Pengaruh Kepercayaan Organisasi Berpengaruh Terhadap KinerjaMelalui Perilaku Inovatif


Ketika seseorang mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan
berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang ia
kurang percayai (Barners.2003). karyawan yang sudah percaya pada organisasi akan
berpengaruh terhadap perilaku innovatif karyawan yang berdampak pada kinerja
perusahaan.
Hal ini didukung oleh penelitian David (2013) yang menunjukan bahwa
kepercayaan pada organisasi, perilaku innovatif dan selanjutnya berpengaruh pada
kinerja organisasi atau perusahaan. Alahakone (2016) mengatakan dalam
penelitiannya bahwa karyawan yang semakin percaya dengan perusahaannya maka
akan semakin terlibat dalam pekerjaan dan semakin berperilaku inovatif yang
berdampak pada peningkatan kinerja dalam perusahaan atau organisasi tersebut.
Penelitian lain dilakukan oleh Ansar (2017) menyatakan bahwa kepercayan
organisasi dan perilaku innovatif berpengaruh positif dan sehingga mempengaruhi
kinerja pada perusahaan dan juga penelitian yang dilakukan Hughes (2018) Innovtive
Behaviour, trsut, and preceived workplace performance Hasil penelitian
menunjuakan bahwa kepercayaan organisasi pada suatu organisasi atau perusahaan
dan inovatif pada karyawan akan berpengaruh terhadap kinerja.

Pengaruh Kepemimpinan Otentik Berpengaruh Terhadap Kinerja MelaluiPerilaku Inovatif


Para pemimpin menyadari bagaimana mereka berpikir dan bertindak inovatif
dengan baik dan benar untuk diri mereka sendiri untuk meningkatkan kinerja dalam
organisasinya.
Hal ini di dukung oleh penelitian Kyoung (2014) menemukan dalam penelitian
yang dilakukannya di korea dan hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh
kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap perilaku karyawan, perilaku inovatif dan
kinerja pada perusahaan tersebut.
Penelitian lain dilakukan oleh Ansar (2017) menyatakan bahwa kepemimpinan
dan perilaku inovatif berpengaruh positif dan sehingga mempengaruhi kinerja pada
perusahaan. Penelitian ini dilakukan di kantor layanan bea dan cukai priok
menggunakan jumlah sampel 78 petugas fungsional di PT Inspektur Bea dan Cukai.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan analisis data
menggunakan analisis jalur. Smith (2009) mengatakan bahwa dalam perusahaan
untuk meningkatkan kinerja maka diperlukan kepemimpinan otentik dan perilaku
inovatif pada karyawan penelitian tersebut dianalisi menggunakan analisis SEM
bahwa kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap kinerja melalui perilaku inovatif.
Menurut penelitian yang dilakukan Tiqwani (2014) menghasilkan bahwa
kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja melalui inovatif, penelitian tersebut
dilakukan dengan cara wawancara dan kuisoner pada 37 staff yang kemudian di
analisis menggunakan SPSS. Penelitian lain menurut Chairany (2011) mengatakan
bahwa kinerja pada suatu perusahaan dipengaruhi oleh kepemimpinan melalui
perilaku inovatif pada karyawan di perusahaan tersebut, kepemimpinan dan perilaku
inovatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.Penelitian ini dilakukan
pada perusahaan manufaktur di makasar.

Pengaruh Perilaku Inovatif Terhadap Kinerja


De Jong (2003) mengatakan dalam penelitiannya inovasi dapat diartikan sebagai
semua tindakan individu yang diarahkan pada kepentingan organisasi dimana
didalamnya dilakukan introduksi dan aplikasi ide-ide baru yang menguntungkan dan
meningkatkan kinerja perusahaan.
Dorner, (2012) mengatakan hal yang sama dalam hasil penelitiannya menunjukan
bahwa perilaku innovatif sebagai variabel intervaining berpengaruh positif terhadap
kinerja.
Omri (2015) menemukan hasil yang sama dalam penelitiannya bahwa ada
pengaruh antar perilaku inovatif di dalam perusahaan atau organisasi dengan kinerja
perusahaan tersebut.
Susanto (2013) mengatakan bahwa hasil penelitiannya bahwa pemikiran kreatif
dan perilaku innovatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
perusahaan. Koo (2017) mengatakan bahwa perilaku inovatif berpengaruh terhadap
kinerja dalam suatu perusahaan, penelitian tersebut dilakukan di hotel di korea bahwa
dengan adanya keterlibatan kerja akan bepengaruh terhadap perlikau inovatif dan
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan tersebut.[

Pengaruh Kepercayaan Organisasi Terhadap Kinerja


Kepercayaan organisasi merupakan hal penting perusahaan, dengan adanya rasa
percaya terhadap organisasi nya maka dapat meningkatkan kinerja karyawan didalam
perusahaan.
Hal ini didukung oleh Dalam penelitian Battiston (2006) dalam penelitiannya
menenemukan bahwa dengan model sistem rekomendasi terdistribusi otomatis pada
jejaring sosial dan menyelidiki bagaimana dinamika kepercayaan di antaranya agen
mempengaruhi kinerja sistem. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
kepercayaan dapat meningkatkan kinerja.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Guinot (2014) menemukan bahwa untuk
melihat secara mendalam hubungan di antara keduanya kepercayaan dan kinerja
organisasi, menggunakan kemampuan pembelajaran organisasi sebagai variabel
intervaining. Penelitian ini menghasilkan adanya hubungan yang positif dan
signifikan kepercayaan dan kinerja organisasi ditunjukkan dalam model efek
langsung menjadi tidak signifikan dalam model mediasi.

Pengaruh Kepercayaan Organisasi Terhadap Perliaku Inovatif


Kepercayaan terhadap organisasi atau perusahaan merupakan hal penting dan
harus dimiliki oleh karyawan supaya karyawan dapat bekerja lebih baik dan dapat
memaksimalkan kreatifitas atau perilaku inovatif karyawan. Ada beberapa penelitian
yang mengatakan hal yang sama bahwa kepercayaan organisasi berpengaruh terhadap
perilaku inovatif. Lee (2008) menenmukan dalam penelitian yang dilakukan pada
perusahaan korea menunjukan bahwa hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa
kepercayaan organisasi akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
inovatif pada karyawan dalam perusahaan tersebut.
Hughes (2018) mengatakan dalam penelitiannya juga menemukan hal yang sama
bahwa kepercayaan organisasi berpengaruh terhadap perilaku inovatif sehingga
karyawan yang memilki kepercayaan terhadap perusahaannya akan semakin
berperilaku inovatif didalam bekerja. Spreitzea (2009) mengatakan dalam penelitian
nya dimana kepercyaan organisasi berpengaruh terhadap perilaku inovatif dan juga
konektivitas atau hubungan pada masing-masing karyawan semakin membaik,
sehingga karyawan semakin percaya dengan perusahaan nya maka akan semakin
berperilaku inovatif dalam perusahaan tempat dia bekerja.
Khalid (2018) mengatakan dalam penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa
kepercayaan organisasi akan meningkatkan perilaku inovatif pada karyawan dan juga
meningkatkan keterikatan kerja, selain itu ada penelitian Kim (2015) yang
mengatakan hal yang sama bahwa kepercayaan organisasi dapat meningkatkan
perilaku inovatif dan meningkatkan knowledge sharing sehingga karyawan semakin
baik dalam meningkatkan kreatifitas dalam bekerja.

Pengaruh Kepemimpinan Otentik Terhadap Kinerja


Perlunya kepemimpinan otentik didalam perusahaan atau organisasi untuk
meningkatkan kinerja didalam perusahaan. Hal ini didukung oleh penelitian
Destriandi (2016) melakukan penelitian tentang kepemimpinan otentik terhadap
kinerja perusahaan, dalam penelitian tersebut data responden dianalisis untuk menguji
apakah kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Penelitian
tersebut merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuisoner yang
disebarkan untuk Dinas kelautan dan Perikanan. Hasil analisis menunjukan bahwa
kepemimpinan otentik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja
perusahaan.
Ribeiro (2017) Mengatakan dalam penelitiannya bahwa komitmen afektif
memediasi hubungan antara AL dan kinerja karyawan. Dengan kata lain, keaslian
pemimpin mempromosikan komitmen afektif karyawan yang, pada gilirannya,
meningkatkan individu mereka kinerja.
Smith, (2009) juga mengatakan dalam penelitiannya bahwa Kepemimpinan
otentik mempunyai hubungan yang signifikan dan positif terhadap performance
dengan trust management sebagai variabel mediasi. Khan (2010) mengatakan bahwa
kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui perilaku
inovatif.

Dimensi Iklim Inovatif


Berdasarkan pendekatan cognitive scheme dan shared
perception, West mengembangkan four-factor model untuk
mengukur iklim inovasi kelompok. Berikut ini merupakan
penjelasan mengenai dimensi-dimensi iklim inovatif (Anderson &
West, 1998).
1) Vision.
Visi didefinisikan sebagai ungkapan mengenai hasil yang
dihargai yang mewakili tatanan yang paling tinggi serta
memotivasi kekuatan di tempat kerja. Kelompok kerja dengan
tujuan yang jelas cenderung lebih efektif dan mampu
mengembangkan metode kerja sesuai tujuan tertentu karena
usaha mereka memiliki fokus dan arahan.
2) Participative safety.
Participative safety menyiratkan bahwa seorang anggota
merasakan atmosfer interpersonal yang tidak mengancam.
Ketika iklim memiliki dukungan sosio-emosional yang kuat,
maka anggota akan termotivasi untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan karena merasa lingkungannya tidak
mengancam secara interpersonal. Dimensi ini menekankan
bahwa anggota harus merasa aman secara psikologis, sehingga
tidak akan ada hukuman bagi anggota karena menjalankan
gagasan baru atau melanggar status quo.
3) Task oriented.
Merupakan bentuk perhatian antaranggota kelompok
mengenai keunggulan kinerja yang ditandai dengan akuntabilitas
individu dan tim, modifikasi kinerja, sistem kontrol untuk
mengevaluasi, saran antartim, umpan balik dan kerja sama,
pemantauan bersama, penilaian positif-kritis pada kinerja dan
gagasan, serta kriteria hasil yang jelas. Di iklim yang sangat
inovatif, standar kinerja yang tinggi didorong dan beragam
pendekatan untuk mencapai keunggulan dapat ditolerir. Dengan
kata lain, maksimisasi kualitas kinerja menjadi perhatian penting
melalui evaluasi dan perbaikan-perbaikan secara proaktif,
sehingga kelompok senantiasa memberikan kualitas kinerja
terbaik. Faktor ini menggambarkan komitmen umum terhadap
keunggulan kinerja serta iklim yang mendukung penerapan
perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan metode yang ada.
4) Support for innovation.
Dimensi terakhir berkaitan dengan persetujuan dan
dukungan praktis terhadap upaya untuk mengenalkan cara baru
yang lebih baik dalam melakukan sesuatu. Dalam banyak kasus,
dukungan dilakukan secara artikulatif namun seringkali tidak
terbukti pada ketersediaan waktu dan anggaran. Karena itu,
West membedakan antara dukungan ‘yang diartikulasikan’ dan
‘yang diberlakukan’ untuk inovasi, dimana keduanya diperlukan
dalam upaya mengenalkan keinovasian. Dukungan yang
diartikulasikan, secara implisit, dapat ditemukan dalam
dokumen personalia, pernyataan kebijakan, atau disampaikan
secara verbal. Dukungan yang diberlakukan dapat dijumpai pada
dukungan aktif yang diberikan, misalnya sumber daya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Iklim Inovatif


Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Jing & Zhou
(2010), mereka membagi faktor-faktor yang mempengaruhi iklim
inovatif menjadi tiga aspek, yaitu;
1) Faktor pada level organisasi, diantaranya; strategi organisasi,
struktur organisasi, budaya organisasi, dan mekanisme insentif.
2) Faktor pada level kelompok, meliputi; gaya kepemimpinan,
hubungan anggota, dan struktur kelompok.
3) Faktor pada level kerja, yaitu; suplai sumber daya, karakteristik
pekerjaan, dan praktik manajemen.

Definisi Iklim Inovatif


Psikolog terapan memahami iklim melalui pendekatan cognitive
scheme sedangkan sosiolog organisasi memahaminya melalui
pendekatan shared perception. Dua pendekatan ini mengakibatkan
perbedaan dalam mengonseptualisasikan iklim organisasi. Dari
perspektif cognitive scheme, iklim organisasi didefinisikan sebagai
representasi konstruktif individu atau skema kognitif pada
pengaturan organisasi mereka, yang mencerminkan representasi
psikologis terhadap lingkungan/situasi kerja di sekitarnya (Scott &
Bruce, 1994). Sedangkan pendekatan shared perception,
mendefinisikan iklim organisasi sebagai persepsi bersama anggota
mengenai praktik, prosedur, dan jenis perilaku yang dihargai dan
didukung dalam situasi tertentu (Schneider et al., 1998 dalam Van
der Vegt et al., 2005).
Menanggapi perbedaan itu, Isaksen (2007) berpendapat bahwa
kedua pendekatan tersebut pada prinsipnya kompatibel satu sama
lain dan karenanya tidak saling eksklusif. Menurutnya, iklim
memberi pengaruh pada proses organisasional dan psikologis,
sehingga berpengaruh pula pada kinerja individu dan organisasi pada
tahap selanjutnya. Iklim dalam organisasi, dialami dan dipahami
oleh anggota secara seragam, sehingga berdampak pada karakteristik
tertentu.
Dalam upaya memahami iklim inovatif, banyak hal telah
dilakukan oleh para ahli untuk mendekonstruksi konsep iklim
organisasi ke dalam dimensi-dimensi penyusun/subdomainnya.
Berdasarkan pada pendapat Reichers & Schneider (1983 dalam
Anderson & West, 1998), secara spesifik, iklim organisasi yang
relevan dalam konteks inovasi adalah iklim inovatif. Iklim inovatif
menggambarkan sejauh mana perusahaan mendukung perilaku
inovatif serta menghasilkan ide-ide baru (Kanter, 1983 dalam
Kanter, 1988).

Karakteristik Kepemimpinan Transaksional


Menurut Bass (dalam Yukl, 2010) hubungan pemimpin
transaksional dengan bawahan, dicerminkan oleh 3 (tiga) hal, yakni:
1) Pemimpin mengetahui keinginan bawahan dan menjelaskan apa
yang akan mereka dapatkan apabila kinerjanya sesuai harapan.
2) Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh bawahan
dengan imbalan.
3) Pemimpin responsif pada kepentingan bawahan selama hal itu
sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukannya.

Karakteristik Kepemimpinan Transformasional


Tichy & Devanna (1986 dalam Luthans, 2006) mengemukakan
beberapa karakteristik dari pemimpin transformasional, antara lain:
1) Mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan.
2) Mendorong keberanian dan pengambilan risiko.
3) Percaya pada orang lain.
4) Mereka dilandasi oleh nilai-nilai.
5) Seorang pembelajar sepanjang hidup.
6) Memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas,
ambiguitas, dan ketidakpastian.
7) Seorang atasan yang visioner.

Unsur-unsur Kepemimpinan Transformasional


Beberapa unsur kepemimpinan transformasional (Iensufiie,
2010), diantaranya:
1) Pemimpin, diantaranya pemimpin memiliki kharisma di mata
pengikut, memiliki visi atau idealisme yang sesuai harapan
pengikut, mampu memberikan pengaruh kepada pengikut.
2) Pengikut, yaitu pengikut memiliki inspirasi dari dalam dirinya
dan memandang pemimpin mampu membawanya mewujudkan
inspirasi tersebut serta pengikut memiliki motivasi dimana
pemimpin mengarahkannya menjadi tujuan bersama.
3) Kerja sama, dimana pemimpin mampu merangsang atau memicu
kreativitas intelektual dari para pengikut.
4) Keputusan, di dalam kerja sama transformasional, pengikut
bebas mengambil keputusan dan bukan karena ada tekanan.

Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan


Kepemimpinan secara konseptual senantiasa mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu seiring riset-riset yang dilakukan
dalam berbagai konteks dan dasar teoritis. Meski demikian, secara
prinsip para ahli setuju bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya untuk
mencapai tujuan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bryman
(1992), elemen dasar dari kepemimpinan adalah “kelompok”,
“pengaruh” dan “tujuan”. Sehingga kepemimpinan merupakan
proses mempengaruhi orang lain untuk membimbing, mengarahkan
serta mengontrol aktivitas dan hubungan dalam kelompok untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Ahmadi (2007) menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam kepemimpinan, diantaranya; (1)
unsur manusia sebagai pemimpin ataupun yang dipimpin, bagaimana
hubungan mereka dalam situasi kepemimpinan, sifat-sifat seorang
pemimpin dan syarat-syarat kepemimpinan, serta bagaimana
seharusnya memperlakukan manusia; (2) unsur sarana sebagai segala
macam prinsip dan teknik kepemimpinan yang digunakan, termasuk
pengetahuan dan pengalaman individu maupun kelompok; dan (3)
unsur tujuan sebagai arah akhir atau sasaran suatu kelompok akan
digerakkan.
Teori perilaku kepemimpinan membagi dua kategori
kepemimpinan, yaitu kepemimpinan orientasi tugas (struktur) dan
orientasi hubungan (konsiderasi). Pemimpin orientasi tugas dicirikan
melalui banyaknya penjelasan, membuat anggota mengerti apa yang
diharapkan organisasi, merancang tugas-tugas secara detail, meminta
anggota menaati aturan, dan sebagainya. Ciri-ciri pemimpin yang
berorientasi hubungan antara lain melakukan pendekatan terhadap
anggota organisasi, membuat anggota lebih mudah memahami serta
menerima ide dan saran. Orientasi tugas dan orientasi hubungan
merupakan dimensi pokok dalam gaya kepemimpinan (Alwi, 2008).
Gaya kepemimpinan merupakan pendekatan perilaku pemimpin
dalam proses kepemimpinannya berdasarkan situasi-situasi tertentu.
Nawawi (2003) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai
perilaku atau cara yang dipilih dan dipergunakan pemimpin dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota
organisasi. Menurut Carver & Sergiovani (dalam Alwi, 2008) gaya
kepemimpinan yang baik adalah gaya kepemimpinan yang tinggi
orientasi tugas dan tinggi orientasi hubungan manusia. Ungkap
Handoko (1999), pemimpin yang berorientasi tugas akan lebih
memperhatikan pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan
pertumbuhan bawahan, sedangkan pemimpin berorientasi karyawan
mencoba untuk lebih memotivasi dibanding hanya mengawasi
karyawannya.

Dimensi Perilaku Kerja Inovatif


Berdasarkan sumber studi dari Kanter serta Scot & Bruce, De
Jong & Den Hartog (2008) menyebutkan terdapat 4 (empat) dimensi
perilaku kerja inovatif, yaitu:
1) Opportunity exploration.
Pada permulaan, seorang individu akan mampu menemukan
masalah ataupun peluang. Identifikasi masalah dapat dilakukan
pada pola kerja yang telah berlangsung, kebutuhan konsumen
yang belum terpenuhi, maupun indikasi kecenderungan yang
sedang berubah. Penemuan peluang dapat berupa
pengembangan atau alternatif produk dan jasa lain. Eksplorasi
peluang mencakup perilaku seperti mencari cara memperbaiki
ataupun memikirkan alternatif produk, jasa atau proses saat ini
(Farr & Ford, 1990 dalam De Jong & Den Hartog, 2008).
2) Idea generation.
Ide akan muncul berdasarkan eksplorasi pada tahap
permulaan yang kemudian konsepnya dikombinasikan dan
direorganisasikan dengan yang telah ada. Ide tersebut
selanjutnya dipakai untuk memecahkan masalah dan/atau
meningkatkan kinerja. Pemunculan ide mengacu pada konsep
pengembangan untuk tujuan perbaikan terkait dengan produk,
jasa atau proses baru, masuknya pasar baru, proses kerja, atau
secara umum, solusi untuk masalah yang teridentifikasi (Kanter,
1988; Van de Ven, 1986; Amabile, 1988).
3) Idea championing.
Kleysen & Street (2001) menerangkan championing sebagai
perilaku seseorang yang mengupayakan realisasi gagasan
kreatifnya. Selain mengupayakan dukungan, seorang inovator
juga harus percaya bahwa ide tersebut akan berhasil. Upaya
tersebut dapat dilakukan dengan cara membujuk,
mempengaruhi, menekan serta menegosiasikannya dengan orang
lain. Dalam mengimplementasikan inovasi kerap dibutuhkan
koalisi agar mendapatkan dukungan dengan cara menjual ide
kepada rekan potensial.
4) Idea implementation.
Proses terakhir mengacu pada keberanian seseorang untuk
menerapkan ide pada proses/aktivitas kerja rutin. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan cara membangun, menguji,
mengembangkan serta mempromosikan ide produk, jasa
maupun proses baru yang ia tawarkan (Van de Ven, 1986;
Kanter, 1988). Perilaku ini berkaitan dengan upaya yang harus
dilakukan seseorang untuk mengembangkan gagasannya agar
diterapkan menjadi proposisi praktis

Anteseden Perilaku Kerja Inovatif


Berdasarkan studinya, Yuan & Woodman (2010) memaparkan
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kerja inovatif, yakni;
(1) budaya organisasi dan iklim,
(2) hubungan dengan atasan,
(3) karakteristik pekerjaan,
(4) konteks sosial/kelompok, dan
(5) perbedaan individu.

Karakteristik Individu yang Memiliki Perilaku Kerja Inovatif


Zhou & George (2001) menyebutkan karakter dari individu yang
memiliki perilaku inovatif, diantaranya;
(1) mencari tahu teknologi baru, proses, teknik dan ide-ide baru,
(2) menghasilkan ide-ide kreatif,
(3) menawarkan dan memperjuangkan ide-ide ke orang lain,
(4) meneliti dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk
mewujudkan ide-ide baru, serta
(5) mengembangkan rencana dan jadwal yang matang untuk
mewujudkan ide baru tersebut.
Sedangkan menurut West (1997 dalam Aditya & Ardana, 2016);
(1) tendensi untuk menciptakan ide-ide baru,
(2) toleran terhadap ambiguitas,
(3) adanya keinginan untuk menjadi efektif, dan
(4) berorientasi pada inovasi serta pencapaian.

Definisi Perilaku Kerja Inovatif


Inovasi diartikan sebagai pengenalan dan penerapan gagasan,
proses, produk atau prosedur baru yang dirancang untuk kinerja yang
lebih baik (menguntungkan) dalam pekerjaan, kelompok kerja,
organisasi atau masyarakat yang lebih luas (West & Farr, 1989
dalam Anderson & West, 1998). King & Anderson (1995)
menganggap inovasi sebagai sesuatu yang baru dalam setting sosial
dimana ia diperkenalkan (individu, kelompok, perusahaan, industri,
masyarakat luas). Sajiwo (2014) mengungkapkan inovasi adalah
suatu proses memikirkan dan mengimplementasikan pemikiran
tersebut, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa,
proses, cara, kebijakan, dan lain sebagainya. Dalam konteks inovasi
organisasional, salah satu alternatif untuk membentuk organisasi
yang inovatif adalah melalui inovasi oleh anggota (individu)
organisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Van de Ven (1986) basis
dasar inovasi adalah ide, sedangkan yang mampu menghasilkan,
mengembangkan dan memodifikasi ide tersebut adalah manusia.
Perilaku kerja inovatif merupakan perilaku individu yang
bertujuan untuk mencapai inisiasi dan pengenalan yang disengaja
(dalam peran pekerjaan, kelompok atau organisasi) mengenai ide
yang berguna berkaitan dengan proses, produk atau prosedur (De
Jong & Den Hartog, 2008). Purba (2009) mendefinisikan perilaku
inovatif sebagai perilaku yang menekankan pada adanya sikap
kreatif agar terjadi proses perubahan sikap dari tradisional ke
modern, atau dari sikap yang belum maju ke sikap yang sudah maju.
Menurut Yuan & Woodman (2010), perilaku kerja inovatif adalah
keinginan anggota organisasi untuk memperkenalkan, mengajukan
serta mengaplikasikan ide-ide, produk, proses, serta prosedur baru ke
dalam pekerjaannya, unit kerja atau organisasi tempat bekerja.
Kleysen & Street (2001) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai
keseluruhan tindakan individu yang mengarah pada pemunculan,
pengenalan, dan penerapan dari sesuatu yang baru dan
menguntungkan pada seluruh tingkat organisasi. Perilaku inovatif
adalah proses bertahap dari pengenalan masalah, pemunculan ide
atau solusi, membangun dukungan atas ide tersebut, dan
implementasi gagasan (Scott & Bruce, 1994).

Karakteristik Iklim Kerja Tim


Karakteristik iklim kerja tim yang efektif ditandai dengan:

  1. Adanya penetapan tujuan bersama yang terarah dan realistis sehingga dapat
    dilaksanakan secara maksimal.
  2. Anggota dan pimpinan memiliki komitmen untuk dapat saling mendukung
    sehingga tim dapat sukses dan berhasil.
  3. Anggota tim memahami prioritas anggota lain dan dapat saling membantu.
  4. Komunikasi yang terbuka, melakukan diskusi tentang cara kerja baru
    ataupun meningkatkan kinerja menjadi lebih baik karena anggota dalam tim
    didorong untuk lebih dapat memikirkan masalah (Rusdinal & Afriansyah,
    2019)

Atribut Iklim Kerja Tim


(Perth et al., 2002) mengemukakan bahwa atribut iklim kerja tim yang efektif
adalah sebagai berikut:

  1. Komitmen terhadap tim sukses dan tujuan bersama: anggota tim memiliki
    komitmen untuk keberhasilan tim dan tujuan bersama mereka untuk proyek
    tersebut. Tim yang sukses termotivasi akan terlibat serta bertujuan untuk
    mencapai tingkat tertinggi.
  2. Saling bergantung atau saling membutuhkan satu sama yang lain: anggota
    tim harus menciptakan lingkungan di mana jika bersama-sama mereka dapat
    berkontribusi jauh lebih banyak dibandingkan jika individualis. Lingkungan
    tim yang saling bergantung secara positif menghasilkan yang terbaik dari
    setiap orang yang memungkinkan tim untuk mencapai tujuan mereka pada
    tingkat yang jauh lebih unggul. Individu mempromosikan dan mendorong
    sesama anggota tim mereka untuk mencapai goals, berkontribusi dan
    belajar.
  3. Keterampilan interpersonal: meliputi kemampuan untuk mendiskusikan
    permasalahan secara terbuka dengan anggota tim yang lain, jujur serta dapat
    dipercaya, mendukung dan menunjukkan rasa hormat serta komitmen
    kepada tim dan individunya. Membina lingkungan kerja yang saling peduli
    merupakan hal yang penting termasuk kemampuan untuk bekerja secara
    efektif dengan anggota tim yang lain.
  4. Komunikasi yang terbuka dan feedback yang positif: secara aktif
    mendengarkan kebutuhan anggota tim yang lain dan menghargai kontribusi
    mereka serta mengungkapkan hal ini membantu menciptakan lingkungan
    kerja yang efektif. Anggota tim harus bersedia memberi dan menerima
    kritik yang membangun serta memberikan feedback yang otentik.
  5. Komposisi tim yang tepat: komposisi tim yang tepat sangat penting di dalam
    penciptaan dan pembentukan tim yang sukses. Anggota tim harus
    sepenuhnya menyadari peran tim mereka dan memahami apa yang
    diharapkan dari mereka dalam hal kontribusi kepada tim dan proyek.
  6. Komitmen terhadap proses tim, kepemimpinan dan akuntabilitas: anggota
    tim harus bertanggung jawab atas kontribusi mereka kepada tim dan proyek.
    Mereka harus menyadari proses tim, praktek yang baik dan ide-ide baru.
    Kepemimpinan yang efektif penting untuk keberhasilan tim termasuk
    pengambilan keputusan bersama dan pemecahan masalah.

Definisi Iklim Kerja Tim


Di dalam perusahaan, kerja sama tim merupakan salah satu elemen utama.
Karena setiap individu di dalam perusahaan memiliki keterbatasan kemampuan
sehingga membuatnya membutuhkan campur tangan orang lain. Nilai kerja sama
tim adalah nilai yang amat penting di dalam upaya meningkatkan kondisi internal
perusahaan. Kerja tim memberikan pelajaran kepada anggota di dalam perusahaan
baik itu atasan ataupun bawahan untuk tidak memenangkan diri mereka sendiri
(Rusdinal & Afriansyah, 2019).
Kerja tim di dalam perusahaan dapat terjadi antara atasan dan bawahan, atau
bawahan dengan bawahan, dalam situasi formal maupun non formal. Dalam
pelaksanaan kerja sama tim harus saling menguntungkan, pelaksanaan kerja sama
tim hanya dapat tercapai jika diperoleh manfaat secara bersama bagi semua pihak
yang ikut terlibat. Jika terdapat salah satu pihak dirugikan di dalam proses kerja
sama tim, maka kerja sama tim tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai profit
ataupun manfaat bersama dari kerja sama tim diperlukan komunikasi yang baik
antara seluruh pihak dan pemahaman yang sama sebagai tujuan bersama tim.
Iklim kerja tim difasilitasi oleh komunikasi dan juga rasa saling percaya.
Dalam bekerja dengan tim, apabila tidak ada komunikasi yang baik maka akan lebih
sulit untuk mencapai tujuan perusahaan. Ini adalah ukuran persepsi yang membantu
dalam mengukur budaya kerja tim yang sebaliknya tidak mudah untuk diukur. Iklim
kerja tim merupakan suasana lingkungan kerja yang terjadi karena terdapat
hubungan interpersonal untuk mencapai tujuan bersama

Manfaat Keberagaman Budaya Organisasi


Menurut (Mazur, 2014), keberagaman budaya organisasi memiliki manfaat
antara lain:

  1. Perusahaan dapat mengambil keputusan yang tepat untuk memanfaatkan
    potensi keberagaman.
  2. Terdapat banyak sudut pandang sehingga dapat melihat persoalan dari
    banyak sisi.
  3. Perspektif dan pendekatan dihargai, dan setiap karyawan didorong untuk
    dapat memberikan kontribusi yang baik dan unik.
    18
  4. Tercipta lingkungan kerja yang inklusif, yang dapat meningkatkan
    produktivitas, kreativitas, kualitas, layanan pelanggan, retensi bakat dan
    kepuasan kerja.
  5. Membantu menangani konflik di masa mendatang serta merespon
    perubahan di lingkungan kerja.

Tujuan Keberagaman Budaya Organisasi


Menurut (Mazur, 2014), tujuan dari keberagaman budaya organisasi antara lain:

  1. Meningkatkan produktivitas, kreativitas, kualitas, layanan pelanggan,
    retensi bakat dan kepuasan kerja dalam perusahaan.
  2. Mencapai solusi terbaik ketika perusahaan dihadapkan pada beberapa
    persoalan, karena terdapat banyak sudut pandang.
  3. Menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagaman Budaya Organisasi


Keberagaman budaya organisasi memiliki beberapa faktor yang
mempengaruhinya antara lain:

  1. Beliefs: Beliefs atau keyakinan merupakan suatu penerimaan pernyataan
    atau klaim sebagai benar, tergantung pada keadaan serta individu yang
    terlibat dalam perusahaan. Beliefs atau keyakinan dapat berkembang secara
    cepat ataupun lambat, dan juga pengalaman dari individu di perusahaan juga
    memiliki peranan yang besar.
  2. Values: Values atau nilai merupakan hal yang dijadikan pedoman maupun
    acuan di dalam semua keputusan yang diambil pihak perusahaan serta
    tindakan dari anggota perusahaan yang mencerminkan identitas, tujuan
    serta standar penilaian terhadap segala sesuatu.
  3. Rules: Rules atau aturan merupakan suatu norma yang dijadikan sebagai
    pedoman di dalam menyelesaikan segala permasalahan yang sedang
    dihadapi oleh perusahaan serta aturan juga menjadi acuan di dalam
    bertindak dan bersikap sebagai anggota dalam perusahaan (Jankelová,
    Skorková, et al., 2021).

Definisi Keberagaman Budaya Organisasi


Tantangan utama di dalam lingkungan kerja yang identik akan keberagaman
saat ini adalah pencarian prinsip-prinsip untuk dapat membentuk kegiatan bisnis
serta mengarahkan para agen ekonomi, perusahaan dan individu. Keberagaman
telah menjadi topik yang banyak diperbincangkan dan diperdebatkan di dalam teori
serta praktek manajemen dalam beberapa tahun terakhir. Pada awalnya, aspek
hukum dan perubahan demografi pasar tenaga kerja yang menjadikannya subjek
yang sangat penting bagi perusahaan. Keberagaman memiliki nilai-nilai yang luar
biasa dalam kehidupan masyarakat modern.
Keberagaman dalam kehidupan masyarakat modern menimbulkan beberapa
dampak positif. Beberapa teori dalam ekonomi menunjukkan bahwa keberagaman
budaya maupun etnis dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (Leng et al., 2021). Keberagaman budaya organisasi merupakan
bagian dari keseluruhan budaya dalam perusahaan yang memiliki orientasi. Fokus
dari penelitian ini ialah pada dua lapisan pertama dari budaya organisasi yaitu
keyakinan dan nilai serta aturan yang begitu penting di dalam pengelolaan
keberagaman yang berkelanjutan. Dengan demikian keberagaman budaya
organisasi merupakan sekumpulan dari keyakinan, aturan dan nilai-nilai yang
digunakan seorang manajer perusahaan untuk dapat menyatakan sikap positifnya
terhadap keberagaman, komitmen terhadap praktik manajemen, pendekatan
keberagaman dan kepemimpinan keberagaman (Jankelová, Skorková, et al., 2021).
Salah satu alat manajemen yang sering digunakan dalam konteks keberagaman
ialah diversity management.
Diversity management memiliki basis penelitian yang cukup luas, terutama
pada bidang bisnis yang telah lama di bahas bahwa diversity management tidak
hanya membahas tentang bagaimana cara mengelola karyawan berdasarkan gender,
usia, ras ataupun etnis tetapi juga tentang bagaimana strategi atau cara untuk dapat
mencapai goals, meningkatkan kinerja karyawan perusahaan, kepuasan kerja,
meningkatkan inovasi serta kinerja umum suatu perusahaan. Diversity management
berarti menggunakan serta memanfaatkan beragam potensi karyawan perusahaan
untuk memenuhi tujuan inovasi dan pengembangan

Definisi Keberagaman Secara Umum


Keberagaman merupakan situasi yang menggambarkan adanya perbedaan
dalam aspek kehidupan. Perbedaan tersebut juga terjadi pada beberapa bidang
seperti bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan lain sebagainya. Secara umum
keberagaman identik dengan perbedaan ras, jenis kelamin, usia, profesi dan lain
sebagainya. Tak jarang pula, dengan adanya perbedaan tersebut juga dapat memicu
konflik antar beberapa pihak. Keberagaman adalah tentang menghilangkan serta
memerangi hal terkait dengan bias, rasisme dan juga prasangka dalam kehidupan
perusahaan, baik perusahaan nasional dan bahkan internasional (Croitoru et al.,
2022). Keberagaman lebih dari sekadar mengidentifikasi perbedaan demografis
seperti halnya usia, gender, ras saja tetapi telah meluas ke berbagai dimensi
keberagaman seperti nilai-nilai kemanusiaan, norma kelompok, kepercayaan,
pendidikan, agama dan bidang tak terlihat lainnya dari manusia yang menjadikan
semuanya inklusif

Indikator Perilaku Kerja Inovatif


Berikut ini merupakan indikator dari perilaku kerja inovatif menurut (J. P.
J. De Jong & Den Hartog, 2007):

  1. Opportunity exploration: proses inovasi ditentukan oleh kesempatan
    dimana kesempatan akan memicu individu untuk dapat mencari strategi
    untuk meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, ataupun berusaha untuk
    memikirkan suatu alternatif yang baru tentang proses kerja, produk atau
    pelayanan.
  2. Idea generation: menciptakan konsep untuk peningkatan. Idea generation
    ialah mengelola kembali informasi serta konsep yang telah ada sebelumnya
    untuk meningkatkan performansi.
  3. Championing: melibatkan perilaku untuk dapat mencari dukungan serta
    membangun koalisi seperti mengajak dan mempengaruhi karyawan
    perusahaan atau manajemen serta negosiasi mengenai suatu solusi.
  4. Application: individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif pada suatu hal
    saja tetapi juga mengevaluasi dan mengaplikasikan ide-ide tersebut ke
    dalam tindakan yang nyata.

Dimensi Perilaku Kerja Inovatif


Menurut (J. De Jong & Den Hartog, 2010), terdapat empat dimensi perilaku
kerja inovatif antara lain:

  1. Idea exploration: karyawan perusahaan mampu untuk menemukan
    kesempatan atau suatu permasalahan.
  2. Idea generation: karyawan perusahaan mampu untuk mengembangkan
    ide-ide inovasi dengan cara menciptakan serta menyarankan ide-ide untuk
    proses yang baru.
  3. Idea championing: karyawan perusahaan diharapkan dapat terdorong
    untuk lebih giat mencari dukungan di dalam mewujudkan ide-ide inovasi
    baru yang telah dihasilkan.
  4. Idea implementation: karyawan perusahaan mempunyai keberanian untuk
    dapat menerapkan ide-ide yang baru tersebut ke dalam proses kerja yang
    telah biasa dilakukan

Definisi Perilaku Kerja Inovatif


Di dalam kelangsungan perusahaan, terdapat kekurangan sumber daya
tersendiri, bukan hanya mengenai persoalan keuangan (financial) ataupun materi,
tetapi juga mengenai personil dalam hal kualitas tenaga kerja serta potensi
inovatifnya. Perilaku kerja inovatif merupakan suatu keinginan pribadi dari
karyawan perusahaan untuk mengenalkan dan menerapkan prosedur yang baru
serta menciptakan ide-ide yang unik dan kreatif dalam pekerjaan sehari-harinya
hingga ke tempat dimana ia bekerja. Menurut (Isa & Muafi, 2022), perilaku inovatif
merupakan keseluruhan perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan,
memperkenalkan dan menerapkan hal-hal baru yang berguna di berbagai tingkatan
perusahaan. Inovasi dapat tercipta karena adanya ide-ide yang baru dan tujuan
tertentu yang ingin dicapai oleh sebuah perusahaan. Saat ini, karyawan yang
inovatif merupakan aset yang amat penting yang harus dimiliki oleh sebuah
perusahaan serta merupakan faktor yang menjelaskan keberhasilan suatu bisnis.
Perilaku kerja yang inovatif dapat mengubah lingkungan perusahaan menjadi lebih
kooperatif sehingga dapat meningkatkan produktivitas karyawan (Contreras et al.,
2020). Dari sudut pandang individu, beberapa penelitian telah mempelajari tentang 
peran perilaku kerja yang inovatif karyawan dalam perusahaan. Setelah dilakukan
beberapa penelitian, hasilnya memang perilaku kerja inovatif karyawan memiliki
dampak yang positif bagi kemajuan suatu perusahaan.
Di dalam perannya untuk mencapai tujuan dan kemajuan suatu perusahaan,
perilaku kerja inovatif terdiri dari (a) perilaku individu seperti mengeksplorasi,
menghasilkan, memperjuangkan serta mengimplementasikan ide-ide yang kreatif
dan (b) tiga tugas yang saling terkait antara lain penciptaan, promosi dan
implementasi ide (Jankelová, Joniaková, et al., 2021). Hal ini dapat mengambil
berbagai bentuk seperti menyederhanakan rangkaian proses, menggunakan
peralatan serta bahan yang baru, mengenalkan rutinitas baru, meningkatkan kerja
sama ataupun menciptakan penawaran-penawaran yang baru. Karyawan dalam
perusahaan tak harus menjadi bagian dari keseluruhan rangkaian proses, tetapi
diharapkan agar dapat ambil peran mulai dari hal-hal kecil perusahaan. Pada fase
atau tahap implementasi, hal yang penting dalam perilaku kerja inovatif yaitu
tentang cara karyawan dalam perusahaan menemukan ide yang kreatif dan inovatif
yang berpengaruh pada penerapan praktek kerja

Tujuan Ruang Lingkup Sumber Daya Manusia


Pembahasan terkait manajemen sumber daya manusia menjadi suatu
bahasan yang menjadi suatu proses sistematik dan terstruktur untuk menjalankan
segala proses pengelolaan yang ada di dalam suatu lingkungan perusahaan. Dengan
memiliki pengelolaan yang tersistem maka perusahaan meiliki tujuan yang ingin di
capai dan di realisasikan melalui pengelolaan sumber daya manusia. Menurut
Bintoro dan Daryanto (2017) kegiatan pengelolaan sumber daya manusia di dalam
suatu organisasi dapat di klasifikasikan ke dalam beberapa fungsi, yaitu:

  1. Fungsi Perencanaan (Planning) merupakan fungsi penetapan program-program
    pengelolaan sumber daya manusia yang akan membantu pencapaian tujuan
    perusahaan
  2. Fungsi Pengorganisasian (Organizing) merupakan fungsi penyusunan dan
    pembentukan suatu organisasi dengan mendesain struktur dan hubungan atar
    para pekerja dan tugas – tugas yang harus dikerjakan, termasuk menetapkan
    pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab.
  3. Fungsi Pengarahan (Directing) merupakan fungsi pemberian dorongan pada
    para pekerja agar dapat dan mampu bekerja secara efektif adan efisien sesuai
    tujuan yang telah direncanakan.
  4. Fungsi Pengendalian (Controlling) merupakan fungsi pengukuran, pengawasan
    dan pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang di lakukan untuk
    mengetahui sejauh mana rencana yang telah ditetapkan, khususnya di bidang
    tenaga kerja telah dicapai.
    Selain manajemen sumber daya manusia mempunyai proses pengelolaan
    kegiatan dengan masing-masing fungsinya, manajemen sumber daya manusia juga
    memiliki tujuan pengelolaan. Menurut Hasibuan, S.P (2014), perencanaan sumber
    daya manusia yaitu :
  5. Menentukan kualitas dan kuantitas karyawan yang akan mengisi semua jabatan
    dalam perusahaan.
  6. Menjamin tersedianya tenaga kerja masa kini maupun masa depan, sehingga
    setiap pekerjaan ada yang mengerjakan.
  7. Menghindari terjadinya mismanajemen dan tumpang tindih dalam pelaksanaan
    tugas.
  8. Mempermudah koordinasi, intergensi, dan sinkronisasi sehingga produktivitas
    kerja meningkat.
  9. Menghindari kekurangan dan/atau kelebihan karyawan.
  10. Menjadi pedoman dalam menetapkan program penarikan, seleksi,
    pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisiplinan dan
    pemberhentian karyawan

Definisi Sumber Daya Manusia


Manajemen sumber daya manusia merupakan tata cara pengelolaan
manusia dalam organisasi agar dapat berperan secara efektif dan efisien.
Manajemen terdiri dari enam (6M) unsur yaitu: Men, Money, Method, Material,
Machine, dan Market. Unsur manusia (Men) berkembang menjadi suatu bidang
ilmu manajemen yang disebut dengan manajemen sumber daya manusia.
Berikut adalah pendapat para ahli tentang pengertian pengembangan
sumber daya manusia: Hasibuan (2014) menyebutkan bahwa manajemen sumber
daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja
agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan
masyarakat. Serta pandangan Rivai dan Sagala (2013) menyatakan bahwa
manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu dari bidang manajemen
umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengendalian, sumber daya manusai dalam sebuah organisasi.
Menurut Bintoro dan Daryanto (2017) menyatakan bahwa manajemen
sumber daya manusia, disingkat MSDM, adalah suatu ilmu atau cara bagaimana
mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh
individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga
tercapai tujuan bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Menurut Herman Sofyandi (2013) menyatakan bahwa manajemen SDM
didefinisikan sebagai suatu strategi dalam menerapkan fungsi – fungsi manajemen
yaitu planning, organizing, leading dan controlling, didalam setiap aktivitas/fungsi
operasional SDM mulai dari proses penarikan, seleksi, pelatihan dan
pengembangan, penempatan yang meliputi promosi, demosi dan transfer, penilaian
kinerja, pemberian kompensasi, hubungan industrial, hingga pemutusan hubungan
kerja, yang ditunjukkan bagi peningkatan kontribusi produktif dari
SDM organisasi terhadap pencapaian tujuan organisasi secara lebih efektif dan
efisien.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah suatu ilmu dalam mengatur dan merencanakan serta
memproses hubungan dan peranan seorang individu atau karyawan dalam
melaksanakan tanggung jawab terhadap perusahaan dengan efektif dan efisien
dalam mencapai tujuan yang diinginkan oleh perusahaan.

Keterikatan kerja (Work Engagement)


Konsep keterikatan kerja (work engagement atau employee
engagement) pertama kali dikemukakan oleh Kahn (1990: 693) yang
mendefinisikan employee engagement sebagai upaya dari anggota
organisasi untuk mengikatkan diri mereka dengan perannya di pekerjaan.
Dalam kondisi ini, orang akan melibatkan dan mengekspresikan dirinya
secara fisik, secara kognitif dan secara emosional selama ia sedang
memainkan peran kerjanya. Aspek kognitif dalam employee engagement
melibatkan kepercayaan karyawan terhadap organisasi, pemimpin dan
kondisi kerjanya. Aspek emosional melibatkan perasaan karyawan
terhadap ketiga hal diatas, apakah karyawan bersikap positif atau negatif
terhadap organisasi dan para pemimpinnya. Aspek fisik melibatkan
seberapa banyak energi fisik yang didayagunakan oleh karyawan dalam
menyelesaikan tugasnya. Kahn (1990: 697) menyimpulkan bahwa,
employee engagement berarti kehadiran karyawan baik secara psikologis
maupun fisik ketika ia menjalankan perannya dalam organisasi.
The Institute of Employment Studies di Inggris mendefinisikan
employee engagement sebagai suatu sikap positif yang dianut oleh
karyawan terhadap organisasi beserta sistem nilai yang ada di dalamnya
(Rich dan Lepine, 2010: 631). Seorang karyawan dengan engagement
yang tinggi akan memiliki kepedulian dan memahami konteks bisnis dan
bekerja bersama rekannya untuk memperbaiki kinerja dalam regu
kerjanya demi keuntungan perusahaan (Rich dan Lepine, 2010: 635).
Seorang karyawan dengan “rasa terikat” yang tinggi sebagai seorang
yang secara psikologis berkomitmen terhadap tugas dan perannya.
Schaufeli et al. (2009: 899) menyatakan bahwa faktor penggerak
paling besar employee engagement adalah bahwa karyawan memiliki
rasa dilibatkan dan dihargai oleh organisasi. Inisiatif-inisiatif perusahaan
dapat memberikan faktor ini, tetapi tetap tergantung pada individu
karyawan serta inisiatif apa yang mereka inginkan. Employee
engagement sebagai perekat atau sesuatu yang melekat pada organisasi,
mendukung strategi dan nilai-nilai perusahaan, sehingga karyawan
termotivasi untuk bekerja keras menuju kesuksesan. Employee
engagement sebagai “kadar sejauh mana orang-orang menikmati
pekerjaannya, yakin akan apa yang dikerjakan, serta merasakan nilai
penting dengan melakukan pekerjaan itu” (May et al., 2004: 25).
Definisi-definisi ini memberikan sejumlah kondisi yang dapat
dijadikan ukuran atau target untuk dicapai oleh sebuah organisasi dalam
upaya untuk menumbuhkan “rasa terikat” pada karyawannya. Definisidefinisi ini juga menunjukkan bahwa peningkatan dalam employee
engagement akan mengarah pada peningkatan produktifitas, perbaikan
yang berkesinambungan, turunnya tingkat turn-over karyawan serta
tumbuhnya komitmen terhadap keberhasilan organisasi.
Literatur psikologi yang tersedia sampai saat ini masih belum
memberikan gambaran yang jelas mengenai konstruk dari employee
engagement. Menurut Halbesleben dan Wheeler (2008: 253) employee
engagement sebagai kontinum atau rangkaian dari stress dan sebagai
antitesis dari burn-out atau kejenuhan karyawan. Salanova dan Schaufeli
(2008: 340) mengatakan bahwa employee engagement adalah kombinasi
dari keterlibatan individu dan kepuasan karyawan dan juga dengan
antusiasme karyawan terhadap pekerjaannya.
Kahn (1990: 694) menempatkan employee engagement sebagai
konstruk yang berbeda dari konstruk lain seperti keterlibatan dalam kerja,
komitmen atau motivasi; Kahn menekankan bahwa employee
engagement berfokus pada pengalaman psikologis dalam pekerjaan,
dapat membentuk proses hadir atau tidaknya pikiran dan hati seorang
karyawan ketika melaksanaan tugas. Kahn berargumen bahwa
engagement adalah konstruk multidimensional, karyawan dapat terikat
dengan pekerjaannya baik secara emosional, secara kognitif atau secara
fisik. Secara kognitif diwakili oleh pernyataan “pekerjaan di tempat kerja
saya hampir menyita seluruh perhatian saya, sehingga saya hampir lupa
hal-hal lainnya selama di tempat kerja”. Dimensi emosional diwakili
dengan pernyataan “Di tempat kerja, saya meletakkan hati saya dalam
pekerjaan”. Sedangkan dimensi fisik diwakili pernyataan “saya
mendayagunakan banyak energi dalam rangka menyelesaikan pekerjaan
saya”. Untuk perilaku psikologis dan perilaku organisasional, dua
dimensi utama adalah emosional dan kognitif. Karyawan dapat terikat
dalam satu dimensi dan tidak terikat dalam dimensi yang lain. Semakin
besar keterikatannya pada tiap dimensi, semakin besar pula
keterikatannya secara pribadi.
Kahn juga menegaskan bahwa karyawan dapat mengalami
dimensi dari keterikatan atau ketidak-terikatan pribadi ini dalam tugas
sehari-hari. Keterikatan terjadi ketika seseorang peduli dengan
pekerjaannya secara kognitif, dan/atau secara emosional terhubung
dengan karyawan lainnya. Karyawan yang tidak terikat (disengaged
employees) memisahkan diri mereka dari peran mereka dan menarik diri
secara emosional dan kognitif. Mereka akan tampil seperti robot, tidak
menunjukkan upaya serta tidak memerankan tanggungjawabnya secara
lengkap (Kahn, 1990: 699).
Dalam teorinya tentang employee engagement dan
Disengagement, Kahn (1990: 691) mengemukakan bahwa bentuk
keterlibatan merupakan ekspresi dari jati diri yang diinginkan oleh
seseorang dan sekaligus bentuk hubungan yang diinginkannya dengan
orang lain. Disengagement merupakan penarikan diri seseorang dari jati
diri yang diinginkannya serta dari perilaku yang diinginkannya, yang
juga mempromosikan lemahnya keterikatan, ketidakhadirannya secara
emosional, serta perilaku pasif. Pilihan untuk mengekspresikan atau
menjauhi jati diri yang diinginkannya, merupakan bentuk dari tindakan
sosial, emosional dan fisik dari employee engagement. Manusia menjadi
terseret ke dalam pekerjaan mereka, secara fisik dan emosional, melalui
cara ia merumuskan dan menampilkan pengalaman kerjanya. Para
peneliti menghubungkan ekspresi diri dengan kreativitas, penggunaan
suara pribadi, ungkapan emosional, keaslian, komunikasi non-defensif,
keasyikan bermain (playfulness), dan perilaku etis (Kahn, 1990: 692).
Konstruk yang penting untuk memahami kondisi engagement
atau dis-engagement dari seorang karyawan di tempat kerja adalah rasabermakna, keamanan, dan ketersediaan dukungan di tempat kerja. Rasa
bermakna didefinisikan sebagai perasaan positif tentang adanya Return
on Investment (pengembalian investasi) dari peran dalam bentuk kinerja
(Kahn, 1990: 696). Keamanan didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menampilkan diri sendiri “tanpa rasa takut atau konsekuensi negatif
terhadap citra diri, status, atau karier (Kahn, 1990: 696). Adapun
ketersediaan dukungan didefinisikan sebagai “rasa memiliki sumber daya
fisik, emosional, dan psikologis yang diperlukan” untuk menyelesaikan
pekerjaan (Kahn, 1990: 697).
Keterikatan kerja (work engagement) selanjutnya berkembang ke
tingkat dimana konstruk psikologis ini dapat dipenuhi (Kahn, 1990: 699).
Teori dua-faktor dari Herzberg berjalan sejajar dengan yang teori
employee engagement; keduanya mengusulkan otonomi dalam
keberadaan, pengakuan atas diri dan pekerjaan, dan perasaan bermakna,
sebagai faktor-faktor intrinsik yang meningkatkan kebersediaan
karyawan untuk terlibat dalam pekerjaan (Saks, 2006: 277). Faktor-faktor
intrinsik (yaitu pentingnya kontribusi, pertumbuhan pribadi), dikatakan
telah benar-benar lebih memotivasi karyawan untuk terlibat dalam
pekerjaan mereka, dibandingkan dengan faktor-faktor ekstrinsik (yaitu
kompensasi, citra perusahaan).
Dalam teori Kahn identifikasi dan pemenuhan dari kebutuhan
individu diakui sebagai komponen penting dari employee engagement,
namun pemahaman tentang kebutuhan individu belum sepenuhnya
dieksplorasi atau dihubungkan dalam sebuah konseptualisasi. Teori
motivasi Maslow menyediakan sebuah kerangka kerja konseptual untuk
memahami kebutuhan dasar manusia serta memberikan konteks untuk
konseptualisasi employee engagement (Saks, 2006: 279).
Selain itu, penelitian Bakker dan Demerouti (2008: 211)
menunjukkan perlunya untuk memahami kebutuhan-kebutuhan manusia
yang berhubungan dengan keterlibatan dalam pekerjaan sebagaimana
yang dikonseptualisasikan dalam teori motivasi Maslow. Pentingnya
teori motivasi Maslow dalam kaitannya dengan employee engagement
adalah konseptualisasi dari masing-masing kebutuhan dasar. Secara
struktural, kebutuhan disusun berdasarkan urutan potensi (Bakker dan
Demerouti, 2008: 219). Kedua, kebutuhan disusun berdasarkan prioritasi
yang lebih mendasar dan penting untuk kelangsungan hidup; apabila
kebutuhan itu semakin penting, maka akan semakin cepat kebutuhan itu
muncul dalam hirarki (Bakker dan Demerouti, 2008: 219). Ketiga,
kebutuhan dipenuhi secara berurutan dari terendah ke tertinggi, sehingga
membentuk suatu hirarki kebutuhan yang dikelompokkan ke dalam dua
kategori, kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Kebutuhan ini, yang
masing-masing diurutkan sebagai kebutuhan fisiologis, keamanan,
kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki, harga diri, dan kebutuhan
aktualisasi diri, dinyatakan sebagai kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan
akan harga diri didefinisikan sebagai “keinginan untuk menghargai diri
sendiri dan orang lain secara stabil, dan dengan dasar yang kuat “.
Kebutuhan aktualisasi diri didefinisikan sebagai penyelesaian pekerjaan
yang sangat memuaskan. Dorongan untuk aktualisasi diri sejajar dengan
konsep employee engagement seperti yang digunakan dalam teori Kahn
dalam konseptualisasi tentang dorongan untuk pemenuhan diri,
kebutuhan yang mendalam untuk kepuasan emosional yang didambakan
manusia, untuk menjadi seorang karyawan yang handal dan
berkemampuan.
Gallup Management Journal (2005 dalam Rich dan Lepine, 2010:
629) berdasarkan survey Q12 nya, membagi karyawan dalam tiga
kategori dengan ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Karyawan yang “terikat” (engaged employees), mereka bekerja
dengan bersemangat dan merasakan hubungan yang dalam dengan
perusahaan mereka. Mereka umumnya menjadi bagian dari lahirnya
ide-ide inovatif yang memajukan perusahaan.
b. Karyawan yang “tidak terikat” (not-engaged employees): secara
praktis mereka tidak lagi memikirkan kemajuan perusahaan. Mereka
seperti orang yang tidur sambil berjalan. Mereka melewatkan waktu
mereka untuk bekerja, tetapi tidak cukup memberikan energi atau
semangat dalam pekerjaannya.
c. Karyawan yang “lepas” (actively disengaged employees): mereka
bukan hanya tidak puas dengan tempat kerjanya, mereka bahkan
secara terbuka menampakkan ketidak-puasannya di tempat kerja.
Setiap hari mereka seolah menumpang atau bahkan menggerogoti apa
yang dihasilkan oleh rekan-rekan kerjanya.
Babcock et al. (2010: 322) mengatakan bahwa employee
engagement merupakan pelibatan karyawan secara intensif dalam
tahapan-tahapan keterikatan yang tinggi yang menciptakan pemahaman,
dialog, umpan balik dan akuntabilitas, membekali orang untuk secara
kreatif menyelaraskan unit kerja mereka dengan unit-unit lain dan
pekerjaan perorangan dengan transformasi perusahaan secara
keseluruhan.
Mengenai arah dan hubungan antara employee engagement dan
variabel-variabel pekerjaan lainnya, beberapa ahli mengatakan bahwa
employee engagement dipengaruhi oleh aspek-aspek yang ada di tempat
kerja, sementara yang lain menekankan bahwa employee engagement
adalah apa yang dibawa seorang karyawan ke tempat kerja (Luthans dan
Peterson, 2002: 382). Yang hampir dapat digeneralisir adalah beberapa
peneliti menunjukkan persetujuan mereka dengan pendapat Kahn dengan
mengatakan bahwa employee engagement adalah kombinasi dari konteks
di tempat kerja dengan aspek lain yang dimediasi secara berbeda oleh
persepsi dan pengalaman karyawan secara kognitif dan emosional
(Markos dan Sridevi, 2010: 122)
Dalam pandangan manajemen, employee engagement
didefinisikan sebagai hubungan dua-arah yang positif antara karyawan
dengan organisasi, dimana kedua pihak sama-sama menyadari kebutuhan
masing-masing, dan saling membantu untuk memenuhi kebutuhan ini
(Markos dan Sridevi, 2010: 127). Karyawan dan organisasi yang merasa
terikat akan menunjukkan upaya kerja yang ekstra, dan masing-masing
meraih keuntungan bersama. Hal senada dinyatakan oleh Lanphear (2004
dalam Lin, 2010: 527): employee engagement adalah perekat antara
karyawan dengan organisasinya, bila seorang karyawan merasa terikat
dengan organisasinya, umumnya mereka akan mengerahkan upaya
ekstra. Teori-teori ini nampak lebih mengarah pada konstruk
discretionary effort, yaitu kebebasan atau keleluasaan dalam mengambil
keputusan atau untuk memberikan upaya yang melebihi apa yang
diharapkan.
Wefald dan Downey (2009: 95) mengidentifikasi empat faktor
yang mempengaruhi employee engagement, yang timbul melalui analisis
dari data penelitian mereka, yaitu: (a) lingkungan kerja, (b) atasan, (c)
karakteristik karyawan, dan (d) kesempatan untuk belajar.
a. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja didefinisikan sebagai karakteristik fisik dan
emosional dari tempat kerja, termasuk hubungan dengan rekan kerja
dan fungsi-fungsi dalam pekerjaan. Bagaimana perasaan seorang
karyawan tentang iklim lingkungan tempat mereka bekerja sangat
mempengaruhi tingkat keterkaitan mereka dengan tempat kerjanya.
Kebutuhan akan rasa aman, seperti merasa terlindungi, bebas dari
rasa takut, dan memiliki keteraturan merupakan kebutuhan dasar
manusia. Karyawan tidak dapat mengabaikan perasaan aman di
tempat kerja, dan bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka dapat
menjadi lumpuh secara mental. Seorang karyawan mungkin hadir
secara fisik untuk bekerja, tetapi tidak demikian dengan mental dan
emosionalnya. Rasa aman juga berkontribusi dalam mengembangkan
perasaan bahwa dirinya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar,
seperti sebuah keluarga.
b. Supervisor
Supervisor didefinisikan sebagai setiap orang yang
bertanggungjawab secara langsung memimpin seorang karyawan atau
kelompok karyawan. Sebagai pengawas lini terdepan, salah satu
tugas penting yang harus banyak dilakukan seorang supervisor adalah
tentang Engagement, bagaimana ia membangun keterikatan antara
karyawan yang ada di bawahnya, dengan pekerjaan mereka. Sebab
utama dari lemahnya employee engagement adalah manajemen yang
buruk. Karyawan melihat perusahaan dari sudut pandang yang sama
sebagaimana mereka melihat atasan mereka.
c. Karakteristik karyawan
Karakteristik, keyakinan, dan filosofi kerja adalah hal-hal
yang unik pada manusia. Karakteristik karyawan didefinisikan
sebagai persepsi karyawan tentang dirinya sendiri, dan persepsi ini
juga diterapkannya secara aktif pada segala perannya dalam
kehidupan. Ada dua karakter unik dari para karyawan yaitu:
kebutuhan akan tantangan dan jiwa wirausaha. Adanya tantangan
akan kinerja tinggi akan meningkatkan keterkaitan mereka terhadap
pekerjaan. Sedangkan “jiwa wirausaha” mendorong keinginan
karyawan untuk suatu saat memiliki usaha sendiri.
d. Kesempatan belajar
Kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru di tempat kerja
merupakan hal yang sangat penting bagi karyawan. Belajar
didefinisikan sebagai “proses pengubahan perilaku, pola pikir, atau
pengaruh yang terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan
lingkungannya”. Sebuah lingkungan belajar di tempat kerja, juga
didefinisikan sebagai lingkungan yang memberikan ruang bagi
karyawan untuk mendapatkan ketrampilan dan pengetahuan yang
baru, tanpa perlu merasa khawatir akan pengaruhnya terhadap citra,
status dan karirnya

Kepemimpinan Kharismatik


Kepemimpinan adalah suatu proses pengaruh sosial di mana
pemimpin mengusahakan partisipasi sukarela dari para bawahan dalam
suatu usaha untuk mencapai tujuan organisasi (Kreitner dan Kinicki,
2005: 299). Pengertian atau definisi mengenai kepemimpian hingga kini
telah banyak dikemukakan oleh para ahli, di antara: (1) kepemimpinan
merupakan perilaku individu yang mengarahkan aktivitas kelompok
untuk mencapai sasaran bersama, (2) kepemimpinan merupakan
pemberian pengaruh tambahan yang melebihi dan berada di atas
kebutuhan mekanis dalam mengarahkan organisasi secara rutin, (3)
kepemimpinan adalah proses memobilisasi sumber daya institusional,
politis, psikologis, serta sumber daya lainnya untuk memotivasi
bawahan, (4) kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas
kelompok secara terorganisir untuk mencapai tujuan, (5) kepemimpinan
merupakan proses pemberian arahan yang berarti kepada kelompok
untuk mencapai tujuan, (6) kepemimpinan adalah proeses
mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai, dan menciptakan lingkungan
untuk mencapai tujuan, dan (7) kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat bawahan
mampu memberikan kontribusinya untuk mendukung efektivitas dan
keberhasilan organisasi (Yukl, 2005: 4).
Mengacu pada definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh
Yukl (2005: 4) tersebut tampak bahwa, kepempinan tidak hanya untuk
mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan kelompok atau organisasi
yang sekarang, tetapi definisi itu dapat juga digunakan untuk memastikan
bahwa semuanya dipersiapkan untuk memenuhi tantangan masa depan.
Mencermati beberapa definisi atau pengertian kepemimpinan
yang telah disampaikan, tampak bahwa kepemimpinan secara tidak
sebatas penggunaan kekuasaan dan menjalankan wewenang, pada tingkat
individu kepemimpinan melibatkan pemberian nasihat, bimbingan,
inspirasi, dan motivasi, sedangkan pada tingkat organisasi kepemimpinan
berhubungan dengan penentuan visi dan misi organiasi, perencanaan,
pelaksanaan aktivitas dan pengendalian dan evaluasi terhadap aktivitasaktivitas yang dilakukan bawahan, membangun tim menciptakan
kesatuan, dan menyelesaikan perselisihan di tingkat kelompok,
membangun budaya dan menciptakan perubahan di tingkat organisasi.
Seorang pemimpin pada umumnya memiliki satu gaya
kepemimpinan tertentu. Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku
yang ditunjukkan seseorang pada saat itu mencoba mempengaruhi orang
lain (Nawawi, 2003: 115). Dalam proses interaksi yang terjadi antara
pimpinan dengan bawahan tersebut, pimpinan mempengaruhi bawahan
agar dapat berperilaku sesuai keingingan atau harapan pimpinan. Corak
interaksi inilah yang akan menentukan tingkat keberhasilan pemimpin
dalam proses kepemimpinannya. Salah satu gaya atau corak
kepemimpinan tersebut adala gaya kepemimpinan kharismatik.
Kepemimpinan kharismatik dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan tetap serta dipercayai oleh
pengikut-pengikutnya, berdasarkan kekuatan khusus yang luar biasa
(Nawawi, 2003: 160). Gaya kepemimpinan kharismatik bertumpu atau
bersandar pada perilaku kepemimpinan pada kualitas kepribadian yang
istimewa sehingga mampu menciptakan kepengikutan pada pemimpin
sebagai panutan, yang memiliki daya tarik yang sangat memukau, dengan
memperoleh pengikut yang banyak (sangat besar) jumlahnya.
Conger dan Kanungo (dalam Yukl, 2005: 451) mengatakan bahwa
pemimpin kharismatik memiliki tujuan ideal yang ingin dicapai, memiliki
komitmen pribadi yang kuat pada tujuan, tidak konvensional, tegas dan
percaya diri serta merupakan agen perubahan yang radikal, bukannya
manajer status quo. Untuk lebih jelas diketengahkannya pula secara rinci
karakteristik utama kepemimpinan kharismatik sebagai berikut:
a. Percaya diri, pimpinan sungguh-sungguh percaya akan penilaian
dirinya dan kemampuan kepemimpinannya;
b. Memiliki visi dan tujuan ideal yang memformulasikan suatu masa
depan yang lebih baik dari keadaan sekarang;
c. Memiliki kemampuan untuk mengungkapkan visi secara gamblang;
d. Keyakinan yang kuat terhadap visi tersebut, komitmen yang kuat,
bersedia menerima resiko, bersedia mengeluarkan biaya yang
tinggi, dan melibatkan diri dalam pengurbanan;
e. Perilaku yang ke luar aturan, memunculkan perilaku baru, tidak
konvensional. sering melawan norma-norma/aturan, dikagumi dan
sering membuat kejutan keadaan.
f. Dipahami sebagai agen perubahan, bukan pengikut status quo.
g. Memiliki kepekaan terhadap lingkungan, mampu menilai lingkungan
secara realistis, melaksanakan manajemen sumber daya untuk
perubahan.
Menurut Yukl (2005: 399) kepemimpinan kharismatik memiliki
indikator-indikator sebagai berikut:
a. Pengikut-pengikutnya meyakini kebenarannya dalam cara memimpin;
b. Pengikut-pengikutnya menerima gaya kepemimpinannya tanpa
bertanya;
c. Pengikut-pengikutnya memiliki kasih sayang kepada pemimpinnya.
d. Kesadaran untuk mematuhi perintah pemimpinnya;
e. Dalam mewujudkan misi organisasi melibatkan pengikutnya secara
emosional;
f. Mempertinggi pencapaian kinerja pengikutnya;
g. Dipercayai oleh para pengikutnya bahwa kepemimpinannya akan
mampu mewujudkan misi organisasinya.
Sehubungan dengan indikator-indikator tersebut di atas, berarti
kepemimpinan kharismatik memiliki kebutuhan kuat akan kekuasaan
(strong need for power), memiliki percaya diri yang tinggi (high self
confidence) dan pendirian atau prinsip yang kuat pula dalam mewujudkan
kepercayaan dan idealitasnya (strong conviction in their own belief and
ideals)

Perilaku Kewargaan Organisasional (Organizational CitizenshipBehavior)


Perilaku kewargaan organisasional (organizational citizenship
behavioral, OCB) adalah perilaku karyawan yang dilakukannya secara
sukarela, tidak berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan
sistem penghargaan dan secara keseluruhan dapat mendukung efektivitas
dan efisiensi organisasi (Organ, 1988 dalam Alotaibi, 2003: 371).
Menurut Luthans (2005), dasar kepribadian untuk OCB tersebut
merefleksikan ciri karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian
dan bersungguh-sungguh.
OCB juga didefinisikan sebagai perilaku individu yang sifatnya
functional, pro social, extra-role yang diarahkan atau ditujukan kepada
individu, kelompok dan atau organisasi (Schnake, 1991 dalam Alotaibi,
2003: 373). Demikian pula pengertian OCB menurut Appelabaum et al.
(2004) yaitu sebagai perilaku karyawan yang dilakukan secara bebas
yang tidak termasuk dalam job requirement karyawan, meskipun demikian perilaku tersebut meningkatan efektivitas fungsi organisasi. Sedangkan pengertian OCB menurut Robbins (2006: 364) adalah perilaku
pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal, namun
mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
Definisi OCB tersebut menunjukkan bahwa OCB merupakan
perilaku ekstra-peran (role-extra behavior) artinya perilaku yang dilakukan individu tetapi perilaku tersebut sebenarnya bukan merupakan keharusan atau kewajibannya. Selain itu, OCB juga mencakup perilaku kesetiakawanan sosial yang dilakukan tanpa paksaan seperti membantu rekan
kerja menyelesaikan pekerjaan, memberi bantuan pada karyawan baru,
tidak istirahat atau cuti jika tidak diperlukan dan perilaku sukarela untuk
mengerjakan sesuatu pekerjaan meskipun di luar deskripsi pekerjaannya.
Perilaku ekstra-peran (extra-role) tersebut sangat diperlukan
untuk mendukung tercapainya tujuan perusahaan secara efektif dan
efisien. Bentuk perilaku ekstra-peran tersebut dapat berupa tindakan
untuk melindungi perusahaan dan kekayaannya, memberikan saran yang
konsruktif untuk meningkatkan kinerja perusahaan, bersedia melatih diri
untuk melakukan tanggungjawab tambahan, membuat iklim yang
menyenangkan untuk perusahaan dan lingkungannya, dan bersifat
kooperatif (Bolon, 1997: 225).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa (1) OCB merupakan
perilaku sukarela yang dilakukan oleh karyawan, (2) OCB tidak tercakup
dalam job description karyawan, (3) OCB dapat mendukung efektivitas
pencapaian tujuan perusahaan atau organisasi. Sedangkan Castro et al.
(2004: 32) menyimpulkan bahwa (1) OCB merupakan suatu perilaku
karyawan yang dilakukan di luar apa yang dipersyaratkan oleh
perusahaan, (2) OCB merupakan suatu perilaku yang dilakukan
karyawan secara sukarela, (3) OCB merupakan perilaku yang secara
langsung tidak mendapat imbalan dan tidak terdapat struktur formal
perusahaan, (4) OCB merupakan perilaku yang penting untuk
meningkatkan kinerja perusahaan dan mendukung keberhasilan
perusahaan.
Beberapa penelitian eksploratif yang mencoba untuk mendeteksi
dimensi-dimensi OCB telah banyak dilakukan, tetapi hingga saat ini
belum ada kesepakatan antara para peneliti mengenai dimensi dari
konstruk OCB tersebut (LePine et al., 2002 dalam Castro et al., 2004:
41). Pertama kali menurut Smith et al. (1983, dalam Gonzalez dan
Garazo, 2006: 33) OCB hanya dibedakan dalam dua dimensi yaitu
altruism dan compliance. Selanjutnya Bateman dan Organ (1983 dalam
Gonzalez dan Garazo, 2006: 36) menemukan bahwa OCB terdiri atas
empat dimensi yaitu: conformity, cooperation, punctuality dan expence.
Penelitian yang dilakukan oleh Gautam et al. (2004: 18) di Nepal, yang
menunjukkan bahwa jenis atau dimensi OCB yang signifikan hanya
altruism dan compliance.
Podsakoff et al. (2000, dalam Castro et al, 2004: 40) membagi
OCB menjadi tujuh kategori yaitu (1) helping behavior, (2)
sportsmanship, (3) individual initiative, (4) civic virtue, (5)
organizational commitment, (6) compliance dan (7) personal
development. Menerut Netemeyer et al. (1997, dalam Castro et al, 2004:
46) OCB dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: (1) Altruism, (2) Civic
virtue, (3) Conscientiousness dan (4) Sportsmanship.
Namun demikian dimensi OCB yang banyak dikenal dan
digunakan dalam penelitian adalah dimensi OCB yang dikemukakan oleh
Organ (1998, dalam Gonzalez dan Garazo, 2006: 29) yang terdiri dari:
a. Altruism yaitu perilaku membantu rekan kerja dalam menyelesaikan
pekerjaannya, misalnya bersedia secara sukarela membantu rekan
kerja yang kurang paham dan rekan kerja baru, membantu rekan kerja
yang mendapat pekerjaan overload, mengerjakan pekerjaan rekan
kerja yang tidak masuk.
b. Courtesy yaitu perilaku untuk terjadinya masalah yang berkaitan
dengan hubungan pekerjaan, misalnya mendorong rekan kerja yang
bekerja malas-malasan.
c. Sportmanship yaitu perilaku menerima kondisi atau keadaan yang
tidak menyenangkan dan kurang ideal, misalnya tidak suka mengeluh
secara picik, tidak suka melalaikan realitas.
d. Civic virtue yaitu perilaku tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam
aktivitas kehidupan perusahaan, misalnya menghadiri pertemuan
yang tidak diperlukan bagi dirinya tetapi bermanfaat bagi perusahaan,
bersedia mengikuti atau mentaati perubahan-perubahan yang terjadi
dalam perusahaan, memiliki inisiatif untuk meningkatkan
produktivitas perusahaan.
e. Conscientiousness atau generalized compliance yaitu dedikasi untuk
bekerja dan mencapai hasil di atas standar yang ditetapkan, misalnya
bekerja sepanjang hari, tidak membuang-buang waktu, mentaati
semua peraturan perusahaan, secara sukarela bersedia melakukan
pekerjaan yang tidak menjadi tanggungjawabnya.
Kelima dimensi tersebut juga dapat dikatakan sebagai bentuk dari
OCB. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Luthans (2005: 444) bahwa
OCB dapat memiliki banyak bentuk, tetapi bentuk utamanya dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) altruisme, misalnya: membantu saat
rekan kerja tidak sehat, (2) kesungguhan, misalnya: lembur untuk
menyelesaikan pekerjaan, (3) kepentingan umum, misalnya: rela
mewakili perusahaan untuk program bersama, (4) sikap sportif, misalnya:
ikut menanggung kegagalan pekerjaan kelompok/tim yang mungkin akan
berhasil dengan mengikuti nasihat sesama rekan kerja, (5) sopan,
misalnya, memahami dan berempati walaupun saat dikritik.

HUBUNGAN ANTARA KETERIKATAN KERJA DANPERILAKU KEWARGANEGARAAN ORGANISASIONAL



Perilaku extra-role yang dimiliki oleh para karyawan memiliki peran
penting dalam meningkatkan efektifitas sebuah organisasi. Perilaku extra-role
atau yang lebih dikenal dengan organizational citizenship behavior menurut
Organ (Chiang & Hsieh, 2012) merupakan perilaku inisiasi dari individu dalam
sebuah organisasi yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi tanpa
adanya sistem imbalan atau reward. OCB yang dimiliki oleh karyawan dapat
memberikan manfaat bagi rekan kerja sebuah organisasi atau bagi organisasi
itu sendiri dengan cara mempengaruhi komitmen anggota organisasi baik
secara psikologis maupun sosial (Ariani, 2013). Dapat diketauhi bahwa OCB
mampu meningkatkan keefektifan, efisiensi, dan keseluruhan kinerja karyawan
dalam sebuah organisasi (Ariani, 2013).
Beberapa faktor yang mampu mempengaruhi OCB dijelaskan oleh
Kusumajati (2014) yaitu faktor budaya dan iklim organisasi, kepribadian,
dukungan organisasi, kualitas interaksi atasan dan bawahan, dan faktor masa
kerja. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana hubungan job
embeddedness dan OCB. Job embeddedness menurut Mitchel dkk (Nafei,
2015) yaitu sebuah kombinasi antara aspek material, finansial, dan aspek
psikologis yang membuat seseorang terikat dengan pekerjaannya. Terdapat
beberapa aspek dalam variabel job embeddedness diantaranya yaitu, fit, links,
dan sacrifice. Sementara pada variabel organizational citizenship behavior
terdapat aspek-aspek diantarnya yaitu altruism, conscientiousness, courtesy,
sportsmanship dan civic virtue.
Aspek fit dalam variabel job embeddedness memiliki arti sejauh mana
kehidupan seseorang sejalan dengan pekerjaan mereka. Individu yang memiliki
aspek ini harus memiliki tujuan, nilai yang sesuai dengan budaya organisasi
serta tuntutan pekerjaan yang dimilikinya. Cho dan Ryu (2009) menemukan
bahwa semakin seseorang merasa ada kecocokan dengan pekerjaannya dan
organisasinya maka OCB akan muncul secara lebih wajar. Karyawan memiliki
cara untuk mempersepsikan karakteristik organisasi yang dapat memicu
timbulnya organizational citizenship behavior. Robbins dan Judge (Nafi &
Indrawati, 2017) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki persepsi positif
mengenai pekerjaannya yang merupakan hasil evaluasi terhadap beberapa
karakteristik pekerjaannya cenderung akan berbicara hal positif mengenai
organisasinya, membantu rekan kerja yang lain, serta karyawan yang memiliki
persepsi positif atas evaluasi terhadap beberapa aspek dalam pekerjannya akan
lebih menunjukkan perilaku extra-role dalam organisasi sebagai respon
pengalaman positif yang mereka miliki.
Aspek job embeddedness yang kedua yaitu links. Links adalah sebuah
hubungan baik formal ataupun informal antara individu, institusi, atau dengan
orang lain dalam sebuah organisasi. Mitchell, dkk (2004) menemukan bahwa
secara khusus seseorang yang merasa memiliki keterkaitan dengan orang lain
baik rekan kerja maupun atasan akan mampu menunjukkan perilaku menolong.
Hal ini dapat dikaitkan dengan aspek OCB yaitu altruism. Altruism merupakan
sebuah perilaku dimana karyawan menolong rekan kerjanya untuk
menyelesaikan masalah yang relevan dengan sebuah organisasi. Aspek ini
mampu terbentuk apabila terdapat hubungan atau interaksi yang baik antara
atasan dan bawahan. Penelitian yang dilakukan oleh Novliadi (2006)
menemukan bahwa interaksi antara atasan dan bawahan yang berkualitas baik
akan memberikan peningkatan dalam produktifitas serta kinerja karyawan dan
juga mampu meningkatkan rasa percaya bawahan kepada atasan sehingga para
karyawan yang mempersepsikan kualitas interaksi atasan dan bawahan secara
positif akan merasa berkewajiban untuk memberikan timbal balik atau merasa
memiliki hutang budi kepada organisasi.
Aspek job embeddedness yang ketiga yaitu sacrifice. Sacrifice memiliki
arti sebagai persepsi individu mengenai pengorbanan baik secara fisik maupun
psikologis ataupun persepsi akan adanya sebuah manfaat yang hilang ketika
meninggalkan pekerjaan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Mitchell, dkk
(2004) menemukan bahwa apabila seorang karyawan mengabaikan kesempatan
untuk membantu rekan kerja lain ataupun melakukan perilaku extra-role dalam
organisasi maka karyawan tersebut akan kehilangan peluang dan manfaat
untuk membantu organisasi.

Aspek-Aspek Keterikatan Kerja(Job Embeddedness)


Terdapat tiga aspek mengenai job embeddedness yang diungkapkan oleh
Mithcell dkk (Nafei, 2015) diantaranya:
a. Kesesuaian (Fit)
Fit merupakan sejauh mana tingkat kesamaan atau kompatibilitas
antara budaya yang dimiliki individu dengan organisasi serta kesesuaian
ketertarikan yang dimiliki karyawan dengan penghargaan yang
organisasi berikan. Fit juga bisa diartikan sebagai persepsi karyawan
ketika mereka merasa nyaman dengan lingkungan organisasinya. Fit
dapat didefinisikan dengan sejauh mana kehidupan seseorang sejalan
dengan pekerjaan mereka. Individu yang memiliki aspek ini harus
memiliki tujuan, nilai yang sesuai dengan budaya organisasi serta
tuntutan pekerjaan yang dimilikinya. Seseorang yang merasakan adanya
kecocokan dengan organisasi mereka, maka akan semakin sulit untuk
meninggalkannya. Pada intinya fit adalah tingkat kesesuaian, kesamaan
ataupun kecocokan antara individu dengan organisasinya.
b. Hubungan (Links)
Links diartikan sebagai sejauh mana seseorang mempunyai
hubungan dengan orang lain ataupun dengan sebuah pekerjaan/aktivitas.
Links juga bisa dikarakteristikkan dengan sebuah koneksi atau hubungan
baik formal ataupun informal antara individu, institusi, atau dengan
orang lain dalam sebuah organisasi. Aspek ini juga dapat berarti masingmasing individu memiliki koneksi atau hubungan dengan rekan kerja
lain, tim kerja, maupun organisasi dimana mereka terlibat. Semakin baik
hubungan seseorang dengan keluarga, organisasi, atau perusahaannya
maka semakin sulit mereka meninggalkannya dan secara otomatis
mereka mereka dikatakan semakin melekat dengan hal-hal tersebut.
c. Pengorbanan (Sacrifice)
Sacrifice merupakan persepsi individu mengenai pengorbanan
baik secara fisik maupun psikologis ataupun persepsi akan adanya
sebuah manfaat yang hilang ketika meninggalkan pekerjaan tertentu.
Sacrifice dapat berarti sebuah perasaan baik secara fisik maupun
psikologis yang dirasakan ketika meninggalkan organisasi mereka.
Perasaan atau persepsi mengenai pengorbanan ini hanya dapat dirasakan
ketika individu akan berpindah ke organisasi yang baru

Pengertian Keterikatan Kerja (Job Embeddedness)


Job embeddedness menurut argumen yang dikeluarkan oleh Feldman
(Nafei, 2015) adalah ketika individu bisa terjerat dengan situasi sekitarnya
sehingga mereka sulit memisahkan diri dari situasi tersebut. Definisi lain
mengenai job embeddedness juga dikemukakan oleh Granvoetter (Nafei,
2015) yaitu sebuah konsep baru dimana seseorang terikat secara baik dengan
kehidupan sosial di sebuah organisasi. Yao dkk (Crossley, 2007)
mengansumsikan job embeddedness sebagai konstrak yang terdiri dari
kekuatan kontekstual, perseptual yang mengikat individu kepada lokasi,
rekan kerja, serta masalah di tempat kerja.
Mitchell dkk (Crossley, 2007) mendefinisikan job embeddedness dengan
sebuah kekuatan atau power yang dimiliki seseorang sehingga dapat
membuat mereka terhindar dari meninggalkan pekerjaannya. Mitchell (Afsar
& Badir, 2016) menambahkan bahwa job embeddedness merupakan sebuah
gambaran komprehensif yang menggambarkan hubungan antar rekan kerja.
Mitchell juga mengatakan bahwa job embeddedness bersifat mengikat
seseorang dengan organisasi, rekan kerja di organisasi tersebut. Mitchell dkk
(Nafei, 2015) masih berargumen bahwa job embeddedness merupakan
sebuah kombinasi antara aspek material, finansial, dan aspek psikologis yang
membuat seseorang terikat dengan organisasinya.
Berdasarkan beberapa paparan mengenai job embeddedness yang sudah
dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa job embeddedness merupakan
sebuah konsep dimana seseorang merasa terikat kuat dengan organisasinya
sehingga mereka akan lebih memilih untuk tetap berada dan terlibat dalam
suatu perusahaan daripada meninggalkannya

Faktor-Faktor Perilaku Kewarganegaraan Organisasional(Organizational Citizenship Behavior)


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi OCB, diantaranya
(Kusumajati, 2014):
a. Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi
Apabila organisasi mampu memberi sebuah iklim organisasi yang
dipersepsi secara positif oleh karyawannya maka akan memunculkan
perilaku OCB. Iklim organisasi merupakan lingkungan internal
organisasi. Setiap perusahaan pasti memiliki iklim organisasi yang
berbeda. Iklim organisasi yang terbuka akan mampu tercipta apabila
karyawan sebuah organisasi memiliki persepsi positif terhadap
organisasinya. Salah satu hal penting dalam menentukan tingkah laku
individu dalam organisasi adalah iklim organisasi, karena hal tersebut
memuat persepsi seseorang mengenai apa yang telah diberikan oleh
perusahaan (Prihatsanti & Dewi, 2010)
b. Kepribadian
Kepribadian seseorang berperan penting dalam perilaku kerja,
dengan adanya sikap keterbukaan akan sebuah pengalaman, kesadaran
serta adanya stabilitas emosional merupakan ciri kepribadian dalam
memunculkan perilaku OCB.
c. Dukungan Organisasi
Persepsi seseorang mengenai adanya dukungan yang diberikan
oleh organisasi dapat memunculkan perilaku OCB. Karyawan organisasi
20
yang merasa didukung oleh perusahaannya maka akan memberikan
feedback terhadap organisasi tersebut.
d. Kualitas Interaksi Atasan dan Bawahan
Adanya kesediaan seorang atasan menggunakan hak kuasanya
untuk bisa membantu bawahannya menyelesaikan masalah yang timbul
dapat memicu munculnya perilaku OCB. Adanya interaksi antara atasan
dan bawahan yang berkualitas akan memberikan beberapa peningkatan
pada produktifitas kerja dan memicu adanya perilaku OCB.
e. Masa Kerja
Masa kerja bisa dikatakan sebagai predictor adanya perilaku OCB
karena masa kerja dapat mewakili adanya sebuah pengukuran terhadap
investasi karyawan di organisasi.
f. Jenis Kelamin
Adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam sikap kerja
seperti menolong orang lain, bersahabat, maupun bekerja sama dengan
orang lain antara laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan
oleh Konrad (Kusumajati, 2014) menyebutkan bahwa wanita memiliki
perilaku OCB yang lebih tinggi dibanding laki-laki.

Aspek-Aspek Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Organ (2005) menyebutkan terdapat 5 aspek dari OCB, yaitu:
a. Perilaku Mementingkan Orang Lain (Altruism)
Altruism merupakan kebebasan karyawan dalam berperilaku
dimana karyawan menolong rekan kerjanya untuk menyelesaikan
masalah yang relevan dengan sebuah organisasi. Aspek ini mengarahkan
bahwa perilaku menolong karyawan lain bukalah kewajiban yang
dimilikinya.
b. Perilaku Kewarganegaraan (Conscientiousness)
Conscientiousness adalah kebebasan karyawan untuk berperilaku
dimana perilaku karyawan tersebut melampaui persyaratan minimum
pekerjaan mereka di dalam organisasi yang meliputi beberapa hal,
diataranya yaitu dalam hal mematuhi aturan, absensi, dan regulasi.
c. Perilaku Adil dan Jujur (Sportmanship)
Sportmanship merupakan keinginan karyawan organisasi untuk
memberikan toleransi terhadap keadaan sekitar yang kurang ideal tanpa
mengeluh, mencerca ataupun menentang terhadap hal tersebut. Individu
yang memiliki aspek sportsmanship yang baik maka akan mampu
bertoleransi pada keadaan yang tidak nyaman.
d. Perilaku Menghormati Orang lain (Courtesy)
Courtesy adalah sebuah perilaku yang dilakukan oleh karyawan
perusahaan atau organisasi untuk menghindari konflik interpersonal antar
rekan kerja. Individu yang memiliki courtesy yang baik akan mampu
memperhatikan dan menghargai perilaku rekan kerja dalam satu timnya.
e. Perilaku Berdedikasi (Civic Virtue)
Civic Virtue merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan
yang mengindikasikan adanya tanggungjawab serta partisipasi seorang
karyawan dalam kehidupan organisasinya. Aspek ini mengarahkan pada
tanggungjawab dari organisasi yang diberikan pada karyawannya untuk
meningkatkan kualitas pekerjaannya.

Pengertian Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (OrganizationalCitizenship Behavior)


Morman dan Blakely (Prihatsanti & Dewi, 2010) mendefinisikan OCB
sebagai perilaku yang kerap dilakukan oleh karyawan sebuah organisasi atau
perusahaan yang menunjang kepentingan organisasi walaupun tidak secara
langsung membawa keuntungan pada karyawan itu sendiri. OCB menurut
Rotundo & Sackett (Ariani, 2013) merupakan perilaku yang memberikan
kontribusi untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara berpartisipasi
langsung pada lingkungan sosial dan lingkungan psikologis. Ariani (2013)
mengkonsepkan OCB sebagai perilaku positif dan adanya sebuah kemauan
untuk menggunakan energi yang akan memberikan kesuksesan bagi
organisasi. William dan Anderson (Chiang & Hsieh, 2012) mengkonsepkan
OCB sebagai sebuah perilaku kerjasama yang proaktif atau bisa dikatakan
sebagai perilaku membantu diantara sebuah tim kerja dalam organisasi,
perilaku OCB bagi sebuah organisasi dilakukan atau ditunjukkan untuk
mengembangkan organisasi agar menjadi lebih baik lagi.
Organ (2005) mendefinisikan organizational citizenship behavior
sebagai sebuah perilaku yang berusaha untuk memberikan manfaat bagi
organisasi yang melampaui harapan organisasi. Organ (2005) menyatakan
bahwa OCB merupakan bentuk perilaku extra-role yang meningkatkan
afektif pada karyawan organisasi. Organ (Chiang & Hsieh, 2012)
mengatakan bahwa OCB merupakan perilaku inisiasi dari individu dalam
sebuah organisasi yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi tanpa
adanya sistem imbalan atau reward. Organ (Cho & Ryu, 2009) juga
mendefiniskan OCB sebagai suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh seorang
karyawan tetapi secara tidak langsung pekerjaan tersebut tidak ada di dalam
job description individu tersebut.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa organizational
citizenship behavior adalah perilaku inisiasi dari karyawan organisasi yang
dilakukan dengan suka rela tanpa adanya sistem reward dan itu memberikan
manfaat bagi keefektifan sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya.

Tujuan Penetapan Harga


Setiap kegiatan pemasaran termasuk penetapan harga harus
diarahkan ketercapainya suatu tujuan. Dengan kata lain, manajemen
harus menentukan lebih dahulu tujuan penetapan harga itu sendiri.
(Kotler, 2012:473) menyatakan bahwa perusahaan dapat
mengejar salah satu dari lima tujuan utama melalui penetapan harga,
yaitu :
1) Survival (Bertahan Hidup)
Tujuan ini dipilih oleh perusahaan jika perusahaan
mengalami kelebihan kapasitas, persaingan yang ketat, atau
keinginan konsumen yang berubah-ubah. Karena itu perusahaan
akan menetapkan harga jual yang rendah dengan harapan pasar
akan peka terhadap harga.
2) Maximum Current Profit (Laba Sekarang Maksimum)
Perusahaan memilih tujuan ini akan memperkirakan
permintaan dan biaya yang berkaitan dengan berbagai alternatif
harga dan memilih harga yang akan menghasilkan laba sekarang,
arus kas, atau tingkat pengembalian investasi yang maksimum.
3) Maximum Market Share (Pangsa Pasar Maksimum)
Perusahaan yang memilih tujuan ini yakin bahwa volume
penjualan yang lebih tinggi kan menghasilkan biaya per-unit yang
lebih rendah dan laba jangka panjang yang lebih tinggi.
Perusahaan menetapkan harga terendah dengan asumsi bahwa
pasar sangat peka terhadap perubahan harga, sehingga harga rendah
tersebut merangsang pertumbuhan pasar, itu disebut harga penetrasi
pasar (market-penetration pricing).
4) Maximum Market Skimming (Menyaring Pasar Secara Maksimum)
Dalam tujuan ini perusahaan menetapkan harga tertinggi bagi
setiap produk baru yang dikeluarkan, dimana kemudian secara
berangsur-angsur perusahaan menurunkan harga untuk menarik
segmen lain yang peka terhadap harga. Tujuan ini dapat diterapkan
dengan adanya kondisi-kondisi atau asumsi-asumsi sebagai berikut:
a) Biaya per unit untuk memproduksi volume kecil tidak terlalu
tinggi.
b) Harga awal yang tinggi tidak menarik lebih banyak pesaing
kepasar.
c) Harga yang tinggi menyatakan citra produk yang unggul.
5) Product-Quality Leadership (Kepemimpinan Mutu-Produk)
Tujuan ini dipilih oleh perusahaan jika perusahaan ingin
menjadi pemimpin pasar dalam hal kualitas produk, dan harga yang
ditetapkan menjadi relatif tinggi untuk menutupi biaya-biaya
penelitian dan pengembangan serta biaya untuk menghasilkan mutu
produk yang tinggi.
Tujuan-tujuan lainnya, harga ditetapkan dengan tujuan
mencegah masuknya pesaing, mempertahankan loyalitas
pelanggan, mendukung penjualan ulang, atau menghindari campur
tangan pemerintah.
Tujuan penetapan harga diatas, memiliki implikasi penting
terhadap strategi persaingan perusahaan. Tujuan yang ditetapkan
harus konsisten dengan cara yang ditempuh perusahaan dalam
menempatkan posisi relatif dalam persaingan. Misalnya,
pemelihan tujuan berorientasi pada laba mengandung makna bahwa
perusahaan akan mengabaikan harga pesaing. Pemilihan tujuan
yang berorientasi pada volume penjualan dilandaskan pada strategi
mengalahkan atau mengatasi persaingan. Sedangkan tujuan yang
berorientasi stabilitas harga didasarkan pada strategi menghadapi
atau memenuhi tuntutan persaingan. Dalam tujuan yang
berorientasi pada volume penjualan dan stabilitas, perusahaan harus
dapat menilai tindakan pesaingnya. Tujuan yang berorientasi pada
citra, perusahaan berusaha menghindari persaingan dengan jalan
melakukan diferensiasi produk atau dengan jalan melayani segmen
pasar khusus

Pengertian harga


Selain inovasi dan kualitas produk hal yang terpenting lainnya
yang harus diperhatikan perusahaan adalah harga produk. Perusahaan
harus mampu menarik konsumen dengan dengan menentukan harga
yang tepat terhadap produk yang akan dipasarkan, karena harga
merupakan faktor yang penting yang dapat menjadi bahan
pertimbangan konsumen untuk memutuskan apakah akan membeli
barang tersebut atau tidak. Price this is most variable sensitiveness
and even become a factor of crisis in the mix of pemasaran (Vera
Clara Simanjuntak : 2016).
Menurut Wicaksono (2016:55) mengemukakan konsep harga
dalam kompetisi pemasaran, dimana harga adalah suatu nilai yang
diberikan terhadap produk untuk memposisikan produknya lebih
unggul daripada produk lain dengan memperhatikan daya beli
konsumen dan daya saing para pesaingnya.
Selanjutnya Sasongko (2013:22) menjelaskan bahwa
konsumen akan menilai harga produk adalah kompetitif apabila harga
yang ditetapkan layak dengan kualitas produknya dan tidak kalah
dengan harga yang ditetapkan para pesaing atas produk.
Dari sudut pandang konsumen harga sering kali dipergunakan
sebagai indikator bilamana harga tersebut dihubungankan dengan
manfaat yang dirasakan atas suatu produk, atau dalam arti kata harga
merupakan pengorbanan bagi konsumen dalam mendapatkan suatu
produk. Namun secara sederhana harga dapat diartikan sebagai
sejumlah uang (satuan moneter) dana atau aspek lain (non moneter)
yang mengandung kegunaan tertentu yang diperlukan untuk
mendapatkan suatu produk / jasa.
Sementara menurut (Sunyoto, 2013:15) harga adalah nilai yang
disebutkan dalam mata uang atau medium monometer lainnya sebagai
alat tukar. Pengertian harga dalam ilmu ekonomi adalah atribut produk
yang berkaitan dengan kegunaan dan nilai suatu produk. Harga
merupakan aspek yang menggambarkan kualitas produk dan
mempengaruhi terhadap persepsi yang akan ditimbulkan oleh
konsumen

Kualitas Produk


Menurut Kotler & Armstrong, (2012:248) product as anything
that can be offered to a market for attention, acquisition, use, or
consumption that might satisfy a want or need. yang artinya “Sesuatu
yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki,
dipakai, atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan atau
kebutuhan”. Oleh karena itu produk mudah dilihat dan dibandingkan
konsumen. Sehingga tampilan dari produk dibuat menarik untuk
membuat konsumen tertarik pada produk tersebut. Setelah tertarik
diharapkan konsumen mau melakukan pembelian. Pada saat
mengkonsumsi produk tersebut maka konsumen akan merasakan bahwa
produk tersebut sesuai dengan harapannya atau tidak. Sedangkan Kotler
dan Amstrong, (2012:283), “Kualitas produk adalah kemampuan sebuah
produk dalam memperagakan fungsinya, hal ini termasuk keseluruhan
durabiltas, reabilitas, ketepatan, kemudahan pengoprasian, dan reparasi
produk, juga atribut produk lainnya.” Salah satu nilai utama yang
diharapkan oleh kunsumen dari produsen adalah kualitas produk dan jasa
tertinggi. Adapun yang menjadi indikatornya adalah sebagai berikut :
a. Variasi produk
b. Rasa sesuai harapan konsumen
c. Produk higienis
d. Kualitas sajian
e. Harga bersaing
f. Ukuran yang pas
Menurut Tjiptono (2012:32) mendefinisikan kualitas sebagai
tingkat mutu yang diharapkan dan pengendalian keragaman dalam
mencapai mutu tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Inovasi Produk


Inovasi ialah suatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati
sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang, baik
berupa hasil invensi atau diskoveri yang diadakan untuk mencapai tujuan
tertentu. Baru di sini diartikan mengandung ketidaktentuan (uncertainty),
artinya sesuatu yang mengandung berbagai alternatif. Sesuatu yang tidak
tentu masih terbuka berbagai kemungkinan bagi orang yang mengamati,
baik mengenai arti, bentuk, manfaat, dan sebagainya. Dengan adanya
informasi berarti mengurangi ketidak tentuan tersebut, karena dengan
informasi itu berarti memperjelas arah pada satu alternatif tertentu, atau
dengan kata lain Inovasi adalah suatu proses pembaharuan atau
penyegaran dari sebuah produk ataupun jasa yang sudah ada, dengan
suatu hal yang lebih baik. Guna mempertahankan pangsa pasar untuk
dapat lebih diminati konsumen.
Menurut McDaniel, dalam Chyntia dan Hendra,(2014:1217)
Inovasi merupakan proses no-linear dari dua komponen meliputi
implementasi kreativitas dan inovasi. Pada awal proses, kreativitas
mendominasi dan kemudian, akan didominasi oleh proses implementasi
inovasi. Inovasi dalam kewirausahaan terbagi atas dua tipe inovasi yang
membentuk keuntungan bagi suatu usaha dengan cara yang berbeda yaitu
inovasi produk dan inovasi proses.
Sedangkan Kotler & Keller (2012) mengemukakan dimensi
inovasi produk:
a. Main power menyeimbangkan antara kemampuan seseorang dengan
kebutuhan perusahaan,
b. Materials, penyesuaian bahan baku dan bahan penunjang lainnya
dalam pelaksanaan produksi.
c. Machine dibutuhkan untuk membantu kelancaran proses produksi.
Diapun berpendapat bahwa Inovasi dapat terus berkembang apabila
dilakukan perubahan secara terus menerus, hadir dalam ritme
kehidupan modern, dan mutakhir

Indikator Keputusan Pembelian


Menurut Kotler (2016:176) Indikator yang mencirikan
keputusan pembelian yaitu:
1) Kebutuhan dan keinginan akan suatu produk
2) Kesesuaian harga
3) Keinginan mencoba berbagai produk yang bervariasi (Rangsangan
/Motivasi)
4) Kemantapan akan kualitas suatu produk
5) Keputusan pembelian ulang
6) Bonus akhir tahun
7) Gaya hidup dilingkunganya tempat tinggal

Tahap-Tahap Keputusan Pembelian


Menurut Muhammad Rizal Ramdni (2016) proses keputusan
pembelian bisnis melibatkan delapan 8 dasar yaitu:
1) Pengenalan masalah, tahap pertama proses pembelian bisnis dimana
seorang dalam perusahaan mengenali masalah atau kebutuhan yang
dapat dipenuhi dengan memperoleh barang atau jasa
2) Deskripsi kebutuhan utama yaitu tahap dalam proses pembelian
bisnis dimana perusahaan menggambarkan karakteristik umum dan
kualitas produk yang dibutuhkan
3) Spesifikasi produk, tahap pertama proses pembeli bisnis dimana
organisasi pembelian memutuskan dan menetapkan spesifikasi
karakteristik teknis produk terbaik untuk produk yang diperlukan
4) Pencarian pemasok yaitu tahap proses pembelian bisnis dimana
pembeli berusaha menemukan vendor terbaik
5) Pengumpulan proposal adalah tahap proses bisnis dimana pembeli
mengundang pemasok bermutu untuk mengumpulkan proposal
6) Pemilihan pemasok y aitu tahap proses pembelian bisnis dimana
pembeli meninjau ulang proposal dang memilih satu dari banyak
pemasok
7) Spesifikasi pesanan rutin adalah tahap proses pembelian bisnis
dimana pembeli menulis pesanan akhir dengan pemasok terpilih,
menyebutkan spesifisi teknis, kualitas yang diperlukan, waktu
pengiriman yang diharapkan.
8) Tinjauan ulang kerja yaitu tahap proses pembelian bisnis dimana
pembeli menilai kinerja pemasok dan memutuskan untuk
melanjutkan

Pengertian Keputusan Pembelian


Menurut Moergan dan Celrullo (dalam Fatresi, 2017)
mendefinisikan keputusan merupakan kesimpulan yang dicapai sesudah
dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih,
sementara yang lain dikesampingkan. Berbeda dengan teori yang di
ungkapkan oleh Anggriawan dan Brahmayanti (2016) menyatakan
bahwa keputusan pembelian konsumen pada dasarnya merupakan
proses pemecahan masalah. Kebanyakan konsumen, baik konsumen
individu maupun pembeli organisasi melalui proses mental yang hampir
sama dalam memutuskan produk dan merek apa yang akan dibeli

Indikator Citra Merek


Menurut Biel M. Anang Firmansyah (2019:81) indicator yang
membentuk citra merek sebagai berikut:
1) Citra pembuat yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersiapkan
konsumen terhadap perusahaan yang membuat suatu barang atau
jasa.
2) Citra pemakai yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersiapkan
konsumen terhadap pemakai yang menggunakan suatu barang atau
jasa
3) Citra produk yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersiapkan
konsumen terhadap suatu barang atau jasa

Manfaat Citra Merek


Menurut Tjiptono (2016) merek juga memiliki manfaat sebagai
berikut:
1) Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau
pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam
pengorganisasian sediaan dan pencatatan akuntansi.
2) Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik.
Merek bisa mendapatkan perlindungan properti intelektual. Nama
merek bisa diproteksi melalui merek dagang terdaftar (registered
trademarks) proses pemanufaktur bisa dilindungi melalui hak paten
dan kemasan bisa diproteksi melalui hak cipta (copyright) dan
desain.
3) Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga
mereka bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi di lain
waktu.
4) Sarana untuk menciptakan asosiasi dan makna unik yang
membedakan produk dari para pesaing.
5) Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan
hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam
benak konsumen.
6) Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa
dating
Selain itu citra merek yang disampaikan, ada pula Sopiah dan
sangadji (2016:74) citra merek memiliki manfaat sebagai:
1) Konsumen dengan citra yang positif terhadap suatu merek, lebih
memungkinkan untuk melakukan pembelian
2) Perusahaan dapat mengembangkan lini produk dengan manfaatkan
citra positif yang telah terbentuk terhadap merek produk lama.

Manfaat Merek


Merek sangat dibutuhkan oleh suatu produk karena selain merekmerek memiliki nilai yang kuat merek juga memilki manfaat bagi
produsen, konsumen dan publik seperti yang dikemukakan Bilson
Simamora dalam buku M. Annang Firmansyah (201;9153), yaitu:
1) Bagi Konsumen manfaat merek yaitu:
Merek dapat menceritakan sesuatu kepada pembeli tentang
suatu mutu produk maupun jasa. Merek mampu menarik perhatian
pembeli terhadap produk-produk baru yang mungkin akan
bermanfaat bagi mereka.
2) Manfaat merek bagi perusahaan
Merek memudahkan penjual dalam mengolah pesanan dan
menelusuri masalah yang timbul. Merek dapat memberikan
perlindungan hukum atas keistimewaan yang dimiliki oleh suatu
produk. Merek memungkinkan untuk menarik sekelompok pembeli
yang setia dan menguntungkan. Merek membantu penjual dalam
melakukan segmentasi pasar.
3) Manfaat Merek Bagi Publik
Pemberian merek memungkinkan mutu produk lebih
terjamin dan lebih konsisten. Merek dapat meningkatkan efisiensi
pembeli karena merek dapat menyediakan informasi tentang produk
dan dimana dapat membeli produk tersebut. Merek dapat
meningkatkan inovasi produk baru, karena produsen terdorong
untuk menciptakan keunikan baru guna mencegah peniruan dari
para pesaing.
Berbicara tentang manfaat merek bagi produsen menurut M.
Anang Firmansyah (2019):
1) Memudahkan perusahaan dalam menangani produk
2) Membantu dalam mengatur persediaan dan laporan keuangan
3) Merek juga membantu dalam memberikan perlindungan hukum
4) Brand name dapat di lindungi melalui merek dagang yang terdaftar 
5) Hak atas kekayaan intelektual menjamin perusahaan dapat denga
naman menanam modal dalam brand dan menuai keuntungan
semua aktivitas berharga

Definisi Merek


Menurut M. Anang Firmansyah (2019:21) Merek adalah suatu
nama, symbol, tanda desain atau gabungan diantaranya untuk dipakai
sebagai suatu perorangan, organisasi, atau perusahaan pada barang atau
jasa yang dimiliki untuk membedakan dengan product jasa lainnya.
Selain itu merek di definisikan dengan UU no.15 Tahun 2001 Pasal 1
ayat 1” menyatakan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar,
nama kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi
dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Faktor – Faktor Pembentuk Citra Merek


Keller (2016) mengemukakan faktor-faktor terbentuknya brand
image antara lain:
1) Keunggulan produk merupakan salah satu faktor pembentuk brand
image, dimana produk tersebut unggul dalam persaingan.
2) Kekuatan merek merupakan asosiasi merek tergantung pada
bagaimana informasi masuk kedalam ingatan konsumen dan
bagaimana proses bertahan sebagai bagian dari citra merek.
Kekuatan asosiasi merek ini merupakan fungsi dari jumlah
pengolahan informasi yang diterima pada proses encoding.
3) Keunikan merek adalah asosiasi terhadap suatu merek mau tidak
mau harus terbagi dengan merek-merek lain. Oleh karena itu, harus
diciptakan keunggulan bersaing yang dapat dijadikan alasan bagi
konsumen untuk memilih suatu merek tertentu.

Definisi Citra Merek


Menurut Kotler dan Keller dalam Priansa (2017:265)
menyatakan bahwa citra merek adalah respons konsumen pada
keseluruhan penawaran yang diberikan oleh perusahaan. Citra tersebut
berhubungan dengan nama bisnis, arsitektur, variasi dari produk, tradisi,
ideologi, dan kesan pada kualitas komunikasi yang dilakukan oleh
setiap karyawan yang berinteraksi dengan klien perusahaan. Berbeda
dengan M. Anang Firmansyah (2019) brand image adalah apa yang
konsumen pikirkan dan rasakan Ketika mendengar atau melihat sebuah
brand

Indikator Harga


Pengukuran pada variabel Persepsi Harga mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Tjiptono dalam Ferdinan dan Nugraheni
(2013:134), yang terdiri dari:
1) Keterjangkauan Harga
Keterjangkauan harga adalah harga sebenarnya dari suatu
produk yang tertulis di suatu produk, yang harus dibayarkan oleh
konsumen dengan maksud yaitu, konsumen cenderung melihat
harga akhir dan memutuskan apakah akan mendapatkan nilai yang
baik seperti yang diharapkan. Harapan konsumen dalam melihat
harga yaitu:
a) Harga yang ditawarkan mampu dijangkau oleh konsumen
secara financial.
b) Penentuan harga harus sesuai dengan kualitas produk sehingga
konsumen dapat mempertimbangkan dalam melakukan
pembelian suatu produk yang diinginkan.
2) Kesesuaian Harga
Kesesuaian harga adalah penetapan harga yang dilakukan
oleh perusahaan dengan mempertimbangkan sasaran konsumen dan
perubahan situasi.
3) Daya Saing Harga
Daya Saing Harga berhubungan dengan bagaimana
efektivitas suatu perusahaan dalam menentukan harga di pasar
persaingan, dibandingkan dengan perusahaan lainnya yang
menawarkan produk atau jasa-jasa yang sama atau sejenis.
4) Harga Sesuai Manfaat
Harga Sesuai Manfaat adalah bagaimana suatu perusahaan
menetapkan harga sesuai dengan manfaat produk yang dijual

Faktor- Faktor Penentu Harga


Kekuatan utama yang umumnya yang mempengaruhi harga ada
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan (Santiago Lopez 2016
:185) :
1) Lifecycle stage of the Service
Harga yang disarankan rendah untuk mencapai mangsa
pasar yang tepat jika merek atau produk yang kita tawarkan tidak
terkenal
2) Elastisitas permintaan fleksibilitas
Perusahaan menetapkan harga produknya dan jasa dibatasi
oleh elastisitas harga dari permintaan. Oleh karena itu organisasi
harus mengetahui apakah permintaan layanan elastis atau inelastic
untuk menentukan harga yang benar
3) Situasi persaingan pangsa pasar dan kekuatan persaingannya
4) Kebijakan harga, dengan demikian penentuan harg harus sesuai
dengan keseluruhan strategi pemasaran 4P

Tujuan Penetapan Harga


Menurut pandangan Murniati dan Sruyaning Bawono (2020):
Penetapan harga didasarkan pada strategi pemasaran yang diadopsi,
biaya struktur, aliran pendapatan, dan kesediaan konsumen untuk
membayar. Penetapan harga harus disesuaikan dengan segmen
konsumen yang dipilih. Selain itu tujuan penetapan harga menurut
Santiago Lopez (2016:154: kebijakan penetapan harga harus memiliki
tujuan yang sejalan dengan sasaran stabilitas. Di antara kemungkinan
yang kita temukan:
1) Pendapatan atau pangsa pasar
2) Pendapatan dan profitabilitas
3) Factor social

Peranan Harga


Harga memainkan peranan penting bagi perekonomian secara
makro, konsumen, dan perusahaan, yaitu (Fandy Tjiptono, 2016:471):
1) Bagi perekonomian. Harga produk mempengaruhi tingkat upah,
sewa, bunga dan laba. Harga merupakan regulator dasar dalam
sistem perekonomian, karena harga berpengaruh terhadap alokasi
faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, tanah, modal, dan
kewirausahaan.
2) Bagi konsumen. Mayoritas konsumen agak sensitif terhadap harga,
namun juga mempertimbangkan faktor lain (seperti citra, merek,
lokasi toko, layanan, nilai (value) dan kualitas). Selain itu, persepsi
konsumen terhadap kualitas produk sering kali dipengaruhi oleh
harga. Dalam beberapa kasus, harga yang mahal dianggap
mencerminkan kualitas tinggi, terutama dalam kategori specialty
products.
3) Bagi perusahaan. Harga produk adalah determinan utama bagi
permintaan pasar atas produk bersangkutan. Harga mempengaruhi
posisi bersaing dan pangsa pasar perusahaan. Dampaknya, harga
berpengaruh pada pendapatan dan laba bersih perusahaan. Singkat
kata, perusahaan mendapatkan uang melalui harga yang dibebankan
atas produk atau jasa yang dijualnya.

Definisi Harga


Harga adalah elemen bauran pemasaran yang dapat
menghasilkan pendapatan melalui penjualan. Oleh karena itu,
perusahaan harus dapat menetapkan harga produknya dengan baik dan
tepat sehingga konsumen tertarik dan mau membeli produk yang
ditawarkan agar perusahaan mendapatkan keuntungan. Selain itu harga
yang ditawarkan juga dapat menjadi factor setiap konsumen untuk
menjadikan patokan perbandingan.
Menurut (Kotler dan keller, 2016:115) Menyatakan bahwa
Harga adalah elemen dalam bauran pemasaran yang tidak saja
menentukan probabilitas tetapi juga sebagai sinyal untuk
mengomunikasikan proposal nilai suatu produk. Harga merupakan
suatu moneter atau ukuran lainnya yang ditukarkan agar memperoleh
hak kepemilikan atau penggunaan suatu barang atau jasa. Dan harga
merupakan unsur satu-satunya dari bauran pemasaran yang
memberikan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan di bilang
unsur bauran pemasaran lainnya.
Definisi merunut para ahli:
1) Menurut Phillip Kotler (2016:65), Harga adalah mirip dengan mata
uang, yang berfluktuasi tergantung pada permintaan pasar
2) Menurut Fandy Tjiptono (2016: 218) menyebutkan bahwa harga
merupakan satu-satunya unsur bauran pemasaran yang
mendatangkan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan.
3) Menurut Shinta dalam jurnal Pertiwi, dkk (2016:181) harga adalah
suatu nilai yang dinyatakan dalam bentuk rupiah guna pertukaran /
transaksi atau sejumlah uang yang harus dibayar konsumen untuk
mendapatkan barang dan jasa.

Karakteristik Kewirausahaan


Setiap hal yang ada di dunia memiliki karakteristik sendiri yang
diberikan oleh sang pencipta. Seperti hal nya manusia yang merupakan
ciptaan paling sempurna dari sang pencipta, dimana manusia dapat
dibedakan satu sama lainnya dengan melihat karakteristik atau sifatnya satu
sama lain. Begitu pula profesi, banyak profesi di dunia ini yang dapat
dibedakan berdasarkan ciri-ciri atau karakteristiknya.
Menurut Suryana (2014) mengatakan bahwa ciri-ciri umum
kewirausahaan dapat dilihat dari berbagai aspek kepribadian seperti jiwa,
watak, sikap, dan perilaku seseorang. Berikut ciri-ciri kewirausahaan yang
dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:

  1. Penuh percaya diri, indikatornya adalah penuh keyakinan, optimis,
    berkomitmen, disiplin, dan bertanggung jawab.
  2. Memiliki inisiatif, indikatornya adalah penuh energi, cekatan dalam
    bertindak, dan aktif.
  3. Memiliki motif berprestasi, indikatornya berorientasi pada hasil dan
    wawasan ke depan.
  4. Memiliki jiwa kepemimpinan, indokatornya adalah berani tampil beda,
    dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak.
  5. Berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan, dan oleh karena itu
    menyukai tantangan

Definisi Wirausaha


Istilah kewirausahaan berasal dari kata wirausaha. Kata wirausaha
merupakan gabungan dua kata yang menjadi satu, yakni kata wira dan
usaha. Wira yang artinya pahlawan, laki-laki yang bersifat jantan.
Kemudian, usaha artinya perbuatan, ikhtiar, kegiatan untuk menggapai
suatu tujuan. Maka, wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang
melakukan sesuatu.
Anwar (2014) berpendapat bahwa wirausaha adalah orang yang
menjalankan suatu usaha atau perusahaan dengan dua kemungkinan yakni
untung atau rugi. Oleh karena itu, seorang wirausaha harus memiliki
kesiapan mental, baik pada saat mengalami kerugian maupun keuntungan.
Menurut Robert D. Hisrich and Michael P. Peters (2002) dalam (H.
Mahmudin AS, SE., M.Si, Takdir S, SE., MS, & Zaid, SE., M.Si, 2015)
mengemukakan bahwa Entrepreneur is an individual who takes risks and
starts something new. (Pengusaha adalah seorang individu yang mengambil
risiko dan mulai sesuatu yang baru).
Menurut Prawirokusumo dalam (Anwar, 2014) menjelaskan bahwa
wirausaha adalah orang yang melakukan berbagai upaya kreatif dan inovatif
dengan mengembangkan ide serta mengumpulkan sumber daya untuk
menemukan berbagai peluang dan perbaikan hidup.
Menurut Dewi (2017) mengatakan bahwa wirausaha yaitu orang
yang pintar dan memiliki bakat dalam mengenali produk baru, mempunyai
cara produksi baru, membuat susunan operasi untuk pengadaan produk
baru, memasarkan serta mengatur permodalan.

Definisi Kewirausahaan


Menurut Peter Drucker (1994) dalam (H. Mahmudin AS, SE., M.Si,
Takdir S, SE., MS, & Zaid, SE., M.Si, 2015) menyebutkan bahwa istilah
entrepreneur telah digunakan lebih dari 200 tahun. Entrepreneurship
berasal dari kata Perancis “Entreprendre”, yang artinya adalah “between”
and “to undertake” atau “to take” (melaksanakan/menjalankan,
melakukan/mengerjakan sesuatu pekerjaan). Kewirausahaan
(entrepreneurship) adalah suatu proses memulai bisnis baru,
mengorganisasikan sumber daya – sumber daya seperti : sumber daya
manusia (tenaga kerja), sumber daya alam (bahan baku).
Suryana (2006:45) dalam (Maskan, Permatasari, & Utaminingsih,
2018) menjelaskan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan inovatif dan
kreatif yang menjadi dasar, kiat, dan sumber daya untuk memperoleh
peluang dalam mencapai kesuksesan.
Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk mengelola sesuatu
yang ada dalam diri Anda untuk dimanfaatkan dan ditingkatkan agar lebih
optimal (baik) sehingga bisa meningkatkan taraf hidup Anda di masa
mendatang ( (Ir. Hendro, 2011)
Menurut (Suryana, Kewirausahaan: Kiat dan Proses Menuju Sukses,
2014) terdapat enam hakikat penting dalam kewirausahaan, yaitu :

  1. Kewirausahaan adalah nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang
    dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat,
    proses, dan hasil bisnis.
  2. Kewirausahaan adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan
    berbeda.
  3. Kewirausahaan adalah proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam
    memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki
    kehidupan atau usaha.
  4. Kewirausahaan adalah nilai yang diperlukan untuk memulai dan
    mengembangkan usaha.
  5. Kewirausahaan adalah proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan
    berbeda yang dapat memberikan manfaat serta nilai lebih.
  6. Kewirausahaan adalah usaha untuk menciptakan nilai tambah dengan
    jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan
    berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah tersebut dapat
    diciptakan dengan mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan,
    menghasilkan barang dan jasa, memperbaiki produk dan jasa yang
    sudah ada, dan menemukan cara untuk memberikan kepuasan kepada
    konsumen

Keberhasilan UMKM


Meskipun memiliki potensi yang cukup besar, UMKM belum
mampu sepenuhnya mengantisipasi tantangan – tantangan usaha yang
sewaktu-waktu dapat membuat usaha mereka mengalami kerugian. Kondisi
tersebut membuat UMKM belum bisa berperan secara optimal sebagai
tulang punggung perekonomian indonesia.
Menurut (Budiarto & dkk, 2015) Masalah utama yang dihadapi
UMKM ialah permodalan, pemasaran, bahan baku, teknologi, organisasi
dan manajemen. Di luar hal tersebut, masih terdapat tantangan yang lebih
bersifat eksternal, antara lain belum cukup memadainya iklim kondusif
untuk pengembangan UMKM. Salah satu akibatnya ialah UMKM belum
berperan signifikan dalam ekspor nasional.
Menurut Storey dalam (Kristiningsih & Adrianto, 2014)
mengatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam berwirausaha
dipengaruhi oleh beberapa faktor hal itu dapat dilihat dari karakteristik
pengusaha, karakteristik dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta
kontekstual. Berikut penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut:
a. Karakteristik pengusaha meliputi: Umur, Jenis kelamin, Pengalaman
kerja, Pendidikan, Sikap dan mental pengusaha. Karakteristik dari
UMKM adalah hal-hal yang ada di dalam perusahaan dan berkaitan
dengan jati diri atau profil dari perusahaan itu sendiri.
Menurut Ambadar, Abidin, & Isa (2010) mengemukakan bahwa
untuk menjadi seorang wirausaha harus memahami kemampuan diri,
dimana kita harus menumbuhkan potensi diri yakni mengenali kekuatan
dan kemampuan diri sendiri. Selain itu, harus memahami potensi diri
yakni dengan mengenali karakter diri sendiri, dapat mengukur
kemampuan, minat dan bakat, mengenali kunci sukses, dan berfikir
untuk mulai dan melakukan usahanya.
Menurut Fitriati (2015) berpendapat bahwa seorang wirausaha
harus mampu menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan budaya kerja,
serta mengembangkan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya
pelaku usaha yang memiliki daya saing.
b. Karakteristik dari UMKM dapat dari beberapa hal, antara lain: Asal
perusahaan, Lama waktu beroperasi, Ukuran Usaha, Sumber modal dan
Lokasi.
c. Kontekstual adalah hal-hal yang berada di sekitar usaha dimana dapat
mempengaruhi perusahaan dan juga hal-hal atau aktivitas yang terkait
dengan perusahaan atau dilakukan oleh perusahaan sebagai berikut:
Pemasaran, Teknologi, Akses informasi, Legalitas, Akses modal,

Dukungan pemerintah, Rencana bisnis, Tim manajemen, Persaingan,
dan Inovasi.

Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah


Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah dalam pasal 3 menjelaskan bahwa usaha mikro dan kecil
bertujuan dalam menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam
rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi yang adil. Hal ini berarti UMKM memiliki peran dalam
membangunan perekonomian nasional melalui kontribusi terhadap
penciptaan lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja.
Peran usaha mikro dalam perekonomian Indonesia menurut Urata
(2000) dalam (Sulistyastuti, 2004) adalah:

  1. Usaha mikro merupakan pemain utama dalam kegiatan ekonomi di
    Indonesia.
  2. Menjadi penyediaan lapangan kerja.
  3. Peran penting dalam mengembangkan ekonomi lokal dan masyarakat.
  4. Menciptakan pasar dan berbagai inovasi..
  5. Memberikan kontribusi dalam meningkatkan ekspor non-migas.
    Menurut Nuhung (2012) mengatakan bahwa prioritas utama untuk
    mengembangkan perekonomian di Indonesia yakni Usaha Mikro Kecil dan
    Menengah (UMKM). Selama ini, UMKM menjadi penopang dalam
    menumbuhkan perekonomian bangsa. UMKM memiliki peran yang sangat
    penting dalam menekan angka pengangguran, menyediakan lapangan kerja,
    mengurangi angka kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan dan
    membangun karakter bangsa.
    Katz & Green (2014) mengungkapkan bahwa bisnis kecil sangat
    penting bagi komunitas Anda dan sering juga bagi perusahaan Anda.
    Sebagian dari ini berasal dari hal-hal baru yang dapat dikontribusikan oleh
    bisnis kecil terhadap ekonomi, terutama pekerjaan dan inovasi baru, serta
    dasar-dasar yang disediakan oleh bisnis kecil untuk kita semua

Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah


Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Pasal 6 disebutkan
bahwa kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000.
Selanjutnya, kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 sampai dengan
paling banyak Rp 500.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 sampai
dengan paling banyak Rp 2.500.000.000.
Kemudian, kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 sampai dengan
paling banyak Rp 10.000.000.000
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000 sampai
dengan paling banyak Rp 50.000.000.000.
Menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan
industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri
berdasarkan jumlah pekerjanya, diantaranya:

  1. Industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang.
  2. Industri kecil dengan pekerja 5-19 orang
  3. Industri menengah dengan pekerja 20-99 orang.
  4. Industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih

Definisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)


Banyak pihak yang memberikan definisi terhadap Usaha, Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal tersebut karena banyaknya pihak yang
berkepentingan terhadap UMKM sehingga masing-masing dari mereka
memberikan definisi sesuai dengan kriteria yang diciptakannya sendiri.
Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bahwa :

  1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
    badan usaha perorangan yang telah memenuhi kriteria Usaha Mikro
    sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
    dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
    merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
    dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
    langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi
    Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
  3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
    yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
    merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
    dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
    dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih
    atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
    ini.

Jenis – Jenis Bidang Usaha


Suharyadi (2011) menyebutkan enam bidang usaha yang menjadi
pilihan untuk wirusahawan yang baru ingin memulai usaha, diantaranya :

  1. Usaha Makanan (Kuliner)
    Contoh : makanan pokok, makanan ringan, minuman ringan, es buah, es
    campur, kue-kue, dan sebagainya.
  2. Usaha Pakaian dan Perhiasan
    Contoh : baju, celana, sepatu, sandal, topi, kacamata, serta berbagai
    aksesoris dan perhiasan seperti jam tangan, cincin, dan kalung.
  3. Usaha yang terkait dengan tempat tinggal
    Contoh : jual beli rumah, usaha renovasi rumah, perbaikan alat rumah
    tangga (kulkas, AC, kipas angin), listrik, usaha perabot rumah tangga,
    hiasan dinding, tempat tidur, kursi, dan sebagainya.
  4. Usaha Pendidikan
    Contoh : pendidikan untuk masyarakat melalui berbagai media, seperti
    seminar, buku, kaset, televisi, radio, dan VCD.
  5. Usaha yang terkait dengan rekreasi
    Contoh : sewa kendaraan, sewa perlengkapan pernikahan dan hiburan,
    penyedia alat rekreasi, dan sebagainya.
  6. Usaha Pendukung
    Usaha pendukung ini merupakan usaha yang akan mempermudah orang
    lain dalam menjalankan usahanya, contohnya : menjual bahan baku
    industri, menjual mesin dan alat-alat untuk pertanian.

Definisi Usaha


Definisi usaha dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Usaha
dapat dihubungkan dengan bidang ekonomi, bisnis, psikologi, dan bidangbidang lainnya. Berikut beberapa definisi mengenai usaha:
Badan Pusat Statistik mendefinisikan bahwa usaha merupakan suatu
unit ekonomi yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa untuk dijual
atau ditukar dengan barang lain, serta terdapat individu atau lebih yang
memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam mengelola usaha tersebut.
Kewenangan tersebut meliputi beberapa bidang diantaranya: kepegawaian,
pemasaran, keuangan, dan sebagainya. Usaha dapat berupa perusahaan
tunggal, kantor pusat, kantor cabang, unit produksi seperti pabrik, dan unit
pembantu seperti gudang, kantor pemasaran, atau kantor tempat untuk
melakukan aktivitas perusahaan lainnya yang berlokasi terpisah dari kantor
pusat.
Usaha atau bisnis dapat didefinisikan sebagai sebuah kegiatan atas
aktivitas yang menempatkan sumber-sumber daya yang dimiliki ke dalam
suatu kegiatan produksi yang menghasilkan jasa atau barang, dengan tujuan
agar barang dan jasa tesebut dapat dipasarkan kepada konsumen agar
memperoleh keuntungan (Johan, 2011)

Teknik Pengukuran Kepuasan Pelanggan


Menurut Tjiptono (2008:35), metode survei kepuasan pelanggan dapat
menggunakan pengukuran dengan berbagai cara sebagai berikut:

  1. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pertanyaan dengan
    skala sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat puas (directly
    reported satisfaction).
  2. Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka
    mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka
    rasakan (derived dissastifaction).
  3. Responden diminta untuk menuliskan masalah-masalah yang mereka
    hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan juga diminta
    untuk menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan (problem
    analysis).
  4. Responden dapat diminta untuk meranking berbagai elemen (atribut) dari
    penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa
    baik kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen

Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan


Menurut Kotler dalam Alma (2009:285) ada empat cara untuk mengukur
kepuasan pelanggan, yaitu sebagai berikut:

  1. Complaint suggestion system (sistem keluhan dan saran).
    Banyak perusahaan membuka kotak saran dan menerima keluhan yang
    dialami oleh langganan. Ada juga perusahaan yang memberi amplop yang
    telah ditulis alamat perusahaan untuk digunakan untuk menyampaikan
    saran, keluhan serta kritik. Saran tersebut dapat juga disampaikan melalui
    kartu komentar, customer hot line, dan telpon bebas pulsa.
  2. Customer satisfaction surveys (survey kepuasan pelanggan)
    Dalam hal ini perusahaan melakukan survey untuk mendeteksi komentar
    pelanggan. Survei ini dapat dilakukan melaui pos, telepon, atau
    wawancara pribadi, atau pelanggan diminta mengisi angket.
  3. Ghost shopping (pembeli bayangan)
    Dalam hal ini perusahaan menaruh orang tertentu sebagai pembeli ke
    perusahaannya sendiri. Pembeli misteri ini melaporkan keunggulan dan
    kelemahan pelayan yang melayaninya. Juga dilaporkan segala sesuatu
    yang bermanfaat sebagai bahan pengambilan keputusan oleh manajemen.
  4. Lost customer analysis (analisis pelanggan yang lari)
    Langganan yang hilang, dicoba dihubungi. Mereka diminta untuk
    mengungkapkan mengapa mereka berhenti, pindah ke perusahaan lain,
    adakah sesuatu masalah yang terjadi yang tidak bisa diatasi atau terlambat
    diatasi. Dari kontak semacam ini akan diperiode informasi dan akan
    memperbaiki kinerja perusahaan sendiri agar tidak ada lagi pelanggan
    yang lari dengan cara meningkatkan kepuasan mereka.
    Menurut Kotler dalam Buchari Alma (2009: 290) ada lima tingkat sikap
    pelanggan yang setia terhadap merek, mulai dari kesetiaan yang terendah hingga
    tertinggi yaitu:
  5. Pelanggan yang akan mengganti merek, khususnya karena alasan harga,
    berarti tidak ada kesetiaan merek.
  6. Pelanggan yang merasa puas, berarti tidak ada alasan untuk berganti
    merek.
  7. Pelanggan merasa puas dan akan mengalami kerugian dengan berganti
    merek.
  8. Pelanggan yang menghargai merek tersebut dan menganggapnya sebagai
    teman.
  9. Pelanggan sangat setia dengan merek tersebut.

Strategi Kepuasan Pelanggan


Strategi kepuasan pelanggan menyebabkan para pesaing harus berusaha
keras dan memerlukan biaya tinggi dalam usahanya merebut pelanggan suatu
perusahaan. Kepuasan pelanggan merupakan strategi jangka panjang yang
membutuhkan komitmen, baik menyangkut dana maupun sumber daya manusia.
Tjiptono (2008:40-42) menyebutkan bahwa ada beberapa strategi yang
dapat dipadukan untuk meraih dan meningkatkan kepuasan pelanggan:

  1. Strategi pemasaran berupa relationship marketing. Strategi dimana
    transaksi pertukaran antara pembeli dan penjual berkelanjutan, tidak
    berakhir setelah penjualan selesai dengan kata lain, dijalin suatu
    kemitraan dengan pelanggan secara terus-menerus.
  2. Strategi superior customer service, strategi yang menawarkan pelayanan
    yang lebih baik daripada yang diberikan oleh pesaing.
  3. Strategi unconditional guaranties, strategi yang memberikan komitmen
    kepada pelanggan untuk terus memberikan kepuasan melalui
    penyempurnaan mutu dan kualitas produk.
  4. Strategi penangan keluhan yang efisien, memberikan kesempatan kepada
    pelanggan untuk memberikan keluhan atas ketidakpuasan yang
    dialaminya, dan mengubahnya menjadi pelanggan yang puas.
  5. Strategi peningkatan kinerja perusahaan, upaya yang dilakukan
    perusahaan untuk terus melakukan pemantauan dan pengukuran yang
    menyangkut kepuasan pelanggan secara berkesinambungan, diantaranya
    dengan cara melakukan survey dan komunikasi dengan pelanggan.
  6. Menerapkan Quality Function Depeloyment (QFD), praktik yang
    merancang sesuatu proses sebagai tanggapan terhadap kebutuhan
    pelanggan. QFD memungkinkan suatu perusahaan untuk
    memprioritaskan kebutuhan pelanggan, menemukan tanggapan inovatif
    terhadap kebutuhan tersebut, dan memperbaiki proses hingga tercapai
    efektivitas maksimum. Dalam implementasinya, QFD menggunakan
    berbagai alat, seperti diagram, flow chart, diagram pareto, run chart,
    histogram, scatter diagram, diagram afinitas, interrelationship diagraph,
    tree diagram, dan diagram matriks.

Pengertian Perilaku Konsumen


Studi perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan
untuk memanfaatkan sumber daya mereka yang tersedia (waktu, uang, usaha)
guna membeli barang-barang yang berhubungan dengan konsumsi. Hal ini
mencakup apa yang mereka beli, mengapa mereka membeli, kapan mereka
membeli, dimana mereka membeli, seberapa sering mereka membeli, dan
seberapa sering mereka menggunakannya (Schiffman dan Kanuk,2007:6)
Kebanyakan teori awal mengenai perilaku konsumen didasarkan pada teori
ekonomi, dengan pendapat bahwa individu bertindak secara rasional untuk
memaksimumkan keuntungan (kepuasan) mereka dalam membeli barang dan jasa.
Penelitian belakangan ini menemukan bahwa para konsumen mungkin sekali
membeli secara impulsif, dan dipengaruhi tidak hanya oleh keluarga dan temanteman, oleh berbagai pemasang iklan dan model peran, tetapi juga oleh suasana
hati, keadaan, dan emosi. Semua faktor ini bergabung sehingga membentuk model
perilaku konsumen yang menyeluruh dan mampu mencerminkan aspek pengertian
dan pengetahuan (cognitif) maupun emosional dalam pengambilan keputusan
konsumen.
Dalam pemasaran produk, perusahaan perlu memahami teori tentang
perilaku konsumen, karena konsumen sebagai pihak yang melakukan pembelian
memiliki dorongan dan alasan tersendiri dalam tindakan pembelian yang
dilakukannya.
Peter dan Olson (2006:6) mendefinisikan bahwa perilaku konsumen
sebagai: ”Perilaku dan kegiatan disekitar kita dimana manusia melakukan aspek
pertukaran dalam setiap hidup mereka. Dan perilaku merupakan tindakan
khusus yang ditunjukan pada beberapa objek target”.

Pengujian Pasar (Market Testing)


Pada tahap ini pengujian dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
reaksi konsumen dan penyalur dalam penanganan, penggunaan, pembelian
kembali, dan berapa besar pasarnya.
Tahapan ini sendiri dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a) Pengujian pasar konsumen
Perusahaan selaku produsen perusahaan memperkenalkan empat
variabel pendukung yang terdapat didalamnya yaitu: tingkat mencoba,
pengulangan pertama, adopsi, dan frekuensi pembelian. Metode utama
dalam pengujian pasar konsumen dimuat dalam beberapa hal, yaitu:
 Penelitian volume penjualan.
 Teknik simulasi took.
 Pengujian pemasaran terkendali.
 Pengujian pasar.
b) Pengujian pasar industri dilakukan di uji laboratorium yang kemudian
dilanjutkan ke pasar

Pengembangan Diferensiasi produk


Adapun pelaksanaan diferensiasi produk itu sendiri tidak terlepas dari
diferensiasi produk baru dari produk yang telah ada di pasar. Dalam
melaksanakan kegiatan diferensiasi produk harus melalui tahap-tahap yang khas
dan tertentu yang dapat menekan resiko sekecil mungkin. Hal ini disebabkan
karena kegiatan pengembangan produk ini membutuhkan sarana yang relatif
besar.

Tujuan Diferensiasi Produk

Perusahaan melakukan diferensiasi produk dengan tujuan untuk
memperluas lini produk yang sudah ada, memodifikasi atau menyempurnakan
produk yang telah ada agar tidak terjadi kejenuhan dan memperbaiki posisi
produk di pasaran yang diakibatkan oleh daur hidup produk itu sendiri.
Selain tujuan yang disebutkan di atas ada faktor yang mendorong
perusahaan untuk melakukan diferensiasi produk antara lain:

  1. Perkembangan teknologi.
  2. Perubahan selera konsumen.
  3. Persaingan.
  4. Meningkatnya market share.
  5. Adanya kapasitas yang berlebihan.
  6. Memperkuat dan memperluas pasar.

Jenis – Jenis Diferensiasi Produk


Menurut Kotler dan Keller dalam bukunya Marketing Management
(2009:361) diferensiasi produk terdiri dari:

  1. Bentuk (Form)
    Banyak produk dapat didiferensiasikan berdasarkan bentuk, ukuran,
    model, dan struktur fisik produk.
  2. Fitur (Features)
    Sebagian besar produk dapat ditawarkan dengan fitur (feature) yang
    berbeda-beda yang melengkapi fungsi dasar produk. Sebuah perusahaan
    dapat mengidentifikasi dan menyeleksi fitur baru yang tepat dengan
    melakukan survei pembeli, mempertimbangkan berapa banyak orang
    menginginkan tiap fitur, berapa waktu yang diperlukan untuk
    memperkenalkan tiap fitur, dan apakah pesaing mudah meniru fitur itu.
  3. Mutu kinerja (Performance Quality)
    Sebagian besar produk dibangun menurut salah satu dari empat level
    kinerja: rendah, rata-rata, tinggi, dan unggul. Mutu kinerja adalah level
    berlakunya karakteristik dasar produk. Perusahaan harus juga merancang
    mutu kinerja sepanjang waktu. Terus menerus memperbaiki produk dapat
    menghasilkan pendapatan dan pangsa pasar yang besar.
  4. Mutu kesesuaian (Conformance Quality)
    Pembeli mengharapkan produk mutu kesuaian (conformance quality)
    adalah tingkat kesuaian dan pemenuhan semua unit yang diproduksi
    terhadap spesifikasi sasaran yang dijanjikan.
  5. Daya tahan (Durability )
    Daya tahan (Durability), ukuran usia yang diharapkan atas beroperasinya
    produk dalam kondisi normal dan/atau berat, merupakan atribut yang
    berharga untuk produk-produk tertentu.
  6. Kehandalan (Reability)
    Pembeli umumnya akan membayar lebih untuk mendapatkan produk yang
    lebih handal. Kehandalan (reability) adalah ukuran probabilitas bahwa
    produk tertentu tidak akan rusak atau gagal dalam periode waktu tertentu.
  7. Mudah diperbaiki (Repairability)
    Pembeli memiliki produk yang mudah diperbaiki. Kemudahan diperbaiki
    adalah ukuran kemudahan untuk memperbaiki produk ketika produk itu
    rusak atau gagal. Sifat mudah diperbaiki yang ideal adalah jika pemakai
    dapat memperbaiki sendiri dengan waktu dan biaya relatif kecil. Beberapa
    produk menyertakan fitur diagnostic yang memungkinkan petugas service
    memperbaiki masalah tertentu melalui telepon atau memberi saran
    pemakai mengenai cara memperbaikinya.
  8. Gaya (Style)
    Gaya (style) menggambarkan penampilan dan perasaan yang ditimbulkan
    oleh produk itu bagi pembeli.
  9. Customization
    Customization merupakan pendekatan perusahaan untuk mengetahui lebih
    jauh mengenai kebutuhan pelanggan untuk kemudian melakukan
    pengembangan produk, jasa, program, dan komunikasi secara individual.
  10. Design
    Sebagai penguatan persaingan, desain memberikan jalan yang kuat untuk
    membedakan dan memposisikan barang dan jasa perusahaan. Desain
    merupakan keseluruhan dari ciri produk yang mempengaruhi bagaimana
    produk terlihat, terasa, dan berfungsi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
    pelanggan.

Pengertian Diferensiasi Produk


Diferensiasi produk adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan
dalam memenangkan persaingan di pasar dengan memenangkan persaingan di
pasar dengan menetapkan sekumpulan perbedaan-perbedaan yang berarti pada
produk yang ditawarkan untuk membedakan produk perusahaan dengan produk
pesaingnya, sehingga dapat dipandang atau dipersepsikan konsumen bahwa
produk tersebut mempunyai nilai tambah yang diharapkan oleh konsumen.
Menurut Kotler dan Keller (2009:361) dalam buku Marketing
Management : “Diferensiasi produk merupakan unit bisnis yang berkonsentrasi
untuk mencapai kinerja yang terbaik dalam memberikan manfaat bagi pelanggan
yang dinilai penting oleh sebagian besar pasar.”
Diferensiasi produk menurut Potter yang dialih bahasakan oleh Agus
Maulana (2007:8) adalah :
“Diferensiasi produk adalah perusahaan tertentu yang mempunyai
identifikasi merek dan kesetaraan pelanggan, yang disebabkan oleh
periklanan, pelayanan pelanggan, perbedaan produk dimasa yang dulu,
atau yang sekarang karena perusahaan pertama yang memasuki industri”.
Berdasarkan pengertian di atas maka yang dinamakan diferensiasi produk
adalah tindakan perusahaan yang mempunyai identifikasi merek dan kesetaraan
pelanggan yang digunakan untuk membedakan tawaran perusahaan dengan
tawaran pesaing.

Siklus Hidup Produk


Siklus Hidup Produk (Product Life Cycle) adalah suatu konsep penting
yang memberikan pemahaman tentang dinamika kompetitif suatu produk. Selain
itu tahap siklus produk juga merupakan perjalanan penjualan dan laba suatu
produk dalam masa hidupnya.
Siklus hidup produk menegaskan empat hal:

  1. Produk memiliki umur yang terbatas.
  2. Penjualan produk memiliki tahapan yang berbeda dengan penjualan yang
    berbeda bagi penjual.
  3. Laba naik dan turun pada berbagai tahap siklus produk.
  4. Produk memerlukan strategi pemasaran, keuangan, manufaktur, pembelian
    dan sumber daya manusia yang berbeda dalam tiap tahap siklus hidupnya.
    Sehubungan dengan hal itu, Kotler dan Keller (2009:316) membagi daur
    hidup produk menjadi empat tahapan yaitu:
  5. Perkenalan (Introduction)
    Suatu periode pertumbuhan penjualan yang lambat saat periode itu
    diperkenalkan ke pasar. Pada tahap ini tidak ada laba karena besarnya
    biaya promosi untuk memperkenalkan produk.
  6. Pertumbuhan (Growth)
    Suatu periode penerimaan pasar yang cepat dan peningkatan laba yang
    besar karena produk baru.
  7. Kedewasaan/Kematangan (Maturity)
    Suatu penurunan dalam pertumbuhan penjualan karena produk itu tidak
    telah diterima oleh sebagian besar pembeli. Laba stabil atau menurun
    karena peningkatan pengeluaran pemasaran untuk mempertahankan
    produk terhadap pesaing.
  8. Penurunan (Decline)
    Periode saat penjulan menunjukan arah menurun dan menipis. Hal ini
    disebabkan karena konsumen sudah merasa jenuh terhadap produk yang
    ditawarkan dan salah satu usaha yang harus dilakukan oleh perusahaan
    adalah dengan melakukan inovasi dan diferensiasi produk.

Tingkatan produk


Penawaran produk haruslah memikirkan tingkatan produk, yang terdiri
dari lima tingkatan sebagai berikut:

  1. Manfaat inti (core benefit)
    Tingkatan ini menjawab pertanyaaan apa yang benar-benar dibeli oleh
    konsumen. Produk ini terdapat pada pusat produk total, produk ini terdiri
    dari berbagai manfaat pemecahan masalah yang konsumen cari ketika
    membeli produk. Oleh karena itu, dalam mendesain produk harus
    mendefinisikan oleh produk tersebut kepada konsumennya. Selain itu juga
    mengerti pengalaman total pelanggan yang terkait pembelian dan
    penggunaan barangnya.
  2. Produk dasar (basic product)
    Produk dasar dibangun untuk mengubah manfaat inti di berbagai posisi.
    Produk dasar minimal harus memiliki sifat tingkatan kualitas, fitur, desain,
    merek, dan kemasan. Yang dikombinasikan dengan atribut lainnya secara
    cermat.
  3. Produk yang diharapkan (exceptional product)
    Pada tingkatan ini pemasar harus menyiapkan produk yang diharapkan,
    yaitu berbagai atribut dan kondisi yang bisaanya diharapkan pembeli
    ketika membeli produk ini.
  4. Produk tambahan (augmented product)
    Produk tambahan diperlukan untuk menawarkan layanan dan manfaat bagi
    konsumen. Bukan hanya menawarkan sebuah barang, tetapi juga
    menyediakan solusi lengkap atas masalah yang dihadapi konsumen setelah
    membeli produk tersebut. Itulah alasan mengapa produk bukanlah sekedar
    kumpulan dari fitur berwujud. Konsumen sering melihat sebagai paket
    manfaat rumit dan dapat memuaskan kebutuhan mereka. Ketika
    merancang produk awalnya mengidentifikasikan kebutuhan inti
    konsumen, lalu mendesain produk aktual dan mencari cara menambah
    manfaat produk guna menciptakan paket manfaat yang paling memuaskan
    konsumen.
  5. Calon produk (potensial product)
    Meliputi segala kemungkinan peningkatan dan perubahan yang mungkin
    akan dialami produk atau tawaran tersebut pada masa yang akan datang.
    Disinilah perusahaan mencari berbagai cara baru untuk memuaskan
    pelanggan dan membedakan tawarannya

Produk


Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan pada suatu pasar
untuk diperhatikan, diperoleh, dipakai, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan
suatu keinginan atau kebutuhan. Produk mencakup aspek secara fisik, jasa, orang,
tempat, organisasi, dan ide. Produk muncul karena adanya suatu kebutuhan dan
keinginan dari konsumen yang perlu dipuaskan. Perusahaan sebagai pihak yang
berusaha memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen, harus dapat
menyediakan produk yang sesuai dengan selera konsumen yaitu dengan
menetapkan kombinasi atau atribut-atribut produk secara tepat antara lain dalam
hal bentuk fisik produk, merek, kemasan, warna, pelayanan, kualitas, rancangan,
dan keragaman produk tersebut.
Pada dasarnya hampir sama tujuan dari perusahaan adalah menghasilkan
produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, hal ini bertujuan
untuk pencapaian kepuasan konsumen. Dengan tercapainya kepuasan maka
konsumen akan melakukan pembelian dan pemakaian ulang sehingga dapat
membantu peningkatan pencapaian profitabilitas perusahaan. Oleh karena itu
produk sangat berperan dalam menentukan kesuksesan perusahaan.
Sasaran utama dalam kegiatan pemasaran ialah mendorong konsumen agar
melakukan tindakan pembelian. Konsumen rela menukarkan uang atau harta yang
dimilikinya dengan sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginannya.
Sesuatu yang dibutuhkan oleh konsumen dikenal dengan produk.
Saladin (2007:71) menyatakan “Produk adalah segala sesuatu yang dapat
ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan, atau
dikonsumsi dan yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan”. Menurut
Kotler dan Keller yang dialihbahasakan oleh Benyamin Molan (2007:4) “Produk
adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan di pasar untuk memuaskan keinginan
atau kebutuhan”. Produk-produk yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa,
pengalaman, acara-acara, orang, tempat, properti, organisasi, dan gagasan.
Dalam persaingan yang sangat kompetitif sekarang ini, pemasar harus
mampu merumuskan dan merancang strategi pemasaran yang tepat terutama
mengenai strategi produk. Produk yang dianggap bernilai adalah produk yang
memiliki kualitas yang mampu memberikan konstribusi terhadap pemenuhan
kebutuhan dan keinginan konsumen.
Menurut Stanton dalam Alma (2009:139) mendefinisikan produk sebagai
berikut:
“Produk ialah seperangkat atribut baik berwujud maupun tidak berwujud,
termasuk didalamnya masalah warna, harga, nama baik pabrik, nama baik
toko yang menjual (pengecer), dan pelayanan pabrik serta pelayanan
pengecer, yang diterima oleh pembeli guna memuaskan keinginannya”.
Tjiptono (2008:96) menyatakan bahwa “Produk merupakan segala sesuatu yang
dapat ditawarkan kepada produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, digunakan,
atau dikonsumsi pasar yang bersangkutan”.

Bauran Pemasaran


Bagi perusahaan kegiatan pemasaran merupakan hal yang pokok dalam
pencapaian tujuan, karena kegiatan pemasaran diarahkan untuk menciptakan
pertukaran yang memungkinkan perusahaan untuk memperoleh laba. Dalam
rangka mencapai tujuan tersebut perusahaan harus dapat menganalisis faktorfaktor permintaan yang bisa mempengaruhi penjualan.
Bauran pemasaran merupakan suatu perangkat yang akan menentukan
tingkat keberhasilan pemasaran bagi perusahaan, dan semua ini ditunjukan untuk
memberikan kepuasan kepada segmen pasar atau konsumen yang dipilih. Pada
hakikatnya bauran pemasaran (marketing mix) adalah mengelola unsur-unsur
marketing mix supaya dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen
dengan tujuan dapat menghasilkan dan menjual produk dan jasa yang dapat
memberikan kepuasan pada pelanggan dan konsumen.
Pengertian bauran pemasaran menurut Alma (2009:205) “Marketing mix
merupakan strategi mencampur kegiatan-kegiatan marketing, agar dicari
kombinasi maksimal sehingga mendatangkan hasil memuaskan.
Sedangkan Kotler (2009:17) mendefinisikan “Bauran pemasaran
(marketing mix) adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan
untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran”. Para
pemasar menggunakan sejumlah alat untuk mendapatkan tanggapan yang
diinginkan dari pasar sasaran mereka. Alat-alat itu membentuk suatu bauran
pemasaran. Di bawah ini empat komponen atau lebih dikenal dengan sebutan 4P
dalam bauran pemasaran, diantaranya:

  1. Product
    Menurut Tjiptono (2008:95) “Produk merupakan segala sesuatu yang
    dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibeli,
    digunakan, atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau
    keinginan pasar yang bersangkutan”. Produk merupakan alat pemasaran
    yang paling mendasar pada bauran pemasaran karena produk merupakan
    penawaran nyata dari perusahaan kepada pasar, termasuk kualitas produk,
    desain, bentuk, merek, dan kemasannya.
  2. Price
    Menurut Alma (2009:169) mendefinisikan: “Harga (price) adalah nilai
    suatu barang yang dinyatakan dengan uang”. Penetapan harga merupakan
    suatu masalah yang sangat peka bagi perusahaan dalam penjualan
    produknya. Karena pada dasarnya harga merupakan satu-satunya unsur
    bauran pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi
    perusahaan.
  3. Promotion
    Menurut Saladin (2007:123) “Promosi adalah suatu komunikasi informasi
    penjual dan pembeli yang bertujuan untuk merubah sikap dan tingkah laku
    pembeli, yang tadinya tidak mengenal menjadi mengenal sehingga
    menjadi pembeli dan tetap mengingat produk tersebut. Dapat disimpulkan
    bahwa promosi adalah sejenis komunikasi yang memberi penjelasan yang
    meyakinkan calon konsumen tentang barang dan jasa.
  4. Place
    Saluran pemasaran/distribusi adalah “Beberapa organisasi yang saling
    bergantung dan terlibat dalam proses mengupayakan agar produk atau jasa
    tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi” (Kotler 2009:181).

Pengertian Pemasaran


Pemasaran adalah salah satu kegiatan pokok yang perlu dilakukan oleh
perusahaan baik itu perusahaan barang atau jasa dalam upaya untuk
mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Hal tersebut disebabkan karena
pemasaran merupakan salah satu kegiatan perusahaan, dimana secara langsung
berhubungan dengan konsumen.
Pengertian pemasaran menurut Saladin (2007:1), adalah sebagai berikut:
“Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang
untuk merencanakan, menentukan harga, promosi, dan mendistribusikan
barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar
sasaran serta tujuan perusahaan”.
Menurut Kotler dan Keller yang diterjemahkan oleh Sabran (2009:32)
definisi dari pemasaran adalah:
“Suatu fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan,
mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai kepada pelanggan dan
mengelola hubungan pelanggan dengan cara menguntungkan organisasi
dan pemilik sahamnya.”
Menurut Tjiptono (2008:2) bahwa pemasaran merupakan proses
manajemen yang berupaya memaksimalkan laba (return) bagi pemegang saham
dengan jalan menjalin relasi dengan pelanggan utama (valued customer) dan
menciptakan keunggulan kompetitif. Menurut Converse dalam Alma (2009:2)
“Marketing has been deined as the business of buying and selling, and as
including those business activities involved in the flow of goods and sevices
between producers and consumers”.

Pemanfaatan Teknologi Informasi


Teknologi informasi merupakan bagian yang mengelola dan
menggunakan teknologi dalam kegiatan produksi suatu organisasi untuk
mencapai produktivitas yang tinggi Onu et al., (2014). Teknologi informasi
sebenarnya bukanlah sebuah istilah yang baru. Teknologi informasi menurut
Rahmana (2009: 13) didefinisikan sebagai teknologi yang digunakan untuk
mengolah dan menyebarkan data dengan menggunakan perangkat keras dan
lunak, komputer, komunikasi dan elektronik digital. Information Technology
Association of America (ITAA) mendefinisikan teknologi informasi sebagai
suatu studi, perancangan, pengembangan, implementasi, dukungan ataupun
manajemen sistem yang berbasis komputer.
Teknologi informasi tidak hanya digunakan untuk mengolah dan
menyebarkan data, namun juga dapat digunakan untuk mendapatkan,
menyusun, menyimpan serta memanipulasi data dengan berbagai cara agar
mendapat informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu. Informasi
berkualitas yang dihasilkan oleh teknologi informasi digunakan sebagai alat
strategis dalam pengambilan keputusan baik itu oleh perorangan, bisnis
maupun pemerintahan. Pemanfaataan teknologi informasi dalam bidang
bisnis dapat menunjang pergerakan bisnis menjadi lebih cepat, tepat dan
efisien dalam bertukar informasi pada era globalisasi masa kini. Hal tersebut
selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Adeosun et al., (2008: 47-
51) menyatakan bahwa penggunaan teknologi informasi dapat memberikan
nilai positif bagi strategi manajemen yang berkaitan dengan aspek
komunikasi, akses informasi, pengambilan keputusan, manajemen data
knowledge management pada sebuah organisasi. Teknologi informasi
mengacu pada segala sesuatu yang berkaitan degan teknologi komputasi,
seperti jaringan, perangkat keras, perangkat lunak, internet dan orang-orang
yang bekerja menggunakan teknologi ini Srikala & Kumar (2011: 1024).
Pemanfaatan teknologi informasi digunakan sebagai alat untuk
menyelesaikan pekerjaan dari karyawan dan untuk mencapai tujuan bisnis
yang telah ditentukan oleh sebuah pelaku usaha. Hal tersebut diperkuat
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ph & Stefan (2012: 74) yang
menyatakan bahwa teknologi informasi membantu dalam mengelola dan
mengoptimalkan proses bisnis dan memastikan otomatisasi kegiatan personel
pengelolaan sumber daya dan meningkatkan kualitas kegiatan perusahaan
serta memastikan pengelolaan informasi penting untuk mengambil keputusan.
Sebagaimana yang diterangkan oleh Rachman, dkk (2018: 121) bahwa
pemanfaatan teknologi informasi dapat mendukung kegiatan suatu
perusahaan berupa peningkatan produktivitas, mengurangi biaya operasional,
meningkatkan pengambilan keputusan, meningkatkan hubungan dengan
pelanggan serta dapat mengembangkan strategi perusahaan. Lebih lanjut,
Rahmana, dkk menambahkan bahwa penggunaan teknologi informasi pada
UKM diantaranya yakni; banyaknya komputer yang dimiliki oleh UKM,
bidang penggunaan teknologi informasi di UKM, level penggunaan internet
di UKM.

Jaringan Usaha


Jaringan usaha merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan
UMK. Menurut Wijanarko & Susila (2016: 77) jaringan diartikan sebagai
organisasi yang mengatur koordinasi serta mewujudkan kerjasama antar
unsur dalam organisasi. Jaringan usaha dapat berupa unit usaha dan juga nonunit usaha. Sifat dari jaringan usaha ini yaitu formal dan non informal.
Jaringan usaha diharapkan dapat menjadi alat untuk mengatasi persoalan
terkait tebatasnya sumber daya usaha. Adanya saling keterlibatan unit usaha
lain atau yang disebut dengan jaringan akan sangat membantu kegiatan usaha
produsen, dari kegiatan produksi hingga kegiatan pemasaran produk yang
ditawarkan oleh produsen tersebut. Jaringan usaha menyediakan akses pada
sumber daya dan keterampilan, memperluas skala ekonomis dalam operasi,
menambah pengetahuan dan kemampuan serta menjaga kestabilan pasar
Eberhard & Craig (2013). Jaringan usaha menjadi salah satu faktor untuk
dapat meningkatkan daya saing usahanya menjadi lebih baik. Hal tersebut
sebagaimana yang diutarakan oleh Lestari et al., (2015) Daya saing usaha
yang lebih tinggi dapat dicapai melalui jaringan usaha karena para pelaku
usaha dapat melakukan spesialisasi sehingga usaha lebih efisien, menekan
biaya-biaya transaksi, dan meningkatkan fleksibilitas karena adanya rekanan
yang terpercaya.
Sementara itu menurut Anderson, et.al. dalam Mohebi &
Farzollahzade (2014: 21) menyebutkan bahwa jaringan usaha merupakan
hubungan bisnis yang terdiri dari satu atau lebih jaringan dan memiliki
elemen berupa pemain, aktivitas serta sumber pada jaringan. Adanya jaringan
usaha dapat meningkatkan kegiatan bisnis yang ada sehingga dapat
mengembangkan dan memperluas bisnis. Jaringan usaha akan membantu para
pelaku UMK untuk dapat meningkatkan keuntungan ekonominya melalui
sistem klastering. Sebagaimana dikemukakan oleh Tambunan (2009: 43)
yang menyatakan bahwa keuntungan ekonomi dapat dicapai jika klaster
UMK memiliki jaringan internal dan eksternal yang berkembang secara baik.
Jaringan usaha dapat berkembang di dalam ataupun diluar klaster sebab
jaringan usaha memungkinkan para pengusaha memanfaatkan keunggulan
dan fleksibilitas pada skala ekonomi dan ruang lingkup pasar yang lebih besar
Adane (2018: 199). Manfaat adanya klastering yakni dapat memberikan
pengetahuan baru, wawasan, perspekti dan informasi teknologi baru,
mengungkap perubahan dalam permintaan pasar serta penyesuaian komposisi
produk yang dihasilkan (Li et al., 2013).
Jaringan usaha menjadi faktor strategis untuk dapat melakukan
pengembangan ide-ide dan inovasi terbaru, dimana inovasi menjadi kunci
untuk dapat menciptakan keunggalan kompetitif Skarpova & Grosova (2015:
63). Suatu inovasi bisnis dan keunggulan kompetitif tidak terlepas dari
adanya perusahaan lain Ahmad & Kitchen (2008: 21). Jaringan bisnis
menjadi elemen yang penting bagi UKM guna mendapatkaan keunggulan
kompetitif. Selain itu, UKM memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi
dengan entitas eksternal dan untuk meningkatkan kinerjanya harus ada
kerjasama dengan mitra lain (Lin & Lin 2016: 1780). Pendapat yang sama
diungkapkan oleh Lechner & Leyronas (2012) bahwa jaringan usaha
memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan.
Jaringan bisnis sebagai bentuk hubungan antara pelanggan, pemasok,
pesaing dan pemerintah Nyuur et al., (2016: 3-4). Sedangkan Mu et al.,
(2017: 337) menyebut jaringan bisnis sebagai usaha dalam mendapatkan
mitra jaringan, kemudian mengelola hubungan dengan jaringan dan
memanfaatkan hubungan jaringan tersebut. Thornton et al., (2014: 951-966)
mengoperasionalkan jaringan bisnis kedalam empat konstruksi yaitu;
perolehan informasi, peluang yang memungkinkan, mobilisasi sumber daya
yang mengikat kuat dan mobilisasi sumber daya yang lemah mengikat.
Keempat konstruksi tersebut dijelaskan sebagai berikut.

  1. Perolehan informasi. Perolehan informasi mengacu pada kecenderungan
    perusahaan dalam memanfaatkan adanya hubungan yang lemah dan
    kuat untuk memperoleh informasi yang diinginkan untuk membuat
    suatu keputusan.
  2. Peluang yang memungkinkan. Peluang ini berkaitan dengan kesadaran
    perusahaan dalam bertindak untuk merasakan peluang dengan
    bertinteraksi secara strategis dengan pihak terkait dalam sebuah jaringan
    bisnis.
  3. Mobilisasi sumber daya yang kuat. Adanya mobilisasi sumber daya
    yang kuat dimanfaatkan oleh perusahaan dalam menyesuaikan,
    mentransfer serta menyatukan sumber daya yang saling terkait untuk
    menghadapi tantangan perusahaan yang dihadapi.
  4. Mobilisasi sumber daya yang lemah. Mobilisasi sumber daya yang
    lemah mengacu pada mobilisasi sumber daya dan hubungan perusahan
    yang kurang baik.

Sikap Kewirausahaan


Sikap kewirausahaan merupakan sebuah pola pikir atau cara pandang
dari seseorang mengenai sesuatu hal berkaitan dengan usaha yang dijalankan.
Qiu dalam Schierjott et al. (2018: 4) mendefinisikan sikap kewirausahaan
sebagai domain sikap khusus ke arah praktik dan proses yang berkaitan
dengan peluang bisnis dan cara-cara baru yang digunakan dalam pemecahan
masalah. Sedangkan Menurut Gaddam (2008) sikap kewirausahaan
merupakan suatu kecenderungan untuk bereaksi secara afektif dalam
menyikapi resiko yang akan dihadapi dalam suatu bisnis diukur menggunakan
skala sikap berwirausaha. Sementara menurut Hantoro dalam Furon (2017:
36) menyebutkan bahwa sikap kewirausahaan adalah suatu sikap yang
dimiliki oleh seorang wirausahawan yang berkemauan keras dan pantang
menyerah berkeyakinan kuat atas kekuatan pribadi, jujur dan bertanggung
jawab, memiliki ketahanan fisik dan mental, tekun dan ulet, bekerja keras
serta memiliki pemikiran yang konstruktif dan kreatif.
Sikap kewirausahaan menjadi salah satu faktor penting dalam
menjalankan suatu usaha, sebab sikap kewirausahaan dapat menunjukkan
tingkat kognisi akan menjawab pertanyaan apa yang diperkirakan atau
dipersepsikan mengenai objek kewirausahaan. Sikap kewirausahaan
dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi dari seseorang tersebut (Liñán et al.,
2011) dan dapat dilatih dengan pendidikan dan pelatihan (Fayolle & Gailly,
2015). Nilai-nilai personal tersebut berkaitan dengan motivasi, keputusan
mengambil risiko, pemikiran terbuka, kreativitas dan mengejar tujuan
(Dollinger et al., 2007). Hal tersebut ditandai dengan adanya keyakinan dalam
diri individu yang menjalankan usaha harus percaya diri, berorientasi pada
tugas dan hasil, pengambilan resiko dan suka tantangan, kepemimpinan,
keorisinalan, dan berorientasi pada masa depan usaha yang dijalankannya.
Sikap kewirausahaan menjadi komponen penting dari manusia, yakni
sebagai latar belakang dalam mengambil sebuah keputusan (Holland &
Shepherd, 2013). Sikap kewirausahaan akan membuat seorang individu
memiliki pemikiran yang berorientasi ke depan dan maju, bersifat prestatif
dan tidak mudah terlena akan hal-hal yang telah berlalu dan tidak ingin
berlarut dengan hal-hal yang bersifat sejarah yang hanya memberikan
kenyamanan sesaat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jardon & Martos
(2012) bahwa sikap kewirausahaan merupakan modal bagi manusia dapat
meningkatkan kepercayaan diri, komitmen, reputasi dan sebagai modal
relasional. Sikap kewirausahaan yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi
indikator kemampuan seseorang dalam mengelola usaha yang dijalaninya
Dewi dan Christina (2017: 2). Hal tersebut didukung oleh Octavia et al.,
(2017: 41) yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu usaha terjadi karena
dipengaruhi oleh sikap kewirausahaan dan kompetensi wirausaha yang
dimiliki oleh pelaku usaha. Hal serupa diungkapkan oleh Dewi dan Christina
(2017: 55) yang menyebutkan bahwa sikap wirausaha memengaruhi kinerja
dari organisasi. Bahkan, Draghici et al., (2014: 209) menyebutkan bahwa
salah satu penyebab terjadinya kegagalan kegiatan usaha yaitu karena
sedikitnya upaya meningkatkan sikap kewirausahaan.

Modal Usaha


Modal usaha merupakan salah satu komponen penting yang dapat
mendukung berjalannya suatu usaha. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Colombo et al., (2019: 1) bahwa modal usaha dianggap sebagai sumber
keuangan usaha bagi para wirausaha. Modal usaha menjadi salah satu faktor
fundamental ketika menjalankan usaha dan merupakan sumber keuangan
yang baik bagi UMK (Memba et al., 2012), sebab besar atau kecilnya suatu
modal akan memengaruhi tingkat perkembangan suatu usaha. Seperti yang
dikatakan oleh Bambang dalam Purwanti (2012: 18) besar kecilnya modal
akan memengaruhi perkembangan usaha dalam pencapaian pendapatan.
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan modal
usaha sebagai uang pokok yang dipakai untuk berdagang, melepas uang dan
sebagainya; harta benda yang dapat digunakan untuk menghasilkan seseuatu
yang dapat menambah kekayaan. Dengan kata lain, modal didefinisikan
sebagai sejumlah uang yang digunakan dalam menjalankan usaha atau bisnis.
Riyanto (2010: 19) mengartikan modal usaha sebagai ikhtisar neraca suatu
perusahaan yang menggunakan modal konkrit dan abstrak.
Sumber modal usaha dapat berasal dari modal sendiri, bantuan dari
pemerintah ataupun lembaga keuangan yang bersifat bank dan non-bank.
Menurut Manyani (2014), sumber modal ada yang berasal dar internal dan
eksternal. Sumber modal yang berasal dari intenal meliputi investasi pemilik,
pinjaman dari keluarga atau teman, laba ditahan dan hasil penjualan dari asset
tetap. Sedangkan sumber modal yang berasal dari eksternal beberapa
diantaranya adalah pinjaman hutang dari bank, leasing, kredit perdagangan
dan investasi dari perusahaan yang lebih besar. Modal yang dapat digunakan
dalam suatu usaha memiliki beberapa macam, diantaranya sebagai berikut.

  1. Modal Sendiri. Modal sendiri merupakan modal yang dimiliki oleh
    pemilik usaha tersebut yang terdiri dari tabungan, sumbangan, hibah dari
    saudara dan lain sebagainya.
  2. Modal Pinjaman. Modal pinjaman merupakan modal yang diperoleh dari
    pihak lain dan biasanya bersifat hutang dengan adanya waktu jatuh tempo
    dalam pembayarannya.
  3. Modal Patungan. Modal patungan didapatkan dengan cara
    menggabungkan modal sendiri dengan modal orang lain.

Daya Saing UMK


Daya saing berkaitan dengan kemampuan suatu UMK untuk dapat
menghasilkan suatu produk barang dan jasa yang memenuhi standar dunia
internasional. Dalam hal ini, kemampuan suatu perusahaan dalam bersaing
menciptakan suatu nilai tertentu dengan perusahaan lainnya. Hal tersebut
didukung oleh Hitt,dkk dalam Handriani (2011: 53) yang mengemukakan
bahwa daya saing usaha kecil adalah tingkat sampai sejauh mana suatu
perusahaan dapat memenuhi permintaan pasar, baik domestik maupun
internasional, dalam memproduksi barang dan jasa, dengan tetap
mempertahankan atau meningkatkan pendapatan perusahaan dan
karyawannya. Menurut Ada et al., (2013) daya saing UMK dapat
meningkatkan nilai jual dalam persaingan bisnis.
Peningkatan daya saing UMK tersebut dilakukan agar dapat terus
bertahan dalam lingkungan yan berubah dan persaingan bisnis yang kuat
(Rostek, 2012). Menurut Sedangkan menurut Porter (1985: 102)
mendefinisikan daya saing sebagai implementasi strategi dalam menciptakan
nilai perusahaan dan tidak dilakukan oleh para pesaing dan sulit untuk
ditirukan oleh pesaing. Daya saing global berkaitan erat dengan tingginya
tingkat pembelajaran sosial dan kemampuan beralih pada teknologi baru .
Daya saing ditentukan oleh produktivitas dan strategi perusahaan,
hubungan antara perusahaan dan lingkungan bisnis internal, sinergi tujuan
sosial dan ekonomi dan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor yang berasal dari
lingkungan eksternal (Porter, Michael E & Ketels, 2003). Pengaruh
lingkungan eksternal pada UKM sangat kuat sehingga dapat mengubah
lingkungan menjadi tidak pasti, persaingan tinggi, dan peraturan perlindungan
lebih ketat (Bibu et al., 2009). Sementara itu, menurut (Donaldson &
Donaldson, 2016) keunggulan bersaing dapat berasal dari ukuran ataupun
kepemilikan asetnya.
Ada banyak faktor mempengaruhi keunggulan dari daya saing suatu
perusahaan, faktor tersebut dapat berasal dari internal perusahaan maupun
dari eksternal perusahaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Porter (1985:
25) yang menyatakan bahwa daya saing merupakan uraian dari cara-cara
yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam memilih dan menerapkan suatu
strategi generik guna mencapai dan melestarikan keungggulan bersaing.
Strategi generik berasal dari analisis keuntungan suatu perusahaan yang
berada dalam suatu industri. Menurut Handriani (2011: 53) Suatu perusahaan
dikatakan memiliki daya saing yang baik ketika perusahaan tersebut memiliki
pendapatan dengan tingkat tinggi meskipun situasi dan struktur industri
sedang berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Pendapat tersebut
diperkuat dengan pendapat Elfahmi & Jatmika (2017: 447) yang menyatakan
bahwa suatu industri dapat dikatakan memiliki daya saing jika memiliki
tingkat produktivitas faktor secara keseluruhan sama atau lebih tinggi
dibandingkan dengan pesaing asingnya.

Bauran Pemasaran


Jasa merupakan aktivitas atau manfaat yang dapat ditawarkan oleh satu
pihak ke pihak lainnya dan tidak mengakibatkan perpindahan kepemilikan. Jasa
tidak berwujud, tidak dapat dipisahkan, berubah-ubah dan tidak tahan lama. Setiap
karakteristik mempunyai masalah dan memerlukan strategi. Pada pemasaran jasa
pendekatan strategis diarahkan pada kemampuan pemasar menemukan cara untuk
mewujudkan yang tidak berwujud, meningkatkan produktivitas penyedia yang
tidak terpisahkan dari produk itu, membuat standar kualitas sehubungan dengan
adanya variabilitas dan mempengaruhi gerakan permintaan dan pemasok kapasitas
mengingat jasa tidak tahan lama.
Secara umum strategi pemasaran jasa diterapkan dalam konteks perusahaan
secara keseluruhan, tidak hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tapi juga
pemasaran internal untuk memotivasi karyawan dan pemasaran interaktif untuk
menciptakan keahlian penyediaan jasa. Pemasaran dalam suatu perusahaan
menghasilkan kepuasan pelanggan serta kesejahteraan konsumen dalam jangka
panjang sebagai kunci untuk memperoleh profit/laba.
Hal ini berlaku bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri jasa
maupun industri non-jasa.Walaupun terdapat persamaan tujuan pada kedua jenis
industri tersebut, diperlukan strategi pemasaran yang berbeda untuk masing-masing
jenis industri.Perbedaan strategi tersebut dipengaruhi oleh cirri-ciri dasar yang
berbeda dari jenis produk yang dihasilkan.
Menurut Lupiyoadi dan Hamdani (2008:70) bauran pemasaran merupakan
alat bagi pemasar yang terdiri atas berbagai unsur suatu program pemasaran yang
perlu dipertimbangkan agar implementasi strategi pemasaran dan positioning yang
ditetapkan dapat berjalan sukses.
Menurut Kotler dalam Hurriyati (2010:47) menyatakan bahwa definisi
bauran pemasaran ialah sekumpulan alat pemasaran yang dapat digunakan oleh
perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasaran.
Menurut Hurriyati (2010:48) definisi bauran pemasaran merupakan unsurunsur pemasaran yang saling terkait, dibaurkan, diorganisir dan digunakan dengan
tepat sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan pemasaran dengan efektif
sekaligus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.

Karakteristik Jasa


Produk Jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk barang (fisik).
Menurut Griffin dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2008:6) menyebutkan
karakteristik jasa sebagai berikut :
1) Intangibility (tidak berwujud). Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba,
didengar dan dicium sebelum jasa itu dibeli. Nilai penting dari hal ini adalah
nilai tak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan,
kepuasan, atau kenyamanan.
2) Unstorability (tidak dapat disimpan). Jasa tidak mengenal persediaan atau
penyimpanan dari produk yang telah dihasilkan. Karakteristik ini disebut
juga inseparability (tidak dapat dipisahkan), mengingat pada umumnya jasa
dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan.
3) Customization (kustomisasi). Jasa sering kali didesain khusus untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan.

Jasa


Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata ‘jasa’
(service) itu sendiri mempunyai banyak arti, mulai dari pelayanan pribadi (personal
service) sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar
pemasaran jasa yang berusaha mendefinisikan pengertian jasa. Pada dasarnya jasa
merupakan semua aktivitas ekonomi yang hasilnya bukan berbentuk produk fisik
atau konstruksi, yang umumnya dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan serta
memberikan nilai tambah (misalnya kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau
kesehatan) konsumen.
Beberapa pengertian jasa menurut beberapa ahli yaitu menurut Kotler
(2005 : 111) Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu
pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak
mengakibatkan kepemilikan sesuatu. Dan menurut Zeitmal dan Bitner dalam Alma
(2004:243) Jasa adalah suatu kegiatan ekonomi yang outputnya bukan produk
dikonsumsi bersamaan dengan waktu produksi dan memberikan nilai tambah
(seperti kenikmatan, hiburan, santai, sehat) bersifat tidak berwujud.
Menurut Stanton dalam Alma (2004:243) Jasa adalah sesuatu yang dapat
diidentifikasikan secara terpisah tidak berwujud, ditawarkan untuk memenuhi
kebutuhan. Jasa bisa dihasilkan dengan menggunakan benda-benda berwujud atau
tidak. Dari berbagai definisi diatas, tampak bahwa di dalam jasa selalu ada aspek
interaksi antara pihak konsumen dan pihak produsen (jasa), meskipun pihak-pihak
yang terlibat tidak selalu menyadari. Jasa bukan suatu barang, melainkan suatu
proses atau aktivitas yang tidak berwujud.

Pemasaran Jasa

Industri jasa pada saat ini merupakan sektor ekonomi yang sangat besar dan
pertumbuhannya sangat pesat. Pertumbuhan tersebut selain diakibatkan oleh
pertumbuhan jenis jasa yang sudah ada sebelumnya, juga disebabkan oleh
munculnya jenis jasa baru, sebagai akibat dari tuntutan dan perkembangan zaman.
Dipandang dari segi konteks globalisasi, pesatnya pertumbuhan bisnis jasa antar
negara ditandai dengan meningkatnya intensitas pemasaran lintas negara serta
terjadinya aliansi berbagai penyedia jasa di dunia.
Perkembangan tersebut pada akhirnya mampu memberikan tekanan yang
kuat terhadap perombakan regulasi, khususnya pengenduran proteksi dan
pemanfaatan teknologi baru yang secara langsung akan berdampak pada
menguatnya kompetisi dalam industri. Kondisi ini secara langsung menghadapkan
para pelaku bisnis kepada permasalahan persaingan usaha yang semakin tinggi.
Mereka dituntut untuk mampu mengidentifikasikan bentuk persaingan yang akan
dihadapi, menetapkan berbagai standar kinerjanya serta mengenali secara baik para
pesaingnya (Hurriyati, 2010:41).

Pemasaran


Menurut Subroto (2011:1) Istilah Pemasaran dapat diartikan dalam berbagai
konteks sesuai dengan pengembangan strategi yang dilakukan perusahaan. Istilah
pemasaran yang diterima secara luas dan terkenal sebagai konsep pemasaran adalah
pemasaran yang didasarkan pada pengenalan kebutuhan konsumen. Dengan konsep
ini, pemasaran dapat diartikan sebagai semua kegiatan yang diarahkan untuk
mengenali dan memenuhi atau memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen
atau pelanggan.
Kotler dalam Subroto (2011:1) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu
proses sosial dimana setiap individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan dengan menciptakan dan mempertukarkan produk dan nilai
dengan individu atau kelompok lainnya. Dengan kata lain, pemasaran adalah
kegiatan manusia untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia melalui
proses pertukaran.
Definisi pemasaran yang terbaru menurut American Marketing Association
dalam subroto (2011:1) adalah “Marketing is an organization function and a set of
a processes for creating, communicating, and delivering value to customers and for
managing customer relationship, in ways that benefit the organization and
stakeholders”. Dengan kata lain, pemasaran adalah proses penciptaan,
pengkomunikasian, dan penyampaian nilai kepada pelanggan dan untuk mengelola
hubungan baik dengan pelanggan, dengan cara yang menguntungkan baik bagi
perusahaan maupun bagi pelanggan.
Kemudian menurut Kasmir dan Jakfar (2003:74) mengemukakan bahwa
pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dengan mana individu dan
kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara
menciptakan serta mempertukarkan produk dan nilai dengan pihak lain. Sedangkan
menurut Stanton dalam Swastha dan Irawan (2008:5), pemasaran adalah suatu
sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk
merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang
dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun
pembeli potensial.

Pengertian Strategi


Setiap perusahaan mempunyai strategi untuk mendukung aktivitas
perusahaan dimana strategi harus sesuai dengan keadaan dan kondisi masyarakat.
Strategi adalah suatu program yang mendukung untuk mencapai suatu tujuan
perusahaan . Menurut Candler dalam Rangkuti (2008:3) strategi merupakan alat
untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang,
program tindak lanjut, serta proritas alokasi sumber daya.
Menurut Hamel dan Prahalad dalam Rangkuti (2008:4) Strategi merupakan
tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta
dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para
pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari
“apa yang dapat terjadi” dan bukan dimulai dari “apa yang terjadi”. Terjadinya
kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan
kompetensi inti (come competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di
dalam bisnis yang dilakukan.
Menurut Marrus dalam Umar (2002:31), strategi didefinisikan sebagai suatu
proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka
panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar
tujuan tersebut dapat dicapai.

Volume Penjualan


Menurut Daryono (2011), volume penjualan merupakan ukuran
yang menunjukan banyaknya atau besarnya jumlah barang atau jasa yang
terjual. Menurut Rangkuti (2009), volume penjualan adalah pencapaian
yang dinyatakan secara kuantitatif dari segi fisik atau volume atau unit
suatu produk. Volume penjualan merupakan suatu yang menandakan naik
turunnya penjualan dan dapat dinyatakan dalam bentuk unit, kilo, ton atau
liter. Indikator dari volume penjualan adalah (Swasta dan Irwan : 2014) :

  1. Mencapai volume penjualan tertentu.
  2. Mendapat laba tertentu.
  3. Menunjang pertumbuhan perusahaan

Metode Penetapan Harga


Faktor biaya merupakan faktor yang berasal dari perusahaan,
sehingga lebih mudah dalam menanganunya. Biaya juga menggambarkan
batas minimum yang harus dipenuhi perusahaan untuk harga jual produk.
Menurut Basu Swastha, metode penentuan harga jual yang berdasarkan
biaya dalam bentuk paling sederhana yaitu

  1. Cost plus pricing method
    Penentuan harga jual cost plus pricing, biaya yang digunakan
    sebagai dasar penentuan, dapat didefinisikan sesuai dengan metode
    penentuan harga pokok produk yang digunakan. Dalam metode ini,
    penjual menetapkan harga untuk satu unit barang yang besarnya
    sama dengan jumlah biaya perunit, ditambah dengan suatu jumlah
    laba yang diinginkan. Dalam menghitung cost plus pricing,
    digunakan rumus :
    Harga jual = Biaya total + Margin
  2. Mark up pricing method
    Para pedagang menentukan harga jualnya dengan cara
    menambahkan mark up yang diinginkan pada harga beli per satuan.
    Persentase ditetapkan berbeda untuk setiap jenis barang. Dalam
    menghitung harga jual, menggunakan rumus :
    Harga jual = Harga beli + Mark up
    Mark up adalah jumlah kenaikan harga atas biaya unit total.
  3. Penentuan harga oleh produsen
    Karena banyaknya biaya yang ikut berpengaruh pada cost barang,
    maka terkadang harga ditetapkan dengan pemikiran langsung.
    Harga ditetapkan Naive Cost Plus Method dengan menambah mark
    up yang dianggap pantas pada cost barang. Cost perunit dihitung
    dengan menganggap bahwa semua barang telah terjual dengan satu
    periode yang lalu. Lalu biaya total terjadu pada bulan tersebut
    dibagi dengan volume produksi

Tahap-tahap Penentuan Harga


Menurut Basu Swastha (2009), tahap-tahap dalam penetapan harga
antara lain:

  1. Mengestimasikan permintaan untuk barang tersebut.
    Pada tahap ini penjual membuat estimasi permintaan barangnya
    secara total. Pengestimasian permintaan barang dapat dilakukan
    dengan cara:
    a. Menentukan harga yang diharapkan, yaitu harga yang
    diharapkan dapat diterima oleh konsumen.
    b. Mengestimasikan volume penjualan pada berbagai tingkat
    harga.
  2. Mengetahui lebih dulu reaksi dalam persaingan.
    Kondisi persaingan sangat mempengaruhi kebijaksanaan
    penentuan harga perusahaan atau penjual. Oleh karena itu, penjual
    perlu mengetahui reaksi persaingan yang terjadi di pasar serta
    sumber-sumber penyebabnya. Adapun sumber-sumber persaingan
    yang ada dapat berasal dari persaingan yang ada dari:
    a. Barang sejenis yang dihasilkan dari perusahaan lain
    b. Barang pengganti atau substitusi
    c. Barang-barang lain yang dibuat oleh perusahaan lain yang
    sama menginginkan uang konsumen.
  3. Menentukan market share yang dapat diharapkan.
    Perusahaan yang agresif selalu menginginkan market share yang
    lebih besar. Kadang-kadang perluasan market share harus
    dilakukan dengan mengadakan periklanan dan bentuk lain dari
    persaingan bukan harga, disamping dengan harga tertentu. Market
    share yang diharapkan tersebut akan dipengaruhi oleh kapasitas
    produksi yang ada, biaya ekspansi dan mudahnya memasuki
    persaingan.
  4. Memilih strategi harga untuk mencapai target pasar.
    Dalam hal ini penjual dapat memilih diantara dua macam strategi
    harga yang dianggap paling ekstrim, yaitu:
    a. Skim the cream pricing, merupakan strategi penetapan
    harga yang setinggi-tingginya. Harga yang tinggi tersebut
    dimaksudkan untuk menutup biaya penelitian,
    pengembangan dan promosi.
    b. Penetration pricing, merupakan strategi penetapan harga
    yang serendah-rendahnya yang bertujuan untuk mencapai
    volume penjualan sebesar-besarnya dalam waktu yang
    relatif singkat. Dibandingkan skim the cream pricing,
    strategi ini lebih agresif dan dapat memperkuat kedudukan
    perusahaan dalam persaingan.
  5. Mempertimbangkan politik pemasaran perusahaan.
    Tahap selanjutnya dalam prosedur penetapan harga adalah
    mempertimbangkan politik pemasaran perusahaan dengan
    melihat pada barang, sistem distribusi dan program promosinya.
    Perusahaan tidak dapat menentukan harga suatu barang tanpa
    mempertimbangkan barang lain yang dijualnya. Demikian pula
    dengan saluran distribusinya, harus diperhatikan ada atau
    tidaknya penyalur yang juga menerima sebagian dari harga jual.
    Bilamana tanggungjawab promosi dilimpahkan pada penyalur,
    maka yang akan diterima produsen menjadi lebih tinggi.

Tujuan Penetapan Harga


Tujuan penetapan harga menurut Rahman (2010), terbagi menjadi
tiga orientasi, yaitu:

  1. Pendapatan. Hampir sebagian besar bisnis berorientasi pada
    pendapatan, hanya perusahaan nirlaba atau pelayanan jasa publik
    yang biasanya berfokus pada titik impas.
  2. Kapasitas. Beberapa sektor bisnis biasanya menyelaraskan antara
    permintaan dan penawaran dan memanfaatkan kapasitas produksi
    maksimal.
  3. Pelanggan. Biasanya penetapan harga yang diberikan cukup
    representatif dengan mengakomodasi segala tipe pelanggan,
    segmen pasar, dan perbedaan daya beli. Bisa dengan menggunakan
    sistem diskon, bonus, dan lain-lain.
    Menurut Kotler dan Keller (2012), perusahaan dapat
    mengharapkan salah satu dari lima tujuan utama melalui penetapan harga,
    yaitu: bertahan hidup (survival), laba saat ini yang maksimum (maximum
    curent profit), pangsa pasar yang maksimum (maximum market share),
    pemerahan pasar yang maksimum (maximum market skimming),
    pemimpin dalam kualitas (product quality leadership), dan tujuan lain
    (other objectives). Adapun tujuan penetapan harga adalah sebagai berikut:
  4. Penetapan harga untuk mencapai penghasilan atas investasi.
  5. Penetapan harga untuk kestabilan harga.
  6. Penetapan harga untuk mempertahankan atau meningkatkan
    bagiannya dalam pasar.
  7. Penetapan harga untuk menghadapi atau mencegah persaingan.
  8. Penetapan harga untuk memaksimir laba.

Harga Jual Produk


Menurut Krismiaji dan Anni (2011), menyatakan harga jual adalah
upaya untuk menyeimbangkan keinginan untuk memperoleh manfaat
sebesar-besarnya dari perolehan pendapatan yang tinggi dan penurunan
volume penjualan jika harga jual yang dibebankan ke konsumen terlalu
mahal.
Menurut Sukiman (2011), harga jual adalah sejumlah biaya yang
dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi suatu barang atau jasa
ditambah dengan persentase laba yang diinginkan perusahaan, karena itu
untuk mencapai laba yang diinginkan oleh perusahaan salah satu cara yang
dilakukan untuk menarik minat konsumen adalah dengan cara menentukan
harga yang tepat untuk produk yang terjual.
Dalam memperoleh laba, suatu perusahaan dapat melakukan dua
cara. Cara pertama dengan menaikan harga jual. Tindakan ini memang
dapat meningkatkan laba namun dalam kondisi persaingan yang semakin
ketat ini, perusahaan tidak mudah untuk menaikan harga jual karena dapat
menyebabkan konsumen lari ke produk pesaing yang memiliki harga yang
lebih murah dengan kualitas produk yang sama. Cara kedua adalah dengan
menekan biaya produksi secara efisien dan mengendalikan komponen
biaya-biayanya sehingga biaya produksi yang dikeluarkan dapat ditekan
seminimal mungkin.
Bagi perusahaan penetapan harga jual merupakan hal yang sangat
penting, karena penetapan harga jual adalah suatu keputusan atau strategi
perusahaan dalam menarik minat konsumen dan mempertahankan
loyalitas pelanggan. Jadi harga jual adalah sejumlah biaya yang
dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi suatu barang atau jasa
ditambah dengan persentase laba yang diinginkan perusahaan, karena itu
untuk mencapai laba yang diinginkan oleh perusahaan salah satu cara yang
dilakukan untuk menarik minat konsumen adalah dengan cara menentukan
harga yang tepat untuk produk yang terjual. Harga yang tepat adalah harga
yang sesuai dengan kualitas produk suatu barangdan harga tersebut dapat
memberikan kepuasan kepada konsumen.

Jenis-jenis Harga


Dalam proses ekonomi, dikenal berbagai jenis harga berdasarkan
sudut pandangnya. Jenis harga yang paling umum ialah :

  1. Harga Pasar.
    Menurut Joko Untoro (2010), harga pasar adalah keadaan dimana
    jumlah yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diterima dan
    terjadi kesepakatan antara produsen dan konsumen pada saat
    terjadinya transaksi.
  2. Harga Keseimbangan.
    Menurut Dini indrastuty (2011), adalah harga kesepakatan antara
    penjual dan pembeli yang tercipta melalui proses tawar-menawar.
    Sedangkan jenis-jenis harga secara khusus dinyatakan sebagai berikut :
  3. Harga Subjektif ialah perkiraan terhadap suatu barang yang akan
    diperjual belikan.
  4. Harga Objektif ialah harga yang disetuju oleh pembeli dan penjual
    berdasarkan hasil tawar menawar barang dan jasa.
  5. Harga Pokok ialah nilai sejumlah uang yang dikeluarkan untuk
    menghasilka suatu barang dan jasa dalam suatu proses produksi.
  6. Harga jual ialah harga pokok ditambah dengan laba yang
    diharapkan.

Definisi Harga


Menurut Krismiaji dan Anni (2011), menyatakan harga jual adalah
upaya untuk menyeimbangkan keinginan untuk memperoleh manfaat
sebesar-besarnya dari perolehan pendapatan yang tinggi dan penurunan
volume penjualan jika harga jual yang dibebankan ke konsumen terlalu
mahal. Menurut Armstrong (2013), harga ialah sejumlah uang yang
dibebankan atas suatu barang atau jasa atau jumlah dari nilai uang yang
ditukar konsumen atas manfaat – manfaat karena memiliki atau
menggunakan produk atau jasa tersebut.
Menurut Kotler (2008), mengemukakan bahwa harga merupakan
satusatunya elemen bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan,
elemenelemen lainnya menimbulkan biaya. Harga juga merupakan salah
satu elemen bauran pemasaran yang paling fleksibel. Harga dapat diubah
dengan cepat, tidak seperti ciri khas produk dan perjanjian distribusi. Pada
saat yang sama, penetapan dan persaingan harga juga merupakan masalah
nomor satu yang dihadapi perusahaan.
Sehingga dapat disimpulkan harga adalah suatu nilai tukar yang
bisa disamakan dengan uang atau barang lain untuk manfaat yang
diperoleh dari suatu barang atau jasa bagi seseorang atau kelompok pada
waktu tertentu dan tempat tertentu. Istilah harga digunakan untuk
memberikan nilai finansial pada suatu produk barang atau jasa. Biasanya
penggunaan kata harga berupa digit nominal besaran angka terhadap nilai
tukar mata uang yang menunjukkan tinggi rendahnya nilai suatu kualitas
barang atau jasa.

Manfaat Kewirausahaan


Kewirausahaan menurut Zimmerer (Kurniati:2015) adalah sebagai berikut:
1) Memberi peluang dan kebebasan untuk mengendalikan nasib sendiri
Dengan memiliki usaha sendiri akan memberikan kebebasan dan
peluang bagi pebisnis untuk mencapai tujuan hidupnya. Pebisnis akan
berusaha memenangkan hidup mereka dan memungkinkan mereka
untuk memanfaatkan bisnis untuk mewujudkan cita-cita mereka.
2) Memberi peluang melakukan perubahan
Semakin banyak pebisnis yang memulai usahanya hanya karena
mereka dapat menangkap peluang untuk melakukan berbagai
perubahan yang menurut mereka sangat penting. Mungkin berupa
penyediaan perumahan sederhana yang sehat dan layak pakai untuk
keluarga atau mendirikan program daur ulang limbah untuk
melestarikan sumber daya alam yang terbatas. Pebisnis menemukan
cara bagaimana mengombinasikan wujud kepedulian mereka terhadap
beerbagai masalah sosial dan masalah ekonomi dengan harapan akan
meenjalani kehidupan yang lebih baik.
3) Memberi peluang untuk mencapai potensi diri sepenuhnya
Banyak sekali yang menyadari bahwa bekerja di suatu perusahaan
kadang membosankan, kurang menantang dan tidak ada daya Tarik.
Hal ini tentu tidak berlaku bagi wirausaha. Bagi mereka tidak banyak
perbedaan antara beekerja dan menyalurkan hobi atau bermain, baik
keduanya sama saja. Bisnis-bisnis yang mereka mili meerupakan alat
aktualisasi diri, keberhasilan yang mereka dapat merupakan sesuatu
yang ditentukan oleh kreativitas, inovasi, sikap antusias dan visi
mereka sendiri. Seseorang yang memiliki usaha atau pengusaha
sendiri pada dasarnya memberikan kekuasaan kepadanya, kebangkitan
spiritual dan membuat dia mampu mengikuti minat atau hobinya
sendiri
4) Memiliki peluang untuk meraih keuntungan seoptimal mungkin
Walaupun pada tahap awal uang bukan daya Tarik utama bagi
wirausaha, namun keuntungan yang didapat dari berwirausaha
merupakan sumber motivasi yang penting bagi seseorang untuk
membuat usaha sendiri. Kebanyakan dari para pebisnis tidak memiliki
keinginan untuk menjadi kaya raya, tetpi banyak diantara mereka yang
memang menjadi berkecukupan.
5) Memiliki peluang untuk berperan aktif dalam masyarakat dan
mendapatkan pengakuan atas usahanya
Pengusaha kecil atau pemilik usaha kecil seringkali merupakan warga
masyarakat yang paling dihormati dan paling dipercaya. Ciri dari
pengusaha kecil ialah kesepakatan bisnis berdasarkan kepercayaan dan
saling mengormati. Pemilik usaha menyukai kepercayaan dan
pengakuan yang diterima dari pelanggan yang telah mereka layani
dengan setia selama bertahun-tahun. Peran yang dimainkan dalam
system bisnis dilingkungan setempat serta kesadaran bahwa kerja
memiliki dampak nyats dalam melancarkan fungsi sosial dan ekonomi
nasional merupakan imbalan bagi manajer perusahaan kecil
6) Menumbuhkan rasa senang dalam mengerjakannya
Hal yang dirasakan oleh pengusaha kecil atau pemilik perusahaan
kecil, bahwa kegiatan usaha mereka sesungguhnya bagi mereka
bukanlah kerja. Kebanyakan dari para wirausaha yang berhasil,
mereka memilih untu masuk dalam bisnis tertentu karena mereka
tertarik dan menyukai bisnis tersebut. Jadi pada intinya mereka
menyalurkan hobi atau kegemaran mereka menjadi pekerja, sehingga
mereka senang melakukannya.