Teori Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP


Dalam merumuskan pengertian tindak pidana ada beberapa ahli
hukum yang memasukkan perihal kemampuan bertanggungjawab kedalam
unsur tindak pidana20 menjelaskan arti kesalahan, kemampuan
bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin
orang yang normal yang sehat. Dalam KUHP kita tidak ada, ketentuan
tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu
ialah pasal 44 “Barangsiapa melakuakan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya
atau jiwa yang tergantung pada penyakit. Kalau tidak dapat
dipertanggungjawabkannya itu disebabkan oleh hal lain, misalnya jiwanya
tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pada pasal tersebut
tidak dapat dipakai.21
Dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil
kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus
ada:

  1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
    yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
  2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
    tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
    Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual faktor) yang
    dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang
    tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat
    menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang
    diperbolehkan dan mana yang tidak.22
    Sebagai konskuensi maka tentunya orang yang tidak mampu
    menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya
    perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan pidana.
    Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut
    pasal 44 KUHP tadi, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena
    alat-alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya.
    KUHP dalam merumuskan ketidakmampuan bertanggungjawab
    sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat menempuh tiga jalan
    yaitu:
    1) Ditentukan Sebab-Sebab yang Menghapuskan Pemidanaan.
    Menurut system ini, jika tabib (psychiater) telah menyatakan
    bahwa terdakwa adalah gila atau tidak sehat dalam pikirannya, maka
    hakim menyatakan seorang tersebut bersalah dengan menjatuhkan
    pidana.
    2) Menyebukan Akibatnya Saja.
    Disini yang terpenting ialah, apakah dia mampu menginsyafi
    makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu
    yang tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini
    sangat luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. System ini
    dinamakan normative (mempernilai) disini hakimlah yang
    menentukan.
    3) Gabungan dari 1 dan 2.
    Yaitu menyebabkan sebab-sebabnya penyakit jika dan
    penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap tak
    dapat dipertanggungjawabkan padanya. Cara ini yang sering dipakai
    dan juga pasal 44 KUHP juga demikian. Untuk menentukan bahwa
    terdakwa tidak mampu bertanggungjawab tidak cukup ditentukan oleh
    tabib atau hakim itu sendiri, tetapi harus ada kerjasama antara tabib
    dan hakim. Bahwa yang pertama menyebutkan bahwa adanya
    penyakit sedangkan yang kedua mempernilai bahwa penyakit yang
    ada itu sedemikian besarnya, hingga perbuatan tak dapat
    dipertanggungjawabkan kepadanya. Disini dalam pasal 44 tabib
    menentukan adanya gangguan pertumbuhan yang cacat atau adanya
    gangguan karena penyakit, sedangkan hakim mempernilai bahwa
    karena hal-hal tersebut perbuatan terdakwa tak dapat
    dipertanggungjawabkan padanya.23
    Mengenai hal ini haruslah diambil sikap bahwa mengenai
    mampu bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang
    yang diperlukan dalam hal untuk dapat dijatuhkan pidana dan bukan
    hal terjadinya pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu
    dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggungjawab
    ataukah mampu bertanggungjawab. Terjadinya tindak pidana tidak
    serta merta diikuti dengan pidana kepada petindaknya tetapi ketika
    menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan
    pidana bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah
    perhatikan atau persoalkan tentang ketidakmampuan
    bertanggungjawab dan pula haruslah dibuktikan untuk tidak
    dipidananya terhadap pembuatnya