Pengaruh Green Product, Green Brand, dan Green Advertising TerhadapKeputusan Pembelian


Masyarakat yang sadar dan peduli terhadap lingkungan, akan berusaha
untuk memenuhi kebutuhannya dengan membeli dan mengonsumsi green product
atau produk yang ramah lingkungan. Green product adalah produk-produk
industri yang diproduksi melalui teknologi ramah lingkungan dan tidak
menyebabkan bahaya terhadap lingkungan (Rath, 2013). Perusahaan yang
menangkap fenomena tersebut sebagai sebuah peluang bisnis akan berusaha
membuat sebuah inovasi produk baru, yang paling tidak akan mengurangi
dampak-dampak negatif terhadap lingkungan atau green product. Pratama (2013),
menemukan green product secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap
keputusan pembelian konsumen. Adanya green product atau produk ramah

lingkungan menjadi jawaban atas kebutuhan konsumen yang sadar dan peduli
terhadap lingkungan. Oleh karena itu, konsumen akan memutuskan untuk
membeli green product tersebut.
Menurut Praharjo dkk (2013), green brand atau merek hijau dapat
disimpulkan sebagai sebuah merek hijau yang mendapat persepsi di benak
konsumen tentang produk atau jasa yang mengacu pada konsumen. Perusahaan
yang telah berhasil menanamkan sebuah green brand merek hijau dibenak
konsumen, akan mengubah presepsi konsumen, meningkatkan kepuasan
konsumen terhadap produk tersebut, meningkatkan kepercayaan konsumen
terhadap produk tersebut, dan meningkatkan kesadaran konsumen mengenai
kepedulian terhadap lingkungan. Almaulidta et al., (2015) dalam penelitiannya
menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara green brand
terhadap keputusan pembelian. Oleh karena itu, suatu green brand atau merek
hijau akan memengaruhi keputusan pembelian konsumen.
Iklan merupakan salah satu faktor penentu suatu keputusan pembelian
yang dilakukan oleh konsumen. Adanya masalah-masalah mengenai lingkungan
saat ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk membuat sebuah iklan yang
berisi informasi dan pesan untuk peduli terhadap lingkungan atau green
advertising. Tujuan dari green advertising adalah untuk mempromosikan citra
perusahaan yang ramah lingkungan dan merangsang konsumen untuk
menggunakan green product atau produk ramah lingkungan. Purnama dan
Nurhadi (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh produk ramah
lingkungan, atribut merek hijau, iklan peduli lingkungan dan presepsi harga
premium terhadap keputusan pembelian. Hasil dari penelitian tersebut
menyebutkan bahwa green advertising atau iklan peduli lingkungan berpengaruh
terhadap keputusan pembelian. Oleh karena itu, green advertising atau iklan
peduli lingkungan yang dilakukan dengan baik akan memengaruhi keputusan
pembelian konsumen

Kepuasan Konsumen


Kepuasan konsumen adalah sejauh mana manfaat sebuah produk dirasakan
(perceived) sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan (Amir, 2005). Kotler
(2000) mengatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan
seseorang setelah membandingkan antara kinerja produk yang ia rasakan dengan
harapannya. Kepuasan atau ketidakpuasan konsumen adalah respon terhadap
evaluasi ketidak sesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan
sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian
(Nasution, 2004).
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan definisi kepuasan
konsumen yaitu tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja
produk yang dia rasakan dengan harapannya. Magenta (2015) mengemukakan
terdapat indikator kepuasan konsumen seperti: yang awet, produk yang aman,
kualitas yang baik dan sesuai dengan harapan.

Keputusan Pembelian


Keputusan pembelian merupakan bagian dari komponen perilaku dalam
sikap mengkonsumsi (Pramono, 2012). Menurut Schiffman dan Kanuk dalam
Sumarwan (2002) mendefinisikan suatu keputusan pembelian sebagai pemilihan
suatu tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Sedangkan menurut Kotler
dan Keller (2007) menyatakan bahwa keputusan pembelian sebagai preferensi
yang dibentuk oleh pelanggan atas merek-merek yang ada di dalam kumpulan
pilihan.
Berdasarkan definisi keputusan pembelian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa keputusan pembelian merupakan suatu proses pengambilan
keputusan akan pembelian yang mencakup penentuan apa yang akan dibeli atau
tidak melakukan pembelian dan keputusan itu diperoleh dari kegiatan-kegiatan
sebelumnya.

Green Advertising


Green advertising atau iklan peduli lingkungan menurut Zinkhan &
Carlson (1995), didefinisikan sebagai merek yang mencoba untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi konsumen mengenai kepedulian lingkungan dan masalah
kesehatan dari prespektif yang berbeda termasuk ekologi, keberlanjutan, dan
pesan bebas polusi. Menurut Banerjee (1995), green advertising didefinisikan
sebagai setiap iklan baik secara eksplisit atau implisit membahas mengenai
hubungan antara produk atau jasa dan lingkungan biofisik, mempromosikan green
lifestyle atau gaya hidup ramah lingkungan dengan atau tanpa menyoroti produk
atau jasa dan menyajikan citra suatu perusahaan mengenai tanggung jawabnya
terhadap lingkungan.
Secara umum definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa green advertising
merupakan periklanan yang tampilannya berwawasan lingkungan. Purnama dan
Nurhadi (2014) mengemukakan indikator dalam green advertising seperti:
memiliki ciri iklan ramah lingkungan, gaya hidup ramah lingkungan, pesan ramah
lingkungan, pesan iklan menjaga keseimbangan lingkungan dan logo ramah
lingkungan

Green Brand


Menurut Keller (1993) green brand atau merek hijau merupakan citra
merek hijau yang mendapat persepsi dan terasosiasi di benak konsumen yang
terkait dengan penawaran produk atau jasa. Dahlstrom (2011) mendefinisikan
green brand sebagai sekumpulan atribut dan manfaat dari suatu merek yang
dihubungkan dengan pengurangan pengaruh merek terhadap lingkungan yang
dipersepsikan menjadi ramah lingkungan.
Berdasarkan definisi tersebut, green brand dapat disimpulkan sebagai
sebuah merek hijau yang mendapat persepsi di benak konsumen tentang produk
atau jasa yang mengacu pada konsumen.
Almaulidta dkk (2015), mengemukakan terdapat indikator green brand
seperti; Merek yang peduli dengan lingkungan, memiliki label perlindungan
lingkungan, mengingat merek ramah lingkungan, merek dengan reputasi yang
baik, dan percaya terhadap merek

Green Product


Green product atau produk ramah lingkungan menurut Handayani (2012),
merupakan suatu produk yang dirancang dan diproses dengan suatu cara untuk
mengurangi efek-efek yang dapat mencemari lingkungan, baik dalam produksi,
pendistribusian, dan pengonsumsinya. Menurut Rath (2013), green product
didefinisikan sebagai produk-produk industri yang diproduksi melalui teknologi
ramah lingkungan dan tidak menyebabkan bahaya terhadap lingkungan.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa green product
adalah produk yang memiliki manfaat bagi konsumen dan juga memiliki manfaat
sosial yang dirasakan oleh konsumen, seperti ramah terhadap lingkungan.
Indikator green product berdasarkan penelitian Pratama (2013), meliputi:
Produk ramah lingkungan, dapat digunakan berulang kali, terbuat dari bahan yang
awet, tidak terkontaminasi bahan yang membahayakan dan mempunyai bahan
material yang berkualitas

Pengaruh Pengetahuan Lingkungan Dan Kepedulian Lingkungan TerhadapMinat Beli


Pengetahuan lingkungan dan kepedulian lingkungan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap minat beli, pernyataan tersebut didukung oleh penelitian
Rini et al., (2017) yang menunjukkan bahwa pengetahuan lingkungan dan
kepedulian lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap minat beli pada
green product. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya
yang menemukan bahwa kedua variabel tersebut memiliki pengaruh signifikan
terhadap minat beli Wahid et al., (2011) & Aman et al., (2012). Dengan adanya
pengetahuan dan kepedulian lingkungan maka konsumen mempunyai minat beli
yang tinggi.

Pengaruh Kepedulian Lingkungan Terhadap Minat Beli


Kepedulian lingkungan merupakan suatu ukuran bagi konsumen untuk
membeli green product (Angelovska et al., 2012). Adanya rasa kepedulian
konsumen terhadap lingkungan maka dengan sendirinya minat beli konsumen
terhadap green product akan muncul. Hal tersebut didukung oleh penelitian
Paramita dan Yasa (2015), Mostafa (2006) dan Laksmi dan Wardana (2015),
bahwa semakin tinggi tingkat kepedulian konsumen pada lingkungan maka minat
beli konsumen pada green product semakin meningkat dan memiliki pengaruh
positif yang signifikan

Pengaruh Pengetahuan Lingkungan Terhadap Minat Beli


Menurut penelitian Henning dan Karlsson (2011) pengetahuan konsumen
terhadap lingkungan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat beli.
Hal tersebut terjadi karena pengetahuan konsumen terhadap lingkungan pada
stempat yang diteliti masih sangat minim. Di sisi lain dalam penelitian Rini et al.,
(2017), Wahid et al., (2011) Aman et al., (2012) mengemukakan bahwa
pengetahuan konsumen terhadap lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap minat beli konsumen, dikarenakan semakin tinggi pengetahuan konsumen
terhadap produk yang ramah lingkungan maka akan semakin tinggi minat beli
konsumen terhadap green product

Minat Beli

Schiffman dan Kanuk (2007) mengemukakan bahwa minat membeli
merupakan salah satu pikiran yang timbul karena adanya perasaan tertarik dan ingin
memiliki terhadap suatu barang atau jasa yang diharapkan.
Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi minat beli (Kotler dan Keller 2012) yaitu:

  1. Faktor eksternal, konsumen membeli suatu produk tanpa direncanakan.
  2. Faktor internal, konsumen membeli produk karena tertarik dan berminat.
    Berikut merupakan indikator minat beli menurut Ferdinand (2002):
  3. Minat transaksional: keinginan konsumen untuk membeli produk.
  4. Minat refrensial: konsumen merekomendasikan produk kepada orang lain.
  5. Minat preferensial: konsumen memiliki minat yang tinggi pada produk
    tertentu.
  6. Minat eksploratif: konsumen mencari informasi tentang harga produk, dan
    mencari informasi mengenai kelebihan dan kekurangan dari produk

Kepedulian Lingkungan


Kepedulian lingkungan merupakan salah satu dugaan yang memungkinkan
konsumen dalam melakukan pembelian produk yang ramah lingkungan.
Kepedulian terhadap lingkungan juga dapat dianggap sebagai salah satu komitmen
dan emosional dari konsumen terhadap berbagai isu lingkungan hidup (Angelovska
et al., 2012) dan (Aman et al., 2012). Berikut merupakan indikator kepedulian
lingkungan;

  1. Memiliki kepedulian terhadap lingkungan.
  2. Membuang sampah pada tempatnya.
  3. Mengonsumsi green product.
  4. Menggunakan sepeda agar mengurangi polusi.
  5. Menanam pohon.
    Menurut Neolaka (2008) kepedulian lingkungan dipengaruhi empat faktor
    yaitu;
  6. Faktor ketidaktahuan, dimana konsumen tidak memiliki pengetahuan yang
    luas mengenai kepedulian terhadap lingkungan.
  7. Faktor kemiskinan, konsumen lebih berfokus pada kebutuhan pribadi
    sehingga tidak dapat memperhatikan isu terhadap lingkungan.
  8. Faktor kemanusiaan, konsumen yang tidak perduli akan lingkungan hidup.
  9. Faktor gaya hidup, konsumen yang memiliki gaya hidup sehat memiliki
    potensi tinggi untuk mengonsumsi produk hijau.
  10. Mengurangi pemakaian plastik.

Pengetahuan Lingkungan


Pengetahuan lingkungan merupakan pengetahuan dasar yang dimiliki oleh
konsumen mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk melindungi lingkungan
(Lee 2011). Semakin baik pengetahuan lingkungan yang dimiliki oleh konsumen,
maka konsumen tersebut akan semakin tahu tentang kualitas dari produk ramah
lingkungan Konsumen yang sadar akan lingkungan cenderung untuk membeli serta
menggunakan produk yang ramah lingkungan (Ginting dan Ekawati, 2016).
Semakin tinggi pengetahuan lingkungan, maka minat beli konsumen terhadap
green product akan meningkat (Banyte et al., 2010). Berikut merupakan Indikator
Pengetahuan Lingkungan (Lee, 2011):

  1. Adanya pengetahuan pada green product.
  2. Memahami isu terhadap lingkungan.
  3. Mengetahui dampak dari mengonsumsi green product.
  4. Pengetahuan mengenai manfaat dan kelebihan dari green product.

Green Product


Secara umum green product dikenal sebagai produk ramah lingkungan yang
tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungannya, tidak boros sumber daya, tidak
menghasilkan sampah berlebihan dan tidak melibatkan kekejaman pada binatang
(Pankaj et al., 2014) (Chen et al., 2010). Green product merupakan produk yang
berwawasan lingkungan yang dirancang dan diproses dengan suatu cara untuk
mengurangi dampak bagi kesehatan manusia serta tidak berpotensi merusak
lingkungan baik dalam produksi, pendistribusian dan pengkonsumsiannya (Kasali
2005) dan (Junaedi 2005). Pada green product terdapat kolabel yang dapat
dimanfaatkan untuk mendorong konsumen agar memilih produk-produk yang
memberikan dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan produk lain yang
sejenis (Sumarsono et al., 2012).
Berdasarkan penelitian D’Souza et al., (2006) menjelaskan aspek-aspek
green product:
a. Persepsi produk: Konsumen melihat green product sebagai produk yang
tidak berbahaya terhadap hewan dan lingkungan.
b. Kemasan: Produk menyajikan elemen tertentu dan terlihat terkait
kepedulian lingkungan oleh pelanggan.
c. Komposisiisi: Bahan daur ulang dapat membenarkan pemakaian pada batas
tertentu dan klaim pemakaian secara keseluruhan pada tingkat yang lebih
rendah, serta kerusakan minimum terhadap lingkungan

Pengaruh return on assets – ROA terhadap financial distress


Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam
menghasilkan laba. Apabila suatu perusahaan menghasilkan laba yang tinggi,
maka agent memberikan sinyal keberhasilan dalam pengelolaan perusahaannya.
Laba yang tinggi akan menarik investor untuk berinvestasi, sehingga akan
menjauhkan suatu perusahaan dari ancaman financial distress (Fatara, 2016)
Penelitian Fatara (2016) menunjukkan profitabilitas berpengaruh terhadap
prediksi financial distress yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun
2012-2014. Semakin tinggi laba yang dihasilkan, maka semakin efektif dalam
penggunaan aktiva untuk menghasilkan keuntungan sehingga menjauhkan
perusahaan dari ancaman financial distress. Namun sebaliknya menurut Mafiroh
dan Triyono (2016), rasio profitabilitas (ROA) tidak mempengaruhi prediksi
financial distress. Walaupun terjadi inkonsistensi penelitian, adanya efektivitas
dari penggunaan aset perusahaan seharusnya dapat mejadikan perusahaan
memiliki dana yang cukup untuk menjalankan keberlangsungan usahanya dan
mencegah kemungkinan kondisi financial distress. Dengan demikian, pengukuran
profitabilitas dapat menjadi salah satu alat ukur untuk memberikan sinyal kondisi
financial distress perusahaan

Pengaruh government ownership terhadap return on assets – ROA


Kepemilikan saham pemerintah menunjukkan jumlah saham perusahaan
yang dimiliki oleh pemerintah. Dengan kepemilikan saham, pemerintah dapat
mengendalikan kebijakan yang diambil oleh manajemen agar sesuai dengan
kepentingannya. Kartikawati (2007) dalam Wiranata dan Nugrahanti (2013)
menyatakan bahwa konsentrasi government ownership berpengaruh negatif
terhadap kinerja perusahaan. Pemerintah dapat memperlambat kinerja dari
perusaahan tersebut dikarenakan pemerintah belum mampu untuk mengelola
perusahaan dengan baik. Bahkan pemerintah dapat mengintervensi kinerja
perusahaan demi kepentingan pemerintah semata.
Shen and Lin (2009) menemukan pemerintah atau birokrat mempunyai
kepentingan sosial dan politis daripada memikirkan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan. Oleh karena itu, kontrol dari pihak pemerintah terhadap pihak
manajer sebagai pengelola perusahaan akan berkurang dan perusahaan tidak dapat
meningkatkan kinerjanya secara maksimal

Pengaruh insider ownership terhadap return on assets – ROA


Menurut Stanny (2009) dalam Thaharah (2016), kepemilikan manajemen
terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan
kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Permasalahan
keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer sekaligus juga
seorang pemilik. Semakin besar insider ownership di dalam perusahaan, maka
semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan kinerja perusahaan,
dengan kata lain biaya kontrak dan pengawasan menjadi rendah (Anggraini, 2006
dalam Lestari, 2015).
Dalam penelitian Waryanto (2010), dengan adanya insider ownership,
maka tindakan oportunis manajer untuk memaksimalkan keuntungan pribadi akan
berkurang. Hal ini dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan dalam
menunjukkan kinerjanya.

Pengaruh institutional ownership terhadap return on assets – ROA


Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa institutional ownership
memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan
yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor
institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam
setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor
institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah
percaya terhadap tindakan manipulasi laba (Thaharah, 2016).
Institutional ownership merupakan mekanisme corporate governance
yang dapat mengurangi masalah dalam agency theory antara principal (pemilik)
dan agent (manajemen) sehingga terjadi keselarasan kepentingan antara pemilik
dan manajemen. Institutional ownership yang lebih dari 5% mengidentifikasi
kemampuan memonitor perusahaan (Emrinaldi, 2007 dalam Fatara, 2016).
Lestari (2015) menemukan bahwa kepemilikan saham institusi
berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hasil
penelitian yang serupa juga didapatkan oleh Santoso (2017) yang secara tidak
langsung menjelaskan Good Corporate Governance yang diwakili proksi
institutional ownership memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai
perusahaan dengan menggunakan kinerja keuangan sebagai variabel intervening.
Penelitian lain dari Putra dan Nuzula (2017) memberikan bukti lain yang
menyatakan institutional ownership memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
ROA.
Dengan demikian besarnya peran institutional ownership dapat menjadi
salah satu alat ukur bagi kinerja keuangan perusahaan dalam hal in menyangkut
profitablitasnya mengelola aset.

Kepemilikan Pemerintah – government ownership


Kepemilikan saham pemerintah adalah jumlah saham perusahaan yang
dimiliki oleh pemerintah dari total jumlah saham yang beredar. Dengan
kepemilikan saham ini, pemerintah berhak untuk mengontrol dan mengendalikan
kebijakan yang diambil oleh manajemen agar sesuai dengan kepentingan
pemerintah. Menurut Udin (2017) kepemilikan saham perusahaan ditujukan untuk
fungsi publik sedangkan prioritas pemerintah untuk manfaat sosial daripada
maksimalisasi keuntungan.
Para manajer dari perusahaan pemegang saham pemerintah diangkat
secara birokratis dan dengan alasan politis, yang diposisikan untuk menghadapi
tekanan dan melindungi posisi serta prospek politik mereka. Apabila perusahaan
mengalami kesulitan, maka pemerintah akan memberikan dukungan dengan
menyuntikkan modal dan melonggarkan pajak (Udin, 2017)

Kepemilikan Asing – foreign ownership


Foreign ownership adalah persentase jumlah saham yang dimiliki oleh
pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap saham
perusahaan di Indonesia. Peraturan terkait penanaman modal di Indonesia
mengacu pada Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 6 yang
menyebutkan bahwa yang disebut sebagai penanam modal asing adalah
perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan pemerintah asing yang
melakukan penanaman modal di wilayah hukum Republik Indonesia.
Perusahaan dengan kepemilikan saham asing biasanya lebih sering
menghadapi masalah asimetri informasi dikarenakan hambatan geografis, bahasa,
dan standar yang digunakan di setiap negara berbeda. Seat ini ketika semakin
banyaknya pihak asing yang menanamkan sahamnya diperusahaan, maka akan
meningkatkan kinerja dari perusahaan yang di investasikan sahamnya. Hal ini
terjadi karena pihak asing yang menanamkan modal sahamnya memiliki sistem
manajemen, teknologi dan inovasi, keahlian dan pemasaran yang cukup baik yang
bisa membawa pengaruh positif bagi perusahaan (Wiranata dan Nugrahanti, 2013)

Kepemilikan Manajerial – insider ownership


Kepemilikan saham manajerial dapat menjadi salah satu faktor yang
menentukan luas pengungkapan laporan pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Alasannya, pihak manajemen yang memiliki saham perusahaan akan
menumbuhkan perasaaan memiliki dan selalu berusaha untuk meningkatkan nilai
perusahaan, salah satunya dengan melaporkan laporan pertanggungjawaban sosial
perusahaan yang diharapkan dapat meningkatkan image perusahaan dimata para
stakeholders.
Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa untuk meminimalkan
konflik keagenan adalah dengan memperbesar kepemilikan saham manajerial
dalam perusahaan. Menurut Anggraini (2006) dalam Lestari (2015), semakin
besar insider ownership di dalam perusahaan, maka semakin produktif tindakan
manajer dalam memaksimalkan kinerja perusahaan. Dengan kata lain, biaya
kontrak dan pengawasan menjadi rendah. Insider ownership diukur dengan
perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak manajer terhadap jumlah
saham beredar

Kepemilikan Institutional – institutional ownership


Institutional ownership merupakan kepemilikan saham yang dipegang
oleh institusi lain. Institusi merupakan lembaga yang memiliki kepentingan besar
terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Perusahaan dengan
institutional ownership yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan
kemampuannyan untuk memonitor manajemen. Struktur kepemilikan perusahaan
publik di Indonesia sangat terkonsentrasi pada institusi. Institusi yang
dimaksudkan adalah pemilik perusahaan publik berbentuk lembaga, bukan
pemilik atas nama peseorangan pribadi (Sutedi, 2011:21 dalam Lestari, 2015).
Keberadaan investor institusional juga dianggap mampu menjadi
mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh
manajemen sehingga dengan adanya institutional ownership akan mendorong
peningkatan pelaporan kinerja keuangan yang lebih optimal. Semakin tinggi
tingkat kepemilikan saham perusahaan oleh pihak institusional, maka diharapkan
performa kinerja keuangan yang diungkap semakin tinggi dan pengungkapan
laporan pertanggungjawaban sosial perusahaan semakin luas

Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance


Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dalam
Pedoman Umum Good Corporate Governance (2006:12), setiap perusahaan harus
memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua
jajaran perusahaan. Asas GCG, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai
kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan
pemangku kepentingan (stakeholders).
Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil
inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan
keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas
merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan.
Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga
dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai good corporate citizen.
Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan

Kinerja Keuangan Perusahaan


Pihak eksternal yang berkepentingan bagi suatu perusahaan, akan
membutuhkan suatu alat untuk mengukur bagaimana perusahaan mencapai
kesesuaian tujuan dan sasaran perusahaan. Salah satu alat yang sering digunakan
adalah laporan keuangan yang dapat menunjukkan kinerja keuangan perusahaan
dalm suatu periode tertentu. Pengukuran kinerja menurut Lestari (2015)
merupakan penentuan secara periodik gambaran perusahaan yang berupa kegiatan
operasional, struktur organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar, dan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga sesuai dengan tujuan dan
sasaran perusahaan. Pengukuran kinerja perusahaan dievaluasi untuk melakukan
perbaikan dan pengendalian atas kegiatan operasionalnya agar dapat bersaing
dengan perusahaan lain.
Menurut Munawir (2002:89) dalam Lestari (2015), profitabilitas
merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola
kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan. Profitabilitas
adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva maupun modal sendiri atau untuk mengevaluasi apakah
manajemen telah mendapat hasil yang memadai (reasonable return) dari aset
yang dikuasainya atau didefinisikan sebagai laba bersih (operating income)

Financial distress


Financial distress merupakan suatu kondisi di mana perusahaan sedang
menghadapi masalah kesulitan keuangan. Menurut Platt (2002) financial distress
didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum
terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Kondisi financial distress tergambar
dari ketidakmampuan perusahaan atau tidak tersedianya suatu dana untuk
membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
Menurut Knechel and Venstraelen (2007), perusahaan dianggap
mengalami financial distress jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) kerugian
operasional, (2) kerugian intinya, (3) laba ditahan negatif selama dua tahun
sebelumnya, dan (4) modal kerja negatif selama dua tahun sebelumnya. Pada
dasarnya, perusahaan seharusnya melaporkan kondisi perusahaan sesuai dengan
kenyataan terutama jika perusahaan mengalami financial distress.
15
Kesulitan keuangan (financial distress) yang dialami perusahaan dapat
didefinisikan menurut tipenya. Brigham and Gapenski (2011:870) menyatakan
beberapa definisi, antara lain sebagai berikut :

  1. Economic Failure
    Economic failure atau kegagalan ekonomi, kondisi saat pendapatan
    perusahaan tidak cukup untuk menutupi total biaya, termasuk cost of capital.
    Bisnis ini masih dapat melanjutkan operasinya sepanjang kreditur bersedia
    menerima tingkat pengembalian (rate of return) yang di bawah pasar.
  2. Business Failure
    Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan operasi
    dengan alasan mengalami kerugian.
  3. Technical Insolvency
    Sebuah perusahaan bisa dikatakan dalam keadaan technical insolvency
    apabila suatu perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban lancarnya ketika
    jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar hutang secara teknis menunjukkan
    bahwa perusahaan sedang mengalami kekurangan likuiditas yang bersifat
    sementara, dimana jika diberikan beberapa waktu, maka kemungkinan
    perusahaan bisa membayar hutang dan bunganya tersebut. Di sisi lain, apabila
    technical insolvency merupakan gejala awal kegagalan ekonomi, ini mungkin
    bisa menjadi sebuah tanda perhentian pertama menuju bankruptcy.
  4. Insolvency in Bankruptcy
    Insolvency in bankruptcy bisa terjadi di suatu perusahaan apabila nilai buku
    hutang perusahaan tersebut melebihi nilai pasar asset saat ini. Kondisi
    tersebut bisa dianggap lebih serius jika dibandingkan dengan technical
    insolvency, karena pada umumnya hal tersebut merupakan tanda kegagalan
    ekonomi, bahkan mengarah pada likuidasi bisnis. Perusahaan yang sedang
    mengalami keadaan seperti ini tidak perlu terlibat dalam tuntutan
    kebangkrutan secara hukum.
  5. Legal Banckruptcy
    Perusahaan dapat dikatakan mengalami kebangkrutan secara hukum apabila
    perusahaan tersebut mengajukan tuntutan secara resmi sesuai dengan undang-
    undang yang berlaku.
    Lizal (2002) dalam Fachrudin (2008) juga menjelaskan penyebab-
    penyebab kesulitan keuangan perusahaan yang kemudian dikelompokkan dan
    menjadi Model Dasar Kebangkrutan atau Trinitas Penyebab Kesulitan Keuangan.
    Menurut peneliti, ada tiga alasan yang mungkin mengapa perusahaan menjadi
    bangkrut, yaitu:
  6. Neoclassical model. Pada kasus ini kebangkrutan terjadi jika alokasi
    sumber daya tidak tepat. Kasus restrukturisasi ini terjadi ketika
    kebangkrutan mempunyai campuran aset yang salah. Mengestimasi
    kesulitan dilakukan dengan data neraca dan laporan laba rugi. Misalnya
    profit/assets (untuk mengukur profitabilitas), dan liabilities/assets.
  7. Financial model. Campuran aset benar tapi struktur keuangan salah
    dengan liquidity constraints (batasan likuiditas). Hal ini berarti bahwa
    walaupun perusahaan dapat bertahan hidup dalam jangka panjang tapi ia
    harus bangkrut juga dalam jangka pendek. Hubungan dengan pasar modal
    yang tidak sempurna dan struktur modal yang inherited menjadi pemicu
    utama kasus ini. Tidak dapat secara terang ditentukan apakah dalam kasus
    ini kebangkrutan baik atau buruk untuk direstrukturisasi. Model ini
    mengestimasi kesulitan dengan indikator keuangan atau indikator kinerja
    seperti turnover/total assets, revenues/turnover, ROA, ROE, profit margin,
    stock turnover, receivables turnover, cash flow/ total equity, debt ratio,
    cash flow/(liabilities-reserves), current ratio, acid test, current liquidity,
    short term assets/daily operating expenses, gearing ratio, turnover per
    employee, coverage of fixed assets, working capital, total equity per share,
    EPS ratio, dan sebagainya.
  8. Corporate governance model. Disini, kebangkrutan merupakan campuran
    aset dan struktur keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk.
    Ketidakefisienan ini mendorong perusahaan menjadi out of the market
    sebagai konsekuensi dari masalah dalam tata kelola perusahaan yang tak
    terpecahkan. Model ini mengestimasi kesulitan dengan informasi
    kepemilikan. Kepemilikan berhubungan dengan struktur tata kelola
    perusahaan dan goodwill perusahaan.
    Sampai saat ini, Z-score model masih lebih banyak digunakan oleh para
    peneliti, praktisi, serta akademis dibidang akuntansi daripada model prediksi
    kebangkrutan lainnya. Ramadhani dan Lukviarman (2009) menjelaskan prediksi
    kebangkrutan Altman Model multivariat untuk menganalisis kesulitan keuangan,
    telah banyak dipergunakan di berbagai negara. Altman mengadakan survei model
    tersebut di berbagai negara, yaitu Amerika, Jepang, Jerman, Swiss, Brazil dan
    Australia, untuk mengetahui adakah kesamaan diantara rasio rasio yang
    digunakan untuk mengklasifikasikan perusahaan yang mengalami kegagalan atau
    tidak mengalami kegagalan diantara negara-negara tersebut. Dari penelitiannya
    terhadap 33 perusahaan yang dinyatakan bangkrut dan 33 perusahaan yang tidak
    bangkrut, dengan menggunakan 22 variabel (rasio) ditemukan lima rasio yang
    paling berkontribusi terhadap model prediksi

Teori Sinyal (Signalling theory)


Signalling theory adalah bagaimana akuntansi dapat digunakan untuk
menyatakan sinyal informasi tentang perusahaan. Signalling theory menyatakan
bahwa perusahaan dengan kinerja yang tinggi (perusahaan bagus) menggunakan
informasi keuangan untuk mengirim sinyal kepada pasar (Spence, 1973). Teori
signalling menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh
perusahaan terhadap keputusan investasi pihak eksternal dan adanya dorongan
perusahaan untuk memberikan informasi tersebut kepada pihak eksternal. Salah
satu cara untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal
pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya
dan memiliki integritas dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek
perusahaan yang akan datang.
Teori sinyal juga dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan industri di
dalam pengungkapan. Pengungkapan informasi yang lebih luas dapat memberikan
sinyal yang lebih banyak kepada publik mengenai kondisi perusahaan. Manfaat
utama teori ini adalah akurasi dan ketepatan waktu penyajian laporan keuangan ke
publik adalah sinyal dari perusahaan akan adanya informasi yang bermanfaat
dalam kebutuhan untuk pembuatan keputusan dari investor

Teori Agensi


Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan teori agensi sebagai
hubungan agensi yang muncul ketika satu pihak yang berperan sebagai pemilik
(prinsipal) mempekerjakan manajemen (agen) untuk memberikan suatu jasa
termasuk mendelegasikan wewenang dan pengambilan keputusan kepada agen
tersebut. Prinsipal didefinisikan sebagai pihak yang memberikan amanat kepada
agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang
diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan dan berkewajiban
untuk mempertanggungjawabkan amanat tersebut.
Teori agensi menyatakan bahwa masing-masing pihak (prinsipal dan agen)
hanya termotivasi untuk memaksimalkan utilitasnya masing-masing sehingga ada
alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agen tidak akan selalu bertindak
untuk kepentingan yang terbaik bagi pemilik. Hal ini menimbulkan konflik
kepentingan antara prinsipal dengan agen. Permasalahan umum dari teori ini
adalah masalah agar agen bertindak dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan
pemilik (Jensen and Meckling, 1976).
Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa konflik kepentingan
antara prinsipal dan agen akan menimbulkan biaya keagenan yang terdiri dari:

  1. Monitoring cost, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk
    mengawasi aktivitas dan perilaku dari agen dalam mengelola perusahaan.
  2. Bonding cost, yaitu biaya yang ditanggung oleh agen untuk memberi
    jaminan kepada prinsipal bahwa agen tidak melakukan tindakan yang
    merugikan prinsipal.
  3. Residual loss, yaitu biaya yang ditanggung oleh prinsipal untuk
    mempengaruhi keputusan agen agar meningkatkan kesejahteraan prinsipal.
    Fama (1980) dalam teori agensi menyatakan bahwa terdapat kontrak
    efisien, artinya pemilik menyerahkan tanggung jawab secara penuh kepada
    manajer dan manajer bertugas mengkoordinasikan aktivitas dalam perusahaan dan
    memposisikannya secara tepat dalam lingkungan kompetitif. Peran terpenting dari
    pemilik adalah untuk memonitor dan mengontrol pekerjaan dan pengambilan
    keputusan ekonomi yang dilakukan oleh manajer. Hal ini dilakukan untuk
    mengurangi risiko yang ditanggung oleh pemilik. Manajer menggunakan human
    capital yang dimiliki oleh perusahan dalam rangka mendukung kinerjanya sebagai
    upaya untuk menghasilkan keuntungan bagi pemilik karena ada kekhawatiran dari
    manajer bahwa kinerjanya tidak akan menghasilkan keuntungan bagi pemilik.
    Eisenhardt (1989) mengemukakan beberapa teori yang melandasi teori
    agensi. Teori-teori tersebut dibedakan menjadi tiga jenis asumsi, yaitu asumsi
    tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi. Asumsi sifat
    manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan dirinya
    sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality) dan
    tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian menekankan bahwa
    adanya konflik antar anggota organisasi dan adanya asimetri informasi antara
    prinsipal dan agen. Asumsi informasi menekankan bahwa informasi sebagai
    barang komoditi yang bisa diperjualbelikan. Jadi, teori keagenan membahas
    tentang hubungan keagenan antara prinsipal dan agen.
    Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa terdapat dua aspek masalah yang
    terdapat dalam agency problem, yaitu:
  4. Moral hazard, yaitu terjadi ketika agen bertindak diluar ketentuan kontrak
    yang disepakati bersama dengan prinsipal.
  5. Adverse selection adalah kondisi dimana prinsipal tidak dapat memastikan
    apakah tindakan agen sudah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya
    untuk melaksanakan tanggung jawab yang tertuang dalam kontrak kerja

Pengaruh ukuran dewan direksi terhadap kebijakan likuiditas perusahaan


Keberhasilan sebuah perusahaan dalam menjalankan bisnisnya
sangat ditentukan oleh keberadaan dewan direksi. Dewan direksi adalah
dewan yang bertugas menjalankan operasional harian perusahaan.
Berdasarkan code of corporate governance yang dikeluarkan oleh KNKG
(2006), fungsi pengelolaan yang dilakukan dewan direksi mencakup lima
fungsi yaitu kepengurusan, manajemen risiko, pengendalian internal,
komunikasi dan tanggung jawab sosial. Semakin besar ukuran dewan
direksi maka semakin besar pula kemungkinan fungsi pengelolaan
perusahaan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, karena setiap anggota
dewan direksi tersebut memiliki tanggung jawab terhadap fungsi
pengelolaan yang lebih terbatas, sehingga anggota dewan direksi tersebut
bisa bekerja dengan lebih fokus. Dewan direksi yang lebih besar juga akan
lebih bijak dalam mengambil keputusan, karena keputusan yang diambil
tersebut telah melalui tahap diskusi dan pembahasan yang lebih
komprehensif jika dibandingkan dengan dewan yang jumlah anggotanya
lebih sedikit. Keputusan yang dimaksud adalah kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan perusahaan, termasuk menentukan tingkat likuiditas
perusahaan.
Dalam model hubungan keagenan, dewan direksi disebut juga
sebagai agen. Menurut teori keagenan, ukuran dewan direksi berperan
penting dalam pencapaian tujuan perusahaan karena dapat mengurangi
masalah keagenan yang terjadi dalam perusahaan, yaitu berupa kelebihan
likuiditas yang tidak perlu. Dewan direksi yang lebih besar dapat
mengurangi kemungkinan salah satu atau beberapa orang dari anggota
dewan tersebut untuk melakukan tindakan moral hazard, karena tindakan
tersebut mungkin akan diketahui oleh anggota dewan direksi lain, yang
lebih memilik integritas dan tidak mau kompromi dengan tindakan tidak
profesional tersebut.

Pengaruh ukuran komite audit terhadap kebijakan likuiditas perusahaan


Komite audit dibentuk dengan tujuan untuk membantu dewan
komisaris dalam melakukan pengawasan atas hal-hal yang berkaitan
dengan laporan keuangan, sistem pengendalian internal, pelaksanaan
fungsi audit internal dan eksternal, penerapan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik, serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut teori keagenan, jika fungsi pengawasan ini dapat
dilakukan dengan baik, maka akan mengurangi masalah keagenan. Dengan
kata lain, semakin besar jumlah anggota komite audit, diharapkan dapat
menjalankan pengawasan yang lebih efektif. Dengan menambah jumlah
anggota komite audit, maka akan menambah keyakinan dalam
pengawasan oleh komite audit tersebut, karena terdapat pengalaman dan
keahlian yang lebih beragam, sehingga diharapkan dapat mengurangi
masalah keagenan dalam perusahaan yaitu berupa pengelolaan likuiditas
yang kurang optimal (Karamanou dan Vafeas, 2005)
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa ukuran komite audit
dapat menekan masalah keagenan pada perusahaan, seperti penelitian oleh
Kusnadi (2003), Beasley dan Salteiro (2001), dan Ghosh, et al. (2010)
(dikutip dari Hadiprajitno, 2013).

Pengaruh kepemilikan asing terhadap kebijakan likuiditas perusahaan


Tujuan investor melakukan investasi adalah untuk memperoleh
keuntungan. Investor asing merupakan salah satu pelaku pasar yang aktif
di pasar saham Indonesia. Keuntungan utama yang diharapkan oleh
investor adalah kenaikan nilai saham perusahaan. Agar tujuan ini bisa
tercapai, perusahaan seharusnya menginvestasikan kekayaan yang
dimilikinya pada bentuk aset yang memberikan tingkat pengembalian yang
lebih besar. Sedangkan aset likuid berupa cash holding merupakan bentuk
aset yang memberikan imbal hasil yang paling kecil bagi perusahaan.
Pertimbangan lainnya bagi investor asing dalam melakukan
investasi adalah bagaimana penerapan tata kelola perusahaan yang baik di
negara tersebut. Dengan demikian, tingginya aktivitas investor asing di
sebuah negara, mencerminkan adanya penerapan tata kelola yang baik
oleh perusahaan di negara tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini
memprediksikan adanya hubungan negatif antara kepemilikan asing
dengan likuiditas perusahaan. Akan tetapi pemikiran ini bertentangan
dengan hasil penelitian Bokpin, et al. (2011) dan Luo dan Hachiya (2005),
yang menemukan hubungan positif antara kepemilikan asing dengan cash
holding perusahaan.

Pengaruh kepemilikan institusional terhadap kebijakan likuiditasperusahaan


Pemegang saham institusional biasanya berbentuk perusahaan
perbankan, dana pensiun, asuransi, reksadana atau institusi keuangan lain.
Kepemilikan oleh institusi keuangan akan menciptakan pengendalian dan
pengawasan yang lebih kuat terhadap manajer, sehingga bisa mengurangi
peluang manajer untuk bertindak mementingkan dirinya sendiri. Investor
institusional biasanya akan mengawasi portofolio investasinya secara
profesional agar bisa menghasilkan keuntungan sesuai dengan target yang
ingin mereka capai. Untuk mencapai tujuan ini, maka pemilik institusional
akan mendorong perusahaan untuk mengelola aset yang dimilikinya
dengan lebih efisien, termasuk dalam menjaga likuiditas pada tingkat yang
minimal.
Keberadaan institusi sebagai pemilik saham juga menuntut
perusahaan untuk memberikan informasi yang lebih terbuka, karena
investor institusi biasanya lebih proaktif dalam pengawasan investasinya.
Pemikiran ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
hristina dan Ekawati (2014) yang menemukan bahwa kepemilikan
institusional berpengaruh negatif terhadap excess cash holding perusahaan,
serta penelitian Luo dan Hachiya (2005) yang menemukan arah hubungan
negatif antara kepemilikan institusi keuangan dengan cash holding
perusahaan.

Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kebijakan likuiditas perusahaan


Menurut teori keagenan, kepemilikan manajerial dapat mengurangi
masalah keagenan. Dengan adanya kepemilikan manajerial, akan terjadi
keselarasan antara kepentingan prinsipal dan agen, sehingga manajer
bertindak sesuai keinginan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976).
Jika kepemilikan manajerial rendah, maka dorongan bagi manajer tersebut
untuk menyelewengkan aset perusahaan melalui akumulasi cash holding
akan lebih tinggi, sehingga bisa menurunkan nilai pemegang saham.
Tetapi jika manajer juga memiliki saham di perusahaan yang dikelolanya,
dia akan termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan dan lebih
bijaksana dalam penggunaan kas perusahaan.
Pemikiran ini didukung oleh hasil penelitian Bokpin, et al. (2011)
dan Papaioannou et al. (1992) yang menemukan arah hubungan negatif
antara kepemilikan manajerial dengan cash holding perusahaan. Akan
tetapi argumen ini bertentangan dengan hasil penelitian Ozkan dan Ozkan
(2003) bahwa hubungan antara kepemilikan manajerial dan cash holding,
dan hasil penelitian Luo dan Hachiya (2005) yang menemukan bahwa
kepemilikan insider berpengaruh positif terhadap tingkat cash holding
perusahaan

Pecking Order Theory


Menurut Jinkar (2013), pecking order theory mengemukakan adanya
urutan sumber dana dalam pembuatan keputusan pendanaan perusahaan.
Berdasarkan teori ini, ketika perusahaan membutuhkan dana untuk keperluan
pembiayaan investasi, seharusnya perusahaan membiayai kesempatan
investasi dengan dana internal terlebih dahulu. Jika keperluan untuk investasi
tidak bisa didapat dari pendanaan internal, maka perusahaan akan
menggunakan pendekatan eksternal dari utang sebagai sumber pendanaan
kedua, dan ekuitas sebagai sumber pendanaan terakhir. Teori ini membuat
perusahaan tidak mempunyai target kas optimal, sehingga perusahaan akan
cenderung menyimpan sisa kas dari hasil kegiatan operasionalnya.
Myers dalam Keown, Martin, Petty,dan Scott (2000) dengan ringkas
mengikhtisarkan teori pecking order sebagai berikut:
1) Perusahaan menerapkan kebijakan dividen untuk kesempatan investasi.
2) Perusahaan lebih suka mendanai kesempatan investasi dengan dana yang
sepenuhnya dari dalam dulu, lalu modal keuangan eksternal akan dicari.
3) Saat pendanaan eksternal dibutuhkan, perusahaan akan pertama memilih
menerbitkan sekuritas utang, menerbitkan sekuritas jenis modal akan
dilakukan terakhir.
Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya
kebijakan dividen yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta
kesempatan investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi
yang lancar tersedia.
Menurut Gill dan Shah (2012) Cash Holding didefinisikan sebagai kas
yang ada di perusahaan atau tersedia untuk investasi pada aset fisik dan untuk
dibagikan kepada para investor. Semakin tinggi tingkat Cash Holding semakin
besar jumlah kas yang tersedia di perusahaan

Trade-Off Theory


Manajer sering menganggap keputusan utang-ekuitas perusahaan
sebagai trade-off antara perlindungan pajak bunga dan biaya masalah
keuangan. Teori trade-off ini memperkirakan bahwa rasio utang sasaran akan
bervariasi dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Perusahaan dengan aset
berwujud dan aman serta laba kena pajak melimpah yang harus dilindungi
sebaiknya memiliki rasio sasaran yang tinggi. Perusahaan tidak
menguntungkan dengan aset tak berwujud yang berisiko sebaiknya hanya
bergantung pada pendanaan ekuitas (Brealey, Marcus, dan Myers, 2007).
Menurut Marfuah dan Zulhilmi (2014), Trade-Off Theory menyatakan
bahwa Cash Holding perusahaan dikelola dengan mempertimbangkan
batasan antara biaya dan manfaat (cost and benefit) yang didapatkan dari
menahan kas. Keputusan yang tepat dalam mengelola Cash Holding akan
konsisten dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan nilai perusahaan.
Jika keputusan manajer sejalan dengan kepentingan pemegang saham, maka
biaya yang ditimbulkan hanya return dari Cash Holding yang relatif kecil
dibandingkan investasi lain dengan tingkat risiko yang setara. Jika manajer
tidak memaksimalkan kekayaan pemegang saham dan menggunakan Cash
Holding untuk meningkatkan aset di bawah kendali mereka, maka biaya Cash
Holding bertambah oleh adanya agency cost atas managerial discretion.
Berdasarkan Trade-Off Theory ini, titik optimal yang dapat memaksimalkan
nilai perusahaan berada saat marginal value of benefit melebihi marginal
value of cost dari tingkat Cash Holding tertentu (Jinkar, 2013)

Motif Menahan Kas


Keynes dalam Husnan & Pudjiastuti (2006) menyatakan bahwa ada tiga
motif perusahaan untuk menahan kas, yaitu :
a. Motif Transaksi
Motif transaksi yaitu motif yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan transaksi perusahaan, seperti pembelian bahan baku, gaji
karyawan, pajak, dan lain-lain (Horne dan Machowicz, 2005). Menurut
Baumol, Miller, dan Orr dalam Syafrizalliadhi (2014) perusahaan
memegang kas untuk menghindari biaya transaksi yang timbul ketika
melikuidasi aset menjadi kas. Perusahaan akan memegang kas lebih
banyak ketika biaya transaksi yang diperlukan untuk mengkonversi aset
non-tunai menjadi kas lebih tinggi.
b. Motif Spekulasi
Motif spekulasi adalah motif yang dimaksudkan untuk
memanfaatkan peluang yang ada secara murah apabila kesempatan itu ada,
seperti penurunan tiba-tiba harga bahan baku (Horne dan Machowicz,
2005). Jika harga bahan bangunan turun, perusahaan yang menahan saldo
kas dalam jumlah yang besar mendapat keuntungan dalam pembelian
bahan baku dengan jumlah besar. Dalam hal ini perusahaan akan memiliki
kesempatan untuk membeli dengan uang kas yang dimilikinya, dan
menjualnya pada saat harganya naik (Kasmir, 2010).
c. Motif Berjaga-jaga
Husnan & Pudjiastuti (2006) menyatakan bahwa motif berjaga-jaga
dimaksudkan untuk mempertahankan saldo kas guna memenuhi
permintaan kas yang sifatnya tidak terduga. Seandainya semua
pengeluaran dan pemasukkan kas bisa diprediksi dengan sangat akurat,
maka saldo kas untuk maksud berjaga-jaga akan sangat rendah. Selain
akurasi prediksi kas, apabila perusahaan mempunyai akses kuat ke sumber
dana eksternal, saldo kas juga akan rendah. Motif berjaga-jaga ini nampak
dalam kebijakan penentuan saldo kas minimal dalam penyusunan anggaran
kas.

Kebijakan Likuiditas


Likuiditas merupakan tingkat kemampuan perusahaan untuk membayar
kewajiban-kewajiban jangka pendek, baik yang menyangkut kebutuhan
operasional maupun hutang kepada pihak luar (Harnanto, 1987, p.174).
Apabila perusahaan tidak sanggup membayar kewajiban tersebut, maka
perusahaan akan berada pada kondisi illikuid. Keadaan tidak likuid ini dapat
mencerminkan bahwa uang yang diinvestasikan ke dalam perusahaan tidak
dikelola dengan baik. Selain itu kondisi illikuid akan membuat hutang
ditambah dengan adanya bunga semakin menumpuk dan kredibilitas
perusahaan menjadi diragukan. Ada dua faktor penting dalam mengukur
tingkat likuiditas suatu perusahaan (Harmanto, 1987, p.175), yaitu aktiva
lancar dan hutang lancar.
Aktiva lancar meliputi kas, surat berharga (efek), piutang, persediaan, serta
pos-pos transitoris dan antisipasi. Dalam keadaan normal, aktiva lancar
merupakan sumber utama untuk melunasi kewajiban-kewajiban jangka
pendek suatu perusahaan. Kas merupakan alat ukur yang paling mewakili,
karena pada akhirnya kewajiban akan dibayar dengan kas. Sementara itu,
yang termasuk ke dalam hutang lancar adalah hutang dagang, hutang bank
jangka pendek, hutang jangka panjang yang segera jatuh tempo, dan hutang
pajak.
Untuk memenuhi likuiditas perusahaan terdapat cadangan kas minimum
yang perlu ditetapkan perusahaan (Saunders & Cornett, 2003). John Maynard
K. (Kasmir, 2010, p.192) mengatakan ada tiga alasan dalam menyimpan uang
ke kas yaitu, motif transaksi, motif spekulatif, motif berjaga-jaga

Dewan Direksi


Dewan direksi adalah orang yang bertanggungjawab memimpin
kegiatan dalam suatu perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat
melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian
tugas dan wewenangnya. Menurut Effendi (2016) dalam penelitian
Syafitri, Nuzula dan Nurlaily (2018) Dewan direksi dalam suatu
perusahaan berperan sebagai agent atau pengelola perusahaan yang
kedudukannya bertanggung jawab secara penuh atas kegiatan operasional
perusahaan. Dewan direksi merupakan sekelompok direktur-direktur yang
diketahui oleh presiden direktur. Dewan direksi juga harus memberikan
informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukna
oleh dewan komisaris.
Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara efektif, perlu
dipenuhi prinsip- prinsip berikut sesuai dengan Pedoman Umum Good
CorporateGovernance Indoneisa :
1) Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan
pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat
bertindak independen.
2) Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman
serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
3) Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar
dapat menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan
kesinambungan usaha perusahaan.
4) Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Mutiara Sakti (2018) direktur memiliki dua fungsi utama,
yaitu (1) berfungsi sebagai pembuat keputusan manajemen (strategi
perusahaan dalam jangka pendek, kebijakan investasi dan keuangan), (2)
berfungsi dalam mengendalikan keputusan (kompensasi manajerial,
pengawasan alokasi modal).
Dewan direksi merupakan anggota dewan yang mempunyai tanggung
jawab terhadap kinerja perusahaan serta bertugas menjalankan
manajemen perusahaan. Jumlah anggota direksi suatu perusahan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, namun tetap
mempertimbangkan efesiensi dan efektifitas dalam pengambilan
keputusan menurut Effendi (2016).

Komite Audit


Komite audit merupakan salah satu bagian dari mekenisme tata
kelola perusahaan dalam melakukan pengendalian internal dan merupakan
salah satu elemen kunci dalam struktur corporate governance yang
membantu mengendalikan dan mengawasi manajemen (Kristanti dan
Syafruddin, 2012). Pada umumnya dewan komisaris membentuk komite-
komite dibawahnya sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan peraturan
perundangan yang berlaku untuk membantu dewan komisaris dalam
melaksanakan tanggungjawab dan wewenangnya secara efektif. Komite
yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut adalah komite audit, komite
kebijakan risiko, komite remunerasi dan nominasi, komite kebijakan
corporate governance (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006).
Namun, menurut peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam No:KEP-
339/BEJ/2001, yang sifatnya wajib dimiliki oleh perusahaan yang terdaftar
di Bursa Efek hanya komite audit.
Tugas komite audit adalah membantu dewan komisaris untuk
mengawasi kinerja perusahaan dengan penelaahan risiko yang dihadapi
perusahaan. Keberadaan komite audit menjadi sangat penting sebagai
salah satu perangkat utama dalam penerapan good corporate governance.

  1. Struktur Komite Audit
    Struktur komite audit di Indonesia diatur dalam Keputusan
    KetuaBapepam No. Kep-41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003
    tentang Peraturan Nomor IX.1.5 : Pembentukan dan Pedoman
    Pelaksanaan Kerja Komite Audit adalah sebagai berikut:
    1) Anggota komite audit diangkat dan diberhentikan oleh dewan
    komisaris dan dilaporkan kepada rapat umum pemegang saham
    (RUPS).
    2) Anggota komite audit yang merupakan komisaris independen
    bertindak sebagai ketua komite audit. Dalamhal ini komisaris
    independen yang menjadi anggota komite audit lebih dari satu
    orang maka salah satunya bertindak sebagai ketua komite audit.
    Dalam rekomendasi yang dibentuk oleh Forum for Corporate
    Governance in Indonesia (FCGI, 2002) adalah penting bahwa
    perusahaan harus memperhatikankarakteristik yang dimiliki oleh setiap
    anggota komite auditnya. Hal inidisebabkan karakteristik komite audit
    akan berpengaruh pada peran komite auditdalam pemberian bantuan
    kepada dewan komisaris dalam melaksanakan tugasnyatentang
    pengendalian internal dan pelaporan keuangan dan manajemen.
  2. Independensi Komite Audit
    Anggota komite audit dipersyaratkan berasal dari pihak ekstern
    perusahaan yang independen, harus terdiri dari individu-indidvidu yang
    independen dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen
    yang mengelola perusahaan, serta memiliki pengalaman untuk
    melasanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari alasan
    utama independensi ini adalah untuk memelihara integritas serta
    pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi
    yang diajukan oleh komite audit, karena individu yang independen
    cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam
    menangani suatu permasalahan (FCGI, 2002).
  3. Pertemuan Komite Audit
    Pertemuan komite audit berfungsi sebagai media komunikasi
    formal anggota komite audit dalam mengawasi proses corporate
    governance, memastikan bahwa manajemen senior membudayakan
    corporate governance, memonitor bahwa perusahaan patuh pada code
    of conduct, mengerti semua pokok persoalan yang mungkin dapat
    mempengaruhi kinerja keuangan atau nonkeuangan perusahaan,
    memonitor bahwa perusahaan patuh pada tiap undang-undang dan
    peraturan yang berlaku, dan mengharuskan auditor internal
    melaporkan secara tertulis hasil pemeriksaan corporate governance
    dan temuan lainnya.
    Variabel ini diukur dengan menggunakan jumlah komite audit.
    Bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi
    audit eksternal dan mengamati system pengendalian internal
    (termasuk auditinternal). Hal ini dapat mengurangi sifat
    penyalahgunaan manajemen dengan cara mengawasi laporan
    keuangan yang disajikan sudah sesuai dengan standar akuntansi
    keuangan yang berterima umum dan melakukan pengawasan pada
    audit eksternal

Dewan Komisaris Independen


Dewan komisaris independen merupakan anggota dewan komisaris
yang memiliki tanggung jawab untuk mendorong diterapkannnya prinsip
tata kelola perusahaan yang baik didalam perusahaan melalui
pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan
dan pemberian nasihat kepada direksi secara efektif. Menurut Ernawati
dan Puspitasari (2010) Komisaris independen adalah anggota dewan
komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan,
kepemilikan saham dan hubungan keluarga dengan anggota dewan
komisaris lainnya, direksi atau pemegang saham pengendali atau
hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia
memberikan aturan bahwa jumlah komisaris independen harus dapat
menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai
dengan peraturan perundangundangan dan salah satu dari komisaris
independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan.
Keberadaan komisaris independen diperlukan dalam perusahaan untuk
menengahi atau mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat benturan
berbagai kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham
publik (pemegang saham minoritas) serta stakeholder lainnya, terutama
pada perusahaan di Indonesia yang menggunakan dana masyarakat di
dalam pembiayaan usahanya (KNKG, 2006).
Sesuai dengan ketentuan di Pasar Modal dalam Surat Direksi PT.
Bursa Efek Jakarta Nomor : KEP-399/BEJ/07-2010 tentang Ketentuan
Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa poin C yang mengatur
hal-hal mengenai komisaris independen, komite audit, dan sekretaris
perusahaan, menjelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan
pengelolaan perisahaan yang baik (goodcorporate governance),
perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya
secara proposional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris
independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota
komisaris. Kriteria komisaris independen yang telah diatur dalam
peraturan BEJ, Kep 316/BEJ/062000 tanggal 30 Juni 2000 adalah :

  1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan
    pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali
    (controllingshareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan.
  2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur
    dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan.
  3. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada
    perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang
    bersangkutan.
  4. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan
    di bidang pasar modal.
  5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham
    minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan
    controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham
    (RUPS).
    Komisaris independen merupakan anggota dari dewan komisaris
    yang tidak terafiliasi dengan anggota dewan komisaris lain, direksi dan
    pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau
    hubungan lain yang dapat mempengaruhi independensinya (Ernawati dan
    Puspitasari, 2010).
    Komisaris independen yakni pihak yang tidak memiliki akses untuk
    bertindak melakukan suatu penyimpangan atau kecurangan,namun
    memiliki hak untuk mendapatkan informasi atas keuangan perusahaan.
    Proporsikomisaris independen yang besar dapat meningkatkan kinerja
    keuangan perusahaan

Corporate Governance


Good corporate governance adalah tata kelola dalam perusahan
yang dijalankan oleh seluruh anggota perusahaan agar perusahan dapat
berjalan dengan baik untuk mencegah masalah yang bisa menyebabkan
terjadinya kesulitan keuangan karna tata kelola perusahaan yang buruk,
maka dibutuhkan mekanisme corporate governance untuk mengatur
perusahaan. Good corporate governance diharapakan dapat
meminimalkan masalah antara principal dan agent agar pemegang saham
yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka. Menurut
FCGI (dalam Darwis, 2009) Penerapan corporate governance memberikan
empat manfaat yaitu : (1) meningkatkan kinerja perusahaan melalui
terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan
efisiensi perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada
stakeholders, (2) mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih
murah yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value, (3)
mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia, dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja
perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders values dan
dividen. Menurut (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006),
prinsip-prinsip umum GCG yang meliputi transparan, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan keadilan sangatlah penting untuk
mencapai keberlanjutan perusahaan yang disertai ketertarikan pada
stakeholder. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1) Transparency (keterbukaan informasi), yaitu perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang
mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan
harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah
yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.
2) Accountability (akuntabilitas), yaitu Perusahaan harus dapat
mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk
itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.
3) Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu perusahaan harus mematuhi
peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan
sebagai good corporatecitizen.
4) Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan
dikelola secara professional secara independen tanpa benturan kepentingan
dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasi yang sehat.
5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu Dalam melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.

Kepemilikan Asing


Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer
dan pemegang saham mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut
agency conflict. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini
menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan yang berguna
untuk melindungi kepentingan pemegang saham (Jesen and Meckling
dalam jurnal Wiranata dan Nugrahanti, 2013). Kepemilikan asing
merupakan proporsi saham biasa perusahaan yang dimiliki oleh
perorangan, badan hukum, pemerintah serta bagian-bagiannya yang
berstatus luar negeri. Atau perorangan, badan hukum, pemerintah yang
bukan berasal Indonesia.
Dengan semakin banyaknya pihak asing yang menanamkan
sahamnya diperusahaan maka akan meningkatkan kinerja dari perusahaan
yang diinvestasikan sahamnya, hal ini terjadi karena pihak asing yang
menanamnkan modalnya memiliki system manajemen, teknologi dan
inovasi, keahlian dan pemasaran yang cukup baikyang bias membawa
pengaruh positif bagi perusahaan.
Sesuai dengan teori keagenan bahwa masalah yang terjadi yang
menyebabkan kinerja perusahaan menjadi turun adalah hubungan yang
tidak baik antara pemegang saham dengan manajer tetapi ketika hubungan
antara pemegang saham dengan manajer bias dikendalikan maka kinerja
perusahaan dapat menjadi lebih baik. Semakin tinggi kepemilikan asing,
maka pihak asing sebagai pemegang saham mayoritas akan menunjuk
orang asing untuk menjabat sebagai dewan komisaris atau dewan direksi,
dengan demikian keselarasan antara tujuan ingin memaksimalkan kinerja
perusahaan akan tercapai karena persamaan prinsip antara pemegang
saham asing dengan manajemen yang juga ditempati pihak asing sebagai
bagian dari manajemen perusahaan.
Kepemilikan asing merupakan presentase kepemilikan saham
perusahaan oleh investor asing (Sissandhy, 2014). Menurut Undang-
undang No. 25 Tahun 2007 pada pasal 1 angka 6 kepemilikan asing adalah
perseorangan warga Negara asing, badan usaha asing, dan pemerintah
asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia.
Perusahaan yang dimiliki oleh asing cenderung lebih ketat dalam
pengawasan operasional perusahaannya. Hal ini dikarenakan investor
asing menuntut kerja keras agar investasi yang mereka lakukan dapat
memberikan mengembalian yang besar pula. Pemilik asing mungkin
memiliki informasi yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan internal
perusahaannya. Hal ini dapat mendorong para manajer untuk dapat lebih
meningkatkan kepentingan para pemegang sahamnya.

Kepemilikan Institusional


Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham yang dimiliki
oleh pemerintah, perusahaan asuransi, investor luar negeri atau bank
kecuali kepemilikan individual investor (Dewi dan Jati, 2014).
Kepemilikan institusional merupakan jumlah saham perusahaan yang
dimiliki oleh institusi atau organisasi. Kepemilikan institusional termasuk
faktor yang mempengaruhi kinerja sebuah perusahaan karna berfungsi
dalam monitoring, fungsi monitoring yang dilakukan institusional
membuat perusahaan lebih efisien dalam melakukan pengawasan oleh
pemilik perusahaan dilakukan dari luar perusahaan sehingga dapat
menghindarkan perusahaan dari kesalahaan pemilihan strategi yang dapat
menyebabkan kerugian perusahaan.
Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan
monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham
yang signifikan oleh institusional ownership telah meningkatkan
kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu yang
sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi
semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga
diskon. Kondisi ini akan memotivasi institusionalownership lebih serius
dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan
memperpanjang jangka waktu investasi (Deviacita, 2012). Jika
kepemilikan institusional dalam perusahaan itu besar, maka keadaan
tersebut akan mendorong pengawasan yang lebih efektif dan akan semakin
besar kepemilikan oleh institusi untuk mengawasi manajemen sehingga
kinerja perusahaan semakin baik dan meningkat.
Kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan
sahamoleh institusi seperti LSM, perusahaan swasta,perusahaan efek,
danapensiun, perusahaan asuransi, bankdan perusahaan-perusahaan
investasi.
Kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan rasio antara
jumlah lembar saham yang dimiliki oleh institusi terhadap jumlah lembar
saham perusahaan yang beredar secara keseluruhan

Kepemilikan Manajerial


Kepemilikan manajerial adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh
manajemen yang mengelola perusahaan. Kepemilikan saham yang dimiliki
manajer dalam perusahaan membuat manajer menjalankan perusahaan
sebagai pemilik perusahaan dan merangkap sebagai pengelola perusahaan.
Sehingga perusahaan yang biasanya hanya diawasi oleh pemilik
perusahaan ikut turun dalam mengelola perusahaan hingga membuat
laporan keuangan sendiri (Mutiara Sakti, 2018) Kepemilikan manajerial
adalah kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan diukur dengan
persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen.
Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan didalam
manajemen perusahaan baik sebagai kreditor maupun sebagai dewan
komisaris disebut sebagai kepemilikan manajerial. Adanya kepemilikan
saham oleh manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap
kebijakankebijakan yang diambil oleh manjaemen perusahaan.
Kepemilikan manajerial juga diartikan sebagai presentase saham yang
dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk
masing-masing periode pengamatan (Deviacita, 2012). Pemilik sebagai
pengelola menjalankan perusahaan tersebut dengan sebaik mungkin agar
dapat meningkatkan keefektifan perusahaan sekaligus mengurangi
kecurangan kerja dari manajemen perusahaan yang dapat menimbulkan
kerugian bagi perusahaan.
Kepemilikan manajerial adalah saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen perusahaan secara pribadi atau saham yang dimiliki oleh anak
cabang perusahaan serta afiliasinya (Susiana dan Herawati, 2007 dalam
Harnanik Prastiti 2018). Pihak manajemen perusahaan dimungkinkan
mempunyai saham atau kepemilikan atas perusahaan yang dikelolanya

Struktur Kepemilikan


Struktur kepemilikan merupakan bentuk komitmen dari para pemegang
saham untuk mendelegasikan pengendalian dengan tingkat tertentu kepada
para manajer. Struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa
variable-variabel yang penting didalam struktur modal tidak hanya ditentukan
oleh jumlah utang dan equity tetapi juga boleh presentase kepemilikan oleh
manajer, institusional maupun asing. Struktur kepemilikan akan memiliki
motivasi yang berbeda dalam memonitor perusahaan serta manajemen dan
dewan direksinya. Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang nantinya dapat
mempengaruhi kinerja perusahaan. Agency problem dapat dikurangi dengan
adanya struktur kepemilikan. Strukur kepemilikan merupakan suatu
mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dan pemegang
saham (Pujiningsih, 2011).
Tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan,
struktur pemilik dan kreditur corporate governance dalam proses insentif
yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha membuat
berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesemua tahapan
tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat dikatakan bahwa peran
pemilik sangat penting dalam menentukan keberlangsungan perusahaan.

Teori Keagenan

Teori agensi merupakan hubungan kontrak antara principal dan agent,

dimana principal adalah pihak yang memperkerjakan agent agar melakukan

tugas untuk kepentingan principal, sedangkan agent adalah pihak yang

menjalankan kepentingan principal (Mutiara Sakti, 2018) . Principal dan

agent bekerja sama dalam pengelolaan perusahaan. Principal atau pemegang

saham perusahaan memberikan instruksi kepada agent untuk mengelola

perusahaan sesuai dengan yang diinginkan untuk keberhasilan perusahaan.

Sedangkan manajemen sebagai agent kadang melakukan tindakan sesuai

keinginannya sendiri tidak sesuai dengan yang diperintahkan oleh principal,

yang lebih dipentingkan agent adalah untuk pencapaian hasil yang lebih baik

dari pada mentaati perintah yang diberikan principal.

Teori keagenan, hubungan agent muncul ketika satu orang atau lebih

memperkerjakan orang lain untuk memberikan suatu jasa dan kemudian

mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.

Baik principal maupun agent merupakan pemaksimuman kesejahteraan diri

sendiri, sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi

kepentingan terbaik principal (Mutiara Sakti, 2018). Inti dari hubungan

keagenan adalah terdapat pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan

perusahaan. Pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk

memperkecil asimetris informasi dan untuk memastikan bahwa pengelolaan

dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan

yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency cost

yaitu biaya yang mencakup pengeluaran untuk pengawasaan oleh pemegang

saham dan biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan

laporan yang transparan Mutiara Sakti (2018).

Dalam sebuah perusahaan, adanya kelebihan arus kas cenderung

diinvestasikan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama

perusahaan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kepentingan

karena pemegang saham ingin investasi dengan return yang tinggi tentunya

dengan risiko yang harus dipikul juga tinggi sementara pihak manajerial

memilih investasi dengan return yang rendah. Daher (2010) menyatakan

bahwa manajer lebih memilih untuk mengumpulkan kas tanpa adanya

peluang investasi daripada membayarkannya kepada para pemegang saham.

Dapat disimpulkan bahwa teori keagenan muncul karena adanya

konflik kepentingan didalam perusahaan antara principal dan agent untuk

menguntungkan diri sendiri, konflik dapat terjadi karna asimetri informasi

yaitu hanya satu pihak saja yang lebih banyak mengetahui tentang informasi

yang ada dalam perusahaan. Untuk mengurangi terjadinya masalah keagenan

dapat diatasi dengan menerapkan good corporate governance sehingga tidak

terjadi masalah yang berkelanjutan

Tingkatan Stres


Tingkatan stress berdasarkan skala pengukuran Nursing Stres Scale
(NSSdikembangkan oleh Toft & Anderson (Darni, 2014)yaitu :

  1. Stres Normal
    Stres normal adalah gejala stres yang tidak pernah dialami atau jarang
    dialami.
  2. Stres Ringan
    Pada tingkat stres ringan adalah stres yan gejala stres yangdi alami
    tetapi hanya kadang-kadang.
  3. Stres sedang
    Stres sedang terjadi dalam waktu yang lama dan Dikatakan stress
    terkadang sering dialami.
  4. Stres berat
    Stres berat adalah stres kronis terkadang dialami hingga sangat sering
    dialami

Sumber Stres


Potter & Perry (2005) mengklasifikasikan sumber stres secara umum
yaitu stresor internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri
seseorang (misalnya demam, kondisi kehamilan atau menopause, atau suatu
keadaan emosi seperti rasa bersalah) dan stresor eksternal yang berasal dari
luar diri seseorang (misalnya prubahan suhu lingkungan, pekerjaan, perubahan
dalam peran keluarga atau sosial, serta tekanan dari pasangan).
Suatu keadaan dapat menimbulkan stres pada seseorang tapi belum tentu
akan menimbulkan hal yang sama terhadap orang lain. Tarwaka (2010).
Perbedaan reaksi antara individu tersebut sering disebabkan karena faktor
psikologis dan sosial yang dapat merubah dampak stresor bagi individu, faktor
faktor tersebut antara lain:

  1. Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, temperamental,genetik,
    intelegensia, pendidikan, kebudayaan, status pernikahan danlain-lain.
  2. Ciri kepribadian seperti introvert atau ekstrovert, tingkat emosional,
    kepasrahan, kepercayaan diri, kecemasan danlain-lain.
  3. Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan
    lingkungansekitarnya.
  4. Strategi yang digunakan untuk menghadapi setiap stres yangmuncul.

Pengertian Stres


Stres adalah salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang
dalam kehidupannya. Para ahli menyatakan bahwa stres dapat timbul sebagai
akibat tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara
seseorang dengan lingkungan. Dengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan
tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan
mengalami stres (Siagian, 2017).
Waluyo (2013), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat
merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan
beban yang dirasakannya. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif
atau negatif. Sesuatu didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang menekan
(stresful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu
terhadapnya.
Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan
oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial, yang berpotensi
merusak dan tidak terkontrol (Waluyo, 2013).
Menurut Cooper (1994) stres didefinisikan sebagai tanggapan atau proses
internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis
sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek. Stres juga dapat
diartikan sebagai ketidak mampuan mengatasi ancaman yangdihadapi oleh
mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang suatu saat dapat
mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut.
Sedangkan menurut Widyastuti (2004) stres merupakan persepsi manusia
terhadap situasi atau kondisi lingkungan. Dari beberapa pengertian stres
tersebut dapat disimpulkan bahwa stres adalah keadaan yang bersifat internal
atau eksternal dan persepsi terhadap situasi lingkungan berupa
ketidakmampuan mengatasi ancaman baik mental, fisik, emosional dan spiritual
yang dapat mempengaruhi kesehatanindividu

Manfaat Penilaian Kinerja


Menurut Mangkunegara (2015) penilaian prestasi kerja (kinerja) memiliki
kegunaan bagi tenaga kerja. Kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi,
    pemberhentian dan besarnya balas jasa
  1. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan
    pekerjaannya
  2. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam
    perusahaan
  3. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektivitas jadwal
    kerja, metode kerja, kondisi kerja, dan gaya pengawasan
  4. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan latihan bagi karyawan yang
    berada di dalam organisasi
  5. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan
  6. Sebagai alat untuk melihat kelebihan dan kekurangan karyawan perusahaan

Faktor Yang Memengaruhi Kinerja karyawan


Setiap karyawan memiliki kinerja yang berbeda. Pabundu Tika (2011) menjelaskan
bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

  1. Faktor intern: terdiri dari kecerdasan, keterampilan, kestabilan emosi, motivasi,
    persepsi peran, kondisi keluarga, kondisi fisik, dan karakteristik kelompok
    kerja.
  2. Faktor ekstern: terdiri dari peraturan ketenagakerjaan, keinginan, pelanggan,
    pesaing, nilai-nilai sosial, serikat buruh, kondisi ekonomi, perubahan lokasi
    kerja dan kondisi pasar (Tika, 2011)

Penilaian Kinerja


Menurut Bambang (2014) Penilaian prestasi kerja karyawan merupakan system
yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah karyawan telah memahami dan
melaksanakan pekerjaannya masing-masing secara keseluruhan (kemampuan kerja,
disiplin kerja, hubungan kerja, kepemimpinan), dan hal-hal khusus sesuai dengan
bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Menurut Desler (2011) penilaian kinerja
berarti mengevaluasi kinerja karyawan saat ini dan atau di masa lalu relatif terhadap
standar prestasinya. Penilaian kinerja dapat menjadi sumber informasi utama dan
umpan balik untuk karyawan yang merupakan kunci pengembangan bagi mereka di
masa yang datang.
Selain itu Molapo dalam Gabriela Rusu (2016) menekankan bahwa lingkungan
internal organisasi, seperti kurangnya peralatan, kurangnya bahan dan lingkungan
tempat kerja itu sendiri, dapat menentukan tingkat kinerja yang rendah, dan metode
yang diterapkan untuk penilaian kinerja karyawan harus mempertimbangkan seperti
keadaan.
Menurut penelitian Herreid dalam Gabriela usu (2016), karakteristik utama dari
penilaian kinerja yang efektif adalah sebagai berikut.

  1. Fleksibilitas dalam hubungan dengan perubahan yang terjadi pada konteks
    organisasi tertentu.
  2. Diselaraskan dengan visi dan tujuan utama perusahaan.
    Oleh karena itu, untuk mengembangkan penilaian kinerja karyawan yang
    efektif, manajer harus mengidentifikasi dan mempertimbangkan faktor kontekstual
    organisasi yang paling penting karena faktor-faktor in memiliki dampak yang luar biasa
    pada tingkat kinerja karyawan mereka.

Indikator Kinerja


Menurut Mangkunegara (2011:75) menyebutkan indikator dari kinerja
karyawan adalah sebagai berikut:

  1. Kualitas Kerja
    Seberapa baik seorang karyawan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.
  2. Kuantitas Kerja
    Seberapa lama seseorang pegawai bekerja dalam satu harinya. Kuantitas kerja
    ini dapat dilihat dari kecepatan kerja setiap pegawai itu masing-masing.
  3. Pelaksanaan Tugas
    Seberapa jauh karyawan mampu melakukan pekerjaannya dengan akurat atau
    tidak ada kesalahan.
  4. Tanggung Jawab
    Kesadaran akan kewajiban melakukan pekerjaan dengan akurat atau tidak ada
    kesalahan

Pengertian Kinerja


Dalam Mangkunegara (2016:67) istilah kinerja berasal dari kata job
performance atau actual permormanse (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang
dicapai seseorang). Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja menurut Hasibuan (2014) adalah suatu hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu. Berdasarkan
paparan diatas kinerja adalah suatu hasil yang dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu
menurut standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Sinambela (2012) kinerja adalah seperangkat hasil yang dicapai dan
merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta.
Kinerja pegawai didefinisikan sebagai kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu
keahlian tertentu.
Menurut Sutrisno (2016:172) “Kinerja adalah hasil kerja karyawan dilihat dari
aspek kualitas, kuantitas, waktu kerja, dan kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh organisasi.

Manfaat Lingkungan Kerja


Menurut (Rivai & Sagala, 2011) manfaat lingkungan kerja yang aman dan sehat
adalah:
a. Lingkungan kerja yang aman dan nyaman dapat meningkatkan produktivitas
kerja karyawan.
b. Meningkatnya efisiensi dan kualitas pekerja yang lebih berkomitmen.
c. Menurunnya biaya-biaya kesehatan dan asuransi.
d. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung yang lebih rendah
karena menurunnya pengajuan klaim.
e. Flesibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari meningkatnya
partisipasi dan rasa kepemilikan.
f. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena naiknya citra perusahaan.

Indikator Lingkungan Kerja


Menurut Nitisemito (2010:159) Terdapat beberapa indikator lingkungan kerja,
yaitu:

  1. Suasana kerja
    Indikator ini adalah kondisi yang ada disekitar karyawan yang sedang
    melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan itu
    sendiri. Suasana kerja ini akan meliputi tempat kerja, fasilitas dan alat bantu
    pekerjaan, keberhasilan, pencahayaan, ketenangan termasuk juga hubungan
    kerja antara orang-orang yang ada ditempat tersebut.
  2. Hubungan dengan rekan kerja
    Indikator hubungan dengan rekan kerja yaitu hubungan dengan rekan kerja
    harmonis dan tanpa ada saling intrik diantara sesama rekan sekerja. Salah satu
    faktor yang dapat mempengaruhi karyawan tetap tinggal dalam satu organisasi
    adalah adanya hubungan yang harmonis diantara rekan kerja. Hubungan yang
    harmonis dan kekeluargaan merupakan salah satu faktor yang dapat
    mempengaruhi kinerja tenaga kerja.
  3. Tersedianya fasilitas kerja
    Hal ini dimaksudkan bahwa peralatan yang digunakan untuk mendukung
    kelancaran kerja lengkap atau mutakhir. Tersedianya fasilitas kerja yang
    lengkap walaupun tidak baru merupakan salah satu penunjang proses dalam
    bekerja

Jenis-jenis Lingkungan Kerja

  1. Lingkungan Kerja Fisik
    Menurut Sedarmayanti (2011: 144), lingkungan kerja fisik adalah semua
    keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat
    mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak tidak langsung.
    Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :
    Lingkungan yang secara langsung berhubungan dengan karyawan (seperti:
    pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya).
    Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan
    kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban,
    sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan
    lain-lain.
  2. Lingkungan Kerja Non-fisik
    Menurut Sedarmayanti (2009 : 21) menyatakan bahwa lingkungan kerja non
    fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik
    dengan atasan maupun dengan sesama rekan kerja ataupun hubungan dengan bawahan.
    Lingkungan kerja non fisik ini merupakan lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
    Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama
    antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di
    perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluaragaan,
    komunikasi yang baik dan pengendalian diri.

Pengertian Lingkungan Kerja


Menurut (Taiwo 2010, p.301) Lingkungan kerja adalah segala sesuatu,
kejadian, orang-orang dan lainnya yang mempengaruhi cara orang-orang bekerja.
Menurut Sunyoto (2013) lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada disekitar
para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas
yang dibebankan misalnya kebersihan, suhu udara, keamanan bekerja, penerangan dan
lain-lain.
Menurut Sukanto dan Indriyo dalam Khoiriyah (2009) lingkungan kerja adalah
segala sesuatu yang ada disekitar pekerja yang dapat mempengaruhi dalam bekerja
meliputi pengaturan penerangan, pengontrolan suara gaduh, pengaturan kebersihan
tempat kerja dan pengaturan keamanan tempat kerja.
Menurut Sedarmayanti (2013:26) menyatakan bahwa secara garis besar,
lingkungan kerja terbagi menjadi 2 jenis yaitu:

  1. Lingkungan kerja fisik, dan
  2. Lingkungan kerja non fisik.
    Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat
    disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung
    maupun tidak langsung. Sedangkan lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan
    yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan
    maupun hubungan sesama rekan kerja ataupun hubungan dengan bawahan

Cara Mengatasi Stres Kerja


Menurut Mangkunegara (2017:158) ada tiga pola dalam mengatasi stres kerja yaitu:

  1. Pola Sehat
    Yaitu pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan kemampuan mengelola
    perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan,
    akan tetapi menjadi lebih schat dan berkembang. Mereka yang tergolong
    kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara
    yang baik dan teratur sehingga ia tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan,
    meskipun sebenarnya tantangan dan tekanan cukup banyak.
  2. Pola Harmonis
    Adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola waktu dan
    kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dalam
    pola in, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan
    dengan cara mengatur waktu secara teratur. a pun selalu menghadapi tugas
    secara tepat, dan kalau perl ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada
    orang lain dengan memberikan kepercayaan penuh. Dengan demikian, akan
    terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan
    reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan antara dirinya
    dan lingkungan.
  3. Pola Patologis
    Yaitu pola menghadapi stres dengan berdampak pada berbagai gangguan fisik
    maupun sosial-psikologis. Dalam pol aini, individu akan menghadapi berbagai
    tantangan dengan cara-cara tidak memiliki kemampuan dan keteraturan
    mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan berbagai masalah-
    masalah yang buruk

Indikator Stres Kerja


Indikator stres kerja menurut Hasibuan (2014: 204) adalah sebagai berikut:

  1. Beban kerja, diukur dari persepsi responden mengenai beban kerja yang
    dirasakan berlebihan.
  2. Sikap pemimpin, diukur dari persepsi responden mengenai sikap perimpin yang
    kurang adil dalam menberikan tugas.
  3. Waktu kerja, diukur dari persepsi responden mengenai waktu kerja yang
    dirasakan berlebihan.
  4. Konflik, diukur dari persepsi responden mengenai konflik antara karyawan
    dengan pimpinan.
  5. Komunikasi, diukur dari persepsi responden mengenai komunikasi yang
    kurang baik antar karyawan.
  6. Otoritas kerja, diukur dari persepsi responden mengenai otoritas kerja yang
    berhubugan dengan tanggung jawab.
    Stres kerja dikatagorikan dalam beberapa aspek-aspek stress kerja oleh Beehr dan
    Newman (1978) dalam Mauladi dan Dihan (2015), terdiri dari:
    a. Aspek fisiologis
    Indikator fisiologis yaitu indikator stres kerja yang ditunjukan pada simptoms
    fisiologis. Penelitian dan fakta oleh ahli-ahli kesehatan dan kedokteran
    menunjukan bahwa stress kerja dapat mengubah metabolism tubuh, menaikan
    detak jantung, mengubah cara bernapas, meyebabkan sakit kepala dan serangan
    jantung. Beberapa yang teridentifikasi sebagai symptoms Fisiologis adalah:
  7. Meningkatnya tekanan darah, detak jantung, serta risiko potensial
    terkena gangguan kardiovaskuler
  8. Cepat merasakan lelah fisik
  9. Merasakan pusing kepala atau sakit kepala
  10. Merasakan otot yang tegang
  11. Mengalami gangguan pernapasan, termasuk sering marah
  12. Susah untuk tidur dan terjadi gangguan disaat akan tidur
  13. badan dan telapak tangan berkeringat dingin
    b. Aspek psikologis, yaitu stress kerja akibat gangguan psikologis yaitu hubungan
    yang erat dengan kondisi kerja. Simptoms yang terjadi pada aspek psikologis
    akibat dari stress adalah :
  14. Kecemasan, ketegangan
  15. Mudah marah, sensitive dan jengkel
  16. Kebingungan, gelisah
  17. Depresi, mengalami ketertekanan perasaan
  18. Kebosanan
  19. Tidak puas terhadap pekerjaan
  20. Menurunya fungsi intelektual
  21. Kehilangan kosentrasi
  22. Hilangnya kreativitas
  23. Tidak begairah untuk bekerja
    c. Aspek behavioral atau tingkah laku. Yaitu stres kerja yang dialami karyawan
    yang ditunjukkan dengan tingkah lakunya. Adapun ciri-ciri stres akibat tingkah
    laku adalah:
  24. Menghindari absensi
  25. Menurunnya produktivitas dan performasi
  26. Sering makan yang terlalu banyak atau sebaliknya
  27. Tindakan yang berlebihan
  28. Menurunnya hubungan karyawan dengan rekan kerjanya serta keluarga
  29. Kurang bergairah untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan orang
    lain.
    Selain itu stres kerja yang dirasakan karyawan dalam pekerjaan pada akhirnya
    memunculkan gejala-gejala, yaitu gejala dari stres kerja itu sendiri karena secara
    umum, stres kerja lebih banyak merugikan karyawan maupun perusahaan (Waluyo,

Penyebab Stres Kerja


Menurut Anatan et al., (2007) ada beberapa faktor penyebab stress yaitu
meliputi:

  1. Extra organizational stresor, merupakan penyebab stres yang berasal dari luar
    organisasi (eksternal) meliputi perubahan sosial dan teknologi yang
    mengakibatkan adanya perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan ekonomi
    dan finansial yang mempengaruhi pola kerja seseorang, serta kondisi
    masyarakat relokasi dan kondisi keluarga.
  2. Organizational stresor, merupakan penyebab stres yang berasal dari dalam
    organisasi (internal) yang meliputi berbagai kondisi kebijakan dan strategi
    administrasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasi, dan kondisi
    lingkungan kerja.
  3. Group stresor, merupakan penyebab stres kelompok yang berasal dari dalam
    organisasi yang timbul akibat kurangnya kesatuan dalam melaksanakan tugas
    dan kerja terutama pada level bawahan, kurangnya dukungan dari atasan serta
    munculnya konflik antar personal, dan antar kelompok.
  4. Individual stresor, merupakan penyebab stres yang berasal dari dalam diri
    individu yang muncul akibat konflik, beban kerja yang terlalu berat, dan
    kurangnya pengawasan dari pihak perusahan.
    Selain itu, Ada dua kategori penyebab stres, menurut Handoko (1987) yaitu on
    the job dan off the job. On the job merupakan penyebab stress kerja yang terjadi
    didalam pekerjaan atau perusahaan. Kondisi kerja yang menyebabkan stres antara lain:
    beban kerja, tekanan, kualitas manajemen yang jelek, iklim politis yang tidak aman,
    umpan balik tentang pelakasanaan kerja yang tidak memadai, wewenang yang tidak
    mencukupi untuk melaksanakan tanggungjawab dan berbagai bentuk perubahan.
    Sedangkan off the job merupakan penyebab stres yang terjadi diluar pekerjaan atau
    perusahaan yaitu antara lain, kekuatiran finansial, masalah-masalah yang bersangkutan
    dengan anak, masalah fisik, masalah perkawinan, perubahan-perubahan yang terjadi di
    tempat tinggal, dan masalah pribadi lainnya misalkan kematian

Stres Kerja


Stres kerja adalah kondisi ketegangan yang memengaruhi emosi, jalan pikiran,
dan kondisi fisik seseorang. (Robbins (dalam Safitri & Astutik, 2019 : 15).
Ivanko dalam Hamali (2018:241) “Stres kerja merupakan kondisi-kondisi
internal dan eksternal yang menciptakan situasi-situasi yang penuh tekanan, dan gejala-
gejalanya dialami oleh setiap orang yang tertekan.”
Mangkunegara (2017:157) “Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami
karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres ini tampak dari Simptom, antara lain
emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang
berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan
mengalami gangguan pencernaan”.
Menurut Kreitner Dan Kinicki (2005) Stres Kerja adalah suatu respon Adaptif
yang dihubungkan oleh karakteritik individu dan atau proses psikologis individu, yang
merupakan konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi, atau kejadian yang
menempatkan tuntutan psikoligis dan atau fisik pada seseorang.
Menurut Fahmi (2016:214) “Stres adalah suatu keadaan yang menekan diri dan
jiwa sesorang diluar batas kemampuannya, sehingga jika terus dibiarkan tanpa ada
solusi maka ini akan berdampak pada kesehatannya. Stres tidak timbul begitu saja
namun sebab-sebab stres timbul umumnya diikuti oleh faktor peristiwa yang
mempengaruhi kejiwaan seseorang, dan peristiwa itu terjadi diluar dari kemampuannya
sehingga kondisi tersebut telah menekan jiwanya”

Standar Beban Kerja Perawat


Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan
oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan
(Marquis dan Huston, 2010). Pendekatan Penghitungan Beban Kerja
Berdasarkan Formula Ilyas (2008):
a. Kegiatan langsung : semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh
seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien,
anamnesa pasien, mengukur tanda vital, menolong
merawat luka, mengganti balutan, mengangkat jahitan, kompres,
memberi suntikan/obat/imunisasi, penyuluhan kesehatan.
b. Kegiatan tidak langsung : setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat
yang berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung
dengan pasien, seperti : menulis rekam medik, mencari kartu rekam
medis pasien, meng up-date data rekam medis, dokumentasi asuhan
keperawatan.
c. Kegiatan tambahan : kegiatan pribadi yaitu semua kegiatan yang
berkaitan dengan kepentingan perawat yang diamati seperti makan,
minum, pergi ke toilet : maupun bagian atau organisasi rumah sakit
seperti menginput harga obat, ngamprah obat.http://repository.unimus.ac.id

Prosedur Penghitungan Beban Kerja


Asri (2006), menyebutkan bahwa secara terperinci prosedur
perhitungan beban kerja tenaga dokter dan perawat dapat dibagi seperti
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mempersiapkan peralatan yang dipakai dalam perhitungan beban
kerja. Alat utama yang dipakai adalah :
1) Stop watch yaitu alat mengukur waktu
2) Alat tulis yang digunakan untuk membuat catatan yang akan
berguna dalam pengukuran
b. Menetapkan metode kerja yang akan digunakan dalam perhitungan
beban kerja terutama menetapkan metode standar seperti menyiapkan
susunan tempat kerja yang akan diteliti, peralatan dan lain-lain.
c. Memilih pekerja yang tepat, berpengalaman dan terlatih dalam
bidangnya atau disebut sebagai pekerja normal.
d. Menyiapkan perlengkapan peralatan sehingga pengukuran tidak akan
berhenti di tengah jalan
e. Memperhatikan dan mencatat actual time (waktu nyata) setiap
pekerjaan.
f. Menghitung waktu normal.
g. Menetapkan waktu cadangan (allowance).
h. Menetapkan waktu standar

Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja


Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada sebuah unit
pasien tertentu, manajer harus mengetahui beberapa faktor yang
mempengaruhi beban kerja diantaranya (Caplan & Sadock, 2006):
a. Berapa banyak pasien yang dimasukkan ke unit perhari, bulan atau
tahun.
b. Kondisi pasien di unit tersebut.
c. Rata-rata pasien menginap.
d. Tindakan perawatan langsung dan tidak langsung yang akan
dibutuhkan oleh masing-masing pasien.
e. Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus
dilakukan.
f. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan masing-masing
tindakan perawatan langsung dan tak langsung

Beban kerja


Moekijat (2009) mendefiniskan beban kerja adalah volume dari
hasil kerja atau catatan tentang hasil pekerjaan yang dapat
menunjukan volume yang dihasilkan oleh sejumlah pegawai dalam
suatu bagian tertentu. Jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh
sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu atau beban kerja
dapat dilihat pada sudut pandang obyektif dan subyektif. Secara
obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas
yang dilakukan. Sedangkan beban kerja secara subyektif adalah
ukuran yang dipakai seseorang terhadap pernyataan tentang perasaan
kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan pekerjaan dan kepuasan
kerja. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang
dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit
pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2010).
Caplan & Sadock (2006) menjelaskan beban kerja sebagai
sumber ketidakpuasan disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara
kualitatif dan kuantitatif. Kelebihan beban kerja secara kuantitatif
meliputi:
a. Harus melakukan observasi penderita secara ketat selama jam
kerja.
b. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan
keselamatan penderita.
c. Beragam jenis pekerjaan yang dilakukan demi kesehatan dan
keselamatan penderita.
d. Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama 24
jam.
e. Kurangnya tenaga perawat dibanding jumlah penderita.
Beban kerja secara kualitatif mencakup:
a. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu
mengimbangi sulitnya pekerjaan.
b. Tuntutan keluarga untuk kesehatan dan keselamatan penderita.
c. Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.
d. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.
e. Tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan
keperawatan klien di ruangan.
f. Menghadapi pasien yang karakteristik tidak berdaya, koma, kondisi
terminal.
g. Setiap saat melaksanakan tugas delegasi dari dokter

Faktor-faktor persepsi


Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
persepsi, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi yaitu
(Walgito< 2007):
1) Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera
atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang
mempersepsi tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang
bersangkutan yang langsung mengenai saraf yang penerima yang
bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari
luar individu.
2) Alat indera, syaraf, dan pusat susunan saraf
Reseptor atau alat indera merupakan alat untuk menerima
stimulus. Disamping itu juga harus ada saraf sensoris sebagai alat
untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan
saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.
3) Perhatian
Usaha untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan
adanya perhatian yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu
persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan
pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang
ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.
Menurut Irwanto faktor persepsi meliputi (Irwanto, dkk, 2008):
1) Perhatian yang selektif
Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak
sekali rangsang, namun demikian tidak semua rangsang tersebut
akan ditanggapi. Oleh karena itu individu akan memusatkan
perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja.
2) Ciri-ciri rangsang
Rangsang yang bergerak diantara rangsang diam akan lebih
menarik perhatian, demikian juga rangsang yang lebih besar, yang
lebih kontras dan sebagainya.
3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu
Seseorang memiliki keinginan dan cita rasa yang berbeda-beda
sesuai dengan latar belakangnya.
4) Pengalaman terdahulu
Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi
bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya

Persepsi


Membahas istilah persepsi akan dijumpai banyak batasan atau
definisi tentang persepsi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain
oleh Rahmat (2011) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman
tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi
setiap individu dapat sangat berbeda walaupun yang diamati benar-
benar sama.
Irwanto (2008) persepsi adalah penafsiran suatu obyek, peristiwa
atau informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang
melakukan penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga
bahwa persepsi adalah hasil pikiran seseorang dari situasi tertentu.
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat indera. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja
melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya
merupakan proses persepsi dan proses penginderaan merupakan proses
pendahulu dari proses persepsi (Walgito, 2007).
Stimulus yang diindera kemudian oleh individu diorganisasikan
dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari mengerti tentang apa
yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi. Persepsi merupakan
proses yang integrated dalam diri individu terhadap stimulus yang
diterimanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi
merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus
yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan
merupakan respons yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2007)
Walgito juga menyebutkan bahwa persepsi stimulus dapat datang
dari luar, tetapi juga dapat datang dari dalam individu sendiri. Namun
demikian sebagian besar stimulus datang dari luar individu yang
bersangkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui bermacam-macam alat
indera tetapi sebagian besar persepsi melalui indera penglihatan.

Tingkat dan bentuk stres


Berdasarkan gejalanya stres dibagi menjadi tiga tingkat yaitu:
a. Stres ringan
Merupakan stres yang dihadapi seseorang secara teratur, seperti:
terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan,
biasanya kejadian ini berlangsung hanya beberapa menit atau jam.
Stressor yang ringan berguna karena dapat meningkatkan seseorang
untuk berfikir dan berusaha lebih tangguh menghadapi tantangan
hidup. Stressor ringan ini tidak dapat timbul gejala.
Ciri-cirinya yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam,
cadangan energi menurun, kemampuan menyelesaikan pekerjaan
cepat, sering merasa letih tanpa sebab, dan timbul gangguan sistem
pencernaan, otot, perasaan tidak santai.
b. Stres sedang
Stres sedang ini dapat berlangsung lebih lama dari beberapa jam
atau hari. Biasanya disebabkan karena situasi perselisihan yang tidak
selesai, anak sakit, atau ketidak hadiran yang lama dari anggota
keluarga.
Ciri-cirinya sakit perut, mulas, otot-otot terasa tegang, perasaan
tegang, gangguan tidur, badan terasa ringan.
c. Stres berat
Stres berat dapat berlangsung selama beberapa minggu sampai
beberapan bulan. Biasanya disebabkan oleh perselisihan perkawinan
yang berlangsung lama, kesulitan finalcial yang berlangsung lama,
berpisah dengan anggota keluarga, penyakit kronis, perubahan fisik,
psikologis, sosial pada usia lanjut.
Ciri-cirinya yaitu: sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial,
sulit tidur, negativistik, penurunan konsentrasi, takut yang tidak jelas
penyebabnya, keletihan yang semakin meningkat, tidak mampu
melakukan pekerjaan yang sederhana, gangguan pada sistem
meningkat, perasaan takut yang semakin meningkat (Priyoto, 2014).http://repository.unimus.ac.id
14

  1. Indikator Stres Kerja
    Cooper dan Straw (dalam Handoko, 2008) mengasumsikan gejala
    stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
    a. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang
    air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal,
    punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang,
    keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau
    serangan jantung, kehilangan energi..
    b. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif,
    gelisah dan cemas, suasana hatimu dah berubah-ubah, sedih, mudah
    menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah
    bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental.
    c. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat
    menurun,sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran
    hanya dipenuhi satu pikiran saja.
    d. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan
    pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain,
    senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-
    kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang
    lain.

Faktor stres kerja (stressor)


Faktor stres kerja (stressor), yang digolongkan sebagai berikut:
a. Stres kerja lingkungan
Adanya ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain dari
struktur organisasi, ketidak pastian itu juga memempengaruhi tingkat
stres dikalangan para karyawan dalam organisasi tersebut. Dalam
bekerja, karyawan tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan kerja. Salah
satu faktor munculnya burnout pada karyawan adalah kondisi
lingkungan kerja yang kurang baik. Ketidaksesuaian antar apa yang
diharapkan karyawan dengan apa yang diberikan perusahaan terhadap
karyawan, seperti kurangnya dukungan dari atasan dan adanya
persaingan yang kurang sehat antara sesama rekan kerja merupakan
suatu kondisi lingkungan kerja psikologis yang dapat mempengaruhi
munculnya burnout dalam diri karyawan.
Gibson & Ivancevich (2009) mengemukakan bahwa stres kerja
dikonseptualisasikan dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai
stimulus, stres sebagai respon dan stres kerja sebagai stimulus-respon.
Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan
pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu
kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan
terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai kosekuensi
dari interaksi antara stimulus dengan respon individu. Pendekatan
stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai kosekuensi dari interaksi
antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang
tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan
hasil interaksi unik antar kondisi stimulus lingkungan dan
kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.
b. Stres kerja organisasi
Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan
tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang
berlebihan, seorang pemimpin yang menuntut dan tidak peka, serta
rekan kerja yang tidak menyenangkan. Penyebab stres kerja juga bisa
berasal dari kelompok. Keefektifan setiap organisasi dipengaruhi oleh
sifat hubungan diatara kelompok-keompok karakteristik kelompok
dapat menjadi stresor yang kuat bagi beberapa individu. para ahli
prilaku organisasi telah menganggap bahwa memperbaiki hubungan
yang baik diantara anggota sutau kelompok kerja merupakan faktor
utama dari membina kehidupan individu yang baik. Dalam bahasa lain
membina hubungan yang baik diantara kelompok kerja menyebabkan
terhindarnya stres akibat kelompok kerja.
Sebaliknya hubungan yang jelek antar anggota suatu kelompok
kerja menjadi penyebab stres kerja. Bisa dibayangkan dalam suatu
kantor atau lembaga dimana para pekerja berperilaku egoisme maka
kondisi demikian dapat menyebabkan stres kerja individu. Studi
dibidang ini telah mencapai kesimpulan yang sama, yaitu ketidak
percayaan dari mitra kerja secara positif berkaitan ambiguitas peran
yang tinggi, yang membawa pada kesenjangan komunikasi diantara
orang-orang dan kepuasan kerja yang rendah (Robbins, 2007).
c. Stres kerja individual
Mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan.
Terutama sekali faktor-faktor ini adalah isu keluarga, masalah ekonomi
pribadi, dan karakteristik kepribadian yang inheren. Selye (2009),
mengkonseptualisasikan tanggapan psikofisiologis terhadap stres. Ia
menganggap stres suatu tanggapan nonspesifik terhadap setiap tuntutan
yang dibuat pada satu organisme yang dinamakan reaksi pertahanan
tiga fase yang seseorang lakukan ketika stres sebagai “sindrom
penyesuaian umum (the general adaptation syndrome/GAS)”.
Selye (2009), menyebut bahwa reaksi pertahanan umum karena
penyebab stres berdampak pada sebagian badan, tanggapan menunjuk
pada suatu rangsangan dari pertahanan yang diciptakan untuk
membantu badan menyesuaikan pada untuk menghadapi penyebab
stres dan sindrom menunjukan bahwa bagain reaksi yang sifatnya
individual terjadi lebih atau kurang secara bersama. Tiga fase tersebut
antara lain sinyal (alarm), perlawanan (resistance), dan keletihan
(exhaustion).
Carry Cooper (dikutip dari Jacinta F, 2008) menyatakan bahwa sumber
stres kerja ada empat yaitu sebagai berikut:
a. Kondisi pekerjaan
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan
mudah jatuh sakit, jika ruangan tidak nyaman, panas, sirkulasi udara
kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang
bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja
karyawan.
1) Overload
Overload dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan
yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya
karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam tegangan tinggi.http://repository.unimus.ac.id
12
Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks
dan sulit sehingga menyita kemampuan karyawan.
2) Deprivational
Kondisi pekerjaan tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik
bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan,
ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur
sosial (kurangnya komunikasi sosial).
3) Pekerjaan beresiko tinggi.
Pekerjaan yang beresiko tinggi atau berbahaya bagi keselamatan,
seperti pekerjaan dipertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan
sebagainya.
b. Konflik Peran
Stres karena ketidak jelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu yang
diharapkan oleh manajemen. Akibatnya sering muncul ketidakpuasan
kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga ahirnya timbul
keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Para wanita yang bekerja
mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya
wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir
sekaligus ibu rumah tangga.
c. Pengembangan Karir
Setiap orang pasti punya harapan ketika mulai bekerja disuatu
perusahaan atau organisasi. Namun cita-cita dan perkembangan karir
banyak sekali yang tidak terlaksana.
d. Struktur Organisasi
Gambaran perusahaan yang diwarnai dengan struktur organisasi yang
tidak jelas, kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran, wewenang
dan tanggungjawab, aturan main yang terlalu kaku atau tidak jelas,
iklim politik perusahaan yang tidak jelas serta minimnya keterlibatan
atasan membuat karyawan menjadi stres.http://repository.unimus.ac.id

PengertianStres kerja

adalah konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan
yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik yang berlebihan pada
seseorang. Cartwright dan Cooper (dalam Mangkunegara, 2008)
mengemukakan stres kerja sebagai suatu ketegangan atau tekanan yang
dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada
diri kita.
Robbins (2007) dalam mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan
dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan. Sedangkan menurut
Effendi (2008) dalam mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketegangan
atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi
tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan
yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi
fisik seseorang. Adapun menurut Siagian (2008) menyatakan bahwa stres
merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan
pikiran, dan kondisi fisik seseorang.
Spielberger (dalam Handoko, 2008) menyebutkan bahwa stres adalah
tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-
obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau
gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Perawat adalah seseorang (seorang profesional) yang mempunyai
kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan
pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan
keperawatan (Kusnanto, 2007).
Suwignyo (2007) mengartikan perawat adalah suatu profesi yang
mempunyai fungsi autonomi yang didefinisikan sebagai fungsi profesional
keperawatan. Fungsi profesional yaitu membantu mengenali dan
menemukan kebutuhan pasien yang bersifat segera. Itu merupakan
tanggung jawab perawat untuk mengetahui kebutuhan pasien dan
membantu memenuhinya. Dalam teorinya tentang disiplin proses
keperawatan mengandung elemen dasar, yaitu perilaku pasien, reaksi
perawat dan tindakan perawatan yang dirancang untuk kebaikan pasien.
Berdasarkan pengetian stress kerja dan perawat di atas maka stres
kerja perawat dapat disimpulkan sebagai kondisi yang dirasa tidak
menyenangkan dari interaksi perawat dengan pekerjaannya yang dapat
menyebabkan ketegangan dilingkungan kerja dengan meliputi aspek
fisiologis, psikologis, dan perilaku di tempat kerja

Kinerja Karyawan


Pada dasarnya, setiap organisasi memiliki visi dan misi yang ingin dicapai.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja karyawan, salah satunya
adalah tingkat beban kerja, keamanan kerja, dan shift kerja yang diberlakukan oleh
perusahaan untuk mengendalikan perilaku karyawan agar tetap berorientasi kepada
tujuan perusahaan. Kinerja memiliki makna yang luas tidak hanya merupakan hasil
dari kerja karyawan saja, tetapi juga proses kerja karyawan yang berlangsung di
tempat kerja. Setiap perusahaan ingin mendapatkan kinerja karyawan yang baik
dalam setiap bidang masing-masing. Kinerja karyawan yang diharapkan dapat
memberikan hasil pekerjaan yang baik serta jumlah pekerjaan yang sesuai dengan
standar yang ditentukan oleh perusahaan.
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusia yang ada di dalamnya. Seiring dengan persaingan bisnis yang semakin
kompetitif sebagai akibat dari perubahan era globalisasi ini maka setiap organisasi
membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan kinerja yang
tinggi. Menurut Sumardjo & Priansa (2018) kinerja adalah perilaku yang nyata
yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai
sesuai dengan perannya dalam organisasi. Kinerja pegawai adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Sugianti,
2017). Menurut Mangkunegara (2016) kinerja karyawan merupakan hasil kerja
seseorang secara kualitas maupun secara kuantitas yang telah dicapai oleh
karyawan dalam menjalankan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan
perusahaan. Ketika kinerja karyawan di organisasi tinggi, maka semakin efektif
pula tujuan organisasi dapat tercapai.

Shift Kerja (Work Shift)


Adanya globalisasi, meningkatnya persaingan dan perkembangan teknologi
baru berdampak waktu kerja orang-orang di banyak organisasi telah mengalami
perubahan. Dalam suatu organisasi, memberlakukan shift kerja untuk para
karyawan merupakan hal yang wajar dilakukan agar sistem kerja menjadi tertata
dan tidak memberatkan karyawan.
Menurut Suma’mur (1994) dalam Juliawati (2020) shift kerja merupakan
pola waktu kerja yang diberikan kepada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu
oleh perusahaan dan biasanya dibagi atas kerja pagi, sore dan malam. Sistem shift
menurut Muchinsky (1997) dalam Juliawati (2020) merupakan suatu sistem
pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu
yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan.
Pemberlakuan shift kerja yang baik dan teratur akan mempermudah
operasional perusahaan, namun adanya shift kerja yang buruk dan tidak teratur
justru cukup merepotkan bagi karyawan untuk menyesuaikan waktu shift yang
berbeda secara berkala. Efek beradaptasi dengan pengaturan waktu shift dapat
berdampak buruk pada kesehatan dan menciptakan tekanan fisik maupun psikologis
karyawan. Oleh sebab itu, perusahaan menyadari perlunya memberikan dukungan
kepada pekerja shift dengan mengatur jadwal shift yang tepat.
Shift kerja melibatkan berbagai pola dan jadwal kerja yang perlu
mempertimbangkan beberapa faktor dalam pengaturannya, yaitu durasi shift,
jumlah pekerja tim, jam istirahat, dan juga kecepatan rotasi pekerjaan. Oleh karena
itu, penting bagi perusahaan dalam mengatur shift kerja yang teratur dan seimbang
bagi seluruh anggota karyawan sehingga tidak membebani karyawan dan
produktivitas menjadi optimal

Keamanan Kerja (Job Security)


Keamanan kerja merupakan faktor penting dalam proses perputaran keluar
masuknya karyawan dalam suatu perusahaan. Sebagian besar perusahaan gagal
dalam mengenali potensi besar yang dimiliki oleh tenaga kerja khususnya tenaga
kerja yang terampil. Perusahaan-perusahaan yang menghargai karyawan sebagai
aset penting akan mengukur kebutuhan karyawan yang akan datang melalui
pemberian pensiun, memotivasi untuk tumbuh dalam karier karyawan dan juga
mendorong lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan karier. Salah satu
tanggung jawab utama perusahaan adalah memotivasi karyawan dan
mempertahankan karyawan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu,
keamanan kerja perlu diperhatikan oleh perusahaan untuk menunjang tercapainya
tujuan perusahaan.
Keamanan kerja merupakan harapan seseorang tentang keberlanjutan
seorang karyawan dalam sebuah pekerjaan. Hal ini berhubungan dengan perasaan
karyawan atas kehilangan pekerjaan atau kehilangan fitur pekerjaan yang
diinginkan seperti kurangnya peluang promosi, kondisi kerja saat ini, serta tidak
adanya peluang karier jangka panjang (Dhuryana & Hussain, 2018). Menurut
Akpan (2013) keamanan kerja merupakan harapan keberlanjutan seorang karyawan
dalam bekerja. Hal ini diartikan karyawan menginginkan kontrak kerja yang cukup
lama, adanya peluang promosi dan adanya jenjang karier yang dapat memberikan
kesejahteraan jangka panjang. Seorang karyawan dikatakan aman atau tidak
ditentukan pada saat penandatanganan kontrak kerja yang mana masa kerja menjadi
faktor yang sangat menentukan seorang karyawan merasa aman atau tidak. 
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan keamanan kerja karyawan
merupakan harapan dari karyawan untuk dapat terus bertahan dan memiliki
kesempatan meningkatkan karier dari sebuah organisasi.
Melindungi karyawan adalah komitmen perusahaan yang harus
diberlakukan agar karyawan merasa lebih aman, tenang, dan tidak cemas ataupun
stres saat bekerja. Keamanan kerja yang terepenuhi di tempat kerja membuat
karyawan menjadi lebih produktif dalam mencapai tujuan perusahaan. Begitu
sebaliknya, apabila tidak ada keamanan di lingkungan kerja, maka produktivitas
karyawan menjadi terganggu dan kinerja akan menurun. Oleh karena itu,
perusahaan harus memfasilitasi keamanan kerja di lingkungan perusahaan agar
tidak ada rasa khawatir antar individu satu dengan yang lain dan efektivitas kerja
menjadi meningkat

Beban Kerja (Workload)


Beban kerja menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya stres kerja
bagi karyawan yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan dalam segi
produktivitas dan efisiensi karyawan ketika sedang bekerja di sebuah organisasi.
Stres kerja yang disebabkan oleh beban kerja yang tinggi menjadi salah satu hal
yang wajar bagi karyawan ketika sedang menjalankan tugas dan kewajibannya saat
bekerja. Beban kerja dapat berasal dari beberapa kendala tertentu seperti adanya
tekanan waktu, kurangnya bantuan yang memadai dan tepat waktu, sumber daya
yang tidak memadai untuk menyelesaikan tugas, rekan kerja yang tidak efisien
dalam bekerja, adanya konflik peran dalam lingkungan kerja, dll. Pengaruh tingkat
beban kerja yang besar akan menghasilkan tingkat kinerja karyawan yang lebih
rendah dan akhirnya akan menimbulkan semangat yang rendah bagi karyawan saat
bekerja.

Stres Kerja


Stres adalah suatu keadaan di saat individu menghadapi sebuah kendala,
peluang ataupun tuntutan terhadap sesuatu. Stres kerja memiliki dampak yang besar
pada kinerja karyawan karena akan mempengaruhi kesehatan karyawan. Masalah
stres kerja merupakan suatu hal yang wajar dialami oleh setiap orang yang bekerja
di suatu organisasi. Stres kerja adalah suatu keadaan ketika individu mendapat
tekanan atau ketegangan dalam pekerjaan serta lingkungan kerjanya sehingga
individu merespon secara negatif dan merasa terbebani dalam menyelesaikan
kewajibannya (Permatasari & Prasetio, 2018).
Menurut Mangkunegara (2017) stres kerja adalah suatu perasaan tertekan
yang dialami karyawan dalam suatu pekerjaan. Stres kerja ini dapat terlihat dari
emosi yang tidak stabil, perasaan tidak senang, suka menyendiri, susah tidur, tidak
bisa rileks, cemas dan lain-lain. Menurut Vanchapo (2020) stres kerja adalah
keadaan emosional yang timbul karena adanya ketidaksesuaian beban kerja dengan
kemampuan individu untuk menghadapi tekanan-tekanan yang dihadapinya. Dari
beberapa persepsi yang ada, stres kerja dapat diartikan sebagai kondisi yang muncul
dari diri seorang karyawan yang diakibatkan karena adanya tuntutan, perasaan
tertekan, serta ketidaksesuaian antara harapan dengan hasil yang diterima. Adanya
stres kerja yang dialami oleh karyawan akan dapat memengaruhi produktivitas
karyawan. Apabila karyawan mengalami stres kerja yang tinggi, maka kinerjanya
akan cenderung menurun. Warraich et al. (2014) menemukan beban kerja, konflik
peran, dan penghargaan pengawasan yang tidak memadai sebagai alasan utama
penyebab stres kerja pada karyawan yang mengarah pada penurunan efisiensi
karyawan. Menurut Mangkunegara (2016) beberapa penyebab stres kerja yaitu
beban yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas
pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, adanya konflik kerja,
dan adanya perbedaan nilai

Hubungan Stres Kerja Terhadap Kinerja


Hubungan antar variabel stres kerja terhadap variabel kinerja
dapat dikatakan apabila adanya suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi keadaan psikologis dan cara berpikir seorang karyawan
ataupun adanya tekanan ,tuntutan dan beban kerja berlebihan sehingga
karyawan yang mengalami stres kerja cenderung sulit untuk fokus dan
secara tidak langsung hal tersebut dapat mempengaruhi kinerjanya.
Semakin tinggi tingkat stres kerja maka semakin rendah kinerja
Karyawan. Dimana hal ini bisa diartikan bahwa jika seorang karyawan
mengalami peningkatan stres kerja yang di akibatkan dari adanya beban
kerja berlebih, tekanan dalam perusahaan dan balas jasa yang tidak
setimpal dengan tugas yang di berikan akan menurunkan perfoma
kerjanya.
Hasil dari penelitian Nengsih dkk (2019) yang menganalisis
tentang “Pengaruh Stres Kerja Dan Komunikasi Terhadap Kinerja
Kayawan PT. POS Indonesia Cabang Malang” mengatakan bahwa stres
kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
Hasil dari penelitian Lukito & Alriani (2018) yang
menganalisis tentang Pengaruh Beban Kerja, Lingkungan Kerja, Stres
Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Sinarmas Distribusi
Nusantara Semarang mengatakan bahwa stres kerja berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap kinerja karyawan

Hubungan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan


Hubungan antar variabel kepuasan kerja terhadap variabel
kinerja dapat dikatakan apabila adanya kondisi dimana karyawan
melibatkan dirinya lebih dalam terhadap pekerjaan, tingkat kehadiran
yang tinggi dan adanya rasa dan sikap emosional yang menyenangkan
dan mencintai pekerjaanya secara tidak langsung akan menaikan
kinerjanya. Kepuasan kerja menceminkan perasaan seorang karyawan
terhadap pekerjaan yang dihadapainya . Seorang karyawan yang
mendapatkan kepuasan dalam pekerjaanya biasanya tingkat
kehadiranya tinggi dan mempunyai prestasi yang baik dalam bekerja.
Karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaanya cenderung lebih
terlibat dalam pekerjaan yang dapat meningkatkan kinerjanya.
Semakin tinggi tingkat kepuasan kerja seseorang maka akan
semakin maksimal kinerja yang diberikanya. Dengan adanya perasaan
positif dan rasa cinta terhadap pekerjaanya akan membuat setiap tugas
yang diberikan dianggap sebagai sebuah tantangan yang dapat
mengasah kemampuan dan keahlianya bukan dianggap sebagai sebuah
beban atau tuntutan yang memberatkanya.
Kepuasan kerja merupakan faktor utama yang dapat mendorong
tingginya tingkat kinerja karyawan, jika terjadi ketidakpuasan pada
karyawan maka akan menyebabkan kinerja dan prestasi kerja menurun.
Hasil dari penelitian Kurniawan & Prasilowati (2019) yang
menganalisis tentang Pengaruh Beban, Motivasi Dan Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai Pelayanan Pajak Pratama Cileungsi
mengatakan bahwa kepuasan kerrja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja karyawa.

Hubungan Stres Kerja Terhadap Kepuasan Kerja

Hubungan antar variabel stres kerja terhadap variabel kinerja
dapat dikatakan apabila adanya suatu keadaan dimana seorang
karyawan merasakan ketegangan dan kecemasan yang diakibatkan dari
adanya beban kerja berlebih dan tuntutan untuk menyelesaikan
pekerjaan dengan waktu yang telah di tetapkan secara tidak langsung
akan menurunkan kepuasan kerjanya. Karyawan yang mengalami stres
kerja yang tinggi cenderung akan menganggap pekerjaanya sebagai
sebuah hambatan. Perasaan senang ataupun positif terhadap
pekerjaanpun akan hilang. Kepuasan kerja seseorang merupakan hal
yang sifatnya tidak bisa di sama ratakan antar karyawan satu dengan
yang lainya. Namun jika stres kerja yang dialami karyawan mampu
mengubah stigma pandangan positif dan rasa senangnya terhadap
pekerjaan dan berubah menjadi hal yang buruk karena diakibatkan dari
adanya beban dan tuntutan pekerjaan yang berlebih maka dapat di
katakan tingginya tingkat stres kerja dapat menurunkan kepuasan kerja
seseorang.

Dampak kinerja


1) Penelitian (Fauzi & Siregar, 2019) yang berjudul “ Pengaruh
Kompetensi Dan Kinerja Karyawan Terhadap Pengembangan karir
Di Perusahaan konstruksi” mengatakan bahwa kinerja karyawan
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan
karir karyawan.
2) Penelitian (Nurmila, Nurdin, & Rusman, 2018) yang berjudul
“Pengaruh kinerja Karyawan, Physical Evidence dan Kepuasan
Pelanggan Terhadap Loyalitas Pelanggan” mengatakan bahwa
kinerja karyawan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan.
3) Penelitian (Sulistyowati & Sinaga, 2018) yang berjudul “Pengaruh
Kinerja Karyawan Terhadap kepuasan konsumen (Studi
Pengendalian Mutu D’Ayam Crispy di Yogyakarta)” mengatakan
bahwa kinerja karyawan berpengaruh terhadap kepuasan kosumen.

Faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja


Kinerja seorang karyawan akan mempengaruhi keberhasilan
perusahaan dalam mencapai target ataupun tujuan perusahaan. Untuk
mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan terdapat faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan ataupun sekelompok
orang.
Menurut Edison dkk (2016) terdapat 3 faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu :
1) Kompetensi
Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Karyawan dengan
kompetensi yang baik akan memberikan kinerja yang baik juga.
Hampir semua perusahaan mengadakan pelatihan dan
pembelajaran yang semata – mata dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan atau kompetensi karyawanya agar memiliki kinerja
yang baik.
2) Teknologi atau Mesin
Teknologi atau mesin merupakan fasilitas yang di berikan oleh
perusahaan untuk menunjang atau membantu proses bekerja
seorang karyawan. Namun teknologi tersebut harus diimbangi
dengan pemahaman dan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan.
Dengan adanya fasilitas teknologi dan mesin yang dapat membantu
karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan secara cepat membuat
karyawan tidak perlu mengeluarkan tenaga terlalu banyak dan bisa
menyelesaikan pekerjaanya dengan benar dan mencerminkan
kinerja yang baik.
3) Metode
Prosedur atau tata cara harus dibangun dengan matang dan
penuh pertimbangan agar keputusan yang dihasilkan bersifat
fleksibel dan mampu mendorong terbentuknya keselarasan
karyawan. Metode yang tepat akan menyelesaikan pekerjaan
secara cepat. Kinerja seseorang dapat dikatakan bagus jika metode
penyelesaian pekerjaan yang digunakanya sesuai dengan pekerjaan
yang dihadapinya.
Menurut Hamali (2016) Kinerja karyawan dapat di pengaruhi oleh
beberapa faktor internal maupun eksternal, yaitu :
1) Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri seseorang yang menjadi sebuah karakteristik bawaan dari
semenjak seseorang dilahirkan atau hal yang didapat ketika
seseorang berada pada masa perkembangan. Contoh dari faktor
bawaan adalah sifat, kemampuan, serta keadaan fisik dan
psikologis seseorang. Faktor yang di peroleh pada masa
perkembangan adalah keterampilan, pengalaman, pengetahuan,
motivasi dan etos kerja seseorang. Faktor internal ini dapat
menentukan kinerja seorang karyawan, maka semakin
bekualitasnya faktor internal karyawan akan mendorong kualitas
kinerja yang baik juga.
2) Faktor internal lingkungan organisasi
Karyawan membutuhkan dukungan dari organisasi di
tempatnya bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi
kinerjanya, semakin tinggi dukungan organisasi yang diberikan
maka semakin tinggi juga kinerja seorang karyawan. Dukungan
tersebut dapat berupa ketersediaan fasilitas, hubungan dengan
rekan kerja dan atmosfer tempatnya bekerja. Perusahaan harus
mampu menciptakan lingkungan organisasi yang baik untuk
menunjang kinerja karyawan.
3) Faktor lingkungan eksterrnal organisasi
Faktor lingkungan eksternal organisasi merupakan faktor
yang tidak bisa dikendalikan dan berasal dari luar organisasi itu
sendiri. Faktor eksternal dapat mempengaruhi kinerja seorang
karyawan contohnya saja meningkatnya inflasi yang dapat
menurunkan daya beli seorang karyawan. Jika inflasi tidak
diimbangi dengan adanya kenaikan upah kerja maka akan
mendorong tejadinya penurunan kinerja

Dimensi dan indikator kinerja


Adapun beberapa dimensi kinerja karyawan dikelompokan menurut
(Edison, Anwar, & Komariyah, 2016) yaitu :
1) Target
Target merupakan sebuah ketentuan untuk dicapai baik
dalam pencapaian jumlah barang yang harus di penuhi, pemenuhan
jumlah uang atau pencapaian pekerjaan lainya. Biasanya
perusahaan memberikan target kerja sesuai dengan waktu
penyelesaianya agar karyawan tidak merasa terbebani dan dapat
memberikan kinerja terbaiknya untuk perusahaan.
2) Kualitas
Kualitas merupakan elemen utama yang sangat penting,
karena dengan kualitas produk yang baik dapat menggambarkan
kualitas perusahaan yang baik juga dan mampu mendorong
terbentuknya loyalitas konsumen terhadap perusahaan. Kinerja
yang baik tentunya akan menghasilkan kualitas kerja yang baik
juga.
3) Waktu Penyelesaian
Kinerja yang baik dapat digambarkan dengan penyelesaian
pekerjaan yang sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan
dan di tentukan oleh perusahaan dan di sanggupi oleh karyawan.
Karyawan dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik jika dapat
menyelesaikan pekerjaanya sesuai dengan waktu yangtelah
ditentukan.
Adapaun dimensi kinerja menurut Mathis and Jackson (2006)
sebagai berikut :
1) Kuantitas
Kuantitas merupakan sebuah hasil kerja yang telah dilakukan
oleh karyawan dalam suatu periode tertentu. Kuantitas kerja dapat
dilihat dari hasil kerja atas penggunaan waktu serta kecepatanya
dalam menyelesaikan tugas.
2) Kualitas
Kualitas merupakan suatu hasil yang dapat diukur atas tingkat
efektifitas dan efisiensi yang dilakukan oleh karyawan selama
menyelesaikan pekerjaan. Karyawan dengan kinerja yang baik,
yang mampu menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan tepat
tentunya akan menghasilkan kualitas kerja yang tinggi dan dapat
memajukan perusahaan.
3) Keandalan ( ketepatan waktu)
Keandalan merupakan suatu konidisi dimana tugas yang
diberikan mampu diselesaikan sesuai dengan waktu dan
kesepakatan yang telah di tentukan. Dengan kinerja yang baik
karyawan akan mampu menyelesaikan pekerjaanya sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
4) Kehadiran
Kehadiran merupakan bentuk tanggung jawab karyawan dalam
memenuhi tugasnya untuk hadir dan bekerja pada waktu yang telah
di tentukan. Kinerja yang baik dapat digambarkan dengan tingkat
kehadiran karyawan. karyawan yang tidak pernah absen dan selalu
datangtepat waktu mencerminkan karyawan yang mempunya
kinerja yang baik. Perusahaan biasanya mengapresiasi tingkat
kehadiran karyawanya dengan memberikan bonus atau
penghargaan lainya untuk menarik perhatian dan minat karyawan
lain untuk dating tepat waktu dan memberikan kinerja terbaiknya.
5) Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama merupakan bentuk dimana karyawan
mampu bekerja dalam sebuah team dengan menyatukan pikiran,
pendapat dan kemampuan untuk menyelesaikan tanggung jawab
pekerjaan

Pengertian Kinerja


Menurut Edison dkk (2016) Kinerja merupakan hasil akhir
dari sebuah proses pekerjaan selama periode tertentu atas dasar
kesepakatan yang telah di tentukan. Jadi bisa di katakan kinerja
adalah pencapaian yang di dapatkan oleh seorang karyawan dalam
melaksanakan tugas dan kewajibanya dalam satu periode dengan
kesepakatan yang telah di tetapkan oleh perusahaan. Sehingga bisa
dikatakan semakin baik kinerja seorang atau sekelompok orang
karyawan maka semakin baik juga pengaruhnya terhadap kinerja
perusahaan. Kinerja karyawan juga mampu mendorong terrjadinya
perkembangan perusahaan.
Menurut Mathis and Jackson (2008) kinerja adalah hasil yang
diberikan oleh karyawan atas hasil yang dilakukan maupun tidak
dilakukan terhadap perusahaan baik berupa kualitas, kuantitas, sikap
kooperatif, jangka waktu dan kehadiran. Jadi dapat disimpulkan
kinerja karyawan tidak hanya dapat dinilai dari hasil yang berupa
kualitas atau kuantitas yang diberikan oleh karyawan terhadap
perusahaan, hal-hal lain yang tidak menghasilkan tetapi masih dalam
bentuk pengabdian karyawan terhadap perusahaan juga bisa
dikatakan sebagai bentuk kinerja seperti tingkat kehadiran, sikap
kooperatif dan loyalitas.
Menurut Hamali (2016) Kinerja adalah suatu hasil dari proses
pekerjaan seorang karyawan berdasarkan pada waktu yang telah
ditetapkan dan berimbas kepada sebuah perusahaan, semakin baik
kinerja seorang karyawan maka akan baik juga kinerja yang
dihasilkan perusahaan. Kinerja karyawan dianggap baik jika apa
yang dia kerjakan sesuai dengan harapan dan terpenuhinya
kebutuhan perusahaan

Dampak Kepuasan Kerja


Menurut Robbins & Judge (2016) terdapat 4 dampak dari ketidak
puasan kerja , seperti :
1) Keluar
Respon keluar mengarah pada maksud mencari posisi baru
yang dianggap seorang individu lebih bisa memberikan
kepuasan kerja yang sesuai dengan apa yang individu tersebut
harapkan,bisa saja karena posisi, jabatan dan jenis pekerjaan
lainya. Respon keluar merupakan respon terburuk yang
mungkin akan karyawan lakukan jika karyawan tersebut benar
– benar tidak mendapatkan kepuasan dari tempatnya bekerja dan
hal ini akan sedikit berdampak buruk bagi perusahaan.
2) Suara
Respon suara mengarah pada menyuarakan atau
mengaspirasikan apa yang di rasakan dan apa yang di inginkan
dari sebuah organisasi yang individu itu harapkan guna untuk
mencapai kepuasan.
3) Kesetiaan
Kesetiaan mengarah pada kegiatan pasif dimana individu tidak
melakukan pergerakan keluar dari perusahaan melainkan lebih
kearah diam dan menunggu keadaan perusahaan menjadi lebih
baik dengan harapan akan mendapat kepuasan yang individu
tersebut harapkan.
4) Pengabaian
Pengabaian mengarah pada kegiatan mengacuhkan setiap
pergerakan atau kemajuan perasaan dengan konotasi negatif
seperti mengabaikan tugas dan kewajiban sevagai
pekerja,ketepatan waktu, yang di dukung dengan berkurangnya
loyalitas terhadap perusahaan.

Faktor–faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja


Faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan
menurut Hasibuan (2014) :
1) Balas jasa yang adil dan layak
Dalam dunia kerja seorang karyawan cenderung
mengharapkan balas jasa yang adil dan layak. Dalam hal balas jasa
dapat direfleksikan dalam bentuk gaji yang diterima dari
perusahaan. Di harapkan balas jasa tersebut sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukan tanpa membeda bedakan antara satu
karyawan denan karyawan yang lain.
2) Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
Karyawan yang dihadapkan dengan pekerjaan yang sesuai
dengan keahlian dan kemampuanya cenderung tidak akan
mendapatkan kesulitan yang begitu tinggi jika dibandingkan
dengan karyawan yang dihadapkan dengan pekerjaan yang tidak
sesuai dengan kemampuan dan keahlianya. Orang yang bekerja
sesuai passion akan lebih mencintai dan menghargai pekerjaanya
dan akan merasakan kepuasan atau kesenangan tersendiri jika tetap
bekerja dalam posisi yang sesuai dengan keahlian dan
kemampuanya.
3) Berat – ringanya pekerjaan
Beban kerja berlebih atau pemberian tugas yang melebihi
standar kemampuan seseorang akan mengakibatkan berkurangnya
kepuasan kerja. Pekerjaan yangterlalu berat akan membuat
seseorang kehilangan pandangan positif tentang pekerjaanya,
namun pekerjaan yangterlalu mudah juga akan membuatkaryawan
cepat merasa bosan dan tidak akan meningkatkan kemampuanya
dalam bekerja. Berat – ringanya pekerjaan harus disertai dengan
waktu penyelesaian yang sesuai, agar karyawan bisa memberikan
kualitas yang baik dan merasakan kepuasan tersendiri atas
pencapaianya.
4) Suasana dan lingkungan pekerjaan
Suasana dan lingkungan pekerjaan merupakan faktor
pendukung kepuasan kerja , suasana dan lingkungan kerja yang
produktif bisa mendorong performa kerja menjadi lebih baik dan
mengundang kepuasan kerja. Suasana buruk atau lingkungan
pekerjaan yang kurang baik akan membuat karyawan malas dan
enggan berlama – lama di tempat kerja, hal tersebut dapat
menumbuhkan pandangan negatif terhadap pekerjaan yang
dikerjakanya dan membuat karyawan tidak merasakan kepuasan.
5) Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
Kelengkapan fasilitas penujang pekerjaan merupakan hal yang
penting untuk menunjang kepuasan kerja karyawan . Dengan
tunjangan fasilitass tersebut karyawan tidak akan terlalu merasa
terbebani karena kelengkapan fasilitas mampu membantu dalam
penyelesaian kewajibanya di tempat kerja.
6) Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya
Sikap pimpinan yang baik akan berdampak baik juga terhadap
perasaan,kenyamanan dan kepuasan seorang karyawan. Hubungan
yang baik dengan pemimpin akan mendorong adanya keterbukaan
dalam menyampaikan aspirasi sehingga karyawan akan merasa
lebih bebas dan semakin mencintai pekerjaanya.
7) Sifat pekerjaan monton atau tidak
Setiap manusia mempunyai tingkat jenuh dan rasa bosan yang
berlebih jika berada pada situasi dan kondisi yang pasif , tantangan
dalam sebuah pekerjaan memberikan fantasi lebih bagi para
karyawan dan menimbulkan kesenangan tersendiri jika mereka
mampu mencapainya.

Indikator dan dimensi kepuasan kerja


Edison (2016) menjelaskan bahwa kepuasan kerja memiliki 5
dimensi, yaitu :
1) Upah
Upah yang dimaksud disini adalah gaji atau bayaran yang
harus diterima oleh karyawan yang sesuai dengan pekerjaan
yang dilakukan, dimana upah tersebut digunakan oleh
karyawan untuk memenuhi kebutuhanya. Upah yang diterima
harus mampu meningkatkan semangat karyawan dalam
meningkatkan kinerjanya, selain itu pemberian upah juga
harus adil dan sesuai dengan tanggungjawab serta beban kerja
masing – masing. Seorang karyawan biasanya memandang
upah sebagai sebuah penghargaan mengenai bagaimana cara
perusahaan menghargai segala kontribusi dan keterlibatan
kerjanya untuk kemajuan perusahaan.
2) Pekerjaan itu sendiri
Pekerjaanya itu sendiri merupakan faktor utama yang
sangat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kerja seorang
karyawan. Kepuasan itu tergantung dari berat atau ringanya
sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang terlalu ringan akan
membuat karyawan cepat merasa bosan dan dirasa tidak dapat
meningkatkan kemampuan dan keahlianya dalam bekerja,
namun pekerjaan yang terlalu berat juga bukan merupakan hal
yang baik bagi karyawan. Pekerjaan yang berat cenderung
akan membuat karyawan merasa terbebani dan dapat
menguras tenaganya secara berlebih.
3) Kesempatan Promosi
Promosi dapat meningkatkan kepuasan kerja seorang
karyawan. Dengan adanya promosi karyawan akan merasa
mendapatkan peluang untuk posisi, jabatan dan masa depan karir
yang lebih baik dalam perusahaan tersebut. Promosi yang
didapatkan berdasarkan kinerja yang baik cenderung akan
membuat karyawan lebih merasa puas jika dibandingkan dengan
promosi yang didapatkan secara senioritas.
4) Penyelia atau pimpinan
Pimpinan dengan cerminan sifat dan sikap yang baik,
mampu berlaku adil terhadap semua karyawan, dapat membimbing,
merangkul dan menjaga hubungan sosial yang baik akan
meningkatkan kepuasan kerja seseorang, karena karyawan akan
cenderung lebih merasa nyaman dalam menyampaikan pendapat,
tidak merasa kaku dan tenang jika dikondisikan dengan posisi kerja
yang harus berhubungan langsung dengan atasan.
5) Rekan kerja
Dalam bekerja terkedang karyawan dihadapi dengan
pekerjaan yang mengharuskan bekerja sama dengan rekan kerja
lainya, dalam hal ini dibutuhkan hubungan sosial yang baik antar
karyawan agar penyelesaian tugas terasa mudah dan
menyenangkan. Rekan kerja yang mudah untuk diajak bekerja
sama, tidak menganggu dan membuat keributan ketika jam
operasional cenderung akan membuat seorang karyawan
merasakan kepuasan kerja karena karyawan tersebut tidak akan
merasa terbebani dan mendapatkan kemudahan dengan dalam
bekerja sama dengan rekan kerjanya.
Adapun indikator kepuasan kerja menurut S.Crow et al
(2012) terdapat 6 butir, diantaranya sebagai berikut :
1) Puas dengan pekerjaanya
Kepuasan yang dirasakan oleh karyawan dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah karena faktor pekerjaanya
itu sendiri. Ketika seseorang menganggap pekerjaanya sebagai hal
yang sesuai dengan dirinya dan menganggap pekerjaanya sebagai
suatu hal yang positif maka akan menjadi sebuah kepuasan bagi
orang tersebut.
2) Lebih menyukai pekerjaanya dibandingkan dari yang lain.
Ketika seseorang merasakan kepuasan dari pekerjaanya, dan
menganggap pekerjaanya sangat sesuai dengan kemampuan dan
keahlianya, maka dirinya akan merasa sebagai orang yang lebih
mampu mengerjakan dan menyukai pekerjaanya lebih dari yang
lain.
3) Menghabiskan waktu untuk bekerja keras
Seseorang yang mencintai pekerjaanya cenderung tidak akan
menganggap segala kesulitan dalam pekerjaan itu sebagai sebuah
beban yang memberatkan dirinya, melainkan akan dianggap
sebagai sebuah tantangan yang akan menaikan kemampuanya dan
akan bekerja keras untuk menyelesaikanya. Pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan dan keahlian karyawan akan mendorong
karyawan tersebut untuk terus bekerja dan menggali hal lain yang
dapat meningkatkan kemampuanya. Hal tersebut didasarkan dari
cerminan dirinya yang menyukai pekerjaan tersebut yang dapat
menghasilkan kepuasan tersendiri untuk dirinya.
4) Merasa dihargai dalam pekerjanya
Setiap orang membutuhkan pengakuan baik dari atasan
maupun rekan kerjanya, secara tidak langsung segala bentuk
pengakuan tersebut dapat membuat seseorang merasa telah
mencapai target yang sesuia dengan apa yang diinginkan oleh
perusahaanya yang dapat menjadi sebuah kepuasan tersendiri bagi
dirinya.
5) Proaktif dalam pekerjaanya
Seseorang yang mendapatkan kepuasan dari pekerjaanya,
cenderung akan melibatkan dirinya lebih dalam terhadap
pekerjaanya sebagai sebuah bentuk cintanya terhadap pekerjaan
tersebut. Hal ini dapat terlihat pada suatu kondisi dimana jika
karyawan diberikan tugas oleh pimpinanya maka dia akan
menyelesaikan pekerjaan tersebut secara cepat dan tepat, karena
hal tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi dirinya.
6) Pekerjaan sangat berarti bagi hidup
Pekerjaan memiliki arti yang besar dalam hidup seseorang,
seseorang yang mendapatkan kepuasan dari pekerjaanya
cenderung akan menganggap pekerjaan itu sebagai hal yang sangat
berarti bagi dirinya. Kepuasan kerja yang tinggi akan membuat
karyawan memilih untuk tetap bekerja di dalam perusahan
tersebut

Definisi Kepuasan Kerja


Menurut Robbins & Judge (2016) Kepuasan kerja
merupakan sebuah perasaan dan pandangan positif seseorang
terhadap pekerjaanya yang di hasilkan dari sebuah evaluasi
terhadap karakteristiknya. Perasaan positif tersebut dapat dilihat
ketika seorang karyawan memiliki keterrlibatan yang tinggi
terhadap perrusahaan, tingkat kehadiran yang tinggi dan tidak
menganggap tugasnya sebagai beban yang menggangu dirinya.
Apabila seorang karyawan tidak mempunyai perasaan poitif
terhadap pekerjaanya dan cenderung tidak memiliki kepuasan
maka karyawan tersebut akan menganggap pekerjaanya sebagai
hal yang membosankan dan membebani dirinya.
Menurut Hamali (2016) kepuasan kerja merupakan sikap
positif yang ditunjukan oleh seorang karyawan terhadap
pekerjaan,tanggung jawab ataupun tugas yang diberikan oleh
perusahaan kepadanya. Hal tersebut bergantung pada penilaian
kinerja yang akan diterimanya setelah karyawan tersebut selesai
menjalankan kewajibanya, jika hasil penilaian kerja yang di
dapatkanya baik maka karyawan akan mendapatkan kepuasan
tersendiri dan sebaliknya jika hasil penilaian kerjanya buruk maka
seorang karyawan akan merasakan kecewa yang dapat mendorong
timbulnya ketidak puasan. Puas tidaknya seorang karyawan atas
pekerjaanya tergantung dari sifat pribadi karyawan tersebut dan
pada dasarnya setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang
berbeda – beda.
Menurut Edison dkk (2016) kepuasan kerja akan
menciptakan lingkungan organisasi yang nyaman dan dapat
mendorong semangat kerja yang tinggi. Peran organisasi sangat
dibutuhkan dalam membuat kenyamanan dalam lingkungan
organisasi dan membentuk perilaku positif di tempat kerja seperti
saling menghargai, menghormati dan mempunya sistem
keterbukaan dalam menerima pendapat, gagasan maupun saran
yang diberikan untuk mengambil sebuah keputusan . Pemimpin
juga harus mampu memotivasi, mengarahkan karyawanya dan
membentuk hubungan yang baik. Keberhasilan suatu perusahaan
dapat digambarkan dengan tingginya tingkat kepuasan kerja
seorang karyawan.
Menurut Luthans (2011) kepuasan kerja adalah suatu bentuk
respon emosional yang positif karyawan terhadap pekerjaanya
yang disebabkan dari adanya penghargaan ataupun pengakuan
yang dilakukan oleh perusahaan. Maka dapat disimpulkan
kepuasan kerja merupakan perasaan dan pandangan seseorang
kepada tempat dimana dia bekerja. Kepuasan kerja adalah hasil
dari sebuah interaksi antara seseorang dengan lingkungan kerjanya.
Seseorang yang merasakan kepuasan akan cenderung memiliki
performa kerja yang baik dan tidak menganggap pekerjaanya
sebagai sebuah hambatan dalam kehidupanya dan sebaliknya.
Kepuasan kerja sifatnya adalah individual dan setiap orang
memiliki standar kepuasan yang berbeda beda meskipun orang
tersebut mempunyai kategori kebutuhan yang sama. Kepuasan
kerja terjadi karena adanya kesesuaian antara apa yang diharapkan
dengan apa yang di dapatkan

Faktor–faktor yang mempengaruhi Stres Kerja


Stres kerja akan mengakibatkan buruknya kinerja seorang
karyawan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong terbentuknya stres
kerja yang diakibatkan oleh pekerjaan itu sendiri.
Menurut Hasibuan (2014) terdapat enam faktor yang dapat
mempengaruhi stres kerja diantaranya adalah :
1) Beban kerja yang sulit dan berlebihan
Beban kerja yang melebihi standar kemampuan seorang
karyawan akan mendorong terjadinya stres kerja, karena
karyawan dihadapkan dengan kondisi kerja yang menekan
dirinya untuk dapat menyelesaikan tugas – tugas yang sebenernya
tidak sesuai dengan kemampuanya. Hal tersebut membuat tenaga
dan pikiranya terkuras lebih banyak dari pekerjaan pada kondisi
normalnya.
2) Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar
Pimpinan mempunyai kewajiban untuk mengatur dan
memerintah bawahanya . Pimpinan yang banyak menekan,
menuntut dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan
bawahanya akan menyebabkan karyawan mengalami stres kerja.
Karyawan akan merasakan tertekan, takut dan gelisah jika hasil
kerjanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
pimpinanya yang akan mempengaruhi jejak karirnya dalam
perusahaan tersebut.
3) Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai
Waktu dan peralatan kerja merupakan aspek penunjang
karyawan untuk menyelesaikan pekerjaanya , bilamana dalam
aspek tersebut terdapat masalah maka hal tersebut akan
mendorong karyawan mengalami stres kerja karena hal tersebut
dapat menghambat pekerjaanya .
4) Konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja
Rekan kerja dan pimpinan di tempat kerja merupakan aspek
sosial yang dapat mempengaruhi nyaman atau tidaknya seseorang
berada dalam lingkungan tersebut. Hubungan sosial yang tidak
baik akan menyebabkan seorang individu merasa tidak nyaman
,jika hal tersebut di biarkan begitu saja maka akan menyebabkan
terjadinya stres kerja.
5) Balas jasa yang terlalu rendah
Setiap pekerjaan memiliki resiko dan tanggung jawab yang
berbeda – beda. Di balik pekerjaan yang beresiko tinggi terdapat
harapan seorang karyawan untuk mendapatkan imbalan yang
tinggi juga atau sesuai dengan apa yang di kerjakanya. Upah
merupakan refleksi atau cara perusahaan menghargai
karyawanya, dengan upah yang sesuai dan adil sesuai dengan
beban kerja yang di tanggung akan membuat karyawan merasa
dihargai oleh perusahaan. Upah yang tidak sesuai membuat
karyawan merasakan stres karena usaha yang diberikanya tidak
setimpal dengan balas jasa yang diberikan perusahaan.
6) Masalah – masalah keluarga seperti anak, istri, mertua, dan lain –
lain.
Seorang karyawan yang memiliki masalah pribadi , kondisi
emosinya cenderung tidak stabil dan sulit untuk fokus terhadap satu
hal karena pemikiranya terbagi – bagi. Seorang karyawan yang
memiliki masalah pribadi dan di hadapkan dengan pekerjaan yang
berat akan menyebabkan terjadinya stres kerja

Definisi Stres Kerja


Menurut Hasibuan (2014) menyatakan bahwa stres kerja adalah
suatu ketegangan yang mengakibatkan tidak seimbangnya keadaan
psikologis karyawan yang dapat mempengaruhi cara berpikir, emosi
dan kondisi dirinya sendiri.Stres kerja terjadi karena adanya tuntutan
dan tekanan yang berlebih dari tugas yang diberikan oleh
perusahaan. Semakin tinggi stres kerja karyawan maka semakin
buruk juga dampaknya terhadap kinerja seorang karyawan dan dapat
menghambat pencapaian tujuan dan perkembangan perrusahaan.
Menurut Luthans (2010) mengemukakan stres kerja sebagai
sebuah respon seseorang terhadap keadaan eksternal yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan fisik,psikologis dan
perilaku karyawan dalam sebuah perusahaan atau organisasi.
Keadaan eksternal yang tidak baik akan meningkatkan tingkat stres
seorang karyawan yang bila dibiarkan begitu saja akan mengganggu
proses kerjanya. Perusahaan harus mampu menciptakan keadaan
eksternal yang baik dan mampu menghilangkan atau menurunkan
tingkat stres kerja seorang karyawan.
Mangkunegara (2017) mengartikan stres kerja sebagai suatu
kondisi dimana karyawan merasakan sebuah tekanan dalam
menghadapi pekerjaan. Stres kerja dapat mengakibatkan keadaan
emosi seseorang tidak stabil, rasa cemas berlebih, tegang , gugup
dan gangguan lainya.

Faktor–faktor yang Menyebabkan Stres


Wahjono, Senot Imam (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan stres antara lain :
a. Faktor Lingkungan
Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi perancangan struktur
organisasi, ketidakpastian juga mempengaruhi tingkat stres di kalangan para
karyawan dalam sebuah organisasi. Bentuk_bentuk ketidakpastian lingkungan
ini antara lain ketidakpastian ekonomi berpengaruh terhadap seberapa besar
pendapatan yang diterima oleh karyawan maupun reward yang diterima
karyawan, ketidakpastian politik berpengaruh terhadap keadaan dan
kelancaran organisasi yang dijalankan, ketidakpastian teknologi berpengaruh
terhadap kemajuan suatu organisasi dalam penggunaan teknologinya, dan
ketidakpastian keamanan berpengaruh terhadap posisi dan peran
organisasinya.
b. Faktor Organisasi
Beberapa faktor organisasi yang menjadi potensi sumber stres antara
lain:
1) Tuntutan tugas dalam hal desain pekerjaan individu, kondisi kerja, dan tata
letak kerja fisik.
2) Tuntutan peran yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada
seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam sebuah
organisasi termasuk beban kerja yang diterima seorang individu.
3) Tuntutan antar-pribadi, yang merupakan tekanan yang diciptakan oleh
karyawan lain seperti kurangnya dukungan sosial dan buruknya hubungan
antar pribadi para karyawan.
4) Struktur organisasi yang menentukan tingkat diferensiase dalam
organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan di mana keputusan di ambil.
Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi individu dalam
pengambilan keputusan merupakan potensi sumber stres.
5) Kepemimpinan organisasi yang terkait dengan gaya kepemimpinan atau
manajerial dan eksekutif senior organisasi. Gaya kepemimpinan tertentu
dapat menciptakan budaya yang menjadi potensi sumber stres.
c. Faktor Individu
Faktor individu menyangkut dengan faktor-faktor dalam kehidupan
pribadi individu. Faktor tersebut antara lain persoalan keluarga, masalah
ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian bawaan. Menurut Robbins
(2006) Setiap individu memiliki tingkat stres yang berbeda meskipun
diasumsikan berada dalam faktor-faktor pendorong stres yang sama.
Perbedaan individu dapat menentukan tingkat stress yang ada. Secara teoritis
faktor perbedaan individu ini dapat dimasukkan sebagai variable intervening.
Ada lima yang dapat menjadi variabel atau indikator yang dapat digunakan
dalam mengukur kemampuan individu dalam menghadapi stres yaitu
pengalaman kerja merupakan pengalaman seorang individu dalam suatu
pekerjaan dan pendidikan yang ditekuninya, dukungan sosial merupakan
dukungan atau dorongan dari dalam diri sendiri maupun orang lain untuk
menghadapi masalah-masalah yang dialaminya termasuk bagaimana motivasi
dari dalam diri individu maupun dari luar individu, ruang (locus) kendali
merupakan cara bagi seorang individu mengendalikan diri untuk menghadapi
masalah yang ada, keefektifan dan tingkat kepribadian orang dalam
menyingkapi permusuhan dan kemarahan.
Tingkat stres juga terkait dengan penerapannya pengelolaan stres di
dalam sebuah organisasi. Pendekatan pengelolaan stres ini dapat dijadikan
variabel penelitian, untuk melihat pengaruh penerapan pendekalan ini terhadap
tingkat stres pada organisasi. Dua pendekatan dan indikatornya sebagai berikut
(Robbins, 2006)
1) Pendekatan Individu
Penerapan pendekatan ini dalam sebuah perusahaan dapat dilihat
dari beberapa indikator yaitu dari pelaksanaan teknik-teknik manajemen
waktu yang efektif dan efisien, adanya latihan fisik nan kompetitif seperti
joging, aerobik, berenang, adanya kegiatan pelatihan pengenduran
(relaksasi) seperti meditasi, hipnotis dan biofeedback, dan adanya
perluasan jaringan dukungan sosial.
2) Pendekatan Organisasi
Penerapan pendekatan ini dalam sebuah perusahaan dapat dilihat
dari beberapa indikator yaitu adanya perbaikan mekanisme seleksi personil
dan penempatan kerja, penggunaan penetapan sasaran yang realistis,
adanya perancangan ulang pekerjaan yang dapat memberikan karyawan
kendali yang besar dalam pekerjaan yang mereka tekuni, adanya
peningkatan keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan, adanya
perbaikan komunikasi organisasi yang dapat mengurangi ambiguitas peran
dan konflik peran, dan penegakan program kesejahteraan korporasi yang
memusatkan perhatian pada keseluruhan kondisi fisik dan mental
karyawan

Dampak Stres

Stres pada dosis yang kecil dapat berdampak positif bagi individu. Hal ini
dapat memotivasi dan memberikan semangat untuk menghadapi tantangan.
Sedangkan stres pada level yang tinggi dapat menyebabkan depresi, penyakit
kardiovaskuler, penurunan respon imun, dan kanker (Jenita DT Donsu, 2017).
Menurut Priyono (2014) dampak stres dibedakan dalam tiga kategori,
yaitu :
a. Dampak fisiologik
1) Gangguan pada organ tubuh hiperaktif dalam salah satu system tertentu
a) Muscle myopathy : otot tertentu mengencang/melemah.
b) Tekanan darah naik : kerusakan jantung dan arteri.
c) Sistem pencernaan : mag, diare.
2) Gangguan system reproduksi
a) Amenorrhea : tertahannya menstruasi.
b) Kegagalan ovulasi ada wanita, impoten pada pria, kurang produksi
semen pada pria.
c) Kehilangan gairah sex.
3) Gangguan lainnya, seperti pening (migrane), tegang otot, rasa bosan, dll.
b. Dampak psikologik
1) Keletihan emosi, jenuh, penghayatan ini merpakan tanda pertama dan
punya peran sentral bagi terjadinya burn-out.
2) Kewalahan/keletihan emosi.
3) Pencapaian pribadi menurun, sehingga berakibat menurunnya rasa
kompeten dan rasa sukses.
c. Dampak perilaku
1) Manakala stres menjadi distres, prestasi belajar menurun dan sering terjadi
tingkah laku yang tidak diterima oleh masyarakat.
2) Level stres yang cukup tinggi berdampak negatif pada kemampuan
mengingat informasi, mengambil keputusan, mengambil klangkah tepat.
3) Stres yang berat seringkali banyak membolos atau tidak aktif mengikuti
kegiatan pembelajaran.

Jenis-jenis Stres


Menurut Jenita DT Donsu (2017) secara umum stres dibagi menjadi dua
yaitu :
a. Stres akut
Stres yang dikenal juga dengan flight or flight response. Stres akut adalah
respon tubuh terhadap ancaman tertentu, tantangan atau ketakutan. Respons
stres akut yang segera dan intensif di beberapa keadaan dapat menimbulkan
gemetaran.
b. Stres kronis
Stres kronis adalah stres yang lebih sulit dipisahkan atau diatasi, dan efeknya
lebih panjang dan lebih.
Menurut Priyoto (2014) menurut gejalanya stres dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Stres Ringan
Stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur,
seperti banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan. Situasi stres
ringan berlangsung beberapa menit atau jam saja.
Ciri-ciri stres ringan yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam,
energy meningkat namun cadangan energinya menurun, kemampuan
menyelesaikan pelajaran meningkat, sering merasa letih tanpa sebab, kadang-
kadang terdapat gangguan sistem seperti pencernaan, otak, perasaan tidak
santai. Stres ringan berguna karena dapat memacu seseorang untuk berpikir
dan berusaha lbih tangguh menghadapi tantangan hidup.
b. Stres Sedang
Stres sedang berlangsung lebih lama daripada stress ringan. Penyebab
stres sedang yaitu situasi yang tidak terselesaikan dengan rekan, anak yang
sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga. Ciri-ciri stres
sedang yaitu sakit perut, mules, otot-otot terasa tengang, perasaan tegang,
gangguan tidur, badan terasa ringan.
c. Stres Berat
Stres berat adalah situasi yang lama dirasakan oleh seseorang dapat
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan, seperti perselisihan
perkawinan secara terus menerus, kesulitan financial yang berlangsung lama
karena tidak ada perbaikan, berpisah dengan keluarga, berpindah tempat
tinggal mempunyai penyakit kronis dan termasuk perubahan fisik, psikologis
sosial pada usia lanjut.
Ciri-ciri stres berat yaitu sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial,
sulit tidur, negatifistic, penurunan konsentrasi, takut tidak jelas, keletihan
meningkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana, gangguan sistem
meningkatm perasaan takut meningkat

Pengertian Stres


Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh
perubahan dan tuntutan kehidupan (Vincent Cornelli, dalam Jenita DT Donsu,
2017). Menurut Charles D. Speilberger, menyebutkan stres adalah tuntutan-
tuntutan eksternal yang mengenai seseorang misalnya objek dalam lingkungan
atau sesuatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga bias
diartikan sebagai tekanan, ketegangan, gangguan yang tidak menyenangkan yang
berasal dari luar diri seseorang (Jenita DT Donsu, 2017).
Cofer & Appley (1964) menyatakan bahwa stres adalah kondisi organik
seseorang pada saat ia menyadari bahwa keberadaan atau integritas diri dalam
keadaan bahaya, dan ia harus meningkatkan seluruh energy untuk melindungi diri
(Jenita DT Donsu, 2017). Cranwell-Ward (1987) menyebutkan stres sebagai
reaksi-reaksi fisiologik dan psikologik yang terjadi jika orang mempersepsi suatu
ketidakseimbangan antara tingkat tuntutan yang dibebankan kepadanya dan
kemampuannya untuk memenuhi tuntutan itu (Jenita DT Donsu, 2017).
Anggota IKAPI (2007) menyatakan stres adalah reaksi non-spesifik
manusia terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus stressor). Stres merupakan
suatu reaksi adaptif, bersifat sanga individual, sehingga suatu stres bagi seseorang
belum tentu sama tanggapannya bagi orang lain (Jenita DT Donsu, 2017). Stres
adalah segala sesuatu di mana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang
individu untuk merespons atau melakukan tindakan (Potter dan Perry, dalam
Jenita DT Donsu, 2017). Menurut Hawari (2008) bahwa Hans Selve menyatakan
stres adalah respon tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan
beban atasnya (Jenita DT Donsu, 2017).
Stres didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang
dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat
dapat mempengaruhi keadaan fisik manusia tersebut. Stres dapat dipandang dalam
dua acara, sebagaiu stres baik dan stres buruk (distres). Stres yang baik disebut 9
stres positif sedangkan stres yang buruk disebut stres negatif. Stres buruk dibagi
menjadi dua yaitu stres akut dan stres kronis (Widyastuti, Palupi, 2004). Menurut
WHO (2003) stres adalah reaksi/respon tubuh terhadap stressor psikososial
(tekanan mental/beban kehhidupan (Priyoto, 2014)

Instrumen Pengukuran Stres Kerja Perawat


Menurut Harsono dalam (Khusnah, 2018) Setiap individu memiliki
tingkatan stres yang berbeda-beda tergantung dari stresor yang dihadapi.
Pengukuran skala stres kerja diperlukan untuk mengetahui sejauh mana
tingkatan stres yang dihadapi oleh seseorang. Ada beberapa pengukuran
stres kerja dari beberapa penelitian diantaranya adalah

  1. Occupational Stress Inventory-Revised Edition (OSI-R), merupakan
    alat ukur hasil dari satu model stres yang menggabungkan variabel
    utama yang berdampak pada stres atau hasil dari kegagalan dan
    kuesioner ini berpotensi memberikan data komparatif diseluruh
    kelompok profesional. Terdapat tiga dimensi keseluruhan terkait atau
    faktor yang saling terkait dalam penyesuain pekerjaan seperti tekanan
    kerja, ketegangan pribadi dan sumber daya koping. OSI- R terdiri atas
    25 penyataan dengan 5 skala likert poin yang digunakan (Hicks et al,
    2010)
  2. Nursing Stress Scale (NSS), merupakan instrumen penilaian stres
    pada perawat dalam menjalankan tugasnya yang mempunyai tujuh
    sub-skala yang diukur dengan frekuensi stres yang dialami oleh
    perawat di lingkungan rumah sakit. Nursing Stress Scale terdiri dari 34
    pernyataan dengan alternatif jawaban menggunakan 4 skala likert (Toft
    dan Anderson, 1981)
  3. Expanded Nursing Stress Scale (ENSS) merupakan instrumen
    penilaian stres khusus bagi perawat dan disesuaikan dengan
    karakteristik pekerjaan perawat. Expanded Nursing Stress Scale terdiri
    atas 57 pertanyaan yang diisi oleh repsonden dengan alternatif
    jawaban menggunakan skala likert 5 poin yang digunakan (French et
    al, 2000). Expanded Nursing Stress Scale merupakan kuesioner
    kombinasi dari Nursing stress Scale (NSS) yang dikembangkan oleh
    Toft dan Anderson (1981) dan Expanded Nursing Stress Scale (ENSS)
    dikembangkan oleh French et al (2000). Expanded Nursing Stress
    Scale versi Bahasa Indonesia tersebut telah divalidasi dan memiliki
    reliabilitas yang baik (Harsono, 2017). Expanded Nursing Stress Scale
    versi Bahasa Indonesia terdiri atas 57 pertanyaan yang diisi oleh
    repsonden dengan alternatif jawaban menggunakan skala likert 5 poin
    yang digunakan, dengan angka mulai dari :
    0 hal yang dimaksud dalam pernyataan yang tidak dijumpai oleh
    responden.
    1 hal yang dimaksud dalam pernyataan tidak menyebabkan stres
    2 hal yang dimaksud dalam pernyataan sesekali/kadang membuat
    stres.
    3 hal yang dimaksud dalam pernyataan sering membuat stres.
    4 hal yang dimaksud dalam penyataan sangat/selalu membuat stres.
    Nilai alpha Cronbach kuesioner dalam penelitian sebelumnya didapat
    dari uji reabilitas yang dilakukan secara bersama terhadap seluruh butir
    pertanyaan dalam angket (kuisioner) peneltian adalah 0,956 (reliabel
    atau konsisten).

Manajemen Stres Dalam Organisasi


Manajemen stres merupakan kemampuan penggunaan sumber
daya secara efektif untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental
dan emosional yang muncul karena tanggapan (respons). Adapun tujuan
dari manajemen stres adalah mencegah timbulnya stres dari karyawan,
menampung akibat fisiologikal dari stres, untuk memperbaiki kualitas
hidup karyawan agar menjadi lebih baik, serta untuk mencegah
berkembangnya stres jangka pendek menjadi stres jangka panjang atau
stres yang kronis (Asih, Widhiastuti dan Dewi, 2018).
Menurut Dyannda (2019) strategi manajemen yang dapat
dilakukan guna mengurangi Stress kerja dalam organisasi diantaranya
sebagai berikut:

  1. Meningkatkan komunikasi. Meningkatkan komunikasi yang efektif
    antara manajer dan karyawan dapat mengurangi ketidakjelasan peran
    dan konflik peran, akan tampak garis-garis tugas dan tanggung jawab
    yang jelas atara keduanya.
  2. Sistem penilaian dan ganjaran yang efektif. Ketika karyawan fungsi
    ganjaran yang diberikan kepada mereka, dengan begitu akan
    menyadari bahwa ganjaran atau penilian yang diberikan berhubungan
    dengan prestasi kerjanya.
  3. Meningkatkan prestasi. Pengelola perlu meningkatkan partisipasi
    karyawan terhadap pengambilan keputusan sehingga setiap karyawan
    yang ada dalam organisasi mempunyai tanggung jawab dan dapat
    meyumbangkan pikiran atau gagasan-gasannya, dengan begitu dapat
    meningkatkan prestasi yang dapat mengurangi stres kerjanya.
  4. Memperkaya tugas. Manajer perlu memberikan dan mempkaya tugas
    kepada karyawan agar mereka dapat lebih bertanggung jawab, lebih
    mempunyai makna tugas yang dikerjakannya dan lebih baik dalam
    melaksanakan pengendalian serta umpan balik terhadap produktivitas
    kerja karyawan.
  5. Mengembangkan keterampilan, kepribadian dan pekerjaan.
    Merupakan salah satu cara untuk mengelola stres kerja.
    Pengembangan keterampilan dapat diperoleh melalui latihan-latihan
    yang sesuai dengan kebutuhan karyawan dan organisasi atau
    pengembangan kepribadian yang dapat mendukung usaha
    pengembangan pekerjaan baik secara kuantitas maupun kualitas

Dampak Stres Kerja


Menurut Asih, Widhiastuti dan Dewi (2018) mengutip dari Waluyo,
(2009:163), pada umumnya stress kerja lebih banyak merugikan karyawan
maupun perusahaan atau organisasi. Pada diri karyawan, konsekuensi
tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi,
frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya
berhubungan aktivitas kerja saja, akan tetapi dapat meluas ke aktivitas
lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera
makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.
Menurut Pangestuningsih (2018), kerugian yang sering dilaporkan akibat
aktivitas kerja, yang berdampak langsung pada produktivitas adalah:

  1. Psikologis: depresi, kelelahan, kegelisahan kronis, konflik pribadi yang
    meningkat akibat pikiran negatif, ketidaksabaran, apatis, amarah, dan
    permusuhan, keletihan (capek, depresi, menarik dirim dan
    ketidakpedulian).
  2. Fisik: naiknya tekanan darah dan masalah sistem kardiovaskular,
    aktivitas pencernaan yang berlebih-kadar asam yang berlebih, tukak
    lambung, usu pedih, diare, sakit kepala, ruam, gatal-gatal, kelelahan
    yang tidak dapat dijelaskan, infeksi yang semakin parah karena sistem
    kekebalan melemah, masalah kesehatan gigi, karena gigi dan rahang
    terkatup rapat
  3. Perilaku (masalah pribadi): reaksi irasional terhadap pernyataan atau
    tindakan rekan, sifat suka memerintah, temperamental, rawan
    kecelakaan karena kurang konsentrasi, penggunaan zat penenang
    alkohol dan rokok, tertawa yang berlebih
  4. Bagi organisasi atau tempat kerja: angka absensi tinggi, produktifitas
    kerja menurun, kualitas layanan dan tingkat kepuasan berkurang,
    penurunan omset/pendapatan, komitmen organisasi dan loyalitas
    berkurang

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja


Munandar Asih, Widhiastuti dan Dewi (2018) mengungkapkan
bahwa faktor pembuat stres dalam lingkungan kerja adalah sebagai
berikut:

  1. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, diantaranya:
    a. Tuntutan fisik (bising, paparan, getaran, dan hygiene). Tuntutan
    fisik diartikan sebagai kondisi fisik kerja yang mempunyai pengaruh
    terhadap kondisi psikologis dan fisiologis diri seorang tenaga kerja.
    Kondisi fisik merupakan penyebab stres (stressor) yang meliputi:
    1) Bising yang dapat menimbulkan gangguan sementara atau
    tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan sumber
    stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan
    ketidakseimbangan psikologis.
    2) Paparan (exposure) terhadap bising berkaitan dengan rasa
    lelah, sakit kepala lekas tersinggung, dan ketidakmampuan
    untuk berkonsentrasi.
    3) Getaran yang merupakan sumber stres yang kuat yang
    menyebabkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan
    dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan
    neurological.
    4) Hygiene yang merupakan lingkungan yang kotor dan tidak sehat
    merupakan penyebab stres, hal ini dinilai oleh para pekerja
    sebagai faktor tinggi penyebab stres.
    b. Tuntutan tugas (shift kerja,lamanya seseorang bekerja dan beban
    kerja berlebih ataukah sedikit)
    1) kerja shift kerja malam yang merupakan sumber utama dari
    stres kerja yang berpengaruh secara emosional dan biological
    2) Beban kerja terbagi atas dua macam yaitu beban kerja yang
    berlebihan (overload) dan beban kerja yang kurang
    (underoverload). Beban kerja yang berlebihan dapat dilihat
    melalui kondisi dari banyaknya pekerjaan yang harus
    dikerjakan dalam waktu yang terbatas/ ditentukan atau suatu
    pekerjaan yang sulit untuk dikerjakan karena kurangnya
    kemampuan, sedangkan beban kerja yang kurang diakibatkan
    adanya pekerjaan yang secara rutin/ monoton, yang pada
    akhirnya mengakibatkan kebosanan pada pekerja
    3) Paparan terhadap risiko dan bahaya yang dikaitkan dengan
    kelompok jabatan tertentu yang dianggap memiliki risiko tinggi
    dan merupakan sumber stres. Makin besar kesadaran akan
    bahaya dalam pekerjaannya makin besar depresi dan
    kecemasan pada pekerja
  2. Peran individu dalam organisasi, meliputi:
    a. Konflik peran. Stres timbul karena ketidakcakapannya untuk
    memenuhi tuntutan dan berbagai harapan terhadap dirinya. Konflik
    peran yang menimbulkan stres juga karena ketidakjelasan peran
    dalam bekerja dan tidak tahu yang diharapkan oleh manajemen,
    akibatnya sering muncul ketidakpuasan kerja, ketegangan,
    menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk
    meninggalkan pekerjaan.
    b. Ambiguitas peran (role ambiguity). Ambiguitas peran (role
    ambiguity) disarankan jika seorang pekerja tidak memiliki cukup
    informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti
    atau merealisasi harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.
    Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kebingungan peran antara
    lain ketidakjelasan dari sasaran/ tujuan kerja, kesamaran tentang
    tanggung jawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja, kesamaran
    tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, dan kurang adanya
    timbal balik atau ketidakpuasan tentang pekerjaan.
  3. Pengembangan karier. Pengembangan karier merupakan penyebab
    stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi
    berlebih, dan promosi yang kurang. Promosi merupakan salah satu
    cara perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pekerjaannya.
  4. Hubungan dalam pekerjaan. Hubungan yang baik dengan kelompok
    kerja dianggap sebagai faktor utama dalam menjaga kesehatan
    organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-
    gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support
    yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah
    dalam organisasi.
  5. Struktur dan iklim organisasi. Pekerja mempersepsikan kebudayaan,
    kebiasaan, dan iklim organisasi adalah penting dalam memahami
    sumber-sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka
    dalam organisasi. Faktor stres yang ditemukan dalam kategori ini
    terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan
    serta dalam organisasi.
  6. Tuntutan dari luar pekerjaan. Kategori penyebab stres potensial ini
    mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang berinteraksi
    dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu
    organisasi, dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu,
    Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan,
    keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara
    tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat
    merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya.
  7. Karakterisitik individu
    a. Umur. Bertambahnya umur maka akan meningkat pula kemampuan
    membuat keputusan, berpikir rasional, semakin bijaksana, mampu
    mengendalikan emosi, lebih toleran, dan terbuka dengan
    pandangan atau pendapat orang lain. Hal tersebut akan terlihat
    saat individu sedang dalam tekanan atau ketika beban kerja
    meningkat, yang bisa memicu terjadinya stres kerja.
    b. Jenis kelamin. Jenis kelamin berhubungan dengan karakteristik
    fisik, psikologis dan sosial antara laki-laki dan perempuan. Tidak
    ada perbedaan yang konsisten antara pada laki-laki dan
    perempuan dalam hal kemampuan berfikir, menyelesaikan
    masalah, menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, motivasi,
    keterampilan dan analisis. Jadi baik laki-laki maupun perempuan
    bisa saja mengalami stres kerja, tergantung kemampuannya
    menyesuaikan diri dengan dunia kerja dan mekanisme koping.
    Namun, jika dikaitakan dengan peran ganda, pada perempuan
    yang bekerja dan sudah berkeluarga, tentunya tanggung jawabnya
    menjadi lebih besar, tuntutannya lebih tinggi, sehingga bisa
    menyebabkan stres, dan dipengaruhi dengan kemampuan
    beradaptasi dan mekanisme koping dari individu tersebut.
    c. Tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan pengalaman seseorang
    dalam mengembangkan kemampuan dan meningkatkan
    intelektualitas, yang artinya semakin tinggi tingkat pendidikan maka
    semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keahliannya dalam
    menyelesaikan masalah yang dihadapi, mengatasi tekanan atau
    beban kerja yang dihadapinya, mampu menyesuaikan diri terhadap
    pekerjaanya, dan pada akhirnya mampu mengontrol stres yang
    dialaminya.
    d. Status perkawinan. Status perkawinan mempunyai hubungan
    dengan tanggung jawab dan kinerja pegawai, bagi yang sudah
    menikah, pekerjaan menjadi hal yang lebih utama dibandingkan
    bagi yang belum menikah. Individu yang sudah menikah jika
    mendapat dukungan dari keluarga, ada pasangan untuk bertukar
    pikiran dan berbagi tentang masalah pekerjaannya, tentunya dapat
    mengurangi stresnya di tempat kerja. Jadi, dukungan keluarga
    bermanfaat untuk menurunkan stres kerja seseorang.
    e. Lama kerja atau masa kerja. Lama kerja berkaitan dengan
    pengalaman kerja, yaitu berbagai peristiwa yang dialami seseorang
    selama bekerja dan hal tersebut bisa dijadikan pelajaran untuk
    meningkatkan kualitas pekerjaan. Pengalaman kerja yang lebih
    lama, akan meningkatkan keterampilan seseorang dalam bekerja,
    semakin mudah menyesuaikan dengan pekerjaannya, sehingga
    mampu menghadapi tekanan dalam bekerja

Tingkatan Stres Kerja


Stres sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Mungkin tidak ada
manusia biasa yang belum pernah merasakan stres. Stres kini menjadi
manusiawi selama tidak berlarut-larut berkepanjangan. Berdasarkan
gejalanya, stres dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

  1. Stres Ringan
    Stres ringan yaitu stresor yang dihadapi setiap orang secara
    teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu-lintas, kritikan dari
    atasan. Situasi seperti ini biasanya berlangsung beberapa menit atau
    jam. Stresor ringan biasanya tidak disertai timbulnya gejala yaitu
    semangat meningkat, penglihatan tajam, namun cadangan energinya
    menurun, kemampuan menyelesaikan pelajaran meningkat, sering
    merasa letih tanpa sebab, kadang-kadang terdapat gangguan sistem
    seperti pencernaan,otot, perasaan tidak santai.
  2. Stres Sedang
    Stres sedang berlangsung lebih lama dari beberapa jam
    sampai beberapa hari. Situasi perselisihan yang tidak terselesaikan
    dengan rekan,anak yang sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari
    anggota keluarga merupakan penyebab stres sedang. Ciri-cirinya yaitu
    sakit perut, mules, otot-otot terasa tegang, perasaan tegang, gangguan
    tidur, badan terasa ringan.
  3. Stres Berat
    Stres berat merupakan situasi kronis yang dapat berlangsung
    beberapa minggu sampai beberapa bulan, seperti perselisihan
    perkawinan terus menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan,
    berpisah dengan keluarga, berpindah tempat tinggal, mempunyai
    penyakit kronis dan termasuk perubahan fisik, psikologis, sosial pada
    usia lanjut. Makin sering dan makin lama situasi stres, maka makin
    tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Stres yang berkepanjangan
    dapat mempengaruhi kemampuan untuk meyelesaikan tugas
    perkembangan. Ciri-cirinya yaitu sulit beraktivitas, gangguan
    hubungan sosial, sulit tidur, penurunan konsentrasi, takut tidak jelas,
    keletihan meningkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana,
    gangguan sistem meningkat, perasaan takut meningkat (Sheila,2020).

Tahapan stres


Stres memiliki 6 tahapan, yaitu sebagai berikut:

  1. Stres tahap I
    Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan
    biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut:
    a) Semangat bekerja besar, berlebihan (overacting)
    b) Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasa
    c) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari
    biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan
    (allout) disertai rasa gugup yang berlebihan
    d) Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin
    bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi
    semakin menipis.
  2. Stres tahap II
    Dalam tahapan ini dampak stress yang semula “ menyenangkan”
    sebagaimana diuraikan pada tahap I diatas mulai menghilang, dan
    timbul kehilangan keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan
    energy tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu
    untuk istirahat.Istirahat antara lain dengan tidur dengan cukup
    dengan manfaat untuk mengisi atau memulihkan cadamgan
    energi yang mengalami pengurangan. Keluhan-keluhan yang sering
    dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah
    sebagai berikut:
    a) Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa
    segar
    b) Merasa mudah lelah sesudah makan
    siang c) Lekas merasa letih menjelang sore
    hari
    d) Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman
    e) Detakan jantung lebih keras saat biasanya (berdebar-debar)
    f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa
    tegang
    g) Tidak bisa capek.
  3. Stres tahap III
    Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
    menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres
    tahap II diatas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-
    keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu:
    a) Gangguan lambung dan usus semakin nyata, misalnya
    keluhan seperti maag (gastritis), buang air besar tidak teratur (diare)
    b) Ketegangan otot-otot semakin terasa
    c) Perasaan ketidaktenangan dan emosional semakin
    meningkat d) Gangguan pola tidur (insomnia)
    e) Koordinasi tubuh terganggu (kepala terasa oyong dan serasa
    mau pingsan).
  4. Stres tahap IV
    Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri kedokter
    sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III diatas, oleh dokter
    dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik
    pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan bersangkutan terus
    memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala
    stres tahap IV akan muncul:
    a) Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat
    sulit
    b) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan
    mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit
    c) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi
    kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate)
    d) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-
    hari
    e) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi
    yang menegangkan
    f) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun
    g) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak
    dapat dijelaskan apa penyebabnya.
  5. Stres tahap V
    Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam
    stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut:
    a) Kelelahan fisik dan mental semakin mendalam
    b) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari
    yang ringan dan sederhana
    c) Gangguan sistem pencernaan semakin
    berat
    d) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang
    semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
  6. Stres tahap VI
    Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami
    serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang
    orang yang mengalami stres tahap IV ini berulang kali dibawa ke Unit
    Gawat Darurat (UGD) bahkan ke Intensive Coronary Care Unit
    (ICCU), meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan
    kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap IV ini adalah sebagai
    berikut:
    a) Debaran jantung teramat keras
    b) Susah bernafas (sesak dan megap-
    megap)
    c) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat
    becucuran
    d) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
    e) Pingsan

Gejala stres kerja


Gejala stres diungkapkan oleh (Antonius, 2020) dalam
Mahendra,Sheila Intan (2021) tentang gejala stres meliputi hal-hal sebagai
berikut:

  1. Gejala fisik
    Yang termasuk dalam gejala-gejala fisik diantaranya adalah detak
    jantung dan tekanan darah yang meningkat, sekresi adrenalin dan
    non adrenalin yang meningkat, muncul gangguan perut, timbul
    kelelahan fisik, kematian, munculnya penyakit kardiovaskular,
    munculnya masalah pernafasan, keluar keringat berlebihan, adanya
    gangguan kulit, sakit kepala dan gangguan tidur.
  2. Gejala mental
    Yang termasuk dalam gejala-gejala mental diantaranya adalah
    timbul kecemasan, ketegangan, kebingungan, mudah tersinggung,
    perasaan frustasi, marah, kesal, emosi menjadi sensitif, hiperaktif,
    perasaan menjadi tertekan, kemampuan berkomunikasi secara efektif
    menurun, menarik diri dan depresi, merasa terasingkan, bosan,
    mengalami ketidakpuasaan dalam bekerja, muncul kelelahan mental
    dan menurunnnya fungsi intelektual, kemampuan konsentrasi
    bekurang, spontanitas dan kreativitas menghilang, serta menurunnya
    harga diri.
  3. Gejala sosial atau perilaku
    Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku adalah bermalas-
    malasan dan berupaya menghindari pekerjaan, kinerja dan
    produktivitas kerja menurun, ketergantungan pada alkohol meningkat,
    melakukan sabotase pada pekerjaan, makan berlebihan sebagai upaya
    pelarian diri dari masalah, mengurangi makan sebagai bentuk perilaku
    penarikan diri dan mungkin berkombinasi dengan depresi, kehilangan
    selera makan dan menurunnya berat badan, meningkatnya perilaku
    beresiko tinggi, agresif, hubungan yang tidak harmonis dengan teman
    dan keluarga, kecenderungan untuk melakukan bunuh diri (Antonius,
    2020).

Jenis-jenis Stres


Menurut Asih, Widhiastuti dan Dewi (2018) mengutip dari
Berney dan Selye dalam Dewi (2012), mengungkapkan ada empat jenis
stres:

  1. Eustres (goodstres). Merupakan stres yang menimbulkan stimulus dan
    kegairahan, sehingga memiliki efek yang bermanfaat bagi individu
    yang mengalaminya. Contohnya seperti: tantangan yang muncul dari
    tanggung jawab yang meningkat, tekanan waktu dan tugas yang
    berkualitas tinggi.
  2. Distress. Merupakan stres yang memunculkan efek yang
    membahayakan bagi individu yang mengalaminya, seperti: tuntutan
    yang tidak menyenangkan atau berlebihan yang menguras energi
    individu sehingga membuatnya menjadi lebih mudah jatuh sakit.
  3. Hyperstress. Yaitu stres yang berdampak luar biasa bagi yang
    mengalaminya. Meskipun dapat bersifat positif atau negatif, tetapi stres
    ini tetap saja membuat individu terbatasi kemampuan adaptasinya.
    Contohnya adalah stres akibat serangan teroris.
  4. Hypostress. Merupakan stres yang muncul akibat kurangnya stimulasi.
    Contohnya seperti: stres karena bosan atau karena pekerjaan yang
    rutin

Konsep Stres Kerja


Stres adalah kondisi fisik dan psikologis yang disebabkan karna
adaptasi pada lingkungan (Musu, Murharyati dan Saelan, 2021).
sedangkan menurut. Stres adalah respon tubuh yang sifatnya non-spesifik
terhadap setiap rangsangan atau tekanan (Muafi, 2020), sedangkan stres
kerja menurut Badri (2020) adalah suatu bentuk tanggapan seseorang,
baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan dilingkungannya yang
dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah kemampuan diri
karyawan secara fisiologis maupun psikologis terhadap keinginan atau
permintaan organisasi yang dapat menyebabkan tekanan terhadap
produktivitas dan lingkunan kerja serta dapat mengganggu individu.