Kinerja Perusahaan yang Melakukan Merger Dalam Jangka Panjang


Dalam kinerja jangka panjang menunjukkan bahwa keuntungan pemegang
saham pengakuisisi dalam jangka panjang adalah negatif. Secara teori, setelah
merger dan akuisisi ukuran perusahaan dengan sendirinya bertambah besar
karena aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan digabung bersama. Dasar logik
dari pengukuran berdasarkan akuntansi adalah bahwa jika ukuran bertambah
besar ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari gabungan aktivitas-aktivitas
yang simultan maka laba perusahaan juga semakin meningkat. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro (2014) dengan tujuan untuk
menganalisis perbedaan kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah
merger dan akuisisi pada perusahaan yang melakukan aktivitas merger dan
akuisisi menunjukkan hasil bahwa pengujian yang dilakukan secara parsial
dalam jangka panjang memberikan hasil yang signifikan dan terdapat perubahan
menuju arah yang positif pada seluruh rasio keuangan setelah terjadinya merger
dan akuisisi yang menunjukan adanya sinergi yang diperoleh perusahaan yang
melakukan merger dan akuisisi. Penelitian lain dilakukan oleh Joshua (2011) di
Nigeria, yang meneliti mengenai pengaruh terhadap efisiensi keuangan
perbankan setelah merger dan akuisisi dilakukan. Data dianalisis menggunakan
uji statistik paired sample t-test dan hasilnya menunjukkan bahwa keuangan
bank lebih efisien setelah merger dan akuisisi dilakukan dalam jangka panjang.

Kinerja Perusahaan yang Melakukan Merger Dalam Jangka Pendek


Penelitian yang dilakukan oleh Adebayo dan Olalekan (2012) di Nigeria
menunjukkan bahwa dalam jangka pendek merger dan akuisisi memberi
keuntungan bagi pemegang saham perusahaan target dan juga menunjukkan
hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara sebelum dan sesudah merger
dan akuisisi dilakukan dilihat dari modal dasar bank komersial dan tingkat
profitabilitasnya. Bukti empiris dari penelitian diatas menunjukkan bahwa dalam
jangka pendek, merger dan akuisisi memberikan keuntungan bagi pemegang
saham perusahaan target, sebaliknya pemegang saham pengambil alih dirugikan.
Hal ini terjadi karena adanya pengalihan kekayaan pemegang saham
pengakuisisi kepada pemegang saham perusahaan target dan diduga karena
manajer pengakuisisi cenderung membayar lebih atas akuisisi mereka, mereka
terlalu tinggi mengestimasi kapasitas perusahaan target untuk menciptakan nilai
akuisisi tersebut

Pengertian Kinerja Keuangan


Pengertian kinerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001). Kinerja
diartikan sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja
(tentang peralatan). Berdasarkan pengertian tersebut kinerja keuangan didefinisikan
sebagai prestasi manajemen, dalam hal ini manajemen keuangan dalam mencapai tujuan
perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan.
Analisis kinerja keuangan dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai implementasi
strategi perusahaan dalam hal merger dan akuisisi.
Kinerja keuangan merupakan kinerja yang harus diukur untuk mengetahui
keadaan keuangan suatu perusahaan yang digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan. Informasi mengenai kinerja keuangan suatu perusahaan akan sangat
bermanfaat bagi banyak pihak dalam berbagai proses pengambilan keputusan, baik bagi
pihak intern maupun ekstern perusahaan.

Tahapan Merger


Dalam pelaksanaan merger biasanya perusahaan akan melewati beberapa proses.
Secara umum tahapan-tahapan merger adalah sebagai berikut, pertama perusahaan besar
akan menentukan perusahaan target yang akan mereka beli. Lalu dilanjutkan dengan
sebuah negosiasi yang mana bila negosiasi berjalan dengan lancar akan diikuti dengan
pembelian perusahaan target dengan nilai yang telah dikehendaki bersama. Sangat
jarang sebuah perusahaan menawarkan untuk di ambilalih oleh perusahaan lain, kecuali
dalam kasus ketika perusahaan tersebut memiliki masalah/kesulitan keuangan.
Menurut Sartono (2001) tahapan pertama dalam merger adalah perusahaan yang
akan melakukan pengambilalihan akan mengindentifikasi perusahaan target. Kemudian
dilanjutkan dengan penentuan harga beli yang bersedia dibayarkan. Dalam tahapan
selanjutnya manajemen perusahaan pengambilalih akan menghubungi manajemen
perusahaan target untuk dilakukan sebuah negosiasi. Bila kedua perusahaan sepakat
maka manajemen perusahaan target akan melakukan pendekatan kepada para pemegang
saham untuk meyakinkan mereka bahwa penggabungan perusahaan ini akan membawa
keuntungan kepada kedua perusahaan, setelah para pemegang saham setuju maka
penggabungan dapat dilaksanakan baik dalam bentuk pembayaran tunai maupun dalam
bentuk pembayaran dengan saham perusahaan.
Menurut Estanol dan Jo (2005) dalam merger terdapat tiga tahapan yaitu :

  1. Pre – Merger
    Tahap ini merupakan keadaan sebelum merger dimana dalam tahap ini, tugas
    dari seluruh jajaran direksi maupun manajemen kedua atau lebih perusahaan
    adalah mengumpulkan informasi yang kompeten dan signifikan untuk
    kepentingan proses merger perusahaan- perusahaan tersebut sehingga dapat
    terjadi sinergi dari merger yang akan dilakukan.
  2. Merger
    Ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan merger, hal yang harus
    dilakukan untuk pertama kalinya dalam tahap ini adalah penyesuaian diri dan
    saling mengintegrasikan diri dengan partner mereka agar dapat terjadi sinergi.
  3. Post – Merger
    Pada tahapan ini, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan oleh
    perusahaan. Langkah pertama (1) yang akan dilakukan oleh perusahaan adalah
    dengan melakukan restrukturisasi, dimana dalam merger, sering terjadi adanya
    dualisme kepemimpinan yang akan membawa pengaruh buruk dalam organisasi.
    Langkah kedua (2) yang diambil adalah dengan membangun suatu kultur baru
    dimana kultur atau budaya baru ini dapat merupakan gabungan dari keunggulan
    kedua budaya perusahaan atau dapat juga merupakan budaya yang sama sekali
    baru bagi perusahaan. Langkah ketiga (3) yang diambil adalah dengan cara
    melancarkan transisi, dimana yang harus dilakukan dalam hal ini adalah dengan
    membangun suatu kerjasama, dapat berupa tim gabungan ataupun kerjasama
    mutual.

Keunggulan dan Kelemahan Aktivitas Merger


Dalam banyak literatur manajemen ditemukan bahwa merger memberikan
banyak manfaat. Beberapa manfaat yang mungkin dihasilkan dari proses merger antara
lain: (Moin, 2007)

  1. Mendapatkan cashflow dengan cepat karena produk dan pasar sudah
    jelas.
  2. Memperoleh kemudahan dana/pembiayaan karena kreditor lebih percaya
    dengan perusahaan yang telah berdiri dan mapan.
  3. Memperoleh karyawan yang telah berpengalaman.
  4. Mendapatkan pelanggan yang telah mapan tanpa harus merintis dari
    awal.
  5. Memperoleh sistem operasional dan administratif yang mapan.
  6. Mengurangi resiko kegagalan bisnis karena tidak harus mencari
    konsumen baru.
  7. Menghemat waktu untuk memasuki untuk memasuki bisnis baru.
  8. Memperoleh infrastruktur untuk mencapai pertumbuhan yang lebih
    cepat.
    Disamping memiliki keunggulan, merger juga memiliki beberapa kelemahan
    sebagai berikut:
  9. Proses integrasi yang tidak mudah.
  10. Biaya konsultan yang mahal.
  11. Kesulitan menetukan nilai perusahaan target secara akurat.
  12. Seringkali menurunkan moral organisasi.
  13. Tidak menjamin peningkatan nilai perusahaan.

Klasifikasi Merger


Klasifikasi merger sangat banyak bila ditinjau dari berbagai sudut. Klasifikasi
ini tidak terlepas dari tata cara penggabungan usaha yang terus berkembang. Dengan
memahami klasifikasi ini, kita akan melihat dari sudut mana merger dilaksanakan.
Pengklasifikasian merger berdasarkan aktivitas ekonomik dapat diklasifikasikan dalam
5 tipe yaitu: (Moin, 2007).

  1. Merger Horizontal
    Merger horizontal adalah merger antara dua atau lebih perusahaan yang
    bergerak dalam industri yang sama. Sebelum terjadi merger perusahaanperusahaan ini bersaing satu sama lain dalam pasar/industri yang sama.
  2. Merger Vertikal
    Merger vertikal adalah integrasi yang melibatkan perusahaan-perusahaan
    yang bergerak dalam tahapan-tahapan proses produksi atau operasi. Merger
    tipe ini dilakukan jika perusahaan yang berada pada industri hulu memasuki
    industri hilir atau sebaliknya dari industri hilir menuju ke industri hulu.
  3. Merger Konglomerat
    Merger konglomerat adalah merger dua atau lebih perusahaan yang masingmasing bergerak dalam industri yang tidak terkait.
  4. Merger Eksistensi Pasar
    Merger eksistensi pasar adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih
    perusahaan untuk secara bersama-sama memperluas area pasar.
  5. Merger Eksistensi Produk
    Merger eksistensi produk adalah merger yang dilakukan oleh dua perusahaan
    untuk memperluas lini produk masing-masing perusahaan.
    Metode pembukuan yang dapat diterapkan dalam setiap merger yang dilakukan,
    yaitu: (Widjaja, 2002)
  6. Metode pooling of interest, merger dilakukan dengan cara menggabungkan
    seluruh harta kekayaan, hak, dan kewajiban dari dua atau lebih perusahaan
    yang melakukan penggabungan tersebut. Dalam metode ini tidak dikenal
    adanya pengakuan akan good will.
  7. Metode pembelian, merger dilakukan dengan dengan memperhitungkan nilai
    pasar dari harta kekayaan, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban masingmasing perusahaan berdasarkan pada nilai harta kekayaan, hak-hak, dan
    kewajiban-kewajiban yang ada dalam perusahaan-perusahaan tersebut saat
    penggabungan dilakukan.

Motif Melakukan Merger


Pada prinsipnya terdapat terdapat dua motif yang mendorong sebuah perusahaan
melakukan merger, yaitu motif ekonomi dan motif non-ekonomi. Motif ekonomi
berkaitan dengan esensi tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan atau
memaksimumkan kemakmuran pemegang saham. Di sisi lain, motif non ekonomi
adalah motif yang bukan didasarkan pada esensi tujuan perusahaan tersebut, tetapi
didasarkan pada keinginan subyektif atau ambisi pribadi pemilik atau manajemen
perusahaan (Moin, 2007). Hanya alasan yang bersifat ekonomis dan rasional yang bisa
diterima sehingga aktivitas merger bisa dipertanggung jawabkan. Secara garis besar
motif merger adalah sebagai berikut:

  1. Motif Ekonomi
    Esensi tujuan perusahaan, dalam perspektif manajemen keuangan adalah
    seberapa besar perusahaan mampu menciptakan nilai bagi perusahaan dan
    bagi pemegang saham.
  2. Motif Strategis
    Motif strategis juga termasuk motif ekonomi ketika aktivitas merger
    diarahkan untuk mencapai posisi strategis perusahaan agar memberikan
    keunggulan kompetitif dalam industri. Merger juga memiliki motif strategis
    jika dilakukan untuk mengendalikan perusahaan lain.
  3. Motif Politis
    Motif Politis seringkali dilakukan oleh pemerintah untuk memaksa
    perusahaan baik BUMN atau swasta untuk melakukan merger. Muatan
    politis ini diambil untuk kepentingan masyarakat umum atau ekonomi secara
    makro.
  4. Motif Sinergi
    Sinergi berasal dari kata synergos (latin) yang artinya berkerja bersama.
    Dalam konteks merger, sinergi diartikan sebagai hasil ekstra yang diperoleh
    jika dua atau lebih perusahaan melakukan kombinasi bisnis.
  5. Motif Diversifikasi
    Diversifikasi adalah strategi pemberagaman bisnis yang bisa dilakukan
    melalui merger. Diversifikasi dimaksudkan untuk mendukung aktivitas
    bisnis dan operasi perusahaan untuk mengamankan posisi bersaing.
  6. Motif Non-Ekonomi
    Ada kalanya merger dilakukan bukan didasarkan pada pertimbangan
    ekonomi semata, tetapi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan lain
    seperti prestis dan ambisi.

Merger dan Akuisisi

Merger berasal dari kata “mergere” (Latin) yang artinya (1) bergabung bersama,
menyatu, berkombinasi (2) menyebabkan hilangnya identitas karena terserap atau
tertelan sesuatu. Definisi merger menurut peraturan pemerintah adalah sebagai berikut
“Merger adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan
yang menggabungkan diri menjadi bubar.”
Definisi lainnya mengatakan bahwa merger adalah salah satu bentuk
absorbsi/penyerapan oleh satu perusahaan terhadap perusahaan lain. Jika dua
perusahaan A dan perusahaan B melakukan merger, maka hanya akan ada satu
perusahaan saja yaitu A atau B. Pada sebagian besar kasus merger, perusahaan yang
memiliki ukuran yang lebih besar yang dipertahakan hidup dan tetap mempertahankan
nama dan status hukumnya, sedangkan perusahaan yang ukurannya lebih kecil atau
perusahaan yang dimerger akan menghentikan aktivitas atau dibubarkan sebagai badan
hukum. Pihak yang masih hidup atau yang menerima merger dinamakan surviving firm
atau pihak yang mengeluarkan saham (issuing firm). Dengan demikian, perusahaan
yang berhenti dan bubar setelah terjadinya merger dinamakan merged firm. Sementara
akuisisi berasal dari kata acquisitio (Latin) dan acquisition (Inggris), secara harfiah
akuisisi mempunyai makna membeli atau mendapatkan sesuatu/obyek untuk
ditambahkan pada sesuatu/obyek yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam teminologi
bisnis akuisisi dapat diartikan sebagai pengambilalihan kepemilikan atau pengendalian
atas saham atau aset suatu perusahaan oleh perusaahaan lain, dan dalam peristiwa baik
perusahaan pengambilalih atau yang diambil alih tetap eksis sebagai badan hukum yang
terpisah (Moin, 2007).
Pada Pemerintah Republik Indonesia No.27 tahun 1998 tentang penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan Perseroan Terbatas mendefinisikan akuisisi adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan untuk
mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut (Widjaja, 2002).
Dalam PSAK No.22 mendefinisikan akuisisi sebagai suatu penggabungan usaha
dimana salah satu perusahaan yaitu pengakuisisi sehingga akan mengakibatkan
berpindahnya kendali atas perusahaan yang diambil alih tersebut. Biasanya perusahaan
pengakuisisi memliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan
terakuisisi. Pengendalian ini yang memberikan manfaat kepada perusahaan
pengakuisisi. Akuisisi berbeda dengan merger karena akuisisi tidak menyebabkan pihak
lain bubar sebagai entitas hukum. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam akuisisi
secara yuridis masih tetap berdiri dan beroperasi secara independen tetapi telah terjadi
pengalihan oleh pihak pengakusisi.

Perbandingan debt to equity sebelum dan sesudah merger dan akuisisi


Debt to equity (DER) merupakan rasio yang menunjukkan seberapa
besar kemampuan perusahaan dalam melunasi utang-utang kepada pihak
luar dengan modal yang dimiliki. Kondisi perusahaan menjadi semakin baik
jika DER semakin kecil, karena itu artinya resiko utang yang tidak tertagih
lebih kecil. Setelah melakukan merger perusahaan diharpkan dapat
meminimalisir total hutangnya supaya DER dapat menurun (Rahayu, 2019)
Nafilah & Damayanti (2019), menemukan Debt to Equity Ratio
mengalami kenaikan pada satu dan dua tahun sesudah melakukan merger
atau akuisisi yang kemudian mengalami penurunan pada tahun ketiga
sesudah merger atau akuisisi. Jika dibandingkan nilai rasio sebelum dan
sesudah merger atau akuisisi debt to equity ratio tidak ada perbedaan seperti
hasil uji hipotesis yang telah dilakukan. Debt to equity ratio digunakan
untuk menilai perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka penjangnya
dilihat dari jumlah modal. Kesimpulan yang sama diperoleh oleh Fransiscus
et al (2015) bahwa debt to equity rati tidak menujukkan perbedaan yang
signifikan sebelum dan sesudah M&A

Perbandingan debt to asset sebelum dan sesudah merger dan akuisisi


Rasio solvabilitas merupakan rasio yang mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya baik itu kewajiban
jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang. Debt to asset ratio
merupakan rasio utang yang digunakan dalam mengukur perbandingan
antara total utang dengan total aktiva. Rasio ini mengukur berapa besar dari
aktiva yang dibiayai oleh kreditur (Esterlina & Nuzula, 2017).
Penelitian yang dilakukan Almurni & Azhar (2019) yang bertujuan
untuk menganalisis perbedaan kinerja perusahaan sebelum dan sesudah
merger pada perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4
perusahaan terpilih sebagai sample dan mengujinya dengan menggunakan
uji paired sample test. Diperoleh hasil Debt to Asset Ratio menujukkan
perbedaan yang signifikan. Hasil yang berbeda diperoleh dalam
penelitiannya Fransiscus et al (2015). Penelitiannya menunjukkan bahwa
tidak adanya perbedaan yang signifikan pada debt to asset ratio.

Perbandingan total asset turnover sebelum dan sesudah merger danakuisisi


Menurut Normalita (2018), Rasio aktivitas merupakan rasio yang
menunjukkan bagaimana perusahaan menggunakan dan mengelola aset
yang dimiliki secara efektif dan efisien. Salah satu Rasio aktivitas adalah
Total Assets Turn Over (TATO). TATO berfungsi untuk mengukur seluruh
perputaran aktiva. Semakin tinggi rasio aktivitas maka kinerja manajemen
dalam mengelola aktivanya semakin baik.
Penelitian yang dilakukan Esterlina & Firdausi (2017), memperoleh
Nilai rata-rata TATO setelah merger dan akuisisi menurun baik satu tahun,
dua tahun, maupun tiga tahun setelah merger dan akuisisi. Hasil ujiwilcoxon
menyatakan terdapat perbedaan TATOyang signifikan pada satu tahun
sebelum dengan dua tahun dan tiga tahun sesudah merger dan akuisisi, pada
dua tahun sebelum dengan tiga tahun sesudah merger dan akuisisi, serta tiga
tahun sebelum dengan tiga tahun sesudah merger dan akuisisi, dengan mean
TATO sebelum merger dan akuisisi > mean TATO sesudah merger dan
akuisisi. Sehingga penelitian ini menyimpulkan terdapat adanya perbedaan
antara total asset turnover sebelum dan sesudah merger dan akuisisi.
Rahayu et al (2018), Hasil analisis data terhadap variabel Total Asset
Turn Over menunjukkan bahwa sesudah merger dan akuisisi Total Asset
Turn Over tidak berbeda. Hasil statistik deskriptif sebelum dan sesudah
akuisisi mengalami perbedaan, yaitu nilai rata-rata sesudah akuisisi lebih
rendah dibandingkan sebelum akuisisi. Dalam hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan tidak dapat memanfaatkan seluruh aset yang dimiliki sesudah
merger dan akuisisi untuk mendapatkan pendapatan yang tinggi

Perbandingan fixed asset turnover sebelum dan sesudah merger danakuisisi


Menurut Fahmi (2015), rasio aktivitas adalah rasio yang
menggambarkan sejauh mana suatu perusahaan mempergunakan sumber
daya yang dimilikinya guna menunjang aktivitas perusahaan. Fixed asset
turnover atau perputaran aktiva tetap merupakan salah satu dari rasio
aktivitas. Rasio ini melihat sejauh mana aktiva tetap yang dimiliki oleh
suatu perusahaan memiliki tingkat perputarannya secara efektif, dan
memberikan dampak pada keuangan perusahaan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Esterlina dan Firdausi
(2017) pada 30 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI)
yang melakukan kegiatan merger dan akuisisi pada periode 2010-2012.
Penelitian ini mengukur kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah
melakukan merger dan akuisisi dengan menggunakan uji Paired Sample ttest dan wilcoxon sign rank. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat
adanya perbedaan yang signifikan pada fixed asset turnover. Sama halnya
dengan penelitian Nafilah & Damayanti (2019), menunjukkan adanya
perbedaan kinerja keuangan menggunakan rasio FATR pada periode
perbandingan, satu tahun sebelum dengan satu, dua, dan tiga tahun sesudah
merger atau akuisisi, dua tahun sebelum dengan satu, dua, dan tiga tahun
sesudah merger atau akuisisi, tiga tahun sebelum dengan tiga tahun sesudah
merger atau akuisisi. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa FATR berbeda
paling cepat satu tahun sesudah merger atau akuisisi

Perbandingan return on equity sebelum dan sesudah merger danakuisisi


Return on equity merupakan salah satu rasio yang mengukur
kemampuan perusahaan dalam memperoleh profit. Yang mana ROE
mengkaji sejauh mana suatu perusahaan mempengaruhi sumber daya yang
dimiliki untuk mampu memberikan laba atas ekuitasnya. Semakin tinggi
hasil rasio keuangan maka menunjukkan semakin baik pula kemampuan
tingginya perolehan keuntungan perusahaan. (Fahmi, 2015).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gustina (2017) menunjukkan
bahwa rasio keuangan return on equity ada perbedaan yang signifikan
antara sebelum dan sesudah perusahaan melakukan merger dan akuisisi.
Hasil uji T pada kinerja return on equity untuk 1 tahun sebelum dan 1 tahun
sesudah merger dan akuisisi terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai asymp. sig. yang lebih kecil dari α = 0,050 yaitu
0,005. Dengan demikian hipotesa ketiga yang menyatakan adanya
perbedaan signifikan nilai return on equity sebelum dan sesudah merger dan
akuisisi diterima atau didukung. Lain halnya dengan hasil penelitian yang
diperoleh Wibowo dkk (2017). Penelitian yang dilakukan pada perusahaan
berbasis situs web (technopreneur) sebelum dan sesudah melakukan merger
dan akuisisi mendapatkan hasil bahwa tidak adanya perbedaan yang
signifikan antara ROE sebelum dan sesudah M&A.

Perbandingan return on asset sebelum dan sesudah merger dan akuisisi


Menurut Fahmi (2015), rasio profitabilitas adalah rasio yang
mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yag ditunjukan oleh
besar kecilnya keuntungan atau laba yang diperoleh dalam hubungannya
dengan penjualan maupun investasi. Semakin baik rasio keuangan maka
menunjukkan semakin baik pula kemampuan tingginya perolehan
keuntungan perusahaan. Salah satu perhitungan rasio profitabilitas ialah
return on asset (ROA). ROA adalah menghitung kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva yang dimiliki perusahaan.
Wibowo dkk (2019), menemukan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam rasio Pengembalian Aset (ROA) 1 tahun sebelum dan 1
tahun setelah penentuan Penggabungan. Dengan hasil pengujian yang
diperoleh Nilai rata-rata ROA untuk satu tahun sebelum merger adalah
6.9082 dengan standar deviasi 14.29974. Nilai standar deviasi yang lebih
besar dari rata-rata menunjukkan variasi besar antara nilai maksimum dan
minimum. Nilai rata-rata ROA sebesar 6,9082 menunjukkan bahwa
efektivitas rata-rata perusahaan dalam menghasilkan laba dengan
memanfaatkan aset yang dimiliki adalah 7%. Sedangkan nilai maksimum
dan minimum masing-masing adalah 61,28 dan 0,12. Begitupun dengan
penelitian Stevanie & Mindosa (2019), bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada kinerja keuangan perusahaan antara sebelum dan
sesudah melakukan merger dan akuisisi. Dengan menggunakan uji
wilcoxon pada 35 perusahaan diperoleh return on asset menujukkan hasil
yang tidak signifikan

Perbandingan quick ratio sebelum dan sesudah merger dan akuisisi


Rasio likuiditas merupakan rasio yang mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan jangka pendeknya. Salah
satu perhitungan rasio likuiditas yaitu Quick ratio. Qucik ratio merupakan
perbandingan antara aset lancar dikurangi persedian dengan hutang lancar
perusahaan. Secara teori ketika perusahaan melakukan merger dan akuisisi
maka perusahaan lebih likuid artinya lebih mudah untuk melunasi hutanghutang jangka pendeknya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gustina (2017) menunjukkan
bahwa tidak adanya perbedaan quick ratio sebelum dan sesudah merger dan
akuisisi. Hasil pengujian menggunakan uji T quick ratio untuk perusahaan
yang melakukan merger dan akuisisi 1 tahun sebelum dan 1 tahun setelah
menunjukkan nilai asymp. Sig. Sebesar 0,312 lebih besar dari α = 0,05. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada kinerja
quick ratio untuk perusahaan yang melakukan merger untuk 1 tahun
sebelum dan 1 tahun setelah merger dan akuisisi pada periode penelitian.
Dengan demikian hipotesa yang menyatakan adanya perbedaan signifikan
nilai quick ratio sebelum dan sesudah merger dan akuisisi ditolak atau tidak
didukung.
Gazali & Panggabean (2015), memperoleh bahwa quick ratio tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah merger dan
akuisisi. Hasil tersebut diperoleh dari penelitian terhadap 25 perusahaan
yang melakukan merger dan akuisisi periode 2012-2013 dengan
menggunakan metode analisis wilcoxon signed rank test

Perbandingan current ratio sebelum dan sesudah merger dan akuisisi


Current ratio merupakan salah satu rasio yang mengukur
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Yang mana current ratio itu sendiri merupakan perbandingan antara asset
lancar dengan hutang lancar yang dimiliki oleh perusahaan. Secara teori
ketika perusahaan melakukan merger dan akuisisi maka perusahaan lebih
likuid artinya lebih mudah untuk melunasi hutang-hutang jangka
pendeknya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stevanie dan Mindosa
(2019), ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
current ratio sebelum dan sesudah melakukan merger dan akuisisi. Pada
penelitian Gozali & Panggabean (2015), menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada kinerja keuangan perusahaan sebelum dan
sesudah M&A.
Leepsa & Mirsha (2012) mengungkapkan bahwa posisi likuiditas
perusahaan membaik setelah melakukan merger dan akuisisi tetapi tidak
signifikan secara statistik. Yaitu kinerja keuangan dalam hal current ratio.
Peningkatan kinerja keuangan yang tidak signifikan memperlihatkan tanda
tanya terkait motif di balik merger. Selain itu kinerja keuangan mungkinlah
bukan satu-satunya alat yang mengukur keberhasilan M&A

Kinerja keuangan perusahaan


Menurut Normalita (2018), Kinerja keuangan perusahaan
merupakan suatu gambaran hasil pencapaian prestasi yang diperoleh
perusahaan pada periode tertentu yang dapat menampilkan tingkat
kesehatan yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Kinerja keuangan pada
suatu perusahaan dapat diukur dengan berbagai macam alat analisis yang
ada, salah satunya adalah analisis rasio.
Analisis rasio keuangan merupakan alat utama dalam menganalisis
keuangan perusahaan, karena dengan analisisi ini dapat menjawab berbagai
pertanyaan terkait dengan kinerja keuangan ataupun keadaan keuangan
perusahaan. Rasio keuangan dapat dikelompokkan kedalam empat kategori
yaitu: likuiditas, profitabilitas, aktivitas dan solvabilitas. (Tampubolon,
2013)
Menurut Martono & Harjito (2014) dalam bukunya yang berjudul
manajemenn keuangan, rasio likuiditas merupkan rasio yag memperlihatkan
hubungan antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Tujuan dari rasio
likuiditas merupakan mengukur kemampuan perusahaan dalam menunaikan
kewajiban jangka pendeknya. Suatu perusahaan yang ingin
mempertahankan kelangsungan hidup usahanya harus mampu untuk
melunasi kewajiban finansialnya. Dengan demikian rasio ini merupakan
indikator yang mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar
kewajiban-kewajibannya saat tiba jatuh tempo menggunakan aktiva lancar
yang dimilikinya. Rasio profitabilitas merupakan rasio yang mengukur
kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba baik pada sisi penjualan
maupun investasi dari penggunaan modal yang dimiliki. Rasio aktivitas atau
rasio efisiensi merupakan rasio yang mengukur tingkat efisiensi suatu
perusahaan dalam menggunakan aset-aset yang dimilikinya. Bagaimana
perusahaan menggunakan bahan mentah, barang setengah jadi serta barang
jadi yang dimiliki termasuk juga pengelolaan aktiva dan kebijakan
pemasaran. Rasio solvabilitas merupakan rasio yang menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajiban finansialnya
baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.

Motif Merger dan Akuisisi

Motif dalam melakukan merger dan akuisisi
Menurut Wiyono & Kusuma (2017), terdapat beberapa motif dalam
melakukan merger dan akuisisi, secara garis besar ialah sebagai berikut:

  1. Motif ekonomi
    Esensi tujuan dari suatu perusahaan, dalam persepektif manajemen
    keuangan adalah seberapa besar perusahaan mampu menciptakan nilai
    (value creation) bagi perusahaan dan bagi pemegang saham. Merger dan
    akuisisi memiliki motif ekonomi yang tujuan jangka panjangnya ialah
    mencapai peningkatan nilai tersebut. Disamping itu motif ekonomi dari
    merger dan akuisisi yang lain meliputi: mengurangi waktu, biaya dan
    resiko kegagalan pasar baru, mengakses reputasi teknologi, produk dan
    merk dagang, memperoleh individu-individu sumberdaya manusia
    profesional, membangun kekuatan pasar (market power), membangun
    kekuatan monopoli, memperluas pangsa pasar, mengurangi persaingan,
    mendiversifikasi lini produk, mempercepat pertumbuhan, serta
    menstabilkan cash flow dan keuntungan. (Wiyono & Kususma, 2017)
  2. Motif sinergi
    Motif sinergi mengacu pada reaksi yang akan dihasilkan dari sebuah
    aktivitas penggabungan dua atau lebih usaha. Penggabungan usaha
    dilakukan untuk memberikan efek yang jauh lebih baik bagi kedua
    perusahaan yang melakukan penggabungan. Fenomena ini biasanya
    diilustrasikan dengan 2+2=5. Didalam konteks merger dan akuisisi hal
    ini diartikan sebagai kemampuan dua atau lebih perusahaan yang
    bergabung dapat memberikan keuntungan yang lebih besar
    dibandingkan jika masing-masing perusahaan berdiri independen.
    Terdapat dua tipe sinergi yaitu sinergi operasional dan sinergi keuangan.
    Sinergi operasional mengarah pada dua bentuk yaitu pendapatan dan
    pengurangan/ efisiensi biaya. Sedangkan sinergi keuangan mengarah
    kepada kemungkinan memperoleh biaya modal yang lebih rendah jika
    terjadi penggabungan dua atau lebih perusahaan. (Wiyono & Kususma,
    2017)
  3. Motif pertimbangan pajak
    Pertimbangan pajak juga telah mendorong sejumlah perusahaan
    melakukan merger. Misalnya, perusahaan yang menguntungkan dan
    berada pada rentang tarif pajak tertinggi dapat mengakuisisi sebuah
    perusahaan yang memiliki akumulasi kerugian pajak dalam jumlah
    besar. Kerugian berdasarkan perhitungan pajak tersebut selanjutnya
    dapat diperhitungkan menjadi penghematan pajak. Untuk melakukan
    motif ini tentu saja perlu dipertimbangkan berbagai hal terutama dengan
    sinergitas yang dapat dicapai. (Wiyono & Kususma, 2017)
  4. Melindungi diri dari pengambilalihan
    Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi incaran perusahaan
    lain untuk diakuisisi yang tidak bersahabat. Target firm mengakuisisi
    perusahaan lain, dan membiayai pengambilalihannya dengan utang,
    karena beban utang ini, kewajiban perusahaan menjadi terlalu tinggi
    untuk ditanggung oleh bidding firm yang berminat. (Wiyono &
    Kususma, 2017)
  5. Motif diversifikasi
    Diverifikasi adalah strategi pemberagaman bisnis yang bisa dilakukan
    melalui merger dan akuisisi. Diversifikasi dimaksudkan untuk
    mendukung aktivitas bisnis dan operasi perusahaan untuk
    mengamankan posisi bersaing dan dapat mengurangi resiko
    ketergantungan terhadap satu core business. Perusahaan
    mendiversifikasi usahanya melalui akuisisi perusahaan lain bertujuan
    untuk mengurangi ketidakstabilan arus penerimaan kas dan keuntungan.
    (Wiyono & Kususma, 2017)
  6. Motif keterampilan manajemen dan teknologi
    Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak
    adanya efisiensi pada manajemennya atau kurang teknologi. Perusahaan
    yang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat
    mebayar untuk mengembangkan teknologinya dapat menggabungkan
    diri dengan perusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang
    sudah modern. (Wiyono & Kususma, 2017)
  7. Motif pribadi manajer
    Motif merger dan akuisisi tidak hanya berdasarkan pertimbangan
    ekonomi, tetapi bisa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan lain
    seperti prestise dan ambisi. Motif non-ekonomi ini berasal dari
    kepentingan personal (personal interest motive) baik dari manajemen
    perusahaan maupun pemilik perusahaan. (Wiyono & Kususma, 2017)

Alasan perusahaan melakukan merger dan akuisisi


Sebelum melaksanakan aktivitas merger dan akuisisi perusahaan
tentu memiliki alasan mengapa perlu melakukan merger dan akuisisi hingga
akhirnya memutuskan untuk melaksanakan atau tidak kegiatan merger dan
akuisisi tersebut. Tentunya dengan melakukan aktivitas merger dan akuisisi
perusahaan mengharapkan dapat memajukan perusahaan serta
meningkatkan kinerja keuanga yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam
bukunya, Tampubolon (2013) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa
suatu perusahaan lebih memilih melakukan ekspansi eksternal
dibandingkan dengan ekspansi internal, sebagai berikut:

  1. Kemungkinan korporasi menginginkan diversifikasi untuk menurunkan
    resiko yang diakibatkan pengaruh musim (seasonal business)
  2. Harapan korporasi akan memperoleh sinergi dari merger dengan
    korporasi lainnya.
  3. Suatu merger memungkinkan korporasi untuk memperoleh apa yang
    tidak diperolehnya, sebagai contoh; bakat manajemen yang superior
    (superior management talent) atau kapabilitas riset (research
    capability)
  4. Kemungkinan korporasi akan dapat memperbaiki kapabilitas dalam
    menghimpun dana, karena bergabung dengan korporasi yang memiliki
    kemampuan likuiditas aset yang lebih besardan hutang rendah (financial
    sinergi)
  5. Pendapat bersih (net income) korporasi besar yang baru dapat
    mengkapitalisasi pada tingkat yang lebih rendah, yang dapat
    mengakibatkan nilai pasar sahamnya lebih tinggi.
  6. Dalam beberapa hal ada kemungkinan untuk membiayai aktivitas lebih
    baik dengan akuisisi, apabila pembiayaan ekspansi internal tidak
    memungkinkan.
  7. Suatu merger dapat mengakibatkan return on investment (ROI) akan
    lebih baik, apabila nilai pasar korporasi yang diakuisisi lebih rendah
    daripada replacement cost yang terjadi.
  8. Dengan jalan merger suatu korporasi yang mengalami kerugian dalam
    pengoperasiannya, akan dapat tertolong oleh korporasi yang
    mengakuisisi, biasanya dari segi harga tetapi juga akan memperoleh
    manfaat dari pajak yang dapat diperhitungkan kemudian (carry forward
    tax benefit) korporasi yang mengakuisisi akan menggunakan tax credit
    tersebut, sehingga pembayaran pajaknya lebih rendah. Kerugian pajak
    mungkin dapat digunakan selama 15 tahun untuk menurunkan pajak
    yang mengakuisisi, sehingga dalam hal seperti ini pemerintah akan turut
    membiayai sebagian dari merger.

Jenis merger dan akuisisi


Menurut Tarigan dkk (2016), secara garis besar merger dan akuisisi
dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu related (berhubungan) dan
unrelated (tidak berhubungan), dimana perbedaan itu terletak pada
produk/jasa yang ditawarkan apakah masih berhubungan (contoh:
perusahaan tekstil dengan perusahaan baju) atau justru tidak ada hubungan
sama sekali (contoh: perusahaan makanan merger dengan perusahaan
mebel). Kedua kategori tersebut sendiri masih dibagi dalam beberapa tipe
dimana ada 2 tipe dalam kategori related yaitu vertically related dan
horizontally related. Hubungan vertikal ini mengacu pada proses merger
akusisi pada 2 perusahaan hulu dan hilir dimana terjadi penggabungan
antara produsen/ supplier dengan distributor atau distributor dengan
retailer/penjual. Sedangkan hubungan horizontal terjadi jika penggabungan
tersebut melibatkan perusahaan yang saling bersaing / kompetitor. Di dalam
kategori unrelated dikenal pula hubungan konglomerasi (conglomerate)
dimana 1 induk perusahaan mempunyai banyak perusahaan lainnya di
berbagai bidang

Merger dan akuisisi

Menurut Tampubolon (2013) merger merupakan kombinasi dari dua
atau lebih korporasi menjadi satu korporasi; dimana korporasi yang
mengakuisisi (acquiring company) yang tetap mempunyai identitas.
Menurut UU tentang Perseroan terbatas pasal 1 ayat 9, Merger adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum. Menurut UU tentang perseroan terbatas pasal 1 ayat
11, Akuisisi atau pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham
Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan
tersebut.
Merger adalah salah satu bentuk penyerapan oleh satu perusahaan
terhadap perusahaan lain. Jika dua perusahaan A dan B melakukan merger,
maka hanya akan ada satu perusahaan saja yaitu A atau B saja. Sedangkan
akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan dan kontrol manajemen oleh
satu perusahaan terhadap perusahaan yang lain (Wiyono & Kusuma, 2017).
16
Merger dan akuisisi (M&A) merupakan salah satu strategi ekspansi
bisnis yang bersifat eksternal. Yang mana M&A ialah sebuah dua atau lebih
perusahaan yang bergabung atau melebur jadi satu perusahaan dan menjadi
memiliki tujuan yang sama. Menurut Tarigan dkk (2016), Secara umum,
merger dapat didefinisikan sebagai sebuah gabungan antara dua organisasi
atau lebih, dimana hanya ada satu perusahaan yang bertahan

Abnormal return


Abnormal return merupakan salah satu alat ukur yang menjadi pokok
pembahasan utama dalam studi yang mengamati reaksi pasar modal.
Abnormal return bisa terjadi apabila peristiwa yang diumumkan yang
memiliki kandungan informasi. Tandelilin (2010) menyatakan bahwa
abnormal return adalah selisih antara return realilasi dengan return
ekspektasi yang dapat terjadi sebelum informasi diterbitkan atau telah terjadi
kebocoran informasi. Abnormal return berarti pengembalian yang diperoleh
investor berbeda dengan harapan mereka. Jogiyanto (2017:667) menegaskan
bahwa abnormal return adalah selisih antara return realisasi dengan return
ekspetasi. Abnormal return dapat dikatakan sebagai kelebihan atas return
realisasi terhadap return normal

Signalling Theory


Signaling theory atau teori sinyal merupakan teori yang menjadi dasar
untuk memahami manajemen keuangan. Edwar (2012) dalam Nuraisyah
(2016) menyatakan bahwa sinyal merupakan sebuah tindakan berupa isyarat
yang dilakukan oleh manajemen perusahaan dengan memberikan petunjuk
kepada investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek
perusahaan. Menurut Jogiyanto (2013) menyatakan bahwa informasi yang
dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal bagi
investor dalam pengambilan keputusan investasi. Sinyal dapat terwujud
dalam berbagai bentuk, baik secara nyata yang dapat langsung diamati,
maupun yang harus melalui analisa yang lebih mendalam terlebih dahulu.
Adanya sinyal tersebut dimaksudkan untuk memberi isyarat kepada pihak
eksternal terhadap suatu peristiwa agar pihak eksternal dapat melakukan
perubahan nilai atas perusahaan pemberi sinyal tersebut. Hal ini berarti
sebuah sinyal harus mengandung kekuantan informasi agar dapat merubah
penilaian dari pihak eksternal.
Pada dasarnya signalling theory berisi tentang pemahaman mengenai
sebuah sinyal yang dapat memberikan nilai atau manfaat bagi pihak luar.
Adanya suatu pengumuman atau peristiwa bisa memberikan sinyal positif
maupun sinyal negatif. Apabila sinyal yang diberikan adalah sinyal positif
maka akan menimbulkan dorongan bagi investor untuk melakukan transaksi
perdagangan saham, sedangkan apabila sinyal yang muncul berupa sinyal
negatif kemungkinan yang akan terjadi adalah melemahnya kegiatan
perdagangan.

Jenis- Jenis Studi Peristiwa


a) Studi Peristiwa Konvensional.
Studi peristiwa konvensional merupakan studi yang
mempelajari tentang reaksi pasar terhadap sebuah peristiwa yang
sering terjadi dan diumumkan secara terbuka emiten di pasar modal.
Adapun pengumuamnnya berupa Pengumuman laba, Pembayaran
deviden, right issue, merger dan akuisisi, pengumuman pembelanjaan
kapital, stock split.
b) Studi Peristiwa Kluster
Pada jenis ini mengamati tentang reaksi pasar terhadap sebuah
peristiwa yang secara terbuka diumumkan dalam waktu yang sama
namun hanya berdampak pada kluster perusahaan tertentu. Contoh
peristiwa yang dapat mengundang reaksi pasar adalah pengumuman
pemerintah tentang regulasi yang ada kaitannya dengan industri
tertentu, sehingga diperkirakan akan berdampak pada keberlangsungan
perusahaan industri yang bersangkutan.
c) Studi Peristiwa Tak terduga
Studi peristiwa jenis ini mengamati tentang respon pasar dari
pengumuman-pengumuman yang tidak terduga, biasanya peristiwa
jenis ini jarang terjadi.
d) Studi Peristiwa Berurutan
Studi peristiwa jenis ini merupakan bagian dari studi peristiwa
kluster. Studi ini mempelajari tentang respon pasar terhadap
serangkaian peristiwa yang terjadi secara runtut dalam situasi
ketidakpastian yang tinggi, dalam studi ini yang menjadi kunci utama
respon pasar adalah kebenaran suatu informasi tersebut.

Studi Peristiwa


Studi peristiwa merupakan studi yang secara khusus menyelidiki
tentang respon pasar terhadap kandungan informasi dari suatu pengumuman
atau publikasi tertentu ( Jogiyanto, 2017). Kandungan informasi dalam
sebuah pengumuman dapat berupa berita baik (good news) maupun berita
buruk (bad news). Studi peristiwa adalah suatu bentuk studi untuk menguji
efesiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi. Biasanya hipotesis
pasar efisien menganggap bahwa untuk berita baik respon pasar akan positif
dan sebaliknya apabila berita yang dipublikasikan berupa berita buruk maka
respon pasar akan negatif. Biasanya reaksi pasar ini dapat tercermin melalui
return tak normal (abnormal return). Studi peristiwa berupa pengamatan
yang dilakukan untuk mengetahui pergerakan harga saham setelah terjadinya
suatu peristiwa tertentu

Efisiensi Pasar


Pasar efisien adalah pasar dimana harga semua sekuritas yang
diperdagangkan telah mencerminkan semua informasi yang tersedia, dalam
hal ini infomasi yang dimaksud dapat berupa informasi masa lalu, informasi
masa sekarang dan informasi masa depan (Jogiyanto, 2017 p.605). Terdapat
beberapa kondisi yang harus terpenuhi untuk mencapai pasar yang efisien,
antara lain:
a. Investor merupakan penerima harga, dalam hal ini harga dari suatu
sekuritas di tentukan oleh banyak investor yang terlibat dalam proses
permintaan dan penawaran, hal seperti ini bisa terjadi jika pelaku dipasar
mampu menginterprestasikan informasi dengan baik untuk digunakan
dalam menganalisis, menilai dan melakukan transaksi dipasar modal.
b. Pelaku pasar memperoleh informasi yang sama dalam waktu yang sama
dengan mudah dan murah.
c. Informasi dihasilkan secara acak dan tiap-tiap pengumuman
informasinya bersifat random.
d. Investor secara cepat bereaksi terhadap informasi yang sudah diperoleh,
sehingga harga sekuritas akan berubah dengan semestinya mencerminkan
informasi tersebut untuk mencapai keseimbangan baru.
Bentuk pasar efisien menurut Fama dalam Tandelilin (2010)
menyebutkan bahwa bentuk pasar efisiensi diklasifikasikan kedalam tiga
bentuk Efficient Market Hypothesis (EMH), antara lain yaitu :
a. Efisiensi pasar bentuk lemah
Suatu pasar dapat dikatakan efisien dalam bentuk lemah jika hargaharga yang terbentuk saat ini, secara penuh mencerminkan informasi
masa lalu. Informasi masa lalu yang dimaksud adalah informasi yang
sudah terjadi. Apabila pasar efisien dalam bentuk lemah, maka infomasi
dimasa lalu tidak dapat digunakan untuk memprediksi perubahan harga
saat dimasa mendatang.
b. Efisiensi pasar bentuk setengah kuat
Pasar dikatakan efisien dalam bentuk setengah kuat jika harga
yang terbentuk sekarang mencerminkan informasi masa lalu dan
informasi yang dipublikasikan. Informasi yang dipublikasikan dapat
berupa pengumuman yang dipublikasikan perusahaan, informasi
mengenai peraturan pemerintah atau peraturan yang hanya berdampak
pada sektor tertentu saja. Pada pasar efisien bentuk setengah kuat
abnormal return terjadi pada seputar tanggal pengumuman suatu peritiwa
sebagai reaksi pasar terhadap peritiwa tersebut. Biasanya satu atau dua
hari setelah pengumuman. Apabila respon terjadi berkempanjangan
berarti mencerminkan respon pasar yang lambat dalam menyerap
informasi.
c. Efisiensi Pasar Bentuk Kuat
Efisien pasar dalam bentuk kuat berarti harga sekuritas sekarang
mencerminan informasi masa lalu, masa sekarang berupa informasi yang
dipublikasikan dan ditambah informasi masa yang akan datang yaitu
informasi yang tidak dipublikasikan dari perusahaan atau informasi
privat. Pada efisiensi pasar bentuk ini, tidak ada investor yang bisa
memperoleh abnormal return.
Pada tahun 1991 fama menyempurnakan klasifikasi mengenai bentukbentuk pasar tersebut. Pasar efisien bentuk lemah disempurnakan menjadi
lebih bersifat umum untuk menguji prediktabilitas return, sedangkan pada
pasar efisiensi bentuk setengah kuat diubah menjadi studi peristiwa atau event
study dan pada pasar efisien bentuk kuat disebut dengan pengujian informasi
privat atau private information.
Makna dari efisiensi pasar adalah bahwa pelaku pasar akan bergerak
dengan semestinya mengikuti perubahan yang terjadi, perubahan yang
dimaksud adalah adanya informasi yang dipublikasikan dan diserap oleh
pasar secara efisien. Dalam makna efisien berarti setiap pelaku pasar dapat
memperoleh informasi secara murah tanpa mengeluarkan banyak biaya dan
mereka dapat dengan tepat dan cepat beraksi dalam pembentukan
keseimbangan harga baru. Cepat atau tidaknya respon suatu pasar tergantung
pada kebenaran suatu informasi. Apabila suatu pasar masih ragu terhadap
kebenaran informasi, maka responnya akan lambat, namun ada beberapa
juga merespon lebih dahulu, biasanya investor berani berspekulasi terhadap
suatu peristiwa sehingga mereka mendahului responnya.

Pengertian Pasar Modal


Pasar modal merupakan pertemuan antara pihak yang memiliki
kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengan cara
memperjualbelikan sekuritas (Tandelilin, 2010,p. 26). Menurut Jogiyanto
(2017) menyebutkan bahwa pasar modal adalah sarana bagi perusahaan
untuk meningkatkan kebutuhan dana jangka panjang dengan cara menjual
saham ataupun mengeluarkan obligasi. Pada dasarnya konsep pasar modal
sama dengan pasar lain pada umumnya, yaitu apabila jumlah permintaan
lebih tinggi daripada jumlah penawaran, maka harga akan meningkat, dan
sebaliknya apabila jumlah permintaan lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah penawaran, maka harga juga akan berubah menjadi lebih murah.
Secara umum pasar modal diartikan sebagai sebuah pasar yang
memperdagangkan produk keuangan yang bersifat tidak nyata atau
abstrak, sedangkan dalam bentuk nyata produk yang diperjualbelikan di
pasar modal berupa instrument keuangan jangka panjang berupa lembaran
surat berharga, adapun surat berharga yang dimaksud dapat berupa
saham, surat utang atau obligasi, reksa dana maupun instrument lainnya

Kelebihan dan Kekurangan Merger dan Akuisisi


Moin (2003) menyatakan bahwa merger dan akuisisi memiliki
kelebihan dan kekurangan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Adapun kelebihan merger yaitu pengambilalihan yang dilakukan lebih
sederhana dan tidak membutuhkan data yang begitu besar, namun dibalik
kelebihan yang dimiliki merger juga terdapat kekuarangan adapun
kekurangannya yaitu harus memperoleh persetujuan dari para pemegang
saham masing-masing perusahaan, sehingga diperlukan waktu yang
cukup lama untuk memperoleh persetujuan dari masing-masing
pemegang saham.
Pada akuisisi juga terdapat beberapa kelebihannya diantaranya yaitu
para pemegang saham dapat mempertahankan dan tidak menjual
sahamnya apabila mereka tidak menyukai tawaran yang diberikan
perusahaan akuisitor. Kelebihan akuisisi yang kedua yaitu perusahaan
yang mengakuisisi secara langsung dapat berurusan dengan pemegang
saham dengan cara melakukan tender offer, tanpa persejutuan dari
manajerial perusahaan. Kelebihan merger bagi perusahaan akuisitor yaitu
merger dapat dilakukan dengan cara yang tidak bersahabat apabila tidak
terdapat persejutuan dari manajemen maupun komisari. Kelebihan
akuisisi yang terakhir adalah pada akuisisi aset tidak diperlukannya suara
saham minoritas dalam pengambilan keputusan, yang diperlukan hanya
suara pemegang saham mayoritas, sehingga apabila pemegang saham
minoritas tidak menyetujui akuisisi tersebut, tidak akan berpengaruh
terhadap keputusan yang diambil.
Pengambilaihan dengan cara akuisisi juga memiliki kekurangan,
adapun kekurangannya yaitu apabila ada cukup banyak pemegang saham
minoritas yang tidak setuju dengan pengambilalihan, maka akuisisi akan
batal, karena secara umum anggaran dasar perusahaan menentukan paling
sedikit dua pertiga (67 %) suara setuju pada akuisisi agar akuisisi terjadi.
Selain itu akuisisi dapat berubah menjadi merger apabila yang perusahaan
akuisitor membeli seluruh saham yang dimiliki oleh perusahaan target.
Kekurangan yang terakhir adalah akuisisi akan menimbulkan biaya legal
yang tinggi karena setiap pembelian aset dalam akuisisi harus dilakukan
secara hukum dan dibalik nama

Motif Merger dan Akuisisi


Sebuah keputusan melakukan merger dan akuisisi biasanya memiliki
motif tertentu, adapun motif yang melatarbelakangi dilakukannya merger dan
akuisisi yang dijelaskan oleh (Moin, 2003) adalah sebagai berikut:
1) Motif Ekonomi
Manajemen keuangan dalam sebuah perusahaan memiliki tujuan
mengenai bagiamana meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan itu
sendiri merupakan pandangan investor menegenai tingkat keberhasilan
perusahaan dimasa mendatang. Merger dan Akuisisi adalah sebuah
strategi dengan tujuan untuk jangka panjang berupa peningkatan nilai
perusahaan, sehingga segala kegiatan dan pengambilan keputusan
diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Aktivitas dalam motif ekonomi
ini diarahkan agar dapat melakukan efisiensi biaya dan waktu,
mengurangi resiko dalam operasional, mengakses teknologi baru yang
lebih produktif, memperoleh sumber daya manusia yang professional,
membangun kekuatan perusahaan melalui kekuatan pasar dan
memperluas pangsa pasar, mendiversifikasi lini produk, mengurangi
persaingan serta menstabilkan cash flow dan keuntungan. Motif ekonomi
terbagi menjadi 3, yaitu:
a) Motif Srategis
Motif strategis yang dimaksud adalah apabila aktivitas merger
dan akuisisi dilakukan dengan tujuan untuk mencapai posisi strategis
perusahaan guna memperoleh keunggulan kompetitif dalam sebuah
industri. Motif strategis ini sekaligus diarahkan untuk mengendalikan
perusahaan lain, seperti mengendalikan perusahaan lain yang
bertindak sebagai suplier mereka untuk menjamin tersedianya bahan
baku bagi perusahaan akuisitor.
b) Motif Politis
Merger dan akuisisi dilakukan demi kepentingan masyarakat.
Biasanya merger dan akuisisi dilakukan untuk menyelamatkan sebuah
perusahaan agar menjadi milik pemerintah dan terlepas dari kendali
asing.
c) Motif Perpajakan
Ketika sebuah perusahaan mempunyai kelebihan kas dan tidak
digunakan untuk melakukan investasi internal yang layak dan
menguntungkan, maka perusahaan dapat memanfaatkan dananya
untuk melakukan ekspansi eksternal yaitu berupa akuisisi sebagai
alternatif untuk mengurangi pajak.
2) Motif Sinergi
Sinergi merupakan hasil lebih yang diperoleh apabila dua atau lebih
perusahaan melakukan kombinasi bisnis, biasanya sinergi dihasilkan dari
perpaduan aktivitas secara keseluruhan dari dua kekuatan perusahaan,
sehingga hasil dari gabungan tersebut memperoleh hasil yang lebih jika
dibandingkan dengan aktivitas perusahaan apabila dilakukan secara
mandiri. Motif sinergi dapat dijabarkan menjadi lima kekuatan yang
berbeda, diantaranya adalah:
a) Sinergi Operasi
Sinergi operasi dapat dicapai apabila perusahaan mampu
memanfaatkan sumber daya secara optimal. Sinergi ini bisa terjadi
apabila perusahaan mampu mencapai biaya efisien.
b) Sinergi Finansial
Sinergi finansial merupakan gabungan yang dilakukan oleh
perusahaan untuk memperoleh kekuatan finansial yang cukup kuat.
Ketika sebuah perusahaan memiliki modal kuat maka aktivitas operasi
perusahaan akan terjamin tanpa mengalami likuiditas. Selain itu
ketika perusahaan memiliki struktur modal yang kuat akan berdampak
pada penilaian dan kepercayaan publik. Kondisi seperti ini akan
menimbulkan kepercayaan publik untuk menginvestasikan dananya
pada perusahaan tersebut.
c) Sinergi Manajerial
Sinergi ini dihasilkan ketika terjadi pertukaran kemampuan
manajerial dan ketrampilan dari perusahaan satu keperusahaan yang
lain, mereka bergabung untuk mengambil keputusan secara bersamasama. Biasanya motif jenis ini terjadi antara perusahaan yang
memiliki kinerja manajerial yang lebih unggul dengan perusahaan
yang memiliki manjerial yang kurang baik, sehingga mereka
bergabung untuk mengambil keputusan yang strategis.
d) Sinergi Teknologi
Sinergi teknologi pada umumnya terjadi pada departemen riset
dan pengembangan, departemen desain dan engineering, proses
manufacturing, dan teknologi informasi. Perusahaan bersinergi untuk
menggabungkan keunggulan teknik sehingga dapat memperoleh
manfaat berupa teknologi yang semakin cangih dan lebih efisien.
e) Sinergi pemasaran
Sinergi pemasaran yang diperoleh dari merger dan akuisisi
diperuntukkan agar memperoleh manfaat dalam segi pemasaran
seperti semakin luas jangkauan pemasaran mereka, produk yang
dipasarkan semakin bertambah, serta dapat menjangkau konsumen
lebih banyak lagi.
3) Motif Diversifikasi
Divesifikasi merupakan sebuah strategi keaneragaman bisnis yang
bisa dilakukan melalui merger maupun akuisisi. Keaneragaman berarti
membangun bisnis-bisnis baru yang bertujuan untuk mendukung aktivitas
bisnis yang sudah ada. Diversifikasi menjadi salah satu alternatif
pengalokasian modal kedalam bentuk bisnis baru.
4) Motif Non Ekonomi
Merger dan akuisisi dilakukan tidak hanya berorientasi pada ekonomi
saja, namun juga ada pertimbangan lain yang berasal dari kepentingan
personal.
a) Hubris Hypothesis
Dugaan ini menyatakan bahwa kegiatan pengabungan usaha
hanya didorong oleh motif kerakusan pribadi dan kepentingan
pribadi para stake holder. Mereka menginginkan ukuran perusahaan
yang besar, dan dengan besarnya perusahaan maka kompensasi
yang mereka terima juga semakin besar, namun pada hal ini
kompensasi yang mereka inginkan bukan hanya seputar materi,
finansial maupun fasilitas, tetapi lebih kepada pengakuan,
aktualisasi diri dan penghargaan.
b) Ambisi Pemilik
Motif ini menyatakan bahwa pemilik perusahaan berambisi
untuk membangun konglomerasi bisnis dengan menguasai berbagai
sektor industri. Perusahan-perusahaan membentuk konglomerasi
dengan pengendalian ada pada perusahaan induk, dengan begitu
pemilik perusahaan dapat mengendalikan manajemen perusahaan
untuk memenuhi keinginan pemilik tersebut

Tipe Akuisisi


Moin (2003) menyebutkan akuisisi dapat dibedakan menjadi dua yaitu
akuisisi berdasarkan obyek yang diakuisisi dan berdasarkan perlakuan
akuntansi. Berikut ini adalah klasifikasi akuisisi yang dilakukan berdasarkan
obyek yang diakuisisi dibedakan menjadi:
1) Akuisisi Saham
Akuisisi saham merupakan sebuah cara yang dilakukan untuk
mengambil alih perusahaan melalui pembelian saham pada perusahaan
yang akan diakuisisi tersebut. Akuisisi semacam ini bisa terjadi karena
pendirian sebuah perusahaan biasanya terdiri atas saham-saham, yang
berarti ketika terjadi akuisisi saham, cara yang digunakan untuk
mengabil alih suatu perusahan dengan membeli sebagian atau seluruh
saham yang dimiliki. Setelah akuisisi ini terjadi maka akibat dari
transaksi ini adalah kepemilikan saham berpindah pada perusahaan
akusitor dan perusahaan yang diakuisisi menjadi anak perusahaan.
2) Akuisisi Aset
Akuisisi aset adalah pengambilalihan yang dilakukan sebuah
perusahaan dengan cara membeli sebagian atau seluruh aset yang
dimiliki perusahaan lain secara bertahap. Pada akuisisi jenis ini biasanya
dilakukan agar perusahaan akuisitor tidak terbebani oleh kewajibankewajiban yang ada pada perusahaan yang diakuisisi. Akuisisi jenis ini
memerlukan persetujuan para pemegang saham terlebih dahulu, tetapi
ketika sudah terjadi akuisisi perusahaan akuisitor tidak memiliki hak
suara.
Klasifikasi akuisisi apabila dilihat dari sudut pandang pencatatan
akuntansi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Metode Pembelian
Pada metode pembelian ini yang dimaksud adalah apabila sebuah
perusahaan melakukan pengabungan usaha dengan melibatkan transaksi
pembelian secara tunai oleh perusahaan lain. Akibat dari transaksi
tersebut adalah beralihnya pengendalian atas perusahaan yang dibeli
sehingga pencatatan akuntansinya dianggap sebagai pembelian.
2) Metode Penyatuan
Metode jenis ini menganggap bahwa pengabungan usaha sebagai
penyatuan kepentingan. Terdapat karateristik pada metode penyatuan
diantaranya yaitu berupa tidak terdapat proses jual beli antar kedua belah
pihak, tidak terdapat pihak yang beranggapan sebagai pengambil alih
maupun yang diambil alih serta tidak terdapat pihak yang lebih dominan
dalam penggabungan

Tipe merger

Tipe merger bila dilihat melalui prosesnya menurut Husnan (2002) dalam
Wiriastari (2010) ,dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Friendly merger
Friendly merger merupakan sebuah proses merger yang bersahabat
artinya sebelum merger dilakukan telah terjadi perundingan terlebih
dahulu yang disepakati oleh dua belah pihak antara pihak pengambilalih
dan pihak yang diambil alih.
2) Hostile takeover
Hostile takeover merupakan proses pengambilalihan yang
dilakukan secara paksa. Proses ini terjadi apabila pada perusahaan yang
menjadi target akuisisi merasa keberatan atas akuisisi yang dilakukan
tersebut dengan berbagai macam alasan seperti harga yang diberikan
terlalu rendah atau para manajer takut kehilangan jabatannya sehingga
mereka berusaha untuk menolak akuisisi tersebut. Proses yang dilakukan
untuk melancarkan akuisisi cara ini adalah dengan membeli saham satu
perusahaan melalui tender offer

Tipe Merger


Merger terdiri dari beberapa tipe, menurut Manurung, Adler (2011),
menyebutkan bahwa merger terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Merger Horisontal
Merger horisontal yaitu pengabungan beberapa perusahaan yang
bergerak pada jalur induistri yang sama, sebelum dilakukan merger
mereka sama-sama bersaing dalam satu bidang industri ataupun pasar
yang sama. Keuntungan dari adanya merger horisontal ini dapat
mengurangi banyaknya pesaing.
2) Merger Vertikal
Merger vertikal yaitu gabungan dua atau lebih perusahaan yang
melibatkan beberapa perusahaan-perusahaan yang berkaitan dalam satu
rangkaian proses produksi. Perusahaan- perusahaan yang tergabung tidak
memiliki bidang industri yang sama namun saling berkaitan. Merger ini
dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan untuk mengintegrasikan
usahanya terhadap suplai bahan dalam rangka stabilitas pasokan atau
pengguna.
3) Merger Konglomerat
Merger konglomerat adalah gabungan dua atau lebih perusahaan
yang jenis usahanya tidak sama bahkan tidak ada sangkut pautnya.
Merger konglomerat ini dilakukan untuk memperluas bisnisnya dengan
memasuki bidang bisnis baru yang berbeda dengan bisnis yang dimiliki
sebelumnya dengan tujuan nantinya akan membentuk sebuah
konglomerasi.
4) Merger Ekstensi Pasar
Merger ekstensi merupakan pengabungan usaha yang dilakukan
beberapa perusahaan untuk memperkuat area pemasaran. Tujuan dari
merger ini adalah memperkuat jaringan pemasaran, merger jenis ini
sering digunakan perusahaan lintas negara dengan tujuan untuk ekspansi
dan penetrasi pasar.
5) Merger Ekstensi Produk
Merger ekstensi produk adalah bergabungannya dua atau lebih
perusahaan dalam rangka memperluas produk masing-masing perusahaan,
kedua perusahaan yang bergabung mempunyai kemiripan dalam industri
yang digeluti perushaan, setelah merger dilakukan maka produk yang
ditawarkan semakin beragam sehingga lebih banyak menjangkau
konsumen

Pengertian Merger dan Akuisisi

Merger diperoleh dari kata “mergere” bahasa latin yang dapat
diartikan bergabung, bersama, menyatu, berkombinasi, atau menyebabkan
hilangnya suatu perusahaan yang digabungkan. Black’s Law Dictionary
(1991) dalam Manurung, Adler (2011) menyatakan merger merupakan
penyerapan dari satu hal ke hal lain, dalam pengertian ini secara umum
membicarakan mengenai pengabungan usaha dimana salah satu subjek yang
kurang memiliki berkepentingan tidak lagi berdiri secara independen.
Tampubolon (2013) dalam Prisya dan Nila (2017) menyatakan merger
yaitu suatu penggabungan dua usaha atau lebih menjadi satu perusahaan,
dimana perusahaan yang mengambil alih (acquiring company) tetap memiliki
identitas dan tetap menjalankan kegiatan operasionalnya, sedangkan
perusahaan yang diambil alih (target company) tidak melanjutkan kegiatan
usahanya dan bergabung menjadi satu badan hukum dengan perusahaan
pengambil alih. Moin (2003) menyatakan hal yang sama yaitu merger
merupakan penggabungan dua perusahaan atau lebih yang meleburkan diri
untuk menjadi satu, sementara yang lainnya menghentikan operasionalnya
atau bubar. Pada pengabungan usaha melalui merger ini aktiva dan
kewajibannya digabungkan menjadi satu pada satu perusahan. Akuisisi diperoleh dari kata acquisito (latin) dan acquisition (inggris).
yang artinya membeli atau mendapatkan sesuatu/obyek untuk ditambahkan
pada suatu obyek yang dimiliki sebelumnya (Manurung, Adler,.2011).
Sitanggang (2013) dalam Esterlina at al (2017) menjelaskan bahwa akuisisi
merupakan suatu bentuk pengambalihan kepemilikan suatu perusahaan oleh
pihak pengakuisisi dengan identitas dari perusahaan yang diambil alih tetap
dipertahankan, namun akan berakibat pada pindahnya pengendalian atas
perusahaan yang diakuisisi yang selanjutnya dikendalikan oleh perusahaan
yang mengakuisisi. Kendali yang dimaksud meliputi kekuasaan dalam
mengatur berbagai kebijakan yang ada diperusahaan, seperti kebijakan
mengenai keuangan, segala kegiatan operasional perusahaan, kebijakan
dalam penentuan manajer, serta kekuasaan atas hak suara mayoritas dalam
rapat direksi.
Secara umum akuisisi merupakan suatu bentuk pengambilalihan
sebagian atau keseluruhan saham atau aktiva suatu perusahaan oleh
perusahaan lain dan perusahaan pengakuisisi mendapat hak kendali atas
perusahaan yang telah diakuisisi, sementara perusahaan yang diakuisisi tetap
berdiri utuh dan tetap menjalankan operasionalnya secara terpisah dengan
perusahaan pengakuisisi, hanya saja pengendalian atas perusahaan tersebut
berpindah pada perusahaan akuisitor. 

Kinerja


Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
pegawai. Kinerja pegawai adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka
memberi kontribusi kepada organisasi. Menurut Jimad dan Apriyani (2010:78),
mendefinisikan kinerja adalah tingkat keberhasilan di dalam melaksanakan tugas
serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Mangkunegara, (2011:9), mendefenisikan “kinerja sebagai perbandingan
hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya per
jam)”. Selanjutnya menurut Gomes (2011:10), mengatakan bahwa defenisi kerja
karyawan sebagai: “ungkapan seperti output, efisiensi serta efektifitas sering
dihubungkan dengan produktifitas”.
Hasibuan (2009:94) Kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu. Kinerja adalah
suatu konsep yang multi dimensional mencakup tiga aspek yaitu sikap (attitude),
kemampuan (ability) dan prestasi (accomplishment).
Menurut Sedarmayanti (2009:174) Kinerja merupakan memenuhi atau
menjalankan kewajiban suatu nazar, hasil para pekerja, proses organisasi, terbukti
secara konkrit, menyempurnakan tanggung jawab, dapat diukur, dapat
dibandingkan dengan standar yang sudah ditentukan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif


Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya
perilaku inovatif karyawan. De Jong & Hartog (2017:13) mengemukakan
beberapa faktor eksternal maupun faktor internal yaitu :

  1. Faktor Eksternal
    1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi
    mampu mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki efek
    positif untuk munculnya perilaku inovatif.
    2) Socia–political pressures. Organisasi yang memiliki dukungan dari
    pemerintah harus terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap
    ingin mendapat dukungan.
  2. Faktor Internal
    1) Interaksi dengan atasan (kepemimpinan), karyawan yang memiliki
    hubungan yang positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk
    menunjukkan perilaku inovatif kerja dan mampu memberi keyakinan
    bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan keuntungan kinerja.
    2) Interaksi dengan grup rekan kerja (team work), karyawan yang memiliki
    hubungan baik dengan rekan kerja lebih mungkin memudahkan mereka
    mengimplementasikan ide baru mereka juga meningkatkan idea
    generation di dalam sebuah grup rekan kerja mereka.
    Pendapat lain tentang faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif
    menurut pendapat Etikariena & Muluk (2014:21), yaitu faktor internal dan faktor
    eksternal. Faktor tersebut adalah:
  3. Faktor Internal
    1) Tipe Kepribadian. Menurut Janssen, Van den Ven dan West adalah orang
    yang memiliki tipe kepribadian adalah orang yang mampu dan berani
    mengambil resiko terhadap perilaku inovatif yang di buat.
    2) Gaya individu dalam memecahkan masalah, karyawan yang memiliki gaya
    pemecahan masalah yang intuitif dapat menghasilkan ide-ide sehingga
    menghasilkan solusi yang baru.
  4. Faktor Eksternal
    1) Kepemimpinan, banyak bawahan yang kurang dapat menjaga
    hubungannya dengan pemimpinnya dan hal tersebut dapat membuat
    perilaku inovatif sesorang tidak terlihat, namun karyawan yang memiliki
    hubungan yang positif dengan pemimpinnya, cenderung memunculkan
    perilaku inovatif pada karyawan.
    2) Dukungan untuk berinovasi, dukungan dari orang-orang disekitar individu
    sangat membantu bagi karyawan tersebut dalam menciptakan suatu
    perilaku inovatif, bukan hanya itu dukungan dari orang dalam organisasi
    tersebut juga bisa memunculkan perilaku inovatif bagi karyawan tersebut .
    3) Tuntutan dalam pekerjaan, tuntutan dari perusahaan cenderung
    meningkatkan semangat para karyawannya untuk berperilaku inovatif.
    4) Iklim psikologis, iklim psikologis menunjukkan kepada bagaimana
    lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh karyawan

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Perilaku inovatif merupakan proses multi tahapan, dengan aktifitas dan
perilaku individu yang berbeda-beda di setiap tahapannya. Lebih lanjut, Janssen
(2012:23) menambahkan bahwa perilaku inovatif ini merupakan perilaku
kompleks yang terdiri dari lima indikator, yaitu:

  1. Oppurtunity Exploration. Mengacu pada mempelajari atau mengetahui lebih
    banyak mengenai peluang untuk berinovasi.
  2. Generativity. Mengacu pada pemunculan konsep-konsep untuk tujuan
    pengembangan.
  3. Formative Investigation. Mengacu pada pemberian perhatian untuk
    menyempurnakan ide, solusi, opini dan melakukan peninjauan terhadap ideide tersebut.
  4. Championing. Mengacu pada adanya praktek-praktek usaha untuk
    merealisasikan ide-ide.
  5. Application. Mengacu pada mencoba untuk mengembangkan, menguji coba
    dan mengkomersialisasikan ide-ide inovatif.
    Sedangkan De Jong & Hartog (2017:13) mengemukakan dan
    menyederhanakan menjadi empat indikator perilaku kerja inovatif sebagai berikut:
  6. Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh kesempatan.
    Kesempatan akan memicu individu untuk mencari cara untuk meningkatkan
    pelayanan, proses pengiriman atau berusaha memikirkan sebuah alternatif
    baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan.
  7. Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan. Idea
    generation merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep yang telah
    ada untuk meningkatkan performansi. Individu yang tinggi dalam level ini
    akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan cara pikir yang
    berbeda.
  8. Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan membangun
    koalisi, seperti mengajak dan mempengaruhi karyawan atau manajemen dan
    bernegoisasi mengenai suatu solusi.
  9. Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif terhadap suatu
    hal tapi juga mengevaluasi dan mengaplikasikan ide tersebut ke dalam
    tindakan nyata.

Perilaku Kerja Inovatif


Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap
individu. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktifitas-aktifitas tersebut
dinamakan innovative work behavioral (perilaku kerja inovatif). Janssen
(2012:23) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai penciptaan, pengenalan dan
pengaplikasian gagasan-gagasan baru secara sengaja dalam suatu pekerjaan,
kelompok, atau organisasi untuk memperoleh keuntungan dalam kinerja suatu
pekerjaan, kelompok atau organisasi. Definisi ini membatasi perilaku inovatif
sebagai usaha-usaha yang sengaja dilakukan untuk mendatangkan hasil (outcome)
baru yang menguntungkan.
Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap
individu. Oleh karena itu penting untuk memahami tentang aktivitas individu
yang mengarah pada inovasi. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktivitas –
aktivitas tersebut dinamakan innovative work behavior atau perilaku kerja inovatif
Menurut De Jong & Hartog (2017:12) menyatakan perilaku kerja inovatif
adalah perilaku yang meliputi eksplorasi peluang dan ide-ide baru, juga dapat
mencakup perilaku mengimplementasikan ide baru, menerapkan pengetahuan
baru dan untuk mencapai peningkatan kinerja pribadi atau bisnis.
Perilaku inovatif sering dikaitkan dengan kreativitas. Kedua hal tersebut
memang berkaitan tetapi memiliki konstrak yang berbeda. Perilaku kreatif adalah
proses untuk menghasilkan sebuah ide, gagasan, atau pemikiran baru yang
berkaitan dengan produk, servis, proses dan prosedur kerja. Sedangkan perilaku
inovatif kerja tidak hanya sekedar menghasilkan ide baru tetapi juga melibatkan
proses implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada seting pekerjaan (De
Jong & Hartog, 2017:12).
Messman (2012:25) mengatakan perilaku kerja inovatif adalah jumlah dari
aktivitas kerja fisik dan kognitif yang dilakukan oleh karyawan dalam konteks
pekerjaan mereka, baik sendiri maupun berkelompok untuk mencapai satu
rangkaian tugas yang dibutuhkan untuk tujuan pengembangan inovasi. Dari sudut
pandang pekerja, efektivitas perilaku kerja inovatif berhubungan dengan
pengamatan pekerja dalam mengantisipasi permasalahan pekerjaan dan respon
rekan kerja terhadap alternatif solusi yang diajukan

Indikator Kapabilitas


Menurut Kusumasari (2014:48) sumber daya dan indikator penting yang
harus dimiliki pemerintah untuk menciptakan organisasi yang berkemampuan
baik, yang harus dimiliki ialah:

  1. Kelembagaan. Yaitu penganturan kelembagaan yang efektif seperti memiliki
    struktur organisai, peran, tugas, tanggung jawab yang jelas serta mampu
    menjalin networking dengan semua level pemerintah.
  2. Sumber Daya Manusia. Yaitu memiliki sumber daya yang cukup disertai
    dengan pembagian pekerjaan dan delegasi yang jelas, serta memiliki personel
    dengan pengetahuan yang baik tentang manajemen bencana.
  3. Keuangan Yaitu memiliki dukungan keuangan yang memadai untuk
    mendukung semua aktivitas dalam manajemen bencana
  4. Teknis. Yaitu memiliki sistem logistik manajemen dan informasi yang efektif
    kepada seluruh masyarakat.
    Menurut Thomson dan Strickland (dalam Assauri, 2011:32) menjelaskan,
    untuk menganalisis kekuatan dan kapabilitas sumber daya perusahaan, indikator
    yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah :
  5. Keterampilan atau keahlian. Yaitu mencakup anatara lain kekuatan dalam
    keterampilan dan keahlian yang dimilki karyawan dalam mengelola dan
    menjalankan pekerjaan yang diberikan didukung dengan latar belakang
    pendidikan karyawan.
  6. Aset fisik yang bernilai. Yaitu mencakup antara lain fasilitas kerja dengan
    peralatan yang baik, jaringan kerja antar divisi dan sistem informasi.
  7. Aset sumber daya manusia yaitu memiliki sumber daya yang cukup disertai
    dengan pembagian pekerjaan dan delegasi yang jelas, serta memiliki personel
    dengan pengetahuan yang baik tentang pekerjaannya. Dalam konteks ini perlu
    diperhatikan apakah perusahaan memberikan peluang yang memadai bagi
    karyawan untuk meningkatkan kapabilitasnya.
  8. Aset organisasi yang bernilai yaitu system control yang berkualitas sistem
    tekhnologi yang mumpuni, aset organisasi ini sangat penting karena berkaitan
    dengan kecepatan organisasi dalam menengarai permasalahan yang telah dan
    yang akan dihadapi untuk kemudian mengambil keputusan yang tepat dan
    cepat.

Pengertian Kapabilitas


Menurut Amir (2011:86) menjelaskan bahwa kapabilitas ialah kemampuan
mengeksploitasi secara baik sumber daya yang dimiliki dalam diri maupun di
dalam organisasi, serta potensi diri untuk menjalankan aktivitas tertentu ataupun
serangkaian aktivitas. Ibarat individu, belum tentu seorang yang memiliki bakat,
misalnya pemain piano bisa bermain piano dengan baik. Ini sangat ditentukan
dengan bagaimana ia mengembangkannya dengan latihan dan belajar.
Hal tersebut didukung oleh pendapat Robbin (2010:13) yang mengartikan
bahwa kemampuan merupakan sebuah kapasitas yang dimiliki oleh tiap-tiap
individu untuk melakasanakan tugasnya. Sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwa kemampuan merupakan suatu penilaian atau ukuran dari apa yang
dilakukan oleh orang tersebut.
Menurut Moenir (2010:116), kapabilitas atau kemampuan adalah berasal
dari kata dasar mampu yang dalam hubungan dengan tugas dan pekerjaan berarti
dapat melakukan tugas, pekerjaan sehingga menghasilkan barang atau jasa sesuai
dengan yang diharapkan. Kemampuan dengan sendirinya juga kata sifat dan
keadaan ditujukan kepada sifat atau keadaan seseorang yang dapat melaksanakan
tugas atau pekerjaan atas dasar ketentuan yang ada. Kemajuan suatu organisasi
sangat ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusia

Indikator Self Efficacy


Menurut Mawanti (2011: 42) tingkat self efficacy yang dimiliki individu
dapat dilihat dari aspek self efficacy dirinya bahwa orang yang memiliki self
efficacy yang positif dapat diketahui dari beberapa indikator berikut ini:

  1. Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang dirinya
    bahwa ia mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukan.
  2. Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik dalam
    menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuannya.
  3. Obyektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan atau
    sesuatu sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran
    pribadi atau yang menurut dirinya sendiri.
  4. Bertanggung jawab yaitu kesediaan orang untuk menanggung segala sesuatu
    yang telah menjadi konsekuensinya.
  5. Rasional dan realistis yaitu analisa terhadap suatu masalah, sesuatu hal,
    sesuatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh
    akal dan sesuai dengan kenyataan.
    Bandura dan Alwilsol (2014: 34) mengemukakan ada lima sumber penting
    yang digunakan individu dalam membentuk self efficacy, yaitu:
  6. Pengalaman akan kesuksesan (Past Performance)
    Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya
    terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada pengalaman otentik.
    Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan self-efficacy individu meningkat,
    sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya self-efficacy,
    Beberapa hal yang dijadikan tolak ukur dalam indikator ini, yaitu:
    a. Tugas yang menantang
    b. Pelatihan
    c. Kepemimpinan yang mendukung
  7. Pengalaman individu lain (Vicarious Experience)
    Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan
    kesuksesan sebagai sumber self-efficacy-nya. Beberapa hal yang dijadikan
    tolak ukur indikator ini, yaitum:
    a. Kesuksesan rekan kerja
    b. Kesuksesan perusahaan
  8. Persuasi verbal (Verbal Persuasion)
    Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu
    memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang
    diinginkan. Beberapa hal yang dijadikan tolak ukur indikator ini, yaitu:
    a. Hubungan atasan dengan pegawai
    b. Peran pemimpin
  9. Keadaan fisiologis (Emotional Cues)
    Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas
    sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Dalam indikator ini, yang
    dijadikan tolak ukur yaitu:
    a. Keyakinan akan kemampuan mencapai tujuan.
    b. Keinginan sukses mencapai tujuan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self-Efficacy


Menurut Bandura (2011) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
self-efficacy, yaitu:

  1. Pengalaman Keberhasilan (Mastery Exsperiences)
    Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan self-efficacy yang
    dimiliki seseorang sedangkan kegagalan akan menurunkan self-efficacy
    dirinya. Ketika keberhasilan yang didapat seseorang lebih banyak karena
    faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh
    terhadap peningkatan self-efficacy. Sebaliknya, jika keberhasilan tersebut
    didapatkan dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil
    perjuangan sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan
    self-efficacy.
  2. Pengalaman Orang Lain (Vicarious Exsperiences)
    Pengalaman keberhaslan orang lain yang memiliki kemiripan dengan
    pengalaman individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan
    meningkatkan self-efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama.
  3. Persuasi Sosial (Social Persuation)
    Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh
    seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan
    seseorang bahwa dirinya cukup mampu melakukan suatu tugas.
  4. Keadaan Fisiologis dan Emosional (Physiology and Emotional States)
    Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan
    tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umunya seseorang
    cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak
    diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan
    somatik lainnya. Self-efficacy yang tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya
    tingkat stress dan kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai
    oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula

Fungsi Self-Efficacy


Fungsi self-efficacy menurut Bandura (2011:23) yakni:

  1. Fungsi Kognitif, Bandura menyatakan bahwa pengaruh self-efficacy pada
    proses kognitif seseorang sangat bervariasi. Self-efficacy yang kuat akan
    mempengaruhi upaya seseorang untuk mencapai tujuan pribadinya.
  2. Fungsi Motivasi, sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara
    kognitif. Individu memotivasi dirinya dan menuntun tindakan-tindakan yang
    menimbulkan keyakinan yang dilandasi oleh pemikiran tentang masa depan.
  3. Fungsi Sikap, self-efficacy meningkatkan kemampuan coping individu dalam
    mengatasi besaarnya stress dan depresi yang dialami pada situasi yang sulit
    dan menekan.
  4. Fungsi Selektif, self-efficacy akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau
    tujuan yang akan diambil oleh individu.

Pengertian Self Efficacy


Seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu pada umumnya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kognitif, khususnya faktor kognitif yang
berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu
melakukan tindakan yang memuaskan. Dengan merasa memiliki keyakinan untuk
berhasil dalam proses pembelajaran, maka individu akan terdorong untuk
memperoleh prestasi akademik yang lebih baik.
Istilah self efficacy petama kali diperkenalkan oleh Bandura (2011:24)
yang mengemukakan bahwa self efficacy mengacu pada keyakinan sejauh mana
individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau
melakukan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu.
Keyakinan akan seluruh kemampuan ini meliputi kepercayaan diri, kemampuan
menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada
situasi yang penuh tekanan.
Menurut Kahn (2011:16) menyebtutkan self efficacy merupakan persepsi
individu akan kapasitasnya dalam menyelesaikan suatu tugas. Mawanti (2011: 42)
mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuan
diri untuk menggunakan kemampuan kontrol dirinya (self-control). Cain
(2015:18) mengartikan self efficacy sebagai kepercayaan diri akan kemampuan
diri dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk hasil yang
diinginkan.
Balkis (2011:14) menyatakan bahwa self efficacy merupakan keyakinan
dasar yang memimpin seseorang untuk mencapai kesuksesan atau keberhasilan.
Seseorang dengan efikasi diri yang tinggi ketika awalnya tidak berhasil, mereka
akan mencoba cara yang baru dan bekerja lebih keras. Seseorang dengan efikasi
diri yag kuat tetap tenang dalam menghadapi masalah dan mencari solusi, bukan
memikirkan kekurangan dari dirinya

Kreativitas


Kreativitas didefinisikan sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru (Barron, yang dikutip dari Ngalimun dkk, 2013: 44). Kreativitas juga kemampuan
berdasarkan data atau informasi yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan
jawaban terhadap suatu masalah yang penekanannya pada ketepatan dan keragaman
jawaban.
Perilaku kreatif adalah proses untuk menghasilkan sebuah ide, gagasan, atau
pemikiran baru yang berkaitan dengan produk, servis, proses, dan prosedur kerja.
Sedangkan perilaku inovatif kerja tidak hanya menghasilkan ide baru tetapi juga
melibatkan proses implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada seting pekerjaan (
De Jong dan Hartog, 2010). Sedangkan kepemimpinan adalah pada saat karyawan yang
memiliki hubungan positif dengan atasan mereka lebih mungkin menunjukan perilaku
inovatif kerja dan mempu memberi keyakinan bahwa perilaku kerja inovatif akan
menghasilkan keuntungan kinerja karyawan. Inovasi berbeda dengan kreativitas namun
berkaitan, kreativitas lebih berfokus pada penciptaan ide, sedangkan inovasi lebih
berfokus pada bagaimana mewujudkan ide tersebut

Kepemimpinan


Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kekuatan dinamis paling memotivasi
dan mengkoordinasikan organisasi dalam rangka mencapai tujuan. Tanpa inspirasi
pemimpin, organisasi atau sebuah perusahaan maupun departemen mungkin tidak akan
fokus pada tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan keamanan kerja, Dubrin
(2005:4). Menurut Davis dalam Thoba (2010:33) terdapat sifat umum yang
mempengaruhi kepemimpinan, yaitu: kecerdasan, kedewasaan, hubungan sosial, dan
motivasi diri.
Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) mendefinisikan bahwa
kepemimpinan sebagai suatu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau
bekerja sama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang
lain dalam mncapai tujuan tertentu yang diinginkan dalam kelompok atau organisasi.
George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998:17), mengatakan bahwa kepemimpinan
adalah suatu hubungan yang ada didalam diri seseorang atau pemimpin dan
mempengaruhi orang lain agar mau berkerja sama dengan sadar dalam hubungan tugas
agar tercapainya sebuah tujuan yang diinginkan.
Kepemimpinan berkaitan dengan inovasi dalam bagaimana mewujudkan ide,
prosedur baru, dan dalam inovasi sendiri berkaitan erat dengan proses penciptaan
pengetahuan. Proses inilah yang dijadikan bekal oleh seorang pemimpin dalam arah
untuk melakukan sebuah inovasi . Seorang pemimpin harus mempunyai sebuah
terobosan-terobosan (inovasi), sedangkan inovasi berkaitan dengan kreativitas,
pemunculan ide atau gagasan yang digunakan atau diwujudkan pada inovasi dalam
kepemimpinan

Inovasi


West dan Farr (dalam West,2006) mendefinisikan bahwa inovasi bisa diartikan
sebagai pengenalan, pengaplikasian ide, proses, produk atau prosedur baru dalam
pekerjaan, tim kerja, atau organisasi yang dirancang untuk menguntungkan organisasi,
Tim kerja atau pekerjaannya sendiri. Sejalan dengan Farr dan Ford (dalam De Jong dab
Hartog, 2010) mengatakan bahwa inovasi adalah bentuk perilaku yang bertujuan untuk
mencapai inisiatif dan pengenalan suatu ide, proses, prosedur maupun produk baru yang
berguna bagi organisasi dalam penelitian ini adalah PT Multi Sari Sedap.
Messmann (2012) menyatakan bahwa inovasi adalah jumlah dari aktivitas kerja
fisik dan kognitif yang dilakukan olah karyawan dalam konteks pekerjaan mereka, baik
sendiri maupun berkelompok untuk mencapai satu set tugas yang dibutuhkan untuk
tujuan pengembangan inovasi. Sedangkan Scott dan Bruce (1994) mengatakan inovasi
adalah proses bertahap dengan aktivitas dan perilaku yamg berbeda ditiap tahapnya.
Menurut De Jong dan Hartog (2007) yang menyatakan bahwa inovatif kerja
adalah perilaku yang meliputi eksplorasi peluang dan ide-ide baru, juga dapat mencakup
perilaku mengimplementasikan ide baru, menerapkan pengetahuan baru dan untuk
mencapai peningkatan kerja pribadi atau bisnis. Perilaku inovatif sering dikaitkan dengan
kreativitas dan kepemimpinan. Ketiga hal tersebut memang berkaitan tetapi memiliki
konstrak yang berbeda. Perilaku kreativ adalah proses untuk menghasilkan sebuah ide,
gagasan, atau pemikiran baru yang berkaitan dengan produk, servis, proses, dan prosedur
kerja. Sedangkan perilaku inovatif kerja tidak hanya menghasilkan ide baru tetapi juga
melibatkan proses implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada seting pekerjaan
(De Jong dan Hartog, 2010), sedangkan kepemimpinan adalah pada saat karyawan yang
memiliki hubungan positif dengan atasan mereka lebih mungkin menunjukan perilaku
inovatif kerja dan mempu memberi keyakinan bahwa perilaku inovatif mereka akan
menghasilkan keuntungan kinerja

Kepemimpinan Transformasional


Menurut Robbins (2016) yang berpendapat bahwa gaya kepemimpinan merupakan
suatu strategi atau kemampuan dalam memengaruhi suatu kelompok ke arah
tercapainya tujuan. Krisis yang dialami setiap organisasi, termasuk didalamnya
organisasi pendidikan, berakar pada krisis kepemimpinan nasional, khususnya
berupa tantangan terhadap kecerdasan kita, yang tidak dapat lagi diantisipasi
sekedar dengan kecerdasan rasional (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) namun
menuntut peran kunci kecerdasan spiritual (SQ) sebagai induk segala kecerdasan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor pendorong kemajuan adalah
kepemimpinan yang kuat sekaligus melayani masyarakat. Pemimpin yang kuat
sekaligus melayani adalah pemimpin yang berhasil menerapkan prinsip
kepemimpinan, bahwa inti kepemimpinan adalah memengaruhi bawahannya
(Robbins, 2016). Fungsi kepemimpinan adalah memastikan karyawannya
mendapatkan segala kebutuhan dalam kegiatan kerja, yang selanjutnya akan
melancarkan proses pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Bass dan Avolio (2000) kepemimpinan transformasional adalah suatu
model kepemimpinan untuk meningkatkan sumberdaya manusia dengan dan
hubungan efek pemimpin terhadap bawahan dapat diukur, dengan indikator adanya
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin, berusaha
untuk memotivasi pengikut untuk melakukan sesuatu yang lebih demi tercapainya
kinerja.
Menurut Bass dan Avolio (2000), pada awalnya kepemimpinan transformasional
ditunjukkan melalui tiga perilaku, yaitu karisma, konsiderasi individual, dan
stimulasi intelektual. Namun pada perkembangannya, perilaku karisma kemudian
dibagi menjadi dua, yaitu karisma atau idealisasi pengaruh dan motivasi
inspirasional. Bass dan Avolio mengemukakan 4 dimensi kepemimpinan
transformasional yang dikenal dengan konsep “4I”. Bass dan Avolio menyarankan
kepada pemimpin transformasional agar dapat menggalang kepercayaan, hormat
dan kekaguman dari para pengikut mereka. Berikut ini adalah dimensi dan indikator
kepemimpinan transformasional yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini:

  1. Idealized influence, pemimpin harus menjadi contoh yang baik, yang dapat
    diikuti oleh karyawannya, sehingga akan menghasilkan rasa hormat dan
    percaya kepada pemimpin tersebut.
  2. Inspirational motivation, pemimpin harus bisa memberikan motivasi, dan target
    yang jelas untuk dicapai oleh karyawannya.
  3. Intellectual simulation, pemimpin harus mampu merangsang karyawannya
    untuk memunculkan ide-ide dan gagasan-gagasan baru, pemimpin juga harus
    membiarkan karyawannya menjadi problem solver dan memberikan inovasi
    inovasi baru dibawah bimbingannya.
  4. Individualized consideration, pemimpin harus memberikan perhatian,
    mendengarkan keluhan, dan mengerti kebutuhan karyawannya. Seluruh
    dimensi tersebut jika dilaksanakan dengan baik maka akan membantu dalam
    memaksimalkan peran pemimpin dalam perusahaan.
    Pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai
    berikut:
  5. Agen perubahan.
  6. Pengambil resiko yang berhati-hati.
  7. Yakin terhadap orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan kebutuhan
    mereka.
  8. Mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku
    mereka.
  9. Fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dan pengalaman.
  10. Mempunyai keterampilan kognitif
  11. Memiliki keyakinan pada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhan akan
    analisis masalah yang hati-hati.
  12. Orang-orang yang mempunyai visi yang mempercayai intuisinya.

Teori an Extended Model of Team Development


Stott and Walker (1995) dan Buller (1986) dalam teorinya an Extended Model of
Team Development menerangkan bahwa kinerja dalam organisasi di tentukan atau
dipengaruhi oleh strategi pengembangan pada: (1) individu yang meliputi:
motivasi, komitmen, sikap, kemampuan, dan participation; (2) tugas (task) yang
mencakup: tujuan, penentuan target dan proses sistematis; (3) tim yang meliputi:
kepemimpinan, peran perilaku, komunikasi, hubungan interpersonal, pengaruh
keterampilan, konflik, analisis problem, pembuatan keputusan, rapat tim,
koordinasi, kerja sama , keterpaduan, norma dan nilai, serta kecocokan; dan (4)
organisasi yang mencakup: struktur, iklim, dukungan untuk pengembangan, dan
budaya

Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan adalah hasil yang dicapai dalam pekerjaanya menurut kriteria dan
target tertentu. Menurut Robbins (2016) kinerja karyawan merupakan fungsi dari
interaksi antara kemampuan dan motivasi. Dalam studi manajemen kinerja, ada hal
yang memerlukan pertimbangan yang penting sebab kinerja individual seorang
pegawai dalam organisasi merupakan bagian dari kinerja organisasi, dan dapat
menentukan kinerja dari organisasi tersebut. Berhasil tidaknya kinerja pegawai
yang telah dicapai organisasi tersebut akan dipengaruhi oleh tingkat kinerja dari
karyawan secara individu maupun kelompok. Kinerja merupakan perilaku
organisasional yang secara langsung berhubungan dengan produksi barang atau
jasa. Kinerja seringkali diartikan sebagai pencapaian tugas, dimana istilah tugas
sendiri berasal dari pemikiran aktivitas yang dibutuhkan oleh pekerja. Yukl (2005)
memakai istilah proficiency yang mengandung arti yang lebih luas. Kinerja
mencakup segi usaha, loyalitas, potensi, kepemimpinan, dan moral kerja.
Profisiensi dilihat dari tiga hal antara lain; perilaku-perilaku yang ditunjukan
seseorang dalam bekerja, hasil nyata yang dicapai pekerja, dan penilaian-penilaian
pada faktor-faktor seperti motivasi, komitmen, inisiatif, potensi kepemimpinan dan
moral kerja. Gibson (1997) mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan
yang terkait dengan tujuan organisasi seperti, kualitas, efesiensi, dan kriteria
efektifitas lainya. Kinerja merefleksikan seberapa baik dan seberapa tepat seorang
individu memenuhi permintaan pekerjaan.

Kepemimpinan Transformasional


Menurut Robbins (2016) yang berpendapat bahwa gaya kepemimpinan merupakan
suatu strategi atau kemampuan dalam memengaruhi suatu kelompok ke arah
tercapainya tujuan. Krisis yang dialami setiap organisasi, termasuk didalamnya
organisasi pendidikan, berakar pada krisis kepemimpinan nasional, khususnya
berupa tantangan terhadap kecerdasan kita, yang tidak dapat lagi diantisipasi
sekedar dengan kecerdasan rasional (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) namun
menuntut peran kunci kecerdasan spiritual (SQ) sebagai induk segala kecerdasan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor pendorong kemajuan adalah
kepemimpinan yang kuat sekaligus melayani masyarakat. Pemimpin yang kuat
sekaligus melayani adalah pemimpin yang berhasil menerapkan prinsip
kepemimpinan, bahwa inti kepemimpinan adalah memengaruhi bawahannya
(Robbins, 2016). Fungsi kepemimpinan adalah memastikan karyawannya
mendapatkan segala kebutuhan dalam kegiatan kerja, yang selanjutnya akan
melancarkan proses pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Bass dan Avolio (2000) kepemimpinan transformasional adalah suatu
model kepemimpinan untuk meningkatkan sumberdaya manusia dengan dan
hubungan efek pemimpin terhadap bawahan dapat diukur, dengan indikator adanya
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin, berusaha
untuk memotivasi pengikut untuk melakukan sesuatu yang lebih demi tercapainya
kinerja.
Menurut Bass dan Avolio (2000), pada awalnya kepemimpinan transformasional
ditunjukkan melalui tiga perilaku, yaitu karisma, konsiderasi individual, dan
stimulasi intelektual. Namun pada perkembangannya, perilaku karisma kemudian
dibagi menjadi dua, yaitu karisma atau idealisasi pengaruh dan motivasi
inspirasional. Bass dan Avolio mengemukakan 4 dimensi kepemimpinan
transformasional yang dikenal dengan konsep “4I”. Bass dan Avolio menyarankan
kepada pemimpin transformasional agar dapat menggalang kepercayaan, hormat
dan kekaguman dari para pengikut mereka. Berikut ini adalah dimensi dan indikator
kepemimpinan transformasional yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini:

  1. Idealized influence, pemimpin harus menjadi contoh yang baik, yang dapat
    diikuti oleh karyawannya, sehingga akan menghasilkan rasa hormat dan
    percaya kepada pemimpin tersebut.
  2. Inspirational motivation, pemimpin harus bisa memberikan motivasi, dan target
    yang jelas untuk dicapai oleh karyawannya.
  3. Intellectual simulation, pemimpin harus mampu merangsang karyawannya
    untuk memunculkan ide-ide dan gagasan-gagasan baru, pemimpin juga harus
    membiarkan karyawannya menjadi problem solver dan memberikan inovasi
    inovasi baru dibawah bimbingannya.
  4. Individualized consideration, pemimpin harus memberikan perhatian,
    mendengarkan keluhan, dan mengerti kebutuhan karyawannya. Seluruh
    dimensi tersebut jika dilaksanakan dengan baik maka akan membantu dalam
    memaksimalkan peran pemimpin dalam perusahaan.

Indikator Kepemimpinan Transformasional


Menurut Bass & Avolio (1990), indikator gaya kepemimpinan
transformasional yang dikemukakan sebagai berikut:
1) Individualized Consideration sikap pemimpin dimana ia
mempertimbangkan, memikirkan, dan mengidentifikasikan
kebutuhan karyawan, mengakui kompetensi karyawan,
membimbing dan melatih karyawan dengan cara yang spesifik dan
pribadi.
2) Intellectual Stimulation membantu para karyawan dalam menjawab
asumsi dan menemukan solusi yang lebih kreatif untuk masalah
yang karyawan hadapi.
3) Inspiration Motivation adalah pemimpin yang mampu
mengkomunikasikan harapan yang tinggi dan tantangan kerja yang
jelas dan membangkitkan semangat kerja.
4) Idealized Influence adalah perilaku pemimpin yang mampu
mengkomunikasikan visi organisasi, menumbuhkan kepercayaan
dan rasa kagum terhadap karyawan.

Pengertian Kepemimpinan Transformasional


Menurut Bass & Avolio (1990), kepemimpinan transformasional
adalah pemimpin yang mampu mendorong karyawan untuk melakukan
lebih dari yang diharapkan. Dengan kepemimpinan transformasional
karyawan akan menjadi setia, mengagumi, mempercayai, dan
menghormati pemimpin. Menurut Robbins & Judge (2017),
kepemimpinan transformasional adalah seorang pemimpin yang mampu
menginspirasi karyawannya untuk mengutamakan kepentingan
organisasi dan memiliki pengaruh yang besar bagi karyawannya.

Indikator Kepuasan Kerja


Menurut Afandi (2018) indikator penentu kepuasan kerja yaitu:
1) Pekerjaan yaitu sejauh mana pekerjaan yang dilakukan karyawan,
apakah mempunyai elemen yang memuaskan mereka.
2) Upah merupakan imbalan yang didapatkan seseorang, apakah
sebanding dengan usaha yang dilakukan.
3) Promosi mengacu pada kesempatan maju dan berkembang melalui
kenaikan jabatan.
4) Pengawas atau atasan yaitu perhatian dan dorongan yang
ditunjukkan oleh atasan terhadap bawahan.
5) Rekan kerja yaitu dimana rekan kerja pandai secara teknis dan
mendukung secara sosial. Oleh karena itu mempunyai rekan kerja
yang menyenangkan dapat meningkatkan kepuasan kerja.

Pengertian Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja adalah sikap positif seorang karyawan yang
mencakup perasaan dan perilaku terhadap pekerjaan melalui evaluasi
satu pekerjaan dengan cara mengevaluasi nilai-nilai penting dalam
pekerjaan (Afandi,2018). Menurut Robbins & Judge (2017) kepuasan
kerja adalah sebuah perasaan positif terhadap pekerjaan yang
dihasilkannya. Sedangkan menurut Mangkunegara (2017) kepuasan
kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak yang
berhubungan dengan pekerjaanya dan kondisi dirinya sendiri. seperti
upah atau gaji, kesempatan pengembangan karir, hubungan antar
karyawan, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi
perusahaan sedangkan yang berhubungan dengan dirinya antara lain
umur, kondisi kesehatan, kemampuan, dan pendidikan. Pegawai akan
merasa puas jika aspek pekerjaan dan aspek dirinya menyokong dan
sebaliknya.

Indikator komitmen organisasional


Menurut (Meyer & Allen, 1991), indikator komitmen
organisasional sebagai berikut:
1) Komitmen afektif (Affective Commitment), adalah keterkaitan
emosional yang positif antara karyawan dan perusahaan tempat
mereka bekerja.
2) Komitmen berkelanjutan (Continuance Commitment), adalah
komponen kebutuhan atau memperoleh versus kehilangan.
3) Komitmen normatif (Normative Commitment) muncul karena
karyawan merasa bekerja dan menjadi anggota organisasi karena
sudah kewajiban.

Pengertian Komitmen Organisasional


(Meyer & Allen, 1991) merumuskan definisi komitmen
organisasional adalah hubungan karyawan atau anggota organisasi
terhadap organisasinya yang mempunyai pengaruh terhadap
keberlangsungan organisasi dan keputusan individu apakah akan tetap
menjadi anggota di dalam organisasinya. Menurut Wirawan (2017)
komitmen organisasional adalah keterikatan psikologi dan fisik
karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Komitmen
organisasional adalah situasi dimana karyawan memihak pada
organisasi dan tetap mempertahankan keanggotaannya terhadap
organisasi (Robbins & Judge, 2017)

Indikator Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Indikator Organizational Citizenship Behavior (OCB) menurut
Organ et al (2006) yaitu:
1) Altruism, adalah perilaku karyawan yang menolong rekan kerjanya
untuk meringankan pekerjaan.
2) Conscientiousness, adalah perilaku sukarela yang ditunjukkan
dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan.
3) Sportmanship, adalah perilaku toleransi terhadap keadaan yang
tidak ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan
4) Courtesy, perilaku menjaga hubungan baik dengan rekan kerja.
5) Civic virtue, perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada
organisasi.

Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Organ et al (2006) berpendapat bahwa organizational
citizenship behavior merupakan perilaku yang bersifat bebas dalam
mengambil keputusan dalam keadaan yang dihadapi secara eksplisit
yang akan mendorong fungsi organisasi menjadi lebih efektif dan
efisien. Perilaku kewargaan menurut Robbins & Judge (2017) adalah
perilaku kebebasan dalam menentukan yang bukan merupakan bagian
dari persyaratan pekerjaan formal karyawan yang berkontribusi pada
lingkungan psikologis dan sosial tempat kerja. Jennifer M. George dan
Gareth R. Jones dalam Tristiani et al (2021) berpendapat bahwa OCB
adalah perilaku yang melampaui panggilan tugas yaitu perilaku secara
tidak langsung diperlukan oleh anggota, tetapi tetap dibutuhkan untuk
efektivitas sebuah organisasi.

Indikator Produktivitas Kerja


Indikator produktivitas kerja menggambarkan hasil dan dampak dari kegiatan
yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Semakin besar yang
dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka
semakin produktif proses kerja suatu perusahaan. Adapun indikator produktivitas
kerja menurut Sutrisno (2020) adalah sebagai berikut:

  1. Kemampuan
    Kemampuan seorang karyawan bergantung pada keterampilan yang dimiliki
    serta profesionalisme mereka dalam bekerja. Hal ini dapat memberikan daya
    kepada karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
  2. Meningkatkan hasil yang dicapai
    Indikator ini dapat dilihat berdasarkan upaya yang dilakukan oleh masingmasing karyawan dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai hasil yang
    optimal sehingga produktivitas meningkat.
  3. Semangat kerja
    Indikator ini dilihat berdasarkan etos kerja yang dimiliki dan hasil yang dicapai
    oleh masing-masing karyawan dibandingkan dengan pencapaian mereka pada
    hari sebelumnya.
  4. Pengembangan diri
    Pengembangan diri bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja. Hal ini
    dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan apa yang akan
    dihadapi.
  5. Mutu
    Mutu merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas kerja
    seorang karyawan.
  6. Efisiensi
    Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang
    digunakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Aspek-Aspek Produktivitas Kerja


Simamora dalam Sutrisno (2020) mengemukakan bahwa ada tiga aspek yang
menggambarkan tingkat produktivitas kerja karyawan pada suatu perusahaan,
yaitu:

  1. Kuantitas kerja, merupakan hasil yang dicapai oleh karyawan dalam jumlah
    tertentu berdasarkan perbandingan standar sesuai yang telah ditetapkan oleh
    perusahaan.
  2. Kualitas kerja, merupakan suatu mutu atau standar hasil dari produk yang telah
    dihasilkan oleh karyawan, dalam hal ini mencakup kemampuan karyawan
    dalam menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
  3. Ketepatan waktu, yaitu tingkat keberhasilan seorang karyawan dalam
    melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Upaya Peningkatan Produktivitas Kerja


Tingkat produktivitas kerja yang tinggi pada suatu perusahaan. Adapun upayaupaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kerja menurut
Sutrisno (2020) antara lain:

  1. Perbaikan terus menerus
    Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja adalah dengan
    melakukan perbaikan dari kekeliruan yang pernah terjadi secara terus menerus
    pada seluruh komponen perusahaan.
  2. Peningkatan mutu hasil pekerjaan
    Upaya ini berkaitan dengan perbaikan secara terus menerus dan dapat
    dilakukan dengan meningkatkan mutu hasil pekerjaan dari seluruh komponen
    perusahaan.
  3. Pemberdayaan SDM
    Memberdayakan SDM yang ada di perusahaan dapat menjadi salah satu upaya
    dalam meningkatkan produktivitas kerja. Upaya ini dapat dilakukan dengan
    memberikan pendidikan atau pelatihan kepada seluruh karyawan di
    perusahaan.

Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja


Dalam pengukuran produktivitas kerja pada suatu perusahaan, dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Berdasarkan pendapat Sutrisno (2020) faktor-faktor tersebutyaitu:

  1. Pelatihan
    Pelatihan kerja yang dilakukan oleh perusahaan dapat mengasah keterampilan
    yang dimiliki oleh karyawan. Semakin baik keterampilan yang dimiliki
    karyawan, maka semakin baik pula produktivitas kerja yang dihasilkan.
  2. Mental dan kemampuan fisik karyawan
    Keadaan mental dan fisik karyawan merupakan hal yang sangat penting untuk
    diperhatikan oleh perusahaan, sebab hal-hal tersebut berkaitan erat dengan
    produktivitas kerja karyawan.
  3. Hubungan antara atasan dan bawahan
    Hubungan ini termasuk bagaimana pandangan atasan terhadap bawahan akan
    mempengaruhi kegiatan yang dilakukan karyawan sehari-hari. Apabila
    hubungan terjalin baik, maka karyawan akan berusaha melakukan tugasnya
    dengan baik sehingga mampu mencapai hasil yang optimal.
    Adapun menurut Tiffin dan Cormick dalam Sutrisno (2020) mengemukakan
    bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja karyawan dapat
    disimpulkan menjadi 2 (dua) golonganantara lain:
  4. Faktor yang ada pada diri individu, meliputi usia, tempramen, keadaan fisik
    individu, keluhan, motivasi kerja dan kreativitas.
  5. Faktor yang ada di luar individu, meliputi kondisi fisik seperti suasana,
    penerangan, waktu istirahat, lama kerja, upah, struktur organisasi serta
    lingkungan sosial dan keluarga.

Definisi Produktivitas Kerja


Jika suatu organisasi atau perusahaan berhasil mencapai tujuannya, berarti
produktivitas kerja karyawan pada perusahaan tersebut dapat dikatakan cukup
baik. Menurut Wahyudi (2020) produktivitas merupakan perbandingan antara
hasil yang dapat dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan. Untuk
mengetahui lebih dalam mengenai definisi produktivitas kerja, berikut pandangan
beberapa pakar atau sumber mengenai produktivitas kerja.
a. Menurut Sutrisno (2020) produktivitas kerja adalah rasio dari keseluruhan hasil
kerja yang telah ditentukan perusahaan untuk menghasilkan suatu produk atau
jasa dari tenaga kerja.
b. Menurut Kurnia (2019) produktivitas merupakan ukuran efisiensi produktif
yang berarti suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masukan.
c. Menurut Pradita (2020) produktivitas merupakan kemampuan untuk
menghasilkan produk (barang atau jasa) yang berkualitas dan sesuai dengan
standar yang ditetapkan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada
dengan efisien.
d. Menurut Mufti (2020) produktivitas adalah ukuran sampai sejauh mana
seorang karyawan mampu menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan kualitas
dan kuantitas yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perusahaan.

Indikator Motivasi Kerja


Menurut Hasibuan (2020) motivasi kerja dapat diukur dengan beberapa indicator
diantaranya:

  1. Kebutuhan fisik
    Kebutuhan ini merupakan kebutuhan akan fasilitas penunjang yang berada di
    lingkungan kerja yang dapat digunakan untuk mempemudah penyelesaian
    tugas.
  2. Kebutuhan rasa aman
    Kebutuhan ini meliputi rasa aman fisik dan merasa terlindungi dari daya-daya
    mengancam seperti takut, cemas dan bahaya.
  3. Kebutuhan sosial
    Kebutuhan ini dapat terpenuhi secara bersama-sama seperti terjalinnya
    interaksi yang baik antar karyawan maupun atasan.
  4. Kebutuhan akan penghargaan
    Kebutuhan untuk diberi penghargaan atas pencapaian seseorang seperti
    kebutuhan akan status, perhatian dan reputasi.
  5. Kebutuhan dorongan mencapai tujuan
    Kebutuhan akan dorongan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, misalnya
    motivasi dari pimpinan.

Pendekatan Motivasi Kerja


Menurut Bangun (2012) dalam nemberikan motivasi kerja kepada karyawan,
terdapat beberapa pendekatan yang dapat diterapkan. Pendekatan tersebut antara
lain:

  1. Pendekatan tradisional, Frederick W. Taylor mengemukakan bahwa
    pendekatan ini dilakukan dengan menitikberatkan pada pengawasan dan
    pengarahan terhadap karyawan.
  2. Pendekatan hubungan manusia, Elton Mayo berpendapat bahwa memotivasi
    karyawan dapat dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan sosial dan
    menjadikan mereka merasa berguna dan paling penting.
  3. Pendekatan sumber daya manusia, McGregor mengemukakan bahwa para
    karyawan dapat dimotivasi melalui berbagai faktor, tidak hanya uang atau
    keinginan untuk mencapai kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk berprestasi
    dan memperoleh pekerjaan yang berani.
  4. Pendekatan kontemporer, pendekatan ini didominasi oleh tipe-tipe motivasi
    teori isi (menekankan pada teori hierarki kebutuhan), teori proses (teori
    hierarki kebutuhan, teori dua fakor, teori ERG) dan teori penguatan (berpusat
    pada bagaimana karyawan mempelajari perilaku kerja yang diinginkan).

Tujuan Motivasi Kerja


Pemberian motivasi kerja kepada karyawan tentu memiliki tujuannya sendiri.
Adapun tujuan pemberian motivasi kerja menurut Hasibuan (2020) antara lain:

  1. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
  2. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan
  3. Meningkatkan kedisiplinan karyawan
  4. Mempertahankan kestabilan perusahaan
  5. Mengefektifkan pengadaan karyawan
  6. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
  7. Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi.

Definisi Motivasi Kerja


Pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawab karyawan dalam sebuah perusahaan,
sebaiknya karyawan memiliki tingkat motivasi yang tinggi, karena dengan adanya
motivasi tersebut dapat mendorong karyawan untuk lebih giat dalam
melaksanakan pekerjaannya sehingga akan menghasilkan pencapaian yang
maksimal. Motivasi kerja juga dapat mempengaruhi semangat seseorang untuk
mencapai keinginannya.
Menurut Bangun (2012) motivasi kerja adalah suatu kondisi yang mendorong
orang lain untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan fungsinya dalam
suatu organisasi. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai definisi motivasi kerja,
berikut pandangan beberapa pakar atau sumber mengenai motivasi kerja.
a. Menurut Hasibuan (2020) motivasi kerja adalah pemberian daya penggerak
yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar dapat bekerja sama secara
efektif dan terintegritas dengan segala daya upayanya untuk mencapai
kepuasan tertentu.
b. Menurut Jufrizen (2018) motivasi kerja dapat diartikan sebagai suatu keadaan
kejiwaan dan sikap mental dalam diri manusia yang memberikan energi,
mendorong perilaku dan menyalurkan perilaku tersebut untuk mencapai
kebutuhan yang memberikan kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
c. Menurut Abdul dan Hardi (2018) motivasi kerja merupakan proses psikologis
yang timbul diakibatkan oleh faktor-faktor yang bersumber baik dari dalam
maupun luar diri seseorang.
d. Menurut Dewi Susita (2020) motivasi kerja adalah segala aktivitas dan perilaku
karyawan yang bekerja dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
diinginkan oleh perusahaan.

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Menurut Jong dan Hartog dalam Hadi (2020) indicator perilaku kerja inovatif
adalah:

  1. Mengeksplor ide (Idea Exploration)
    Karyawan mampu menemukan kesempatan atau sebuah masalah yang terjadi
    di dalam perusahaan kemudian menciptakan ide-ide baru untuk dijadikan
    solusi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
  2. Mengembangkan ide (Idea Generation)
    Karyawan mampu mengembangkan ide yang telah diciptakan dan
    mengenalkan ide tersebut untuk proses baru kepada rekan-rekan kerja.
  3. Mencari dukungan untuk ide (Idea Championing)
    Karyawan diharapkan terdorong untuk mencari dukungan untuk ide yang telah
    dikembangkan agar dapat mewujudkan ide inovasi baru tersebut.
  4. Menerapkan ide (Idea Implementation)
    Karyawan memiliki keberanian untuk menerapkan ide baru tersebut ke dalam
    proses kerja yang biasa dilakukan di perusahaan.

Dampak Perilaku Kerja Inovatif


Menurut Janssen dalam Berliana (2018) dampak positif dari adanya perilaku kerja
inovatif antara lain:

  1. Dapat menghasilkan gagasan untuk lingkungan kerja
    Dengan adanya perilaku kerja inovatif, akan mendorong karyawan untuk
    menciptakan ide-ide baru untuk memperbaiki lingkungan tempat kerja menjadi
    lebih baik dan menciptakan cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan agar
    lebih efektif dan efisien.
  2. Dapat mempromosikan diri sendiri di dalam pekerjaan
    Seorang karyawan yang memiliki ide inovatif memiliki peluang yang lebih
    besar untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan
    adanya peran serta karyawan tersebut dalam mencipakan ide baru untuk
    menyelesaikan permasalahan yang ada di perusahaan.
  3. Dapat mewujudkan gagasan baru untuk lingkungan kerja
    Perilaku kerja inovatif sebagai tempat dalam diri seseorang untuk
    mengimplementasikan ide-ide baru yang terpendam dan dapat digunakan untuk
    menghadapi permasalahan yang terjadi.

Tahap Pembentukan Perilaku Kerja Inovatif


Menurut Janssen dalam Fitriza (2020) ada 3 (tiga) tahap dalam pembentukan
perilaku kerja inovatif yaitu:

  1. Menciptakan ide (Idea Generation)
    Pada tahap ini, karyawan dapat mengenali masalah yang muncul di perusahaan
    dan kemudian mampu menghasilkan ide-ide baru yang dapat menjadi solusi di
    berbagai bidang. Ide tersebut dapat bersifat asli atau dimodifikasi dari produk
    dan proses kerja yang sudah ada.
  2. Berbagi ide (Idea Promotion)
    Pada tahap ini, karyawan berbagi ide atau solusi yang telah diciptakan kepada
    rekan kerja mereka sehingga ide tersebut dapat diterima. Selain itu, karyawan
    akan mengumpulkan dukungan agar ide tersebut dapat direalisasikan dalam
    perusahaan.
  3. Realisasi Ide (Idea Realization)
    Pada tahap ini, karyawan membuat model dari ide yang mereka miliki menjadi
    sebuah produk dan proses kerja yang nyata sehingga dapat diterapkan pada
    pekerjaan individu, tim atau keseluruhan sehingga dapat meningkatkan
    produktivitas kerja perusahaan

Definisi Perilaku Kerja Inovatif


Perkembangan teknologi yang pesat memberikan dampak terjadinya persaingan
antar perusahaan, sehingga perusahaan membutuhkan inovasi-inovasi yang dapat
dikembangkan agar mampu bertahan dalam persaingan tersebut. Wahono (2016)
berpendapat bahwa inovasi merupakan sebuah strategi yang akan dilakukan
perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing dengan memenuhi permintan
produk-produk sehingga dapat digunakan sebagai keunggulan bersaing untuk
perusahaan.
Menurut Nyoman dan Ardana (2020) perilaku kerja inovatif merupakan sikap
memperkenalkan, mengajukan dan mengimplementasikan ide-ide, produk, serta
prosedur baru ke dalam pekerjaannya. Perilaku kerja inovatif ini penting untuk
menjaga daya saing perusahaan dan meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
(Hammond dalam Widiastuti, 2020). Untuk mengetahui lebih dalam mengenai
definisi perilaku kerja inovatif, berikut pandangan beberapa pakar atau sumber
mengenai perilaku kerja inovatif.
a. Menurut Jong dan Hartog dalam Hadi (2020) perilaku kerja inovatif adalah
suatu perilaku yang meliputi eksplorasi peluang dan ide-ide baru dan
mencakup perilaku mengimplementasikan ide baru tersebut untuk mencapai
peningkatan produktivitas individu maupun perusahaan.
b. Menurut Nurdin (2020) perilaku kerja inovatif merupakan tindakan individu
untuk mengenali suatu masalah, memunculkan dan mengembangkan ide-ide
baru, serta merealisasikan ide atau gagasan tersebut dengan teknik dan
prosedur yang baru dan dapat berguna bagi perusahaan.
c. Menurut Prasetyo (2019) perilaku kerja inovatif merupakan perilaku karyawan
yang secara langsung dan tidak langsung merangsang pengembangan dan
pengenalan inovasi di tempat kerja sehingga perusahaan dapat bertahan pada
persaingan bisnis.
d. Menurut Windiarsih (2019) perilaku kerja inovatif adalah upaya yang sengaja
dilakukan oleh karyawan untuk berinovasi sehingga memberikan manfaat
untuk perusahaan dan dibutuhkan kesediaan individu untuk secara aktif terlibat
dalam pelaksanaannya.

Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan adalah pemenuhan tanggung jawab, tugas atauketerampilan terkait pekerjaan oleh seorang karyawan dalam sebuah perusahaanatau organisasi. Dapat juga dikatakan sebagai kendali individu terhadap dedikasi
atau kontribusinya terhadap tujuan yang harus dicapai (Mann, Budworth&Ismaila, 2012). Kinerja karyawan adalah hasil atau tingkat keberhasilanyang
mencakup efektivitas kerja, kualitas kerja yang semakin tinggi, waktupenyelesaian kerja yang semakin singkat, tingkat kecelakaan yang semakinmenurun serta penurunan biaya (Filippo, 2002). Dessler (2015) menyatakan bahwa kinerja (work perfomance) adalahsuatukegiatan oleh karyawan yang dilakukan untuk mencapai tujuan perusahaandengan berbagai standar sebagai alat ukur perbandingan. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja para karyawan maupun manajer atauorganisasi dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Hasil kerja ini akan menentukan keberhasilan dari suatu perusahaan

Komitmen Organisasional


Robbins (2006) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai tahapdi
mana untuk mempertahankan status sebagai anggota kelompok, karyawan mampumengenali kelompok tertentu. Bahkan, Luthans (2002) mendefinisikan sebagai: (1)
Kesediaan yang kuat untuk tetap sebagai kelompok anggota; (2) Kesediaan untukbekerja keras sebagai aspirasi organisasi; (3) Kesediaan tertentu untuk menerimanilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini adalah perilaku yangmencerminkan loyalitas karyawan kepada organisasi dan tahap selanjutnyadi
mana anggota organisasi mengungkapkan kepedulian terhadap organisasi, keberhasilan, dan pengembangan lebih lanjut. Komitmen organisasional memiliki
hubungan yang kuat dan positif dengan kinerja kerja (Ahmad et al., 2010)
Meyer et al., (2002) mengajukan tiga komponen dimensi komitmenorganisasional dan direfleksikan dalam tiga pokok utama yang terdiri dari: (1)
komitmen afektif, (2) komitmen berlanjut, dan (3) komitmen normatif. Komitmenafektif merupakan salah satu dimensi komitmen organisasi, yang menggambarkanikatan emosional seorang karyawan untuk mengidentifikasikan dan melibatkandirinya dengan perusahaan (Kartika, 2011). Adapun tiga faktor atau dimensi
tersebut antara lain: (1) kemauan pengurus, (2) kesetiaan pengurus, dan(3)
kebanggaan pengurus pada organisasi (Usmanto, Sunaryo, dan Khoirul, 2019). Karyawan akan memiliki keinginan untuk tetap bekerja pada suatuperusahaan apabila memiliki komitmen yang tinggi terhadap perusahaan tersebut. Selain itu, berkeinginan ikut andil dalam berbagai kegiatan perusahaan, berdedikasi untuk menciptakan tujuan perusahaan juga sebagai implementasi dari
karyawan yang berkomitmen terhadap perusahaan atau organiasi (Han et al., 2012). Dengan adanya implementasi dari komitmen organisasional secara afektif
maka perusahaan juga akan mampu terus mendorong kemajuan tujuan perusahaan.

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Berikut merupakan indikator yang mendukung adanya perilaku kerjainovatif (Klysen & Street, dalam De Jong & Hartog, 2010):. 1. Eksplorasi ide (Idea exploration), karyawan dituntut untuk dapat
mendukung masalah dan kebutuhan tempat kerja, serta diharapkanmemunculkan peluang untuk mengubah suatu kondisi yang ada di
lingkungan kerja

  1. Generasi ide (Idea generation), karyawan mampu mengembangkansuatuide inovasi dengan menciptakan dan mengembangkan ide kreatif untukproduk, proses maupun servis baru. 3. Perjuangan ide (Idea championing), dimana karyawan mulai terdoronguntuk mencari koalisi atau mendukung dalam mewujudkan ide baru. 4. Implementasi ide (Idea implementation), dimana karyawan berani dalammenerapkan ide baru pada proses kegiatan kerja rutin yang biasa dilakukanmeliputi pengembangan dan uji coba terhadap ide produk, proses maupunservis baru yangditawarkan.

Perilaku Kerja Inovatif (Innovative Work Behavior/IWB)


Perilaku kerja inovatif didorong karena iklim yang diciptakanolehseorang pemimpin dalam organisasi. Ide-ide yang muncul kemudiandituangkan dalam kerja sama yang terjalin dalam organisasi mampu menjadi
salah satu kekuatan dari IWB ini. Bekerja dalam inovasi dan kreatif
terbarukan akan meningkatkan kinerja yang memacu tujuan hasil yangakandicapai. Inovasi telah terbukti sangat penting untuk keberhasilan suatuorganisasi dan kreativitas individu dan inovasi menjadi kunci untuk inovasi
tingkat organisasi (DiLiello & Houghton, 2006). Yang penting, iklimorganisasi dapat memiliki efek positif pada kreativitas dan inovasi dalamorganisasi (Amabile et al., 1996; Cooper, Edgett, & Kleinschmidt, 2004;
Nybakk, Crespell, & Hansen, 2011). Selain itu, manajemen perlu memastikan bahwa iklimorganisasi
mendorong, memelihara, dan meningkatkan individu kreativitas (DiLiello&
16Houghton, 2006; Hunter, Bedell, & Mumford, 2007; Isaksen &Lauer, 2002). Karyawan yang memiliki inovasi dan potensi kreatif paling mungkin untukmempraktikkan inovasi ketika mereka melihat dukungan organisasi yangkuat
(DiLiello & Houghton, 2006). Selanjutnya, jika organisasi mampumengembangkan iklim organisasi yang dianggap positif oleh individu, ini
lebih cenderung menghasilkan tingkat motivasi, komitmen, dan keterlibatankaryawan yang lebih tinggi, yang mengarah ke peningkatan performa kerjakaryawan.

Indikator kepemimpinan transformasional


Untuk memperkuat perilaku kunci oleh Podsakoff, berikut dimensi
kepemimpinan transformasional menurut Pradana (2013):

  1. Pengaruh ideal/karismatik, menilai dari kuatnya visi dan misi yang menjadi
    titik penekanan tujuan serta menumbuhkan kepercayaan karyawan. 2. Motivasi inspiratif, pemimpin yang memberikan motivasi dan menjadi
    panutan bagi karyawannya. 3. Stimulus intelektual, merupakan kemampuan pimpinan untukmenghilangkan rasa enggan yang dimiliki karyawan dalammemberikanide-ide. 4. Perhatian individu, perhatian yang diberikan pimpinan dengan memberikanperhatian khusus untuk mengembangkan kemampuannya. Perilaku kunci kepemimpinan transformasional
    Terdapat enam perilaku kunci yang terkait dengan pemimpintransformasional (Podsakoff, 1990):
  2. Mengidentifikasi dan mengembangkan visi serta peluang masa depan. 2. Memberikan model perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai pemimpinmendukung. 3. Menumbuhkan sikap menerima pendapat kerja sama antar karyawan. 4. Ekspektasi kinerja tinggi yang menunjukkan harapan pemimpinataskeunggulan, kualitas, dan atau kinerja tinggi di pihak eksternal. 5. Memberikan dukungan Individual dengan menghormati pihak laindanpeduli terhadap kebutuhannya. 6. Meningkatkan stimulasi intelektual atas asumsi yang berbed

Kepemimpinan Transformasional


Suatu organisasi berjalan atas pengaruh yang besar dari faktor
kepemimpinan. Dimana posisi seorang pemimpin berada pada bagian sentral padasuatu organisasi atau perusahaan. Pemimpin ditunjuk agar menjadi kunci dalampengelolaan kinerja anggota atau karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Kreitner dan Kinicki (2010) mengemukakan proses dimana seseorang individudapat memberikan pengaruh terhadap orang lain dalam menuju tujuan disebut
dengan kepemimpinan. Teori kepemimpinan transformasional dimulai dengan pendapat yangdiungkapkan oleh Burns (1978), dimana kepemimpinan transformasional
merupakan seorang pemimpin yang mampu mempengaruhi bawahannya dalammembuat perspektif baru karena adanya stimulasi intelektual. Seorang pemimpinmampu membuat persepsi terhadap bawahannya dengan penilaian individualnyamelalui motivasi dan karismatik seorang pemimpin (Bass, 1985). Hal ini diperkuat oleh Zahra (2015) yang menyimpulkan pendapat ahli
manajemen sumber daya manusia tentang kepemimpinan yang merupakankehidupan dari organisasi dapat berjalan. Dimana kepemimpinan adalah prosesmerangsang orang lain untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan bersama, dengan melakukan motivasi individu sebagai jembatan dalamprosesnya. Dalamhal ini akan menuju capaian keinginan atau tujuan dari sebuah organisasi dengan
lebih terarah dan terintegrasi karena diikat oleh sistem yang diatur oleh perankepemimpinan.

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Berikut ini adalah indikator-indikator perilaku kerja inovatif,
menurut (Jong & Hartog, 2010:34):
a. Pembentukan Ide (Idea Generation)
Dalam mencari konsep baru, orang bekerja untuk
memperoleh metode kerja, alat, dan peralatan yang akan
memungkinkan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka
dengan lebih efektif dan efisien ketika diterapkan pada
kegiatan organisasi.
b. Pembentukan Koalisi (Idea Promotion)
Karyawan lain secara individu terinspirasi dan
termotivasi untuk antusias dengan saran kreatif yang dapat
memajukan perusahaan.
c. Implementasi Ide (Idea Realization)
Mampu menerapkan ide-ide inovatif yang baru
ditemukan dalam praktik kerja dan mampu secara sistematis
memperkenalkan atau menyampaikannya kepada rekan-rekan
mereka

Pengertian Perilaku Kerja Inovatif


Praktik Kerja Inovatif didefinisikan oleh Jong & Hartog
(2007). Inovasi tempat kerja adalah aktivitas individu dengan tujuan
menemukan konsep praktis untuk produk, layanan, atau proses.
Perilaku kreatif individu di tempat kerja berfokus pada awal
(inisialisasi) konsep baru, proses produksi, atau prosedur yang
bermanfaat bagi norma-norma kerja, kelompok, atau organisasi.
Kemampuan untuk mengevaluasi hal-hal baru dan berguna, apakah
itu ide, proses, produk, atau layanan, serta kesediaan untuk mencoba
hal-hal baru adalah semua karakteristik dari orang yang inovatif
(Hutahaean, 2005: 161). Mereka juga memiliki fokus pada inovasi
dan kemampuan untuk mentolerir ambiguitas.
Perilaku kerja inovatif digambarkan sebagai penelitian,
penciptaan, dan penerapan konsep-konsep segar yang bermanfaat
bagi tempat kerja, tim, atau organisasi dalam mengejar kinerja
puncak (Janssen, 2000: 288). Pendapat para ahli yang disebutkan di
atas dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa orang-orang
yang terlibat dalam perilaku kerja inovatif memiliki keinginan yang
kuat untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat, apakah
itu mengambil bentuk ide, prosedur, produk, atau proses kerja.
Perusahaan dapat memberikan kesempatan kepada karyawan untuk
mengatasi masalah yang sedang dialami saat ini. Oleh karena itu,
karyawan dapat mengembangkan kapasitas mereka untuk inovasi
dengan menghasilkan solusi kreatif untuk masalah.

Indikator Fleksibilitas Kerja


Fleksibilitas kerja meliputi fleksibilitas jadwal, yang
merupakan pengaturan untuk bekerja secara fleksibel dalam arti
jadwal, waktu, dan tempat (Carlson, dkk dalam Imam wicaksono,
2019). Berikut ini adalah indikator fleksibilitas kerja:

  1. Berapa Lama (Time Flexibiity): Kemampuan karyawan untuk
    mengubah durasi pekerjaan. Seperti halnya dengan seluruh
    tenaga penjualan, karyawan bebas memutuskan sendiri berapa
    lama durasinya atau berapa lama kerjanya.
  2. Kapan (Timing flexibility): Ketika karyawan memiliki
    kebebasan untuk merencanakan jadwal kerja mereka. Tenaga
    penjualan bertugas mengatur jam kerja dan waktu mulai mereka
    sendiri.
  3. Dimana (Place flexibility): kebebasan karyawan untuk memilih
    lokasi kerja mereka sendiri. Tenaga penjualan dapat memilih
    lokasi atau tempat kerja di mana mereka menyajikan produk
    untuk dijual.

Faktor yang Mempengaruhi Fleksibilitas Kerja


Fleksibilitas manajemen diperlukan untuk mengelola tenaga
kerja yang fleksibel. Kolaborasi global sangat penting bagi
organisasi modern untuk berhasil di pasar yang sedang mengalami
perubahan cepat. Bagi manajer, fleksibilitas menawarkan banyak
peluang untuk bermain, memperluas bisnis mereka, dan menemukan
kesuksesan (Sushil, 2015). Isu-isu berikut akan berkembang jika
manajemen terus menekankan struktur organisasi konvensional.
(Sushil et al., 2016):

  1. Lambat bereaksi terhadap perubahan
  2. Inovasi yang kurang
  3. Problematika komunikasi dan koordinasi
  4. Peningkatan pembatasan visual dan kompartementalisasi
  5. Struktur dan fungsi yang kaku
  6. Ada sedikit ruang untuk aksi inovatif dan kreatif
  7. Pendekatan manajemen puncak adalah feodal
  8. Tidak terkontrol yang menjadikan proses kinerja yang rendah
  9. Pekerjaan yang statis dalam peluang pengembangan karir.
    Perusahaan swasta yang fleksibel menyadari bahwa sistem
    manajemen yang mereka gunakan dapat berubah dengan cepat dan
    dapat menyesuaikan pekerjaan mereka. Bisnis besar, bagaimanapun,
    selalu terkendala untuk memiliki fleksibilitas yang lebih sedikit.
    Karena hierarki struktural dan prosedur yang ketat, perusahaan
    sektor swasta/publik tidak dapat menerapkan praktik fleksibilitas
    kerja yang memadai, perusahaan sektor publik telah berhasil merintis
    fleksibilitas berkat keterbukaan mereka terhadap perubahan
    teknologi informasi (Sushil et al., 2016)

Tujuan Fleksibilitas Kerja


Livia Arini, (2019) Fleksibilitas kerja mengacu pada berbagai
pekerjaan yang menggantikan jam kerja yang ditetapkan dan tempattempat di mana pekerjaan dilakukan secara sistematis. Aspek kerja
yang fleksibel memiliki tujuan tambahan, seperti berikut ini:

  1. Fleksibilitas dalam penjadawalan jam kerja, pengaturan kerja
    alternatif (seperti jam kerja yang fleksibel dan minggu kerja yang
    terkompresi). Mengenai jadawal shift dan istirahat.
  2. Fleksibilitas dalam jumlah jam kerja, Pembagian beban kerja dan
    tingkat fleksibilitas paruh waktu tertentu juga penting.
  3. Fleksibilitas di tempat kerja, seperti dalam lokasi selain yang
    dipilih oleh perusahaan, seperti di rumah.

Indikator Kinerja Karyawan


Menurut Koopmans (2014), perilaku atau tindakan karyawan
yang sejalan dengan tujuan perusahaan akan menghasilkan pekerjaan
yang membentuk kinerja. Kemampuan karyawan untuk
merencanakan sebelum melakukan pekerjaan mereka, bagaimana
mereka mengelola waktu mereka saat bekerja, dan seberapa baik
mereka dapat beradaptasi dengan situasi baru di tempat kerja adalah
semua faktor yang berkontribusi pada kinerja karyawan yang
optimal, yang juga membutuhkan keterampilan interpersonal dan
komunikasi yang baik. Beberapa aspek kinerja sebagai berikut:
a. Task Performance (TP)
b. Contextual Performance (CP)
c. Adaptive Performance (AP)
d. Counterproductive Work Behavior (CWB)

Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan dipengaruhi oleh faktor kemampuan dan
faktor motivasi, menurut Keith Davis dalam Mangkunegara, (2014).
Menurut Simanjuntak (2005), ada tiga variabel yang
mempengaruhi kinerja karyawan: manajerial, organisasi, dan
individu. Ketiga elemen yang mempengaruhi kinerja karyawan
dijelaskan sebagai berikut:

  1. Faktor Individu
    Bakat dan motivasi seseorang adalah faktor-faktor yang
    mempengaruhi pekerjaan mereka. Di mana keterampilan yang
    paling dibutuhkan adalah kemampuan dan bakat untuk
    melakukan pekerjaan itu.
  2. Faktor Dukungan Organisasi
    Karyawan harus memiliki dukungan dari organisasi di
    tempat kerjanya. Infrastruktur dan kondisi kerja, serta
    kenyamanan tempat kerja, semuanya diatur untuk memberikan
    dukungan ini. Untuk mencapai suatu tujuan, pengorganisasian
    digunakan untuk memperjelas kepada setiap individu apa yang
    harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Harus ada
    deskripsi pekerjaan dan tugas yang jelas yang disadari dan
    dipahami semua orang.
  3. Faktor Dukungan Manajemen
    Keterampilan manajer atau pemimpin juga
    mempengaruhi seberapa baik kinerja perusahaan dan seberapa
    baik kinerja karyawannya, baik dengan menumbuhkan budaya
    keselamatan dan harmoni di tempat kerja dan dalam hubungan
    kerja atau dengan membantu dalam pengembangan potensi
    kinerja karyawan.

Pengertian Kinerja


Kinerja, sebagaimana didefinisikan oleh Sutrisno, (2010),
adalah penyelesaian tugas oleh seseorang, sekelompok orang, atau
organisasi dengan kuantitas, kualitas, dan jumlah waktu yang
dihabiskan untuk menyelesaikan tugas, serta tanggung jawab yang
diberikan kepadanya, semuanya dapat digunakan untuk mengukur
kinerja.
Menurut Koopmans (2011), perilaku atau tindakan karyawan
yang sejalan dengan tujuan perusahaan akan menghasilkan pekerjaan
yang membentuk kinerja. Beberapa aspek kinerja yaitu, kinerja
tugas, kinerja kontekstual, dan kinerja adaptif, Kemampuan
karyawan untuk merencanakan sebelum melakukan pekerjaan
mereka, bagaimana mereka mengelola waktu mereka saat bekerja,
seberapa baik mereka dapat beradaptasi dengan situasi baru di
tempat kerja, dan seberapa berdedikasi mereka terhadap pekerjaan
mereka adalah semua faktor yang berkontribusi pada kinerja
karyawan yang optimal, yang juga membutuhkan keterampilan
interpersonal dan komunikasi yang baik (Koopmans, 2014).

Indikator Kinerja


Kinerja perusahaan dapat digambarkan dalam berbagai aspek, baik dari aspek
keuangan, produktifitas perusahaan, hingga kinerja karyawan. Adapun bebrapa
indikator yang perlu digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik menurut
Dwiyanto (2010:178-180), antara lain yaitu :

  1. Produktivitas
    Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai ratio antara input dan output.
    Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Aceunting Office
    (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang telah luas dengan
    memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan
    salah satu indikator kinerja yang penting. Produktivitas bukan hanya untuk mengukur
    tingkat efisiensi, namun juga mengukur efektivitas pelayanan dalam perusahaan.
    Sedangkan yang dimaksud produktivitas menurut Dewan Produktivitas Nasional,
    adalah suatu lingkup mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa
    mutu kehidupan hari ini (harus) labih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik
    dari hari ini.
  2. Kualitas Layanan
    Informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan seringkali
    dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik. Kualitas layanan relatif sangat
    tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja birokrasi publik yang mudah dan
    murah dipergunakan. Kepusaan masyarakat dapat menjadi indikator untuk menilai
    kinerja birokrasi publik. Kualitas layanan cenderung menjadi penting dalam
    menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang
    terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan publik terhadap
    kualitas. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan
    indikator kinerja birokrasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan
    masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan
    masyarakat seringkali tersedia secara nudah dan murah.
  3. Responsivitas
    Responsivitas dimaskudkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas
    secara langsung menggambarkan kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan
    misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas
    yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun
    agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan
    publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat. Secara singkat
    responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan
    pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas yang rendah
    ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat.
    Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya
    memiliki kinerja yang jelek pula.
  4. Responsibilitas
    Responsibilitas yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan birokrasi publik
    dilakukan sesuai dengan prinsip-prisnip administrasi yang benar dengan kebijakan
    birokrasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa
    saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.
  5. Akuntabilitas
    Kinerja birokrasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang
    dikembangkan oleh birokrasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang
    dikembangkan oleh birokrasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target.
    Kinerja sebaiknya harus dilihat dari ukuran eksternal, seperti norma dan nilai yang
    berlaku di masyarakat. Dalam konteks ini, konteks akuntabilitas publik dapat
    digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik itu
    konsisten dengan kehendak publik. Suatu kegiatan birokrasi publik memiliki
    akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan
    nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Akuntabilitas
    menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik tunduk pada
    para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya ialah bahwa para pejabat
    politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu
    meprioritaskan kepentingan publik.
    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan indikator kinerja menurut
    Pasolong (2010:178), yaitu : (1) spesifik dan jelas, (2) dapat menunjukkan
    pencapaian keluaran, hasil, manfaat dan dampak, (3) dapat terukur secara obyektif
    baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4) efektif yaitu dapat dikumpulkan, diolah
    dan di analisis datanya secara efisien dan efektif. (5) harus cukup fleksibel dan
    sensitif terhadap perubahan. Dan menurut Menurut Klimoski (1989) ada 6 indikator
    untuk mengukur kinerja adalam perusahaan atau organisasi : 1). Kualitas Pekerjaan,
    2). Kuantitas pekerjaan, 3). Sikap, 4). Kerja sama, 5). Komunikasi, 6). Kinerja
    keseluruhan

Arti Penting Kinerja

Setiap organisasi selalu berusaha agar produktivitas kerja karyawan dapat
ditingkatkan. Untuk itu pimpinan perlu mencari cara dan solusi guna menimbulkan
kinerja para karyawan. Hal itu penting, sebab kinerja mencerminkan kesenangan
yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan sehingga pekerjaan lebih cepat
dapat diselesaikan dan hasil yang lebih baik dapat dicapai.
Moekijat (2003) menyatakan bahwa kinerja menggambarkan perasaan
berhubungan dengan jiwa, semangat kelompok, kegembiraan, dan kegiatan. Apabila
pekerja tampak merasa senang, optimis mengenai kegiatan dan tugas, serta ramah
satu sama lain, maka karyawan itu dikatakan mempunyai semangat yang tinggi.
Sebaliknya, apabila karyawan tampak tidak puas, lekas marah, sering sakit, suka
membantah, gelisah, dan pesimis, maka reaksi ini dikatakan sebagai bukti semangat
yang rendah.
Menurut Gondokusumo (2005: 72), kinerja merupakan refleksi dari sikap pribadi
atau sikap kelompok terhadap kerja dan kerja sama. Kinerja berarti sikap individu dan
kelompok terhadap seluruh lingkungan kerja dan terhadap kerja sama dengan orang
lain untuk mencapai hasil yang maksimal sesuai dengan kepentingan perusahaan.
Kinerja adalah kesediaan perasaan yang memungkinkan seseorang bekerja untuk
menghasilkan kerja lebih banyak dan lebih baik. Dengan demikian, kinerja
menggambarkan perasaan senang individu atau kelompok yang mendalam dan puas
terhadap pekerjaan, kerja sama, dan lingkungan kerja serta mendorong mereka untuk
bekerja secara lebih baik dan produktif. 
Kinerja mempunyai peran yang penting bagi perusahaan karena (1) dengan
kinerja yang tinggi dari buruh dan karyawan maka pekerjaan yang diberikan atau
ditugaskan kepadanya akan dapat diselesaikan dengan waktu yang lebih singka atau
lebih cepat, (2) kinerja yang tinggi tentu dapat mengurangi angka absensi atau tidak
bekerja karena malas, (3) kinerja yang tinggi otomatis membuat karyawan akan
merasa senang bekerja sehingga kecil kemungkinan karyawan akan pindah bekerja ke
tempat lain, (4) kinerja yang tinggi dapat mengurangi angka kecelakaan karena
karyawan yang mempunyai kinerja tinggi cenderung bekerja dengan hati-hati dan
teliti sehingga bekerja sesuai dengan prosedur yang ada, (5) dengan kinerja yang
tinggi pihak organisasi memperoleh keuntungan dari sudut kecilnya angka kerusakan
karena semakin tidak puas dalam bekerja, semakin tidak bersemangat dalam bekerja,
maka semakin besar angka kerusakan,(Tohardi, 2002 : 44).

Kinerja Perusahaan


Secara umum kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dapat dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai
dengan tanggung jawab yang dibebankan atau diberikan kepadanya. Istilah kinerja
merupakan pengalih dari bahasa inggris yaitu performance. Bernadin dan Rusel
(1993:378) memberikan definisi performance sebagai catatan tentang hasil-hasil yang
diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu. Kinerja merupakan tingkat
pencapaian tujuan organisasi.
Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa kinerja adalah tingkat pelaksanaan
tugas yang dapat dicapai seseorang, unit atau divisi dengan menggunakan
kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan suatu organisasi atau perusahaan. Pengertian lain tentang performance adalah
sebagai hasil kerja atau prestasi kerja, namun kinerja mempunyai makna yang luas,
bukan hanya hasil kerja namun termasuk bagaimana proses pekerjaan
(Wibowo.2009)
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas
dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
organisasi tersebut (Bastian, 2001). Kinerja perusahaan dapat diukur dengan beberapa
dimensi yang berbeda-beda. Menurut Gomes (2000), kinerja merupakan catatan
terhadap hasil produksi dari sebuah pekerjaan tertentu atau aktifitas tertentu dalam
periode waktu tertentu. Marhiot (2002) berpendapat bahwa kinerja merupakan hasil
kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai
peranannya dalam organisasi. Kinerja juga berarti hasil yang dicapai seseorang baik
kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kemudian, Robbins (2006) mendefinisikan kinerja sebagai suatu hasil yang di capai
menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan. Mangkunegara
(2005:67) menyatakan kinerja merupakan hasil kerja baik secara kualitas maupun
kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melakukan tugas sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Rivai (2009:532) mengartikan kinerja
sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan suatu kegiatan,
dan menyempurnakannya sesuai tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang
diharapkan.
Kinerja perusahaan adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan
selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh
kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya-sumber daya
yang dimiliki. Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk
sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu
periode dengan referensi pada jumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang
diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggung jawaban atau akuntabilitas
manajemen dan semacamnya (Srimindarti,2004)

Indikator Perilaku Inovatif


De Jong dan Hartog (2008:6) mengatakan ada empat dimensi untuk
pengukuran perilaku inovatif di tempat kerja yaitu :
a. Opportunity exploration
Eksplorasi peluang termasuk adalah mencari cara untuk meningkatkan pelayanan
atau proses pengiriman saat ini atau mencoba untuk memikirkan proses kerja,
produk atau pelayanan dengan cara alternatif.
b. Idea generation
Idea generation merupakan elemen berikut dari perilaku Inovatif dan merupakan
tahap pertama dalam mengekploitasi peluang. Untuk dapat berinovasi, selain
mengetahui adanya peluang/kesempatan, kemampuan untuk membangun
cara-cara baru untuk memanfaatkan peluang itu juga penting. Idea generation
merujuk pada pembuatan konsep untuk tujuan peningkatan.
c. Championing
Championing aspek penting lainnya ketika suatu ide telah dihasilkan.
Kebanyakan ide-ide itu perlu dijual. Koalisi sering kali dibutuhkan untuk
menerapkan inovasi; ini adalah bagaimana mendapatkan kekuatan dengan
menjual ide ke rekan potensial.
d. Application
Selanjutnya ide yang telah didukung tersebut perlu diimplementasikan dan
dipraktekkan. Implementasi dapat berarti meningkatkan produk atau prosedur
78
yang telah ada, atau membangun yang baru. Usaha yang keras dan sikap yang
berorientasi hasil diperlukan dari karyawan untuk mewujudkan ide tersebut.
Perilaku dalam aplikasi berkaitan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh
individu untuk dapat menerapkan ide tersebut ke dalam praktek nyata.

Arti Penting Perilaku Inovatif


Perilaku kerja inovatif merupakan rangkaian kegiatan kerja yang secara
bertahap dilakukan oleh pekerja dalam mengembangkan dan meningkatkan perilaku
kerja yang efektif (De Jong & Hertog, 2010). Arti penting dar perilaku innovatif
karyawan sebagai berikut:
Pertama, mengetahui dan memahami lingkup pekerjaan dan potensi
permasalahan yang dihadapi dan yang mungkin akan terjadi.
Ke dua, memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kualitas kerja dan secara kreatif
mengupayakan tindakan solusi.
Ketiga, membangun kerjasama dan komitmen bersama untuk merealisasikan
usulan perbaikan inovatif dalam proses kerja kelompok.
Ke empat, mengaplikasikan usulan perbaikan dalam pekerjaan.
Tahapan perilaku tersebut adalah proses yang harus dilalui karyawan dalam
mengembangkan perilaku kerja inovatif (De jong & Hertog, 2010).

Perilaku Inovatif


Perilaku inovatif menurut Price (1997) pada dasarnya merupakan kemampuan
individu melakukan perubahan cara kerja dalam bentuk mengadopsi prosedur,
praktek dan teknik kerja yang baru dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaanya.
Gaynor (2002), mendefinisikan perilaku inovatif sebagai tindakan individu untuk
menciptakan dan mengadopsi ide-ide/ pemikiran atau cara-cara baru guna diterapkan
dalam pelaksanaan dan penyelesain pekerjaan. Menurut De Jong and Kemp (2003)
inovasi dapat diartikan sebagai semua tindakan individu yang diarahkan pada
kepentingan organisasi dimana didalamnya dilakukan introduksi dan aplikasi ide-ide
baru yang menguntungkan.
Perilaku inovatif bukanlah semata-mata dipengaruhi faktor bawaan atau internal.
Perilaku inovatif dalam bekerja sering muncul manakala seorang karyawan
menghadapi tantangan dalam pekerjaannya, mendapat kewenangan yang luas dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Secara umum, para ahli melihat perbedaan antara perilaku inovatif dan
kreativitas dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni tingkat kebaruan ide dan
tingkat interaksi sosial sebagai konsekuensi aplikasi ide di dalam pekerjaan. Dari segi
proses, kreativitas dipandang sebagai sebuah proses kognitif yang bersifat intra
personal, sedangkan inovasi lebih menekankan pada antar individu dalam kelompok
kerja, Allen (2009).
Setiap inovasi akan selalu diikuti dengan suatu perubahan, walaupun dalam
setiap perubahan tidak akan selalu diikuti dengan munculnya ide baru, yang secara
positif berpengaruh terhadap perubahan, perkembangan dan pertumbuhan suatu
organisasi. Ada persinggungan area antara inovasi, kreativitas, dan perubahan, namun
secara operasional mendifi nisikan ketiganya ada perbedaan yang nyata (West. 1996).
Kreativitas merupakan salah satu aspek gagasan dari inovasi, sedangkan inovasi
mencakup keduanya, yakni ide dan implementasi nyata dari ide yang diajukan (West
& Farr.1990). Meskipun inovasi tidak mengisyaratkan kebaruan absolut, namun bisa
dipandang sebagai sebuah inovasi jika perubahan yang terjadi dianggap sebagai suatu
hal yang baru oleh individu, kelompok atau organisasi. Bentuk Inovasi bisa
bervariasi, mulai dari inovasi yang bersifat minor hingga inovasi yang sifatnya sangat
penting. Inovasi bisa ditemukan mulai dari hanya dalam bentuk perubahan prosedur
administratif-pelayanan hingga inovasi yang terjadi karena adanya perubahan
teknologi.

Indikator Kepercayaan Organisasi


Menurut Omarov, (2009) mengatakan bahwa kepercayaan organisasi terdapat
3 aspek yaitu :

  1. Kepercayaan terhadap atasan
    Kepercayan terhadap atasan merupakan hubungan antara karyawan dengan atasannya
    atau pemimpinnya.
  2. Kepercayaan terhadap rekan kerja
    Kepercayaan terhadap rekan kerja merupakan hubungan sesama karyawan yang
    memiliki level yang sama
  3. Kepercayaan terhadap organisasi
    Kepercayaan terhadap organisasi merupakan hubungan karyawan dengan organisasi
    atau perusahaan di tempat merka bekerja.
    Johnson dan Johnson,( 2000) mengatakan bahwa kepercayaan (trust) terdapat 5
    (lima) aspek, sebagai berikut:
  4. Keterbukaan (Openness) Keterbukaan meliputi kesediaan individu untuk
    berbagi informasi, ide, pemikiran, perasaan, pendapat, dan reaksi terhadap hal
    yang sedang dialami.
  5. Berbagi (Sharing) Berbagi berarti kesediaan individu untuk membagikan
    kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya kepada orang lain untuk
    membantu pencapaian tujuan bersama.
  6. Penerimaan (Acceptance) Penerimaan berarti melakukan komunikasi dengan
    orang lain dan menghargai pendapat orang lain tersebut tentang suatu hal yang
    sedang dibicarakan.
  7. Dukungan (Support) Dukungan meliputi komunikasi yang dilakukan individu
    dengan orang lain sehingga orang lain mengenal kelebihannya dan percaya
    bahwa orang lain tersebut mampu mengatur secara produktif situasi di mana
    mereka berada.
  8. Bekerjasama (Cooperative Intentions) Bekerja sama meliputi harapan
    individu untuk bisa bersikap kooperatif dan bahwa orang lain
    juga akan bersikap kooperatif untuk mencapai tujuan bersama.

Kepercayaan Organisasi


Kepercayaan dalam perusahaan adalah kerelaan organisasi, berdasarkan pada
budaya dan perilaku berkomunikasi dalam suatu hubungan, untuk menjadi organisasi
yang mempunyai keyakinan bahwa mereka kompeten, jujur dan terbuka, peduli,
reliabel, dan teridentifikasi dengan tujuan, nilai dan norma Zalabak (2000).
Janasz (2012) mengatakan bahwa kepercayaan organisasi merupakan sebuah
fondasi penting dalam lingkungan kerja yang sehat. Tanpa adanya kepercayaan
organisasi, karyawan akan berfokus pada self protection yang akan melemahkan
keinginan untuk menjadi kooperatif dan kolaboratif, merusak motivasi, dan
menggagalkan produktivitas dan inovasi dalam bekerja

Jenis Kepercayaan


Menurut Robbins (2001) dan Judge terdapat tiga jenis kepercayaan, yaitu:

  1. Kepercayaan berbasis pencegahan Kepercayaan yang didasarkan pada
    kekhawatiran akan terjadinya pembalasan dendam jika kepercayaan itu
    dikhianati/diingkari.
  2. Kepercayaan berbasis identifikasi Kepercayaan berdasarkan pemahaman atas niat
    orang lain dan menghargai keinginan pihak lain. Kepercayaan ini juga merupakan
    jenis kepercayaan yang idealnya mesti dicapai oleh manajer dalam tim.
  3. Kepercayaan berbasis pengetahuan Kepercayaan didasarkan pada kemampuan
    memprediksi perilaku yang bersumber dari pengalaman interaksi. Kepercayaan ini
    terbentuk jika anda memiliki informasi yang memadai mengenai seseorang sehingga
    anda mengenal mereka dengan cukup baik dan dapat memperkirakan perilaku mereka
    dengan tepat

Arti Penting Kepercayaan


Kepercayaan di dalam perusahaan dapat mempengaruhi anggotanya dalam
perilaku di perusahaan tersebut seperti dalam mengambil keputusan dan keaktifan
dalam bekerja. Kepercayaan di dalam perusahan membuat identitas, keterlibatan dan
loyalitas karyawan semakin membaik. Dengan meningkatnya kepercayaan di dalam
perusahaan akan meningkatkan komitmen karyawan tersebut. (Brockner 1997).
Kepercayaan merupakan hal penting dalam jaringan pertukaran antara
perusahaan dengan perusahaan yang bekerjasama (Morgant. 1994). Secara
psikologi kepercayaan merupakan suatu kemauan dan keyakinan atau dapat
juga disebut sebagai kecenderungan perilaku Moorman, Zaltman & Deshpande,
(Ballester 2003) kecenderungan perilaku ini lah yang memberikan stimulus melalui
strategi yang ditampilkan oleh pemimpin ataupun pihak organisasi perusahaan, hal ini
menunjukan bahwa perilaku karyawan akan dipengaruhi oleh perilaku pemimpinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks perusahaan atau organisasi,
kepercayaan merupakan hal yang kritis di dalam komunikasi yang efektif, dan kerja
sama tim yang sukses pada suatu perusahaan. Sama pentingnya dengan kepercayaan
antara para pemimpin dan bawahannya, dan dapat mengurangi resiko, dan
meningkatkan komitmenpada perusahaan serta meningkatkan produktivitas
(Pucetaite,2016).
Menurut Galois (2010) mengatakan bahwa kepercayaan merupakan sebuah
konsep kepercayaan dalam perusahaan berdasarkan komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang meliputi:
1) Kepercayaan bahwa pihak lain dapat diandalkan, berdasarkan kompetensi,
pengalaman sebelumnya, dan informasi yang dimiliki.
2) Antisipasi terhadap reaksi atau perilaku dari individu-individu di dalam situasi
yang berbeda-beda, seperti kemungkinan masa depan yang dipercaya dapat
dilakukan.
3) kebajikan dari pihak lain selama hubungan pertukaran, yang terinspirasi dari
nilai-nilai moral seperti kejujuran dan integritas.
Kepercayaan memungkinkan karyawan untuk bisa mempercayai
pernyataan-pernyataan dan janji-janji dari organisasi Galois (2010). Serta
kepercayaan berdampak yang menjamin respek yang bertahan lama dari komitmen
bersama yang saling menguntungkan antara entitas-entitas yang terlibat di dalamnya.
(Poerwanto)

Pengertian Kepercayaan


Kepercayaan merupakan kunci utama untuk mewujudkan suatu hubungan yang
sehat atau baik. Kepercayaan dianggap suatu aksi, perilaku atau orientasi, suatu
hubungan. Kepercayaan telah digambarkan sebagai suatu tindakan kognitif (misalnya
bentuk pendapat atau prediksi bahwa sesuatu akan terjadi atau orang akan berperilaku
dalam cara tertentu), afektif (misalnya masalah perasaan) atau konatif (misalnya
masalah pilihan atau keinginan). kepercayaan merupakan elemen dasar bagi
terciptanya suatu hubungan yang baik. (Hanks. 2002)
Kepercayaan sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas
orang lain. Pondasi kepercayaan meliputi saling menghargai satu sama lainnya dan
menerima adanya perbedaan dan menerima adanya perbedaan. (King. 2002). Individu
yang memiliki kepercayaan tinggi cenderung lebih disukai, lebih bahagia, dianggap
sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki kepercayaan
rendah. (Marriages.2001).
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana
ia memiliki keyakinan padanya. Kepercayaan merupakan kondisi mental yang
didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil
suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari
orang-orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang ia kurang percayai
(Barners.2003). Kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian
untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari
orang lain. Kepercayaan sebagai penilaian hubungan seseorang dengan orang lain
yang akan melakukan transaksi tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah
lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian. (Pavlou. 2002). kepercayaan terjadi
ketika seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang yang dipercaya.
Kepercayaan didefinisikan sebagai dimensi dari sebuah hubungan yang menentukan
suatu tingkat dimana sebuah pihak merasa dapat mempercayai integritas dari janji
yang ditawarkan oleh pihak yang lainnya.
Trust akan ada dalam suatu perusahaan atau organisasi jika ditanamkam pada
masing-masing bawahannya. Supaya keyakinan dan harapan terhadap reliabilitas
perusahaan kepada karyawan. Trust yang dibentuk karyawan adalah rasa untuk saling
menghargai dengan karyawan yang ada pada perusahaan, dapat mengerti adanya
perbedaan di lingkungan perusahaan yang ada pada anggota organisasi atau pada
perusahaan. Dapat menerima adanya perbedaan dan menghargai satu sama lain 
membutuhkan menerimaan dan dukungan antar pribadi. Keuntungan dan kerugian
tersebut adalah tergantung pada orang yang dipercaya dan ada kemungkinan bahwa
kerugian yang diperoleh lebih besar dari pada keuntungan, dan sebaliknya ada juga
kemungkinan bahwa keuntungan yang diperoleh lebih besar dari pada kerugian.
(Johnson dan Johnson, 2000) berpendapat bahwa kepercayaan (trust) adalah
adanya rasa yakin bahwa karyawan lain dapat memberikan keuntungan dan terwujud
dengan adanya sifat keterbukaan, berbagi, mendukung, menerima dan kerja sama
dengan anggota kelompok. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di
atas ditarik kesimpulan bahwa definisi trust adalah suatu elemen dasar bagi
terciptanya suatu hubungan baik antara kedua belah pihak yang berisi tentang harapan
dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas seseorang

Indikator Kepemimpinan Otentik


Walumbwa (2008) membuat konsep kepemimpinan otentik sebagai pola perilaku
pemimpin yang berkembang dari dan didasarkan pada karakter psikologis positif
pemimpin dan etika yang kuat. Variabel kepemimpinan diukur dengan menggunakan
4 (empat) indikator :

  1. Kewaspadaan diri (Self-awarenes), merupakan sebuah proses dimana pemimpin
    mengetahui diri mereka sendiri, kekuatan, dan kelemahan, pengaruh dirinya terhadap
    orang lain. Komponen ini mencerminkan nilai, identitas, emosi, motivasi, dan tujuan,
    serta mengetahui dan menyadari akan perasaanya sendiri.
  2. Pengelolaan berimbang (Balanced-Processing) merupakan cara menganalisa
    semua informasi yang relevan secara objektif sebelum membuat keputusan.
    Menganalisa fakta, data, baik eksternal dan self-refential. Hal ini menunjukan bahwa
    pemimpin tidak melebih lebihkan atau mengabaikan informasi, serta secara objektif
    menganalisa data penting sebelum membuat keputusan. Hal tersebut memungkinkan
    pemimpin untuk menghindari bias. Komponen ini dipandang otentik karena
    pemimpin terbuka mengenai prespektif dan juga objektif dalam mempertimbangkan
    prespektif orang lain.
  3. Transparasi hubungan (Relational transparency), merupakan pembagian secara
    terbuka mengenai pemikiran pemimpin, dan perasaan pemimpin pada karyawannya.
    Menjaga hubungan pemimpin dengan karyawan dengan berdasarkan ketulusan dan
    kejujuran. Transparasi hubungan terjadi apabila pemimpin membagikan perasaan,
    motivasi, dan keinginan hatinya dengan orang lain dengan cara yang tepat. Hal
    tersebut termasuk dengan menunjukan sisi positif dan negatif dari pimpinan sendiri
    kepada karyawannya. Inti dari komponen ini adalah komunikasi yang terbuka dan
    nyata dala sebuah hubungan.
  4. Prespekif moral yang terinternalisasi (internalized-moral prespectif), merupakan
    hal mengacu kepada self-regulation (pengaturan diri sendiri) yang dipandu oleh
    standar internal moral, etika dan nilai-nilai dalam menghadapi tekanan dari grup,
    sosial, atau organisasi. Hal tersebut menghasilkan perilaku yang etis dan transparan.
    Komponen ini dipandang otentik karena aksi pemimpin konsisten sesuai dengan
    moral dan keyakinan yang dimiliki.

Kepemimpinan Otentik


Kepemimpinan otentik merupakan seorang pemimpin yang mempunyai
harapan, optimisme, kepercayaan diri, ketahanan dan efisiensi. seorang pemimpin
yang mengadaptasi kepemimpinan otentik mempunyai nilai dan prespektif moral
yang jelas, mempunyai pandangan yang positif kedepan dan menempatkan karyawan
untuk dapat menjadi pemimpin dikepentingan yang tinggi (Avolio.2012). Seorang
pemimpin menyadari bagaimana mereka berpikir dan bertindak di dalam perusahaan
dengan baik dan benar untuk dirinya dan mereka menyadari bagaimana mereka
dinilai orang lain. (Avolio.2004)
Kepemimpinan otentik mampu meningkatkan engagement dan kepuasan
bawahan serta memperkuat identitas yang dimiliki oleh bawahan secara positif
terhadap organisasi. (Avolio.2004), Menurut walumbwa (2008) mengatakan bahwa
kepemimpinan otentik sebagai pola perilaku pemimpin yang mempromosikan baik
kapasitas psikologis yang positif dan iklim etika yang positif, untuk mendorong
kesadaran diri yang besar, prespektif moral yang diinternalisasi, pengolahan
informasi berimbang, dan transparasi relasional pada bagian dari pemimpin dalam
bekerja dengan pengikut, mendorong pengembangan diri.
Pemimpin otentik digambarkan oleh chan (2005), sebagai seorang pemimpin
yang mempunyai kapasitas dalam memproses informasi mengenai diri mereka sendiri
secara efektif, memiliki identitas yang jelas, mampu menyesuaikan perilaku yang
sesuai dengan identitas diri mereka dalam menjalankan kepemimpinan dan mampu
menyelaraskan preferensi yang mereka miliki terhadap tuntutan dari masyarakat.
Kepemimpin yang otentik adalah menyampaikan kepemimpinan yang asli,
memimpin dengan autentisitas hati, dan asli, bukan palsu. Prespektif ini berfokus
pada pengalaman hidup pemimpin dan makna dari pengalaman tersebut, sebagai hal
penting untuk mengembangkan sifat kepemimpin yang otentik.(Shamir.2005).
Menurut Eagly (2005) mengenai kepemimpinan otentik menurut proses antar
pribadi. Prespektif ini menjelaskan kepemimpinan otentik merupakan sesuatu yang
bersifat antar pribadi, diciptakan oleh pemimpin dan bawahannya. Hal itu adalah
proses timbal balik karena pemimpin mempengaruhi pengikut dan pengikut
mempengaruhi pemimpin.
Avolio (2006) tentang kepemimpinan otentik menurut prespektif perkembangan.
Prespektif ini melihat kepemimpinan otentik sebagai sesuatu yang bisa didorong
dalam diri pemimpin, bukan seperti sifat yang pasti. Kepemimpinan otentik
berkembang di dalam diri manusia selama hidupnya dan bisa dipacu oleh peristiwa
besar dalam hidupnya.

Arti Penting Kepemimpinan


Kepemimpinan sangat diperlukan dalam sutau organisasi untuk menentukan
kemajuan atau kemunduran dalam suatu organisasi, serta tidak ada organisasi yang
dapat maju tanpa kepemiminan yang baik Mas’ud (2004). Tanpa kepemimpinan
organisasi hanyalah merupakan kumpulan orang-orang yang tidak teratur dan kacau
balau. Kepemimpinan akan merubah sesuatu yang potensial menjadi kenyataan.
Dengan demikian, keberadaan kepemimpinan dalam organisasi adalah sangat penting
dalam mencapai tujuan dan kemajuan organisasi. Kepemimpinan merupakan proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisai, memotivasi perilaku pengikut
untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki budaya pengikut, dan
proses mengarahkan kedalam aktivitas aktivitas yang positif yang ada hubungannya
dengan pekerjaan dalam organisasi. Menurut mereka kepemimpinan pada perusahaan
dapat mempengaruhi bawahannya lebih bersifat formal, yaitu berdasarkan posisi yang
dimiliki pemimpin dalam organisasi. Dengan demikian pemimpin dalam suatu
perusahaan sangat ditentukan oleh statusnya, yakni sebagai pemimpin formal.
Pemimpin formal sendiri adalah seseorang yang ditunjuk sebagai pimpinan, melalui
pengankatan resmi dan keputusan untuk memangku jabatan dalam struktur yang
ada pada perusahaan, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat berkaitan
dengan posisinya.

Pengertian Kepemimpinan


Pemimpin (Leader) dan kepemimpinan (ladership) adalah dua konsep yang
berbeda. Pemimpin adalah individu yang mampu mempengaruhi anggota kelompok
atau organisasi guna untuk mendorong kelompok atau organisasi tersebut dalam
mencapai tujuan-tujuannya. Sementara kepemimpinan adalah sifat penerapan
pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap anggota lainnya
untuk mendorong kelompok atau organisasi dalam mencapai tujuannya.(Lussier,
2010).
Menurut Bateman (2009) pemimpin merupakan orang yang mampu
mempengaruhi dalam upaya pencapaian sasaran atau tujuan. Kepemimpinan dalam
islam dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang mempraktikkan nilai-nilai ajaran
islam, terlepas apakah seorang pemimpin tersebut muslim atau bukan muslim.
Zainuddin (2015).
Kepemimpinan didefinisikan beragam oleh para ahli namun secara umum
kepemimpinan menggambarkan hubungan antara pimpinan (leader) dengan yang
dipimpin (locander, 2002). Dubrin (2005) mengungkapkan bahwa kepemimpinan itu
adalah upaya mempengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai
tujuan, cara mempengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah.
Kepemimpinan sebagai suatu pengaruh, seni atau proses mempengaruhi
orang-orang agar mereka secara sukarela dan bersemangat dalam berusaha mencapai
tujuan di dalam suatu organisasi. Siagan (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain (para bawahannya)
sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin
meskipun secara pribadi hal itu tidak disenanginya.