Kriteria Penilaian Kinerja


Bernardin and Russel dalam Samsuddin, (2018:89) menyebutkan 6 kriteria
untuk menilai kinerja karyawan yaitu:

  1. Quality yaitu Tingkatan dimana proses atau penyesuaian pada cara yang ideal
    di dalam melakukan aktifitas atau memenuhi aktifitas yang sesuai harapan.
  2. Quantity yaitu Jumlah yang dihasilkan diwujudkan melalui nilai mata uang,
    jumlah unit, atau jumlah dari siklus aktifitas yang telah diselesaikan.
  3. Timeliness yaitu Tingkatan dimana aktifitas telah diselesaikan dengan waktu
    yang lebih cepat dari yang ditentukan dan memaksimalkan waktu yang ada
    untuk aktifitas lain.
  4. Cost effectiveness yaitu Tingkatan dimana penggunaan sumber daya
    perusahaan berupa manusia, keuangan, dan teknologi dimaksimalkan untuk
    mendapatkan hasil yang tertinggi atau pengurangan kerugian dari tiap unit.
    Ini dapat dilihat seberapa banyak seseorang melakukan efisiensi.
  5. Need for supervision yaitu Tingkatan dimana seorang karyawan dapat
    melakukan pekerjaannya tanpa perlu meminta pertolongan atau bimbingan
    dari atasannya.
  6. Interpersonal impact yaitu Tingkatan dimana seorang karyawan merasa
    percaya diri, punya keinginan yang baik, dan bekerja sama di antara rekan
    kerja

Faktor-faktor yang memengaruhi Kinerja


Menurut Moorhead dan Chung/Megginson, dalam Samsuddin, (2018:79)
kinerja pegawai dipengaruhi oleh beberapa faktor:

  1. Kualitas Pekerjaan (Quality of Work), Merupakan tingkat baik atau buruknya
    sesuatu pekerjaan yang diterima bagi seorang pegawai yang dapat dilihat dari
    segi ketelitian dan kerapihan kerja, keterampilan dan kecakapan.
  2. Kuantitas Pekerjaan (Quantity of Work), Merupakan seberapa besarnya beban
    kerja atau sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh seorang pegawai.
    Diukur dari kemampuan secara kuantitatif didalam mencapai target atau hasil
    kerja atas pekerjaan-pekerjaan baru.
  3. Pengetahuan Pekerjaan (Job Knowledge), Merupakan proses penempatan
    seorang pegawai yang sesuai dengan background pendidikan atau keahlian
    dalam suatu pekerjaan. Hal ini ditinjau dari kemampuan pegawai dalam
    memahami hal-hal yang berkaitan dengan tugas yang mereka lakukan.
  4. Kerjasama Tim (Teamwork), Melihat bagaimana seorang pegawai bekerja
    sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Kerjasama
    tidak hanya sebatas secara vertikal ataupun kerjasama antar pegawai, tetapi
    kerjasama secara horizontal merupakan faktor penting dalam suatu kehidupan
    organisasi yaitu dimana antar pimpinan organisasi dengan para pegawainya
    terjalin suatu hubungan yang kondusif dan timbal balik yang saling
    menguntungkan.
  5. Kreatifitas (Creativity), Merupakan kemampuan seorang pegawai dalam
    menyelesaikan pekerjaannya dengan cara atau inisiatif sendiri yang dianggap
    mampu secara efektif dan efisien serta mampu menciptakan perubahanperubahan baru guna perbaikan dan kemajuan organisasi.
  6. Inovasi (Inovation), Kemampuan menciptakan perubahan-perubahan baru
    guna perbaikan dan kemajuan organisasi. Hal ini ditinjau dari ide-ide
    cemerlang dalam mengatasi permasalahan organisasi.
  7. Inisiatif (Initiative), melingkup beberapa aspek seperti kemampuan untuk
    mengambil langkah yang tepat dalam mengahadapi kesulitan, kemampuan
    untuk melakukan sesuatu pekerjaan tanpa bantuan, kemampuan untuk
    mengambil tahapan pertama dalam kegiatan.

Pengertian Kinerja Karyawan


Nurhasanah et al., (2021: 137) Kinerja adalah proses dan hasil kerja (output
baik kualitas maupun kuantitas) yang dicapai pegawai persatu periode waktu dalam
melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya.
Menurut Simamora dalam Nurhasanah et al., (2021:137) Kinerja adalah suatu
konsep yang bersifat universal yang merupakan efektivitas operasional suatu
organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan standar yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Sukmalana dalam Samsuddin, (2018:78) memberikan pengertian kinerja
sebagai sesuatu yang dikerjakan dan dihasilkan dalam bentuk produk maupun jasa
dalam periode tertentu dan ukuran tertentu oleh seseorang atau kelompok orang
didasarkan pada kecakapan, kemampuan, pengetahuan maupun pengalamannya.
Siagian, (2002: 95) menyatakan bahwa kinerja dapat diartikan sebagai
prestasi atau kemampuan seseorang yang mencakup unsur-unsur keandalan,
prakarsa, inovasi, ketelitian, hasil kerja, kehadiran, sikap, kerja sama, kerapian,
mutu pekerjaan dan lain-lain.

Kinerja Karyawan


Samsuddin, (2018: 75) menyatakan bahwa Kinerja karyawan merupakan
tingkat keberhasilan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Kesuksesan dan kinerja suatu perusahaan bisa dilihat dari kinerja yang telah dicapai
oleh karyawannya, oleh sebab itu perusahaan menuntut agar para karyawannya
mampu menampilkan untuk kinerja yang optimal.

Indikator Gaya kepemimpinan


Veitzhal, (2012: 53) mengemukakan bahwa seorang pemimpin dalam
menerapkan kepemimpinannya harus bisa dan mampu secara dewasa
melaksanakan kedewasaan terhadap instansi atau organisasinya, kepemimpinan
dibagi kedalam lima indikator, yaitu:

  1. Kemampuan untuk membina kerjasama dan hubungan yang baik
    a. Membangun kerja sama serta hubungan yang baik dengan bawahan
    dalam melaksanakan tugas yang sudah menjadi tanggung jawab.
    b. Kompetensi seorang pemimpin dalam mendorong bawahannya.
  2. Kemampuan yang efektivitas
    a. Bisa menyelesaikan pekerjaan diluar kemampuan.
    b. Bisa mengerjakan tugasa tepat pada waktunya.
    c. Datang tepat waktu dan tidak terlambat.
  3. Kepemimpinan yang efektivitas
    a. Mengambil keputusan dengan jalan berdiskusi dan bertukar pikiran.
    b. Mampu mengatasi masalah secara tepat.
    c. Bisa dalam memiliki masalah yang terjadi pada pekerjaan.
  4. Kemampuan dalam mendelegasikan tugas dan waktu
    a. Sanggup untuk membawa kepentingan pribadi dan organisasi kepada
    kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan organisasi
    menggunakan waktu sisa untuk keperluan pribadi.
    b. Mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung
    jawab yang sudah di tentukan. 
  5. Kemampuan dalam mendelegasikan tugas atau wewenang.
    a. Tanggung jawab seorang pemimpin dalam menyelesaikan tugas mana
    yang harus ditanda tangani sendiri dan mana yang harus secara
    kelompok.
    b. Memberikan bimbingan dan pengarahan dalam mengambil keputusan.

Faktor-faktor yang memengaruhi Gaya Kepemimpinan


Dalam melaksanakan aktivitas pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor. Menurut H. Joseph Reitz yang dikutip Nanang Fattah dalam (Ode Zusnita
Muizu & Irfan, 2017), faktor yang memengaruhi gaya kepemimpinan adalah
sebagai berikut:

  1. Kepribadian (personality).
    Pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal mencakup nilai-nilai,
    latar belakang dan pengalamannya akan memengaruhi pilihan akan gaya
    kepemimpinan.
  2. Harapan dan perilaku atasan.
  3. Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan memengaruhi terhadap apa
    gaya kepemimpinan yang digunakan.
  4. Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan memengaruhi gaya
    pemimpin.
  5. Iklim dan kebijakan organisasi memengaruhi harapan dan perilaku
    bawahan.
  6. Harapan dan perilaku rekan

Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan


Secara relative, ada tiga macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu
otokratis, demokratis, dan laisesez-faire. Kebanyakan manager menggunakan
ketiganya pada suatu waktu, tetapi gaya yang paling sering digunakan akan dapat
dipakai untuk membedakan seorang manajer sebagai pemimpin yang otokratis,
demokratis, atau laisesez-faire. Menurut White dan Lippit yang dikutip oleh T. Hani
& Reksohadiprodjo (2001:298), mengemukakan tiga tipe kepemimpinan yaitu:

  1. Otokratis
    a. Semua penentuan kebijaksanaan ditentukan oleh pemimpin.
    b. Teknik-teknik dan langkah-langkah diatur oleh atasan setaip waktu,
    sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk
    tingkat yang luas.
  2. Demokratis
    a. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan
    diambil dengan dorongan dan bantuan kelompok.
    b. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan
    kelompok dibuat dan bila dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis,
    pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat
    dipilih.
  3. Laisesez-faire
    a. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu, dengan
    partisipasi minimal dari pemimpin.
    b. Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang
    membuat orang selalu siap bila dia memberikan informasi saat ditanya.

Pengertian Gaya Kepemimpinan


Arif dalam Samsuddin, (2018:37) berpendapat bahwa pemimpin dituntut
untuk mengetahui atau menebak kebutuhan (need), keinginan (want), dan harapan
(expectation) bawahannya dengan cara mengamati perilaku mereka, untuk memilih
metode yang dapat digunakan supaya mereka bertindak sesuai dengan tujuan
pemimpin.
Menurut Mulyadi dalam Nurhasanah et al., (2021:137). Gaya kepemimpinan
adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk memengaruhi pegawainya
agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula di katakan pola perilaku dan strategi
yang di terapkan oleh seorang pemimpin.
Menurut Busro, (2018:226) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
adalah suatu cara bagaimana seorang pemimpin mampu memengaruhi para
pengikut agar dengan sukarela mau melakukan berbagai tindakan bersama yang di
perintahkan oleh pimpinan tanpa merasa bahwa dirinya ditekan dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.
Menurut Bangun dalam Ewaldy et al., (2022:115) Leadership
(kepemimpinan) adalah proses yang digunakan pimpinan untuk mengarahkan
organisasi dan pemberian contoh perilaku terhadap para pengikut (anak
buah/bawahannya)

Gaya Kepemimpinan


Menurut Samsuddin, (2018: 32) menyatakan bahwa Dalam suatu organisasi
peran kepemimpinan memegang peran yang penting. Hal ini karena kepemimpinan
akan memberikan dorongan dan semangat bagi karyawan dalam melaksanakan
tugas.

Indikator Disiplin Kerja


Hasibuan (2007:194) menjelaskan indikator-indikator disiplin kerja
karyawan adalah sebagai berikut:

  1. Tujuan dan Kemampuan
    Tujuan dan Kemampuan ikut memengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan.
    Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup
    menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa tujuan
    (pekerjaan) yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan
    kemampuan karyawan bersangkutan, agar dia bekerja sungguh-sungguh dan
    disiplin dalam mengerjakannya.
  2. Teladan Pimpinan.
    Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan
    karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya,
    pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta
    sesuai kata dengan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang baik,
    kedisiplinan bawahan pun akan ikut baik. Jika teladan pimpinan kurang baik
    (kurang disiplin), para bawahan pun akan kurang disiplin.
  3. Balas Jasa.
    Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut memengaruhi kedisiplinan karyawan
    karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan
    terhadap perusahaan atau pekerjaannya. Jika kecintaan karyawan semakin
    baik terhadap pekerjaan, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula.
  4. Keadilan.
    Keadilan ikut mendorong terwujudnnya kedisiplinan karyawan, karena ego
    dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan
    sama dengan manusia lainnya. Keadilan yang dijadikan dasar kebijaksanaan
    dalam pemberian balas jasa (pengakuan) atau hukuman akan merangsang
    terciptanya kedisiplinan karyawan yang baik.
  5. Waskat.
    Waskat (pengawasan melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam
    mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti
    atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah
    kerja dan prestasi kerja bawahannya. Hal ini berarti atasan harus selalu ada
    atau hadir ditempat kerja agar dapat mengawasi dan memberikan petunjuk,
    jika ada bawahannya yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
    pekerjaannya.
  6. Sanksi Hukum.
    Sanksi hukum berperan dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan
    sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut
    melanggar peraturan-peraturan perusahaan, sikap, dan perilaku indisipliner
    karyawan akan berkurang.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja


Singodimejo dalam Manalu, (2019:2) menegaskan bahwa faktor yang
memengaruhi disiplin kerja adalah:

  1. Besar kecilnya pemberian kompensasi.
    Para karyawan akan mematuhi segala peraturan yang berlaku, bila ia merasa
    mendapat jaminan balas jasa yang setimpal dengan jerih payahnya yang telah
    dikontribusikan bagi perusahaan.
  2. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam organisasi.
    Keteladanan pimpinan sangat penting sekali, karena dalam lingkungan
    perusahaan, semua karyawan akan selalu memperhatikan bagaimana ia dapat
    mengendalikan dirinya dari ucapan, perbuatan, dan sikap yang dapat
    merugikan aturan disiplin yang telah ditetapkan.
  3. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan.
    Pembinaan disiplin tidak akan dapat terlaksana dalam perusahaan, bila tidak
    ada aturan tertulis yang pasti untuk dapat dijadikan pegangan bersama.
  4. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan.
    Dengan adanya tindakan terhadap pelanggaran disiplin, sesuai dengan sanksi
    yang ada, maka semua karyawan akan merasa terlindungi, dan dalam hatinya
    berjanji tidak akan berbuat hal yang serupa.
  5. Ada tidaknya pengawasan pimpinan.
    Dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan perlu ada
    pengawasan, yang akan mengarahkan karyawan agar dapat melaksanakan
    pekerjaan dengan tepat dan sesuai dengan yang telah ditetapkan.
  6. Ada tidaknya perhatian kepada para pegawai.
    Karyawan adalah manusia yang mempunyai perbedaan karakter antara satu
    satu dengan yang lain. Seorang karyawan tidak hanya puas dengan
    penerimaan kompensasi yang tinggi, pekerjaan yang menantang, tetapi juga
    mereka masih membutuhkan perhatian yang besar dari pimpinannya sendiri.
  7. Diciptakannya kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin.
    Kebiasaan-kebiasaan positif itu antara lain:
    a) Saling menghormati, bila bertemu dilingkungan pekerjaan.
    b) Melontarkan pujian sesuai dengan tempat dan waktunya, sehingga para
    karyawan akan turut merasa bangga dengan pujian tersebut.
    c) Sering mengikut sertakan karyawan dalam pertemuan-pertemuan,
    apalagi pertemuan yang berkaitan dengan nasib dan pekerjaan mereka.
    d) Memberi tahu bila ingin meninggalkan tempat kepada rekan sekerja,
    dengan menginformasikan, kemana dan untuk urusan apa, walaupun
    kepada bawahan sekalipun.

Manfaat Disiplin Kerja


Menurut Sutrisno (2009:88) manfaat disiplin kerja dapat dilihat bagi
kepentingan organisasi dan karyawan, yaitu:

  1. Bagi Organisasi
    Bagi organisasi adanya disiplin kerja akan menjamin terpeliharanya tata tertib
    dan kelancaran pelaksanaan tugas, sehingga diperoleh hasil yang optimal.
  2. Bagi Karyawan
    Bagi karyawan adanya disiplin kerja akan diperoleh suasana kerja yang
    menyenangkan sehingga akan menambah semangat kerja dalam
    melaksanakan pekerjaannya.

Jenis-jenis Disiplin Kerja


Sinambela dalam Illanisa et al., (2019:18). mengatakan ada dua jenis-jenis
disiplin kerja diantaranya:

  1. Disiplin kerja preventif, merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk
    membuat karyawan mematuhi dan mengikuti segala bentuk aturan yang
    sudah ditetapkan oleh perusahaan. Tujuan disiplin preventif salah satunya
    untuk memberikan arahan kepada karyawan agar karyawan bisa bekerja lebih
    disiplin dan taat pada peraturan perusahaan.
  2. Disiplin kerja korektif, merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk
    membuat karyawan bergerak, bekerja dan mentaati semua peraturan yang
    sudah ditetapkan di dalam suatu perusahaan. Dan jika karyawan melanggar
    aturan yang sudah ditetapkan oleh perusahaan, karyawan tersebut akan diberi
    hukuman supaya karyawan tersebut bisa menginstropeksi dirinya sendiri

Indikator Komunikasi


Komunikasi merupakan proses pemindahan suatu informasi, ide, pengertian
dari seseorang kepada orang lain dengan harapan orang lain tersebut dapat
menginterprestasikannya sesuai tujuan yang dimaksud. Menurut MiftahThoha,
(2014:191), menyatakan indikator komunikasi antar pribadi bisa efektif adalah,
Keterbukaan, Empati, Dukungan, Kepositifan, Kesamaan.
Berdasarkan indikator komunikasi yang dikemukakan diatas dapat dijelaskan
sebagai berikut:

  1. Keterbukaan
    Untuk menunjukan keterbukaan dari komunikasi antar pribadi paling sedikit
    ada dua aspek, yakni: aspek keinginan untuk terbuka bagi setiap orang yang
    berinteraksi dengan orang lain. Dengan keinginan untuk terbuka ini
    dimaksudkan agar diri masing-masing tidak tertutup didalam menerima
    informasi dan berkeinginan untuk menyampaikan informasi dari dirinya
    bahkan juga informasi mengenai dirinya kalau dipandang relevan dalam
    rangka pembicaraan antar pribadi dengan lawan bicaranya. Aspek lainnya
    ialah keinginan secara jujur semua stimuli yang datang kepadanya.
  2. Empati
    Dengan empati dimaksudkan untuk merasakan sebagai mana yang dirasakan
    oleh orang lain suatu perasaan bersama perasaan orang lain yakni, mencoba
    merasakan dalam cara yang sama dengan perasaan orang lain. Dan yang
    paling penting ialah kita tidak bakal memberikan penilaian pada perilaku atau
    sikap mereka sebagai perilaku atau sikap yang salah atau benar.
  3. Dukungan
    Dengan dukungan ini akan tercapai komunikasi antar pribadi yang efektif.
    Dukungan adakalanya terucapkan dan tidak terucapkan. Dukungan yang
    tidak terucapkan tidaklah mempunyai nilai yang negatif, melainkan dapat
    merupakan aspek positif dari komunikasi. Sedangkan dalam keterbukaan dan
    empati komunikasi antar pribadi tidak bisa hidup dalam suasana yang penuh
    ancaman.
  4. Kepositifan
    Komunikasi akan berhasil jika terdapat perhatian yang positif terhadap diri
    seseorang. Komunikasi akan terpelihara baik jika suatu perasaan positif
    terhadap orang lain itu dikomunikasikan. Suatu perasaan positif dalam suatu
    komunikasi umum, amat bermanfaat untuk mengefektifkan kerja sama.
  5. Kesamaan
    Komunikasi bisa efektif jika orang-orang yang berkomunikasi itu dalam
    suasana kesamaan, bukan berarti bahwa orang-orang yang tidak mempunyai
    kesamaan tidak bisa berkomunikasi

Jenis-jenis Komunikasi


Jenis komunikasi yang dapat digunakan dalam suatu organisasi terdapat
beberapa jenis, diantaranya:
Jenis komunikasi yang dapat digunakan dalam suatu organisasi terdapat
beberapa jenis, diantaranya:

  1. Kadarman, Jusuf Udaya (2001, hal. 151) menyatakan komunikasi dapat
    digolongkan dalam berbagai jenis seperti, komunikasi ke bawah, ke atas, dan
    kesamping secara menyilang.
  2. Edy Sutrisno (2011, hal. 45) menyatakan komunikasi dapat digolongkan
    dalam berbagai jenis seperti, komunikasi verbal dan nonverbal, komunikasi
    satu arah dan dua arah

Fungsi Komunikasi


Organisasi komunikasi yang baik sangat dibutuhkan, agar pencapaian tujuantujuan organisasi terwujud. Wandi et al., (2019:22) menyebutkan Ada beberapa
fungsi komunikasi, yaitu:

  1. Komunikasi berfungsi sebagai pengendali perilaku organisasi.
  2. Komunikasi berfungsi untuk membangkitkan motivasi pegawai.
  3. Komunikasi berperan sebagai pengungkapan emosi.
  4. Komunikasi berperan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan
    dimana komunikasi memberikan informasi yang diperlukan individu dan
    kelompok untuk mengambil suatu keputusan dengan penyajian data guna
    mengenali dan menilai berbagai alternatif keputusan.

Tujuan dan Manfaat Komunikasi


Menurut Husaini, (2011:420) menyebutkan tujuan dan manfaat komunikasi
dapat dilihat sebagai berikut:

  1. Sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan hubungan
    sosial.
  2. Menyampaikan dan atau menerima informasi.
  3. Menyampaikan dan menjawab pertanyaan.
  4. Mengubah perilaku (pola pikir, perasaan, dan tindakan) melalui perencanaan,
    pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.
  5. Mengubah keadaan sosial.
  6. Dua hal yang dapat mengubah perilaku dan keadaan sosial adalah komunikasi
    dan pengambilan keputusan.

Pengertian Komunikasi


Komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal ari kata latin
communication, dan bersumber dari kata communts yang berarti sama makna. Jadi,
kalau dua orang terlihat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan,
makna komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna
mengenai apa yang di percakapan (Permatasari, 2019).
Menurut Handoko (2012:272), komunikasi adalah pemindahan pengertian
dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke orang lain. Perpindahan
pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam
percakapan, tetapi juga ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal dan sebagainya.
Menurut Robert Bacal dalam Wandi et al., (2019:20), Komunikasi merupakan
bagian integral dari suatu proses manajemen, melalui komunikasi yang efektif
kerja sama yang harmonis dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan.
Hamali, (2016) mengatakan bahwa komunikasi kerja adalah suatu proses
penyampaian ide-ide dan informasi berupa perintah dan petunjuk kerja dari seorang
pimpinan kepada karyawan atau para bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugas
kerja dengan sebaik-baiknya.
Menurut Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara, (2013:145), komunikasi
adalah proses pemindahan suatu informasi, ide, pengertian dari seseorang kepada
orang lain dengan harapan orang lain tersebut dapat menginterprestasikannya sesuai
dengan tujuan yang dimaksud.

Komunikasi


Komunikasi merupakan salah satu kegiatan interaksi yang sangat penting
dalam kehidupan sosial manusia, karena seluruh kegiatan manusia, dimulai dengan
komunikasi. Dalam suatu organisasi makna komunikasi berperan sangat penting,
pentingnya komunikasi dalam perusahaan adalah dimana dalam melakukan
pekerjaan diantara sesama pegawai memerlukan komunikasi yang efektif agar
dapat dimengerti pesan-pesan tentang pekerjaan (Wandi et al., 2019). Keefektifan
komunikasi akan berjalan dengan baik apabila sama-sama memahami maksud dari
informasi komunikasi tersebut.

Pengaruh Metode Pembelajaran Jigsaw terhadap Efikasi Diri Akademik


Perkembangan seorang siswa dilalui dengan menghabiskan separuh
harinya menempuh pendidikan di sekolah, dimana siswa tersebut lebih banyak
melakukan interaksi dengan warga di lingkungan sekolah. Ketika berada di
lingkungan sekolah, remaja sebagai siswa ditantang untuk mampu menyelesaikan
tugas-tugasnya sebagai peserta didik. Di dalam sekolah inilah nantinya siswa
akan mengembangkan segala potensi dalam dirinya, yang juga meningkatkan
keyakinan dirinya. Terlepas dari pentingnya peran sekolah, penerapan metode
pembelajaran juga sepantasnya diperhatikan untuk menumbuhkan karakter siswa.
Menurut Bandura ( Dwitantyanov, Hayati & Sawitri, 2010) efikasi diri
dapat diartikan sebagai keyakinan manusia akan kemampuan dirinya untuk
melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian
di lingkungannya. Kim dan Park (Dwitantyanov, Hayati & Sawitri, 2010)
mengemukakan bahwa efikasi diri sangat penting bagi pelajar untuk mengontrol
motivasi mencapai harapan-harapan akademik.
Sementara itu, pembelajaran kooperatif menurut Sunal dan Hans (Isjoni,
2009) merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus
dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja sama selama
proses pembelajaran. Sunal dan Hans (Isjoni, 2009) juga menambahkan teknik
pembelajaran ini mampu meningkatkan belajar siswa lebih baik dan
meningkatkan sikap saling tolong-menolong dalam perilaku sosial. Menurut
Sahin (2010) pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan efek positif terhadap
prestasi belajar dan akan meningkat jika diaplikasikan secara terus-menerus.
Pembelajaran kooperatif membantu siswa mempelajri banyak hal satu sama lain,
sebagaimana dapat mendorong mereka untuk mendiskusikan sebuah topik dan
membuat hasil evaluasi dari topik tersebut.
Metode pembelajaran Jigsaw menurut uraian Slavin (1988) memiliki dua
aspek yaitu pencapaian kelompok pada setiap siswa dan akuntabilitas individu.
Pada aspek pertama, pencapaian kelompok dalam menjadikan siswa menargetkan
dirinya untuk mencapai kesuksesan. Siswa yang menanamkan pencapaian
kelompok di dalam dirinya secara tidak langsung akan mengabaikan tingkat
kesulitan dari sebuah tugas. Selain itu, siswa akan termotivasi untuk berkomitmen
penuh dengan tugas yang diembannya. Namun sebaliknya, jika tidak ada
pencapaian kelompok akan besar kemungkinan siswa tersebut menjadi kurang
bertanggung jawab dengan tugasnya.
Kemudian aspek yang kedua yaitu akuntabilitas individu. Dampak
akuntabilitas individu itu sendiri terhadap siswa akan memunculkan persepsi
dalam diri siswa. Menurut Lucas (Sahin, 2010) metode pembelajaran Jigsaw
membantu siswa untuk turut aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
Secara tidak langsung penggunaan metode ini, menjadikan mereka lebih nyaman
terhadap pembagian perannya masing-masing dan juga menumbuhkan rasa
tanggung jawab terhadap performanya dalam kelompok. Keadaan tersebut
membuat siswa lebih ulet untuk meningkatkan usahanya. O’Donnel dan O’Kelly
(Slavin, 2009) menambahkan bahwa tanpa adanya akuntabilitas ini beberapa
siswa mungkin akan terhambat saat terjadi interaksi kelompok, karena mereka
dianggap tidak berperan banyak dalam kelompoknya. Hal tersebut mengilhami
setiap anggota kelompok untuk melakukan tugas mereka dengan baik, ini
disebabkan karena kualitas setiap individu bergantung pada informasi yang
diberikan kepada setiap anggota kelompok.
Jika metode pembelajaran tradisional yang pasif, guru menjadi sarana
pengetahuan sedangkan murid hanya menerima dari apa yang dijelaskan guru
dikelas, lain halnya dengan metode pembelajaran kooperatif. Metode
pembelajaran kooperatif ini bersifat interaktif dalam proses belajar-mengajar
dikelas. Guru sebagai pembelajar senior menjadi pembimbing siswa agar mereka
memperolah berbagai kompetensi yang lebih baik dari waktu ke waktu (Sumekto,
2011). Dengan metode pembelajaran ini dapat mengukur kondisi efikasi diri
akademik siswa. Dari aktivitas di dalam kelas ini kita akan lebih mudah
mengenali siswa yang memiliki efikasi diri akademik yang tinggi maupun yang
rendah.

Prosedur Pelaksanaan Metode Pembelajaran Jigsaw


Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan metode pembelajaran
Jigsaw yang mengacu pada prosedur Jigsaw learning oleh Silberman (2009)
sebagai berikut :
a. Pilihlah materi belajar yang dapat dipisah menjadi beberapa segmen atau
bagian-bagian.
b. Bagilah siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah segmen
yang ada. Jika jumlah siswa ada 30 sementara jumlah segmen yang ada
berjumlah 5, maka masing-masing kelompok terdiri dari 6 orang. Setiap
kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi ajar yang berbedabeda.
c. Kelompok yang telah terbentuk, kemudian masing-masing akan mengirimkan
anggotanya ke kelompok lain sehingga terbentuklah kelompok Jigsaw dalam
jumlah yang sama.
d. Setiap kelompok Jigsaw diminta untuk menyampaikan materi yang telah
mereka pelajari di dalam kelompok asal kepada seluruh anggota kelompok
Jigsaw.
e. Kembalikan suasana kelas seperti semula kemudian tanyakan sekiranya ada
persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok.
f. Sebagai variasi, sampaikan beberapa pertanyaan kepada siswa untuk
mengecek pemahaman mereka terhadap materi yang telah disampaikan

Elemen-Elemen dalam Metode Pembelajaran Jigsaw


Slavin (1988) mengemukakan terdapat dua elemen esensial yang terdapat
di dalam metode pembelajaran Jigsaw sebagai metode yang efektif, antara lain :

  1. Adanya pencapaian kelompok pada setiap siswa ( a Group Goal for the
    Students).
    Pencapaian kelompok ini penting dalam memotivasi siswa untuk saling
    membantu satu sama lain, dimana di dalam kelas Jigsaw tiap anggota
    kelompok memegang peran untuk mengajarkan satu sama lain. Tanpa adanya
    pencapaian kelompok tersebut, seorang siswa tidak akan memberikan
    penjelasan pada materi subtopik yang diembannya dengan adekuat kepada
    tiap anggota kelompoknya karena siswa tidak mendapat motivasi untuk
    melaksanakannya dengan baik.
  2. Akuntabilitas Individu (Individual Accountability)
    Akuntabilitas individu akan mengilhami setiap anggota kelompok untuk
    melakukan tugas mereka dengan baik, ini disebabkan karena kualitas setiap
    individu bergantung pada informasi yang diberikan kepada setiap anggota
    kelompok. Kagan (Warsono dkk, 2012) menambahkan bahwa setiap anggota
    kelompok bertanggung jawab untuk meningkatkan kecakapan dan kinerja
    anggota kelompok yang lain maupun bertanggung jawab meningkatkan
    kinerja kelompok secara keseluruhan (Numbered head Together). Hal tersebut
    diyakini oleh Slavin (1987) jika penghargaan kelompok bersumber dari
    penghargaan individu pada seluruh anggota kelompok, maka pembelajaran
    kooperatif dapat meningkatkan penghargaan siswa.
    Manning dan Lucking (Dollard & Mahoney, 2007) menambahkan bahwa
    pentingnya menempatkan siswa ke dalam kelompok yang heterogen.
    Pembentukan kelompok tersebut tidak hanya dilakukan berdasarkan keberagaman
    suku tetapi juga dalam pengelompokan berdasarkan tingkat kemampuan
    akademis. Siswa yang lamban akan belajar dengan baik dari siswa yang memiliki
    nilai akademis yang lebih tinggi.

Aspek-Aspek Pembelajaran Kooperatif


Huda (2014) mengungkapkan bahwa aspek yang terdapat dalam pembelajaran
Kooperatif dibagi atas empat bagian, bagian tersebut antara lain :
a. Tujuan
Seluruh siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil dan diminta
untuk mempelajari materi tertentu dan saling memastikan setiap anggota
kelompok juga mempelajari materi tersebut.
b. Level Kooperasi
Di dalam level kooperasi kerjasama diterapkan dalam level kelas, yaitu
dengan cara memastikan bahwa semua siswa di ruang kelas benar-benar
mempelajari materi yang ditugaskan dan level sekolah dengan cara
memastikan bahwa semua siswa disekolah benar-benar mengalami kemajuan
secara akademik.
c. Pola Interaksi
Setiap siswa saling mendorong kesuksesan antarsatu sama lain. Siswa
mempelajari materi pembelajaran bersama siswa lain, saling menjelaskan cara
menyelesaikan tugas pembelajaran, saling mendorong untuk bekerja keras,
dan saling memberikan bantuan akademik jika ada yang membutuhkan.
Melalui pola interaksi inilah muncul di dalam dan diantara kelompokkelompok kooperatif.
d. Evaluasi
Sistem evaluasi didasarkan pada kriteria tertentu. Penekanannnya biasanya
terletak pada pembelajaran dan kemajuan akademik setiap individu siswa,
biasa pula difokuskan pada setiap kelompok, semua siswa ataupun sekolah.

Pengertian Metode Pembelajaran Jigsaw


Metode pembelajaran Jigsaw menurut Slavin (2008) merupakan model
pembelajaran kerjasama dimana siswa ditempatkan ke dalam tim-tim yang
beranggotakan enam orang untuk mengerjakan bahan akademis yang telah
dipecah menjadi bagian-bagian untuk masing-masing anggota. Metode
pembelajaran Jigsaw adalah teknik pengajaran di dalamnya materi-materi ajar
dibagi di antara anggota-anggota sebuah kelompok kooperatif, dimana siswa
mengemban tanggung jawab yang berbeda untuk mempelajari materi berbeda
dan mengajarkannya ke anggota-anggota kelompok yang lain (Ormrod, 2009).
Didalam pembelajaran Jigsaw ini informasi baru dibagi secara adil diantara
semua anggota kelompok, dan setiap siswa harus mengajarkan materi bagiannya
ke siswa-siswa yang lain (Aronson & Panoe dalam Ormrod, 2009). Silberman
(2009) menjelaskan Jigsaw learning merupakan sebuah teknik yang dipakai
secara luas yang memiliki kesamaan dengan teknik “pertukaran dari kelompok
ke kelompok” (group-to-group exchange) dengan suatu perbedaan penting, yakni
setiap peserta didik mengajarkan sesuatu.

Pengertian Metode Pembelajaran Kooperatif


Metode belajar kooperatif merupakan metode pembelajaran dalam bentuk
kelompok kecil. Siswa belajar dalam kelompok yang masing-masing anggotanya
memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Jumlah anggota kelompok antara lain
dalam kegiatan belajar. Kelompok biasanya diberi reward sesuai dengan seberapa
banyak setiap anggota kelompok telah menguasai materi pelajaran (Slavin, 2008).
Definisi lain mengenai pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah
pendekatan terhadap pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompokkelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dan membantu satu sama lain
dalam belajar (Ormrod, 2009).
Santrock (2008) memaparkan pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran
yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu
dalam belajar. Sejumlah pendekatan pembelajaran kooperatif yang telah
dikembangkan antara lain STAD (Student-Teams-Achievement Divisions),
Jigsaw, belajar bersama, investigasi kelompok, dan penelitian kooperatif. Salah
satu pendekatan dari pembelajaran kooperatif yang akan dilaksanakan peneliti
adalah metode pembelajaran Jigsaw.

Faktor Yang Mempengaruhi Efikasi Diri Akademik


Menurut Bandura (1997) faktor yang mempengaruhi efikasi diri pada
individu diantaranya adalah:
a) Pencapaian Prestasi (Enactive Attainment)
Pencapaian prestasi merupakan sumber yang paling penting dan berpengaruh
karena menjadi bukti nyata individu akan kemampuan yang dimilikinya.
Kesuksesan dalam pencapaian prestasi akan meningkatkan efikasi diri. Hal ini
menjadikan individu dengan efikasi diri yang kuat akan cenderung
menganggap situasi dan strategi yang kurang tepat dan kurangnya usaha yang
dikerahkan sebagai penyebab kegagalan.
b) Pengalaman orang lain (Vicarious Experiences)
Pengalaman orang lain merupakan sumber informasi mengenai efikasi diri
yang diperoleh melalui pengamatan terhadap pengalaman orang lain yaitu
pengamatan subjek atas keberhasilan atau kegagalan orang lain yang memiliki
kemiripan dengan dirinya dalam mengerjakan suatu tugas yang sama.
Individu mengembangkan mekanisme modelling sebagai suatu cara
memperkirakan potensi keberhasilannya berdasarkan pada keberhasilan orang
lain tersebut orang lain dalam tugas yang sama. Apabila individu melihat
orang lain tersebut mengahadapi aktivitas sulit dan berhasil tanpa konsekuensi
buruk, maka akan terbentuk harapan keberhasilan serupa pada dirinya bila
bertindak serupa dengan orang yang diamati. Sebaliknya, ketika individu
melihat orang yang memiliki kemampuan hampir sama mengalami kegagalan
dalam melaksanakan tugas tertentu, hal tersebut akan menurunkan individu
terhadap kemampuannya dan melemahkan usahanya (Sari, 2011). Efek dari
pengalaman orang lain terhadap penilaian keyakinan dalam diri bergantung
pada kriteria kemampuan apa saja yang dinilai (Bandura, 1988).
c) Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Berupa penyampaian informasi secara verbal oleh orang yang berpengaruh.
Persuasi verbal ini biasanya berpengaruh dalam meyakinkan individu bahwa
dalam dirinya cukup mampu melaksanakan tugasnya sehingga kemudian
mendorang subjek untuk melakukan tugasnya sebaik mungkin. Individu yang
terpengaruh secara verbal bahwa dirinya memiliki kapabilitas untuk
menguasai tugas yang diberikan lebih mudah untuk bergerak lebih cepat
berusaha keras daripada mereka yang mempunyai keraguan diri dan bertahan
dalam kekurangan diri ketika tingkat kesulitan semakin meningkat (Bandura,
1988).
d) Kondisi fisik dan afektif (Physiological and Affective States)
Individu ketika melakukan penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki
dirinya juga akan mempertimbangkan kondisi fisiologis dan afektif pada
diirinya. Individu yang merasa takut, cemas, dan stress akan gagal
menyelasaikan tugas. Kegagalan akan membuat individu merasa tidak
mampu dan tidak yakin untuk tugas yang berikutnya.

Dimensi Efikasi Diri Akademik


Dimensi dalam efikasi diri akademik diambil dari dimensi efikasi diri
yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Adapun tiga dimensi dalam efikasi diri
antara lain :
a. Level (Tingkat Kesulitan Tugas)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang dihadapi oleh
Individu. individu dengan efikasi diri tinggi cenderung akan memilih tugas
yang sifatnya lebih menantang dengan tingkat kesulitan yang tinggi dan akan
lebih tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman
yang dapat memperlemahnya. Sebaliknya, individu dengan efikasi diri yang
rendah akan memilih tugas dengan tingkat kesulitan yang rendah serta mudah
digoyangkan oleh pengalaman pengalaman yang memperlemahnya.
b. Generality (Keadaan yang Umum)
Dimensi yang kedua ini berkaitan dengan luas bidang penguasaan terhadap
tugas yang dihadapi oleh individu. Penguasaan individu terhadap bidang atau
tugas pekerjaan yang satu berbeda dengan yang lain. Ada individu yang
penguasaannya meliputi beberapa bidang. Individu yang memiliki efikasi diri
yang tinggi selalu ingin menambah pengalaman dan pengetahuannya. Siswa
dengan efikasi diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang tugas
sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas.
c. Strength (Tingkat Kekuatan)
Strength lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu
terhadap keyakinan yang dimilikinya dalam menyelesaikan tugas akademik.
Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan cenderung tidak mudah
menyerah, bekerja keras dan ulet dalam meningkatkan usahanya walaupun
menghadapi rintangan dibandingkan individu yang efikasi dirinya rendah.
Sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan mudah
digoyahkan oleh kegagalan dan pengalaman-pengalaman.
Dimensi yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan dari aspek yang
telah dikemukakan oleh Bandura (1997). Dimensi efikasi diri akademik ini antara
lain yaitu level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan yang umum), dan
strength (tingkat kekuatan).

Pengertian Efikasi Diri Akademik


Istilah self-efficacy atau efikasi diri mulai dikenal dalam ranah psikologi
sejak dipublikasikannya sebuah artikel oleh Bandura (1997) . Berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Bandura (1997) efikasi diri merupakan keyakinan
seseorang akan kapabilitasnya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan
tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Efikasi diri menurut Ormrod (2009) adalah keyakinan yang dimiliki
seseorang bahwa dirinya mampu menjalankan tugas tertentu atau meraih sasaran
tertentu. Singkatnya bahwa efikasi diri itu sendiri merupakan komponen dari
keseluruhan perasaan diri seseorang. Woolfolk (2009) menambahkan self-efficacy
atau efikasi diri juga dapat diartikan sebagai perasaan seseorang bahwa dirinya
mampu melakukan tugas-tugas secara efektif .
Sedangkan menurut Boufard dan Bouchard (Bandura,1997) efikasi diri
akademik merupakan prediktor yang lebih baik dalam prestasi akademik
dibandingkan dengan kemampuan kognitif.

Pengaruh Stres Positif terhadap Kepuasan Hidup


Mencapai kepuasan hidup merupakan harapan dari setiap manusia, tak
terkecuali pada karyawan yang menempuh S2. Kepuasan hidup erat kaitannya
dengan kebahagiaan atau secara ilmiah disebut subjective well-being.
Kepuasan merupakan salah satu dari dimensi dari subjective well-being. hal
yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup adalah penilaian
subjektif individu mengenai kesehatannya dan bukan atas penilaian objektif
yang didasarkan pada analisa medis (Diener, 2013).
Dampak jangka pendek dari olahraga adalah dapat menimbulkan
emosi positif yaitu dengan adanya pengeluaran endorphin di otak. Kesehatan
yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun dapat melakukan
aktifitas. Sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan fisik dapat
menjadi penghalang untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan
individu, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia (Hurlock, 2009).
Kepuasan hidup digambarkan sebagai bentuk penilaian individu secara
menyeluruh dalam menilai puas atau tidaknya kehidupan yang dialaminya
(Hurlock, 2009).

Pengaruh Self-Efficacy terhadap Stres Positif


Self-Efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan jalannya tindakan yang diperlukan untuk
mengelola situasi yang akan terjadi. Berkaitan dengan mengatasi stres, telah
menunjukkan bahwa “dirasakan Self-Efficacy dapat membantu untuk
menjelaskan fenomena yang beragam seperti perubahan perilaku, tingkat
reaksi stres fisiologis, regulasi diri perilaku, dan perjuangan untuk prestasi”
(Bandura, 1982). Hal ini untuk alasan ini bahwa Self-Efficacy penting untuk
dipertimbangkan ketika belajar Stres Positif di tingkat akademis.

Dampak Kepuasan Hidup


Argyle dan Serafino (dalam Carr, 2004) yang menyatakan bahwa dampak
jangka pendek dari olahraga adalah dapat menimbulkan emosi positif yaitu dengan adanya
pengeluaran endorphin di otak. Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada
usia berapa pun dapat melakukan aktivitas. Sedangkan kesehatan yang buruk
atau ketidakmampuan fisik dapat menjadi penghalang untuk mencapai kepuasan bagi
keinginan dan kebutuhan individu, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia Hurlock,
(1980 dalam Sankaran et al., 2014).
Hubungan sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap life satisfaction.
Individu yang memiliki kedekatan dengan orang lain, memiliki teman dan keluarga
yang supportif cenderung puas akan seluruh kehidupannya (Diener, 2009).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Hidup


Menurut Hurlock, (1980 dalam Sankaran et al., 2014) beberapa faktor
yang mempengaruhi kepuasan hidup pada seorang individu antara lain:
1) Kesehatan
Kesehatan yang baik memungkinkan individu pada usia berapa pun
dapat melakukan aktivitas. Sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidak
mampuan fisik dapat menjadi penghalang untuk mencapai kepuasan bagi
keinginan dan kebutuhan individu Hurlock, (1980 dalam Sankaran et al.,
2014).
2) Jenis pekerjaan
Menurut Hurlock, (1980 dalam Sankaran et al., 2014), semakin
rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk otonomi
dalam pekerjaan, semakin kurang memuaskan. Hal ini dapat dilihat pada
tugas sehari-hari yang diberikan kepada anak-anak dan juga pekerjaan
orang-orang dewasa.
3) Status kerja
Baik di bidang pendidikan maupun pekerjaan, semakin berhasil
seseorang melaksanakan tugas semakin hal itu dihubungkan dengan 12
prestise maka, semakin besar kepuasan yang ditimbulkan Hurlock, (1980
dalam Sankaran et al., 2014).
4) Kondisi kehidupan
Jika pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang-orang lain baik di dalam keluarga maupun dengan temanteman dan tetangga di dalam masyarakat, maka kondisi demikian
memperbesar kepuasan hidup Hurlock, (1980 dalam Sankaran et al.,
2014).
5) Keseimbangan antara Harapan dan Pencapaian
Jika harapan-harapan itu realistis, orang akan puas dan bahagia
apabila tujuannya tercapai.

Kepuasan Hidup


Kepuasaan hidup dapat didefinisikan sebagai “sejauh mana
pengalaman hidup individu memenuhi keinginan dan kebutuhan, baik secara
fisik dan psikologis” Demerouti, (2000 dalam O’Sullivan, 2011). Sedangkan
Diener et al., (1985 dalam Khan et al., 2015) mendefinisikan kepuasan hidup
sebagai penilaian menyeluruh terhadap kualitas kehidupan seseorang
berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkannya sendiri.
Sedangkan Diener, (1984 dalam Khan et al., 2015) menegaskan
seseorang itu perlu melihat kepada aspek kepuasan hidupnya secara kognitif
dan menyeluruh. Menurut (Pavot dan Diener, 2013) menyatakan kepuasan
hidup sebagai penilaian secara keseluruhan terhadap perasaan dan sikap
seseorang berkaitan dengan kehidupannya pada suatu waktu. Sementara itu
(Lyubomirsky & Diener, 2006) menyatakan kepuasan hidup seseorang itu
merujuk kepada penerimaan seseorang terhadap keadaan kehidupannya serta
sejauh mana seseorang itu dapat memenuhi apa yang dikehendakinya secara
menyeluruh.

Dampak Stres Positif


Ada dua tingkatan stress yaknis Stres Positif dan stres negatif. Stres
Positif ialah stress yang memiliki dampak yang baik bagi orang yang
mengalaminya. Stres Positif sendiri berasal dari kata “eu” yang berarti “baik”
dalam bahasa Yunani. Ide Stres Positif sebagai “stres yang baik” berkaitan
dengan Hukum Yerkes-Dodson, yang menyatakan bahwa “peningkatan stres
bermanfaat untuk kinerja sampai tercapainya beberapa tingkat optimal..”
menurut Le Fevre (2003 dalam Zhdanov & Kupriyanov, 2014).

Faktor-Faktor Stres Positif


Menurut Luthans, (1992 dalam Hargrove et al., 2015) menyebutkan
bahwa faktor-faktor penyebab (Stressors) terdiri atas empat hal utama, yakni:
(1) Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan soal teknologi,
keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan
keadaan komunitas atau tempat tinggal.
(2) Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam
organisasi.
(3) Group stressors, yang terdiri dari adanya kebersamaan dalam group, dukungan
sosial, serta adanya keselarasan intraindividu, interpersonal, dan intergroup.
(4) Individual stressors, yang terdiri dari tidak adanya konflik dan kejelasan
peran, serta individu seperti pola kepribadian Tipe A, control personal, SelfEfficacy, dan daya tahan psikologis.
(5) Hasil dari stres yang menyehatkan, positif dan konstruktif dan respon stres
Quick, (1997 dalam Hargrove, 2015).

Dampak Self-Efficacy


Self-Efficacy memiliki dampak pada emosi pola piker reactionansand
individu. Self-Efficacy juga dapat digambarkan sebagai fungsi dari
kepercayaan diri dengan mana individu dapat menyelesaikan tugas (Bandura,
2006). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketekunan tinggi yang
berhubungan dengan Self-Efficacy paling pasti akan menyebabkan
peningkatan kinerja dan produktivitas. Self-Efficacy telah terbukti menjadi
pengukuran yang baik dan dapat digunakann untuk memprediksi hasil
perilaku jika dibandingkan dengan membangun motivasi lain, terutama dalam
bidang psikologi dan pendidikan (Thavaraj, 2015). Stres Positif
Dalam (McGowan, 2006) stress dapat di definisikan sebagai “hubungan
antara seseorang dengan lingkungan yang dinilai dari seseorang sebagai beban
dan mengancam kesehatan seseorang. Dalam beberapa type stress yang ada,
akan ada dua type stress yang akan di bahas pada penelitian ini yaitu: Stres
Positif dan stres negatif. Terdapat dua type stress yang di bedakan menjadi
stress positif dan stress negative. Menurut Simmons, (2000 dalam Hargrove1,
2015) lebih spesifiknya, Stres Positif adalah “respon positif terhadap stresor”
dimana stres negatif yaitu “ respon negatif terhadap stressor”.
Stres pada dasarnya tidak berdampak buruk bagi para pekerja, walaupun
stres sering disebut dalam konteks negatif, stres juga memiliki nilai positif,
terutama pada saat stres itu menawarkan suatu perolehan yang memiliki
potensi. Selye (dalam Nizami & Nisa, 2014) membedakan antara stres negatif
yaitu stres yang bersifat destruktif, dan Stres Positif yaitu merupakan
kekuatan yang positif. Stres Positif mengandung suku awal yang dalam
bahasa Yunani berarti “baik”. Aspek positif dari stres (Stres Positif) itu akan
kita temukan kalau dilihat dari kegunaannya dan kesediaan kita dalam
menggunakannya. (Simons & Nelson, 2007), mereka juga menyatakan bahwa
Stres Positif mencerminkan sejauh mana individu menilai situasi atau saat
yang menguntungkan sebagai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka. Positive affect, meaningfulness, manageability, and hope dapat
menjadi indikator yang baik dari Stres Positif.
Menurut definisi (Canadian Centre for Occupational Health and Safety,
1999), stres adalah tekanan dari luar yang biasa membuat seseorang merasa
tertekan. Tekanan yang menyebabkan orang stres adalah tekanan yang
sifatnya mengancam (threaten), tekanan yang sifatnya menakutkan atau
mengerikan (scare), tekanan yang sifatnya mengkhawatirkan (worry), dan
tekanan yang sifatnya menyakitkan.

Dimensi Self-Efficacy


Menurut Bandura, (1986 dalam Suprapti V dan Putri Dian Ayusta,
2014) memaparkan bahwa Self-Efficacy pada individu terdiri dari tiga
dimensi, yaitu:
1) Dimensi magnitude
Dimensi magnitude adalah dimensi yang berhubungan dengan tingkat
kesulitan tugas. Jika seseorang dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun
menurut tingkat kesulitan yang ada maka pengharapannya akan jatuh pada
tugas-tugas yang sifatnya mudah, sedang dan sulit. Hal ini akan disesuaikan
dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku
yang dibutuhkan bagi masing-masing tingkat. Orang yang memiliki SelfEfficacy tinggi cenderung akan memilih mengerjakan tugas-tugas yang
sifatnya sulit dibandingkan yang sifatnya mudah
2) Dimensi generality
Generality menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan
tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Di sini setiap individu memilki
kenyakinan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas-tugas yang berbeda pula.
Ruang lingkup tugas-tugas yang dilakukan bisa berbeda dan tergantung dari
persamaan derajat aktifitas, kemampuan yang diekspresikan dalam hal tingkah
laku, pemikiran dan emosi, kualitas dari siuasi yang ditampilkan dan sifat
individu dalam tingkah laku secara langsung ketika menyelesaikan tugas.
Semakin tinggi kemampuan yang dimiliki maka akan semakin tinggi SelfEfficacy yang ada, begitu pula sebaliknya.
3) Dimensi strength
Dimensi strength berhubungan dengan derajat kemantapan individu
terhadap keyakinannya. Dimensi ini berkaitan dengan dimensi magnitude
dimana semakin tinggi taraf kesulitan tugas tyang dihadapi maka akan
semakin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
Berkaitan dengan mengatasi stres, telah menunjukkan bahwa “SelfEfficacy dianggap membantu untuk menjelaskan fenomena yang beragam
seperti perubahan perilaku, tingkat reaksi stres fisiologis, regulasi diri perilaku
yang keras kepala, dan berusaha keras terhadap tujuannya” Bandura, (1982
dalam Swanepoel et al., 2015) ini adalah alasan kenapa Self-Efficacy penting
untuk mempertimbangkan Stres Positif pada tingkat akademik. “Self-Efficacy
dan harapan itu saling terkait tetapi tidak identic.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self-Efficacy


Menurut Bandura, (1989 dalam O’Sullivan, 2011) menjelaskan bahwa
efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk
menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan
untuk memenuhi tuntutan situasi. Menurut Bandura, (1994 dalam O’Sullivan,
2011) Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Efficacy dapat dipeoleh dari
lima prinsip sumber informasi, yaitu:
1) Pencapaian kinerja (performance attaiment)
Performance attainment merupakan sumber pengharapan yang utama
karna didasarkan pada pengalaman individu ketika berhasil mengerjakan
sesuatu hal dengan baik. Keberhasilan yang diperoleh akan membawa
seseorang pada tingkat Self-Efficacy yang lebih tinggi, sedang kegagalan akan
merendahkan Self-Efficacy. Pengalaman sukses yang didapatkan seseorang
akan menghasilkan peningkatan Self-Efficacy dan minat pada tugas.
Sebaliknya, kegagalan tugas akan menghasilkan penurunan Self-Efficacy dan
minat pada tugas.
2) Pengalaman orang lain (vicarious experience)
Vicarious experience adalah pengalaman yang didapat ketika indivudu
melihat keberhasilan orang lain dalam mengerjakan tugas dengan baik.
Individu yang melihat atau mengamati orang lain yang mencapai keberhasilan
dapat menimbulkan persepsi Self-Efficacy-nya. Dengan melihat keberhasilan
orang lain, individu dapat menyakinkan dirinya bahwa ia juga bisa untuk
mencapai hal yang sama dengan orang yang dia amati. Ia juga meyakinkan
dirinya bahwa jika orang lain bisa melakukannya, ia harus dapat
melakukannya. Namun, jika seseorang melihat bahwa orang lain yang
memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia telah berusaha
dengan keras, dapat menurunkan penilainya terhadap kemampuan dia sendiri
dan juga akan mengurangi usaha yang akan dilakukan Bandura, (1986 dalam
Thavaraj et al., 2015).
3) Persuasi verbal (verbal persuasion)
Persuasi verbal digunakan untuk memberi keyakinan kepada seseorang
bahwa ia memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa yang
ia inginkan. Menurut Bandura, (1986 dalam Thavaraj et al., 2015) individu
yang diarahkan dengan saran, nasihat dan bimbingan dapat meningkatkan
kapasitasnya tentang kemampuan-kemampuan yang dimilikinya sehingga
individu tersebut mencapai tujuan yang diinginkan. Seseorang yang berhasil
diyakinkan secara verbal akan menunjukan usaha yang lebih keras jika
dibandingkan dengan individu yang memiliki keraguan dan hanya memikirkan
kekurangan diri ketika menghadapi kesulitan.
4) Dorongan emosional (emotional arousal)
Emotional arousal adalah muncul dan naiknya emosi seseorang ketika
individu berada dalam situasi yang tertekan. Saat berada dalam situasi
tertekan, kondisi emosional dapat mempengaruhi pengharapan individu. Rasa
takut dan cemas akan mengalami kegagalan membuat individu menjadi tidak
yakin dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya Bandura, (1986 dalam
Thavaraj et al., 2015).
5) Keadaan dan reaksi fisiologis (physical or affective status)
Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi
untuk memberikan sumber penilaian terhadap kemampuan dirinya sehingga
berguna dalam melihat apakah tujuan yang akan dicapai sulit, sedang atau
mudah. Individu merasa gejala-gejala somatic atau tegangan yang timbul
dalam situasi yang menekan sebagai pertanda bahwa ia tidak dapat untuk
menguasai keadaan. Jika individu tidak sedang mengalami gejolak perasaan
maka dirinya cenderung akan mampu berpikir relative tenang, jernih dan
terarah.

Self-Efficacy


Secara kontekstual Bandura, (1994 dalam Swanepoel et al., 2015)
memberikan definisi Self-Efficacy sebagai berikut : Self-Efficacy adalah
keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya untuk
menghasilkan tingkatan performa yang telah terencana, dimana kemampuan
tersebut dilatih, digerakkan oleh kejadian-kejadian yang berpengaruh dalam
hidup seseorang. Self-Efficacy didefinisikan sebagai penilaian orang tentang
kapasitas mereka untuk melakukan dan mengatur tindakan yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang telah ditetapkan (Yarar, 2012).
Definisi Self-Efficacy terus berkembang. Menurut Bandura, (1986 dalam
Swanepoel et al., 2015) mengartikan Self-Efficacy sebagai berikut : SelfEfficacy merupakan keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat
mengorganisasi dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu
untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Menurut Mathis and Jackson (2002) dalam pembahasan mengenai permasalahan
kinerja karyawan maka tidak terlepas dari berbagai macam faktor yang mempengaruhi
diantaranya :
1) Faktor kemampuan (ability)
Secara psikologis kemampuan pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (knowledge and skill) artinya pegawai yang memiliki IQ diatas
rata-rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil
dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari maka akan lebih mudah mencapai kinerja
diharapkan dari pada pegawai yang memiliki IQ dibawah rata-rata. Oleh karena itu
pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
2) Faktor motivasi
Motivasi terbentuk sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja.
Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk
mencapai tujuan kerja.

Pengertian Kinerja


Kinerja (performance) menurut Mathis and Jackson (2006) merupakan segala
sesuatu yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh seorang pegawai yang nantinya
dapat mempengaruhi keberhasilan sebuah organisasi. Kinerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai wewenang dan tanggung
jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak
melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika.
Mangkunegara (2006) dan Malayu (2006) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil
atau prestasi kerja yang ditunjukkan secara kualitas dan kuantitas oleh seorang pegawai
didalam melaksanakan tugas sesuai dengan beban tanggung jawab yang diberikan
kepadanya berdasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu.
Dari beberapa definisi tentang kinerja, dapat disimpulkan bahwa pengertian
kinerja adalah seseorang atau sekelompok orang yang menunjukkan prestasi kerja sevara
kuantitas dan kualitas yang dilakukan berdasarkan kecakapan, pengalaman, kesungguhan
serta waktu sesuai dengan beban dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Mathis and Jackson (2006) kinerja pegawai mempengaruhi seberapa
banyak kontribusi kepada organisasi antara lain termasuk :
1) Kualitas kerja
Standar ini menekankan pada mutu kerja yang dihasilkan dibandingkan volume kerja.
2) Kuantitas kerja
Standar ini dilakukan dengan cara membandingkan antara besarnya volume kerja
yang seharusnya (standar kerja norma) dengan kemampuan sebenarnya.
3) Ketepatan waktu
Diukur dari persepsi karyawan terhadap suatu aktifitas yang diselesaikan dari awal
waktu sampai menjadi output. Dapat menyelesaikan pada waktu yang telah
ditetapkan serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang lain.
4) Efektifitas
Pemanfaatan secara maksimal sumber daya dan waktu yang ada pada organisasi
untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.
5) Kerjasama
Keterlibatan seluruh pegawai dalam mencapai target yang ditetapkan akan
mempengaruhi keberhasilan bagian yang diawasi. Kerjasama antara pegawai dapat
ditingkatkan apabila pimpinan mampu memotivasi pegawai dengan baik

Dimensi Persepsi Dukungan Organisasional


Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Rhoades dan Eisenberger (2002)
mengindikasikan bahwa 3 kategori utama dari perlakuan yang dipersepsikan oleh
karyawan memiliki hubungan dengan persepsi dukungan organisasi. Ketiga kategori
utama ini adalah sebagai berikut:
1). Keadilan
Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk menentukan bagaimana
mendistribusikan sumber daya di antara karyawan. (Greenberg, dalam Rhoades and
Eisenberger, 2002). Shore and Shore (1995) (dalam Rhoades and Eisenberger, 2002)
menyatakan bahwa banyaknya kasus yang berhubungan dengan keadilan dalam
distribusi sumber daya memiliki efek kumulatif yang kuat pada persepsi dukungan
organisasi dimana hal ini menunjukkan bahwa organisasi memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan karyawan. Cropanzo and Greenberg pada tahun 1997 (dalam
Rhoades and Eisenberger, 2002) membagi keadilan prosedural menjadi aspek
keadilan struktural dan aspek sosial. Aspek struktural mencakup peraturan formal
dan keputusan mengenai karyawan. Sedangkan aspek sosial seringkali disebut
dengan keadilan interaksional yang meliputi bagaimana memperlakukan karyawan
dengan penghargaan terhadap martabat dan penghormatan mereka.
2). Dukungan atasan
Karyawan mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana atasan menilai
kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka (Kottke and
Sharafinski, 1980 dalam Rhoades and Eisenberger, 2002). Karena atasan bertindak
sebagai agen dari organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan
mengevaluasi kinerja bawahan, karyawan pun melihat orientasi atasan mereka
sebagai indikasi adanya dukungan organisasi (Levinson et al., 1965 dalam Rhoades
and Eisenberger, 2002).
3). Penghargaan Organisasi dan Kondisi Pekerjaan
Bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan ini adalah sebagai berikut:

  • Gaji, pengakuan, dan promosi.
    Sesuai dengan teori dukungan organisasi, kesempatan untuk mendapatkan hadiah
    (gaji, pengakuan, dan promosi) akan meningkatkan kontribusi karyawan dan akan
    meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Rhoades and Eisenberger, 2002).
  • Keamanan dalam bekerja.
    Adanya jaminan bahwa organisasi ingin mempertahankan keanggotaan di masa
    depan memberikan indikasi yang kuat terhadap persepsi dukungan organisasi
    (Eisenberger and Rhoades, 2002).
  • Kemandirian.
    Dengan kemandirian, berarti adanya kontrol akan bagaimana karyawan
    melakukan pekerjaan mereka. Dengan organisasi menunjukkan kepercayaan
    terhadap kemandirian karyawan untuk memutuskan dengan bijak bagaimana
    mereka akan melaksanakan pekerjaan, akan meningkatkan persepsi dukungan
    organisasi (Cameron et al., 1984 dalam Rhoades and Eisenberger, 2002).
  • Peran stressor.
    Stress mengacu pada ketidakmampuan individu mengatasi tuntutan dari
    lingkungan (Lazarus and Folkman, 1984 dalam Rhoades and Eisenberger, 2002).
    Stres berkorelasi negatif dengan persepsi dukungan organisasi karena karyawan
    tahu bahwa faktor-faktor penyebab stres berasal dari lingkungan yang dikontrol
    oleh organisasi. Stres terkait dengan tiga aspek peran karyawan dalam organisasi
    yang berkorelasi negatif dengan persepsi dukungan organisasi, yaitu: tuntutan
    yang melebihi kemampuan karyawan bekerja dalam waktu tertentu (work-
    overload), kurangnya informasi yang jelas tentang tanggung jawab pekerjaan
    (role-ambiguity), dan adanya tanggung jawab yang saling bertentangan (roleconflict) (Lazarus and Folkman, 1984, dalam Rhoades and Eisenberger, 2002).
  • Pelatihan.
    Pelatihan dalam bekerja dilihat sebagai investasi pada karyawan yang nantinya
    akan meningkatkan persepsi dukungan organisasi (Wayne et al., 1977 dalam
    Rhoades and Eisenberger, 2002).

Konsep dan pengertian dukungan organisasi


Peter M. Blau hadir dalam analisis pertukaran sosial (Wallace and Wolf, 1986:
171; Ritzer and Goodman, 2004: 368). Kunci teori pertukaran sosial Blau (1964) adalah:
(1) perilaku dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan hasil dan menghindari
kerugian; (2) hubungan pertukaran berkembang dalam struktur ketergantungan mutual,
baik karena adanya kesamaan alasan dari pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran
untuk mendapatkan sumberdaya atau karena tidak adanya keinginan membangun
jaringan hubungan pertukaran; (3) orang-orang yang terlibat dalam pertukaran saat ini,
secara timbal balik meningkatkan pertukaran dengan pasangan khusus pada kesempatan
yang lain; (4) implikasi bernilai akan mengikuti hukum ekonomi utilitas marjinal yang
semakin turun atau prinsip psikologi mengenai kepuasan.
Blau (1964) menyatakan dukungan organisasional merupakan dasar hubungan
pertukaran yang dijelaskan dalam prinsip sosial atau ekonomi. Dua cara utama pertukaran
sosial, yaitu: (1) pertukaran menyeluruh (global) antara karyawan dan organisasi, dan (2)
hubungan antara atasan dan bawahan. Hukum timbal balik (norm of reciprocity) menyatakan
bahwa individu yang diperlakukan dengan baik oleh pihak lain akan merasa berkewajiban
untuk membalasnya dengan perlakuan baik pula (Blau, 1964; Gouldner, 1960). Setton et al.
(1996) menyatakan bahwa dukungan organisasional yang dipersepsikan level tinggi akan
menciptakan kewajiban bagi individu untuk memberikan timbal baliknya.
Griffin and Moorhead (2013) menyatakan bahwa dukungan organisasi adalah
segala usaha yang dilakukan oleh organisasi dalam rangka membantu atau menghambat
prestasi kerja. Dukungan yang positif misalnya menyediakan kebutuhan sumber daya
untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai tujuan dan dukungan organisasi yang
negatif berarti organisasi gagal dalam menyediakan sumber daya yang dibutuhkan.
Menurut Schermerhorn (2010), prestasi secara langsung dipengaruhi oleh atribut
individu seperti kemampuan dan pengalaman, dukungan organisasi seperti sumber daya
dan teknologi dan usaha atau kerelaan individu untuk berkerja keras dalam mencapai apa
yang diinginkan.
Chandan (2009) menyatakan dukungan dan sumber daya dari organisasi sangat
mempengaruhi perilaku manusia secara signifikan sehingga prestasi yang dicapai
dipengaruhi oleh perilaku ini sendiri. Fasilitas fisik dan teknologi dalam organisasi, serta
saran dan arahan dari pemimpin sangat baik dan memberi dampak yang positif terhadap
prestasi, sehingga hal ini akan menghasilkan prestasi yang berkualitas tinggi.

Implikasi efikasi diri di tempat kerja


Bandura (2004) dalam penelitian yang berhubungan dengan pengaruh langsung
dan tidak langsung dari efikasi diri pada efektivitas pribadi dan organisasi yang
berhubungan dengan pekerjaan menyatakan dampak dari efikasi diri mencakup berbagai
aspek seperti pelatihan dan pengembangan, bekerja sama, perubahan dan inovasi,
kepemimpinan, dan stres. Ivancevich et al. (2011) dan Luthans et al. (2007) dalam
penelitian tentang keyakinan diri, implikasi manajerial dan organisasi menemukan bahwa
:
1) Seleksi / Keputusan Promosi
Organisasi harus memilih calon pegawai yang memiliki tingkat efikasi diri, karena
orang-orang ini yang nantinya akan termotivasi untuk terlibat dalam perilaku yang
akan membantu mereka untuk bekerja lebih baik. Pengukuran mengenai tingkat
efikasi diri dapat diberikan saat proses perekrutan/promosi.
2) Pelatihan dan pengembangan
Organisasi harus mempertimbangkan tingkat efikasi diri pegawai ketika memilih
antara kandidat untuk mengikuti program pelatihan dan pengembangan. Jika
anggaran pelatihan terbatas, peluang yang lebih besar (yaitu, prestasi kerja) atas
investasi pelatihan dapat direalisasikan dengan mengirimkan pegawai yang memiliki
tingkat efikasi diri tinggi. Orang-orang ini akan cenderung belajar lebih banyak saat
pelatihan yang pada akhirnya, akan lebih mungkin untuk menggunakan pembelajaran
yang untuk meningkatkan kinerja pekerjaan mereka.
3) Menetapkan tujuan dan kinerja
Organisasi dapat mencapai tujuan kinerja dengan lebih maksimal lewat pegawai
yang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi, karena dengan tingkat efikasi diri
pegawai yang tinggi maka akan dapat mendorong pegawai bekerja lebih baik dan
membantu organisasi dalam mencapai tujuan kinerjanya dan hal ini sangat penting
bagi organisasi pada era persaingan yang tinggi.

Faktor-faktor yang memengaruhi efikasi diri


Menurut Bandura (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi diri,
yaitu :
1). Jenis kelamin
Pada beberapa bidang pekerjaan tertentu pria memiliki efikasi diri yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita, bagitu juga sebaliknya efikasi diri wanita unggul dalam
beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria. Pria biasanya memiliki efikasi diri
yang tinggi dengan pekerjaan yang menuntut keterampilan teknis matematis.
2). Usia
efikasi diri terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat berlangsung selama
kehidupan. Individu yang lebih tua memiliki rentang waktu dan pengalaman yang
lebih banyak dalam mengatasi suatu hal jika dibandingkan dengan individu yang
lebih muda.
3). Tingkat pendidikan
efikasi diri terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat terjadi pada institusi
pendidikan formal. Individu yang memiliki jenjang pendidikan tinggi biasanya
memiliki efikasi diri yang lebih tinggi. Karena pada dasarnya mereka lebih banyak
menerima pendidikan formal dan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk
belajar dan mengatasi suatu persoalan.
4). Pengalaman kerja
efikasi diri terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat terjadi pada suatu
organisasi maupun perusahaan. Efikasi diri terbentuk sebagai proses adaptasi dan
pembelajaran yang ada dalam perusahaan tersebut. Semakin lama seseorang bekerja
maka semakin tinggi efikasi diri yang dimilikinya dalam bidang pekerjaan tertentu.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan efikasi diri orang tersebut justru cenderung
tetap atau menurun

Dimensi efikasi diri


Efikasi diri berbeda-beda pada setiap dimensi yang dimiliki oleh masing-masing
pegawai untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Bandura (1997) menyatakan bahwa
terdapat tiga dimensi pada efikasi diri yaitu:
1) Tingkat kesulitan tugas (Magnitude)
Menunjukkan kepada tingkat kesulitan yang diyakini oleh individu untuk dapat
diselesaikan. Individu akan mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk
dilakukan. Sebaliknya ia akan menghindari situasi dan perilaku yang dirasa
melampaui batas kemampuannya.
2) Kekuatan keyakinan (Strength)
Suatu kepercayaan diri yang ada dalam diri seseorang yang dapat ia wujudkan dalam
meraih performa tertentu. Hal ini berkaitan dengan keteguhan hati terhadap
keyakinan individu akan berhasil dalam menghadapi suatu permasalahan.
3) Generalitas (Generality)
Menunjukkan apakah keyakinan diri akan berlangsung dalam domain tertentu atau
berlaku dalam berbagai macam aktifitas dan situasi. Hal ini berkaitan dengan
seberapa luas bidang perilaku yang diyakini untuk berhasil dicapai oleh individu.
Tinggi rendahnya efikasi diri berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan
lingkungan yang tidak responsif menghasilkan 4 kondisi yang bisa diprediksi (Bandura,
1997), yaitu :
1) Bila efikasi diri tinggi dan lingkungan responsif hasil yang dapat diperkirakan
adalah kesuksesan.
2) Bila efikasi diri rendah dan lingkungan responsif hasilnya adalah manusia dapat
menjadi depresi saat mereka mengamati orang lain berhasil menyelesaikan tugastugas yang sulit.
3) Bila efikasi diri tinggi dan lingkungan tidak responsif hasil yang dapat diperkirakan
adalah manusia akan berusaha keras mengubah lingkungan.
4) Bila efikasi diri rendah dan lingkungan tidak responsif hasil yang dapat
diperkirakan adalah manusia akan merasa mudah menyerah dan tidak berdaya.

Sumber-sumber efikasi diri


Menurut Bandura (1997) penilaian seseorang mengenai tingkatan efikasi diri yang
diyakininya berdasarkan empat sumber informasi, yaitu :
1). Pengalaman keberhasilan (mastery experiences)
Pencapaian prestasi merupakan bagian yang paling berpengaruh dalam
penentuan efikasi diri. Pengalaman sukses sebelumnya memberikan indikasi
langsung dari tingkatan kompetensi individu. Tingkah laku atau hasil sebelumnya
menunjukkan kemampuan individu dan menguatkan penilaiannya atas efikasi diri.
Khususnya apabila kegagalan sebelumnya diulangi dengan kegagalan lagi, maka hal
ini akan menurunkan efikasi diri.
Individu dengan efikasi diri yang tinggi percaya bahwa mereka bisa berdamai secara
efektif dengan kejadian yang mereka hadapi dalam kehidupannya. Mereka
mengharapkan kesuksesan dalam rintangan yang akan dihadapi, oleh karena itu
mereka gigih dalam tugas dan sering melakukan performansi yang baik. Mereka
memiliki kepercayaan diri yang baik dalam kemampuan mereka dibandingkan
individu dengan efikasi diri yang rendah, dan mereka hanya sedikit memperlihatkan
keragu-raguan. Individu dengan efikasi diri yang tinggi melihat hal sulit sebagai
tantangan dan aktif mencari situasi yang baru.
2). Pengalaman orang lain (vicarious experiences)
Melihat kesuksesan orang lain akan menguatkan perasaan akan efikasi diri,
khususnya jika seseorang yang menjadi objek observasi memiliki kemampuan yang
sama dengan individu yang melakukan observasi. Sebaliknya jika individu melihat
orang lain yang dianggap memiliki kesamaan tersebut mengalami kegagalan, maka
hal ini akan menurunkan efikasi diri.
Individu yang memiliki standar penampilan tinggi yang mengambil standar tersebut
dari hasil mengobservasi model yang sukses akan memiliki harapan yang tinggi,
namun jika kemudian gagal, maka individu tersebut akan menghukum dirinya sendiri
dengan perasaan tidak berharga dan depresi.
Jadi, hal yang terpenting adalah menentukan orang yang tepat kemampuan dan
kompetensinya untuk dijadikan model. Model yang dipilih juga akan menunjukkan
strategi dan teknik yang mungkin dilakukan pada situasi yang sulit.
3). Persuasi lisan (verbal persuasion)
Mengatakan kemampuan yang dimiliki dan prestasi apa yang ingin dicapai dapat
meningkatkan efikasi diri seseorang. Hal ini mungkin yang paling umum dari
keempat sumber penilaian efikasi diri lainnya. Persuasi lisan ini sering dilakukan
oleh orang tua, guru, suami/istri, teman, dan terapis. Agar efektif, persuasi haruslah
realistik.
4). Keterbangkitan psikologis (psychological arousal)
Keterbangkitan psikologis ini meliputi perasaan tenang atau ketakutan pada situasi
yang membuat stres. Keterbangkitan psikologis ini biasa digunakan untuk melihat
kemampuan individu dalam mengatasi masalah

Konsep dan Pengertian efikasi diri


Bandura (1977) mengemukakan teori efikasi diri (self-efficacy) merupakan
komponen kunci dalam Teori Sosial Kognitif atau Teori Pembelajaran Sosial yang
merujuk kepada keyakinan bahwa ia mampu mengerjakan suatu tugas dan memotivasi
dirinya dalam rangka mencapai hasil yang diinginkan. Semakin tinggi efikasi diri, maka
semakin tinggi rasa percaya diri yang dimiliki dalam kemampuan untuk berhasil dalam suatu
tugas. Individu dengan efikasi diri tinggi akan berusaha lebih keras untuk mengalahkan
tantangan. Efikasi diri memainkan peran yang sangat besar dikarenakan dapat membantu
seseorang dalam menentukan pilihan, usaha mereka untuk maju, kegigihan dan ketekunan
yang mereka tunjukkan dalam mengahadapi kesulitan, dan derajat kecemasan atau
ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakup
kehidupan mereka (Bandura, 1986).
Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa efikasi diri mengacu pada
keyakinan individu tentang kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya
kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil dalam melaksanakan tugas dalam
konteks tertentu serta dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang posotif.
Teori pembelajaran sosial menegaskan bahwa hasil pengalaman dan pengamatan personal
pada pengalaman yang lainnya, pengembangan manusia tergantung pada: (1) kemampuannya
untuk melaksanakan tugas dengan sukses dalam berbagai tipe-tipe perilaku; dan (2)
kemungkinan yang hendak dicapai dalam berbagai tingkah laku akan diikuti oleh nilai-nilai
yang akan masuk dari hasil yang hendak dicapai.
Menurut Kurniawan (2004) efikasi diri merupakan panduan tindakan, yang telah
dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi
diri yang berasal dari pengalaman tersebut yang akan digunakan untuk memprediksi
perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Baron dan Byrne (2000)
mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian individu terhadap kemampuan
atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan
menghasilkan sesuatu. Feist dan Feist (2002) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan
keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol
terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan yang dihadapi.

Pengaruh Pelatihan Perencanaan Karir Untuk MeningkatkanEfikasi Diri Dalam Pengambilan Keputusan Karir Siswa


Taylor dan Betz (1983) mendefinisikan efikasi diri dalam pengambilan
keputusan karir merupakan keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan
pengambilan keputusan terkait tugas-tugas karir di masa depan. Siswa yang
berkeyakinan tinggi akan mengatakan bahwa dirinya mampu memilih karir dan
bertanggung jawab atas pilihan karirnya tersebut (Hamzah, Achmad, & Shohib,
2014). Dengan kata lain, siswa yang mampu menyadari kemampuannya akan yakin
dengan pilihan karirnya dan mampu membuat langkah-langkah tujuan yang jelas.
Penyebab efikasi diri rendah dalam pengambilan keputusan karir pada siswa
disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu penyebabnya adalah keraguan dalam
mengambil keputusan karir. Aspek yang dialami sebelum mengambil keputusan
kurangnya kesiapan yang meliputi kurangnya motivasi, sifat ragu dalam mengambil
keputusan dan keyakinan yang salah (Sawitri, 2008). Menurut Gati, Krausz, dan
Osipow (1996) mengatakan ketidakyakinan dalam mengambil keputusan karir
disebabkan kesulitan-kesulitan yang dialami individu sebelum atau pada saat proses
pengambilan keputusan karir karena kurangnya kesiapan mengambil keputusan
karir, kurangnya informasi mengenai pengambilan keputusan karir, dan informasi
yang tidak konsisten mengenai diri sendiri atau karir sehingga menghambat individu
dalam mengambil keputusan karir.
Kesulitan-kesulitan tersebut menjadikan individu cenderung untuk
menyerahkan tanggungjawab pengambilan keputusan pada orang lain atau
menunda dan menghindar dari tugas mengambil keputusan. Dengan demikian,
keputusan yang diambil menjadi tidak optimal dan dapat mengakibatkan
konsekuensi negatif jangka panjang (Sawitri, 2008). Siswa cenderung beranggapan
bahwa pilihan pekerjaannya sulit terwujud karena sulit untuk masuk sekolah
lanjutan yang diinginkan dan sesua dengan cita-cita. Hal itu menimbulkan sikap
keraguan, mudah menyerah hingga akhirnya menghindari tanggungjawab atas
pilihan karirnya.

Tahap Perkembangan Karir


Menurut Ginzberg, Ginsburg, Axerald dan Herma (1951), ada tiga periode
dalam proses pemilihan karir, yaitu:

  1. Fantasi (3-10 tahun)
    Karakteristik perkembangan karir adalah sebagai berikut:
    a) 3-4 tahun, anak berusaha memformulasikan jawaban atas pertanyaan
    aktivitas yang ingin dilakukan pada masa dewasa
    b) 4-6 tahun, muncul fungsi kesenangan atau kenikmatan anak berusaha
    untuk memilih pekerjaan yang menimbulkan rasa senang dalam
    dirinya.
    c) 8-9 tahun, ada perubahan di dalam pemilihan karir yang lebih
    difokuskan pada hasil kerjadan kepuasan jika melakukan tugasnya
    dengan baik. pemilihan karir dibuat kurang realistis, karena lebih
    banyak dipengaruhi fantasi, mimpi, keinginan untuk cepat dewasa
    daripada pengalaman hidup yang nyata berdasarkan realitas.
    d) 10-11 tahun, pilihan karir anak lebih realistis, karena individu semakin
    menyadari bahwa hambatan yang akan ditemui dalam pencapaian
    karir akan menjadi tanggung jawab pribadi. Mulai mencoba membuat
    pilihan karir, namun sifatnya masih sementara berdasarkan
    pengetahuan yang terbatas yang dimilikinya tentang diri dan realitas.
    Karakteristik perilaku pada periode fantasi adalah anak yang berusaha
    untuk mengetahui arti bekerja, berharap ingin menjadi orang dewasa
    serta mempunyai perspektif waktu yang kacau, karena bagi anak
    masa depan adalah bukan masa sekarang. Belum mampu membuat
    sebuah pilihan karir dan fantasi masih sangat kuat serta kurang dapat
    membedakan antara masa kini dengan masa depan.
  2. Tentatif (11-17 tahun)
    Tahap tentatif berlangsung dari mulai usia lulus sekolah dasar sampai
    dengan usia 18 tahun. Pada periode ini individu berusaha untuk mencari
    dasar yang sesuai bagi pemilihan karirnya dan pilihan karir didasarkan
    pada minat, kemampuan dan nilai-nilai yang dianut. Individu mempunyai
    pengetahuan serta informasi yang terbatas dan kurang tentang faktorfaktor yang dibutuhkan untuk berkomitmen terhadap pemilihan karir,
    sehingga keputusan yang diambil sifatnya masih mudah berubah dan
    pilihan yang sifatnya permanen ketika berada pada akhir masa remaja dan
    awal masa dewasa.
    Perkembangan pemahaman tentang perspektif waktu pada periode
    ini anak berusaha membedakan antara masa kini dan masa depan,
    mencoba mengenali bahwa kejadian yang berlangsung pada masa
    sekarang dan dapat mempengaruhi masa depan. Kesadaran diri terhadap
    kemungkinan hambatan yang muncul dalam proses pemilihan karir adalah
    mulai menyadari bahwa pekerjaan orang dewasa sama dari waktu ke
    waktu sehingga mempunyai harapan untuk dapat bekerja secara rutin
    yang dapat menimbulkan perasaan senang dan nyaman.
    Pemilihan karir cenderung tidak permanen, karena pilihan karir masih
    dapat berubah dan individu juga mendapatkan informasi tentang training
    dan pekerjaan. Jika konflik dan permasalahan dapat terselesaikan, periode
    tentatif memberikan jalan kepada individu untuk dapat memilih karir yang
    realistis. Para usia 11-12 tahun pilihan karir dibuat berdasarkan minat,
    yang mempertimbangkan faktor kesenangan dan ketidaksenangan anak
    terhadap suatu hal. Pada usia 13-14 tahun, anak mulai memilih karir
    berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Usia 15-16 tahun adalah fase nilai
    saat anak memikirkan nilai yang penting bagi dirinya. Usia di atas 16
    tahun selanjutnya merupakan masa transisi menuju pertimbangan
    realitas.
  3. Realistik (18-23 tahun)
    Pada periode realistik anak berusaha untuk mencapai kompromi
    antara kebutuhan-kebutuhan diri dengan kenyataan pada akhirnya akan
    menyelesaikan permasalahan dalam pilihan karir. Dibagi menjadi tiga
    tahapan, yaitu:
    a) Eksplorasi
    Pada tahap eksplorasi individu menghilangkan pilihan karir yang
    tidak mungkin dapat terealisasi, menyadari pentingnya memilih
    pekerjaan yang dapat memunculkan kesenangan atau kepuasan serta
    menyadari bahwa suatu pilihan karir kemungkinan sulit untuk dicapai
    karena ada konflik dalam beberapa faktor yang mempengaruhinya.
    b) Kristalisasi
    Pada tahap kristalisasi individu berusaha untuk membuat
    kompromi antara faktor-faktor yang dibutuhkan dalam pilihan karirnya
    dengan faktor-faktor yang ada dalam dirinya menuju pada tujuan karir
    yang jelas, menghentikan eksplorasi dan mulai berusaha untuk
    memformulasikan suatu rencana karir yang pasti di masa depannya.
    c) Spesifikasi
    Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ginzberg (Crites, 1969)
    ada tiga tahap perkembangan karir yaitu fantasim, tentatif dan
    realistik.

Pelatihan Perencanaan Karir


Pelatihan perencanaan karir merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
sistematik dan menyeluruh dalam menilai kemampuan diri, tujuan hidup,
kepribadian, hal yang disukai dan yang tidak disukai guna penentuan jalur karir
baik jangka panjang maupun pendek. Pelatihan perencanaan karir membantu
para siswa untuk yakin dengan pilihan yang dibuatnya. Keputusan tersebut
diambil dengan mempertimbangkan kemampuan diri dengan tujuan dan peran di
masa depan dalam dunia kerja (Rothwell, Jakson, Resseler & Jones, 2015).
Pelatihan perencanaan karir dirancang berdasarkan teori experiental
learning yang menyatakan bahwa pelatihan mampu mengubah struktur kognitif,
sikap serta ketrampilan yang dimiliki oleh peserta. Melalui pelatihan, peserta
diarahkan untuk menyadari pentingnya suatu keterampilan dikuasai dan
menyadari komponen-komponen atau langkah-langkah yang perlu dilakukan
supaya suatu keterampilan dapat dikuasai dengan baik (Johnson & Johnson,
2001). Pelatihan melibatkan aktivitas yang nyata, dimana setelah mendapatkan
materi dan keterampilan peserta diminta untuk mempraktekkan materi dan
keterampilan yang diperolehnya. Pelatihan perencanaan karir meliputi berbagai
macam aktivitas yang melibatkan peserta secara langsung, misalnya
menggunakan metode ceramah juga mengisi lembar kerja, diskusi, presentasi
serta permainan.
Pelatihan perencanaan karir dlakukan selama dua hari meliputi empat sesi
berdasarkan aspek-aspek perencanaan karir yang dibutuhkan oleh peserta
pelatihan. Aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (a)
penilaian diri sendiri, (b) penentuan tujuan karir yaitu pilihan sekolah lanjutan,
(c) pengumpulan informasi sekolah lanjutan, (d) antisipasi dan pemecahan
masalah dan (e) menyusun rencana karir.
Sesi pertama yaitu sesi Who Am I. Bertujuan untuk mewujudkan impian
masa depan harus dimulai dengan mengenali/memahami segala hal dalam
dirinya yang menyangkut kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Metode yang
akan digunakan adalah permainan, menonton video, ceramah dan pengerjaan
lembar kerja oleh peserta. Kesulitan dalam mengambil keputusan karir
berhubungan dengan cara seseorang menilai kemampuan dirinya dalam
menghadapi tantangan dan kendala karir (Santosa & Himam, 2014). Melalui
pelatihan perencanaan karir dapat meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan
keputusan karir pada siswa menjadi lebih adaptif terhadap pemecahan masalah,
khususnya pada siswa perempuan (Scott & Ciani, 2008). Mengenali dan
memaham diri sendiri seseorang menjadi lebih mengetahui tujuan dan arah
hidup yang ingin dicapainya.

Pengertian Perencanaan Karir


Menurut Antoniu (2010), perencanaan karir merupakan serangkaian
proses yang sistematik dan menyeluruh dalam menargetkan pengembangan
karir serta strategi penilaian diri, analisis peluang dan mengevaluasi hasil.
Sedangkan menurut Monash Career Planning Resource (2015), perencanaan
karir adalah proses dimana tujuan, nilai-nilai, aspirasi, kemampuan, gaya hidup,
kepribadian, hal yang disukai dan tidak disukai diidentifikasi, diperiksa,
diprioritaskan untuk membantu individu menentukan jalur karir jangka panjang.
Dengan kata lain, perencanaan karir berkaitan dengan serangkaian penilaian dan
evaluasi mengenai diri sendiri yang disesuaikan dengan pilihan pekerjaan.
Perencanaan karir berfokus pada tujuan dengan melihat dan
membandingkan peran dan kemampuan diri (Rothwell, Jakson, Resseler &
Jones, 2015). Oleh karena itu, pengertian perencanaan karir siswa dapat
didefiinisikan sebagai serangkaian proses sistematik dan menyeluruh mengenai
penilaian diri dengan membandingkan perannya di masa depan sebelum
memasuki dunia kerja. Perencanaan karir merupakan suatu strategi siswa untuk
mempersiapkan diri dalam mencapai pekerjaan yang diimpikan.
Model pengembangan karir yang baik mengutamakan pentingnya
pemahaman individu akan pemahaman diri, pemahaman pekerjaan serta
orientasi terhadap dunia kerja, sehingga akan menghasilkan suatu keputusan
pilihan karir yang relatif menetap, yang biasa disebut dengan kristalisasi pilihan
karir. Perencanaan karir yang baik adalah membuat rencana pilihan pekerjaan
berdasarkan kemampuan individu dengan tujuan untuk membantu memahami
dirinya dengan baik serta mengelola diri dengan lebih efektif, supaya dapat
memilih pekerjaan yang sesuai dan berhasil dalam melakukan kerjanya (Holland,
1973)
Menurut Holland (1997) perencanaan karir memiliki tujuan:

  1. Mencocokkan individu dengan pekerjaan, baik dalam segi pemilihan
    pekerjaan maupun pemilihan training/pelatihan yang sesuai
  2. Membantu merencanakan aktivitas karir untuk meningkatkan kualitas
    individual
  3. Membantu individu dalam membuat keputusan karir yang tepat dan
    efektif
  4. Membantu individu untuk memahami dirinya serta pekerjaannya
  5. Individu untuk mendapatkan kepuasan kerja

Sumber-sumber Efikasi Diri Dalam Pengambilan Keputusan Karir


Menurut Bandura (1997), ada beberapa sumber pembentukan efikasi
diri seseorang antara lain:
a. Pengalaman Secara Langsung (Mastery Experience)
Merupakan keyakinan individu pada pengalaman masa lalu yang
dialami secara langsung dalam memutuskan suatu keputusan atau
pekerjaan. Pengalaman individu tersebut memberikan bahan
pertimbangan pada keyakinannya dalam pengambilan keputusan di masa
akan datang. Adanya pengalaman keberhasilan di masa lalu akan
memberikan dampak positif dalam hidupnya sehingga mampu
meningkatkan efikasi diri dari individu tersebut. Dengan demikian, besar
kemungkinannya untuk diulang di masa yang akan datang sebagai
pengalaman berharga. Begitu sebaliknya, pengalaman kegagalan di masa
lalu akan mempengaruhi efikasi dirinya di masa depan sehingga ada
kecenderungan individu untuk menghindar dalam mengambil suatu
keputusan atau tugas.
b. Pengalaman Melihat (Vicarious Experience)
Merupakan pengalaman hasil pengamatan dan pengalaman dari
kehidupan orang lain. Hal tersebut berkaitan dengan keberhasilan maupun
kegagalan orang lain yang hampir serupa dengan dirinya dalam memilih
suatu keputusan. Efikasi diri seorang individu akan mengalami
peningkatan maupun penurunan setelah melihat pengamatan dan
pengalaman hidup dari orang lain. Pada dasarnya, pengalaman ini
menggunakan strategi modeling sebagai suatu cara memperkirakan
kemungkinan keberhasilannya berdasarkan pada keberhasilan perilaku
orang lain dalam tugas serupa. Apabila individu melihat orang lain yang
bernasib sama dan mengalami keberhasilan, maka individu tersebut
mengalami peningkatan efikasi diri untuk dapat berhasil. Sebaliknya
individu mengalami penurunan efikasi diri apabila melihat orang lain yang
bernasib sama dan terjadi kegagalan dalam hidupnya.
c. Persuasi Verbal (Verbal Persuation)
Dalam hal ini informasi verbal dari orang berpengaruh memberikan
dampak besar dalam hidup individu bersangkutan. Informasi verbal yang
diberikan akan mendorong individu bersangkutan sehingga terjadi
perubahan keyakinan diri. Informasi verbal biasanya berupa saran,
nasehat dan bimbingan yang mendorong individu untuk berusaha lebih
keras dalam menggapai kesuksesan dan keberhasilan hidup. Verbal
persuation adalah cara yang paling sering dan mudah untuk dilakukan.
Akan tetapi, verbal persuation tidak dapat bertahan lama sebab
bergantung pada orang lain.
d. Keadaan Fisik (Physiological State)
Keadaan fisik individu akan mempengaruhi keyakinan diri dalam
memutuskan maupun mengerjakan suatu tugas. Biasanya kondisi individu
akan merespon apakah individu tersebut mampu atau tidak melakukan
suatu hal. Seperti contoh individu dihadapkan suatu pilihan, maka tubuh
akan mersepon dengan cara berkeringat dan cemas saat pilihan tersebut
dirasakan sulit oleh individu itu.

Aspek-aspek Efikasi Diri Dalam Pengambilan Keputusan Karir


Taylor dan Betz (1983) mengemukakan ada lima aspek dari efikasi diri
pengambilan keputusan karir, yaitu accurate self appraisal, gathering
occupational information, goal selection, making plans for the future, dan
problem solving.
a. Penilaian Diri Yang Tepat (Accurate self-appraisal)
Accurate self-appraisal, melibatkan pembuatan dalam penilaian yang
akurat dari minat karir, keterampilan, tujuan, dan nilai-nilai seseorang.
Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu mampu melakukan
asesmen terhadap kemampuan, minat karir, tujuan, dan nilai-nilai yang
dianutnya. Sebagai contoh siswa mampu untuk menilai kelebihan dan
kekurangan yang ada pada dirinya. Melalui penilaian tersebut siswa akan
mampu memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik.
b. Mengumpulkan Informasi Pekerjaan (Gathering occupational information)
Gathering occupational information, melibatkan kemampuan untuk
menggambarkan suatu pekerjaan yang menarik, serta informasi tambahan
tentang bidang karir yang dipilih seseorang atau tentang pasar kerja pada
umumnya. Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu melakukan
asesmen terhadap pengetahuan yang dimilikinya mengenai dunia
pekerjaan dan tugas berbagai bidang pekerjaan. Dengan mengetahui
berbagai informasi pekerjaan yang ada di sekitar siswa, diharapkan siswa
memahami pasar kerja yang akan mereka hadapi ketika sudah lulus dari
bangku pendidikan.
c. Menetapkan Tujuan (Goal selection)
Goal selection, berfokus pada kemampuan untuk mengidentifikasi
tujuan karir berupa pemberian pujian maupun hadiah dari nilai-nilai,
kepentingan dan keterampilan seorang individu. Dalam hal ini mencakup
sejauhmana individu mampu melakukan asesmen terhadap kemampuan
dalam menyesuaikan keadaan dirinya dengan karakteristik berbagai
pekerjaan. Dengan mengetahui berbagai nilai kelebihan yang ada, siswa
akan menjadi lebih mudah memahami potensi yang ada pada dirinya
untuk menyesuaikan suatu pekerjaan tertentu.
d. Membuat Rencana Masa Depan (Making plans for the future)
Making plans for the future, menjelaskan tugas-tugas yang
mempersiapkan individu untuk pasar kerja dan proses lamaran pekerjaan
di bidangnya. Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu mampu
melakukan perencanaan dengan baik dalam membuat keputusan karir
masa depannya. Siswa belajar menyusun rencana karirnya setelah lulus
sekolah. Rencana masa depan dibuat dengan tahap-tahapan yang jelas
sehingga siswa akan termotivasi untuk melakukannya sesuai dengan
perencanaan yang dibuatnya sendiri.
e. Pemecahan Masalah (Problem solving)
Problem solving, menilai ketahanan seseorang ketika menghadapi
hambatan kerja. Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu memiliki
kemampuan dalam mengatasi dan memecahkan masalah dalam
menghadapi permasalahan dalam pengambilan keputusan karir. Siswa
akan belajar mempertimbangkan keinginan dan harapan orang lain
terhadap dirinya.

Pengertian Efikasi Diri Dalam Pengambilan Keputusan Karir


Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir berasal dari teori yang
dikemukakan oleh Bandura (1997), bahwa efikasi diri merupakan bentuk
keyakinan individu akan kemampuan yang telah dikuasainya dalam mengatur
dan melaksanakan serangkaian tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil
tertentu. Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2003), efikasi diri adalah
keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas
yang diberikan, mencapai tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Dengan
demikian, efikasi diri sebagai penentu hasil dari tujuan hidup yang ingin dicapai
seseorang.
Menurut Crites (1978) keyakinan dalam diri individu dalam mengambil
sebuah keputusan karir dipengaruhi beberapa keterampilan diantaranya
mengumpulkan berbagai macam pilihan pekerjaan, menilai kemampuan dan
minat diri sendiri, menyeleksi tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan pekerjaan
yang diinginkan, membuat perencanaan untuk mencapai tujuan yang ingin
dicapai dan membuat strategi untuk mengelola masalah ketika muncul masalah
dalam pekerjaan. Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir merupakan
kegiatan yang memerlukan tindakan tepat karena melibatkan proses berpikir dan
tingkat motivasi pada diri individu. Oleh karena itu, efikasi diri merupakan salah
satu faktor penting yang mempengaruhi keterampilan pengambilan keputusan
karir pada seseorang.
Sesuai dengan teori Bandura dalam bidang pendidikan, siswa yang
memiliki efikasi diri tinggi dalam pengambilan keputusan karir adalah siswa yang
menyadari kemampuannya sehingga memiliki keinginan untuk mewujudkan
target yang telah direncanakan dengan langkah-langkah pencapaian yang jelas.
Tingginya tingkat efikasi diri mengarahkan pada peningkatan kemampuan
individu dalam mengambil keputusan karir. Sedangkan, siswa yang memiliki
efikasi diri rendah adalah siswa yang kurang atau bahkan belum memahami diri
sendiri hingga merasa tidak mampu atau ragu pada keberhasilan masa
depannya. Dengan kata lain, siswa dengan efikasi diri rendah cenderung
menghindar dan mudah menyerah pada pengambilan keputusan karir masa
depannya (Betz & Hackett, 1986).
Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir mempengaruhi pilihan
kerja dan ketekunan seseorang dalam tugas serta perilaku tertentu. Menurut
Taylor dan Betz (1983), efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir
merupakan tingkat keyakinan individu bahwa mereka dapat berhasil melakukan
tugas-tugas terkait pemilihan karir dan komitmen kerja. Efikasi diri dalam
pengambilan keputusan karir mengacu pada sejauh mana siswa memiliki
kepercayaan pada kemampuannya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
pendidikan dan kerja.

Faktor yang mempengaruhi bekerja


Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang yang
bekerja, baik itu faktor yang berasal dari dalam diri individu atau
faktor internal dan faktor yang berasal dari luar individu atau
faktor eksternal. Flippo (1997) menyatakan ada sepuluh faktorfaktor yang mempengaruhi seseorang untuk bekerja, yaitu:
a. Upah. Upah merupakan salah satu alat pemuas
kebutuhan-kebutuhan fisiologi, keterjaminan, dan
egoistik.
b. Keterjaminan pekerjaan. Karena ancaman dari
perubahan teknologis, keinginan ini sangat
mendapat prioritas untuk banyak karyawan dan
serikat buruh.
c. Teman-teman sekerja yang menyenangkan.
Keinginan ini berasal dari kebutuhan sosial untuk
berteman dan diterima.
d. Penghargaan atas pekerjaannya yang dilakukan.
Keinginan ini berasal dari pengelompokan
kebutuhan secara egoistik.
e. Pekerjaan yang berarti. Keinginan ini berasal baik
dari kebutuhan akan penghargaan maupun
dorongan ke arah perwujudan diri dan prestasi.
f. Kesempatan untuk maju. Tidak semua karyawan
ingin maju. Beberapa orang merasakan
kebutuhan-kebutuhan egoistik. Namun sebagian
besar karyawan ingin mengetahui bahwa
kesempatan untuk itu ada jika mereka ingin
menggunakannya.
g. Kondisi kerja yang nyaman, aman dan menarik.
Keinginan akan kondisi kerja yang baik juga
didasari oleh banyak kebutuhan. Kondisi kerja
yang aman berasal dari kebutuhan akan
keamanan.
h. Kepemimpinan yang mampu dan adil. Keinginan
akan kepemimpinan yang baik dapat berasal dari
kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keterjaminan.
i. Perintah dan pengarahan yang masuk akal.
Perintah merupakan komunikasi sesuai dari
tuntutan organisasi. Pada umumnya perintah
tersebut harus berkaitan dengan keadaan yang
diperlukan, dapat dilaksanakan lengkap tetapi
tidak dirinci secara berlebihan, jelas atau singkat
dan disampaikan dengan cara merangsang sikap
menerima.
j. Organisasi yang relevan dari segi sosial.
Kecenderungan sosial yang semakin menaruh
pada organisasi-organisasi swasta, juga
mempengaruhi pengharapan pada karyawan.

Bentuk efikasi diri


Efikasi diri mempunyai bentuk sendiri-sendiri,
Mappiare (1982) mengatakan bahwa orang dengan
efikasi diri tinggi akan selalu memiliki pandangan yang
positif terhadap setiap kegagalan dan menerima
kekurangan yang dimilikinya apa adanya. Seseorang
yang bijaksana akan terus berusaha mengubah
kegagalan menjadi keberhasilan dengan melakukan halhal yang positif.
Terdapat beberapa orang yang memiliki bentuk
efikasi diri tinggi yaitu lebih aktif, mampu belajar dari
masa lampau, mampu merencanakan tujuan dan
membuat rencana kerja, lebih kreatif menyelesaikan
masalah sehingga tidak merasa stres serta selalu
berusaha lebih keras untuk mendapatkan hasil kerja yang
maksimal. Bentuk tersebut membuat individu lebih
sukses dalam pekerjaan dibandingkan individu yang
mempunyai efikasi diri yang rendah dengan ciri-ciri yaitu
pasif dan sulit menyelesaikan tugas, tidak berusaha
mengatasi masalah, tidak mampu belajar dari masa lalu,
selalu merasa cemas, sering stres dan terkadang depresi
(Kreitner dan Kinichi, 2003) .
Kondisi tersebut di atas, diperkuat oleh pendapat
Bandura (Santrock, 2005) mengatakan individu yang
memiliki bentuk efikasi diri tinggi yaitu memiliki sikap
optimis, suasana hati yang positif dapat memperbaiki
kemampuan untuk memproses informasi secara lebih
efisien, memiliki pemikiran bahwa kegagalan bukanlah
sesuatu yang merugikan namun justru memotivasi diri
untuk melakukan yang lebih baik sedangkan individu
yang memiliki efikasi diri rendah yaitu memiliki sikap
pesimis, suasana hati yang negatif meningkatkan
kemungkinan seseorang menjadi marah, merasa
bersalah, dan memperbesar kesalahan mereka.
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa individu dengan efikasi diri
tinggi adalah individu yang memiliki pandangan
positif terhadap kegagalan dan menerima
kekurangan yang dimilikinya apa adanya, lebih
aktif, dapat mengambil pelajaran dari masa lalu,
mampu merencanakan tujuan dan mambuat
rencana kerja, lebih kreatif menyelesaikan
masalah sehingga tidak merasa stres serta selalu
berusaha lebih keras untuk mendapatkan hasil
kerja yang maksimal.

Aspek-aspek Efikasi Diri


Efikasi diri yang dimiliki seseorang berbedabeda, dapat dilihat berdasarkan aspek yang mempunyai
implikasi penting pada perilaku. Bandura (1986)
mengemukakan ada tiga aspek dalam efikasi diri, yaitu:
a) Magnitude. Aspek ini berkaitan dengan
kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang
dibebankan pada individu disusun
menurut tingkat kesulitannya, maka
perbedaan efikasi diri secara individual
mungkin terbatas pada tugas-tugas yang
sederhana, menengah, atau tinggi.
Individu akan melakukan tindakan yang
dirasakan mampu untuk dilaksanakannya
dan akan tugas-tugas yang diperkirakan
di luar batas kemampuan yang
dimilikinya.
b) Generality. Aspek ini berhubungan luas
bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa
pengalaman berangsur-angsur
menimbulkan penguasaan terhadap
pengharapan pada bidang tugas atau
tingkah laku yang khusus sedangkan
pengalaman lain membangkitkan
keyakinan yang meliputi berbagai tugas.
c) Strength. Aspek ini berkaitan dengan
tingkat kekuatan atau kemantapan
seseorang terhadap keyakinannya.
Tingkat efikasi diri yang lebih rendah
mudah digoyangkan oleh pengalamanpengalaman yang memperlemahnya,
sedangkan seseorang yang memiliki
efikasi diri yang kuat tekun dalam
meningkatkan usahanya meskipun
dijumpai pengalaman yang
memperlemahnya. (Manuntung, 2018:57-
58)

Faktor yang Mempengaruhi EfikasiDiri


Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang
terhadap dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku
yang diperlukan dalam suatu tugas yang dipengaruhi oleh
banyak faktor. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi efikasi diri menurut Azwar (1996) bahwa
efikasi diri yang diperspektifkan oleh individu merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan dalam
performansi yang akan datang dan kemudian dapat pula
menjadi faktor yang ditentukan oleh pola keberhasilan
atau kegagalan performasi yang pernah dialami.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi efikasi diri
menurut Bandura (1986) mengemukakan bahwa efikasi
diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Sifat tugas yang dihadapi. Situasi-situasi atau
jenis tugas tertentu menuntut kinerja yang
lebih sulit dan berat daripada situasi tugas
yang lain.
b. Insentif eksternal. Insentif berupa hadiah
(reward) yang diberikan oleh orang lain untuk
merefleksikan keberhasilan seseorang dalam
menguasi atau melaksanakan suatu tugas
(competence contigen insentif). Misalnya
pemberian pujian, materi, dan lainnya.
c. Status atau peran individu dalam lingkungan.
Derajat status sosial seseorang
mempengaruhi penghargaan dari orang lain
dan rasa percaya dirinya.
d. Informasi tentang kemampuan diri. Efikasi diri
seseorang akan meningkat atau menurun jika
ia mendapat informasi yang positif atau
negatif tentang dirinya.

Pengertian Efikasi Diri


Istilah efikasi diri pertama kali diperkenalkan oleh
Bandura dalam Psychological Review nomor 84 tahun

  1. Menurut Bandura (dalam Jess Feist & Feist,
    2012:212). Self efficacy adalah keyakinan seseorang
    dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk
    kontrol terhadap fungsi orang itu sendiri dan kejadian
    dalam lingkungan. Bandura juga menggambarkan self
    efficacy sebagai penentu bagaimana orang merasa,
    berpikir, memotivasi diri, dan berperilaku (Bandura,
    1994:2).
    Efikasi diri merupakan salah satu aspek
    pengetahuan tentang diri atau self knowwledge yang
    paling berpengaruh dalam kehidupan manusia seharihari. hal ini disebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut
    mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan
    yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
    termasuk di dalamnya perkiraan berbagai kejadian yang
    akan dihadapi.
    Efikasi diri yakni keyakinan bahwa seseorang bisa
    menuasai situasi dan mendapatkan hasil posistif. Bandura
    (Santrock, 2007:286) mengatakan bahwa efekasi diri
    berpengaruh besar terhadap perilaku. Sementara itu,
    Baron dan Byrne mendeinisikan efekasi diri sebagai
    evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau
    kompentensi dirinya untuk melakukan tugas, mencapai
    tujuan, dan mengatasi hambatan.
    Pada intinya, efikasi diri adalah keyakinan
    seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu
    dengan baik. Efikasi diri memiliki keefektifan, yaitu
    individu mampu menilai dirinya memiliki kekuatan untuk
    menghasilkan pengaruh yang diinginkan. Tingginya
    efikasi diri yang dipersepsikan akan memotivasi individu
    secara kognitif untuk bertindak lebih tepat dan terarah,
    terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan
    tujuan yang jelas. Spears & Jordan (Prakoso, 1996)
    mengistilahkan keyakinan seseorang bahwa dirinya akan
    mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan
    dalam suatu tugas. Pikiran individu terhadap efikasi diri
    menentukan seberapa besar usaha yang akan dicurahkan
    dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam
    menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak
    menyenangkan.

Tahap Perkembangan Karir


Menurut Ginzberg, Ginsburg, Axerald dan Herma (1951), ada tiga periode
dalam proses pemilihan karir, yaitu:

  1. Fantasi (3-10 tahun)
    Karakteristik perkembangan karir adalah sebagai berikut:
    a) 3-4 tahun, anak berusaha memformulasikan jawaban atas pertanyaan
    aktivitas yang ingin dilakukan pada masa dewasa
    b) 4-6 tahun, muncul fungsi kesenangan atau kenikmatan anak berusaha
    untuk memilih pekerjaan yang menimbulkan rasa senang dalam
    dirinya.
    c) 8-9 tahun, ada perubahan di dalam pemilihan karir yang lebih
    difokuskan pada hasil kerjadan kepuasan jika melakukan tugasnya
    dengan baik. pemilihan karir dibuat kurang realistis, karena lebih
    banyak dipengaruhi fantasi, mimpi, keinginan untuk cepat dewasa
    daripada pengalaman hidup yang nyata berdasarkan realitas.
    d) 10-11 tahun, pilihan karir anak lebih realistis, karena individu semakin
    menyadari bahwa hambatan yang akan ditemui dalam pencapaian
    karir akan menjadi tanggung jawab pribadi. Mulai mencoba membuat
    pilihan karir, namun sifatnya masih sementara berdasarkan
    pengetahuan yang terbatas yang dimilikinya tentang diri dan realitas.
    Karakteristik perilaku pada periode fantasi adalah anak yang berusaha
    untuk mengetahui arti bekerja, berharap ingin menjadi orang dewasa
    serta mempunyai perspektif waktu yang kacau, karena bagi anak
    masa depan adalah bukan masa sekarang. Belum mampu membuat
    sebuah pilihan karir dan fantasi masih sangat kuat serta kurang dapat
    membedakan antara masa kini dengan masa depan.
  2. Tentatif (11-17 tahun)
    Tahap tentatif berlangsung dari mulai usia lulus sekolah dasar sampai
    dengan usia 18 tahun. Pada periode ini individu berusaha untuk mencari
    dasar yang sesuai bagi pemilihan karirnya dan pilihan karir didasarkan
    pada minat, kemampuan dan nilai-nilai yang dianut. Individu mempunyai
    pengetahuan serta informasi yang terbatas dan kurang tentang faktorfaktor yang dibutuhkan untuk berkomitmen terhadap pemilihan karir,
    sehingga keputusan yang diambil sifatnya masih mudah berubah dan
    pilihan yang sifatnya permanen ketika berada pada akhir masa remaja dan
    awal masa dewasa.
    Perkembangan pemahaman tentang perspektif waktu pada periode
    ini anak berusaha membedakan antara masa kini dan masa depan,
    mencoba mengenali bahwa kejadian yang berlangsung pada masa
    sekarang dan dapat mempengaruhi masa depan. Kesadaran diri terhadap
    kemungkinan hambatan yang muncul dalam proses pemilihan karir adalah
    mulai menyadari bahwa pekerjaan orang dewasa sama dari waktu ke
    waktu sehingga mempunyai harapan untuk dapat bekerja secara rutin
    yang dapat menimbulkan perasaan senang dan nyaman.

Pelatihan Perencanaan Karir


Pelatihan perencanaan karir merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
sistematik dan menyeluruh dalam menilai kemampuan diri, tujuan hidup,
kepribadian, hal yang disukai dan yang tidak disukai guna penentuan jalur karir
baik jangka panjang maupun pendek. Pelatihan perencanaan karir membantu
para siswa untuk yakin dengan pilihan yang dibuatnya. Keputusan tersebut
diambil dengan mempertimbangkan kemampuan diri dengan tujuan dan peran di
masa depan dalam dunia kerja (Rothwell, Jakson, Resseler & Jones, 2015).
Pelatihan perencanaan karir dirancang berdasarkan teori experiental
learning yang menyatakan bahwa pelatihan mampu mengubah struktur kognitif,
sikap serta ketrampilan yang dimiliki oleh peserta. Melalui pelatihan, peserta
diarahkan untuk menyadari pentingnya suatu keterampilan dikuasai dan
menyadari komponen-komponen atau langkah-langkah yang perlu dilakukan
supaya suatu keterampilan dapat dikuasai dengan baik (Johnson & Johnson,
2001). Pelatihan melibatkan aktivitas yang nyata, dimana setelah mendapatkan
materi dan keterampilan peserta diminta untuk mempraktekkan materi dan
keterampilan yang diperolehnya. Pelatihan perencanaan karir meliputi berbagai
macam aktivitas yang melibatkan peserta secara langsung, misalnya
menggunakan metode ceramah juga mengisi lembar kerja, diskusi, presentasi
serta permainan.
Pelatihan perencanaan karir dlakukan selama dua hari meliputi empat sesi
berdasarkan aspek-aspek perencanaan karir yang dibutuhkan oleh peserta
pelatihan. Aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (a)
penilaian diri sendiri, (b) penentuan tujuan karir yaitu pilihan sekolah lanjutan,
(c) pengumpulan informasi sekolah lanjutan, (d) antisipasi dan pemecahan
masalah dan (e) menyusun rencana karir.
Sesi pertama yaitu sesi Who Am I. Bertujuan untuk mewujudkan impian
masa depan harus dimulai dengan mengenali/memahami segala hal dalam
dirinya yang menyangkut kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Metode yang
akan digunakan adalah permainan, menonton video, ceramah dan pengerjaan
lembar kerja oleh peserta. Kesulitan dalam mengambil keputusan karir
berhubungan dengan cara seseorang menilai kemampuan dirinya dalam
menghadapi tantangan dan kendala karir (Santosa & Himam, 2014). Melalui
pelatihan perencanaan karir dapat meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan
keputusan karir pada siswa menjadi lebih adaptif terhadap pemecahan masalah,
khususnya pada siswa perempuan (Scott & Ciani, 2008). Mengenali dan
memaham diri sendiri seseorang menjadi lebih mengetahui tujuan dan arah
hidup yang ingin dicapainya.

Aspek-aspek Perencanaan Karir


Perencanaan Karir yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Walgito, 2005) yang berpendapat bahwa dalam membuat sebuah
perencanaan karir yang terpenting adalah lima langkah, yaitu:
a. Pemahaman diri, yaitu bertujuan untuk membantu siswa mengetahui dan
memahami potensi, kemampuan , minat, bakat dan cita-citanya
b. Pemahaman tentang nilai-nilai, yaitu bertujuan untuk membantu siswa
mengetahui dan memahami nilai-nilai yang ada dalam dirinya dan juga
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
c. Pemahaman lingkungan, hal ini dimaksudkan agar siswa dapat
mengetahui keadaan lingkungan. Dengan mengetahui dan memahami
lingkungan maka siswa akan lebih tepat di dalam mengambil keputusan
dan langkah dalam pemilihan karir.
d. Pemahaman tentang hambatan dan mengatasi hambatan. Langkah ini
diharapkan akan dapat mengetahui dan memahami hambatan-hambatan
apa yang ada dalam rangka pencapaian tujuan, yaitu pemilihan karir
yang cocok.
e. Perencanaan masa depan. Langkah ini dilakukan dengan harapan siswa
dapat mengelola semua informasi yang didapatkannya dari tahapan
sebelumnya, dan menjadikan satu dasar untuk menyusun rencana masa
depannya.

Aspek-aspek Efikasi Diri Dalam Pengambilan Keputusan Karir


Taylor dan Betz (1983) mengemukakan ada lima aspek dari efikasi diri
pengambilan keputusan karir, yaitu accurate self appraisal, gathering
occupational information, goal selection, making plans for the future, dan
problem solving.
a. Penilaian Diri Yang Tepat (Accurate self-appraisal)
Accurate self-appraisal, melibatkan pembuatan dalam penilaian yang
akurat dari minat karir, keterampilan, tujuan, dan nilai-nilai seseorang.
Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu mampu melakukan
asesmen terhadap kemampuan, minat karir, tujuan, dan nilai-nilai yang
dianutnya. Sebagai contoh siswa mampu untuk menilai kelebihan dan
kekurangan yang ada pada dirinya. Melalui penilaian tersebut siswa akan
mampu memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik.
b. Mengumpulkan Informasi Pekerjaan (Gathering occupational information)
Gathering occupational information, melibatkan kemampuan untuk
menggambarkan suatu pekerjaan yang menarik, serta informasi tambahan
tentang bidang karir yang dipilih seseorang atau tentang pasar kerja pada
umumnya. Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu melakukan
asesmen terhadap pengetahuan yang dimilikinya mengenai dunia
pekerjaan dan tugas berbagai bidang pekerjaan. Dengan mengetahui
berbagai informasi pekerjaan yang ada di sekitar siswa, diharapkan siswa
memahami pasar kerja yang akan mereka hadapi ketika sudah lulus dari
bangku pendidikan.
c. Menetapkan Tujuan (Goal selection)
Goal selection, berfokus pada kemampuan untuk mengidentifikasi
tujuan karir berupa pemberian pujian maupun hadiah dari nilai-nilai,
kepentingan dan keterampilan seorang individu. Dalam hal ini mencakup
sejauhmana individu mampu melakukan asesmen terhadap kemampuan
dalam menyesuaikan keadaan dirinya dengan karakteristik berbagai
pekerjaan. Dengan mengetahui berbagai nilai kelebihan yang ada, siswa
akan menjadi lebih mudah memahami potensi yang ada pada dirinya
untuk menyesuaikan suatu pekerjaan tertentu.
d. Membuat Rencana Masa Depan (Making plans for the future)
Making plans for the future, menjelaskan tugas-tugas yang
mempersiapkan individu untuk pasar kerja dan proses lamaran pekerjaan
di bidangnya. Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu mampu
melakukan perencanaan dengan baik dalam membuat keputusan karir
masa depannya. Siswa belajar menyusun rencana karirnya setelah lulus
sekolah. Rencana masa depan dibuat dengan tahap-tahapan yang jelas
sehingga siswa akan termotivasi untuk melakukannya sesuai dengan
perencanaan yang dibuatnya sendiri.
e. Pemecahan Masalah (Problem solving)
Problem solving, menilai ketahanan seseorang ketika menghadapi
hambatan kerja. Dalam hal ini mencakup sejauh mana individu memiliki
kemampuan dalam mengatasi dan memecahkan masalah dalam
menghadapi permasalahan dalam pengambilan keputusan karir. Siswa
akan belajar mempertimbangkan keinginan dan harapan orang lain
terhadap dirinya.

Pengertian Efikasi Diri Dalam Pengambilan Keputusan Karir


Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir berasal dari teori yang
dikemukakan oleh Bandura (1997), bahwa efikasi diri merupakan bentuk
keyakinan individu akan kemampuan yang telah dikuasainya dalam mengatur
dan melaksanakan serangkaian tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil
tertentu. Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2003), efikasi diri adalah
keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas
yang diberikan, mencapai tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Dengan
demikian, efikasi diri sebagai penentu hasil dari tujuan hidup yang ingin dicapai
seseorang.
Menurut Crites (1978) keyakinan dalam diri individu dalam mengambil
sebuah keputusan karir dipengaruhi beberapa keterampilan diantaranya
mengumpulkan berbagai macam pilihan pekerjaan, menilai kemampuan dan
minat diri sendiri, menyeleksi tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan pekerjaan
yang diinginkan, membuat perencanaan untuk mencapai tujuan yang ingin
dicapai dan membuat strategi untuk mengelola masalah ketika muncul masalah
dalam pekerjaan. Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir merupakan
kegiatan yang memerlukan tindakan tepat karena melibatkan proses berpikir dan
tingkat motivasi pada diri individu. Oleh karena itu, efikasi diri merupakan salah
satu faktor penting yang mempengaruhi keterampilan pengambilan keputusan
karir pada seseorang.
Sesuai dengan teori Bandura dalam bidang pendidikan, siswa yang
memiliki efikasi diri tinggi dalam pengambilan keputusan karir adalah siswa yang
menyadari kemampuannya sehingga memiliki keinginan untuk mewujudkan
target yang telah direncanakan dengan langkah-langkah pencapaian yang jelas.
Tingginya tingkat efikasi diri mengarahkan pada peningkatan kemampuan
individu dalam mengambil keputusan karir. Sedangkan, siswa yang memiliki
efikasi diri rendah adalah siswa yang kurang atau bahkan belum memahami diri
sendiri hingga merasa tidak mampu atau ragu pada keberhasilan masa
depannya. Dengan kata lain, siswa dengan efikasi diri rendah cenderung
menghindar dan mudah menyerah pada pengambilan keputusan karir masa
depannya (Betz & Hackett, 1986).
Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir mempengaruhi pilihan
kerja dan ketekunan seseorang dalam tugas serta perilaku tertentu. Menurut
Taylor dan Betz (1983), efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir
merupakan tingkat keyakinan individu bahwa mereka dapat berhasil melakukan
tugas-tugas terkait pemilihan karir dan komitmen kerja. Efikasi diri dalam
pengambilan keputusan karir mengacu pada sejauh mana siswa memiliki
kepercayaan pada kemampuannya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
pendidikan dan kerja

Pengertian Orang Tua


Undang-undang nomer 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
menyebutkan bahwa orang tua adalah seseorang yang memiliki hubungan
garis keturunan dengan kita yang terdiri dari ayah dan ibu. Sementara itu,
Undang-undang nomor 35 tahun 2014 menyebutkan, bahwa orang tua tidak
hanya ayah dan atau ibu kandung saja melainkan, ayah dan atau ibu tiri, atau
ayah dan atau ibu angkat.

Pencegahan Perilaku Bullying pada Remaja


Perilaku bullying pada remaja dapat dicegah dengan melibatkan seluruh
aspek lingkungan disekitar remaja, diantarnya:
a. Peran Orang Tua
Perilaku bullying pada remaja dapat dicegah dengan strategi
pencegahan bullying yang dapat dilakukan oleh orang tua, diantaranya:
1) Terapkan pola asuh yang disiplin namun penuh kasih sayang.
Penerapan pola asuh dengan menggunakan hukuman kekerasan seperti
memukul atau berkata-kata kasar akan terekam diingatan remaja. Hal
ini membuat remaja akan cenderung lebih agresif dan meniru perilaku
tersebut (Fujikawa et al., 2016).
2) Jadilah role model di rumah bagi remaja. Tunjukan perilaku yang baik
seperti tidak menggunakan kata-kata yang kasar saat sedang marah,
tidak membicarakan keburukan orang lain, atau memprovokasi remaja
untuk membalas perilaku kasar yang dilakukan temannya (Wang et al.,
2012).
3) Komunikasikan dengan remaja terkait tindakan bullying dan hukum
yang berlaku. Selain itu, jadilah pendengar yang baik untuk remaja.
Biarkan remaja menceritakan hal-hal yang dialaminya dan jangan
menyalahkan atau menyudutkan perilaku tersebut. Berikan penjelasan
dan solusi atas masalah yang dialami oleh remaja (Shetgiri et al., 2012).
4) Berikan dukungan pada remaja untuk melakukan kegiatan positif.
Bantu remaja untuk memilih kegiatan yang mendukung hobinya. Awasi
pergaulan remaja dengan teman-temannya. Usahakan untuk
mengetahui teman-teman dekat remaja yang sering menghabiskan
waktu bersama (Shetgiri et al., 2012).
5) Luangkan waktu untuk melakukan kegiatan bersama remaja. Hal ini
dapat mempererat hubungan remaja dengan orang tua sehingga remaja
lebih mudah untuk terbuka (Shetgiri et al., 2012).
6) Bekerjasama dengan pihak sekolah untuk melakukan program
pencegahan bullying baik disekolah maupun dirumah (The Bullying
Prevention Advisory Group, 2015).
7) Bina hubungan intensif antara orang tua dan guru di sekolah.
Diskusikan terkait perkembangan dan kegiatan remaja di sekolah. Hal
ini mempermudah orang tua dalam melakukan pemantauan terhadap
remaja selama berada di sekolah (Oostdam & Hooge, 2013).
b. Peran Sekolah
Sekolah memiliki peran penting dalam melakukan pencegahan
bullying yaitu dengan mempertegas peraturan terkait bullying di
lingkungan sekolah (Lodge, 2014). Guru dan seluruh staf yang berada di
lingkungan sekolah harus memahami bentuk dari perilaku bullying,
peraturan, serta hukum yang melibatkan tindakan bullying (Perlus et al.,
2014). Selain itu, sekolah perlu menerapkan pendidikan karakter,
membentuk kegiatan anti bullying, atau kegiatan positif lainnya sebagai
bentuk program pencegahan bullying di lingkungan sekolah (Ansary et al.,
2015)
c. Peran Pemerintah
Donegan (2012) menjelaskan pemerintah dapat memberikan
kontribusi dalam pencegahan bullying degan memperkuat sistem hukum
terkait bullying. Hukum terkait tindakan bullying di Indonesia terdapat
pada Undang-undang Nomer 35 tahun 2014 terkait perlindungan anak.
Bentuk realisasi dari undang-undang tersebut dibentuknya Strategi
Nasioanal Penghapusan Kekerasan pada Anak pada tahun 2016. Hal
tersebut didukung dengan adanya Konversi Hak Anak (KHA) sebagai
salah satu upaya pemerintah dalam pemenuhan hak anak dalam mendapat
perlindungan dari kekerasan.

Dampak Perilaku Bullying bagi Remaja


Dampak perilaku bullying bagi remaja dapat dikelompok menjadi 2
kelompok, yaitu:
a. Dampak bagi korban bullying
Perilaku bullying yang diterima oleh korban akan memberikan
dampak baik secara fisik maupun psikologis (Wolke & Lereya, 2015).
Remaja yang menjadi korban bullying akan mengalami masalah
psikologi seperti depresi berkepanjangan, stress, merasa terasingkan,
merasa terintimidasi, menurunya rasa percaya diri, hingga rasa ingin
bunuh diri (Fujikawa et al., 2016). Selain itu, Wang et al. (2012)
menjelaskan bahwa korban bullying lebih berisiko mengalami gangguan
konstenrasi belajar yang menyebabkan menurunnya prestasi akademik.
Korban bullying juga berisiko lebih tinggi mengalami masalah
psikosomatik seperti gangguan tidur, nafsu makan menurun, merasa
ketakutan sepanjang waktu, dan sakit kepala (Perlus et al., 2012). Selain
mengalami masalah psikomatik, korban bullying yang mendapat
kekerasan fisik akan mengalami trauma yang dapat menganggu proses
pertumbuhan dan perkembangan (Lodge, 2014).

Faktor yang menyebabkan Bullying pada Remaja


Perilaku bullying dapat terjadi karena adanya beberapa faktor,
diantaranya adalah
a. Faktor Demografi
ICRW (2012) menjelaskan bahwa tindakan bullying dapat terjadi
pada remaja karena adanya perbedaan antara korban dengan orang-orang
disekitarnya seperti perbedaan ras, agama, suku, bangsa, dan warna kulit.
Seseorang yang memiliki warna kulit berbeda atau termasuk dalam ras,
agama, atau suku minoritas akan cenderung lebih berisiko mengalami
tindakan bullying.
Rigby dan Johnson (2016) menjelaskan bahwa usia dan jenis
kelamin juga memiliki pengaruh terhadap tindakan bullying di kalangan
remaja. Remaja yang memiliki usia lebih tua cenderung merasa lebih
dominan dan lebih berkuasa sehingga sering menimbulkan perilaku
bullying. Perilaku bullying juga lebih sering terjadi pada remaja laki-laki
dikarenakan remaja laki-laki cenderung ingin mendapat pengakuan dari
lingkungannya.

Jenis-jenis Bullying


Perilaku bullying dibagi menjadi empat jenis yang terdiri dari:
a. Bullying Fisik
Tindakan bullying yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan
fisik sehingga menyebabkan keadaan yang berbahaya bagi korban
(Gladden, 2014). Pan et al. (2017) menyebutkan, meninju, memukul,
menendang, mendorong, mencuri, menyembunyikan, merusak barang
milik orang lain, atau memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu
terhadap keinginannya merupakan contoh perilaku bullying fisik.
b. Bullying Verbal
Bullying verbal adalah tindakan bullying secara lisan yang bertujuan
untuk membuat korban merasa tidak nyaman atau terancam (Gladden,
2014). Contoh perilaku bullying secara verbal diantaranya tindakan
menggoda dengan maksud tidak baik, memanggil nama orang dengan
sebutan tidak baik, menghina orang lain, atau mengancam orang lain dengan
bahaya fisik (Rigby and Johnson, 2016).
Dalam Islam, tidak diperbolehkan seseorang memanggil nama orang
lain dengan sebutan yang tidak baik atau buruk seperti yang dijelaskan
dalam Q.S Al-Hujurat ayat 11.
c. Bullying Relasional
Bullying relasional merupakan tindakan bullying yang dirancang
untuk merusak reputasi dan hubungan korban dengan orang-orang
disekitarnya sehingga korban merasa terisolasi atau terkucilkan (Gladden,
2014). Beberapa contoh tindakan yang termasuk dalam bullying relasional
diantaranya seperti menghasut orang lain agar tidak berteman dengan
korban, menyebarkan rumor tentang korban, mempermalukan korban di
depan umum, menolak berbicara, atau membuat korban merasa
ditinggalkan (Hymel & Swearer, 2015).
d. Cyberbullying
Wolke et al. (2015) menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan
tindakan yang bertujuan untuk menyakiti seseorang menggunakan sarana
elektronik (misalnya, telepon genggam, pesan teks, pesan instan, blog,
atau situs website (misalnya, Facebook, YouTube) atau email). Melakukan
intimidasi atau penindasan dalam bentuk penyebaran rumor melalui
jejaring sosial, pengiriman teks yang mengancam, menyebarkan gambar
yang tidak pantas melalui dunia maya dengan tujuan merusak reputasi dan
hubungan sosial korban merupakan contoh perilaku cyberbullying
(Navarro et al., 2013).

Pengertian Bullying


Bullying merupakan tindakan agresif seseorang atau sekelompok orang
secara sengaja dan berulang terhadap orang yang lebih lemah (Shetgiri et al.,
2012). Seorang remaja dikatakan melakukan bullying saat ia melakukan
intimidasi terus menerus terhadap orang lain yang lebih lemah atau kecil,
pemalu, dan merasa tidak berdaya (Zych et al., 2017). Dalam bullying selalu
ada ketidakseimbangan kekuatan yang dirasakan korban dan pelaku
mengulang secara terus menerus atau berpotensi dapat mengulang kembali
keadaan tersebut (Ansary et al., 2015)

Tujuan Berpikir Kritis


Tujuan berpikir kritis adalah untuk menguji suatu pendapat, yaitu
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada pendapat
yang diajukan sebelumnya. Pertimbangan-pertimbangan tersebut harus bisa
dipertanggung jawabkan. Siswa dilatih untuk menyeleksi berbagai pendapat
untuk membedakan pendapat yang relevan dan yang tidak relevan, serta
pendapat mana yang benar atau yang tidak benar. Mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dapat membantu siswa dalam menyimpulkan
dengan mempertimbangkan data dan fakta yang sebenarnya terjadi.

Pengertian Keterampilan Berpikir Kritis


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berpikir adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan
sesuatu. Sedangkan menurut Santrock (2011) berpikir adalah memanipulasi
atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Berpikir
dilakukan untuk membentuk konsep, proses memahami, membuat
keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah. Sejalan dengan
Facione (1990) yang menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan
pengaturan diri terhadap pemikiran yang masuk akal, pemikiran reflektif
yang terfokus pada penentuan apa yang diyakini atau dikerjakan yang
kemudian memunculkan interpretasi, analisis, evaluasi, dan kesimpulan,
serta penjelasan bukti, konsep, metodologi, dan kriteria sebagai
pertimbangan.
Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan yang dimiliki oleh
individu untuk menganalisis ide ke arah yang lebih spesifik untuk mengejar
pengetahuan yang relevan tentang dunia dengan melibatkan evaluasi bukti.
Orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis tidak hanya mengetahui
jawaban atas suatu permasalahan, namun mereka mencoba untuk
mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terdapat di
dalam suatu permasalahan.

Sumber Efikasi Diri


Efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari, dan dikembangkan dari 4
sumber informasi, yaitu stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan
inspirasi untuk selalu berusaha dalam menuntaskan tugas maupun masalah
yang sedang dihadapi (Bandura, 1994). Sumber-sumber efikasi tersebut
yaitu sebagai berikut.

  1. Enactive attainment and performance accomplishment (pengalaman
    keberhasilan dan pencapaian prestasi), adalah sumber ekspektasi
    efikasi diri yang penting, karena berdasarkan pengalaman pribadi
    seseorang secara langsung. Sesorang yang pernah memperoleh
    prestasi maka orang tersebut akan terus terdorong untuk
    meningkatkan keyakinan pada efikasi dirinya. Pengalaman
    keberhasilan suatu individu dapat meningkatkan ketekunan saat
    mengatasi kesulitan, sehingga dapat meminimalisir kegagalan.
  2. Vicarious experience (pengalaman orang lain), yaitu mengamati
    perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses pembelajaran.
    Efikasi diri seseorang dapat meningkat jika ia yakin bahwa
    kemampuan yang dimilikinya lebih baik daripada subjek belajarnya.
    Ia akan merasa mampu untuk melakukan hal yang sama dengan
    subjek belajarnya. Hal ini dapat meningkatkan motivasi seorang
    individu untuk mencapai prestasi yang tinggi. Peningkatan efikasi
    diri ini akan menjadi efektif jika antara individu dengan subjek
    belajarnya memiliki karakteristik yang sama, yaitu mempunyai
    kesamaan tingkat kesulitan tugas, serta kesamaan situasi dan kondisi
    yang dialami.
  3. Verbal persuasion (persuasi verbal), yaitu individu mendapat
    dorongan atau sugesti untuk percaya bahwa dirinya dapat
    menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Persuasi verbal dapat
    mengarahkan seseorang untuk lebih berusaha agar tujuannya
    tercapai dan sukses.
  4. Physiological state and emotional arousal (keadaan fisiologis dan
    psikologis) menekankan bahwa kondisi emosional dapat
    mempengaruhi efikasi diri seseorang.

Pengertian Efikasi Diri


Pengertian efikasi diri berdasarkan beberapa pendapat, yaitu
sebagai berikut.

  1. Efikasi diri diperkenalkan oleh Albert Bandura. Albert Bandura
    mendefinisikan efikasi diri sebagai berikut (Bandura, 2009).
    “Perceived self- efficacy is defined as people’s beliefs
    about their capabilities to produce designated levels of
    performance that exercise influences over events that
    affect their lives. Self- efficacy beliefs determine how
    peoples feel, think, motivate themselves and behave Such
    belief produce these diverse effects through four major
    processes. They include cognitive, motivational, affective
    and selection processes”
    Pendapat di atas dapat diartikan bahwa efikasi diri adalah
    kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuan untuk
    meningkatkan kinerja yang berpengaruh bagi kelangsungan hidup
    mereka. Efikasi diri menentukan bagaimana seseorang merasakan,
    berpikir, memotivasi diri mereka sendiri, dan berperilaku melalui
    empat proses utama, yaitu kognitif, motivasi, afektif, dan proses
    seleksi.
  2. Alwisol (2009) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian
    diri mengenai baik atau buruknya suatu tindakan, benar atau salah
    suatu perbuatan, dan bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuatu hal
    sesuai dengan yang disyaratkan. Individu yang memiliki efikasi diri
    yang tinggi akan percaya bahwa dirinya mampu mengerjakan suatu
    hal sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan, situasi, dan harapan
    sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri. Orang tersebut akan
    selalu bekerja keras dan tetap mengerjakan tugas hingga selesai
    (Alwisol, 2009).
  3. Efikasi diri adalah penilaian diri seseorang terhadap kemampuannya
    dalam mengorganisasikan serta melaksanakan Langkah-langkah
    yang terarah untuk mencapai tujuan tertentu (Pajares, 2002).
  4. Efikasi diri adalah keyakinan seseorang untuk menunjukkan
    perilaku yang sesuai dan efektif agar dapat menyelesaikan tugas
    dengan baik (Coetzee & Cilliers, 1999).

Aspek-aspek kemampuan Empati


Menurut Eisenberg, 1987; Batson, 1991; Davis, 1996; Fesbach, 1997;
Hpffman, 2000 dalam Taufik (2012) bahwa proses individu berempati
melibatkan aspek afektif dan kognitif.
a. Aspek afektif, merupakan kemampuan menselaraskan pengalaman
emosional pada orang lain atau suatu kondisi dimana pengalaman emosi
seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh
orang lain atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain yaitu ikut
merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita
bahkan disakiti.
b. Aspek kognitif merupakan perwujudan dari multiple dimensions seperti
kemampuan untuk mengingat jejak-jejak intelektual dan verbal tentang
orang lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan
kondisi emosional dirinya dengan orang lain. Aspek kognitif sangat
berperan penting dalam kemampuan empati. Tanpa kemampuan kognitif
yang memadai seseorang akan selalu meleset dalam memahami kondisi
orang lain. misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah,
kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari cara berbicara, dari
raut wajah, cara pandang dalam berpendapat

Faktor-faktor yang Mempengaruhi kemampuan Empati


Menurut Sharoon (1999) menyebutkan bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi kemampuan empati, yaitu:
a. Kematangan kognitif berpengaruh terhadap kemampuan berempati,
sebab dalam mehami penderitaan orang lain diperlukan bukan hanya
sekedar proses berfikir, akan tetapi juga kematangan kognisi, sehingga
bisa ikut memahami penderitaan orang lain tanpa harus benar-benar
mengalaminya.
b. Kesadaran akan keberadaan orang lain, dengan menyadari bahwa orang
lain itu ada, seseorang tidak dapat hidup tanpa orang-orang sekelilingnya,
maka diharapkan akan timbul sikap peduli terhadap orang lain, yang
merupakan sikap dasar empati.

Pengertian Kemampuan Empati


Menururut Surya ( 2013 ) kemampuan empati mempunyai makna
sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik
yang nampak maupun yang terkandung khususnya pada aspek perasaan,
pikiran dan keinginan siswa sedekat mungkin, dengan demikian guru tidak
hanya memahami perasaan siswa akan tetapi mampu menghayati bagaimana
perasaan dirinya apabila berada dalam situasi siswa. Secara psikologis
kemampuan empati dapat menunjang berkembangnya suasana hubungan
yang didasari atas saling pengertian, suasana rasa diterima, dipahami dan
kesamaan diri.
Taufik (2012) menyatakan kemampuan empati merupakan suatu
aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang
lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan terhadap
kondisi yang dialami oleh orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan
control dirinya.
Menurut Watson (2011) kemampuan empati adalah kemampuan
fantasi atau kecenderungan untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke
dalam pikiran, perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada
buku, film dan permainan. Aspek ini melihat kecenderungan individu
menempatkan diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain atau
kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta
sifat orang lain. Salah satu kemampuan seseorang agar berhasil berinteraksi dengan
orang lain adalah kemampuan empati. Sari (2003) mengatakan bahwa tanpa
kemampuan empati orang dapat terasing, salah satu menafsirkan perasaan
sehingga mati rasa atau tumpulnya perasaan yang berakibat rusaknya
hubungan. Selanjutnya dikatakan salah satu wujud kurangnya kemampuan
empati adalah ketika seseorang cenderung menyamaratakan orang lain
dengan dirinya, bukan memandang sebagai individu yang unik. Menurut
Gunarasa (2000) kemampuan empati dianggap sebagai salah satu cara yang
efektif dalam usaha mengenali, memahami dan mengevaluasi orang lain

Fungsi Efikasi Diri


Efikasi diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi
fungsi pada aktivitas individu. Bandura (1997) menjelaskan tentang pengaruh
dan fungsi tersebut yaitu:
a. Pilihan Perilaku
Adanya efikasi diri yang dimiliki, individu akan menetapkan tindakan
apa yang akan ia lakukan dalam menghadapi suatu tugas untuk
mencapai tujuan yang diinginkannya.
b. Pilihan Karir
Efikasi diri merupakan mediator yang cukup berpengaruh terhadap
pemilihan karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu melaksanakan
tugas-tugas dalam karir tertentu maka biasanya ia akan memilih karir
tesebut.
c. Kuantitas usaha dan keinginan untuk bertahan pada suatu tugas
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi biasanya akan berusaha
keras untuk menghadapi kesulitan dan bertahan dalam mengerjakan
suatu tugas bila mereka telah mempunyai keterampilan prasyarat.
Sedangkan individu yang mempunyai efikasi diri yang rendah akan
terganggu oleh keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah
menyerah bila menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas.
d. Kualitas Usaha
Penggunaan strategi dalam memproses suatu tugas secara lebih
mendalam dan keterlibatan kognitif dalam belajar memiliki hubungan
yang erat dengan efikasi diri yang tinggi. Siswa yang memiliki efikasi
diri tinggi cenderung akan memperlihatkan penggunaan kognitif dan
strategi belajar yang lebih bervariasi.

Aspek-aspek Efikasi Diri


Menurut Bandura (1997) efikasi diri terdiri dari tiga aspek yaitu :
a. Tingkatan (level), berkaitan dengan individu merasa mampu
menyelesaikan tugas dari yang ringan hingga yang berat.
b. Kekuatan (strength), berkaitan tingkat kekuatan dari keyakinan mengenai
kemampuannya.
c. Generalisasi (generality), individu merasa yakin akan kemampuannya
pada setiap situasi yang berbeda.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri


Bandura (1997) menyatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi
efikasi diri pada diri individu yaitu:
a. Pengalaman menguasai sesuatu
Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman
menguasai sesuatu, yaitu performa masa lalu, secara umum performa
yang berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan,
dan hal ini mempunyai enam dampak yaitu: meningkatkan efikasi diri
secara proporsional, tugas dapat di selesaikan dengan baik, menurunya
kegagalan, kegagalan tidak menimbulkan emosi, kegagalan
mengukuhkan rasa menguasai diri, kegagalan yang terjadi mempunyai
dampak sedikit.
b. Modeling social
Modeling sosial yaitu vicarious experiences, secara umum dampak
dari modeling sosial tidak sekuat dampak yang di berikan oleh
performa pribadi dalam meningkatkan level efikasi diri, tetapi
mempunyai dampak yang kuat saat memperhatikan penurunan efikasi
diri.
c. Persuasi social
Dampak dari sumber ini cukup terbatas, tetapi di bawah kondisi yang
tepat, persuasi diri orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan
efikasi diri.
d. Kondisi fisik dan emosianal
Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa saat orang
mengalami ketakutan yang kuat dan kecemasan atau tingkat stres
yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspektasi efikasi yang
rendah.

Pengertian Efikasi Diri


Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam
teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap
kemampuan dirinya untuk mencapai hasil. Bandura (1997) menggambarkan
keyakinan diri sebagai kepercayaan terhadap diri sendiri dalam melakukan
suatu tindakan guna menghadapi suatu situasi sehingga dapat memperoleh
hasil seperti yang diharapkan. Keyakinan diri adalah bagian dari diri yang
dapat mempengaruhi jenis aktivitas yang dipilih, besarnya usaha yang akan
dilakukan oleh individu dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan. Efikasi
akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam menampilkan suatu
perilaku dan selanjutnya akan mempengaruhi efikasi diri seseorang. Jika
seseorang mengalami keberhasilan maka efikasi dirinya akan meningkat, dan
tingginya efikasi diri akan memotivasi individu secara kognitif untuk
bertindak secara lebih tekun dan terutama bila tujuan yang hendak dicapai
sudah jelas. Baron dan Byrne (2003) mengungkapkan bahwa efikasi diri
merupakan evaluasi seseorang mengenai kemampuannya atau kompetensi
dirinya untuk melakukan tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan.

Pengaruh Metode Pembelajaran Jigsaw terhadap Efikasi Diri Akademik


Perkembangan seorang siswa dilalui dengan menghabiskan separuh
harinya menempuh pendidikan di sekolah, dimana siswa tersebut lebih banyak
melakukan interaksi dengan warga di lingkungan sekolah. Ketika berada di
lingkungan sekolah, remaja sebagai siswa ditantang untuk mampu menyelesaikan
tugas-tugasnya sebagai peserta didik. Di dalam sekolah inilah nantinya siswa
akan mengembangkan segala potensi dalam dirinya, yang juga meningkatkan
keyakinan dirinya. Terlepas dari pentingnya peran sekolah, penerapan metode
pembelajaran juga sepantasnya diperhatikan untuk menumbuhkan karakter siswa.
Menurut Bandura ( Dwitantyanov, Hayati & Sawitri, 2010) efikasi diri
dapat diartikan sebagai keyakinan manusia akan kemampuan dirinya untuk
melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian
di lingkungannya. Kim dan Park (Dwitantyanov, Hayati & Sawitri, 2010)
mengemukakan bahwa efikasi diri sangat penting bagi pelajar untuk mengontrol
motivasi mencapai harapan-harapan akademik.
Sementara itu, pembelajaran kooperatif menurut Sunal dan Hans (Isjoni,
2009) merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus
dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja sama selama
proses pembelajaran. Sunal dan Hans (Isjoni, 2009) juga menambahkan teknik
pembelajaran ini mampu meningkatkan belajar siswa lebih baik dan
meningkatkan sikap saling tolong-menolong dalam perilaku sosial. Menurut
Sahin (2010) pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan efek positif terhadap
prestasi belajar dan akan meningkat jika diaplikasikan secara terus-menerus.
Pembelajaran kooperatif membantu siswa mempelajri banyak hal satu sama lain,
sebagaimana dapat mendorong mereka untuk mendiskusikan sebuah topik dan
membuat hasil evaluasi dari topik tersebut.

Prosedur Pelaksanaan Metode Pembelajaran Jigsaw


Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan metode pembelajaran
Jigsaw yang mengacu pada prosedur Jigsaw learning oleh Silberman (2009)
sebagai berikut :
a. Pilihlah materi belajar yang dapat dipisah menjadi beberapa segmen atau
bagian-bagian.
b. Bagilah siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah segmen
yang ada. Jika jumlah siswa ada 30 sementara jumlah segmen yang ada
berjumlah 5, maka masing-masing kelompok terdiri dari 6 orang. Setiap
kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi ajar yang berbedabeda.
c. Kelompok yang telah terbentuk, kemudian masing-masing akan mengirimkan
anggotanya ke kelompok lain sehingga terbentuklah kelompok Jigsaw dalam
jumlah yang sama.
d. Setiap kelompok Jigsaw diminta untuk menyampaikan materi yang telah
mereka pelajari di dalam kelompok asal kepada seluruh anggota kelompok
Jigsaw.
e. Kembalikan suasana kelas seperti semula kemudian tanyakan sekiranya ada
persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok.
f. Sebagai variasi, sampaikan beberapa pertanyaan kepada siswa untuk
mengecek pemahaman mereka terhadap materi yang telah disampaikan.

Elemen-Elemen dalam Metode Pembelajaran Jigsaw


Slavin (1988) mengemukakan terdapat dua elemen esensial yang terdapat
di dalam metode pembelajaran Jigsaw sebagai metode yang efektif, antara lain :

  1. Adanya pencapaian kelompok pada setiap siswa ( a Group Goal for the
    Students).
    Pencapaian kelompok ini penting dalam memotivasi siswa untuk saling
    membantu satu sama lain, dimana di dalam kelas Jigsaw tiap anggota
    kelompok memegang peran untuk mengajarkan satu sama lain. Tanpa adanya
    pencapaian kelompok tersebut, seorang siswa tidak akan memberikan
    penjelasan pada materi subtopik yang diembannya dengan adekuat kepada
    tiap anggota kelompoknya karena siswa tidak mendapat motivasi untuk
    melaksanakannya dengan baik.
  2. Akuntabilitas Individu (Individual Accountability)
    Akuntabilitas individu akan mengilhami setiap anggota kelompok untuk
    melakukan tugas mereka dengan baik, ini disebabkan karena kualitas setiap
    individu bergantung pada informasi yang diberikan kepada setiap anggota
    kelompok. Kagan (Warsono dkk, 2012) menambahkan bahwa setiap anggota
    kelompok bertanggung jawab untuk meningkatkan kecakapan dan kinerja
    anggota kelompok yang lain maupun bertanggung jawab meningkatkan
    kinerja kelompok secara keseluruhan (Numbered head Together). Hal tersebut
    diyakini oleh Slavin (1987) jika penghargaan kelompok bersumber dari
    penghargaan individu pada seluruh anggota kelompok, maka pembelajaran
    kooperatif dapat meningkatkan penghargaan siswa.
    Manning dan Lucking (Dollard & Mahoney, 2007) menambahkan bahwa
    pentingnya menempatkan siswa ke dalam kelompok yang heterogen.
    Pembentukan kelompok tersebut tidak hanya dilakukan berdasarkan keberagaman
    suku tetapi juga dalam pengelompokan berdasarkan tingkat kemampuan
    akademis. Siswa yang lamban akan belajar dengan baik dari siswa yang memiliki
    nilai akademis yang lebih tinggi.

Aspek-Aspek Pembelajaran Kooperatif


Huda (2014) mengungkapkan bahwa aspek yang terdapat dalam pembelajaran
Kooperatif dibagi atas empat bagian, bagian tersebut antara lain :
a. Tujuan
Seluruh siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil dan diminta
untuk mempelajari materi tertentu dan saling memastikan setiap anggota
kelompok juga mempelajari materi tersebut.
b. Level Kooperasi
Di dalam level kooperasi kerjasama diterapkan dalam level kelas, yaitu
dengan cara memastikan bahwa semua siswa di ruang kelas benar-benar
mempelajari materi yang ditugaskan dan level sekolah dengan cara
memastikan bahwa semua siswa disekolah benar-benar mengalami kemajuan
secara akademik.
c. Pola Interaksi
Setiap siswa saling mendorong kesuksesan antarsatu sama lain. Siswa
mempelajari materi pembelajaran bersama siswa lain, saling menjelaskan cara
menyelesaikan tugas pembelajaran, saling mendorong untuk bekerja keras,
dan saling memberikan bantuan akademik jika ada yang membutuhkan.
Melalui pola interaksi inilah muncul di dalam dan diantara kelompokkelompok kooperatif.
d. Evaluasi
Sistem evaluasi didasarkan pada kriteria tertentu. Penekanannnya biasanya
terletak pada pembelajaran dan kemajuan akademik setiap individu siswa,
biasa pula difokuskan pada setiap kelompok, semua siswa ataupun sekolah.

Pengertian Metode Pembelajaran Jigsaw


Metode pembelajaran Jigsaw menurut Slavin (2008) merupakan model
pembelajaran kerjasama dimana siswa ditempatkan ke dalam tim-tim yang
beranggotakan enam orang untuk mengerjakan bahan akademis yang telah
dipecah menjadi bagian-bagian untuk masing-masing anggota. Metode
pembelajaran Jigsaw adalah teknik pengajaran di dalamnya materi-materi ajar
dibagi di antara anggota-anggota sebuah kelompok kooperatif, dimana siswa
mengemban tanggung jawab yang berbeda untuk mempelajari materi berbeda
dan mengajarkannya ke anggota-anggota kelompok yang lain (Ormrod, 2009).
Didalam pembelajaran Jigsaw ini informasi baru dibagi secara adil diantara
semua anggota kelompok, dan setiap siswa harus mengajarkan materi bagiannya
ke siswa-siswa yang lain (Aronson & Panoe dalam Ormrod, 2009). Silberman
(2009) menjelaskan Jigsaw learning merupakan sebuah teknik yang dipakai
secara luas yang memiliki kesamaan dengan teknik “pertukaran dari kelompok
ke kelompok” (group-to-group exchange) dengan suatu perbedaan penting, yakni
setiap peserta didik mengajarkan sesuatu.

Pengertian Metode Pembelajaran Kooperatif


Metode belajar kooperatif merupakan metode pembelajaran dalam bentuk
kelompok kecil. Siswa belajar dalam kelompok yang masing-masing anggotanya
memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Jumlah anggota kelompok antara lain
dalam kegiatan belajar. Kelompok biasanya diberi reward sesuai dengan seberapa
banyak setiap anggota kelompok telah menguasai materi pelajaran (Slavin, 2008).
Definisi lain mengenai pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah
pendekatan terhadap pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompokkelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dan membantu satu sama lain
dalam belajar (Ormrod, 2009).
Santrock (2008) memaparkan pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran
yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu
dalam belajar. Sejumlah pendekatan pembelajaran kooperatif yang telah
dikembangkan antara lain STAD (Student-Teams-Achievement Divisions),
Jigsaw, belajar bersama, investigasi kelompok, dan penelitian kooperatif. Salah
satu pendekatan dari pembelajaran kooperatif yang akan dilaksanakan peneliti
adalah metode pembelajaran Jigsaw.

Faktor Yang Mempengaruhi Efikasi Diri Akademik


Menurut Bandura (1997) faktor yang mempengaruhi efikasi diri pada
individu diantaranya adalah:
a) Pencapaian Prestasi (Enactive Attainment)
Pencapaian prestasi merupakan sumber yang paling penting dan berpengaruh
karena menjadi bukti nyata individu akan kemampuan yang dimilikinya.
Kesuksesan dalam pencapaian prestasi akan meningkatkan efikasi diri. Hal ini
menjadikan individu dengan efikasi diri yang kuat akan cenderung
menganggap situasi dan strategi yang kurang tepat dan kurangnya usaha yang
dikerahkan sebagai penyebab kegagalan.
b) Pengalaman orang lain (Vicarious Experiences)
Pengalaman orang lain merupakan sumber informasi mengenai efikasi diri
yang diperoleh melalui pengamatan terhadap pengalaman orang lain yaitu
pengamatan subjek atas keberhasilan atau kegagalan orang lain yang memiliki
kemiripan dengan dirinya dalam mengerjakan suatu tugas yang sama.
Individu mengembangkan mekanisme modelling sebagai suatu cara
memperkirakan potensi keberhasilannya berdasarkan pada keberhasilan orang
lain tersebut orang lain dalam tugas yang sama. Apabila individu melihat
orang lain tersebut mengahadapi aktivitas sulit dan berhasil tanpa konsekuensi
buruk, maka akan terbentuk harapan keberhasilan serupa pada dirinya bila
bertindak serupa dengan orang yang diamati. Sebaliknya, ketika individu
melihat orang yang memiliki kemampuan hampir sama mengalami kegagalan
dalam melaksanakan tugas tertentu, hal tersebut akan menurunkan individu
terhadap kemampuannya dan melemahkan usahanya (Sari, 2011). Efek dari
pengalaman orang lain terhadap penilaian keyakinan dalam diri bergantung
pada kriteria kemampuan apa saja yang dinilai (Bandura, 1988).
c) Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Berupa penyampaian informasi secara verbal oleh orang yang berpengaruh.
Persuasi verbal ini biasanya berpengaruh dalam meyakinkan individu bahwa
dalam dirinya cukup mampu melaksanakan tugasnya sehingga kemudian
mendorang subjek untuk melakukan tugasnya sebaik mungkin. Individu yang
terpengaruh secara verbal bahwa dirinya memiliki kapabilitas untuk
menguasai tugas yang diberikan lebih mudah untuk bergerak lebih cepat
berusaha keras daripada mereka yang mempunyai keraguan diri dan bertahan
dalam kekurangan diri ketika tingkat kesulitan semakin meningkat (Bandura,
1988).
d) Kondisi fisik dan afektif (Physiological and Affective States)
Individu ketika melakukan penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki
dirinya juga akan mempertimbangkan kondisi fisiologis dan afektif pada
diirinya. Individu yang merasa takut, cemas, dan stress akan gagal
menyelasaikan tugas. Kegagalan akan membuat individu merasa tidak
mampu dan tidak yakin untuk tugas yang berikutnya.

Dimensi Efikasi Diri Akademik


Dimensi dalam efikasi diri akademik diambil dari dimensi efikasi diri
yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Adapun tiga dimensi dalam efikasi diri
antara lain :
a. Level (Tingkat Kesulitan Tugas)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang dihadapi oleh
Individu. individu dengan efikasi diri tinggi cenderung akan memilih tugas
yang sifatnya lebih menantang dengan tingkat kesulitan yang tinggi dan akan
lebih tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman
yang dapat memperlemahnya. Sebaliknya, individu dengan efikasi diri yang
rendah akan memilih tugas dengan tingkat kesulitan yang rendah serta mudah
digoyangkan oleh pengalaman pengalaman yang memperlemahnya.
b. Generality (Keadaan yang Umum)
Dimensi yang kedua ini berkaitan dengan luas bidang penguasaan terhadap
tugas yang dihadapi oleh individu. Penguasaan individu terhadap bidang atau
tugas pekerjaan yang satu berbeda dengan yang lain. Ada individu yang
penguasaannya meliputi beberapa bidang. Individu yang memiliki efikasi diri
yang tinggi selalu ingin menambah pengalaman dan pengetahuannya. Siswa
dengan efikasi diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang tugas
sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas.
c. Strength (Tingkat Kekuatan)
Strength lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu
terhadap keyakinan yang dimilikinya dalam menyelesaikan tugas akademik.
Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan cenderung tidak mudah
menyerah, bekerja keras dan ulet dalam meningkatkan usahanya walaupun
menghadapi rintangan dibandingkan individu yang efikasi dirinya rendah.
Sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan mudah
digoyahkan oleh kegagalan dan pengalaman-pengalaman.

Pengertian Efikasi Diri Akademik


Istilah self-efficacy atau efikasi diri mulai dikenal dalam ranah psikologi
sejak dipublikasikannya sebuah artikel oleh Bandura (1997) . Berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Bandura (1997) efikasi diri merupakan keyakinan
seseorang akan kapabilitasnya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan
tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Efikasi diri menurut Ormrod (2009) adalah keyakinan yang dimiliki
seseorang bahwa dirinya mampu menjalankan tugas tertentu atau meraih sasaran
tertentu. Singkatnya bahwa efikasi diri itu sendiri merupakan komponen dari
keseluruhan perasaan diri seseorang. Woolfolk (2009) menambahkan self-efficacy
atau efikasi diri juga dapat diartikan sebagai perasaan seseorang bahwa dirinya
mampu melakukan tugas-tugas secara efektif .
Sedangkan menurut Boufard dan Bouchard (Bandura,1997) efikasi diri
akademik merupakan prediktor yang lebih baik dalam prestasi akademik
dibandingkan dengan kemampuan kognitif.

Aspek-aspek kemampuan Empati


Menurut Eisenberg, 1987; Batson, 1991; Davis, 1996; Fesbach, 1997;
Hpffman, 2000 dalam Taufik (2012) bahwa proses individu berempati
melibatkan aspek afektif dan kognitif.
a. Aspek afektif, merupakan kemampuan menselaraskan pengalaman
emosional pada orang lain atau suatu kondisi dimana pengalaman emosi
seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh
orang lain atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain yaitu ikut
merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita
bahkan disakiti.
b. Aspek kognitif merupakan perwujudan dari multiple dimensions seperti
kemampuan untuk mengingat jejak-jejak intelektual dan verbal tentang
orang lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan
kondisi emosional dirinya dengan orang lain. Aspek kognitif sangat
berperan penting dalam kemampuan empati. Tanpa kemampuan kognitif
yang memadai seseorang akan selalu meleset dalam memahami kondisi
orang lain. misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah,
kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari cara berbicara, dari
raut wajah, cara pandang dalam berpendapat

Faktor-faktor yang Mempengaruhi kemampuan Empati


Menurut Sharoon (1999) menyebutkan bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi kemampuan empati, yaitu:
a. Kematangan kognitif berpengaruh terhadap kemampuan berempati,
sebab dalam mehami penderitaan orang lain diperlukan bukan hanya
sekedar proses berfikir, akan tetapi juga kematangan kognisi, sehingga
bisa ikut memahami penderitaan orang lain tanpa harus benar-benar
mengalaminya.
b. Kesadaran akan keberadaan orang lain, dengan menyadari bahwa orang
lain itu ada, seseorang tidak dapat hidup tanpa orang-orang sekelilingnya,
maka diharapkan akan timbul sikap peduli terhadap orang lain, yang
merupakan sikap dasar empati.

Pengertian Kemampuan Empati


Menururut Surya ( 2013 ) kemampuan empati mempunyai makna
sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik
yang nampak maupun yang terkandung khususnya pada aspek perasaan,
pikiran dan keinginan siswa sedekat mungkin, dengan demikian guru tidak
hanya memahami perasaan siswa akan tetapi mampu menghayati bagaimana
perasaan dirinya apabila berada dalam situasi siswa. Secara psikologis
kemampuan empati dapat menunjang berkembangnya suasana hubungan
yang didasari atas saling pengertian, suasana rasa diterima, dipahami dan
kesamaan diri.
Taufik (2012) menyatakan kemampuan empati merupakan suatu
aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang
lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan terhadap
kondisi yang dialami oleh orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan
control dirinya.
Menurut Watson (2011) kemampuan empati adalah kemampuan
fantasi atau kecenderungan untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke
dalam pikiran, perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada
buku, film dan permainan. Aspek ini melihat kecenderungan individu
menempatkan diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain atau
kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta
sifat orang lain. Salah satu kemampuan seseorang agar berhasil berinteraksi dengan
orang lain adalah kemampuan empati. Sari (2003) mengatakan bahwa tanpa
kemampuan empati orang dapat terasing, salah satu menafsirkan perasaan
sehingga mati rasa atau tumpulnya perasaan yang berakibat rusaknya
hubungan. Selanjutnya dikatakan salah satu wujud kurangnya kemampuan
empati adalah ketika seseorang cenderung menyamaratakan orang lain
dengan dirinya, bukan memandang sebagai individu yang unik. Menurut
Gunarasa (2000) kemampuan empati dianggap sebagai salah satu cara yang
efektif dalam usaha mengenali, memahami dan mengevaluasi orang lain.
Kemampuan empati mempunyai makna sebagai suatu kesediaan untuk
memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang
terkandung khususnya pada aspek perasaan, pikiran dan keinginan siswa
sedekat mungkin, dengan demikian guru tidak hanya memahami perasaan
siswa akan tetapi mampu menghayati bagaimana perasaan dirinya apabila
berada dalam situasi siswa.

Fungsi Efikasi Diri


Efikasi diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi
fungsi pada aktivitas individu. Bandura (1997) menjelaskan tentang pengaruh
dan fungsi tersebut yaitu:
a. Pilihan Perilaku
Adanya efikasi diri yang dimiliki, individu akan menetapkan tindakan
apa yang akan ia lakukan dalam menghadapi suatu tugas untuk
mencapai tujuan yang diinginkannya.
b. Pilihan Karir
Efikasi diri merupakan mediator yang cukup berpengaruh terhadap
pemilihan karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu melaksanakan
tugas-tugas dalam karir tertentu maka biasanya ia akan memilih karir
tesebut.
c. Kuantitas usaha dan keinginan untuk bertahan pada suatu tugas
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi biasanya akan berusaha
keras untuk menghadapi kesulitan dan bertahan dalam mengerjakan
suatu tugas bila mereka telah mempunyai keterampilan prasyarat.
Sedangkan individu yang mempunyai efikasi diri yang rendah akan 
terganggu oleh keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah
menyerah bila menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas.
d. Kualitas Usaha
Penggunaan strategi dalam memproses suatu tugas secara lebih
mendalam dan keterlibatan kognitif dalam belajar memiliki hubungan
yang erat dengan efikasi diri yang tinggi. Siswa yang memiliki efikasi
diri tinggi cenderung akan memperlihatkan penggunaan kognitif dan
strategi belajar yang lebih bervariasi.

Aspek-aspek Efikasi Diri


Menurut Bandura (1997) efikasi diri terdiri dari tiga aspek yaitu :
a. Tingkatan (level), berkaitan dengan individu merasa mampu
menyelesaikan tugas dari yang ringan hingga yang berat.
b. Kekuatan (strength), berkaitan tingkat kekuatan dari keyakinan mengenai
kemampuannya.
c. Generalisasi (generality), individu merasa yakin akan kemampuannya
pada setiap situasi yang berbeda.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri


Bandura (1997) menyatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi
efikasi diri pada diri individu yaitu:
a. Pengalaman menguasai sesuatu
Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman
menguasai sesuatu, yaitu performa masa lalu, secara umum performa
yang berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan,
dan hal ini mempunyai enam dampak yaitu: meningkatkan efikasi diri
secara proporsional, tugas dapat di selesaikan dengan baik, menurunya
kegagalan, kegagalan tidak menimbulkan emosi, kegagalan
mengukuhkan rasa menguasai diri, kegagalan yang terjadi mempunyai
dampak sedikit.
b. Modeling social
Modeling sosial yaitu vicarious experiences, secara umum dampak
dari modeling sosial tidak sekuat dampak yang di berikan oleh
performa pribadi dalam meningkatkan level efikasi diri, tetapi
mempunyai dampak yang kuat saat memperhatikan penurunan efikasi
diri.
c. Persuasi social
Dampak dari sumber ini cukup terbatas, tetapi di bawah kondisi yang
tepat, persuasi diri orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan
efikasi diri.
d. Kondisi fisik dan emosianal
Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa saat orang
mengalami ketakutan yang kuat dan kecemasan atau tingkat stres
yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspektasi efikasi yang
rendah

Pengertian Efikasi Diri


Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam
teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap
kemampuan dirinya untuk mencapai hasil. Bandura (1997) menggambarkan
keyakinan diri sebagai kepercayaan terhadap diri sendiri dalam melakukan
suatu tindakan guna menghadapi suatu situasi sehingga dapat memperoleh
hasil seperti yang diharapkan. Keyakinan diri adalah bagian dari diri yang
dapat mempengaruhi jenis aktivitas yang dipilih, besarnya usaha yang akan
dilakukan oleh individu dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan. Efikasi
akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam menampilkan suatu
perilaku dan selanjutnya akan mempengaruhi efikasi diri seseorang. Jika
seseorang mengalami keberhasilan maka efikasi dirinya akan meningkat, dan
tingginya efikasi diri akan memotivasi individu secara kognitif untuk
bertindak secara lebih tekun dan terutama bila tujuan yang hendak dicapai
sudah jelas. Baron dan Byrne (2003) mengungkapkan bahwa efikasi diri
merupakan evaluasi seseorang mengenai kemampuannya atau kompetensi
dirinya untuk melakukan tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan.

Kualitas Layanan


Kualitas layanan adalah salah satu proses suatu produk untuk meningkatkan kepuasan
pelanggan dengan cara memenuhi kebutuhan pelanggan (Jahanshahi, Gasthi, Mirdamadi,
Nawaser dan Khaksar, 2011 : 254). Menurut Malik et, al (2012 : 125) kualitas pelayanan adalah
pendapat tentang apa yang konsumen rasakan terhadap keseluruan yang diberikan perusahaan
terhadap pelanggan. Pelayanan dalam hal ini diartikan sebagai jasa atau service yang
disampaikan oleh pemilik jasa yang berupa kemudahan, kecepatan, hubungan, kemampuan dan
keramahtamahan yang ditujukan melalui sikap dan sifat dalam memberikan pelayanan untuk
kepuasan konsumen. Kualitas pelayanan (service quality) dapat diketahui dengan cara
membandingkan persepsi para konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata mereka terima /
peroleh dengan pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan/inginkan terhadap atributatribut pelayanan suatu perusahaan.
Indikator Kualitas Layanan menurut Malik et, al (2012 : 125)

  1. Keterampilan dan Profesionalisme
  2. Perilaku dan Sikap Karyawan
  3. Flexibilitas dan Kenyamanan
  4. Kepercayaan dan Kehandalan
  5. Pemulihan Layanan
  6. Cakupan Layanan
  7. Kredibilitas dan Reputasi

Kualitas Produk


Kualitas Produk adalah satu dari alat positioning pemasaran yang diunggulkan. Kualitas
produk memiliki dampak langsung pada produk dan jasa serta yang paling dekat dan terhubung
dengan nilai pelanggan dan kepuasan (Kotler dan Amstrong, 2011 : 242).
Menurut Owusu ( 2013 : 183 ) bahwa kualitas produk merupakan salah satu faktor
yang paling penting bagi para konsumen untuk pemilihan terhadap suatu merek terutama di
lingkungan pasar dimana tingkat kompetisi intens dan persaingan harga. Oleh karena itu,
sangat sulit untuk memenuhi harapan para konsumen pada kualitas produk karena pemahaman
mereka berbeda-beda dan tidak konsisten.
Kemampuan suatu produk guna untuk melaksanakan fungsi – fungsinya yang meliputi
daya tahan keandalan, ketepatan kemudahan operasi dan perbaikan, serta atribut bernilai. Dan
untuk meningkatkan kualitas produk tersebut maka perusahaan dapat menerapkan program ,
program tersebut adalah Total Quality Manajemen (TQM). Selain mengurangi kerusakan
produk tujuan pokok kualitas total yaitu untuk meningkatkan nilai pelanggan.
Adapun indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas produk menurut Owusu
(2013 : 184) dalam penelitiannya ada delapan aspek indikator diantaranya adalah:
a. Performance, meliputi karakteristik operasi dari suatu produk.
b. Fitur produk (feature) yaitu karakteristik atau ciri-ciri tambahan yang melengkapi
manfaat dasar suatu produk.
c. Kesesuaian dengan sertifikasi (conformance to specification) kesesuaian kinerja produk
dengan standar yang dinyatakan suatu produk.
d. Keandalan (reliability), peluang suatu produk bebas dari kegagalan saat menjalankan
fungsinya.
e. Daya tahan (durability), menggambarkan umur ekonomis suatu produk.
f. Kemampuan diperbaiki (servicebility) kualitas produk ditentukan atas dasar
kemampuan suatu produk diperbaiki.