Unsur tindak pidana dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan monistis
dan pandangan dualistis, sebagai berikut:
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk
adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan.25
Unsur-unsur tindak pidana menurut pandangan monistis meliputi:26
a. Ada perbuatan
b. Ada sifat melawan hukum;
c. Tidak ada alasan pembenar;
d. Mampu bertanggungjawab;
e. Kesalahan;
f. Tidak ada alasan pemaaaf.
- Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan
sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang
dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hokum tanpa
adanya suatu dsar pembenar.
Unsur- unsur tindak pidana menurut pandangan dualistis meliputi: 27
a. Adanya perbuatan yang mencocoki rumusan delik
b. Ada sifat melawan hokum
c. Tidak ada alasan pembenar
Selanjutnya unsur- unsur pertanggungjawaban pidana meliputi:28
a. Mampu bertanggungjawab
b. Kesalahan
c. Tidak ada alasan pemaaf
Unsur- unsur tindak pidana, antara lain: - Ada Perbuatan yang Mencocoki Rumusan Delik
Perbuatan manusia dalam arti luas adalah menenai apa yang dilakukan, apa
yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian.
Oleh karena itu, mencocoki rumusan delik yaitu mencocoki unsur-unsur yang
ada dalam pasal yang didakwakan, termasuk unsure perbuatan maupun
pertanggungjawaban pidananya. - Ada Sifat Melawan Hukum
Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
a. Sifat melawan hukum umum
Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana dalam rumusan
pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia
yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat
dicela.
b. Sifat melawan hukum khusus
Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik
dinamakan: sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan
hukum facet”.
c. Sifat melwan hukum formal
Istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah
dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).
d. Sifat melawan hukum materil
Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. - Tidak Ada Alasan Pembenar
Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, artinya
meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang, dengan lain perkataan alasan pembenar
menghapuskan dapat di pidananya perbuatan.
Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembenar, antara lain:
a. Daya paksa absolut
Daya paksa absolut diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa
barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan
yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Dalam penjelasanya,
Jonkers mengatakan daya paksa dikatakan bersifat absolute jika seseorang
tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak
dapat mengelakkannya dan tidak mungkin memilih jalan lain.
b. Pembelaan terpaksa
Perihal pembelaan terpaksa dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
sebagai berikut:
“Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya untuk
mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari
pada serangan yang melawan hukum hak dan mengancam dengan
segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Hal ini sesuai
dengan asas keseimbangan.selain itu, juga dianut asas subsidaritas, artinya
untuk mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan
itu harus mengambil upaya yang paling rinagn akibatnya bagi orang lain.
c. Menjalankan ketentuan undang-undang
Dasar alasan pembenar karena menjalankan ketentuan undang-undang
dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
Pasal 50 KUHP ditujukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan
yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang. Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam
pertimabangan suatu putusan (26-6-1911) yang menyatakan bahwa untuk
menjalankan aturan-aturan undang-undang seorang pegawai negeri
diperkenankan mempergunakan segala alat yang diberikan kepadanya
untuk mematahkan perlawanan.
d. Menjalankan perintah jabatan yang sah
Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana”.
Suatu perintah dikatakan sah, apabila perintah itu berdasarkan tugas,
wewenang, atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.
Disamping itu, antara orang yang diperintah dengan yang memberi
perintah harus ada hubungan jabatan dan subordinas