segala
    sumber daya yang dimiliki.
  5. Pasar/ Investasi, merupakan rasio yang mengukur kemampuan
    perusahaan dalam memberikan kembalian atau imbalan kepada para
    pemberi dana, khususnya investor yang ada di pasar modal dalam
    jangka waktu tertentu.

Manfaat Kinerja Keuangan


Penilaian kinerja keuangan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan.
Sutrisno (2016), manfaat penilaian kinerja bagi manajemen adalah untuk:
a. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui
pemotifan karyawan secara maksimal.
b. Membantu pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
karyawan seperti promosi, transfer, dan pemberhentian.
c. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan
dan dan menyediakan kriteria promosi dan evaluasi program
pelatihan karyawan.
d. Menyediakan umpan balik bagi karyawan bagaimana atasan menilai
kinerja karyawan.
e. Menyediakan suatu dasar dengan distribusi penghargaan

Corporate Social Responsibility (CSR)


Dahlsrud (2008) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa CSR
secara konsisten mengandung 5 dimensi, yaitu dimensi lingkungan, dimensi
sosial, dimensi ekonomi, dimensi stakeholder, dan dimensi kesukarelaan. Menurut
hasil penelitian Dahlsrud (2008) dimensi lingkungan merujuk pada lingkungan
hidup dan mengandung kata-kata seperti “lingkungan yang lebih bersih”,
“pengelolaan lingkungan”, “environmental stewardship”, dan “kepedulian
lingkungan dalam pengelolaan operasi bisnis”. Dimensi sosial yaitu hubungan
antara bisnis dan masyarakat dan tercermin melalui frase-frase seperti
“berkontribusi terhadap masyarakat yang lebih baik”, “mengintegrasi kepentingan
sosial dalam operasi bisnis”, dan “memperhatikan dampak terhadap masyarakat”.
Dimensi ekonomis menerangkan aspek sosio- ekonomis atau finansial bisnis yang
diterangkan dengan kata-kata seperti “turut menyumbang pembangunan
ekonomi”, “mempertahankan keuntungan”, dan “operasi bisnis”. Dimensi
pemangku kepentingan (Stakeholder) yang tentunya menjelaskan hubungan bisnis
dengan pemangku kepentingannya dan dijelaskan dengan kata-kata seperti
“interaksi dengan pemangku kepentingan perusahaan”, “hubungan perusahaan
dengan karyawan, pemasok, konsumen dan komunitas”, dan “perlakukan terhadap
pemangku kepentingan perusahaan”. Dimensi kesukarelaan (voluntary)
sehubungan dengan hal-hal yang tidak diatur oleh hukum atau peraturan yang
tercermin melalui frase-frase seperti “berdasarkan nilai-nilai etika”, “melebihi
kewajiban hukum (beyond regulations)”, dan “voluntary” (Dahlsrud, 2008)

Signaling Theory


Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan selalu berdampak pada
para stakeholders seperti karyawan, pemasok, investor, pemerintah, konsumen,
serta masyarakat dan kegiatan-kegiatan tersebut menjadi perhatian dan minat dari
para stakeholders, terutama para investor dan calon investor sebagai pemilik (calon)
dan penanam (calon) modal perusahaan. Oleh karenanya, perusahaan berkewajiban
untuk memberikan laporan sebagai informasi kepada para stakeholders. Laporan
yang wajib diungkapkan oleh perusahaan setidaknya meliputi satu set laporan
keuangan. Tetapi, perusahaan diijinkan untuk mengungkapkan laporan tambahan,
yaitu laporan yang berisi lebih dari sekedar laporan keuangan, misalnya laporan
tahunan tentang aktifitas CSR perusahaan (Mustafa & Handayani, 2014).
Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan
untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan
perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara
perusahaan dan pihak luar karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai
perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor &
kreditor). Kurangnya informasi bagi pihak luar mengenai perusahaan
menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang
rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan
mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi
asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa
informasi keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian
mengenai prospek perusahaan yang akan datang yang termuat dalam laporan
tahunan perusahaan (Mustafa & Handayani, 2014).
Konsep signaling theory mengungkapkan bahwa perusahaan memberikan
sinyal kepada investor dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Selain
informasi keuangan yang diwajibkan perusahaan juga melakukan pengungkapan
yang sifatnya sukarela. Salah satu dari pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh
perusahan adalah pengungkapan CSR pada laporan tahunan perusahaan.
Pengungkapan CSR ini merupakan sebuah sinyal positif yang diberikan oleh
perusahaan kepada pihak luar perusahaan yang nantinya akan direspon oleh
stakeholder dan shareholder melalui perubahan harga saham perusahaan dan
perubahan laba perusahaan (Kurnianto, 2011).

Stakeholder Theory


Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang
memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat
langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Dengan demikian, stakeholder
merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti: pemerintah, perusahaan
pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan
(LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan,
kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh perusahaan.
Batasan stakeholder tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perusahaan
hendaknya memperhatikan stakeholder, karena mereka adalah pihak yang
mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas
aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan
tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan
dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder. Oleh karena itu, perusahaan tidak
dapat melepaskan diri dengan lingkungan sosial sekitarnya. Perusahaan perlu
menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukannya dalam rangka kebijakan dan
pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung dalam pencapaian tujuan
perusahaan Amiq & Hadi (2017).
Lindawati (2015) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa teori
stakeholder merupakan suatu teori yang mengatakan bahwa keberlangsungan suatu
perusahaan tidak terlepas dari adanya peranan stakeholder baik dari internal
maupun eksternal dengan berbagai latar belakang kepentingan yang berbeda dari
setiap stakeholder yang ada. CSR dapat menjadi strategi perusahaan untuk
memenuhi kepentingan dari para stakeholder akan informasi non keuangan
perusahaan terkait dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari adanya
aktivitas perusahaan. Semakin baik pengungkapan CSR oleh perusahaan akan
membuat stakeholder memberikan dukungan penuh kepada perusahaan atas
segala aktivitasnya yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan mencapai laba
yang diharapkan. Amri (2008) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa
kelompok tersebut menjadi pertimbangan paling penting untuk perusahaan
mengungkapkan informasinya. Batasan stakeholder di atas mengisyaratkan bahwa
perusahaan hendaknya memperhatikan stakeholder karena mereka adalah pihak
yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung
atas aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika
perusahaan tidak memperhatikan stakeholder kemungkinan akan menuai protes
dan dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder (Susanti, 2014).
Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang
hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat
dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan stakeholder kepada perusahaan tersebut
(Rosiana et al., 2013). Waryanti (2019) dalam hasil penelitiannya menyatakan
bahwa stakeholder harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh
manajemen karena stakeholder juga mempunyai hak terhadap tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, seperti halnya pemegang saham.
Selain dalam hal pengambilan keputusan, dalam pengungkapan tanggung
jawab sosialpun perusahaan seharusnya tidak terbatas pada tindakan
memaksimalkan laba untuk pemegang saham semata. Namun, lebih
menitikberatkan pada kesejahteraan yang diciptakan perusahaan untuk kepentingan
pemegang saham dan juga untuk kepentingan stakeholder, yaitu semua pihak yang
mempunyai keterkaitan atau klaim terhadap perusahaan (Untung, 2018)

Rasio Likuiditas


Likuiditas adalah salah satu kinerja yang sering dijadikan tolak
ukur investor dalam menilai perusahaan. Likuiditas menunjukan
hubungan antara kas dan asset lancar lainnya dari suatu perusahaan
dengan liabilitas lancarnya. Menurut Syahrir dan Suhendra (2010)
dalam Kamil dan Herusetya (2012) menjelaskan bahwa likuiditas
memiliki pengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Perusahaan
dengan nilai likuiditas yang tinggi akan memberikan sinyal kepada
perusahaan yang lain bahwa mereka lebih baik daripada perusahaan
lain dengan melakukan kegiatan lingkungan sosial. Sinyal tersebut
dilakukan dengan memberikan informasi yang lebih luas tentang
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang mereka lakukan. Dengan
demikian maka terdapat dugaan bahwa nilai likuiditas yang tinggi
dalam suatu perusahaan akan berpengaruh positif dengan
pengungkapan ISR dalam perbankan syariah di Indonesia

Leverage


Tingkat leverage adalah kemampuan untuk melihat perusahaan
dalam menyelesaikan semua kewajibannya kepada pihak lain,
perusahaan yang mempunyai proporsi utang lebih banyak dalam
struktur pemodalannya akan mempunyai biaya keagenan yang lebih
besar (Trisnawati, 2014). Mia dan Al Mamun (2011) dalam Putri dan
Christiawan (2014) menjelaskan bahwa leverage yang tinggi
cenderung akan mendorong perusahaan untuk melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial yang makin banyak. Hal
tersebut disebabkan perusahaan dengan leverage tinggi memiliki
tekanan yang lebih besar dari bank, kreditur dan investor sehingga
perusahaan berupaya untuk melonggarkan tekanan ini dengan cara
melakukan banyak disclose dengan tujuan untuk memberikan
keyakinan pada bank, kreditur, investor bahwa perusahaan tidak
melanggar covenants yang ada

Kepemilikan Manajerial


Kepemilikan Manajerial terhadap perusahaan atau yang biasa
dikenal dengan istilah Insider Ownership ini didefinisikan sebagai
presentase suara yang berkaitan dengan saham dan option yang
dimiliki oleh manajer dan direksi suatu perusahaan (Mathiesen dalam
Febriana dan Suaryana, 2012). Kepemilikan Saham yang tinggi maka
dapat diartikan bahwa manajer dalam perusahaan memiliki saham
sekaligus menjadi pemegang saham yang tinggi pula di dalam
perusahaan. Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan
menselaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan
kepentingannya sebagai pemegang saham. Hubungannya dengan ISR
adalah dengan tingginya kepemilikan manajer didalam suatu
perusahaan maka tindakan manajer akan semakin produktif dalam
menerapkan nilai-nilai perusahaan, khususnya dalam pengungkapan
Islamic Social Reporting.
Kepemilikan manajerial menyebabkan berkurangnya tindakan
oportunis manajer untuk memaksimalkan keperntingan pribadi.
Manajer perusahaan akan mengambil keputusan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan cara mengungkapkan informasi sosial
yang seluas-luasnya untuk meningkatkan image perusahaan.
Berdasarkan penelitian Anggraini (2006) menyimpulkan bahwa
variabel kepemilikan manajerial memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kebijakan perusahaan dalam mengungkapkan informasi
sosial. Semakin besar kepemilikan manajer di dalam perusahaan maka
manajer perusahaan akan semakin banyak menngungkapkan informasi
sosial. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian yang
diteliti oleh (Badjuri, 2011) ditemukan hasil bahwa variabel
kepemilikan manajerial ternyata tidak berpengaruh terhadap luas
pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan

Ukuran Dewan Pengawas Syariah


Dewan Pengawas Syariah merupakan bagian yang harus ada
pada setiap lembaga keuangan syariah guna mengawasi setiap produk
usaha operasional lembaga agar sesuai dengan prinsip syariah. Ukuran
Dewan Pengawas Syariah yaitu jumlah dari anggota Dewan Pengawas
Syariah yang dimiliki dalam suatu perusahaan. Dewan Pengawas
Syariah mempunyai peran dalam mendorong menejemen puncak
untuk mengungkapkan ISR perbankan syariah. Hubungan adalah
Dewam Pengawas Syariah memiliki wewenang untuk mengawasi
kepatuhan perusahaan terhadap prinsip-prinsip syariah, dengan
kondisi ini diharapkan Dewan Pengawas Syariah dapat menekan pihak
perusahaan untuk mengungkapkan ISR sehingga dengan banyaknya
anggota Dewan Pengawas Syariah maka kinerja perusahaan dalam
melakukan pengawasan terhadap pengungkapan ISR akan lebih
terpantau agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang ditetapkan
dengan cara menekan pihak manajemen perusahaan untuk melaporkan
ISR. Semakin tinggi jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah maka
kemungkinan untuk melakukan pengungkapan ISRnya akan semakin
tinggi karena pemantauan akan berjalan lebih efektif.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Ningrum (2013)
secara parsial ukuran dewan pengawas syariah berpengaruh positif
signifikan terhadap ISR pada perbankan syariah di Indonesia. Hal
tersebut berbanding terbalik dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Khoirudin (2013).

Komposisi Dewan Komisaris Independen


Dewan komisaris dianggap sebagai puncak dari sistem
pengelolaan internal perusahaan, memiliki peranan terhadap aktivitas
pengawasan, komposisi dewan komisaris akan menentukan kebijakan
perusahaan termasuk praktek dan pengungkapan CSR (Nurkhin,
2009). Komposisi Dewan Komisaris Independen yaitu presentase
Dewan Komisaris Independen yang dimiliki oleh sebuah perusahaan.
Dewan Komisaris Independen tidak memiliki kepentingan atau
hubungan apapun dengan perusahaan, oleh karena itu Dewan
Komisaris bisa bersifat lebih independen dan bisa mencegah hal-hal
atau tindakan yang semata-mata hanya untuk kepentingan perusahaan.
Alasan mengapa Dewan Komisaris Independen berpengaruh terhadap
pengungkapan ISR adalah sebagai bagian yang bertanggungjawab
memantau kinerja perusahaan supaya visi misi dapat terwujud dengan
mendorong menejemen puncak untuk mengungkapkan ISR. Semakin
tinggi presentase Dewan Komisaris Independen yang ada dalam
memantau kinerja perusahaan maka kinerja Dewan Komisaris
Independen akan lebih akurat sehingga diharapkan Dewan Komisaris
Independen dapat mendorong menejemen perusahaan agar melaporkan
ISR secara lengkap sebagai bentuk tanggungjawab sosial

Ukuran Komite Audit


Komite audit adalah komite yang bertugas membantu dewan
komisaris dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
manajemen. Ukuran Komite Audit yaitu jumlah anggota Komite
Audit yang membantu tugas pengawasan dewan komisaris. Alasan
mengapa Komite Audit berpengaruh terhadap ISR adalah sebagai
bagian yang bertugas membantu Dewan Komisaris serta bertanggung
jawab pada Dewan Komisaris itu sendiri dalam melakukan fungsi
pengawasan terhadap manajemen untuk mengungkapkan ISR.
Semakin banyak anggota Komite Audit yang dimiliki perusahaan
maka pengawasan terhadap manajemen akan semakin efektif,
sehingga Komite Audit dapat menekan manajemen perusahaan agar
melaporkan ISR secara lengkap sebagai bentuk tanggung jawab sosial
bagi pemangku kepentingan.
Semakin besar Ukuran Komite Audit, maka pengawasan
operasional perusahaan akan semakin baik. Dengan pengawasan yang
baik, maka diharapkan pula pengungkapan ISR akan tinggi karena
dapat meminimalisir informasi yang mungkin dapat disembunyikan
oleh manajemen. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Mulia (2010) yang menyatakan bahwa independensi komite audit
berpengaruh secara negatif terhadap luas pengungkapan CSR.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Badjuri (2011),
menunjukan bahwa Komite Audit tidak berpengaruh terhadap luas
pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.

Rasio Likuiditas


Menurut Badjuri (2011), rasio likuiditas dapat dipandang
dari dua sisi, kesehatan suatu perusahaan yang dicerminkan dengan
tingginya rasio likuiditas (diukur dengan current ratio) diharapkan
berhubungan dengan luasnya tingkat pengungkapan informasi sosial
perusahaan. Badjuri juga beranggapan bahwa secara finansial
perusahaan yang kuat akan lebih banyak mengungkapkan informasi
sosial daripada yang lemah, tetapi sebaliknya, jika likuiditas
dipandang sebagai ukuran kinerja, perusahaan yang mempunyai rasio
likuiditas rendah perlu memberikan informasi yang lebih rinci untuk
menjelaskan lemahnya kinerja dibanding perusahaan yang mempunyai
rasio likuiditas yang tinggi.
Likuiditas menunjukan hubungan antara kas dengan aset
lancar lainnya dari suatu perusahaan dengan liabilitas lancarnya.
Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan entitas
untuk membayar semua liabilitas finansial jangka pendek pada saat
jatuh tempo dengan menggunakan aset lancar yang telah tersedia.
Perusahaan dengan likuiditas yang tinggi akan memberikan sinyal
kepada perusahaan yang lain bahwa mereka lebih baik daripada
perusahaan lain dengan melakukan kegiatan yang memiliki hubungan
dengan lingkungan sosial. Sinyal tersebut dilakukan dengan
memberikan informasi secara luas tentang tanggung jawab sosial dan
lingkungan yang mereka lakukan (Kamil, 2012)

Leverage


Menurut Sofyan dalam adawiyah (2013), rasio leverage
menggambarkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban
jangka panjangnya atau kewajiban-kewajiban apabila perusahaan
dilikuidasi. Leverage memiliki arti penting dalam perusahaan, karena
dapat diketahui dampak leverage terhadap profitabilitas. Semakin
tinggi tingkat leverage maka besar kemungkinan dilanggarnya
perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha melaporkan laba
yang lebih tinggi dengan cara mengurangi biaya-biaya termasuk
pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Tarjo (2008)
berpendapat bahwa rasio leverage menggambarkan sumber dan
operasi yang digunakan oleh perusahaan. Menurut Hari Widianto
(2011) Leverage merupakan alat ukur yang berfungsi untuk mengukur
seberapa besar perusahaan tergantung oleh kreditur dalam membiayai
aset perusahaannya. Perusahaan yang memiliki tingkat leverage tinggi
dapat disimpulkan bahwa perusahaan tersebut sangat tergantung pada
pinjaman perusahaan lain atau luar untuk membiayai asetnya.
Leverage adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangan baik jangka pendek maupun jangka panjang jika
sebuah perusahaan dilikuidasi. Anggraini (2006) mengungkapkan
bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki
kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih luas daripada
perusahaan dengan rasio leverage yang lebih rendah

Kepemilikan Manajerial


Kepemilikan Manajerial adalah kepemilikan saham oleh
manajemen perusahaan yang diukur dengan presentase jumlah saham
yang dimiliki oleh manajemen (Lestari, 2013). Amal (2011)
menjelaskan bahwa kepemilikan manajerial adalah kepemilikan
saham perusahaan oleh manajemen, apabila didalam sebuah
perusahaan ada kepemilikan manajerial, maka dapat diprediksikan
perusahaan akan lebih banyak memberikan informasi kepada publik
agar perusahaan mendapatkan legitimasi dari publik. Jika pimpinan
tim manajemen ada yang berperan sebagai pemegang saham maka
diprediksikan akan memiliki kesadaran yang cukup untuk melakukan
tanggung jawab sosialnya, dan melaporkan tanggung jawab itu dalam
bentuk laporan tahunan. Pendapat lain mengatakan bahwa
kepemilikan manajerial merupakan kondisi bahwa manajer memiliki
saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai
pemegang saham perusahaan.
Hal tersebut ditunjukan dengan besarnya presentase
kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Manajer yang
mempunyai saham perusahaan tentu akan menselaraskan
kepentingannya sebagai manajer dengan kepentingannya sebagai
pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial didalam
perusahaan maka semakin produktif pula tindakan manajer dalam
memaksimalkan nilai-nilai perusahaan (Rustiarini, 2011

Dewan Pengawas Syariah


Untuk memastikan bahwa kinerja sebuah lembaga keuangan
syariah telah memenuhi prinsip-prinsip syariah, maka perbankan
syariah harus memiliki institusi internal independen yang secara
khusus memiliki peran dalam melakukan pengawasan terhadap
kepatuhan syariah. Institusi internal tersebut adalah Dewan Pengawas
Syariah (DPS). Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No.10 Tahun
1998 tentang perbankan yang menyatakan bahwa dalam suatu
perbankan islam harus dibentuk DPS. Begitu juga dalam Undang-
Undang tentang Perbankan Syariah dinyatakan bahwa DPS wajib
dibentuk di dalam Bank Syariah dan Bank Konvensional yang
mempunyai unit usaha syariah (Riyanti, 2014).
Chairi (2012) Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertugas mengawasi operasional bank dari sudut syariahnya. Tugas
pokok dari DPS adalah dalam hal sharia compliant. Jadi tidak dapat
dipungkiri bahwa kompetensi yang dibutuhkan bagi DPS adalah
keahlian dalam hal hukum Islam. Namun juga perlu disadari pula
bahwa keahlian dalam bidang keuangan perbankan juga diperlukan
bagi DPS. Dewan pengawas syariah mempunyai peran dalam
pengungkapan ISR perbankan syariah, karena DPS mempunyai
wewenang mengawasi kepatuhan perusahaan terhadap prinsip syariah,
antara lain mengawasi kegiatan menyalurkan dana zakat, infak,
sedekah yang bisa diakui sebagai bentuk ISR perusahaan (Khoirudin,
2013)

Dewan Komisaris Independen


Menurut Purwati (2006) dewan komisaris independen adalah
puncak dari sistem pengendalian pada perusahaan pesat atau
perusahaan besar, yang memiliki peran ganda yaitu peran untuk
memonitor dan sebagai pengesahan (ratifaction). Berdasarkan Pasal 1
angka 4, angka 5 dan angka 6 UUPT Nomor 40 Tahun 2007, Dewan
komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau secara khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Sedangkan
menurut Mulyadi (2002) dalam Purwaka (2014), Dewan Komisaris
merupakan wakil stakeholder dalam entitas bisnis yang berbadan
hukum Perseroan Terbatas (PT) yang berfungsi mengawasi
pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh menajemen (direksi),
dan bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen
memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan
menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan.
Dengan wewenang yang dimiliki, maka semakin besar
ukuran Dewan Komisaris Independen yang dimiliki sebuah
perusahaan, maka Dewan Komisaris dapat menekan manajemen untuk
mengungkapkan informasi yang lebih banyak serta dapat mencegah
informasi yang kemungkinan disembunyikan oleh manajemen

Komite Audit


Berdasarkan keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor:
Kep-29/PM/2004 pada tanggal 24 September 2004 komite audit
adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dan bertanggung
jawab kepada dewan komisaris dalam rangka membantu tugas dan
fungsi dewan komisaris itu sendiri. Pengangkatan serta peberhentian
komite audit dilakukan oleh dewan komisaris dan dilaporkan kepada
Rapat Umum Pemegang Saham. Komite audit harus terdiri dari
sekurang-kurangnya satu orang komisaris Independen dan sekurang-
kurangnya dua orang anggota lainnya yang berasal dari luar emitmen
atau perusahaan publik.
Sedangkan menurut Maksum (2005) menyatakan pengertian
komite audit adalah salah satu komite yang dibentuk oleh dewan
komisaris dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris dengan
tugas dan tanggung jawab utama untuk memastikan prinsip-prinsip
good corporate governance terutama transparansi dan disclosure
diterapkan secara konsisten dan memadai oleh para eksekutif. Komite
audit termasuk salah satu komite yang memiliki fungsi penting dalam
corporate governance. Komite audit memiliki fungsi untuk menelaah
kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan, menilai
pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan untuk pihak
eksternal, serta kepatuhan terhadap peraturan Widianto (2011)

Corporate Social Responsibility (CSR)


Menurut Kotler dan Nancy (2005) Corporate Social
responsibility (CSR) didefinisikan sebagai komitmen perusahaan
untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis
yang baik dan mengontribusikan sebagian sumber daya perusahaan.
Sedangkan menurut Khoirudin (2013) Corporate Social Responsibility
(CSR) secara umum didefinisikan sebagai komitmen perusahaan
untuk tidak hanya mencari keuntungan dari roda bisnisnya, tetapi juga
menjaga keharmonisan dengan lingkungan sosial disekitar tempatnya
berusaha, melalui upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan
kehidupan komunitas setempat di segala aspeknya. Fitri (2013)
menjelaskan bahwa Corporate Social Responsibility pada intinya
adalah suatu upaya tanggung jawab perusahaan atau organisasi secara
berkelanjutan atas dampak yang ditimbulkan dari keputusan dan
aktivitas yang telah dambil dan dilakukan oleh organisasi tersebut
dimana dampak itu pastinya akan dirasakan dan berpengaruh kepada
pihak-pihak yang terkait terutama masyarakat dan lingkungan.
Perusahaan akan terdorong untuk melakukan praktik dan
pengungkapan CSR karena memperoleh beberapa manfaat seperti
peningkatan penjualan dan marketshare, memperkuat brand
positioning, meningkatkan citra perusahaan, menurunkan biaya
operasi, serta meningkatkan daya tarik perusahaan di mata investor
dan analis keuangan.
Kamil dan Herusetya (2012), salah satu tujuan Corporate
Social Responsibility (CSR) adalah untuk menciptakan standar
kehidupan yang lebih tinggi, dengan cara mempertahankan
kesinambungan laba usaha untuk pihak pemangku kepentingan
sebagaimana yang diungkapkan dalam laporan keuangan entitas.
Laporan keuangan menjadi perangkat untuk melaporkan kegiatan
entitas dan menjadi informasi yang menghubungkan perusahaan
dengan para investor karena mengandung pengungkapan-
pengungkapan, baik yang bersifat wajib (mandatory disclosure)
maupun sukarela (voluntary disclosure). Pengaturan CSR juga
berfungsi untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna kualitas kehidupan dan lingkungannya. Menurut The World
Business Council for Sustainable Development, CSR adalah komitmen
untuk memberikan komtribusi bagi pembangunan ekonomi
berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, komunitas
setempat dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Hal
tersebut selaras dengan legitimacy theory yang menyatakan setiap
perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat berdasarkan nilai-
nilai keadilan dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai
kelompok untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Jika terjadi
ketidaksamaan sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat
maka perusahaan akan kehilangan kelegitimasinya sehingga dapat
mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Sehingga pengungkapan
informasi CSR merupakan salah satu cara perusahaan untuk
membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi
perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Rustiarini, 2011)

Islamic Social Reporting (ISR)


Menurut Haniffa (2002) Secara khusus Islamic Social
Reporing Index (ISR) adalah perluasan dari social reporting yang
meliputi harapan masyarakat tidak hanya mengenai peran perusahaan
dalam perekonomian, tetapi juga peran perusahaan dalam perspektif
spiritual. Fitria dan Hartanti (2010) menyatakan bahwa indeks ISR
berisi item-item standard CSR yang telah ditetapkan oleh AAOIFI
(Acounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institution). Secara khusus indeks ISR merupakan perluasan dari
social reporting yang meliputi harapan masyarakat tidak hanya
menyangkut tentang perusahaan dalam perekonomian, tetapi juga
peran perusahaan dalam perspektif spiritual. Pelaporan Sosial
Keislaman/PSKI (Islamic Social Reporting/ISR) merupakan suatu
indeks pengukuran yang digunakan untuk mengukur pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan serta mengukur tingkat kesyariahan
sebuah lembaga keuangan syariah (Riyanti, 2014).
Sejalan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan CSR
dalam konteks Islam, maka makin meningkat pula keinginan untuk
membuat pelaporan sosial yang berbasis syariah (Islamic Social
Reporting). Terdapat dua hal yang harus diungkapkan dalam
perspektif Islam, yaitu pengungkapan penuh (full disclosure) dan
akuntabilitas sosial (social accountability). Konsep akuntabilitas
sosial terkait dengan prinsip pengungkapan penuh dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan publik akan suatu informasi. Dalam
konteks Islam, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui berbagai
informasi meliputi aktivitas organisasi. Hal tersebut dilakukan untuk
melihat apakah perusahaan tetap melakukan aktivitasnya sesuai
syariah dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Fitria dan
Hartanti, 2010)

Perbankan Syariah


Perbankan syariah adalah sebuah sistem perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam. Pembentukan sistem
tersebut berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan menggunakan bunga
(riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha yang
dikategorikan haram menurut Islam. Perkembangan bank syariah telah
berada di Indonesia sejak berdirinya Bank Muamalah Indonesia (BMI)
pada tahun 1992. Dalam prakteknya, bank syariah memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang ingin berada dalam syariat-syariat
Islam. Dalam konsep perbankan syariah terdapat larangan riba dalam
setiap transaksi, larangan praktek spekulasi atau gambling dan
Gharar, serta terdapat etika pembiayaan pada usaha-usaha yang halal
sesuai dalam hukum syariah.
Salah satu peran sosial bank syariah adalah terdapat produk
qard-al hasan (dana kebijakan), implementasi penerimaan dan
penyaluran dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS) serta prioritas
pembiayaan bagi hasil (Profit and Loss Sharing/ PLS) dalam bentuk
produk mudharabah dan musyarakah. Hal tersebut disebabkan karena
urgensi pembiayaan PLS memberikan kontribusi bagi pertumbuhan
ekonomi di sektor riil, penyerapan tenaga kerja serta penekanan
terhadap inflasi. Sehingga diperlukan komitmen untuk meningkatkan
skim pembiayaan musyarakah dan mudharabah sebagai bentuk
transaksi yang menggunakan prinsip bagi hasil (Masykuroh, 2012).
Riyanti (2014) menjelaskan bahwa dengan melalui pembentukan dan
pendirian bank syariah, tentu banyak tujuan dan manfaat yang ingin
dicapai, terutama membangun perekonomian umat. Akan tetapi
dengan mengacu pada pengalaman Al-Quran, tujuan utama dari
mendirikan perbankan syariah adalah untuk menghindari riba dan
unsur-unsur lain yang tidak termasuk dalam syariat islam serta untuk
mencapai kemaslahatan pada bidang ekonomi bagi semua orang

Teori Legitimasi


Teori Legitimasi adalah teori yang melandasi pengungkapan
Corporate Social Responsibility. Teori Legitimasi dapat digunakan
untuk menjelaskan keterkaitan antara struktur good corporate
governance, dalam hal ini adalah dewan komisaris dan dewan
pengawas syariah dengan pengungkapan CSR perbankan syariah.
(Khoirudin, 2013). Penggunaan teori legitimasi dalam penelitian ini
memiliki implikasi bahwa program CSR dilakukan perusahaan dengan
harapan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari
masyarakat, maka perusahaan dapat terus bertahan dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat serta mendapatkan keuntungan pada masa
datang. Teori legitimasi berguna bagi perusahaan untuk meyakinkan
bahwa aktivitas serta kinerjanya bisa diterima oleh masyarakat.
Perusahaan menggunakan laporan tahunannya untuk
menggambarkan akuntabilitas atau tanggung jawab manajemen
terhadap perusahaan, sehingga perusahaan yang bersangkutan bisa
diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari masyarakat
maka akan menambah nilai perusahaan (Amal, 2011). Ghozali dan
Chairi dalam Tamba (2011) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat
bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi, karena teori
legitimasi merupakan hal yang sangat penting bagi organisasi.
Batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai
sosial serta reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya
analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan. Teori
legitimasi dilandasi oleh kontrak sosial yang terjadi antara perusahaan
dengan masyarakat dimana perusahaan itu beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi. Legitimasi organisasi dapat
dipandang sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada
perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari
masyarakat

Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Volume PerdaganganSaham


Perusahaan yang memilki kinerja lingkungan dan sosial yang baik
akan direspon positif oleh investor melalui peningkatan harga saham , dan
perusahaan yang memilki kinerja lingkungan dan sosial yang buruk maka
akan muncul keraguan dari investor sehingga direspon negatif melalui
penurunan harga saham yang tercermin melalui perubahan harga saham.
Teori Legitimasi menekankan pentingya strategi pengungkapan
perusahaan, termasuk laporan sosial perusahaan. Teori ini telah menjadi
salah satu teori yang paling dikutip dalam bidang akuntansi sosial dan
lingkungan. Pelaporan CSR ditujukan untuk mempengaruhi para
pemangku kepentingan dan persepsi publik legitimasi organisasi dengan
memberikan informasi yang akan menggiring perusahaan untuk
memperhatikan tanggung jawab sosial. Teori Stakeholder menyatakan
bahwa tujuan perusahaan tidak semata-mata beorientasi untuk
meningkatkan nilai pemilik, tetapi juga pihak lain yang tertarik pada
perusahaan.

Volumen Perdagangan Saham


Volume perdagangan diartikan sebagai jumlah saham yang
diperdagangkan pada hari tertentu. Perdagangan suatu saham yang
aktif, yaitu dengan volume perdagangan yang besar, menunjukkan
bahwa saham tersbut digemari oleh para investor yang berarti saham
tersebut cepat diperdagangkan. Ada kemungkinan dealer akan
mengubah posisi kepemilikan sahamnya pada saat perdagangan saham
semakin tinggi atau dealer tidak perlu memegang saham dalam jumlah
terlalu lama. Volume perdagangan akan menurunkan kos pemilikan
saham sehingga menurunkan spread. Dengan demikian semakin aktif
perdagangan suatu saham atau semakin bervolume perdagangan suatu
saham, maka semakin rendah biaya pemilikan saham tersebut yang
berarti akan mempersempit bid-ask spread saham tersebut (Hakim,
2019)
Volume perdagangan merupakan jumlah yang dipertukarkan.
Pertukaran terjadi ketika agen pasar menetapkan nilai yang berbeda-
beda untuk aset. Dalam teori perdagangan dikembangkan asumsi
bahwa para agen pasar selalu merevisi harga permintaan mereka dan
menemukan pasangan perdagangan yang potensial. Volume
perdagangan mengingat jika investor dapat menterjemah dan
menganalisis infomasi yang divergen dari ekspetasi sebelumnya. Dan
volume perdagangan akan menurun jika pasar ada biaya pasar.
(Syamni, 2015)
Dalam pasar keuangan diindikasikan bahwa para agen beragam
dalam memahami perubahan lingkungan psar khususnya volume
perdagangan. Pertama, adanya inkonsistensi antara permintaan
perdagangan dalam suatu peristiwa tanpa informasibaru menyebabkan
investor berkeinginan untuk spekulasi. Kedua, data volume keuangan
yang dilaporkan kemedia tidak selalu jelas. Dan ketiga, pengaruh
desain instiusional pasar atas volume perdagangan.Volume
perdagangan lebih rendah di pasar tidak sempurna karna informasi
tidak jelas yang membuat kesalahan perdagangan investor. Volume
perdagangan bergantung pada perbedaan opini ketika investor
menerma investor yang berbeda, oleh sebab itu harga pasar disesuaikan
dengan datangnya informasi dan selanjutnya menegasikan nilai unik
informasi kepada setiap investor (Syamni, 2015)

Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)


Standar untuk melakukan pengungkapan CSR yang mulai banyak
digunakan di Indonesia adalah dengan standar yang dikembangkan oleh
Global Reporting Initiatives. Barometer GRI dipilih dikarenakan terfokus
pada standart yang digunakan melakukan pengungkapan kinerja suatu
ekonomi, sosial, termasuk lingkungan yang bertujuan guna meningkatkan
kualitas dan sustainability reporting.
Hadianto (2013), pengungkapan tanggung jawab sosial, perusahaan
yang bisa disebut sebagai corporate social, responsibility disclosure,
corporate socialreporting, social accounting, menggambarkan cara
penyampaian informasisosial kepada stakeholders. Standar pengungkapan
CSR yang berkembang di Indonesia saat ini yaitu berpedoman dengan
standar yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI).
Standar untuk melakukan pengungkapan CSR yang mulai banyak
digunakan di Indonesia adalah dengan standar yang dikembangkan oleh
Global Reporting Initiatives. Barometer GRI dipilih dikarenakan terfokus
pada standart yang digunakan guna melakukan pengungkapan kinerja suatu
ekonomi, sosial, termasuk lingkungan yang bertujuan guna meningkatkan
kualitas dan sustainability reporting.
Hadianto (2013), Global Reporting Initiative (GRI) merupakan
sebuah jaringan yang sudah berbasis dan telah menjadi pelopor
perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan yang
berkelanjutan dan akan terus berkomitmen untuk terus melanjutkan suatu
perbaikan dan penerapannya di berbagai penjuru dunia.
Dengan menjalankan CSR, maka berarti bahwa perusahaan turut
memperdulikan kesejahteraan dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Maka perusahaan dirasa perlu untuk mengungkapkan tanggungjawab
sosialnya, hal ini tercantum didalam laporan tahunan perusahaan yang
mempunyai tujuan agar masyarakat dapat mengetahui akan tindakan-
tindakan CSR yang telah dijalankan oleh perusahaan.
Pengungkapan aspek-aspek CSR ini bersifat sukarela dikarenakan
sampai sekarang belum terdapat peraturan baku yang mengaturnya.
Didalam penelitian ini menggunakan 3 indikator kinerja yang terdiri dari
ekonomi, social dan juga lingkungan dengan jumlah 91 indikator. 91
indikator tersebut terlampir.
Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) itu sendiri
dapat dinilai dengan menggunakan Corporate Social Responsibility
Disclosure Index (CSRDI) hasil content analysis, dengan berdasarkan 91
item indikator GRI-G4. Untuk menghitung CSRDI umumnya memakai
suatu pendekatan dikotomi, yaitu jika item CSR diungkapkan akan
diberikan score 1, dan apabilaCSR tidak diungkapkan akan diberikan score
0 (Pradipta, 2015)

Manfaat Corporate Social Responsibility (CSR)


Menurut Setianingrum (2015), untuk melakukan tanggungjawab
sosial, maka biasanya perusahaan lebih terfokus pada 3 asperk berikut ini:
a. Profit
Dalam memperolehnya keuntungan, perusahaan akan membagi
dividen bagi investor, membagikan beberapa keuntungan yang telah
didapat untuk membiayai tumbuh kembang usaha di masa datang,
serta memenuhi kewajiban pajak pada pemerintah.
b. Lingkungan
Dalam memberikan pengawasan terhadap lingkungan yang ada,
maka perusahaan sejatinya turut serta dalam melestarikan
lingkungan demi kualitas hidup manusia yang akan lebih baik dalam
beberapa waktu yang akan datang. Perusahaan juga turut serta
mengambil bagian didalam manajemen bencana, mengenai hal ini
bukan cuman sekedar memberikan santunan terhadap korban
bencana, tetapi turut berpartisipasi dalam usaha untuk mencegah
bencana itu terjadi. Serta dapat pula meminimalisir bencana itu
dengan melakukan tindakan preventif guna mencegahnya.
c. Sosial atau Masyarakat
Perhatian untuk warga, bisa dilaksanakan dengan metode melakukan
kegiatan dan juga pembuat keputusan yang berakibat menaikkan
standart di berbagai aspek corporate, seperti memberikan bantuan
untuk pelajar di sekitar area perusahaan, pembangunan sarana
prasarana kesehatan dan pendidikan, dan penguatan ekonomi lokal.
Dengan adanya CSR pabrik diharapkan bukan untuk memperoleh
keuntungan saja, tetapi harus memperhatikan kesejahteraan dan
standart kehidupan warga serta lingkungan disekitar untuk jangka
panjang
Untung (2008) dalam Mardikanto (2014) mengemukakan bahwa
Corporate Social Responsibility (CSR) bermanfaat untuk perusahaan
antara lain :

  1. Mempertahankan reputasi dan pandangan masyarakat terhadap
    perusahaan.
  2. Memperoleh standart operasi secara sosial.
  3. Memperkecil risiko dari bisnis perusahaan.
  4. Membuka jalan guna sumber daya bagi operasional usaha.
  5. Membuat pangsa pasar lebih luas.
  6. Pengurangan biaya akibat pembuangan limbah.
  7. Membuat hubungan perusahaan dengan stakeholder jauh lebih
    baik.
  8. Membuat hubungan perusahaan dengan regulator jauh lebih baik.
  9. Menumbuhkan jiwa agar karyawan lebih produktif dan semangat.
  10. Kesempatan untuk mendapatkan reward

Corporate Social Responsibility (CSR)


Pemerintah melalui Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT)
Nomor 40 Tahun 2007 mewajibkan bagi perusahaan untuk melaksanakan
program atau tanggungjawab sosial perusahaan selanjutnya ditulis CSR.
Salah satu kegiatannya adalah Corporate Sosial Responsibility (CSR).
Corporate Social Responsibility adalah suatu wujud pertanggungjawaban
sosial dari perusahaan kepada lingkungan masyarakat yang dengan
melaksanakan berbagai kegiatan sosial dapat bermanfaat bagi masyarakat
sekitar perusahaan. Usaha sosial perusahaan telah direncanakan secara
luas sebagai tugas manajerial untuk mengambil usaha melindungi dan
mengembangkan kesejahteraan masyarakat dan sekali lalu memberikan
keuntungan untuk perusahaan. Jadi kegiatan CSR pada dasarnya adalah
bentuk tanggungjawab perusahaan kepada masyarakat sekaligus sebagai
sarana untuk membangun reputasi dan meningkatkan keunggulan
perusahaan dalam bersaing.
Menurut John Eklington (1997) dalam (Nor Hadi, 2011:56) CSR
memiliki konsep yaitu perusahaan tidak hanya memprioritaskan dirinya
sendiri, melainkan juga lebih meningkatkan kesadaran bahwa lingkungan
merupakan sesuatu hal yang juga harus dipikirkan. Jika perusahaan turut
menjaga lingkungan sekitar, akan memberikan dampak-dampak sosial
yang ada. Lanis dan Richardson (2012:86-108) mengemukakan CSR
adalah salah satu kunci dalam keberlanjutan suatu perusahaan. Ada
beberapa pengertian Corporate Social Responsibility(CSR) oleh para ahli,
yaitu:
The World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) dalam Hery (2012:138), menjelaskan definisi dari CSR seperti
berikut ini:
“Corporate Social Responsibility (CSR) ialah komitmen suatu
bisnis dalam memberikan kontribusi guna membangun ekonomi yang
berkelanjutan, dengan kerja sama karyawan dan perwakilan, keluarga,
komunitas setempat, ataupun masyarakat umum dalam pembangunan”.
Trinidad dan Tobaco Bureau of Standards (TTBS) dalam Hery
(2012:138), mendefinisikan CSR seperti dibawah ini:
“Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen suatu
usaha untuk bertindak, beroperasi secara legal,etis, dan berkontribusi
dalam meningkatkan perekonomian, seiring dengan kualitas hidup
masyarakat, dan karyawan serta keluarganya yang semakin
meningkat.”
Menurut Sudana (2011:10), mengatakan bahwa Corporate Social
Responsibility (CSR) merupakan: “… bentuk pertanggungjawaban
perusahaan terhadap setiap dampak yang dihasilkan dari setiap keputusan-
keputusan dan setiap kegiatanbagi lingkungandan masyarakat”.
Selain itu, ISO 260000 ialah CSR sebagai tanggungjawab sebuah
organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan
kegiatan-kegiatan pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan
dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan
pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan norma-
norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara
menyeluruh.
Triple Bottom Line menjelaskan mengenai konsep CSR menurut
Elkington (1998) dalam Andreas (2015:65), digambarkan sebagai wujud
dari perusahaan yang peduli yang dilandasi dengan 3 prinsip dasar. Konsep
Triple Bottom Line ini berisi unsur 3P antara lain Profit, People, dan
Planet. Bahwa konsep ini mengartikan perusahaan selain mengejar
keuntungan bagi kepentingan shareholders (dalam hal profit), keterlibatan
perusahaan juga dituntut dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat
(People), turut berpatisipasi untuk merawat kelestarian lingkungan
(Planet

Teori Legitimasi


Teori legitimasi adalah sistem operasi perusahaan yang mempunyai
orientasi atas keberpihakkannya kepada masyarakat, pemerintah, individu
dan kelompok masyarakat. Atas suatu sistemnya yang berpihak kepada
masyarakat, maka sistem operasional perusahaan harus seimbang dengan
apa harapan masyarakat.
Suchman (1995:575-576) dalam Kirana (2009) mengemukakan teori
legitimasi adalah:
“Organizational legitimacy sebagai berikut; Legitimacy is a
generalizedperception or assumption that the actions of an entity are
desirable, proper,or appropriate within some socially constructed
system of norms, values,beliefs, and definitions”.
Legitimasi bisa dianggap sebagai hal untuk menyelaraskan persepsi
bahwa kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh entitas atau perusahaan
adalah tindakan-tindakan yang pantas atau sesuai dengan norma, nilai dan
kepercayaan yang berkembang dilingkungan sosial. Perusahaan
menganggap legitimasi sebagai suatu hal penting karena legitimasi yang
didapat dari masyarakat untuk perusahaan merupakan faktor untuk
perusahaan agar dapat berkembang.
O’Donovan (2000:344-371) dalam Nor Hadi (2011:87)
mengemukakan pendapatnya bahwa legitimasi suatu perusahaan adalah
sesuatu pemberian dari masyarakat untuk perusahaan, dan hal yang inginkan
dari masyarakat. Untuk itu manfaat legitimasi yaitu hal yang dijadikan
perusahaan dalam menjaga keberlangsungan hidup perusahaannya.
Teori ini menerangkan bahwa perusahaan dan masyarakat mempunyai
hubungan erat dikarenakan antara keduanya terikat didalam suatu “social
contract”. Teori legitimasi ini menerangkan bahwa adanya perusahaan
didalam suatu wilayah karena adanya dukungan secara politis dan juga
mendapat jaminan oleh regulasi pemerintah adalah suatu nilai yang positif
menurut masyarakat. Maka dari itu, secara tak langsung terjadi kontrak
sosial antara perusahaan dan masyarakat, mengenai hal ini masyarakat
memberikan cost dan benefit yang bermanfaat untuk keberlangsungan suatu
perusahaan (Andreas,2011:5)

Teori Stakeholder


Stakeholder adalah seluruh pihak baik dari internal maupun eksternal,
perusahaan yang bersifat mempengaruhi atau dipengaruhi, baik langsung
ataupun tidak langsung oleh berbagai keputusan-keputusan, berbagai
kebijakan, ataupun aktivitas operasi perusahaan.
Teori Stakeholder yang dikemukakan oleh Freeman dan Reed
(1983:91) dalam ulum (2009:04) adalah:
“Any indentifible group or individual who can affect the
achievement of an organization’s objectives, or is affected by the
achievement of an organization’s objectives”.
Teori Stakeholder adalah setiap kelompok orang atau seorang
individu yang teridentifikasi bisa berpengaruh atau dapat dipengaruhi oleh
kegiatan perusahaan.
Donaldson dan Preston (1995:65-91) dalam Nor Hadi (2011:94)
menjelaskan teori stakeholder baik secara eksplisit atau implisit yang
terbagi atas deskriptif atau empiris, instrumental, dan normatif. Yang
dimaksud deskriptif atau empiris yaitu deskriptif dari anggota organisasi
lebih khususnya seorang manajer mengenai bagaimana dia berperilaku
sebenarnya. Instrumental itu sendiri menjelaskan pengaruh dari perilaku
manajer menggunakan cara yang lain dalam masyarakat atau sebuah
organisasi. Teori normatif sehubungan dengan pertimbangan moral dari
perilaku suatu organisasi dan juga manajer didalam sebuah organisasi.
Duran dan Davor (2004:14) dalam Ulum (2009) mengemukakan
pendapatnya bahwa baik pemegang saham, pekerja, supplier, bank,
customer, pemerintah dan komunitas memiliki peran yang penting didalam
sebuah organisasi (berperan sebagai stakeholder), untuk itu menjadi
keharusan perusahaan untuk mempertimbangkan setiap kepentingan dan
juga nilai dari setiap stakeholdernya. Teori ini menerangkan bahwa
keberlangsungan perusahaan tergantung bagaimana perusahaan mampu
menselaraskan agar setiap kepentingan dari stakeholder dapat seimbang.
Dalam sudut pandang teori ini, baik lingkungan maupun masyarakat adalah
stakeholder yang harus menjadi perhatian perusahaan (Andreas, 2011:5).
Teori stakeholder memiliki tujuan guna memberikan bantuan
manajemen perusahaan agar nilai perusahaan semakin meningkat sebagai
dampak aktivitas operasional mereka dan meminimalisir hal yang dapat
menjadikan rugi para stakeholdernya. Teori stakeholder memberi
penjelasan bahwa sesungguhnya perusahaan bukan hanya beroperasi
dengan mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga dapat bermanfaat untuk
stakeholdernya (pemegang saham) kreditor, konsumen, supplier,
pemerintah dan masyarakat. Dengan hal ini, adanya perusahaan sangatlah
dipengaruhi oleh dukungan-dukungan yang didapat dari para stakeholder
kepada perusahaan tersebut.
Jones dalam Indrawan (2011:10) berpendapat bahwa stakeholders
terbagi dalam dua kategori, antara lain:
a. Inside stakeholder, merupakan orang yang berkepentingan pada
sumber daya yang ada dalam suatu perusahaan. Karyawan dan juga
pemegang saham merupakan bagian dari Inside stakeholder.
b. Outside stakeholder, adalah orang yang merupakan bukan dari pemilik
suatu perusahaan, juga bukan pula pemimpin suatu perusahaan, ataupun
karyawan perusahaan, akan tetapi berkepentingan dengan perusahaan
dan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan perusahaan. Yang termasuk
dalam Outside stakeholder terdiri dari pelanggan, pemerintah,
pemasok, dan masyarakat.

Return On Equity (ROE)


Return On Equity (ROE) berguna untuk mengetahui besarnya kembalian
yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik serta
menunjukkan kesuksesan manajemen dalam memaksimalkan tingkat kembalian
pada pemegang saham. Rasio ini diukur dengan membandingkan laba bersih
dengan total ekuitas perusahaan. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan
menghasilkan laba berdasarkan modal saham tertentu ( Hamzah dkk, 2022 ).
Return On Equity (ROE) bisa juga diartikan sebagai rasio yang meninjau
sejauh mana perusahaan mempergunakan sumber dayanya untuk memberikan
keuntugan terhadap ekuitas perhitungan Return On Equity secara langsung
berdampak pada harga saham perusahaan. ROE adalah rasio yang membandingkan
laba bersih dengan modal sendiri atau ekuitas. Akibatnya, ROE yang meningkat
menunjukkan bahwa perusahaan berkinerja baik dalam mengelola modalnya dan
mampu menghasilkan uang sebanyak mungkin, yang meningkatkan kesejahteraan
pemilik modal akibatnya, investor akan mencari saham di perusahaan dengan ROE
tinggi, yang pasti akan mengakibatkan kenaikan harga saham (Junaidi & Cipta,
2021)

Penerapan Good Corporate Governance


a) Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah konsentrasi kepemilikan yang dimiliki oleh
manajer dan komisaris. Secara teoritis, adanya kepemilikan manajerial akan dapat
mengurangi konflik keagenan yang mungkin terjadi di dalam perusahaan (Jensen
dan Meckling, 1976). Pihak manajemen yang memiliki saham sudah barang tentu
mengetahui kondisi perusahaan yang sesungguhnya karena dia memiliki akses
langsung kepada internal perusahaan dan dia akan memastikan investasinya
berhasil. Dengan lebih sedikitnya konflik kepentingan yang akan terjadi di dalam
perusahaan karena manajer adalah pemilik saham perusahaan yang juga
berorientasi terhadap kemajuan perusahaan. Maka sejalan dengan (Bhagat dan
Bolton, 2013).
b) Komite Audit
Komite Audit mempunyai peran penting dan strategis dan memlihara
kredibilitas penyusunan laporan keuangan seperti menjaga system pengawasan
yang memadai, dengan berjalannya fungsi komite audit secara efektif, kontrol
terhadap perusahaan akan semakin membaik. Komite audit berfungsi mengawasi
untuk dapat mengurangi sifat opportunistic dalam melakukan manajemen laba
dengan cara mengawasi laporan keuangan dan audit eksternal (Puspitawi dkk,
2019)
c) Dewan Komisaris Independen
Dewan komisaris memegang peranan penting dalam implementasi dalam
Good Ccorporate Governance. Dewan komisaris merupakan tingkat keberhasilan perusahaan karena peranannya dalam memastikan strategi perusahaan,
akuntabilitas dan tangung jawab manajemen dalam meningkatkan efisiensi
(Mukhtaruddin et al. dalam Dwi & Riki 2018). Pengaruh ukuran dewan komisaris
terhadap nilai perusahaan memiliki hasil yang beragam. Besar kecilnya dean
komisaris dapat menjadi faktor penentu dari efektivitas pengawasan terhadap
manajemen peruahaan salah satunya dengan penelitian yang dilakukan oleh Rano
dan Midiastuty (2011). Ketika manajemen perusahaan mendapatkan pengawasan
dan nasihat dari dewan komisaris, dan manajemen bekerja secara efektif maka dapa
meningkatkan profit yang diperoleh perusahaan yang berpengaruh terhadap nilai
saham yang mencerminkan nilai perusahaan (Sari dan Sanjaya, 2018).
d) Kepemilikan Institusional
Adanya kepemilikan institusional akan meningkatkan pengawasan yang lebih
baik terhadap perusahaan karena akan lebih mudah bagi sebuah perusahaan yang
besar untuk mengawasi dibanding investor ritail. karena kepemilikan saham 20
mewakili kuasa yang dapat digunakan untuk menunjuk atau memberhentikan
direktur jika kinerja perusahaan buruk. Dengan demikian manajer akan sebisa
mungkin agar menjalankan perusahaan sebaik-baiknya agar kinerja perusahaan
menjadi baik. Sejalan dengan hasil penelitian Happy Chukwudike Azutoru et al.,
(2017); Hermiyetti & Katlanis, (2017); Singh & Kansil, (2018).
f. Pengukuran Good Corporate Governance
Menurut Melinda (2008), kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai
presentase suara yang berkaitan dengan saham dan option yang dimiliki oleh
manajer dan komisaris suatu perusahaan. Kepemilkan manajerial, dapat diukur dari
persentase kepemilikan saham oleh manajemen.

Prinsip-prinsip Good Corporate Governance


Prinsip-Prinsip Corporate Governance Menurut KNKG (Komisi Nasional
Kebijakan Governance) Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan,
dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip keterbukaan
(transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan
ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate values, sasaran usaha dan startegi
bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank (accountibability), berpegang pada
prinsip ke hati hatian (prudential banking practices) dan menjamin
dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab bank
(responsibility), objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengambilan
keputusan (independency), serta senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
pemangku kepentingan berdasarkan asas kesataraan dan kewajaran (fairness).
1) Keterbukaan (Transparency)
a) Bank harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
b) akurat, dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku
kepentingan sesuai dengan haknya.
c) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada halhal
yang bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi
keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali,
cross shareholdering, pejabat eksekutif, pengelolaan risiko (risk management),
sistem pengawasan dan pengendalian intern, status kepatuhan, sistemm dan
pelaksanaan GCG, serta kejadian penting yang dapat memengaruhi kondisi
bank.
d) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi kewajiban untuk
memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
e) Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pemangku
kepentingan dan yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan
tersebut.
2) Akuntabilitas (Accountability)
a) Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing
organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi
perusahaan.
b) Bank harus meyakini bahawa semua organ organisasi bank mempunyai
kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam
pelaksanaan GCG.
c) Bank harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam
pengelolaan bank.
d) Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan
ukuran-ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan (corporate
values), sasaran usaha dan strategi bank, serta memiliki sistem penghargaan dan
pemberian hukuman (rewards and punishment system).
3) Tanggung jawab (Responsibility)
a) Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegang pada prinsip
kehati-hatian (prudential banking practices) dan menjamin dilaksanakannya
ketentuan yang berlaku.
b) Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik)
termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
4) Independensi (Independency)
a) Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh pemangku
kepentingan mana pun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta
bebas dari konflik kepentingan.
b) Bank dalam mengambil keputusan harus objektif dana bebas dari segala
tekanan dari pihak manapun.
5) Kewajiban (Fairness)
a) Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh pemangku
kepentingan berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment).
b) Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh pemangku kepentingan
untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
bank serta mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
keterbukaan.

Manfaat Good Corporate Governance


Manfaat Good Corporate Governance Alasan utama yang dikemukakan para
pakar tentang perlunya menerapkan, Good Corporate Governance (GCG) adalah
bahwa prinsip-prinsip GCG diperlukan untuk mengatasi masalah yang ada dalam
pengelolaan perusahaan. GCG dapat dilakukan melalui pembentukan komite audit,
peningkatan transparansi informasi, keberadaan komisaris independen,
meningkatkan hubungan dengan investor, dan pemberian remunerasi yang
dikaitkan dengan kinerja perusahaan (Kusmayadi, dkk 2015).
Menurut Wilson Arafat (2008) GCG dapat memberikan beberapa manfaat,
yaitu:

  1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan
    keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta
    lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.
  2. Meningkatkan nilai perusahaan.
  3. Meningkatkan kepercayaan investor.
  4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus
    akan meningkatkan shareholder’s value dan dividen.

Tujuan Good Corporate Governance


Tujuan Good Corporate Governance Menurut Indra Suryana dalam Effendi
(2016:7) penerapan Good Corporate Governance secara konkret memiliki tujuan
terhadap perusahaan sebagai berikut :

  1. Memudahkan akses terhadap investasi domistik.
  2. Mendapatkan cost of capital yang lebih murah.
  3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
    perusahaan.
  4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan
    terhadap perusahaan.
  5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.

Pengertian Good Corporate Governance


Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggung jawabannya kepada para
stakeholder khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini
dimaksud untuk mengatur kewenangan direktur, manajer, pemegang saham dan
pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan
tertentu.
Good Corporate Governance merupakan suatu sistem yang dirancang
untuk mengarahkan pengelolaan perusahaan secara professional berdasarkan
prinsip prinsip transparasi, akuntabilitas, tanggung jawab, independent, kewajaran
dan kesetaraan Effendi (2016:3).
Menurut Rustam (2017:294) Good Corporate Governance merupakan
serangkaian keterkaitan antara dewan komisaris , direksi, pihak pihak yang
berkepentingan, serta pemegang saham perusahaan. Good Corporate Governance
menciptakan sebuah struktur yang membantu perusahaan dalam menetapkan
sasaran, menjalankan kegiatan usaha sehari, memperhatikan kebutuhan
stakeholder, memastikan perusahaan beroperasi secara aman dan sehat, mematuhi
hukum dan peraturan lain, serta melindungi kepentingan nasabah.

Tujuan dan Manfaat Analisis Rasio Keuangan


Analisis rasio keuangan terutama bertujuan untuk mendapat gambaran
tentang baik buruknya keadaan keuangan suatu perusahaan pada saat dianalisis.
Berdasarkan hasil analisis tersebut manajemen akan memperoleh suatu informasi
tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan. Informasi tersebut dapat membantu
manajer dalam memahami apa yang perlu dilakukan perusahaan selain itu manajer
dapat membuat keputusan-keputusan penting di masa yang akan datang. Analisis
rasio keuangan tidak hanya penting bagi pihak manajemen tetapi penting juga bagi
pihak eksternal perusahaan. Bagi pihak eksternal, analisis rasio keuangan penting
untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan keuangan suatu perusahaan.
Dengan mengetahui perkembangan keuangan perusahaan tersebut mereka dapat
memutuskan apakah akan tetap menginvestasikan dananya pada perusahaan
tersebut atau tidak.
Manfaat dari analisis rasio keuangan adalah dapat mengetahui adanya
kekuatan atau kelemahan keuangan dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan
membandingkan angka rasio keuangan dengan standar yang ditetapkan maka akan
diperoleh manfaat lain yaitu dapat diketahui apakah dalam aspek keuangan tertentu
perusahaan berada di atas standar di bawah standar. Apabila perusahaan berada di
bawah standar, maka manajemen akan mencari faktor-faktor yang
menyebabkannya untuk kemudian diambil kebijakan keuangan untuk dapat
menaikkan rasio perusahaannya kembali

Pengertian Kinerja Keuangan


Menurut Sanjaya Surya (2018:282) Kinerja keuangan merupakan tingkat
kesuksesan yang dicapai oleh perusahaan sehingga memperoleh hasil pengelolaan
keuangan yang baik. Kinerja keuangan dapat dikatakan suatu analisis yang
dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan
menggunakan peraturan-peraturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar.
kinerja keuangan adalah bentuk prestasi yang dicapai oleh perusahaan dalam
mengelola keuangan dan juga menggambarkan kondisi kinerja suatu entitas.
Kinerja keuangan merupakan gambaran kondisi suatu perusahaan pada suatu
periode tertentu baik dalam kaitannya dengan aspek penghimpunan dana maupun
penyaluran dana, yang biasanya di ukur dengan indikator kecukupan modal,
likuiditas, dan profabilitas (Ratnasari Chomsatu Samrotun & Wijayanti,2018).
Menurut Fahmi (2011: 2) penilaian kinerja setiap perusahaan adalah berbeda-
beda karena tergantung kepada ruang lingkup bisnis yang dijalankannya. Maka
disini ada 5 (lima) tahapan dalam menganalisis kinerja keuangan suatu perusahaan
secara umum yaitu:
a. Melakukan review terhadap data laporan keuangan. Review disini dilakukan
dengan tujuan agar laporan keuangan yang sudah dibuat tersebut sesuai dengan
penerapan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam dunia akuntansi, sehingga
dengan demikian hasil laporan keuangan tersebut dapat dipertanggung
jawabkan.
b. Melakukan perhitungan. Penerapan metode perhitungan disini adalah
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang sedang dilakukansehingga
hasil dari perhitungan tersebut akan memberikan suatu kesimpulan sesuai
dengan analisis yang diinginkan.
c. Melakukan perbandingan terhadap hasil hitungan yang telah diperoleh. Dari
hasil hitungan yang sesuai diperoleh tersebut kemudian dilakukan
perbandingan dengan hasil hitungan dari berbagai perusahaan lainnya. Metode
yang paling umum dipergunakan untuk perbandingan ada dua yaitu:
a) Time series analysis, yaitu membandingkan secara antar waktu atau antara
periode, maka akan terlihat perbandingan secara grafik.
b) Cross sectional approach, yaitu melakukan perbandingan terhadap hasil
hitungan rasio-rasio yang telah dilakukan antara satu perusahaan dan
perusahaan lainnya dalam ruang lingkup yang sejenis dan dilakukan secara
bersamaan.
Dari hasil penggunaan metode ini diharapkan nantinya akan dapat dibuat
suatu kesimpulan yang menyatakan posisi perusahaan tersebut berada dalam
kondisi sangat baik, baik, sedang/normal, tidak baik, dan sangat tidak baik.
d. Melakukan penafsiran (interpretation) terhadap berbagai permasalahan yang
ditemukan. Pada tahap ini analisis melihat kinerja keuangan perusahaan adalah
setelah dilakukan ketiga tahap tersebut selanjutnya dilakukan penafsiran untuk
melihat apa-apa saja permasalahan dan kendala-kendala yang dialami
perusahaan tersebut.
e. Mencari dan memberikan pemecahan masalah (solution) terhadap
permasalahan yang ditemukan. Pada tahap terakhir ini setelah ditemukan
berbagai permasalahan yang dihadapai maka dicarikan solusi guna memberikan
suatu input atau masukan agar apa yang menjadi kendala dan hambatan ini
dapat terselesaikan.

Pengertian Nilai Perusahaan


Menurut Amrizal & Rohmah (2017) Nilai perusahaan merupakan persepsi
investor terhadap perusahaan, yang sering dihubungkan dengan harga saham. Harga
saham yang tinggi akan membuat nilai perusahaan juga tinggi. Nilai perusahaan
sangat penting karena apabila nilai perusahaan tinggi akan diikuti olehtingginya
kemakmuran pemegang saham.
Menurut Sarafina & Saifi (2017) Nilai perusahaan terkandang ditentukan
untuk suatu periode tertentu. Nilai ditentukan dengan pada harga yang wajar,
penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok pembeli tertentu. Indikator-indikator
yang mempengaruhi nilai perusahaan (PBV).

Tujuan Manajemen Keuangan


Tujuan utama manajemen keuangan adalah untuk memastikan bahwa
perusahaan memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk membiayai
operasinya serta memaksimalkan nilai perusahaan bagi para pemangku kepentingan
(stakeholders) seperti pemegang saham, kreditor, karyawan dan masyarakat luas.
Tujuan utama lainnya adalah :
a. Meningkatkan profitabilitas perusahaan: Manajemen keuangan bertujuan untuk
memaksimalkan keuntungan perusahaan dengan mengelola sumber daya
keuangan secara efektif dan efisien.
b. Meningkatkan likuiditas. Manajemen keuangan bertujuan untuk memastikan
bahwa perusahaan memiliki cukup kas untuk memenuhi kebutuhan operasional
dan membayar utang tepat waktu.
c. Meningkatkan nilai perusahaan: Manajemen keuangan bertujuan untuk
meningkatkan nilai perusahaan dengan memilih investasi yang tepat dan
mengelola risiko keuangan secara efektif.
d. Meminimalisir risiko keuangan: Manajemen keuangan bertujuan untuk
mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko keuangan yang mungkin
dihadapi perusahaan, seperti risiko pasar, risiko kredit, dan risiko operasional
e. Menjaga hubungan baik dengan pemangku kepentingan: Manajemen keuangan
bertujuan untuk menjaga hubungan baik dengan para pemangku kepentingan
perusahaan, seperti pemegang saham, kreditor, dan karyawan, dengan
memberikan laporan keuangan yang akurat dan transparan.

  1. Fungsi Manajemen Keuangan
    Fungsi manajemen dalam organisasi memegang peranan yang penting untuk
    mencapai tujuan organisasi. Fungsi manajemen dibagi ke dalam lima fungsi yang
    telah dikemukakan Hery (2018:8) yaitu:
    a. Perencanaan Fungsi perencanaan mencangkup proses perumusan sasaran,
    penetapan strategi untuk mencapai sasaran tersebut, serta penyusunan rencana
    guna menyelaraskan dan mengkoordinir berbagai kegiatan.
    b. Pengorganisasian Fungsi pengorganisasian yaitu merancang pekerjaan guna
    mencapai sasaran organisasi, melalui proses penciptaan struktur organisasi.
    c. Kepemimpinan Fungsi kepemimpinan, manajer bertanggung jawab untuk
    mengarahkan dan memotivasi seluruh pihak yang terlibat, serta mampu
    mengatasi atau menyelesaikan konflik.
    d. Pengendalian, Fungsi pengendalian merupakan proses memantau,mengevaluasi
    dan membuat perbaikan agar kegiatan dapat kembali sejalan dengan rencana
    awal
    Fungsi dari pembuatan keputusan manajemen keuangan, menurut Harjito dan
    Martono (2014:4) dibagi ke dalam:
    a) Keputusan investasi (investment decision), Keputusan sehubungan dengan
    investasi, berkaitan dengan jumlah aktiva dimiliki, kemudian penempatan
    komposisi masing-masing aktiva. Misalnya berapa alokasi kas, aktiva tetap atau
    aktiva lainnya. Keputusan investasi ini berkaitan erat dengan sisi kiri dari
    laporan keuangan neraca.
    b) Keputusan pendanaan (financing decision) Keputusan pendanaan, merupakan
    keputusan yang berkaitan dengan jumlah dana yang disediakan perusahaan,
    baik yang bersifat utang atau modal sendiri dan biasanya berhubungan dengan
    sebelah kanan laporan keuangan neraca. Manajer keuangan harus memikirkan
    penggabungan dana yang dibutuhkan, termasuk pemilihan jenis dana yang
    dibutuhkan, apakah jangka pendek atau jangka panjang atau modal sendiri, serta
    kebijakan dividen.
    c) Keputusan pengelolaan aset (assets management decision) Keputusan
    pengelolaan aset, hal ini berkaitan dengan pengelolaan aset secara efisien,
    terutama dalam hal aktiva lancar dan aktiva tetap. Pengelolaan aktiva lancar
    berkaitan erat dengan manajemen modal kerja dan yang berkaitan dengan aktiva
    tetap adalah yang berkaitan dengan manajemen investasi.

Manajeman Keuangan


Manajemen keuangan adalah disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengelola
sumber daya keuangan suatu entitas atau perusahaan dengan cara yang efektif dan
efisien. Manajemen keuangan mencakup berbagai kegiatan seperti penganggaran,
perencanaan keuangan, pengelolaan kas, pengelolaan investasi, pembiayaan,
pengendalian biaya, dan analisis kinerja keuangan. Berikut manajemen keuangan
menurut para ahli :
Menurut Purba (2021:114) pengelolaan keuangan atau manajemen keuangan
adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian kegiatan
keuangan seperti pengadaan dan pemanfaatan dana usaha. Menurut Anwar (2019:5)
manajemen keuangan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang
pengelolaan keuangan perusahaan baik dari sisi pencarian sumber dana,
pengalokasian dana, maupun pembagian hasil keuntungan perusahaan. Menurut
Astawinetu & Handini (2020:2) manajemen keuangan adalah manajemen tentang
fungsi-fungsi keuangan ialah bagaimana memperoleh dana (rising of funds) dan
bagaimana menggunakan dana (allocation of funds).

Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)


Teori Legitimasi (Legitimacy theory) Mengungkapkan bagaimana organisasi
berusaha memastikan bahwa aktivis organisasi sudah sesuai dengan harapan
masyakarat dimana organisasi beroperasi. Organisasi berusaha untuk memastikan
aktivitas yang dilakukan responsive terhadap nilai nilai yang ada di dalam
organisasi. Legitimasi merupakan hubungan antara pemimpin dan yang di pimpin
(Indriani et al,2019).
Teori legitimasi berhubungan erat dengan teori stakeholder. Teori legitimasi
menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin
operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam
perspektif teori legitimasi, suatu perusahaan akan secara sukarela melaporkan
aktifitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan
komunitas. Teori legitimasi bergantung pada premis bahwa terdapat ’kontrak sosial’
antara perusahaan dengan masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi

Profitabilitas


Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam
hubungan dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri (Yuliansyah,
2017).
Pada penelitian ini profitabilits dinyatakan dalam ROA. ROA merupakan
jenis rasio profitabilitas yang mencerminkan laba perusahaan melalui pembagian
laba bersih setelah pajak dengan total aktiva perusahaan. Secara teoritis, nilai
ROA yang semakin besar mencerminkan kinerja keuangan yang bagus dari
perusahaan kepada para stakeholder-nya dan nantinya stakeholder tentu akan
mendorong perusahaan untuk lebih banyak memberikan kontribusi yang positif
dan melaporkan segala aktivitas sosialnya secara transparan ke dalam sebuah
pengungkapan CSR secara lebih detail dan lebih lengkap.

Leverage

Leverage adalah kemampuan suatu perusahaan memenuhi kewajiban jangka
panjangnya. Perusahaan dengan tingkat leverageyang tinggi cenderung ingin
melaporkan laba lebih tinggi agar dapat mengurangi kemungkinan perusahaan
melanggar perjanjian utang (Putri, 2017).
Leverage dapat diproksikan dengan debt to total asset ratio yang
diperolehmelalui total hutang dibagi dengan total aset. Rasio ini menekankan
pentingnyapendanaan hutang bagi perusahaan dengan jalan menunjukkan
persentase aktivaperusahaan yang didukung oleh pendanaan hutang.

Ukuran Perusahaan


Secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis yaitu
tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial. Perusahaan besar dengan
aktivitas operasi yang besar akan lebih memperhatikan kegiatan sosial sehingga
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan akan semakin luas. Hal ini
diperlukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat (Ale,
2014).
Ukuran perusahaan bisa didasarkan pada total aktiva (aktiva tetap, tidak
berwujud dan lain-lain), jumlah tenaga kerja, volume penjualan dan kapitalisasi
pasar. Pada penelitian ini ukuran perusahaan dinyatakan dalam total aktiva. Hal
ini dapat dilihat dari berbagai penelitian empiris yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pengaruh total aktiva hampir selalu konsisten dan secara
statistik signifikan. Ukuran perusahaan yang diukur dengan total aktiva akan
ditransformasikan dalam logaritma untuk menyamakan nilai dengan variabel lain
karena total aktiva perusahaan nilainya relatif besar dibandingkan variabel-
variabel lain dalam penelitian ini. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui
bahwa semakin besar total aktiva yang dimiliki perusahaan maka akan semakin
besar pula tanggung jawab sosial yang harus diungkapkan

Pengukuran Corporate Social Responsibility (CSR)


Terdapat beberapa cara untuk mengukur Coroporate Social Resposibility
(CSR), diantaranya:

  1. Global Reporting Initiative (GRI)
    Standar pengungkapan Coroporate Social Resposibility (CSR) yang
    berkembang di Indonesia sesuai dengan standar yang diterapkan Global
    Reporting Initiative (GRI). Saat ini standar GRI versi terbaru, yaitu G4 telah
    telah banyak digunakan oleh perusahaan di Indonesia. GRI-G4 menyediakan
    kerangka kerja yang relevan secara global untuk mendukung pendekatan yang
    terstandarisasi dalam pelaporan yang mendorong tingkat transparansi dan
    konsistensi yang diperlukan untuk membuat informasi yang disampaikan
    menjadi berguna dan dapat dipercaya oleh pasar dan masyarakat. Fitur yang
    ada di GRI-G4 menjadikan pedoman ini lebih mudah digunakan baik bagi
    pelapor yang berpengalaman dan bagi mereka yang baru dalam pelaporan
    keberlanjutan sektor apapun dan didukung oleh bahan-bahan dan layanan GRI
    lainnya. Dalam standar GRI G-4, indikator kinerja dibagi menjadi tiga
    komponen utama, yaitu ekonomi, lingkungan hidup dan sosial.
  2. International Organization for Standardization (ISO) 26000
    ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela
    mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup
    semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang
    maupun negara maju. Konsep ISO 26000, mempunyai tujuh (7) isu pokok
    yaitu :
    a. Pengembangan Masyarakat
    b. Konsumen
    c. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
    d. Lingkungan
    e. Ketenagakerjaan
    f. Hak asasi manusia
    g. Organisasi Pemerintahan (Organizational Governance)
    Dengan ISO 26000 ini, organisasi akan memberikan tambahan nilai
    terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan
    cara mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab
    sosial dan isunya, menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-
    prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif dan memilah praktek-praktek
    terbaik yang sudah berkembang dan disebar luaskan untuk kebaikan
    komunitas atau masyarakat internasional (Rendi Mahendra, 2016).
  3. AA1000 AccountAbility Principles (AA1000AP)
    Tujuan standar AA1000AP adalah untuk menyediakan organisasi dengan
    seperangkat prinsip panduan praktis yang dapat digunakan untuk menilai,
    mengelola, meningkatkan dan mengkomunikasikan kinerja keberlanjutan
    mereka. Organisasi yang menyerahkan laporan keberlanjutan mereka ke
    jaminan eksternal sesuai dengan AA1000 harus menyadari perubahan dalam
    Prinsip-Prinsip AA1000, karena prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar
    untuk proses jaminan. Versi standar sebelumnya terdiri dari tiga prinsip :
    1) Inklusivitas – Orang harus memiliki suara dalam keputusan yang
    memengaruhi mereka.
    2) Materialitas – Pengambil keputusan harus mengidentifikasi dan
    memperjelas topik keberlanjutan yang penting.
    3) Ketanggapan – Organisasi harus bertindak secara transparan pada topik
    keberlanjutan material dan dampak terkaitnya.
  4. Index Social MSCI KLD 400
    Index Social MSCI KLD 400, yang sebelumnya dikenal sebagai Index
    Social Domini 400 adalah indeks saham pasar dari 400 perusahaan publik
    yang telah memenuhi standar keunggulan sosial dan lingkungan tertentu.
    Calon potensial untuk indeks ini akan memiliki catatan positif tentang isu-isu
    seperti karyawan dan hubungan manusia, keamanan produk, keamanan
    lingkungan dan tata kelola perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam bisnis
    alkohol, tembakau, senjata api, perjudian, tenaga nuklir, dan senjata militer
    secara otomatis dikecualikan. Didirikan pada tahun 1990 sebagai index
    Domini 400 Social dan berganti nama menjadi Index Social MSCI KLD 400
    pada tahun 2010. Indeks ini adalah salah satu indeks Investasi Bertanggung
    Jawab Sosial (Socially Responsible Investing) pertama yang dirancang untuk
    membantu investor yang sadar sosial untuk mempertimbangkan faktor sosial
    dan lingkungan dalam investasi yang mereka pilih. Perusahaan dapat
    dihilangkan dari indeks secara triwulanan jika peringkat Lingkungan, Sosial
    dan Tata Kelola mereka menurun di bawah standar tertentu. Jika perusahaan
    dihapus dari indeks Index Social MSCI KLD 400 maka akan digantikan oleh
    perusahaan yang memiliki skor Tata Kelola yang lebih tinggi untuk
    mempertahankan jumlah 400 sekuritas

Pengungkapan CSR dalam Laporan Tahunan


Pengungkapan sosial dalam laporan tahunan adalah pengungkapan
informasi tentang aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan
sosial perusahaan. Pengungkapan sosial dapat dilakukan melalui berbagai media
antara lain laporan tahunan, laporan interim, prospektus, pengumuman kepada
bursa efek, atau melalui media massa (Freedman dalam Kusumadilaga, 2010;
dalam Purnama dkk, 2014).
Pengungkapan dan pelaporan CSR dalam laporan tahunan perusahaan
merupakan hal dari pengimplementasian Good Corporate Governance (GCG) di
Indonesia. Dari pengungkapan dan pelaporan CSR yang berdampak pada GCG
menjelaskan bahwa untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan agar kegiatan
operasional perusahaan berjalan dengan baik dan lancar, maka dari pihak
perusahaan harus memperhatikan kepentingan stakeholder demi terciptanya
kerjasama yang baik antara perusahaan dengan para stakeholder.
Pengungkapan tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan
umumnya bersifat voluntary (sukarela) sehingga perusahaan-perusahaan memiliki
item dan format yang berbeda dalam pengungkapannya. Hal ini menimbulkan
kesulitan dalam membandingkan aktivitas sosial yang dilakukan antar perusahaan
(Siregar dan Bachtiar, 2010 dalam Widiana, 2012). Oleh karena itu dibentuklah
pedoman atau standar yang kemudian diterapkan atau digunakan oleh perusahaan
perusahaan di Indonesia yaitu pedoman yang dikembangkan oleh Global
Reporting Initiatives (GRI).

Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CorporateSocial Responcibility (CSR)


Pengungkapan mengandung arti bahwa laporan keuangan harus
memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu
unit usaha (Ghozali dan Chariri. 2007). Secara konseptual, pengungkapan
merupakan bagian integral dari pelaporan keuangan. Secara teknis, pengungkapan
merupakan langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam
bentuk seperangkat penuh laporan keuangan. Secara umum, tujuan pengungkapan
adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan
pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan
berbeda.
Dalam pengungkapan terdapat 3 konsep umum (Hendriksen dan Breda,
1991 dalam Widiana, 2012), yaitu:
1) Pengungkapan yang cukup (adequate disclosure), merupakan pengungkapan
informasi yang bertujuan untuk memenuhi kewajiban dalam menyampaikan
informasi yang sejalan dengan tujuan penyajian laporan guna mencegah
kesalahan interpretasi informasi.
2) Pengungkapan yang wajar (fair disclosure), merupakan informasi dengan
menyajikan sejumlah informasi yang menurut perusahaan dapat memuaskan
pengguna laporan keuangan yang potensial Informasi minimum yang
diwajibkan dan informasi tambahan lainnya mempunyai tujuan untuk
menghasilkan penyajian laporan keuangan yang wajar.
3) Pengungkapan yang lengkap (full disclosure), merupakan
pengungkapaninformasi yang relevan secara keseluruhan. Informasi yang
diungkapkan adalah informasi minimum yang diwajibkan ditambah dengan
informasi lain yang diungkapkan secara sukarela. Full disclosure dapat
membantu mengurangi terjadinya kesalahan akibat asimetri informasi, namun
seringkali dinilai berlebihan
Beberapa alasan yang mendorong praktik pengungkapan tanggung jawab sosial
dan lingkungan oleh perusahaan (Bhatt, 2002 :6) antara lain :
1) Perusahaan setidaknya harus patuh (comply) terhadap peraturan nasional.
Demikian pula dengan multinasional yang harus mematuhi ketentuan hukum,
kesepakatan, konvensi ataupun standar internasional yang berlaku
2) Risk minimisation. Lebih dari sekedar kepatuhan, perusahaan harus menyadari
impact nyata dan impact potensial secara social ekonomi, politik maupun
lingkungan. Berdasarkan pada kesadaran inilah, perusahaan harus
mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan serta prosedur untuk
meminimalisasi berbagai kerusakan atau kerugian yang mungkin dihasilkan
dari operasi perusahaan atau dari rekanan bisnisnya.
3) Value creation. Lebih dari sekedar kepatuhan dan meminimalisasi kerusakan,
perusahaan dapat menciptakan “positive social value” dengan melibatkan
masyarakat di dalamnya (engage in), seperti inovasi investasi sosial (innovative
social investment), konsultasi dengan stakeholders, dialog kebijakan (policy
dialogue), dan membangun istitusi masyarakat (buliding civic institution), baik
secara mandiri ataupun bersama dengan perusahaan yang lain.
Oleh karena itu, diwajibkan atau tidaknya CSR tergantung dari komitmen dan
kepedulian perusahaan. CSR yang baik memadukan kepentingan shareholder dan
stakeholder sehingga tuntutan kepada perusahaan untuk melakukan dan
mengungkapkan CSR tidak terelakkan

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate SocialResponsibility (CSR)


Schermerhorn (1993) dalam Suharto (2006); dalam Khadifa (2014)
menyebutkan bahwa definisi Corporate Social Responsibility sebagai suatu
kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri
dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal.
Sedangkan The World Bussiness Council on Sustainable Development—
WBCSD (2000) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk
melaksanakan etika keperilakuan (behavioural ethics) dan memberikan kontribusi
bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic development)
melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga
mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum.
Corporate Social Responcibility (CSR) dapat digambarkan sebagai
ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan yang berkaitan dengan
interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya yang dapat
dibuat dalam laporan keuangan tahunan perusahaan atau laporan sosial terpisah.

Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)


Stakeholder diartikan sebagai pemangku kepentingan yaitu pihak atau
kelompok yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap
eksistensi atau aktivitas perusahaan.
Stakeholder dapat dibedakan kedalam stakeholder primer dan stakeholder
sekunder. Clarkson (1995) dalam Moir (2001); dalam Pian KS (2010)
mendefinisikan stakeholder primer dan stakeholder sekunder sebagai berikut:
1) Stakeholders primer adalah pihak dimana tanpa partisipasinya yang
berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan. Contohnya adalah shareholder
dan investor, karyawan, konsumen dan pemasok, bersama dengan yang
didefinisikan dengan shareholder public, yaitu pemerintah dan komunitas
yang menyediakan infrastruktur dan pasar, yang undangundang dan
peraturannya harus ditaati, dan kepadanya pajak dan kewajibannya harus
dibayar. Suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem stakeholders primer – yang merupakan rangkaian kompleks hubungan
antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan,
harapan, dan tanggung jawab yang berbeda.
2) Stakeholders sekunder didefinisikan sebagai pihak yang mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka tidak terlibat dalam transaksi
dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk kelangsungan hidup
perusahaan. Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan
tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan
hidupnya, tapi mereka dapat mempengaruhi kinerja perusahaan dengan
mengganggu kelancaran bisnis perusahaan.
Chariri dan Ghozali (2007) menyatakan bahwa dalam teori stakeholder,
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya
sendirinamun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya (pemegang saham,
kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain).
Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh
dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.
Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para stakeholder yang
dianggap powerfull. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi
pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses
terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau
kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan
perusahaan (Deegan, 2000 dalam Chariri dan Ghozali, 2007). Power tersebut
dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang
terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh,
kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi
konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Deegan, 2000 dalam
Chariri dan Ghozali, 2007)

Teori legitimasi (Legitimacy Theory)


Legitimasi merupakan suatu sistem yang mengutamakan kepentingan
masyarakat atau lebih memihak kepada masyarakat (Putri, 2013). (Susilawati,
2018) legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan
masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari
perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian legitimasi merupakan manfaat atau
sumberdaya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup.
Legitimasi mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran masyarakat
dan lingkungan. Perusahaan harus dapat menyesuaikan perubahan tersebut baik
produk, metode dan tujuan. Deegan, Robin dan Tobin dalam Hadi (2011)
menyatakan legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara
keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai (congruent) dengan
eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi
pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi
perusahaan dapat terancam.

Pengaruh Rasio likuiditas terhadap pengungkapan ISR


Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang-
hutang jangka pendeknya tanpa harus mencairkan aset jangka panjang. Setiap
perusahaan yang mempunyai likuiditas yang tinggi dapat memberikan
keunggulan terhadap perusahaan lain. Dengan likuiditas yang tinggi dapat
mencerminkan bahwa perusahaan tersebut unggul dalam berbagai hal, yang
diantaranya yaitu dalam melakukan kegiatan sosial hal ini dapat memberikan
tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar agar lingkungan sekitar merasa
nyaman dengan adanya perusahaan yang menjalankan usahanya di lingkungan
tersebut.
Perusahaan yang mampu menimbulkan rasa nyaman kepada
masyarakat disekitar perusahaan tesebut akan berdampak kepada kinerja dari
perusahaan. Pengungkapan Islamic Social Reporting (ISR) dapat memberikan
pelaporan kepada para investor bahwa laporan keuangan yang di keluarkan
sesuai dengan prinsip-prinsip islam . Perlu diketahui bahwa setiap perusahaan
yang memiliki tingkat likuiditas tinggi berarti aset lancar yang dimiliki oleh
perushaan cukup baik atas kemampuannya membayar hutang jangka pendek
dengan lancar. Sehingga pengungkapan tanggung jawab sosial lebih leluasa.
Penelitian sebelumnya Syahrir dan Suhendra (2010) membuktikan
bahwa likuiditas mempunyai pengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) membuktikan bahwa
likuiditas tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pengungkapan ISR.

Pengaruh Profitabilitas terhadap pengungkapan ISR


Salah satu Indikator kinerja keuangan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Profutabilitas. Alasan dipilihnya Profitabilitas sebagai variabel
independen adalah bahwa ROA merupakan cara penghitungan dari
profitabilitas. Dalam analisis laporan keuangan, rasio ini paling sering disoroti,
karena mampu menunjukkan keberhasilan perusahaan menghasilkan
keuntungan.
ROA mampu mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
keuntungan pada masa lampau untuk kemudian diproyeksikan di masa yang
akan datang. Assets atau aktiva yang dimaksud adalah keseluruhan harta
perusahaan, yang diperoleh dari modal sendiri maupun dari modal asing yang
telah diubah perusahaan menjadi aktiva-aktiva perusahaan yang digunakan
untuk kelangsungan hidup perusahaan.
Semakin besar ROA menunjukkan keuntungan perusahaan semakin
baik, karena tingkat pengembalian (return) atau laba yang dihasilkan oleh
sebuah perusahaan semakin tinggi. Dengan tingginya tingkat laba yang
dihasilkan maka semakin banyak pula aset yang diperoleh dari keuntungan
suatu perusahaan dan hal ini menunjukkan kinerja perusahaan sangat baik.
Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi lebih
bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggung jawaban sosial
karena dengan tingkat profitabilitas tinggi perusahaan meendapatkan
kesempatan untuk melakukan pengungkapan ISR. Widiawati dan Raharja
(2012) membuktikan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh positif
signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial yang sesuai
dengan prinsip Islam. Adapun juga penilitian lainnya yang dilakukan oleh
Dewi (2012) menunjukkan hasil yang sama bahwa profitabilitas berpengaruh
positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial.

Pengaruh Leverage terhadap pengungkapan ISR


Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan
semua kewajibannya kepada pihak lain. Setiap perusahaan yang memiliki
leverage yang tinggi dapat memberikan pengungkapan leverage yang lebih
banyak karena perusahaan harus menjelaskan kepada investor, kreditor ataupun
pihak yang berkepentingan lainnya mengenai kemampuan perushaaan untuk
melunasi hutang dan berbagai dampak sesuai dengan pinjaman tersebut
terhadap tanggungjawab sosial perusahaan.
Perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang tinggi mempunyai
kewajiban untuk memenuhi segala keperluan informasi kreditnya. Semakin
tinggi leverage maka akan semakin besar pula kemungkinan perusahaan akan
melanggar perjanjian kredit, sehingga perusahaan akan berupaya untuk
melaporkan laba yang diperoleh lebih tinggi. agar laba yang dilaporkan tinggi
hal yang dilakukan manager harus mengurangi beberapa biaya, termasuk biaya
untuk kegiatan ISR. Jadi di dalam pengungkapan ISR terkendala untuk
mengungkapkan pendanaan sosialnya.

Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap pengungkapan ISR


Komite audit merupakan yang bertugas membantu dewan komisaris
dalam melakukan pengawasan terhadap manajemen. Dalam hal pelaporan
keuangan, peran dan tanggung jawab komite audit adalah memonitor dan
mengawasi audit laporan keuangan dan memastikan agar standar dan
kebijaksanaan keuangan yang berlaku terpenuhi, memeriksa ulang laporan
keuangan apakah sudah sesuai dengan standar dan kebijksanaan tersebut dan
apakah sudah konsisten dengan informasi lain yang diketahui oleh anggota
komite audit, serta menilai mutu pelayanan dan kewajaran biaya yang diajukan
auditor eksternal.
Komite audit yang efektif harus meningkatkan pengendalian internal
dan bertindak untuk mengurangi agency cost, dan sebagai alat pengendalian
yang kuat untuk meningkatkan pengungkapan modal intelektual yang memiliki
nilai bagi perusahaan. Munculnya komite audit dihubungkan dengan pelaporan
keuangan yang lebih terpercaya, peningkatan kualitas dan pengungkapan.
Dengan adanya komite audit tentunya terjadinya proses manipulasi laba akan
kecil sehingga perusahaan akan mengungkapkan segala hal yang menjadi
keharusan seperti, tidak adanya manipulasi laporan keuangan. Ketika
manipulasi laporan keuangan tidak ada maka pengungkapan ISR tentunya akan
lebih tranparan tanpa adanya manipulasi.

Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap ISR


Ukuran dewan komisaris yang dimaksud adalah jumlah anggota dewan
komisaris dalam perusahaan. Menurut Sembiring (2005) manajemen memiliki
dorongan untuk mengungkapkan informasi yang diumumkan dan
menyembunyikan informasi yang tidak diungkapkan. Akibatnya, pemegang
saham tidak mengetahui secara khusus informasi apa yang disembunyikan.
Untuk mengatasi masalah tersebut Dewan komisaris didelegasikan oleh
pemegang saham untuk melakukan pengawasan terhadap kecurangan yang
dilakukan manajemen. Sehingga jumlah dewan komisaris yang cukup banyak,
akan memaksimalkan pengawasan terhadap kinerja yang dihasilkan
manajemen, termasuk pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dengan adanya dewan komisaris yang cukup banyak, maka akan
semakin mudah untuk mengendalikan CEO (manajemen puncak) dan
monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Apabila dikaitkan dengan
pengungkapan tanggung jawab sosial, diharapkan dewan komisaris mampu
menekan majemen untuk melakukan pengungkapan ISR yang merupakan
kewajiban oleh setiap perusahaan. Dengan pengawasan yang baik, maka
diharapkan pengungkapan Islamic social reporting akan semakin luas karena
dapat meminimalisir informasi yang mungkin dapat disembunyikan oleh
manajemen

Pengaruh Ukuran Dewan Pengawas Syariah terhadap ISR


Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang
ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada perbankan dan
lembaga keuangan syariah. Anggota DPS harus terdiri atas para pakar di
bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang ekonomi
perbankan. Peranan DPS sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di
lembaga perbankan syariah. Mekanisme pengawasan dewan pengawas syariah
bertugas untuk mengadakan analisis operasional Bank Syariah dan
mengadakan penilaian kegiatan maupun produk dari bank tersebut yang pada
akhirnya dewan pengawas syariah dapat memastikan bahwa kegiatan
operasional Bank Syariah telah sesuai fatwa yang dikeluarkan oleh dewan
syariah nasional, memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan
operasional bank dan produk yang dikeluarkan secara keseluruhan dalam
laporan publikasi bank.
Banyak macam aktivitas yang dapat diakui menjadi salah satu bentuk
dari pengungkapan ISR seperti, penyaluran zakat infak dan sedekah. DPS
mempunyai peran dalam pengungkapan ISR pada perbankan syariah. Hal ini
disebabkan karena DPS mempunyai kewenangan untuk mengawasi kepatuhan
perusahaan terhadap prinsip syariah, antaranya yaitu mengawasi aktivitas
tersebut. Semakin banyak dewan pengawas syariah, maka semakin besar pula
kemungkinan perusahaan syariah mengungkapkan informasi mengenai
tanggung jawab sosialnya

Rasio Likuiditas


Menurut Fahmi, (2012) rasio likuiditas digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Rahardjo, (2006) rasio likuiditas bertujuan menaksir kemampuan keuangan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dan komitmen
pembayaran keuangannya. Semakin tinggi angka ratio likuiditas, akan semakin
baik bagi investor. Perusahaan yang disukai investor adalah perusahaan yang
mempunyai rasio likuiditas yang cukup tinggi untuk standar perusahaan
sejenisnya. Dengan likuiditas yang tinggi diharapkan dapat mempermudah
menarik investor yang untuk menanam modalnya pada perusahaan. Serta
perusahaan dengan mudah melakukan pengungkapan ISR dan memilih yang
mana investor yang sesuai dengan kriteria yang di inginkan oleh perusahaan.
Rasio likuiditas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan
memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Rasio-rasio ini dapat dihitung melalui
sumber informasi tentang modal kerja yaitu pos-pos aktiva lancar dan hutang
lancar

Profitabilitas


Profitabilitas merupakan gambaran kinerja keuangan perusahaan dalam
menghasilkan laba dari pengelolaan aktiva yang dikenal dengan Return On
Asset (ROA). ROA yang positif menunjukkan bahwa dari total aktiva yang
dipergunakan untuk beroperasi perusahaan mampu memberikan laba bagi
perusahaan. ROA dinyatakan dalam prosentase, semakin tinggi nilai ROA
maka akan semakin tinggi kinerja perusahaan tersebut. ROA memiliki
keterkaitan dengan laba bersih perusahaan dan pengenaan pajak penghasilan
untuk perusahaan. Semakin tinggi profitabilitas perusahaan akan semakin
tinggi pula laba bersih perusahaan yang dihasilkan.
Menurut Sudarmadji dan Sularto (2007) profitabilitas merupakan suatu
inikator kinerja yang dilakaukan manajemen dalam mengelola kekayaan
perusahaaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan. Secara garis besar,
laba yang di hasilkan perusahaan berasal dari penjualan investasi yang
dilakukan oleh perusahaan

Leverage


Menurut Janra (2015) Leverage mencerminkan tingkat resiko keuangan
perusahaan, rasio ini berhubungan dengan keputusan pendanaan dimana
perusahaan lebih memilih pembiayaan hutang dibandingkan modal sendiri.
Rasio ini juga menunjukkan seberapa besar perusahaan dibiayai oleh pihak luar
atau kreditor. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage tinggi berarti
sangat bergantung pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya. Sedangkan
perusahaan yang mempunyai tingkat leverage lebih rendah lebih banyak
membiayai asetnya dengan modal sendiri. Hal ini dapat lebih mudah
mempertimbangkan pihak pihak perusahaan yang akan dipilih sebagai kreditor
dengan mengetahui rasio laporan keuangannya dengan melakukan
pengungkapan ISR didalamnya supaya dapat memilih kreditor yang sesuai dari
syariat islam dan prinsip-prinsipnya.
Permasalahan leverage akan selalu dihadapi oleh perusahaan bila
perusahaan tersebut menanggung sejumlah beban atau biaya, baik biaya tetap
operasi maupun biaya finansial. Biaya tetap operasi merupakan beban atau
biaya tetap yang harus diperhitungkan sebagai akibat dari fungsi pelaksanaan
investasi, sedangkan biaya finansial merupakan beban atau biaya yang harus
diperhitungkan sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi pendanaan. Jadi, beban
atau biaya tetap sebenarnya merupakan risiko yang harus ditanggung
perusahaan dalam pelaksanaan keputusan-keputusan keuangan. Besar kecilnya
risiko tersebut perlu diketahui agar dapat diantisipasi dengan meningkatkan
volume kegiatan usaha

Komite Audit


Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris
perusahaan tercatat, yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh dewan
komisaris untuk membantu melakukan pemeriksaan atau penelitian yang
dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam mengelola
perusahaan tercatat.
Keanggotaan komite audit minimal terdiri dari 3 orang, di mana
seorang diantaranya merupakan Komisaris Independen perusahaan tercatat
yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan dua anggota
lainnya merupakan pihak eksternal yang independen, dan salah satu
diantaranya harus memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan/atau
keuangan.
Komite audit bertugas memberikan pendapat professional yang
indepanden kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang
memerlukan perhatian dewan komisaris. Komite audit wajib melaporkan hasil
penelaahannya kepada seluruh anggota dewan komisaris selambat-lambatnya 2
hari kerja setelah laporan itu selesai dibuat. Komite audit wajib menyampaikan
laporan aktivitasnya kepada dewan komisaris secara berkala, sekurang-
kurangnya 1 kali dalam 3 bulan

Corporate Social Responsibility


Saat ini, tuntutan publik sangat tinggi agar perusahaan melakukan dan
mengungkapkan Corporate Social Responsibility (CSR). Hal ini terjadi karena,
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya Corporate Social
Responsibility (CSR). Seperti yang telah dikemukakan oleh Khoirudin (2013)
bahwa tanggung jawab Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
wacana yang makin umum dalam dunia bisnis di Indonesia, dimana fonomena
ini dipicu oleh semakin mengglobalnya tren mengenai praktik Corporate
Social Responsibility (CSR) dalam bisnis.
Kewajiban pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) di
Indonesia telah diatur dalam beberapa regulasi, antara lain regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tentang tanggung jawab sosial
sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas Pasal 66 dan Pasal 74. Untuk pasal 66 ayat (2) disebutkan
bahwa laporan tahunan harus memuat beberapa informasi, tidak hanya laporan
keuangan tetapi juga diwajibkan mencantumkan laporan pelaksanaan tanggung
jawab sosial dan lingkungan.
Sedangkan pasal 74 menjelaskan kewajiban melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang sumber daya alam. Selain itu, kewajiban pelaksanaan
Corporate Social Responsibility (CSR) juga diatur dalam Undang-Undang No.
25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 15 bagian , pasal 17, dan pasal
34 yang pada intinya mengatur bahwa setiap penanam modal diwajibkan untuk
ikut serta dalam tanggung jawab sosial perusahaan.
Praktik penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) telah banyak
diterapkan oleh perusahaan publik di Indonesia. Walaupun secara umum
praktik Corporate Social Responsibility (CSR) lebih banyak dilakukan oleh
perusahaan tambang maupun manufaktur. Namun, seiring dengan adanya tren
global akan praktik Corporate Social Responsibility (CSR), saat ini industri
perbankan juga telah menyebutkan aspek pertanggungjawaban sosial dalam
laporan tahunan walaupun dalam bentuk yang relatif sederhana.
Praktik Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya diterapkan
dalam perbankan konvensional saja, namun perbankan syariah juga
menerapkan praktik Corporate Social Responsibility (CSR) ini. Menurut
Hannifa (2012) terdapat banyak keterbatasan dalam pelaporan tanggung jawab
sosial konvensional, sehingga ia mengemukakan konseptual pelaporan
tanggung jawab sosial sesuai syariah. Adanya perkembangan perbankan
syariah di Indonesia yang cukup pesat, maka pemerintah mengeluarkan
regulasi mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) khususnya untuk
perbankan syariah. Regulasi tersebut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
mengenai perbankan syariah, pada bab II pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3). Pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa bank syariah dan Unit Usaha
Syariah (UUS) wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat. Selanjutnya ayat (2) dijelaskan bahwa bank syariah dan Unit
Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah,
atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat. Kemudian ayat (3) disebutkan bahwa bank syariah dan Unit Usaha
Syariah (UUS) dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang
dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazir) sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf.

Teori legitimasi


Teori Legitimasi adalah teori yang melandasi pengungkapan Corporate
Social Responsibility. Teori Legitimasi dapat digunakan untuk menjelaskan
keterkaitan antara struktur good corporate governance. Penggunaan teori
legitimasi dalam penelitian ini memiliki implikasi bahwa program CSR
dilakukan perusahaan dengan harapan untuk mendapatkan nilai positif dan
legitimasi dari masyarakat, maka perusahaan dapat terus bertahan dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat serta mendapatkan keuntungan pada
masa datang. Teori legitimasi berguna bagi perusahaan untuk meyakinkan
bahwa aktivitas serta kinerjanya bisa diterima oleh masyarakat.
Perusahaan menggunakan laporan tahunannya untuk menggambarkan
akuntabilitas atau tanggung jawab manajemen terhadap perusahaan, sehingga
perusahaan yang bersangkutan bisa diterima oleh masyarakat. Dengan adanya
penerimaan dari masyarakat maka akan menambah nilai perusahaan (Amal,
2011). Maka perusahaan dapat terus bertahan dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat serta mendapatkan keuntungan pada masa datang. Teori
legitimasi sangatlah bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi, karena
teori legitimasi merupakan hal yang sangat penting bagi organisasi. Batasan-
batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial serta reaksi
terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi
dengan memperhatikan lingkungan.
Teori legitimasi dilandasi oleh kontrak sosial yang terjadi antara
perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan itu beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi. Legitimasi organisasi dapat dipandang sebagai
sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang
diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat.

Teori Stakeholder


Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan oleh Standford Research
Institute (RSI) ditahun 1963 (Freeman, 1984:31). Hingga Freeman
mengembangkan eksposisi teoritis mengenai stakeholder ditahun 1984 dalam
karyanya yang berjudul Strategic Management: A Stakeholder Approach. Freeman
(1984:25) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok maupun individu yang
dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh proses pencapaian tujuan suatu
organisasi. Teori Stakeholder melihat perusahaan sebagai koleksi kelompok
internal dan eksternal (misalnya, pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok,
kreditur, dan masyarakat sekitar), hal yang menjadi tema utama dari teori
stakeholder adalah sifat hubungan antara perusahaan yang biasanya diwakili oleh
manajer puncak dan stakeholder, yang kepentingannya terkadang sering
menyimpang tidak hanya dari orang-orang dari perusahaan, akan tetapi dari satu
sama lain juga (Soegiarto, 2015)
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang
hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholdernya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah,
masyarakat, analis dan pihak yang lain). Dengan demikian, keberadaan suatu
perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder
kepada perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Gray, Kouhy dan Adams
(1994) dalam Ghozali dan Chariri (2007) mengatakan bahwa “Kelangsungan hidup
perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus
dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah mencari dukungan tersebut. Makin
powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi.
Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan
stakeholdernya.
Gray et al (1995) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan
merupakan tanggung jawab dunia bisnis untuk menjadi akuntabel terhadap seluruh
stakeholder, bukan hanya kepada pemegang saham saja. Perusahaan yang
melakukan pengungkapan karbon akan memberi kemudahan pada stakeholder
untuk membuat keputusan tentang keadaan kinerja emisi karbon perusahaan,
menekan perusahaan untuk mengurangi emisi karbon, berkontribusi terhadap
perdebatan publik tentang kebijakan dan regulasi perubahan iklim (Ennis et al,
2012). Stakeholder juga membutuhkan laporan tentang tingkat GRK untuk menilai
kinerja perusahaan pada saat terjadinya perubahan iklim (Andrea et al, 2015)

TeoriLegitimasi


Teori legitimasi dikemukakan pertama kali oleh Dowling dan Pfeffer
(1975), legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan-batasan yang
ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan
tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan
lingkungan. Hal ini sejalan dengan penelitian O’Donovan (2002) yang menjelaskan
bahwa teori legitimasi sebagai faktor yang menjelaskan pengungkapan lingkungan
oleh suatu organisasi.
Teori legitimasi memberikan pandangan bahwa organisasi secara terus
menerus berusaha untuk menciptakan keselarasan antara nilai-nilai sosial yang
melekat pada kegiatan suatu organisasi dengan norma-norma perilaku yang ada
dalam sistem sosial masyarakat dimana organisasi adalah bagian dari sistem
tersebut. Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi
bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang
diinginkan, pantas maupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan
definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman, 1995 dalam rahajeng, 2010).
Gray, et al (1996) juga mendefinisikan bahwa legitimasi merupakan sistem
pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat
(society), pemerintah individu dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu
sistem yang mengutamakan keberpihakan atau kepentingan masyarakat,
operasional perusahaan harus mempertimbangkan bahwa kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan batasan, norma-norma dan harapan masyarakat.
Teori legitimasi didasari oleh kontrak sosial yang terjadi antara perusahaan
dengan masyarakat dimana perusahaan tersebut beroperasi dan menggunakan
sumber ekonomi. Shocker dan Sethi (1974) dalam Rahmawati (2012) memberikan
penjelasan tentang konsep kontrak sosial sebagai berikut :
“Semua institusi sosial tidak terkecuali perusahaan beroperasi di
masyarakat melalui kontrak sosial baik eksplisit maupun implisit dimana
kelangsungan hidup dan pertumbuhannya didasarkan pada hasil akhir yang secara
sosial dapat diberikan kepada masyarakat luas dan distribusi manfaat ekonomi,
sosial, atau politik kepada kelompok sesuai dengan power yang dimiliki.”
Berdasarkan teori legitimasi, organisasi akan terus berusaha untuk
memastikan bahwa mereka dianggap beroperasi dalam batas-batas dan norma-
norma dalam masyarakat. Mereka berusaha untuk memastikan bahwa pemangku
kepentingan menganggap aktivitas mereka sebagai legitimasi (Deegan, 2004).
Pengungkapan lingkungan merupakan salah satu cara bagi organisasi untuk
memperoleh legitimasi ini (Berthelot dan Robert, 2011). Selain itu teori legitimasi
menjelaskan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dilakukan perusahaan
dalam upayanya untuk mendapatkan legitimasi dari komunitas dimana perusahaan
itu berada dan memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang.
Ketika terjadi ketidaksesuaian apa yang diharapkan antara aktivitas
perusahaan dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat, maka akan muncul legitimacy
gap. Hadirnya legitimacy gap akan menurunkan citra baik dari perusahaan.
Menurut Wartick dan Mahon (1994) dalam Ghozali dan Chariri 2007 legitimacy
gap dapat terjadi karena tiga alasan, yakni :

  1. Adanya perubahan dalam kinerja perusahaan tetapi harapan masyarakat
    terhadap kinerja perusahaan tidak berubah.
  2. Kinerja perusahaan tidak berubah tetapi harapan masyarakat terhadap
    kinerja perusahaan telah berubah.
  3. Kinerja perusahaan dan harapan masyarakat terhadap kinerja perusahaan
    berubah ke arah yang berbeda, atau ke arah yang sama tetapi waktunya
    berbeda.
    Upaya untuk menghindari adanya legitimacy gap perusahaan berusaha
    lewat komunikasi atau interkasi sosial dengan masyarakat mengenai praktik-praktik
    yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Selain itu, upaya untuk mendapatkan
    legalitas, perusahaan harus melakukan pengungkapan tanggung jawab sosialnya
    agar perusahaan mendapatkan kepercayaan sehingga perusahaan dapat beroperasi
    secara keberlanjutan.
    Teori legitimasi mendorong perusahaan untuk melakukan tanggungjawab
    terhadap lingkungan agar terlihat legitimate di mata masyarakat. Perusahaan akan
    cenderung bertindak sesuai keinginan masyarakat yaitu mampu bertanggung jawab
    terhadap lingkungan. Masalah lingkungan yang disebabkan oleh operasi
    perusahaan tidak hanya terkait lingkungan sekitar perusahaan, namun sudah
    berkembang pada pemanasan global yang disebabkan oleh gas emisi yang
    dihasilkan perusahaan

Kinerja Keuangan


Menurut (Yudharma dkk 2016) Kinerja keuangan adalah gambaran mengenai
suatu kondisi keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu mengenai aspek
penghimpunan dana maupun penyaluran dana, yang biasanya diukur mengunakan
indikator kecukupan modal, likuiditas, dan profitabilitas. Menurut Fahmi (2012)
kinerja keuangan perusahaan adalah suatu analisis yang menunjukan sejauh mana
perusahaan menggunakan aturan dalam pelaksanaan keuangan secara baik dan benar.
Dengan menganalisis, perusahaan dapat melihat kondisi baik buruk keuangan
perusahaan yang menjadi cerminan prestasi kerja perusahaan dalam periode tertentu.
Sehingga dapat disimpulkan kinerja keuangan adalah usaha yang di lakukan oleh
perusahaan dalam memperoleh gambaran mengenai kondisi perusahaan apakah
meningkat atau menurun pada periode tertentu.
Penilaian kinerja perusahaan berbeda-beda tergantung dari bisnis yang
dijalankan. Analisis kinerja keuangan merupakan proses mengkaji secara detail,
melihat kembali data, mengukur, menghitung dan memberikan saran terhadap kondisi
keuangan prusahaan pada periode tertentu. Menurut Fahmi (2013) ada 5 tahap dalam
menganalisis kinerja keuangan perusahaan yaitu :

  1. Melakukan review atau melihat kembali laporan keuangan perusahaan
    Hal ini dilakukan dengan tujuan agar perusahaan dapat melihat dan menilai
    kembali apakah laporan keuangannya sudah sesuai dengan aturan-aturan yang
    sudah berlaku umum di dalam akuntansi atau tidak, sehingga perusahaan dapat
    mempertanggungjawakan hasil laporan keuangannya.
  2. Melakukan perhitungan
    Dengan menerapkan metode perhitungan maka akan menyesuaikan dengan
    kondisi masalah yang sedang dilakukan sehingga hasil dari perhitungan dapat
    memberikan suatu kesimpulan dari analisis yang diharapkan.
  3. Membuat perbandingan terhadap hasil hitung yang telah didapat.
    Ada dua metode yang dilakukan untuk menmbuat perbandingannya. Dengan
    kedua metode ini diharapkan akan memberikan kesimpulan mengenai kondisi
    perusahaan berada dalam keadaan sangat baik, baik, wajar, tidak baik dan sangat
    tidak baik. Kedua metode tersebut yaitu :
    a. Time series analysis yaitu membandingkan antar waktu atau antar periode
    dengan tujuan perbandingannya dapat terlihat secara grafik.
    b. Cross sectional approach yaitu membandingkan dengan melihat hasil hitung
    ratio dari satu perusahaan dengan perusahaan lainya yang sejenis dalam waktu
    yang bersamaan.
  4. Melakukan penafsiran terhadap masalah yang ditemukan
    Menganalisis kinerja keuangan setelah melakukan ketiga tahap diatas
    selanjutnya melakukan penafsiran untuk melihat permasalahan dan hambatan yang
    dialami perusahaan
  5. Mencari dan memberikan solusi terhadap masalah yang ditemukan
    Setelah melakukan penafsiran dan menemukan masalahnya maka
    selanjutnya mencari solusi yang tepat dan sesuai dengan permasalahan tersebut

Pengungkapan Corporate social responsibility


Menurut Hadiaanto (2013) Corporate social responsibility merupakan cara
mengomunikasikan suatu informasi sosial dan lingkungan kepada steakholder.
Pengungkapan Corporate social responsibility merupakan proses memberikan
informasi yang tidak ditutupi dan disembunyikan kepada kelompok yang
berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan mengenai dampak yang
berhubungan lingkungan dan sosial dari kegiatan ekonomi.
Indikator yang digunakan untuk mengukur pengungkapan Corporate social
responsibility pada laporan keuangan perusahaan adalah indikator yang mengacu
pada GRI (Global Reporting Initiatives). Hadianto (2013) mengatakan bahwa GRI
(Global Reporting Initiatives) merupakan suatu jaringan organisasi yang memplopori
perkembangan dunia dan banyak mengunakan krangka laporan berkelanjutan dan
terus memperbaiki serta melakukan penerapan diseluruh dunia. dengan cara
membandingkan jumlah pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan dengan total
pengungkapan .
Pengungkapan Corporate social responsibility menurut Efendi (2009) ada dua
yaitu bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan yang didasarkanatas praturan
dan standar tertentu yang mewajibkan untuk dilakukan, dan ada yang bersifat
sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan yang dilakukan melebihi
persyaratan minimum dari peraturan yang ada. Faktor yang mendorong perusahaan
untuk melakukan pengungkapan Corporate social responsibility yaitu faktor internal
dan faktor eksternal . faktor yang mendorong dari dalam perushaan antara lain
kebijakan manajemen, strategi dan tujuan dari perusahaan. Sedangkan faktor yang
mendorong dari luar perusahaan antara lain adanya aturan dan diwajibkan untuk
menganalisis dampak pada lingkungan dari kegiatan operasi perusahaan.
Pengungkapan tanggung jawab sosial (Corporate social responsibility) di atur
dalam Undang-undang no 40 tahun 2007 tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan yakni :

  1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahannya di bidang dan /atau berkaitan
    dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
    lingkungan.
  2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1
    merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
    biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dalam memperhatikan kepatutan
    dan kewajaran.
  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1
    dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan.
    Dengan adanya aturan pemerintah yang menaruh perhatian kepada perusahaan
    dalam pengungkapan corporate sosial responsibility, pemerintah mempunyai harapan
    setiap pelaku ekonomi yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam
    selain mencari keuntungan juga harus mempunyai kewajiban dalam menjalankan
    tanggung jawab sosial lingkungannya melalui pengungkapan corporate sosial
    responsibility yang perusahaan ungkapkan didalam laporan keuangan perusahaan

Konsep Corporate social responsibility


Menurut Indrawan (2011), bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan dalam
menjalankan usahanya ada 3 komponen penting yaitu konsep 3P (Triple bottom line).
Jhon Elkington memperkenalkan konsep Triple bottom line (TBL) atau juga 3P
(profit,people dan planet) pada tahun 1988. Teori Triple bottom line (TBL)
merupakan suatu konsep yang memberikan pandangan bahwa jika perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya perusahaan, maka perusahaan tidak hanya
mengerjar laba atau profit semata, tetapi perusahaan juga harus melihat kesejahteraan
masyarakat dan menjamin lingkungan yang terbebas dari dampak negatif dimana
perusahaan berada. Konsep ini merupakan pilar untuk mengukur kesuksesan suatu
perusahaan dengan kriterianya yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. konsep 3p
(Triple bottom line) meliputi :

  1. Ekonomi (Profit)
    Fokus utama perusahaan dalam menjalankan suatu bisnis adalah memproleh
    laba yang tinggi selain itu tujuan dari perusahaan juga adalah mencapai
    keuntungan. Dalam kegiatan operasional perusahaan, dengan perolehan laba
    perusahaan dapat mengalokasikan laba yang diperoleh untuk biaya pertumbuhan
    dan pengembangan usaha perusahaan kedepannya, memeberikan deviden kepada
    para pemegang saham, dan membayar pajak kepada pemerintah.
  2. Lingkungan (planet)
    Bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sekitar dengan
    memberikan perhatian kepada lingkungan, perusahaan ikut andil berpartisipasi
    melalui pelestarikan lingkungan, melakukan usaha pencegahan terjadinya bencana
    serta meminimalisir dampak bencana demi kesejahteraan masyarakat jangka
    panjang. Dengan cara mengelolah dengan baik sumber daya alam dan mengurangi
    limbah hasil produksi dengan mengolah kembali limbah tersebut menjadi limbah
    yang aman bagi lingkungan.
  3. Sosial atau masyarakat (people)
    Suatu konsep yang mementingkan perlindungan kepada masyarakat.
    Menurut Suarta (2010) perusahaan perlu melakukan kegiatan yang dapat
    menyentuh kebutuhan masyarakat. Masyarakat merupakan steakholder yang
    penting bagi perusahaan. Karena perusahaan memerlukan dukungan dari
    masyarakat untuk kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
    Oleh karena itu perusahaan perlu memberikan perhatian kepada masyarakat.
    Perhatian kepada masyarakat dilakukan dengan cara melakukan aktivitas-aktivitas
    dan pembuatan kebijakan yang dapat meningkatkan kompetensi yang dimiliki
    diberbagai bidang seperti pemberiaan beasiswa bagi pelajar disekitar perusahaan
    dan mendirikan sarana pendidikan dan kesehatan. Dengan melaksanakan tanggung
    jawab sosial perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek tetapi
    juga memberikan kontribusi kesejahteraan dan kualitas hidup bagi masyarakat
    serta lingkungan dalam jangka panjang

Corporate Sosial Responsibility (CSR)


Menurut Enawam (2011:160) perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban
ekonomis dan legal (kepada pemegang steakholder) tapi juga kewajiban terhadap
pihak lain yang berkepenting (steakholder) yang jangkauannya melebihi kewajiban
diatas, karena perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan
tanpa bantuan pihak lain. Corporate Sosial Responsibility merupakan suatu konsep
bahwa perusahaan memiliki berbagai tanggung jawab terhadap steakholder yang
terkait seperti konsumen, karyawan, investor, masyarakat dan lingkungan dalam
segala bentuk aktivitas operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan seperi polusi dan limbah hasil produksi perusahaan, keamaan produk
dan tenaga kerja atau karyawan di dalam dalam perusahaan. Corporate Sosial
Responsibility (CSR) dapat dikatakan sebagai suatu bentuk tanggung jawab
perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan perusahaan dengan
meminimalisir dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif .
CSR berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan, dimana perusahaan
dalam mengelolah usahanya tidak hanya melihat aspek laba atau ekonomi saja tetapi
juga melihat aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional perusahaan
yaitu aspek sosial dan lingkungan, baik untuk jangka pendek maupun jangka yang
lebih panjang. Menurut Ramadhani (2012), elemen-elemen dari CSR dapat
dirangkum sebagai aktivitas perusahaan dalam mencapai keseimbangan aspek
ekonomi, lingkungan dan sosial tanpa mengesampingkan ekspetasi para pemegang
saham (menghasilkan profit). CSR sendiri diatur dalam UU No.40 Tahun 2007
tentang perseroan terbatas, kewajiban pemberian CSR hanya terbatas pada perseroan
atau perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam (SDA).
Ada pun manfaat dari CSR itu sendiri seperti memberikan citra positif bagi
perusahaan dimata investor dan menghasilkan serta menjual produk yang ramah
lingkungan.

Biaya lingkungan


Biaya lingkungan merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan
berkaitan dengan kerusakaan lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan .
Perlakuan akuntansi atas biaya lingkungan sebagai beban periodik yang dicatat pada
kelompok biaya administrasi dan umum pada laporan laba rugi. Sistem akuntansi
yang didalamnya mengungkapkan akun-akun terkait dengan biaya lingkungan disebut
sebagai akuntansi lingkungan atau green accounting. Biaya lingkungan mencakup
biaya internal yang berhubungan dengan pengurangan proses produksi untuk
mengurangi dampak pada lingkungan, dan biaya eksternal yang berhubungan dengan
perbaikan kerusahan lingkungan akibat limbah hasil produksi perusahaan (susenohaji
2013). Menurut (Suseno haji, 2003; Moedjanarko & Frisko, 2013; Debora &
Ismail,2013) cakupan dari biaya lingkungan yakni :

  1. Biaya pencegahan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk produksi limbah dan
    sampah yang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Contoh biaya
    pencegahan yaitu biaya sleksi pemasok, biaya sleksi alat pengendali polusi, biaya
    trening karyawan dll.
  2. Biaya deteksi lingkungan, biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas dalam
    menentukan apakah aktivitas perusahaan, produk dan proses telah memenuhi
    standar lingkungan atau tidak. Contohnya biaya pengukuran tingkat pencemaran,
    pengujian pencemaran, pemeriksaan dan proses. Dll
  3. Biaya kegagalan internal lingkungan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas
    yang dilakukan karena diproduksinya limbah, namun tidak membuang limbah ke
    lingkungan luar. Contoh: biaya operasional peralatan mengurangi atau menghilang
    polusi, pengolahan dan pembuangan limbah, pemeliharaan peralatan, daur ulang
    sisa bahan, dll
  4. Biaya kegagalan eksternal lingkungan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk
    aktivitas yang dilakukan akibat hasil limbah atau sampah yang dibuang ke dalam
    lingkungan.
    a. Biaya kegagalan eksternal yang direalisasikan yaitu biaya yang harus
    dikeluarkan dan dibayarkan oleh perusahaan. Contohnya biaya untuk
    membersikah danau atau tanah yang tercemar dan hilangnya penjualan karena
    reputasi perusahaan yang buruk.
    b. Biaya kegagalan eksternal yang tidak direalisasi atau biaya sosial, yaitu biaya
    sosial yang disebabkan oleh perusahaan tetapi dibayarkan atau dialami oleh
    pihak-pihak luar. Contohnya biaya perawatan medis karena kerusakan
    lingkungan, rusaknya ekosistem, hilangnya lapangan pekerjaan

Fungsi Green accounting


Ada dua fungsi green accounting, yaitu fungsi internal dan eksternal:

  1. Fungsi Internal
    Berfungsi sebagai alat manajemen yang digunakan oleh manajer dan unit
    bisnis terkait. Fungsi internal ini untuk menganalisis biaya lingkungan dengan
    manfaatnya dan mengatur konservasi lingkungan dan meningkatkan efektifitas dan
    efisiensi aktivitas konservasi lingkungan terkait dengan keputusan yang dibuat.
  2. Fungsi Eksternal
    Fungsi eksternal membantu perusahaan untuk mempengaruhi keputusan
    steakholder dengan mengungkapkan hasil pengukuran konservasi lingkungan.
    Keputusan steakholder seperti pelangan, mitra bisnis, investor dan masyarakat.
    Menurut Hamid (2002 dalam Agustina 2010), pada tingkat perusahaan, green
    accounting atau akuntansi lingkungan mempunyai peran penting dalam upaya
    perusahaan manufaktur untuk melaksanakan kegiatan pelestarian lingkungang. Dalam
    perwujudan akuntansi green accounting memberikan peran-peran penting yaitu :
  3. Akuntansi keuangan, green accounting berperan dalam memberikan informasi
    melalui pengungkapan pada laporan keuangan perusahaan serta menunjukkan dari
    hasil kegiatan operasi perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan
    lingkungan.
  4. Akuntansi biaya, green accounting digunakan untuk memgalokasikan segala
    biaya wajar yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan untuk jangka waktu yang
    pendek maupun jangka waktu yang panjang.
  5. Akuntansi manajemen, green accounting berperan dalam pengambilan keputusan
    manajemen dalam melaksanakan proses manajemen didalam perusahaan yaitu
    membuat perencanaan, pengendalian dan pengorganisasian.

Tujuan Green Accounting


Tujuan green accounting yang paling utama adalah menyediakan biaya-biaya
yang berkaitan dengan lingkungan yang berguna bagi steakholder. ada juga tujuan
lain dari green accounting yaitu memberikan pengungkapan dan upaya
mengidentifikasikan cara mengurangi dampak negatif dari kegiatan operasi
perusahaan terhadap lingkungan, serta memberikan informasi mengenai kegiatan
operasi perusahaan yang berbasis perlindungan pada lingkungan dengan melakukan
penilaian kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya (environmental costs) dan
manfaat (economic benefit), serta menghasilkan efek perlindungan lingkungan
(environmental protection) (Almilia dan Wijayanto, 2007).
Maka dengan penerapan green accounting, perusahaan dalam pelaporannya
akan transparan dan secara sukarela perusahaan akan mematuhi kebijakan pemerintah
dimana perusahaan menjalankan bisnisnya. Menurut Ningsih dan Rachmawati (2017)
green accounting yaitu akuntansi berupaya menghubungkan sisi anggaran lingkungan
dengan dana operasi bisnis. Menurut Ikhsan (2008) tujuan dan maksud
dikembangkannya akuntansi lingkungan yaitu:

  1. Akuntansi lingkungan merupakan alat manajemen lingkungan. sebagai alat
    manajemen lingkungan, Akuntansi lingkungan digunakan untuk menilai
    keefektifan kegiatan konservasi lingkungan. Data akuntansi lingkungan juga
    digunakan untuk menentukan biaya fasilitas pengelolaan lingkungan, biaya
    keseluruhan konservasi lingkungan, dan juga investasi yang diperlukan untuk
    kegiatan pengelolaan lingkungan.
  2. Akuntansi lingkungan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat, sebagai alat
    komunikasi publik, akuntansi lingkungan digunakan untuk menyampaikan dampak
    negatif lingkungan, kegiatan konservasi lingkungan, dan hasilnya kepada publik.
    Tanggapan dan pandangan masyarakat digunakan sebagai umpan balik untuk
    mengubah pendekatan perusahaan dalam pelestarian atau pengelolaan lingkungan.
    Menurut Idris (2012) tujuan dari akuntansi lingkungan sebagai sebuah alat
    manajemen lingkungan dan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat dan untuk
    meningkatkan jumlah informasi relefan bagi mereka yang membuat dan
    membutuhkan

Green accounting (Akuntansi lingkungan)


Konsep mengenai green accounting sudah mulai ada pada tahun 1970-an di
Eropa diikuti dengan berkembangnya penelitian mengenai green accounting di tahun
1980-an. Green accounting merupakan jenis akuntansi lingkungan yang
menggabungkan manfaat lingkungan dengan biaya untuk pengambilan keputusan
ekonomi. Menurut Aniela (2012) green accounting merupakan akuntansi yang
didalamnya mengidentifikasi, mengukur, menilai dan menggungkapkan biaya-biaya
terkait dengan aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan. Peran
utama green accounting untuk mengatasi masalah lingkungan, serta memiliki dampak
pada mencapaian pembangunan berkelanjutan.
Green accounting dapat diterapkan di perusahaan yang bersekala besar maupun
sekala kecil dalam setiap industri manufaktur, pertambangan maupun jasa. Penerapan
green accounting didasarkan pada kebutuhan perusahaan dan juga digunakan sebagai
upaya perusahaan untuk membantu dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu
tanggung jawab kepada steakholder. Dengan penerapan green accounting sangat
menguntungkan semua pihak baik pengusaha, konsumen dan steakholder (investor,
masyarakat) untuk jangka waktu yang lebih panjang. Namun penerapan green
accounting masih terbilang sedikit, perusahaan yang menerapkan green accounting
adalah perusahaan-peusahaan yang secara sukarela menerapkannya karena
kepedulian perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan
menjalankan kegiatan usahanya. Dengan menerapkan green accounting berarti
perusahaan dengan sendirinya mematuhi peraturan pemerintahan dimana perusahaan
berada.
Pelaksanaan green accounting sangatlah bergantung pada karakteristik dari
masing-masing perusahaan dalam menganalisis masalah pada lingkungan hidup.
Karena bukan suatu hal yang mudah bagi perusahaan dalam mengukur kerusakan
lingkungan pada masyarakat yang timbul karena polusi udara dan limbah cair akibat
ulah perusahaan. Maka perusahaan perlu melaksanakan atau menerapkan green
accounting karena kegiatan operasional perusahaan tidak terlepas dari tanggung
jawab terhadap lingkungan dimana perusahaan berada dan juga perusahaan dapat
menghindari berbagai dampak negatif akibat kegiatan operasi perusahaan.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan green accounting atau
akuntansi lingkungan yaitu Undang-undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup. Undang-undang ini mengatur tentang kewajiban setiap orang yang
berusaha atau berkegiatan untuk menjaga, mengelola dan memberikan informasi yang
akurat dan benar mengenai lingkungan hidup. Selain itu peraturan standar akuntansi
(PSAK) juga ada yang berkaitan dengan green accounting atau akuntansi lingkungan
yaitu peraturan PSAK No.1 tahun 2004 mengatur tentang “pengungkapan dampak
lingkungan” yaitu perusahaan menyajikan laporan tambahan mengenai lingkungan
hidup khususnya bagi industri dengan sumber daya utama terkait dengan lingkungan
hidup. Namun peraturan standar akuntansi keuangan ini belum diwajibkan , sehingga
masih banyak perusahaan yang belum menerapkan green accounting

Teori Steakholder


Teori steakholder merupakan sebuah teori yang memfokuskan hubungan antara
perusahaan dengan steakholder atau pemangku kepentingan selain Steakholder yaitu
investor, pemerintah, masyarakat dan lingkungan yang memiliki hubungan dan
kepentingan terhadap perusahaan. Menurut Hadi (2011:93) steakholder merupakan
semua pihak internal maupun eksternal yang memiliki hubungan yang bersifat
mempengaruhi atau dipengaruhi, bersifat langsung atau tidak langsung oleh
perusahaan. oleh karena itu semua steakholder mempunyai hak untuk mengetahui
serta memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang berhubungan dan
mempengaruhi steakholder. Sehingga perusahaan dan steakholder saling bergantung.
Perusahaan membutuhkan steakholder untuk mencapai keberhasilan perusahaan, dan
steakholder membutuhkan perusahaan untuk memenuhi kebutuhannya.
Nur dan priantinah (2012) menyatakan bahwa pengungkapan sosial perusahaan
merupakan kesuksesan bagi perusahaan dalam menjalin hubungan dengan
steakholder. Maka dengan teori steakholder ini perusahaan memiliki tanggung jawab
sosial yang mengharuskan perusahaan untuk mempertimbangkan semua pihak yang
dapat merasakan dampak akibat aktivitas operasi perusahaan. Sehingga terjalin
hubungan yang baik antara perusahaan maupun steakholder . keberadaan suatu
perusahaan sangat dipengaruhi oleh berbagai dukungan dari steakholder kepada
perusahaan (Fadilah & Utiyati 2016)

Teori Legitimasi


Menurut Ghozali & Chariri (2014:441) Teori legitimasi merupakan upaya
perusahaan untuk memastikan bahwa perusahaan dalam kegiatan operasinya dalam
batasan nilai dan norma yang ada didalam masyarakat atau lingkungan tempat
perusahaan berada. Teori legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang
berorientasi pada masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu kegiatan operasi
perusahaan harus sesuai dengan harapan masyarakat. Menurut Purwanto (2011)
dengan teori legitimasi perusahaan secara terus menerus mencoba untuk
menyakinkan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan perusahaan sesuai dengan
batasan dan norma masyarakat dimana perusahaan berada. Teori ini juga
menganjurkan kepada perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjannya
dapat diterima oleh masyarakat, perusahaan menggunakan laopran tahunannya untuk
menggambarkan bentuk tanggungjawab lingkungan, sehingga perusahaan dapat
diterima oleh masyarakat. Perusahaan adalah bagian dari masyarakat, maka
perusahaan harus berupaya memastikan bahwa kegiatan operasi perusahaan dalam
batas-batas dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan dimana
perusahaan berada.
Yang menjadi dasar teori legitimasi adalah kontrak sosial yang terjadi antara
perusahan dengan masyarakat dimana perusahaan beroperasi dan menggunakan
sumber ekonomi (Ghozali dan Chariri, dalam Jannah, 2014). Maka teori ini secara
jelas mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial yang menyatakan bahwa
perusahaan sepakat untuk menunjukkan berbagai aktivitas sosial perusahaan agar
diterima oleh masyarakat dengan tujuan akir akan menjamin keberlangsungan hidup
perusahaan.
Teori Legitimasi dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensi bagi
perusahaan untuk bertahan hidup (Ashforth dan gibbs, 1990 dalam 2015). Teori ini
menjelaskan bahwa penggungkapan tanggung jawab sosial dilakukan perusahaan
sebagai upayanya untuk mendapat legitimasi dari masyarakat dimana perusahaan itu
berada dan memaksimalkan keadaan keuangan perusahaan dalam jangka waktu yang
panjang. Teori legitimasi ini cocok untuk digunakan dalam akuntansi lingkungan
yaitu green accounting itu sendri, karena legitimasi begi perusahaan yang peduli
lingkungan itu sangat penting sehingga perusahaan dapat diterima oleh masyarakat
dilingkungan perusahaan itu berada, agar aktivitas perusahaan dapat berlanjut
kemudian hari.

Gender dalam Keragaman Ruang Dewan


Gender dalam keragaman ruang dewan merupakan salah satu aspek
dari keragaman dewan dimana gender pada ruang dewan baru-baru ini
menjadi isu yang penting pada suatu perusahaan. Dimana nilai-nilai yang
dimiliki antar pria dan wanita memiliki perbedaan dari segi tanggung jawab
sosial (Pos et al.2011). Selain itu menurut Smith dan Rogers (2000)
perempuan juga dianggap lebih mampu bertindak secara etis dan lebih
mengutamakan suatu etika dibandingkan laki-laki, sehingga hal ini dapat
meminimalisir terjadinya suatu bentuk pelanggaran atas kebijakan
organisasi pada suatu perusahaan. Board diversity merupakan salah satu
kunci input sebagai penghantar atas optimalisasi pengelolaan sumber daya
organisasi suatu perusahaan, hal ini dapat ditunjukkan dari adanya
keragaman untuk menunjukkan heterogenitas sebagai bentuk tata kelola
yang baik atau good corporate governance (Kakabadse, 2018).
Pada negara-negara di Eropa telah menyoroti adanya kehadiran
direktur wanita di dalam dewan perusahaan, hal ini mengimplikasikan
bahwa partisipasi direktur wanita dianggap sebagai salah satu indikator
bahwa suatu perusahaan memiliki tata kelola yang lebih baik. Pemerintah
Norwegia misalnya, mengeluarkan undang-undang bagi perusahaan publik
untuk mewajibkan suatu perusahaan agar memiliki kuota perwakilan dewan
sebanyak 40 persen (Matsa dan Miller, 2013). Selain itu Spanyol juga
mengamanatkan hal yang serupa untuk memenuhi kuota perempuan
sebanyak 40 persen dalam dewan perusahaan, agar hasil kinerja suatu
perusahaan mampu berjalan secara efektif (Campbell dan Vera, 2010).
Negara-negara seperti Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia dan
Swedia juga turut menerapkan mandat dalam pemenuhan kuota gender
khususnya pada direktur wanita dalam dewan perusahaan (Gregory-Smith
et al., 2018). Penerapan atas board gender diversity ini juga dipengaruhi atas
struktur kepemimpinan dalam suatu dewan, dimana setiap negara memiliki
sistem board structure yang beraneka ragam.
Sistem board structure di berbagai negara memiliki struktur yang
berbeda, dimana Inggris dan Amerika menerapkan basis single-board
system, dimana struktur atas keanggotaan dewan direksi serta komisaris
secara mutlak tidak dipisahkan. Dalam sistem ini dewan komisaris
merangkap menjadi anggota dewan direksi, dan keduanya menjadi satu
kesatuan sebagai board of directors. Secara konseptual, model two tier
system ini memisahkan keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas
dan dewan direksi sebagai eksekutif korporasi, dan perusahaan Indonesia
pada umumnya menerapkan basis two tier system, dimana terdiri atas dewan
komisaris dan dewan direksi yang digunakan sebagai pedoman
kepemimpinan dalam ruang dewan (Wise & Ali, 2009).
Di Indonesia penerapan gender turut diperhatikan dengan adanya
Undang-Undang Kesetaraan Gender No.1 Tahun 2017. Dimana gender
disini diartikan sebagai pembedaan perempuan dan laki-laki, dimana hasil
ini didapatkan dari adanya konstruksi sosial dan budaya. Selain itu hal
tersebut dapat diartikan setara apabila kondisi relasi perempuan dan laki-
laki sebagai mitra sejajar, hal ini juga dapat dijelaskan mengenai posisi
jabatan dimana keberadaan wanita dalam kepemimpinan seringkali tidak
diprioritaskan, sehingga seharusnya wanita mendapatkan perlakuan yang
adil dan memperoleh manfaat pembangunan. Selain itu yang menjadi fokus
pada kepentingan korporasi adalah bagaimana memperoleh kesetaraan
dalam semua bidang tertuang pada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
diatur dalam PP No. 8 Tahun 1981 mengenai perlindungan upah dan
ditegaskan bahwasannya tidak ada diskriminasi antara buruh laki-laki dan
buruh wanita untuk pekerjaan yang sama. Tetapi pada undang-undang
ketenagakerjaan masih belum terdapat sanksi hukum akan kesenjangan
gender padahal pada kenyataannya masih banyak pandangan stereotip,
marjinalisasi wanita serta subordinasi akan kemampuan pekerja wanita yang
berada diatas pekerja wanita. Banyaknya perlakuan yang bersifat
diskriminatif ini khususnya pada pekerja wanita ini perlu diwujudkan
kesetaraan gender

Teori Upper Echelons


Teori upper echelons pertama kali diperkenalkan oleh Hambrick dan
Mason (1984). Teori ini menganggap konsep manajemen puncak sebagai
pembuat keputusan stratejik yang utama di dalam organisasi. Sehingga,
keputusan stratejik yang dibuat pemimpin memiliki dampak secara
langsung terhadap outcomes organisasi. Karena para eksekutif yang
memiliki tanggung jawab atas organisasi secara keseluruhan, maka
karakteristik mereka, apa yang mereka lakukan, dan bagaimana mereka
melakukannya, secara khusus mempengaruhi outcomes organisasi
(Finkelstein dan Hambrick 1996).
Dasar pikiran utama dari teori upper-echelons adalah pengalaman
para eksekutif, nilai-nilai, dan personality berpengaruh besar terhadap
interpretasi mereka pada situasi yang dihadapi serta mempengaruhi pilihan
mereka. Fokus terhadap karakteristik manajemen puncak akan
menghasilkan penjelasan yang kuat mengenai outcomes organisasi daripada
fokus terhadap top executive secara individu. Penelitian ini mengikuti
definisi yang diungkapkan oleh Finkelstein dan Harrbrick (1996) bahwa
tanggung jawab para pemimpin untuk fungsi stratejik perusahaan adalah
direktur utama dan para manajer yang melapor secara langsung kepada
direktur utama. Kepemimpinan dari organisasi yang kompleks adalah
dengan pembagian tugas, kesadaran bersama, kecakapan, dan interaksi
dengan semua anggota manajemen puncak untuk menuju pada perilaku
stratejik (Hambrick 2007).
Kewibawaan manajemen puncak dan dewan komisaris juga
mempengaruhi persepsi investor melalui peran simbolik yang besar. Hal
tersebut didasarkan pada kepercayaan bahwa seseorang dianggap berasal
dari nilai-nilai, keahlian, dan kemampuan yang berbeda untuk status
karakteristik seperti tingkat pendidikan, afiliasi, dan pengalaman. (D’aveni,
1990). Keberagaman tenaga kerja akan membuat segmen pasar baru.
Diskriminasi terhadap kelompok minoritas tertentu sudah banyak ditentang
oleh para manajer, diskriminasi dipandang sebagai sesuatu yang salah baik
secara legal maupun moral. Dengan demikian dengan adanya
keberangaman akan memberikan manfaat bagi perusahaan. (Thomas dan
Ely, 1996). Proses pengambilan keputusan dan pengelolaan perusahaan
sangat dipengaruhi oleh karakteristik kognitif yang dimiliki oleh dewan
direksi maupun dewan komisaris. Gender dianggap sebagai proksi basis
yang menggambarkan kognitifitas seseorang sehingga mampu
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam suatu organisasi (Post dan
Byron, 2013).

Teori Legitimasi


Menurut Dowling and Pfeffer (1975) legitimasi didefinisikan
sebagai suatu kondisi atau status dimana suatu entitas atau perusahaan ini
memiliki suatu sistem nilai yang bersifat kongruen, dan mengindikasikan
bahwa sistem sosial ini menjadi bagian yang lebih besar di dalam cakupan
sistem nilai itu sendiri. Dimana terdapat suatu disparitas aktual atau
potensial yang hadir diantara kedua sistem nilai, dimana hal ini kemudian
dapat dikatakan sebagai bentuk ancaman pada legitimasi suatu entitas. Teori
legitimasi ini menunjukkan bahwa suatu entitas atau perusahaan tidak
berdiri sendiri, dimana ruang lingkup suatu entitas dibatasi atau dikelilingi
oleh pihak eksternal yang tidak memiliki kepentingan atau hak dalam suatu
entitas yang biasa disebut sebagai masyarakat. Dalam menjalankan kegiatan
operasional segala bentuk nilai, norma serta peraturan harus menjadi syarat
mutlak untuk diimplementasikan dan dipastikan bahwa suatu entitas mampu
mematuhi batas-batas norma dan aturan dalam beroperasi demi
mendapatkan legitimasi yang sah dari masyarakat, sehingga tidak
berdampak sebagai suatu bentuk ancaman bagi kelangsungan hidup
perusahaan itu sendiri.
Di sisi lain Dowling dan Prefer (1975) juga megistilahkan legitimasi
sebagai bentuk kontrak sosial. Kontrak sosial terjadi antara entitas dan
masyarakat yang saling memiliki keterkaitan untuk mewakili ekspektasi
masyarakat, sehingga dengan segala bentuk operasional perusahaan
bergantung pada konsep yang telah dibangun oleh masyarakat. Tetapi
apabila suatu entitas tidak mampu melampaui harapan masyarakat, maka
legitimasi ini dapat memberikan suatu bentuk ancaman yang berakibat
mematikan perusahaan itu sendiri. Kontrak sosial ini bersifat temporer dan
memiliki limit atau batas, apabila batas ini menjadi suatu ancaman akan
memicu sifat alamiah masyarakat terhadap ekspektasi sehingga mampu
mengurangi loyalitas konsumen, mengurangi modal dan investasi terhadap
perusahaan serta segala macam bentuk larangan beroperasi bagi perusahaan.
Banyak studi mengenai tata kelola perusahaan dalam kaitannya dengan
isu-isu keberlanjutan dimana peran dewan menjadi pertimbangan dalam
mengatasinya, tetapi pada realitanya literatur mengenai pengungkapan
keberlanjutan dari dampak aspek tata kelola perusahaan ini masih relatif
kecil Ong (2016) sehingga dalam aspek tata kelola perusahaan khususnya
dalam struktur secara internal yakni jajaran dari komposisi di ruang dewan
memungkinkan untuk memainkan peran penting demi mengurangi
terjadinya kesenjangan suatu legitimasi melalui pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan (Mio, V.Leopizzi, 2015)

Kategori Ukuran perusahaan


Menurut Undang-undang No.9 Tahun 1995 tentang usaha Kecil, perusahaan
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

  1. Perusahaan Kecil. Perusahaan kecil merupakan badan hukum yang
    didirikan di Indonesia yang: (1) memiliki sejumlah kekayaan (total aset)
    tidak lebih dari Rp 20 miliar; (2) bukan merupakan afiliasi dan dikendalikan
    oleh suatu perusahaan yang bukan perusahaan menengah/kecil; (3) bukan
    merupakan reksadana.
  2. Perusahaan Menengah/Besar. Perusahaan menengah/besar merupakan
    kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil
    penjualan tahunan usaha. Usaha ini meliputi usaha nasional (milik negara
    atau swasta) dan usaha asing yang melakukan kegiatan di Indonesia.
    Menurut Undang-undang No.20 Tahun 2008 tentang usaha kecil, mikro dan
    menengah, perusahaan dibagi dalam empat jenis, yaitu:
  3. Usaha mikro, adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
    badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana
    diatur dalam undang-undang ini.
  4. Usaha kecil, adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
    dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
    anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
    atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha
    menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil
    sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
  5. Usaha menengah, adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
    yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
    merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
    dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan
    usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
    penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  6. Usaha besar, adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan
    usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih
    besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau
    swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi
    di Indonesia dalam (Riadi, 2020)

Kriteria Ukuran Perusahaan


Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang usaha kecil, mikro dan
menengah, berdasarkan ukuran nilai kekayaan bersih dan hasil penjualannya,
perusahaan dibagi menjadi tiga kriteria usaha, yaitu:
a. Usaha mikro
Kriteria usaha mikro adalah sebagai berikut:
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau Memiliki hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b. Usaha kecil
Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut:
Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau Memiliki hasil penjualan tahunan
lebih dari Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
c. Usaha menengah
Kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut:
Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau Memiliki hasil penjualan tahunan
lebih dari Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus ribu rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah), dalam (Riadi,
2020).

Pengertian Ukuran Perusahaan


Ukuran Perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk
menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan
tahunan yang dibuat. Secara umum perusahaan besar akan mengungkapkan
informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil.Hal ini karena perusahaan besar
akan menghadapi risiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara
teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk
melakukan pertanggungjawaban sosial. Pengungkapan sosial yang lebih besar
merupakan pengurangan biaya politis bagi perusahaan (Hasibuan, 2001), dalam
(Sekarwigati dan Effendi, 2019)
Pengungkapan yang lebih luas terutama pengungkapan lingkungan guna
menunjukkan legitimasi dari ukuran suatu perusahaan kepada para pemangku
kepentingan publik sebagai cara untuk memastikan operasi mereka
berkesinambungan (Effendi, 2018). Ukuran perusahaan dapat didasari pada jumlah
aktiva (aktiva tetap,tidak berwujud, dan lain-lain), jumlah tenaga kerja, volume
penjualan, dan kapitalisasi pasar (Cahyonowati dan Purnasiwi,2011), penelitian
Menurut Hackston dan Milne dalam Dewi dan Priyadi, ukuran perusahaan
dapat diukur dengan jumlah karyawan, total aktiva, volume penjualan, atau
peringkat indeks. Skala pengukuran untuk ukuran perusahaan dengan logaritma
natural. Ukuran perusahaan penelitian ini menggunakan total aset yang dimiliki
perusahaan, kemudian ditransformasikan ke dalam logaritma natural untuk
menyamakan nilai dengan variabel lain dikarenakan total aset perusahaan memiliki
nilai yang relatif
besar dibandingkan dengan variabel-variabel lain dalam (Suzan dan Mahardika,
2018)

Pengertian Gender


Gender adalah perbedaan jenis kelamin yang dimiliki manusia atau identitas
diri yang membedakan status individu didalam masyarakat (Kahreh, Babania, Tive,
& Mirmehdi, 2014), dalam (Hadya dan Susanto, 2018).
Secara terminologi (istilah), gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Istilah gender belum masuk dalam perbendaharaan kata Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Tetapi dalam pemakaian berikutnya istilah ini selalu
dikaitkan dengan budaya. Istilah gender lebih banyak menunjuk kepada perbedaan
status dan peranan laki-laki dan perempuan yang terbentuk dalam proses sosial dan
budaya yang panjang dalam (Hasanah dan Musyafak, 2017).
Wilson gender adalah sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh
faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.
Demikian juga Lindsey menganggap bahwa konsep gender adalah ketetapan
masyarakat perihal penentuan seseorang itu laki-laki atau perempuan. Jadi dengan
demikian konsep gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari pengaruh sosial budaya, yakni bentuk rekayasa masyarakat
(social contruction) bukan dalam bentuk kodrati (Umar, 1999) dalam (Afandi,
2019).

Struktur Kepemilikan Perusahaan
Struktur kepemilikan terdiri dari struktur kepemilikan asing, yaitu jumlah
yang dimiliki oleh pihak asing baik oleh individu maupun lembaga terhadap saham
peusahaan di Indonesia (Rustiarini, 2011), struktur kepemilikan institusional yaitu
kepemilikan saham perusahaan yang mayoritas (Anggraini, 2011). Kepemilikan
institusional di Indonesia terbilang tinggi. Kepemilikan saham investor institusional
di BEI hingga akhir Maret 2015 masih cukup dominan sebesar 73,14%
(ekbis.sindonews.com), kepemilikan manajerial merupakan salah satu bentuk
lainnya dari sturktur kepemilikan. Manajer merupakan informan terbaik mengenai
kondisi perusahaan dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap strategi dan
investasi perusahaan (Soliman et al, 2012). Top Managers memiliki kemampuan
dalam mengalokasikan sumberdaya di antara berbagai pemangku kepentingan
dengan cara yang menjamin dukungan dari pemangku kepentingan, tetapi secara
teoritis bahwa memberikan saham kepada manajer adalah cara yang efektif untuk
mengurangi masalah keagenan dengan menyelaraskan kepentingan manajer dengan
orang-orang dari pemilik saham (Orlitzky et al, 2003) dalam (Edison, 2017).

Pengertian Kepemilikan Perusahaan


Menurut Rifqiyah (2016) kepemilikan saham publik (Ownership Diffusion)
merupakan proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh publik yang tidak
memiliki hubungan dengan manajemen perusahaan terhadap saham perusahaan
dibawah 5%. Perusahaan yang memiliki Ownership Diffusion tinggi maka akan
lebih banyak mendapatkan dorongan dalam pengungkapan Corporate Social
Responsibility, dalam (Septianingsih dan Muslih, 2019).
Ownership diffusion menurut (Drobetz et al., 2014) adalah disperse
kepemilikan saham pada perusahaan, dimana kepemilikannya tersebar sehingga
pemegang saham dari perusahaan semakin banyak, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya asimetri informasi

Ukuran Dewan Komisaris


Board size atau Ukuran Dewan Komisaris adalah jumlah dewan komisaris
dalam suatu perusahaan (Restu et al, 2017) dalam Septianingsih dan Muslih, 2019.
Semakin banyak jumlah dewan komisaris dalam suatu perusahaan, maka akan
semakin mudah dalam mengendalikan CEO serta pengawasan dapat dilakukan
dengan efektif (Assegaf etal, 2012), dalam (Septianingsih dan Muslih, 2019).
Dewan komisaris mempunyai wewenang untuk memberi petunjuk dan
arahan serta mengawasi pengelola perusahaan salah satunya adalah dengan
memberi petunjuk atau arahan kepada manajemen untuk mengungkapkan CSR.
Proporsi dewan komisaris bisa menentukan pengaruhnya terhadap pengungkapan
CSR, dimana semakin besar ukuran dewan komisaris akan memudahkan dalam
mengendalikan CEO untuk mengungkapkan informasi sosial perusahaan (Fahrizqi,
2010), dalam (Pradnyani dan Sisdyani, 2015).

Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris


Sesuai dengan Pasal 1 Ayat (6) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas Selanjutnya disebut UUPT, pada diri dewan komisaris
melekat fungsi pengawasan dan fungsi penasihat. Kedua fungsi ini berjalan
bersamaan dan tidak bersifat fakultatif. Dewan komisaris berkedudukan sebagai
badan supervisi atau non eksekutif, yang tidak berhak mewakili perseroan dalam
(Sondak, 2016).
Sekalipun anggaran dasar dapat menetapkan bahwa terhadap perbuatan
hukum tertentu yang akan dilakukan direksi diperlukan persetujuan dewan
komisaris, persetujuan dimaksud bukan berarti pemberian kuasa dan bukan pula
pengurusan serta juga bukan berarti suatu instruksi. Keberadaan dewan komisaris
harus dilihat sebagai alat perseroan untuk mengawasi tindakan direksi dalam
menjalankan pengurusan, khususnya terkait dengan pengelolaan kekayaan
perseroan. Meski pengangkatan dewan komisaris ditentukan RUPS, keberadaannya
untuk kepentingan perseroan dan bukan untuk kepentingan pemegang saham.
Menurut Pasal 114 UUPT, itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam
menjalankan tugas untuk kepentingan, serta sesuai maksud dan tujuan perseroan
harus dimiliki setiap anggota dewan komisaris dalam (Sondak, 2016).
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, adapun yang merupakan
tugas dari dewan komisaris adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
    pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan Terbatas
    maupun usaha Perseroan Terbatas, dan memberi nasihat kepada
    direksi.
  2. Wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab
    dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
    kepada direksi.
  3. Ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan
    Terbatas apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
    tugasnya.
  4. Dalam hal dewan komisaris terdiri atas 2 orang anggota dewan
    komisaris atau lebih, bertanggung jawab secara tanggung renteng.
  5. Memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi dalam
    melakukan perbuatan hukum tertentu.
  6. Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, dewan komisaris
    dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan
    tertentu untuk jangka waktu tertentu
    Dalam melaksanakan tugasnya, komisaris dalam Perseroan Terbatas tunduk
    pada beberapa prinsip yuridis menurut ketentuan Undang-Undang Perseroan
    Terbatas. Prinsipprinsip tersebut adalah sebagai berikut:
    a. Komisaris merupakan badan pengawas. Komisaris dimaksudkan sebagai
    badan pengawas (badan supervisi). Selain mengawasi tindakan direksi,
    komisaris juga mengawasi perseroan secara umum.
    b. Komisaris merupakan badan independen. Seperti halnya dengan direksi dan
    RUPS, pada prinsipnya komisaris merupakan badan yang independen,
    komisaris tidak tunduk kepada kekuasaan siapapun dan komisaris
    melaksanakan tugasnya sematamata untuk kepentingan perseroan.
    c. Komisaris tidak mempunyai otoritas manajemen (non executive). Meskipun
    komisaris merupakan pengambil keputusan (decision maker), tetapi pada
    prinsipnya komisaris tidak memiliki otoritas manajemen (non executive).
    Pihak yang memiliki tugas manajemen eksekutif hanyalah direksi.
    d. Komisaris tidak bisa memberikan instruksi yang mengikat kepada direksi.
    Walaupun tugas utama komisaris adalah untuk melakukan pengawasan
    terhadap pelaksanaan tugas-tugas direksi, tetapi komisaris tidak berwenang untuk
    memberikan instruksi-instruksi langsung kepada direksi. Hal ini dikarenakan jika
    kewenangan ini diberikan kepada komisaris, maka posisinya akan berubah dari
    badan pengawasan menjadi badan eksekutif dalam (Sondak, 2016)

Pengertian Dewan Komisaris


Dewan Komisaris adalah banyaknya jumlah dewan komisaris dalam suatu
perusahaan (Nur dan Priantinah 2012), dalam (Dermawan dan Deitiana, 2014).
Dewan komisaris merupakan wakil shareholder dalam perusahaan yang
berbadan hukum perseroan terbatas yang berfungsi mengawasi pengelolaan
perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi), dan bertanggung jawab
untuk menentukan apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam
mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan
(Mulyadi, 2002) dalam (Rizki , Basri, Musnadi, 2014)

Keuntungan dan Kerugian Corporate Social Responsibility


Menurut Oktafiani dan Rizki (2015), berdirinya perusahaan di lingkungan
masyarakat akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan di sekitarnya baik
secara ekonomi, sosial dan ekologi. Secara ekonomi keberadaan industri akan
memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup. Sedangkan secara sosial akan berdampak pada
perubahaan perilaku sosial kemasyarakatan, dan secara ekologi akan berpengaruh
terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah pabrik, yang dapat
menimbulkan polusi dalam (Sekarwigati dan Effendi, 2019).
Menurut Hackston dan Milne, tanggung jawab sosial perusahaan sering
disebut juga sebagai corporate social resposibility atau social disclosure, corporate
social reporting, social reporting merupakan proses pengkomunikasian dampak
sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus
yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan (Sembiring,
2015), dalam (Sekarwigati dan Effendi, 2019)

Cara Pengungkapan Corporate Social Responsibiity


Menurut Abubakar et al (2018) pengungkapan corporate social
responsibility adalah komitmen perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan
berkontribusi dengan melihat tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
stakeholder serta melihat keseimbangan di antara prospek ekonomi, sosial, serta
lingkungan. Menurut GRI (2013), terdapat kriteria yang harus diterapkan oleh
organisasi untuk menyusun laporan keberlanjutan sesuai dengan pedoman dalam
(Septianingsih dan Muslih, 2019)
Pengungkapan Corporate Social Responbility menurut GRI (Global
Reporting Intiative) merupakan sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah
mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan
keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan dan
penerapan di seluruh dunia.Tiga fokus pengungkapan GRI, antara lain:

  1. Ekonomi Dari aspek ekonomi, perusahaan harus berorientasi mendapatkan
    keuntungan tapi perusahaan harus memberikan kontribusi secara langsung
    kepada masyarakat. Perusahaan tidak hanya dihadapkan pada tanggung
    jawab dalam perolehan keuntungan semata, tetapi juga harus
    memperhatikan indikator kinerja ekonomi, kehadiran pasar, dan dampak
    ekonomi tidak langsung.
  2. Lingkungan Konsep CSR pada umumnya menyatakan bahwa tanggung
    jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham
    saja tetapi juga terhadap para stakeholder yang terkait dan/atau terkena
    dampak dari keberadaan perusahaan. Perusahaan yang menjalankan
    aktivitas CSR akan memperhatikan dampak operasional perusahaan
    terhadap kondisi sosial dan lingkungan dan berupaya agar dampaknya
    positif. Sehingga dengan adanya konsep CSR diharapkan kerusakan
    lingkungan yang terjadi di dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi
    udara dan air, hingga perubahan iklim dapat dikurangi. Berbagai dampak
    dari keberadaan perusahaan ditengah-tengah masyarakat telah menyadarkan
    masyarakat di dunia bahwa sumber daya alam adalah terbatas dan oleh
    karenanya pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara berkelanjutan,
    dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam menjalankan usahanya perlu
    menggunakan sumber daya dengan efisien dan memastikan bahwa sumber
    daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi
    di masa datang.
  3. Sosial Tidak hanya itu saja perusahaan juga harus memperhatikan aspek
    sosial demi kemajuan perusahaan. Semakin kuatnya tekanan stakeholder
    dalam hal pengungkapan praktik- praktik CSR yang dilakukan oleh
    perusahaan menyebabkan perlunya memasukkan unsur sosial dalam
    pertanggungjawaban perusahaan. Indikator sosial yang perlu diperhatikan
    ialah komunitas, korupsi, kebijakan publik, perilaku anti persaingan,
    kepatuhan, dalam (Apriliawati dan Hariyanto, 2016).

Fungsi Corporate Social Responsibility


Yusuf Babatunde Adeneye and Maryam Ahmed (2015) mendefinisikan
istilah CSR menjadi kemampuan perusahaan untuk bertanggung jawab sosial
terhadap pertumbuhan dan perkembangan lingkungan di mana perusahaan
beroperasi. Hal ini mengindikasikan adanya layanan sosial yang bersifat sukarela
yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat. Sebagai dampaknya adalah
peningkatan perilaku dalam pembelian dan citra baik perusahaan di mata
masyarakat. Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial masyarakat telah dapat
meningkatkan kinerja perusahaan lebih baik daripada perusahaan yang hanya
menganggap kegiatan sosial sebagai isu belaka dalam (Rice, 2017).
Dari definisi-definisi yang telah dijabarkan, sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa konsep dari CSR sebenarnya adalah implikasi dari 3 fungsi
perusahaan, sebagaimana lebih mendekati konsep yang dijabarkan oleh Elkington,
antara lain :

  1. Fungsi ekonomi, yang merupakan fungsi tradisional perusahaan. Di
    mana untuk memperoleh keuntungan (profit) bagi perusahaan (yang
    sebenarnya merupakan keuntungan pemilik perusahaan).
  2. Fungsi sosial, merupakan fungsi yang dijalankan dengan
    memberdayakan sumber daya manusia dan ikut serta dalam menjaga
    keadilan dalam membagi manfaat dan menanggung beban yang
    ditimbulkan dari aktivitas perusahaan.
  3. Fungsi alamiah, merupakan fungsi yang menyatakan bahwa
    perusahaan berperan dalam menjaga kelestarian alam (planet/bumi).
    Perusahaan merupakan elemen dalam sistem kehidupan di bumi,
    dalam (Rice, 2017)

Pengertian Corporate Social Responsibility


Menurut Bangun dkk (2012) tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
suatu komitmen bisnis yang berkelanjutan untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi, melalui kerjasama dengan komunitas sosial setempat
maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara
yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan dalam
(Sekarwigati dan Effendi, 2019).
Tanggung Jawab Sosial perusahaan atau yang lebih dikenal Corporate
Sosial Responsibility dapat disimpulkan sebagai suatu gagasan yang menjadikan
perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single
bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam
kondisi keuangannya saja. Tetapi tanggung jawab perusahaan juga harus berpijak
pada triple bottom lines, yaitu terkait masalah sosial dan lingkungan ( Siti
Munsaidah : 2016) dalam (Suzan dan Mahardika, 2018).
2.1.3.2 Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Pengungkapan Corporate Social Responsibility merupakan perlakuan
tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan yang dapat memberikan
kontribusi positif terhadap masyarakat sekitar. Jika dilakukan dengan baik, maka
perusahaan akan dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu menghasilkan laba atau
keuntungan yang besar, dapat meningkatkan akses modal, meningkatkan penjualan,
meningkatkan produktivitas perusahaan serta meningkatkan citra perusahaan
dengan melakukan pengungkapan Corporate Social Responsibility.(Septianingsih
dan Muslih, 2019).
CSR merupakan suatu bentuk tangung jawab perusahaan terhadap
lingkungan sosialnya yang turut serta merasakan dampak atas aktivitas operasional
perusahaan. CSR diwujudkan agar terjaga keseimbangan diantara pelaku bisnis dan
sekitarnya semua pihak tidak ada yang dirugikan (Susanti, 2013) dalam ( Rizki,
Basri, dan Musnadi, 2014).
Pengungkapan tanggung jawab adalah proses pengkomunikasian efek-efek
sosial dan lingkungan atas tindakan-tindakan ekonomi perusahaan pada kelompok-
kelompok tertentu dalam masyarakat dan pada masyarakat secara keseluruhan
dalam ( Rizki, Basri, dan Musnadi, 2014)

Pentingnya Teori Stakeholder


Dengan mengetahui apa yang diinginkan stakeholder, maka manajer dapat
merumuskan suatu strategi korporat yang fleksibel. Strategi yang tidak hanya bisa
mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder, tetapi juga tujuan akhir
perusahaan (Listiyanti, 2011). Salah satu pewuju dan strategi korporat adalah
dengan melaksanakan program CSR serta mengungkapkannya didalam laporan
tahunan. Pengungkapan sosial dapat dianggap sebagai wujud dialog antara
manajemen dengan stakeholder. Hal ini penting dilakukan karena investor sebagai
stakeholder, perlu mengevaluasi sejauh mana perusahaan telah melaksanakan peran
sesuai keinginan stakeholder dalam (Astuti dan Nugrahanti, 2015).
Adanya teori stakeholder ini memberikan landasan bahwa suatu perusahaan
harus mampu memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Manfaat tersebut dapat
diberikan dengan cara menerapkan program Corporate Social Responsibility
(CSR). Adanya program tersebut pada perusahaan diharapkan akan meningkatkan
kesejahteraan bagi karyawan, pelanggan, dan masyarakat lokal. Sehingga
diharapkan terjalin hubungan yang baik antara perusahaan dengan lingkungan
sekitar (Ira Robiah Adawiyah, 2013) dalam (Sekarwigati dan Effendi, 2019).