Menurut Alwi (2001: 859) perilaku merupakan tanggapan atau
reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan, sedangkan menurut
Notoatmodjo (2007: 133) perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme dalam hal ini perilaku makhluk hidup terutama manusia, pada
hakikatnya adalah suatu tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri.
Perilaku siswa adalah semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
siswa didalam lingkungan sekolah (Razak dkk, 2019).
Dalam mengelola perilaku siswa di dalam kelas ada berbagai
faktor yang mempengaruhi, yakni faktor guru, faktor peserta didik, dan
faktor lingkungan/sarana. Yang masuk faktor guru adalah pertama, tipe
kepemimpinan guru: guru yang otoriter dan kurang demokratis dapat
menumbuhkan sikap agresif peserta didik. Kedua, format mengajar yang
monoton menimbulkan rasa bosan dan frustasi dari peserta didik. Ketiga,
kepribadian guru yang hangat, adil, objektif da leksibel menimbulkan
suasana emosional menyenangkan dalam proses belajar mengajar.
Keempat, pemahaman guru mengenai peserta didik dan latar belakangnya
sangat menolong dalam mengelola perilaku siswa di dalam kelas. Faktor
peserta didik juga berperan dalam pengelolaam perilaku siswa. Peserta
didik harus sadar bahwa jika mereka mengganggu temannya yang sedang
belajar berarti mereka tidak melakukan kewajiban sebagai anggota
masyarakat dan tidak menghormati hak peserta didik lain untuk
memperoleh manfaat maksimal dari proses belajar mengajar. Sementara
faktor keluarga mencakup sikap orang tua terhadap anaknya. Sikap otoriter
orang tua akan tercermin dari tingkah laku peserta didik yang agresif dan
apatis. Kebiasaan yang kurang baik di lingkungan keluarga seperti tidak
tertib, kurang disiplin dan kebebasan berlebih atau terlalu dikekang akan
menjadi penyebab anak didik melanggar disiplin kelas.
Perilaku adalah kegiatan atau aktivitas makhluk hidup terutama
manusia yang disebabkan karena adanya rangsangan yang berasal dari
internal maupun eksternal (Sari, 2013: 143). Siswa adalah sekelompok
orang dengan usia tertentu yang belajar baik secara kelompok atau
perorangan (Muhaimin dkk dalam Razak dkk, 2019: 97). Perilaku siswa
adalah segala aktivitas yang dilakukan siswa di dalam lingkungan sekolah
disebabkan oleh rangsangan internal maupun eksternal.
Skinner dalam Hergenhahn, B & Olson, H, (2008: 84–85)
menyatakan ada dua jenis perilaku yaitu respondent behavior (perilaku
responden) dan operant behavior (perilaku operan). Perilaku responden
ditimbulkan oleh stimulus yang dikenali atau bergantung dari stimulus
yang mendahuluinya, misalnya gerak refleks. Jenis perilaku yang kedua
adalah perilaku operan yaitu perilaku yang diakibatkan oleh stimulus yang
dikenal, biasanya lebih spontan. Misalnya dalam aktivitas seseorang
sehari-hari. Perilaku merupakan proses perubahan tingkah laku. Perilaku
datang dari sebuah pikiran sehingga memaksa tubuh untuk melaksanakan
aktivitas atau tindakan. Secara psikologi pikiran dan tubuh saling
berhubungan yang mempengaruhi kesehatan. Menurut Laura A. King
(2010: 33-34) hubungan antara pikiran dan tubuh (mind and body)
dibedakan menjadi dua yaitu bagaimana pikiran berdampak pada tubuh
dan bagaimana tubuh berdampak pada pikiran.
Pikiran berdampak pada tubuh, apa yang seseorang pikiran akan
berpengaruh pada tingkah laku seseorang tersebut, Perilaku kesehatan
yang berasal dari pikiran sehingga berdampak pada tubuh misalnya makan
dengan gizi seimbang, menggosok gigi, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi NAPZA, akan berdampak pada tubuh seseorang. Pikiran
yang positif menyebabkan perilaku yang baik sehingga menjadikan tubuh
seseorang bugar. Tubuh berdampak pada pikiran. Hal yang saling
berlawanan tetapi memiliki hubungan yang sangat mempengaruhi. Tubuh
yang bugar tentu saja akan membuat pemikiran seseorang nyaman dan
jernih sehingga diharapkan seseorang berfikir positif. Gagasan bahwa
pikiran dan tubuh adalah dua hal terpisah yang mendorong kesadaran
manusia untuk berperilaku. Perubahan perilaku tersebut dapat dilakukan
melalui pendekatan behavioristik (behavioral approach).
Perilaku, apabila sudah menjadi kebiasaan memang kadang susah
untuk diubah, tetapi masih dapat diubah, meskipun membutuhkan waktu
yang lama. Menurut Wahid Iqbal M& Nurul Chayatin. (2009: 365)
perilaku seseorang dapat diubah dengan cara sebagai berikut: (1)
Cognitive dissonance, yaitu adanya suatu gangguan keseimbangan tentang
kemantapan pengertian yang sudah dimiliki oleh seseorang. Gangguan
keseimbangan ini dapat dilihat dari perbedaan pandangan antara sesuatu
yang lama dan penemuan yang baru misalnya penyebab suatu penyakit,
sehingga menyebabkan perubahan sikap dan perilakunya; (2) Perubahan
perilaku menurut Kelman dalam Wahid Iqbal M& Nurul Chayatin. (2009:
365) ada tiga cara yaitu; (a) terpaksa (compliance), perubahan perilaku
yang dikarenakan ada penyebab dan reward, misalnya seseorang
mengubah perilakunya karena akan mendapatkan imbalan, pengakuan dari
seseorang ataupun kelompok. perubahan perilaku karena terpaksa ini tidak
dapat bertahan lama, (b) Peniruan (Identification), individu mengubah
perilakunya karena ingin disamakan dengan seseorang yang dikaguminya.
Guru kadang dijadikan suatu model atau objek oleh siswa dalam
berperiaku sehari-hari, oleh karena itu guru harus menunjukkan sikap dan
perilaku yang baik agar siswa dapat berperilaku baik, (c). menghayati
manfaatnya (Internalization), perubahan perilaku yang mendasar sehingga
sulit untuk diubah karena sudah menjadi bagian dalam hidup seseorang.
Pemahaman tentang perilaku dan bahwa perilaku seseorang itu bisa diubah
sebaiknya dimiliki oleh setiap guru dan siswa itu sendiri, bahkan setiap
orang
Aspek-aspek efikasi diri,
Menurut Bandura (1997) dalam Ghufron
& Risnawita (2010: 80-81), efikasi diri pada diri tiap individu akan
berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga
dimensi. Berikut ini adalah tiga dimensi tersebut.
a. Dimensi tingkat (level)
Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu
merasa mampu untuk melakukannyal. Apabila individu dihadapkan
pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka
efikasi diri individu mugkin akan terbatas pada tugas-tugas yang
mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-tugas yang sulit, sesuai
dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntunan
perilaku yang dibutuhkan masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki
implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang akan dicoba atau
dihindari. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu
dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di luar batas
kemampuan yang dirasakannya.
b. Dimensi kekuatan (strength)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang
lemah mudah digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak
mendukung. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang
menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi
level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan
yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
c. Dimensi generalisasi (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana
individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasakan
11
yakni terhadap kemampuan dirinya. Apakah sebatas pada sesuatu
aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi
yang bervariasi.
Efikasi diri
Efikasi diri menurut Alwisol dalam Cahyadi (2021: 5) adalah
pandangan atau persepsi pada diri tentang bagaimana diri dapat berfungsi
sesuai situasi yang sedang dihadapi. Efikasi diri secara umum tidak
berkaitan dengan keahlian yang dimiliki individu melainkan lebih kepada
psikologis atau keyakinan individu.
Efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri
atau self-knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Hal ini disebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut
mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan
untuk mencapai suatu tujuan, termasuk didalamnya perkiraan berbagai
kejadian yang akan dihadapi (Ghufron & Risnawita, 2010: 73). Menurut
Widiyanti & Marheni (2013: 72) efikasi diri penting dimiliki oleh
kalangan remaja agar mampu terus menghadapi segala perubahan yang
terjadi. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki
kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Efikasi adalah
penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk,
tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Efikasi tidak sama dengan aspirasi (cita-cita) karena
aspirasi menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai
sedangkan efikasi menggambarkan penilaian tentang kemampuan diri
(Widyaninggar, 2014: 92).
Baron dan Byrne (dalam Ariska dkk, 2020: 15) menyatakan dalam
ilmu psikologi, keyakinan dan kepercayaan individu terhadap kemampuan
dirinya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu
tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasikan tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu disebut dengan efikasi diri. Menurut
Schunk (dalam Purnomo, dkk, 2018:182) efikasi diri merujuk kepada
keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk belajar atau
melakukan sesuatu. Astuti dan Pratama (2020:149) perasaan yakin akan
kemampuan dalam efikasi diri dapat menumbuhkan semangat untuk
belajar menjadi lebih baik. Efikasi diri berperan menentukan bagaimana
seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai saran, tugas dan
tantangan.
Bandura (dalam Ghufron & Risnawita, 2010:73) adalah tokoh yang
memperkenalkan istilah efikasi diri (self-effacy). Ia mendefinisikan bahwa
efikasi adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam
melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil
tertentu. Efikasi diri merupakan unsur kepribadian yang berkembang
melalui pengamatan-pengamatan individu terhadap akibat-akibat
tindakannya dalam situasi tertentu. Persepsi seseorang mengenai dirinya
dibentuk selama hidupnya melalui reward dan punishment dari orang-
orang di sekitarnya. Unsur penguat (reward dan punishment) lamakelamaan dihayati sehingga terbentuk pengertian dan keyakinan mengenai
kemampuan diri. Bandura (1997) dalam (Ghufron & Risnawita, 2010:77)
mengatakan bahwa persepsi terhadap efikasi diri pada setiap individu
berkembang dari pencapaian secara berangsur-angsur akan kemampuan
dan pengalaman tertentu secara terus-menerus. Pietsch, Walkeer, dan
Chapman (2003: 589–603) juga menemukan hasil yang sama, yaitu ada
hubungan antara efikasi diri matematika dengan prestasi matematika.
Menurut Bandura dalam Mahmudi dan Suroso (2014:187) karakter
individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi adalah ketika individu
tersebut yakin bahwa mereka mampu menangani sebuah situasi yang
mereka hadapi secara efektif, tekun dalam menyelesaikan tugas, percaya
diri, memandang kesulitan sebagai tantangan, berkomitmen kuat terhadap
dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakukannya,
meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan
memikirkan strategi dalam menghadapinya, cepat memulihkan rasa
mampu setelah mengalami kegagalan , dan menghadapi ancaman dengan
keyakinan
Tahapan Program Psikoedukasi Bersahabat dengan Stroke
Merujuk pada tahapan atau sesi yang sudah dikembangkan
beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan pasien pasca stroke
yang mengalami gangguan psikologis yang dapat mempengaruhi
efikasi diri, maka dalam penelitian ini dilakukan psikoedukasi untuk
meningkatkan efikasi diri pada pasien pasca stroke yang dapat
membuat pasien puas dengan keadaannya, mencapai kebebasan
dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari, meningkatkan kualitas
hidup dan menurunkan depresi yang biasanya terjadi pasca stroke
sehingga dapat mempengaruhi motivasi dan berperilaku untuk
mencapai kesembuhan. Adapun sesi-sesi program psikoedukasi
bersahabat dengan stroke yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Sesi 1: video edukasi dan motivasi untuk meningkatkan efikasi
diri
Pada sesi ini responden melihat video yang berisi tentang apakah
stroke dapat disembuhkan, serta kiat-kiat meningkatkan motivasi
pasien pasca stroke. Video yang ditampilkan berdurasi 6 menit 57
detik untuk mempertahankan fokus pasien (Denny et al., 2017).
Sesi 1 dilakukan saat responden pulang dari rumah sakit dan pada
hari yang sama setelah responden mengisi pretest.
2) Sesi 2: video persuasi verbal dan cerita penyintas stroke
Pada sesi ini responden melihat video yang berisi tentang persuasi
verbal dan kata-kata motivasi untuk dapat meningkatkan efikasi
diri, selain itu salah satu penyintas stroke membagikan
pengalamannya saat terkena stroke hingga menjalani rehabilitasi.
Video yang ditampilkan berdurasi 7 menit 7 detik. Sesi 2
dilakukan 3 hari setelah sesi 1, peneliti memberikan video melalui
tautan YouTube yang dibagikan melalui WhatsApp. Tindak lanjut
psikoedukasi melalui telepon sangat berarti bagi responden dan
keluarga karena dapat menghemat biaya dan tenaga untuk pergi
ke rumah sakit.
3) Sesi 3: review video 1 dan 2
Sesi 3 dilakukan 3 hari setelah sesi 2, peneliti meminta
responden untuk melihat kembali video 1 dan 2. Satu minggu
setelah review video, dilakukan evaluasi dengan mengisi
kuesioner (posttest). Posttest menggunakan google formulir
melalui tautan yang dibagikan ke responden menggunakan
WhatsApp dengan dibantu keluarga.
Program atau Modul Psikoedukasi
Program psikoedukasi merupakan suatu rangkaian kegiatan
psikoedukasi untuk membantu kelompok klien sasaran/partisipan
mengembangkan satu atau serangkaian keterampilan hidup tertentu
(Supratiknya, 2011). Program psikoedukasi dapat dikembangkan
menggunakan modul psikoedukasi yang tersusun atas komponen:
1) Topik
Topik menjelaskan jenis keterampilan hidup yang hendak
diberikan dalam modul psikoedukasi dan biasanya digunakan
sebagai judul.
2) Tujuan
Tujuan menjelaskan secara spesifik jenis-jenis keterampilan
hidup yang akan menjadi tujuan modul serta hasil yang
diharapkan akan dicapai oleh peserta psikoedukasi pada akhir
kegiatan.
3) Waktu
Menjelaskan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan modul
dari kegiatan dari awal hingga evaluasi, biasanya dituliskan jam
atau menit
4) Tata ruang
Menjelaskan pengaturan isi ruangan, kondisi ruangan, peralatan
dan perlengkapan dalam pelaksanaan modul psikoedukasi.
5) Materi
Menjelaskan secara konseptual jenis-jenis keterampilan hidup
yang menjadi tujuan pada modul yang dapat disajikan melalui
handouts, booklet, rekaman pidato, video, atau media lain yang
disertai penjelasan lisan oleh fasilitator.
6) Prosedur
Menjelaskan langkah-langkah kegiatan psikoedukasi yang harus
dilakukan oleh peserta dan fasilitator untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.
7) Media
Media dalam psikoedukasi dapat berupa:
a) Handouts atau booklet yang berisi materi yang disampaikan
b) Lembar kerja pribadi maupun kelompok
c) Slides-film, rekaman audio seperti pidato, musik, dan
sebagainya
d) Gambar, koran bekas, majalah bekas, dan lain-lain
e) Laptop, komputer, dan reviewer
38
f) Alat tulis
8) Evaluasi
Komponen ini terdiri dari dua macam evaluasi, yaitu evaluasi
hasil dan evaluasi kinerja. Evaluasi hasil
mempertanggungjawabkan hasil penyelenggaraan modul
psikoedukasi yang telah dilaksanakan, sedangkan evaluasi
kinerja mempertanggungjawabkan proses pelaksanaan modul
psikoedukasi yang telah dilaksanakan terkait kinerja fasilitator.
9) Sumber
Memuat berbagai sumber pustaka yang digunakan sebagai acuan
dalam penyusunan modul
Tujuan Psikoedukasi
Tujuan dari psikoedukasi adalah untuk meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit anggota keluarga, mengurangi tingkat
kekambuhan, dan meningkatkan fungsi pasien dan keluarga (Stuart,
2009). Intervensi psikoedukasi diharapkan dapat meningkatkan
pencapaian pengetahuan individu tentang penyakit, mengajarkan
bagaimana teknik pengajaran dalam upaya membantu mereka
melindungi individu dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan
mendukung individu
Psikoedukasi. Pengertian
Psikoedukasi adalah pendidikan kesehatan pada pasien baik
yang mengalami penyakit fisik maupun gangguan jiwa yang
bertujuan untuk mengatasi masalah psikologis yang dialami pasien
(Suryani, 2016). Psikoedukasi dapat dilaksanakan secara individual
maupun kelompok/grup dan dapat diberikan dalam satu sesi atau
lebih.
Psikoedukasi dapat dilaksanakan di berbagai tempat pada
berbagai kelompok atau rumah tangga. Tindakan psikoedukasi
memiliki media berupa catatan seperti poster, booklet, leaflet, video,
dan beberapa eksplorasi yang diperlukan. Perawat dapat
membangun hubungan saling percaya agar dapat melakukan
pengkajian yang tepat dan memberikan pengertian terhadap
keluarga bagaimana psikoedukasi memberikan keuntungan pada
mereka, dapat mengatasi dan mencegah terjadinya gangguan
emosional dengan strategi koping yang efektif (Supratiknya, 2011).
Terapi psikoedukasi ini bisa dilakukan secara pasif berupa
pemberian informasi dengan leaflet atau melalui email atau website
dan juga dilakukan secara aktif berupa konseling atau pemberian
pendidikan kesehatan secara individu atau kelompok (Suryani,
2016).
Fase Rehabilitasi Stroke
Rehabilitasi pada pasien stroke bertujuan untuk
meminimalkan defisit neurologis beserta komplikasinya,
mendorong keluarga, dan memfasilitasi dan meningkatkan kualitas
hidup pasien stroke (Tan, 2017).
Secara umum rehabilitasi pasien stroke dibagi menjadi 3 fase
sebagai acuan penentuan tujuan dan jenis intervensi rehabilitasi
yang diberikan, yaitu (Wirawan, 2009):
1) Stroke fase akut (2 minggu pertama pasca serangan stroke)
Pada fase akut, biasanya keadaan hemodinamik pasien belum
stabil dan masih menjalani perawatan di rumah sakit. Pasien
stroke dapat dirawat di ruang rawat biasa ataupun unit stroke.
Pasien yang dirawat di unit stroke menghasilkan perawatan yang
lebih baik dibandingkan dengan pasien yang dirawat di ruang
rawat biasa. Pasien cenderung lebih mandiri dan mempunyai
kualitas hidup yang lebih baik. Rehabilitasi pada fase ini
dijalankan oleh tim yang biasanya latihan aktif dimulai sesudah
prosesnya stabil, 24-72 jam sesudah serangan, kecuali terjadi
perdarahan (Purwanti, 2008).
2) Stroke fase subakut (antara 2 minggu hingga 6 bulan pasca
serangan stroke)
Pada fase subakut, kecuali pasien yang memerlukan perawatan
rehabilitasi intensif, status hemodinamik pasien lebih stabil dan
diperbolehkan pulang. Pada fase ini pasien mulai menunjukkan
tanda-tanda depresi, fungsi bahasa mulai dapat terperinci.
Rehabilitasi pada fase ini dilakukan untuk mencegah hemiplegic
posture dengan mengatur posisi dan stimulasi sesuai kondisi
klien (Purwanti, 2008).
Pasa fase subakut pasien mulai mempelajari kembali aktivitas
perawatan diri dan berjalan. Rehabilitasi diperlukan untuk
memastikan gerakan pasien lebih terarah dan lebih efisien dalam
penggunaan energi. Rehabilitasi dilakukan dengan terapi latihan
yang terstruktur yang berkelanjutan dan berulang serta
mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak. Tujuan
rehabilitasi pada fase ini yaitu untuk mencegah komplikasi
akibat tirah baring, mempersiapkan atau mempertahankan
kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional secara
optimal, mengembalikan kemandirian dalam aktivitas seharihari, serta mengembalikan kebugaran fisik dan mental.
3) Stroke fase kronis (lebih dari 6 bulan pasca serangan stroke)
Program latihan untuk fase stroke kronis hampir mirip dengan
fase subakut, yang berlangsung lebih dari 6 bulan pasca stroke.
Hasil dari rehabilitasi pada fase kronis tergantung pada tingkat
keparahan stroke. Hasilnya terdiri dari beberapa tingkatan
seperti mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti
sebelum sakit, mandiri penuh dan bekerja namun berganti
pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi, mandiri penuh
namun tidak bekerja, aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal
dari orang lain, atau aktivitas sehari-hari sebagian besar atau
sepenuhnya dibantu orang lain.
Tujuan dari program latihan pada fase kronis ini adalah untuk
mengoptimalkan kemampuan fungsional pasien,
mempertahankan kemampuan fungsional yang dicapai,
mengoptimalkan kualitas hidup pasien, dan mencegah
komplikasi. Pada saat fase ini, fokusnya adalah pada terapi
kelompok, keluarga pasien lebih banyak dilibatkan, pekerja
medik sosial, dan psikolog perlu lebih aktif (Purwanti, 2008)
Dampak Stroke
Beberapa dampak stroke yang terjadi pada pasien stroke,
antara lain:
1) Dampak fisik
Stroke dapat menyebabkan beberapa gangguan fisik seperti
kelumpuhan atau cacat (hemiplegia dan hemiparesis), gangguan
berkomunikasi, hilangnya indra perasa, gangguan tidur, nyeri,
kehilangan kemampuan dasar sebagai individu normal, kesulitan
mengunyah dan menelan makanan (disfagia), dan inkontinensia
(Lingga, 2013).
2) Dampak psikososial
Kondisi tidak berdaya oleh pasien akibat stroke dapat
menyebabkan perubahan mental pada pasien, sehingga
mengalami stres, depresi, mudah tersinggung, mudah marah,
dan sedih. Tidak jarang diantara mereka yang putus asa dan
kehilangan semangat hidup. Sebagian besar pasien pasca stroke
juga tidak dapat menerima kehidupan baru yang dialaminya.
Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak dapat mengatasi
persoalan yang dialaminya sendirian. Karena itu, perlu
dukungan orang lain agar perubahan emosi dan mental tersebut
tidak berkembang lebih buruk. Konseling yang dilakukan oleh
psikolog atau pemuka agama merupakan sebuah upaya yang jitu
dan terbukti efektif untuk membantu pasien mengatasi persoalan
kejiwaan yang berat (Lingga, 2013).
3) Dampak ekonomi
Stroke digolongkan ke dalam penyakit katastropik karena
mempunyai dampak luas secara ekonomi dan sosial (Kemenkes
RI, 2018). Stroke memerlukan biaya perawatan dan biaya
pengobatan yang tidak sedikit dan dapat mempengaruhi
stabilitas ekonomi keluarga dan dapat mempengaruhi stabilitas
emosi baik pasien maupun keluarga (Muttaqin, 2008
Terapi Stroke
National Institutes of Health (NIH) (2004) menyatakan bahwa
terapi yang dapat diberikan untuk rehabilitasi stroke yaitu:
1) Terapi fisik
Terapi yang diberikan untuk merawat klien dengan gangguan
motorik dan mengembalikan mobilitas klien pasca stroke
2) Terapi okupasi
Layanan kesehatan yang ditujukan pada klien yang mengalami
gangguan motorik atau mental yang dilakukan untuk
meningkatkan aktivitas kehidupan sehari-hari dan melatih
kemandirian
3) Terapi wicara
Layanan kesehatan yang diberikan pada klien yang mengalami
gangguan bicara (afasia). Klien stroke kemungkinan mengalami
gangguan dalam komunikasi sehingga membutuhkan terapi
wicara untuk melatih dan meningkatkan kemampuannya dalam
berbicara/komunikasi
Manifestasi Klinis Stroke
Manifestasi klinis stroke beragam tergantung pada jenis stroke
(Ghofir, 2021):
1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis)
yang muncul secara mendadak
2) Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
(gangguan hemisensorik)
3) Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium,
letargi, stupor, atau koma)
4) Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan
memahami ucapan)
5) Disartria (bicara pelo atau cadel)
6) Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau
diplopia
7) Vertigo, mual dan muntah, dan nyeri kepala
Klasifikasi Stroke
Klasifikasi stroke dibedakan menurut patologi dari serangan
stroke meliputi (LeMone et al., 2016):
- Stroke hemoragik
Stroke hemoragik merupakan perdarahan serebral dan mungkin
perdarahan subarakhnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh
darah otak pada daerah otak tertentu dan pada umumnya
kesadaran klien menurun (Muttaqin, 2008). Terdapat dua jenis
stroke hemoragik yaitu hemoragi intraserebral dan hemoragi
subarakhnoid.
a) Perdarahan intraserebral
Pecahnya pembuluh darah dikarenakan hipertensi yang
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak,
membentuk massa yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan edema otak.
b) Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan yang berasal dari pecahnya aneurisma berry atau
AVM. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subarakhnoid
menyebabkan TIK meningkat secara mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, dan vasopasme pembuluh
darah serebral yang berakibat disfungsi otak global yaitu
nyeri kepala, penurunan kesadaran maupun disfungsi otak
fokal yaitu hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia, dan
lainnya. - Stroke Nonhemoragik
Stroke yang berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral
yang biasanya terjadi saat setelah lama istirahat, baru bangun
tidur, atau di pagi hari. Stroke nonhemoragik ini tidak terjadi
perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia
dan edema sekunder
Faktor Risiko Stroke
Faktor risiko stroke diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu
faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi. Faktor
yang dapat dimodifikasi dapat diubah dengan prevensi (LeMone et
al., 2016). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi terdiri dari
usia, jenis kelamin, ras, dan hereditas, sedangkan faktor yang dapat
dimodifikasi terdiri dari hipertensi, penyakit jantung, kolesterol
tinggi, obesitas, diabetes, merokok, penyalahgunaan zat dan alkohol
(Muttaqin, 2008). Faktor risiko lain meliputi stroke sebelumnya atau
serangan iskemia transien (TIA), dan faktor khusus untuk wanita
adalah kontrasepsi oral (khususnya disertai hipertensi, merokok, dan
kadar estrogen tinggi) (LeMone et al., 2016)
Pengertian Stres Kerja
Stres kerja mempunyai arti yang berbeda-beda bagi masing-masing individu.
Kemampuan setiap orang beraneka ragam dalam mengatasi jumlah, intensitas, jenis
dan lamanya stres. Stres merupakan sesuatu yang menyangkut interaksi antara
individu dan lingkungan yaitu interaksi antara stimulasi dan respons. Jadi setres
adalah konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan yang menimbulkan
tuntutan psikologis dan fisik yang berlebihan pada seseorang (Sunyoto, 2012:61).
Kata stres berasal dari bahasa lain Stingere, yang digunakan pada abad XVII
untuk menggambarkan kesukaran, penderitaan dan kemalangan. Stres adalah
ketegangan atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang
menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan dan adanya
kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan
kondisi fisik seseorang (Tunjungsari, 2011:3-4). Stres kerja adalah suatu kondisi
ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seorang karyawan seperti: rasa
takut, cemas, rasa bersalah, marah, sedih, putus asa dan bosan yang dihadapinya
dalam lingkungan kerja (Angraini, 2017:3).
Menurut Nawawi (2006) yang dikutip oleh Astianto dan Suprihadi (2014:3)
definisi stres sebagai suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis.
Keadaan tertekan tersebut secara umum merupakan kondisi yang memiliki
karakteristik bahwa tuntutan lingkungan melebihi kemampuan individu untuk
meresponnya. Lingkungan tidak berarti hanya lingkungan fisik saja, tetapi juga
lingkungan sosial. Lingkungan seperti ini juga terdapat dalam organisasi kerja
sebagai tempat setiap anggota organisasi atau karyawan menggunakan sebagian
besar waktunyadalam kehidupan sehari-hari.
Wijono (2015:145) menjelaskan bahwa stres kerja sebagai suatu keadaan
yang timbul dalam interaksi di antara manusia dan pekerjaan. secara umum stres
kerja diartikan sebagai rangsangan eksternal yang menganggu fungsi mental, fisik
dan kimiawi dalam tubuh seseorang. Siagian (2012:140) mengatakan bahwa stres
kerja merupakan salah satu permasalahan yang sering dialami oleh karyawan di
tempat kerjanya. Penanggulanagn stres kerja bagi individu sangat penting
dilakukan karena stres dapat mempengaruhi kehidupan, kesehatan dan
produktivitas karyawan.
Menurut Robbins (2006) dalam Karambut, dkk (2012:658) menyatakan
bahwa stres adalah suatu kondisi dinamik yang didalamnya seorang individu
dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala atau tuntutan yang dikaitkan
dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai
tidak pasti dan penting.
Menurut Mangkunegara (2011:57) menyatakan bahwa stres kerja adalah
perasan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres Kerja
merupakan kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan
kondisi fisik seseorang, apabila stres ini terlalu besar maka dapat mengancam
kemampuan seseorang dalam menghadapi lingkungan (Davis dan Newstrom,
dalam Robbins dan Judge, 2013:380).
Menurut Ivancevich dan Matteson mendefinisikan stres sebagai interaksi
individu dengan lingkungan, tetapi kemudian mereka memperinci definisi kerja
sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses
psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi atau kejadian eksternal
(lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik secara
berlebihan pada seseorang. Dan menurut Beehr dan Newman mendefinisikan stres
kerja sebagai kondisi yang muncul dari interkasi antara manusia dan pekerjaan serta
dikarakteristikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk
menyimpang dari fungsi normal mereka (Luthans, 2006:441).
Berdasarkan pendapat para ahli, maka peneliti menyimpulkan bahwa stres
kerja merupakan bentuk respon psikologis dari tubuh terhadap tekanan-tekanan,
tuntutan-tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuan yang dimiliki, baik dalam
tuntutan fisik maupun lingkungan dan situasi sosial yang mengganggu pelaksanaan
tugas, yang muncul dari interaksi antara individu dengan pekerjaannya, dan dapat
merubah fungsi fisik serta psikis yang normal, sehingga dinilai membahayakan, dan
tidak menyenangkan yang ada pada diri individu.
Akan tetapi menurut Robbins (2008:369) stres sendiri tidak mesti buruk,
meskipun biasanya dibahas dalam konteks negatif. Stres juga memiliki nilai positif
yakni sebuah peluang ketika menawarkan potensi hasil. Dewasa ini, para peneliti
berpendapat bahwa stres yang menyertai tantangan di lingkungan kerja (misalnya
tugas dan tanggungjawab), beroperasi sangat berbeda dari stres hambatan yang
menghalangi karyawan mencapai tujuan (misal politik kantor dan birokrasi).
Pengaruh stres kerja yang memiliki dampak positif yang menguntungkan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya. Namun dalam penelitian ini jenis stres kerja yang dimaksud adalah
stres kerja yang berdampak negatif
Karakteristik Organisasi Non Profit
Tujuan utama dari sebuah organisasi non profit adalah
memperjuangkan keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan umum yang di
dalamnya terdapat makna melakukan sesuatu yang baik, melaksanakan
etika, berdampak menyenangkan, dan menyejahterakan masyarakat
(Salusu, 2006). Menurut Wolf (Salusu, 2006), organisasi non profit
memiliki empat karakteristik unik antara lain: a) organisasi non profit harus
dapat memiliki tujuan yang berguna bagi orang banyak, b) Struktur
organisasi non profit harus terlepas dari kepentingan dan keinginan pribadi
pemimpin atau anggotanya, c) Organisasi non profit harus terbebas dari
tanggungan pajak, d) Organisasi non profit harus memiliki status khusus
dalam tatanan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu
organisasi non profit memiliki motif altruistik, moral dan sosial.
Spiritualitas Organisasi
Spiritualitas kerja tidak dapat dipisahkan dengan organisasi sebagai
tempat seseorang bekerja dan mengekspresikan spiritualitasnya. Menurut
Giacalone dan Jurkiewicz (2003), spiritualitas organisasi merupakan
serangkaian nilai-nilai budaya organisasi yang mendorong pengalaman
transenden karyawan melalui proses kerja dan keterhubungan dengan orang
lain yang memberi kebahagiaan dan pemenuhan. Spiritualitas organisasi
merupakan fitur atau bagian dari budaya organisasi yang bertujuan untuk
mengembangkan kesadaran akan makna hidup seseorang dengan
menjalankan pekerjaan yang bermanfaat bagi banyak orang (Robbins dan
Coulter, 2014). Kesadaran dan pengembangan spiritualitas di dalam sebuah
organisasi menjadi tren dan kebutuhan bagi sebuah organisasi pada masa
sekarang ini. Organisasi-organisasi yang mempromosikan budaya
spiritualitas akan memahami upaya para karyawan untuk menemukan arti
dan tujuan dari pekerjaan mereka. Robbins dan Coulter (2014) menyebut
mereka sebagai organisasi spiritual yang memiliki karakteristik:
a. Kesadaran kuat akan makna: Budaya organisasi dibangun dengan
tujuan yang bermakna dan tidak menjadikan keuntungan sebagai
nilai utama organisasi.
b. Penekanan pada pengembangan individu: ada kesadaran pada nilai
dan martabat individu, sehingga organisasi berusaha menciptakan
budaya yang menumbuhkan dan memberi pembelajaran bagi
karyawan.
c. Kepercayaan dan keterbukaan: adanya sikap saling percaya,
keterbukaan dan kejujuran yang terjalin di antara para anggotanya.
d. Pemberdayaan Karyawan: Organisasi memberi kesempatan pada
karyawan untuk mengambil tindakan dan keputusan yang matang,
serta mempertanggungjawabkan konsekuensi yang ditimbulkannya.
e. Toleransi pada ekspresi diri karyawan: organisasi memberi
kesempatan bagi karyawan untuk menjadi apa adanya dengan
ekspresi perasaan dan suasana hatinya tanpa takut terkena sanksi dan
hukuman.
Spiritualitas Individu
Spiritualitas selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan seorang
individu. Roof (2015) mendefinisikan spiritualitas individu sebagai
pengalaman atau hubungan pribadi dengan yang ilahi dan
menginformasikan keberadaan seseorang yang membentuk makna, tujuan,
dan misi di kehidupan sehari-hari mereka. Istilah spiritualitas individu
disebut pula sebagai personal spirituality (Milliman dan Czaplewski, 2003)
yang menggambarkan sebuah usaha atau praktek seseorang untuk menjadi
makhluk spiritual dalam tataran individu. Spiritualitas ini berkaitan dengan
sisi emosi, perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang dihidupi oleh seseorang.
Berkaitan dengan pekerjaan, spiritualitas mendorong seseorang untuk
mencari pemenuhan makna kerja dan mengintegrasikan spiritualitasnya
dalam bekerja yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dalam
kehidupan kerjanya (Roof, 2015).
Definisi Spiritualitas
Spiritualitas berakar pada kata spirit yang mengandung arti semangat
dan jiwa/roh sedangkan spiritual berarti berhubungan dengan atau bersifat
kejiwaan/batin (KBBI, 2008). Istilah “spiritualitas” sendiri diambil dari kata
latin spiritus yang berarti nafas. Istilah berkaitan dengan kata Yunani
pneuma yang mengacu pada nafas hidup atau jiwa. Merujuk pada arti
harafiahnya, spiritualitas merupakan aspek dan bagian hidup manusia yang
memberikan semangat, jiwa dan nafas bagi kehidupan manusia. Beberapa
literatur menyebutkan adanya keberagaman definisi dari istilah spiritualitas
karena munculnya perkembangan pemahaman dan aplikasi spiritualitas
dalam hidup manusia. Spiritualitas didefinisikan tidak hanya berkaitan
dengan aspek keagamaan, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia seperti kecerdasan spiritual, kepemimpinan spiritual, spiritualitas
kerja, dan lain sebagainya.
Spiritualitas merupakan kecenderungan untuk mencari tujuan utama
dalam hidup dan mengusahakan hidup seperti tujuan tersebut (Mitroff dan
Denton, 1999). Tujuan hidup menjadi hal penting dan selalu diusahakan
oleh manusia. Setiap kali seseorang melakukan kegiatan pasti di dalamnya
terdapat hal-hal atau keinginan yang ingin dicapai olehnya. Hal ini senada
dengan ungkapan dari Pargament dan Mahoney (2004) yang mendefinisikan
spiritualitas sebagai proses hidup seseorang yang berupa makna dan tujuan
yang berdampak pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Selain itu,
spiritualitas sering dicirikan sebagai proses dinamis di mana perasaan
transendental pribadi seseorang terus berinteraksi dengan lingkungan
eksternal untuk memberi energi pada pengetahuan, emosi, dan perilaku
individu (Giacalone dan Jurkiewicz, 2003). Secara garis besar, spiritualitas
dapat diartikan sebagai dorongan batin yang besar untuk bergerak mencapai
tujuan dan mencari makna dalam hidup pribadi seseorang
Penatalaksanaan CKD
Penatalaksanaan medis menurut Mansjoer (2010) yaitu:
a. Tentukan dan tatalaksana
b. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam,
furosemid dosis besar (250-1000 mg /hari ) pengawasan untuk
mencegah kelebihan cairan.
c. Diet tinggi kalori dan rendah protein (20-40 g/dl ) dan tinggi kalori
menghilangkan gejala anoreksia uremia.
d. Kontrol hipertensi karena bila tidak terkontrol dapat terakselerasi
dengan hasil akhir gagal jantung kiri.
e. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan adalah
hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia,
dihindari masukan kalium yang besar, obat-obatan yang berhubungan
dengan ekskresi kalium (misalnya, penghamat ACE dan obat anti
inflamasi non steroid).
f. Deteksi dini dan terapi infeksi. Pasien uremia harus diterapi sebagai
pasien imunosupreif dan diterapi lebih ketat.
g. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal. Banyak obat-obatan yang
harus diturunkan dosisnya karena metaboliknya toksik dan
dikeluarkan oleh ginjal. Misalnya, digoksin, amingikosi,
analgesicopiate, amforesin, Juga obat-obatan yang meningkatkan
katabolisme dan ureum darah, misalnya tetraklin, koortkosteroid, dan
sitostatik.
h. Mencegah dan tatalaksana tulang ginjal. Hiperfosfatemia dikontrol
dengan obat yang mengikat fosfot seperti aluminium hidroksida (300-
180) atau kalsium karbonat (500-3000) pada setiap makan.
i. Deteksi dan terapi komplikasi. Awasi dengan ketat kemungkinan
ensefalopati uremia, perikarditis, neropati perifer, hiperkalemia yang
meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, kegagalan untuk
bertahan, sehingga diperlukan dialysis dan program tranplantasi.
Etiologi CKD
Etiologi CKD sangat bervariasi antara satu negara dengan negara
lain dengan penyebab utama dan insiden CKD di Amerika Serikat.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani HD di Indonesia. Penyebab Utama
CKD di Amerika Serikat (1995-1999) Penyebab Insiden Diabetes mellitus
44% Tipe 1 (7%) Tipe 2 (37%) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah
besar 27% Glomerulonefritis 10% Nefritis interstisialis 4% Kista dan
penyakit bawaan lain 3% Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis)
2% Neoplasma 2% 15 Tidak diketahui 4% Penyakit lain 4%. Penyebab
Gagal Ginjal yang Menjalani HD di Indonesia Th. 2000 Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39% Diabetes Mellitus 18,65% Obstruksi dan infeksi
12,85% Hipertensi 8,46% Sebab lain 13,65% Dikelompokkan pada sebab
lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit
ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
Patofisiologi CKD
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
relatif sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut.Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF- β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas CKD adalah albuminuria hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terjadinya variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium
paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve) pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (RRT) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dinyatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
Pengertian CKD (Coronary Kidney Disease)
CKD (Coronary Kidney Disease) adalah suatu proses
patofisiologis yang disebabkan oleh etiologi yang bermacam-macam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal
merupakan suatu kondisi klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.
Uremia adalah sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada CKD.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup
Menurut Moons dkk (Nofitri, 2010) faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup yaitu:
a. Jenis Kelamin
Pendapat Moons dkk (2014) dibuktikan oleh penelitian yang
dilakukan Bain dkk (2013), mereka menemukan bahwa adanya
perbedaan kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan. Kualitas
hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup
perempuan.
b. Usia
Pendapat Moons dkk dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan
oleh Warner dkk (2014) pada responden berusia tua yang menemukan
adanya kontribusi dari faktor usia terhadap kualitas hidup karena
individu pada masa tua sudah melewati masa untuk melakukan
perubahan hidupnya sehingga mereka cenderung mengevaluasi
hidupnya dengan lebih positif dibandingkan saat masa mudanya.
c. Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahl dkk (2014)
mengungkapkan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan
lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu.
d. Pekerjaan
Moons dkk (2014) mengatakan bahwa terdapat perbedaan
kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar,
penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja, dan penduduk
yang tidak mampu bekerja.
e. Status Pernikahan
Moons dkk (2014) mengatakan bahwa terdapat perbedaan
kualitas hidup antara individu yang menikah, janda, tidak menikah,
bercerai, dan kohabitasi. Berdasarkan hal tersebut Merz dan Gierveld
(2016) menyatakan bahwa ketidak adanya kehadiran pasangan akan
berdampak pada hilangannya jaringan sosial yaitu tidak ada tempat
untuk bertukar ide atau pendapat, kedua ketika membutuhkan bantuan
yang biasanya selalu bergantung pada pasangan kini tidak ada yang
membantu, dan ketiga orang-orang yang hidup tanpa pasangan setelah
kematian sangat mungkin mengalami kesepian yang terlarut hingga
intensitas yang lama. Berbeda halnya dengan status menikah, seperti
hasil dari Penelitian yang dilakukan oleh Wikananda (2015)
menghasilkan dengan status menikah kecenderungan memiliki kualitas
hidup yang lebih baik sehingga tidak merasa kesepian. Pernikahan erat
kaitannya dengan kasih sayang dan rasa berbagi yang dibutuhkan, serta
saling membantu baik dalam hal fisik maupun mental.
Aspek-aspek Kualitas Hidup
Aspek-aspek kualitas hidup yaitu:
a. Kesehatan Fisik
Kesehatan fisik mencakup aktifitas sehari-hari, ketergantungan obat dan
bantuan kesehatan, energi dan lelah, gerakan, sakit, dan kegelisahan,
tidur dan istrahat, dan kapasitas kerja.
b. Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis mencakup pandangan diri tentang tubuh dan
rupa, perasaan negatif, harga diri, spritualitas, agama, kepercayaan diri,
fikiran, belajar, memori, dan konsentrasi.
c. Hubungan Sosial
Hubungan sosial mencakup hubungan personal, dukungan sosial, dan
aktifitas seksual.
d. Kesejahteraan di Lingkungan
Kebahagiaan lingkungan mencakup sumber keuangan, kebebasan,
keamanan fisik, kesehatan dan kepedulian sosial, lingkungan rumah,
kesempatan untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru,
partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi dan memiliki waktu luang,
lingkungan fisik yang meliputi polusi, kebisingan, kemacetan, dan
suasana lingkungan, dan transportasi
Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan konsep luas yang dipengaruhi dalam
cara kompleks yaitu dengan kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis,
tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi dan hubungan
mereka dengan fitur yang menonjol dari lingkungan hidup mereka.
Kualitas hidup merupakan tindakan yang telah banyak digunakan dan
cenderung berkembang menuju hasil yang lebih berpusat pada kesabaran,
tidak hanya berdasarkan pada kelangsungan hidup (Heath J, dkk, 2011).
Kualitas hidup didefinisikan sebagai konstrak multidimensional
termasuk kesehatan fisik, kepercayaan diri, kebahagiaan psikologis, peran
fungsi, dan pengertian subjektif atas hidup termasuk kepuasan, hubungan
sosial, dan hubungan dengan kegiatan sosial. Ikalius dkk (Khotimah, 2013)
mendefinisikan kualitas hidup adalah kemampuan individu untuk
berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat serta
merasa puas dengan peran tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
kualitas hidup adalah pandangan dan persepsi individu atas posisi mereka
dalam kehidupan di dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana
mereka tinggal, dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan
kekhawatiran, dan dalam melihat kemampuan mereka untuk berfungsi
dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat serta merasa
puas dengan peran tersebut
Standar Operasional Prosedur Spiritual Care berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC
) Labels NO NIC Label Perencanaan
NIC Pelaksanaan NIC
a. Fasilitasi pertumbuhan spiritual
1) Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya
2) Mendorong pasien melakukan praktek spiritual
3) Mendukung pasien aktif dalam kegiatan keagamaan
4) Mendorong pasien meningkatkan hubungan
5) Mempromosikan hubungan dengan orang lain untuk kegiatan
keagamaan
6) Menciptakan lingkungan yang nyaman
7) Meminta keluarga, kerabat peduli dengan spiritual pasien
8) Memberikan kartu ucapan pada pasien
9) Menyediakan lingkungan yang nyaman danmerujuk kepemuka
agama
10) Menyediakan tempat berdo’a pasien dengan pemuka agama
b. Dukungan spiritual
1) Mendorong pasien melakukan kegiatan keagamaan jika diinginkan
2) Mendorong pasien menggunakan sumber daya spiritual jika
diinginkan
3) Menyediakan artikel keagamaan
4) Menfasilitasi pasien menggunakan meditasi, do’a, ritual dan tradisi
agama lainnya
5) Mendengarkan dengan aktif
6) Meyakinkan pasien bahwa perawat mendukung pasien
7) Mengingatkan pasien untuk ibadah
8) Mengantar pasien ibadah
9) Menawarkan spiritual care
10) Menanyakan apakah pasien dan keluarga butuh pemuka agama
11) Menyediakan artikel keagamaan
12) Mengijinkan pasien untuk meditasi, berdo’a, dan ritual lainnya
13) Mendengarkan dengan aktif ungkapan pasien tentang perasaannya
14) Menghibur pasien
15) Mendiskusikan tentang penyakit dan kematian
c. Kehadiran
1) Menunjukkan sikap menerima
2) Mengungkapkan, membangun kepercayaan dan mengakui pasien
sebagai individu yang unik
3) Berbicara dengan keluarga pasien
4) Menawarkan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga
5) Penguatan melalui sentuhan
6) Mendengarkan keprihatinan pasien
7) Menyentuh pasien :memeluk,membelai, berpegangan tangan
d. Mendengarkan dengan aktif
1) Menetapkan tujuan untuk berinteraksi
2) Menunjukkan kesadaran dan kepekaan terhadap emosi pasien
3) Mendorong pasien untuk merefleksikan sikap, pengalaman masa
lalu dengan situasi saat ini
4) Membiarkan pasien bercerita tentang pasien sendiri
5) Mendorong pasien untuk selalu semangat
6) Melakukan diskusi tentang hal-hal yang tidak pasti
e. Humor Membuat cerita lucu sehingga pasien gembira serta membuat
humor dengan cerita lucu
Merumuskan Diagnosa Keperawatan
Peran perawat dalam merumuskan diagnosa keperawatan terkait
dengan spiritual pasien mengacu pada distresspiritual yaitu spiritual pain,
pengasingan diri (spiritual alienation), kecemasan (spiritual anxiety), rasa
bersalah (spiritual guilt), marah (spiritualanger), kehilangan (spiritual
loss), putus asa (spiritual despair). Distresspiritual selanjutnya dijabarkan
dengan lebih spesifik sebagai berikut :
a. Spiritual pain
Spiritual pain merupakan ekspresi atau ungkapan dari ketidaknyamanan
pasien akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien dengan penyakit
terminal atau penyakit kronis mengalami gangguan spiritual dengan
mengatakan bahwa pasien merasa hampa karena selama hidupnya tidak
sesuai dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan ini lebih menonjol
ketika pasien menjelang ajal.
b. Pengasingan diri (spiritual alienation)
Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa pasien
merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien dengan
penyakit kronis merasa frustasi sehingga bertanya : dimana Tuhan
ketika saya butuh Dia hadir?
c. Kecemasan (spiritual anxiety)
Dibuktikan dengan ekspresi takut akan siksaan dan hukuman Tuhan,
takut Tuhan tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai tingkahlakunya.
Beberapa budaya meyakini bahwa penyakit merupakan suatu hukuman
dari Tuhan karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan semasa
hidupnya.
d. Rasa bersalah (spiritual guilt)
Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan hal-hal yang
seharusnya dia lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah melakukan
hal-hal yang tidak disukai Tuhan
e. Marah (spiritual anger)
Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam, Tuhan
kejam. Keluarga pasien juga marah dengan mengatakan mengapa
Tuhan mengijinkan orang yang mereka cintai menderita.
f. Kehilangan (spiritual loss)
Pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta dari Tuhan,
takut bahwa hubungannya dengan Tuhan terancam, perasaan yang
kosong. Kehilangan sering diartikan dengan depresi, merasa tidak
berguna dan tidak berdaya.
g. Putus asa (spiritual despair)
Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki suatu
hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara umum
orang-orang yang beriman sangat jarang mengalami keputusasaan.
Peran Perawat Dalam Spiritual Care
Penerapan proses keperawatan dari perspektif kebutuhan spiritual
pasien tidak sederhana. Hal ini sangat jauh dari sekedar mengkaji praktik
dan ritual keagamaan pasien. Perlu memahami spiritualitas pasien dan
kemudian secara tepat mengidentifikasi tingkat dukungan dan sumber
yang diperlukan (nanda, 2015).
Balldacchino (2016) menyimpulkan bahwa perawat berperan
dalam proses keperawatan yaitu melakukan pengkajian, merumuskan
diagnosa keperawatan, menyusun rencana dan implementasi keperawatan
serta melakukan evaluasi kebutuhan spiritual pasien, perawat juga
berperan dalam komunikasi dengan pasien, tim kesehatan lainnya dan
organisasi klinis/pendidikan, serta menjaga masalah etik dalam
keperawatan. Peran perawat dalam proses keperawatan terkait dengan
spiritual care dijelaskan sebagai berikut :
a. Pengkajian kebutuhan spiritual pasien
Pengkajian spiritual menurut (NANDA, 2015) terdiri dari
pengkajian riwayat keperawatan dan pengkajian klinik. Pada pengkajian
riwayat keperawatan semua pasien diberikan satu atau dua pertanyaan
misalnya ‟apakah keyakinan dan praktek spiritual penting sekarang”,
bagaimana perawat dapat memberikan dukungan spiritual”. Pasien yang
memperlihatkan beberapa kebutuhan spiritual yang tidak sehat yang
beresiko mengalami distress spiritual harus dilakukan pengkajian
spiritual lebih lanjut. Kozier menyarankan pengkajian spiritual
sebaiknya dilakukan pada akhir proses pengkajian dengan alasan pada
saat tersebut sudah terbangun hubungan saling percaya antara perawat
dan pasien. Untuk itu diharapkan perawat meningkatkan
sensitivitasnya, dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan
saling percaya, hal ini akan meningkatkan keberhasilan pengkajian
spiritual pasien.
Pertanyaan yang diajukan pada pasien saat wawancara untuk
mengkaji spiritual pasien antara lain : adakah praktik keagamaan yang
penting, bagaimana situasi yang dapat mengganggu praktik keagamaan,
apakah cara-cara itu penting untuk kebaikan pasien, dengan cara
bagaimana perawat dapat memberi dukungan pada spiritual pasien, apa
harapan-harapan pasien dan sumber-sumber kekuatan pasien sekarang,
apa yang membuat pasien merasa nyaman selama masa-masa sulit ini.
Pada pengkajian klinik menurut (NANDA, 2015) meliputi :
b. Lingkungan
Lingkungan yaitu apakah pasien memiliki kitab suci atau
dilingkungannya terdapat kitab suci atau buku do’a lainnya, literaturliteratur keagamaan, penghargaan keagamaan, simbol keagamaan
misalnya tasbih, salib dan sebagainya diruangan, Apakah gereja atau
mesjid mengirimkan bunga atau buletin.
c. Perilaku
yaitu apakah pasien berdoa sebelum makan atau pada waktu
lainnya atau membaca literatur keagamaan, Apakah pasien mengalami
mimpi buruk dan gangguan tidur atau mengekspresikan kemarahan
pada Tuhan.
d. Verbalisasi
yaitu apakah pasien menyebutkan tentang Tuhan atau kekuatan
yang Maha Tinggi, tentang do’a-do’a, keyakinan, mesjid, gereja, kuil,
pemimpin spiritual, atau topik-topik keagamaan, Apakah pasien
menanyakan tentang kunjungan pemuka agama, Apakah pasien
mengekspresikan ketakutannya akan kematian.
e. Afek dan sikap
yaitu apakah pasien menunjukkan tanda-tanda kesepian, depresi,
marah, cemas, apatis atau tampak tekun berdo’a.
f. Hubungan interpersonal
yaitu siapa yang berkunjung, Apakah pasien berespon terhadap
pengunjung, Apakah ada pemuka agama yang datang, Apakah pasien
bersosialisasi dengan pasien lainnya atau staf perawat.
Pedoman pengkajian spiritual menurut Hamid, 2008) mencakup
empat area yaitu konsep tentang Tuhan, sumber harapan dan kekuatan,
praktek agama dan ritual, hubungan antara keyakinan spiritual dan
kondisi kesehatan. Pertanyaan yang dapat diajukan perawat untuk
memperoleh informasi tentang pola fungsi spiritual pasien sebagai data
subjektif antara lain, sebagai berikut : apakah agama atau Tuhan
merupakan hal yang penting dalam kehidupan, Kepada siapa anda
biasanya meminta bantuan, Apakah anda merasa bahwa kepercayaan
(agama) membantu, Jika ya, jelaskan bagaimana dapat membantu,
Apakah sakit atau kejadian penting lainnya yang pernah anda alami
telah mengubah perasaan anda terhadap Tuhan, Mengapa anda di rumah
sakit, Apakah kondisi sakit telah mempengaruhi cara anda memandang
kehidupan, Apakah penyakit anda telah mempengarui hubungan anda
dengan orang yang paling berarti dalam kehidupan anda, Apakah
kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda melihat
diri anda sendiri, Apakah yang paling butuhkan saat ini.
Dalam mengkaji spiritual pada ana (Hamid, 2008) membuat
pertanyaan sebagai berikut : bagaimana perasaanmu ketika dalam
kesulitan, Selain kepada orang tua kepada siapa engkau meminta
perlindungan ketika sedang merasa takut, Apa kegemaran yang
dilakukan ketika sedang merasa gembira atau sedih, Engkau tahu siapa
Tuhan itu, Pengkajian data objektif dilakukan perawat melalui
observasi. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah apakah pasien tampak
kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi, atau apatis, Apakah pasien
tampak berdo’a sebelum makan, membaca kitab suci, atau buku
keagamaan, Apakah pasien sering mengeluh, tidak dapat tidur, mimpi
buruk dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, atau
mengekspresikan kemarahannya terhadap agama, Apakah pasien
menyebut nama Tuhan, do’a, rumah ibadah, atau topik keagamaan
lainnya, Apakah pasien pernah meminta dikunjungi oleh pemuka
agama, Apakah pasien mengekspresikan ketakutannya terhadap
kematian, konflik batin tentang keyakinan agama, kepedulian tentang
hubungan dengan Tuhan, pertanyaan tentang arti keberadaannnya
didunia, arti penderitaan, Siapa pengunjung pasien, Bagaimana pasien
berespon terhadap pengunjung, Apakah pemuka agama datang
menjenguk pasien, Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang
lain dan dengan tenaga keperawatan, Apakah pasien membawa kitab
suci atau perlengkapan sembahyang lainnya, Apakah pasien menerima
kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan.
Menurut Smyt (2011) pengkajian spiritual pasien dimulai dari
pasien atau keluarga pasien dengan cara mendengarkan dan melalui
pengamatan termasuk interaksi pasien dengan perawat, keluarga dan
pengunjung lainnya, pola tidur, gangguan fisik, dan tekanan emosional.
Perawat dapat mengkaji dan memperoleh kebutuhan spiritual pasien
jika komunikasi yang baik sudah terjalin antara perawat dan pasien,
sehingga perawat dapat mendorong pasien untuk mengungkapkan halhal yang terkait kebutuhan spiritual (Sartory, 2010).
Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta
kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai dan
dicintai, menjalani hubungan penuh rasa percaya pada Tuhan (Hamid,
2011). Menurut Hodge et al (2011) menyebutkan bahwa individu
dikuatkan melalui “spirit” yang mengakibatkan peralihan yang penting
selama periode sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hodge et al
(2011) menemukan enam kebutuhan spiritual pasien yaitu :
a. Makna,tujuan, dan harapan hidup
Merupakan kebutuhan untuk memahami peristiwa dalam kehidupan
secara keseluruhan. Pasien membutuhkan penjelasan tentang
penyakitnya, mengapa penyakit ada pada dirinya, dengan adanya
penjelasan diharapkan pasien tidak putus asa, berfikir positif,
mensyukuri berkat Tuhan, fokus pada hal-hal yang baik,membuat
hidup menjadi lebih berarti. Kebutuhan akan makna, tujuan, dan
harapan erat kaitannya dengan kebutuhan akan hubungan dengan
Tuhan.
b. Hubungan dengan Tuhan
Bagi pasien hubungan dengan Tuhan menjadi kebutuhan yang sangat
penting yang dapat membantu mereka menghadapi masa-masa sulit,
memberikan rasa yang utuh tentang makna dan tujuan serta
memberikan harapan untuk masa kini, masa depan, dan masa akhirat.
Perilaku yang ditunjukkan pasien adalah memohon, komunikasi
dengan Tuhan, menerima kehendak Tuhan, menerima rencana Tuhan,
percaya bahwa Tuhan yang menyembuhkan penyakitnya, yakin akan
kehadiran Tuhan pada masa-masa perawatan penyakitnya dan pasien
percaya Tuhan yang memelihara dan mengawasi mereka.
c. Praktek spiritual
Pasien mempunyai keinginan untuk terlibat dalam kegiatan ibadah
secara rutin. Dengan kegiatan ibadah pasien berharap dapat
meningkatkan hubungan dengan Tuhan sehingga dapat mengatasi
segala cobaan yang mereka hadapi. Kegiatan yang dilakukan oleh
pasien adalah berdoa, membaca kitab suci, pelayanan keagamaan,
mendengar musik rohani dan membaca buku yang bertema rohani.
d. Kewajiban agama
Hal ini berhubungan dengan tradisi agama pasien misalnya adanya
makanan yang halal dan tidak halal, kematian dan proses penguburan
yang harus dihormati.
e. Hubungan interpersonal
Selain hubungan dengan Tuhan, pasien juga membutuhkan hubungan
dengan orang lain, termasuk hubungan dengan kaum ulama.
Kebutuhan ini meliputi : mengunjungi anggota keluarga, menerima
do’a orang lain, meminta maaf, menerima dukungan, dihargai dan
dicintai orang lain.
f. Hubungan dengan perawat dan tenaga kesehatan lainnya
Pasien berharap memiliki interaksi dengan perawat dan tenaga
kesehatan lainnya. Pasien membutuhkan para tenaga kesehatan
memiliki ekspresi wajah yang ramah, kata-kata dan bahasa tubuh yang
baik, menghormati, empati, peduli, memberikan informasi tentang
penyakitnya secara lengkap dan akurat, dan mendiskusikan tentang
pilihan pengobatan. Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada
klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual
klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat juga
menghindari untuk memberikan asuhan spiritual. Perawat merasa
bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual klien bukan menjadi tugasnya,
tetapi tanggung jawab pemuka agama (Suratmi, 2011)
Definisi spiritual
Spiritus yang berarti hembusan atau bernafas, kata ini memberikan
makna segala sesuatu yang penting bagi hidup manusia. Seseorang
dikatakan memiliki spirit yang baik jika orang tersebut memiliki harapan
penuh, optimis dan berfikir positif, sebaliknya jika seseorang kehilangan
spiritnya maka orang tersebut akan menunjukkan sikap putus asa, pesimis
dan berfikir negatif (Roper, 2012). Terdapat berbagai defenisi spiritual
menurut sudut pandang masing-masing. Mahmoodishan (2010) dan
Vlasblom (2012) mendefenisikan spiritualitas merupakan konsep yang
luas, sangat subjektif dan individualis, diartikan dengan cara yang berbeda
pada setiap orang. Spiritualitas adalah kepercayaan seseorang akan adanya
Tuhan, dan kepercayaan ini menjadi sumber kekuatan pada saat sakit
sehingga akan mempengaruhi keyakinannya tentang penyebab penyakit,
proses penyembuhan penyakit dan memilih orang yang akan merawatnya
(Hamid, 2008)
Proses Keperawatan Dalam Spiritual Care
Penerapan proses keperawatan dari perspektif kebutuhan spiritual
pasien tidak sederhana. Hal ini sangat jauh dari sekedar mengkaji praktik dan
ritual keagamaan pasien. Perlu memahami spiritualitas pasien dan kemudian
secara tepat mengidentifikasi tingkat dukungan dan sumber yang diperlukan
(Potter & Perry, 2005). Proses keperawatan sebagai suatu metode ilmiah
untuk menyelesaikan masalah keperawatan dalam pemberian asuhan
keperawatan spiritual yaitu:
a. Pengkajian
Pengkajian dapat menunjukan kesempatan yang dimiliki perawat
dalam mendukung atau menguatkan spiritualitas pasien. Pengkajian
tersebut dapat menjadi terapeutik karena pengkajian menunjukan tingkat
perawatan dan dukungan yang diberikan. Perawat yang memahami
pendekatan spiritual akan menjadi yang paling berhasil (Potter & Perry,
2005). Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dan
objektif. Pengkajian data subjektif meliputi konsep tentang Tuhan atau
ketuhanan, sumber harapan dan kekuatan, praktik agama dan ritual,
hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan. Sedangkan
data pengkajian objektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang
meliputi pengkajian afek dan sikap, prilaku, verbalisasi, hubungan
interpersonal dan lingkungan. Pengkajian data objektif terutama
dilakukan melalui observasi (Hamid, 2000).
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan spiritual menurut
North Nursing Diagnosis Association adalah distress spiritual. Definisi
distress spiritual adalah rentan terhadap gangguan kemampuan
merasakan dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui
keterhubungan dalam diri, sastra, alam, dan kekuatan yang lebih besar
dari dirinya sendiri, yang dapat mengganggu kesehatan (NANDA, 2015).
Ketika meninjau pengkajian spiritual dan mengintegrasikan
informasi kedalam diagnosa keperwatan yang sesuai. Perawat harus
mempertimbangkan status kesehatan klien terakhir dari perspektif
holistik, dengan spiritualitas sebagai prinsip kesatuan. Setiap diagnosa
harus mempunyai faktor yang berhubungan dan akurat sehingga
intervensi yang dihasilkan dapat bermakna dan berlangsung (Potter &
Peery 2005).
c. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan dan faktor yang berhubungan
terindentifikasi, selanjutnya perawat dan klien menyusun kriteria hasil
dan rencana intervensi. Tujuan asuhan keperawatan pada klien dengan
distress spiritual difokuskan pada menciptakan lingkungan yang
mendukung praktik keagamaan dan kepercayaan yang biasanya
dilakukan (Nurinto, 2007).
Menetapkan suatu perencanaan perawatan, tujuan diteptapkan
secara individual, dengan mempertimbangkan riwayat pasien, area
beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data objektif yang relevan
(Hamid, 2000). Menurut Potter & Perry (2005) terdapat tiga tujuan untuk
pemberian perawatan spiritual, yaitu:
1) Klien merasakan perasaan percaya pada pemberian keperawatan.
2) Klien mampu terikat dengan anggota sistem pendukung.
3) Pencarian pribadi klien tentang makna hidup menigkat.
d. Implementasi
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi
dengan melakukan prinsip-prinsip kegiatan ashuan keperawatan sebagai
berikut (Hamid, 2000):
a) Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat.
b) Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan
spiritualnya.
c) Jangan berasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual.
d) Mengetahui pesan non-verbal tentang kebutuhan spiritual klien.
e) Berespon secara singkat, spesifik, dan faktual.
f) Mendengarkan secara aktif dan menunjukan empati yang berarti
menghayati masalah klien.
g) Menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik mendukung
menerima, bertanya, memberi infromasi, refleksi, menggali perasaan
dak kekuatan yang dimiliki klien.
h) Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan
verbal klien.
i) Bersifat empati yang berarti memahami perasaan klien.
j) Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak berarti
menyetujui klien.
k) Menentukan arti dan situasi klien, bagaimana klien berespon terhadap
penyakit.
l) Apabila klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan
hukuman, cobaan, atau anugrah dari Tuhan.
m) Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban
agama.
n) Memberi tahu pelayanan spiritual yang tersedia dirumah sakit.
e. Evaluasi
Untuk mengetahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil
yang ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan
data terkait dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan. Tujuan
keperawatan tercapai apabila secara umum klien: 1) mampu beristirahat
dengan tenang, 2) mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan
Tuhan, 3) menunjukan hubungan yang hangat dan terbuka dengan
pemuka agama, 4) mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan
keberadaannya, 5) menunjukan afek positif tanpa rasa bersalah dan
kecemasan.
Perawat mengintervensi keperawatan membantu menguatkan
spiritualitas klien. Perawat membandingkan tingkat spiritual klien dengan
prilaku dan kebutuhan yang tercatat dalam pengkajian keperawatan. Klien
harus mengalami emosi sesuai dengan situasi, mengembangkan citra diri
yang kuat dan realistis (Hamid, 2000)
Faktor Yang Mempengaruhi Pemenuhan Spiritual Care
Bastable (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi motivasi seseorang dalam pemberian asuhan keperawatan
yaitu:
a. Aribut pribadi
Atribut seseorang seperti tahap perkembangan, usia, gender,
kesiapan, emosi, nilai dan keyakinan, fungsi pengindraan, kemampuan
kognitif, tingkat pendidikan, status kesehatan dan tingkat keparahan
penyakit dapat membentuk motivasi individu. Jenis kelamin merupakan
atribut pribadi yang dapat mempengaruhi motivasi. Hal ini kemungkinan
disadari adanya persepsi bahwa perawat adalah pekerjaan seorang
perempuan dan sesuai dengan sejarah awal profesi keperawatan yang
dimulai dari Florence Nightingale yang mulanya sebagai pekerjaan yang
didasari kasih sayang seorang ibu atau perempuan (Nasution, 2009).
Penelitian lain oleh Nugroho (2004) juga menyebutkan bahwa dengan
tingkat pendidikan yang tinggi seseorang dapat lebih menguasai
pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Pendidikan begitu penting bagi
kebutuhan karyawan seiring dengan berkembangnya dunia bisnis maka
karyawan dituntut memiliki pendidikan yang tinggi. Semakin tinggi
tingkat pendidikan karyawan maka dapat diasumsikan lebih memiliki
pengetahun, kemampuan, serta keterampilan tinggi. Faizin dan Winarsih
(2008) juga menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan tingkat
pendidikan perawat dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Umum
Pandan Arang Boyolali.
b. Lingkungan
Karakteristik fisik lingkungan, jangkauan dan ketersediaan
sumber daya, dan berbagai jenis reward perilaku dapat mempengaruhi
tingkat motivasi seseorang. Penelitian yang dilakukan Ningsih, Priyo, dan
Suratmi (2011) menyebutkan bahwa perawat pelaksana akan memiliki
kinerja baik apabila ada reward dari rumah sakit dalam pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab keprofesiannya.
c. Sistem hubungan
Sistem pendukung individu seperti keluarga dan pihak yang
berkepentingan lain, identitas kultural, peran dalam komunitas, dan
interaksi individu dengan orang sekitarnya akan berdampak pada
motivasi yang dirasakan. Zaenah (2014) mengatakan bahwa perawat akan
termotivasi dalam bekerja apabila sistem pendukung atau tempat bekerja
juga mendukung pemuasan motivasi perawat seperti kesempatan promosi
jabatan dan pekerjaan yang lebih baik. Menurut Noor (2013), Herzberg
mengembangkan teori dua faktor tentang motivasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi dikenal dengan istilah faktor pemuas
(motivation/intrinsic factor) dan faktor kesehatan (hiegine/extrinsic
factor).
Peran Perawat Terkait Dengan Spiritual
Peran perawat menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan (1989) dalam
Mubarak (2009), terdiri atas:
a. Pemberian asuhan keperawatan (Care Provider)
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan
perawat dengan mempertahankan kebutuhan dasar manusia, meliputi
kebutuhan dasar terkait spiritual melalui pemberian pelayanan
keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. Masalah yang
muncul dapat ditentukan diagnosis keperawatan, perencanaan, tindakan
yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan yang dialaminya, dan dapat
dievaluasi tingkat perekmbangannya. Asuhan keperwatan yang diberikan
mulai dari hal sederhana sampai dengan masalah yang kompleks dan
harus secara komperhensif yaitu meliputi bio-psiko-sosio- dan spiritual.
b. Pembelaan Pasien (Clien Advocate)
1. Bertanggung jawab untuk membantu pasien dan keluarga dalam
menginterprestasikan informasi dari berbagai pemberian pelayanan
dan memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil
persetujuan (inform concent).
2. Perawat juga berperan untuk mempertahankan dan melindungi hakhak pasien yang meliputi: hak atas pelayanan yang komperhensif
seperti pemenuhan kebutuhan spiritual, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi dan hak menerima ganti rugi akibat
kelalaian tindakan.
c. Konseling (Conselor)
Konseling adalah proses membantu pasien untuk menyadari dan
mengatasi tekanan psikologis, spiritual, dan masalah sosial untuk
membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan
perkembangan seseorang, di dalam konseling, perawat memberikan
dukungan emosional, spiritual dan intelektual.
d. Pendidik (Educator)
Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam
meningkatkan pengetahuan kesehatannya serta dalam hal ini perawat
dapat memberikan pendidikan spiritual terkait sehat dan sakit, sehingga
terjadi perubahan pada pasien baik secara fisik maupun psikologisnya.
e. Koordinator (Coordinator)
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan, serta
mengorganisasikan pelayanan kesehatan dari tim kesehatan maupun tugas
kerohaniawan, sehingga pemberi pelayanan dapat terarah serta sesuai
dengan kebutuhan pasien.
f. Kolaborasi (Collabolator)
Peran ini dulakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan
yang terdiri atas dokter, fisioterapis, ahli gizi, radiologi, laboratorium, dan
petugas rohaniawan. Perawat dapat berupaya mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan, termasuk diskusi atau tukar pendapat
dalam menentukan bentuk pelayanan yang komprehensif.
g. Konsultan (Consultant)
Peran ini berfungsi, perawat sebagai tempat konsultasi terhadap
masalah-masalah kesehatan maupun spiritual. Perawat dapat meberikan
solusi yang terbaik bagi pasien melalui hal ini.
h. Pembaharuan (Agent of Change)
Peran sebagai pembaharuan dapat dilakukan dengan cara
melakukan perubahan. Peningkatan dan perubahan adalah kompenen
esensial dari perawat, dengan menggunakan proses keperawatan, perawat
dapat membantu pasien untuk merencanakan, melaksanakan dan menjaga
perubahan seperti pengetahuan tentang spitual, perasaan dan perilaku
Pengertian Perawat
Perawat adalah seseorang yang telah menempuh serta lulus
pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya
telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga PPNI/INNA hasil munas VII Manado).
Perawat adalah tenaga profesional dibidang perawatan kesehatan yang terlibat
dalam kegiatan perawatan. Perawat bertanggung jawab untuk perawatan,
perlindungan, dan pemulihan orang luka atau pasien penderita penyakit akut
atau kronis, pemeliharaan kesehatan orang sehat, dan penanganan keadaan
darurat yang mengancam nyawa dalam berbagai jenis perawatan kesehatan.
Perawat juga dapat terlibat dalam riset medis dan perawatan serta
menjalankan beragam fungsi non-klinis yang diperlukan untuk melaksanakan
fungsi perawatan kesehatan.
Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 bahwa
perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan
melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang
diperoleh malalui pendidikan keperawatan. Aktifitas keperawatan meliputi
peran dan fungsi pemberian ashuan keperawatan atau pelayanan
keperawatan, praktik keperawatan, pengelolaan institusi keperawatam,
pendidikan klien (individu, keluaraga, dan masyarakat) serta kegiatan
penelitian dibidang keperawatan.
Perawat merupakan salah satu profesi kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara professional dan komperhensif menyangkut
aspek bio, psiko, sosial, dan spiritual berupa pelayanan; ausahan keperawatan,
advokat klien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, dan peneliti
yang merupakan bagian integral dari pemberi pelayanan kesehatan yang
berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan serta ditujukan klien sebagai
individu, keluarga, dan masyarakat (Aziz, 2004)
Faktor Yang Mempengaruhi Spiritualitas Pasein
Manurut Dwidianti, (2008) ada beberapa faktor penting yang dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang, faktor tersebut adalah:
a. Pertimbangan tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan agama
yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi yang
berbeda tentang Tuhan dan cara sembahyang yang berbeda pula menurut
usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian anak.
b. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan
spiritual anak. Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat
dan menjadi tempat pengalaman pertama anak dalam mempersiapkan
kehidupan di dunia, pandangan anak diwarnai oleh pengalaman mereka
dalam berhubungan dengan keluarga.
c. Latar belakang, etnik dan budaya
Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik
dan social budaya. Umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama
dan spiritual keluarganya.
d. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun yang negatif dapat
mempengaruhi tingkat spiritual seseorang. Peristiwa dalam kehidupan
sering dianggap sebagai ujian kekuatan iman bagi manuisa sehingga
kebutuhan spiritual akan meningkat dan memerlukan kedalaman tingkat
spiritual sebagai mekanisme koping untuk memenuhinya.
e. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual
seseorang. Krisi sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit,
penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian. Bila klien
dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan
untuk sembahyang atau berdoa lebih meningkat dibandingkan dengan
pasien yang penyakit tidak terminal.
f. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali individu
terpisah atau kehilngan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial.
Kebiasaan hidup sehari-harinya termasuk kegiatan spiritual dapat
mengalami perubahan. Terpisahnya individu dari ikatan spitual beresiko
terjadinya perubahan fungsi sosial.
g. Isu moral terkai dengan terapi
Kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara
Tuhan untuk menunjukan kebesaran-Nya.
h. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika memberikan ashuan keperawatan kepada klien, perawat
diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan
berbagai alasan ada kemungkinan perawat juga menghindari untuk
memberikan asuhan spiritual. Perawat merasa bahwa pemenuhan
kebutuhan spiritual klien bukan menjadi tugasnya, tetapi tanggung jawab
pemuka agama.
Macam-Macam Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan
untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai dan dicintai,
menjalani hubungan penuh rasa percaya pada Tuhan (Carson, 1989 dalam
Hamid, 2008). Menurut Potter (2005) menyebutkan bahwa individu
dikuatkan melalui “spirit” yang mengakibatkan peralihan yang penting
selama periode sakit.
13
Galek et al (2005) menyatakan, dari sekian banyak penelitian yang
dilakukan ada 7 konsep kebutuhan spiritual yang paling mewakili kebutuhan
spiritual manusia, meliputi:
a) Cinta/ kebersamaan/ rasa hormat
Hubungan antar manusia membentuk suatu keselarasan yang
dapat menyembuhkan, meliputi; dapat diterima sebagai manusia dalam
kondisi apapun, memberi dan menerima cinta, mempunyai hubungan
dengan dunia, perkawanan, mudah terharu dan mudah melakukan
kebaikan, membina hubungan yang baik dengan sesama manusia, alam
dan sekitar dan dengan Tuhan zat tertinggi.
Cinta merupakan dasar dari spiritualitas yang mendorong manusia
untuk hidup dengan hatinya, cinta meliputi dimensi cinta pada diri
sendiri, cinta pada Tuhan, cinta pada orang lain, dan cinta pada seluruh
kehidupan. Cinta juga meliputi tentang kebaikan yang berkualitas,
kehangatan, saling memahami, kedermawanan dan kelembutan hati.
Memelihara kasih sayang merupakan komponen yang penting dalam
perawatan spiritual.
b) Keimanan/ keyakinan
Berpartisipasi dalam pelayanan spiritual dan religius, mendapat
teman untuk berdoa, melakukan ritual keagamaan, membaca kitab suci,
mendekatkan diri pada zat yang maha tinggi (Tuhan). Agama dapat
dijadikan sarana untuk mengekspresikan spiritualitas melalui nilai-nilai
yang dianut, diyakini dan dilakukan dengan praktik-praktik ritual,
14
didalamnya dapat menjawab pertanyaan mendasar tentang hidup dan
kematian. Apa yang harus dikenali adalah bahwa ada sebagian orang
yang mempunyai bentuk agama yang tidak selalu masuk kedalam
institusional (Contoh: Kristen, Islam, Budha), namun demikian perawat
harus tetap memperhatikan dan mendengarkan serta menghormati apa
yang diyakini klien dan dengan cara yang arif.
c) Hal positif/ bersyukur/ berharap/ kedamaian
Banyak berharap, merasakan kedamaian, dan kesenangan, berfikir
positif, membutuhkan ruang yang sepi untuk meditasi atau refleksi diri,
bersyukur dan berterima kasih, mempunyai rasa humor. Harapan adalah
orientasi di masa depan, mepercayai makna, meyakini dan
mengharapkan. Ada dua tingkatan tentang harapan: harapan yang sifatnya
spesifik dan harapan yang sifatnya umum. Harapan yang sifatnya spesifik
mencakup tujuan yang dikehendaki pada beberapa keinginan diri.
Harapan yang sifatnya umum bagaimana menghadapi masa depan
dengan selamat. Faktor-faktor yang signifikan, seperti datangnya penyakit
dapat menyebabkan hidup seseorang dalam situasi yang sulit, harapan
membantu manusia berinteraksi dengan ketakutan dan ketidaktentuan,
serta membantu mereka untuk menghasilkan yang positif.
d) Makna dan tujuan hidup
Memaknai bahwa penyakit merupakan sumber kekuatan,
memahami mengapa penyakit, dapat terjadi pada dirinya, makna dalam
penderitaan, memahami tujuan hidup, memahami saat krisis (Masalah
15
kesehatan). Sebagai seseorang yang berpengetahuan dan memahami
tujuan hidup, ini merupakan penemuan prosedur yang signifikan serta
mempunyai daya dorong pada saat menjalani penderitaan yang besar.
Tidak hanya mengartikan ini sebagai daya dorong, tetapi ini juga
membawa pada pencerahan (McEwen, 2005). Seseorang akan memahami
hal apa yang pantas untuk di prioritaskan dalam hidupnya, dan hal apa
yang tidak relevan untuk diprioritaskan.
Sebagai contoh, pada penelitian yang dilakukan oleh Bukhardt
(1994), ditemukan pada analisis statistik bahwa ada hubungan yang
positif dan terus bertahan, antara memliki spiritual yang tinggi, dengan
seseorang yang mencari tujuan hidup (Miner-williams, 2006).
Spiritualitas memberi penerangan pada seseorang yang mempunyai satu
tujuan, dan mengapa mereka menghendaki untuk hidup dihari yang lain.
e) Moral dan etika
Untuk hidup bermoral dan beretika, hidup dalam masyarakat dan
menjunjung tinggi moral dan etika yang ada di dalam masyarakat
tersebut.
f) Penghargaan pada keindahan
Menghargai keindahan alam dan seni, gambaran hubungan
dengan alam meliputi: ikut memelihara lingkungan sekitar dengan cara
menanam tumbuhan, pohon serta melindungi dari kerusakan, mengagumi
alam sebagai ciptaan, menghargai seni dengan menghargai musik.
g) Pemecahan masalah/ kematian
Pesan atau nasihat sebelum menghadapi kematian, mengakui
adanya kehidupan setelah kematian, mempunyai pemahaman yang dalam
akan kematian, dan memaafkan diri dengan orang lain
Komponen-Komponen Spiritual Care
Menurut Iranmensh et al (2011) kompenen spiritual adalah sebagai
berikut:
a. Menemui pasien sebagai seseorang manusia yang memilik arti dan
harapan
Perawatan spiritual adalah memungkinkan untuk menemukan
makna dalam perisitiwa baik dan buruk kehidupan. Perawatan spiritual
juga sebagai sumber pasien untuk menyadari makna dan harapan serta
mengetahui apa yang benar-benar penting untuk pasien. Memberikan
harapan kepada pasien adalah salah satu bagian yang paling penting
dari perawatan, terutama ketika mereka menghadapi pasien yang
sedang sakit parah Iranmanesh et al (2009).
b. Menemui pasien sebagai seseorang manusia dalam hal hubungan
Murata (2003) menegaskan bahwa untuk mengurangi rasa sakit
spiritual seseorang, sebagai dalam sebuah hubungan, kita harus
memperhatikan orang-orang yang menghubungkan pasien kepada
orang lain setelah kematian diantara berbagai orang dan persitiwa yang
disebutkan. Perawatan spiritual adalah tentang melakukan, bukan
menjadi, dan menyatakan bahwa perawat lebih unggul dari klien, ini
melibatkan cara menjadi (daripada melakukan) yang memerlukan
hubungan perawat-klien simetris (Taylor dan Mamier, 2005).
c. Menemui pasien sebagai seorang yang beragama
Keagamaan ini dicirikan sebagai formal, terorganisir, dan
terkait dengan ritual dan keyakinan. Meskipun banyak orang
memilih untuk mengekspresikan spiritualitas mereka melalui praktik
keagamaan, beberapa dari mereka menemukan spiritualitas yang
harus diwujudkan sebagai harmoni, sukacita, damai sejahtera,
kesadaran, cinta, makna, dan menjadi (Chung et al, 2006).
d. Menemui pasien sebagai manusia dengan otonomi
Murata (2003) menjelaskan bahwa jika pasien menyadari
adanya bahwa mereka masih memiliki kebebasan untuk menentukan
nasib sendiri disetiap dimensi mengamati, berfikir, berbicara, dan
melakukan, yaitu persepsi, pikiran, ekspersi dan kegiatan melalui
pembicaraan dengan perawat untuk memulihkan rasa nilai sebagai
sebagai seseorang dengan otonomi.
Metode Promosi Kesehatan (skripsi tesis dan disertasi)
Secara garis besar, metode promosi kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut (Setyabudi dan Dewi, 2017):
- Metode Didaktik
Metode didaktik pada dasarnya bisa dilaksanakan dengan cara satu arah. Namun untuk hasil evaluasi dengan menggunakan metode didaktif Tingkat keberhasilannya masih rendah dikarenakan hanya pendidik yang aktif sementara peserta hanya bersifat pasif, misalnya : booklet, poster, ceramah, leaflet, film dan siaran radio.
- Metode Sokratif
Metode sokratif dilakukan dengan menggunakan pendekatan dua arah, pada metode ini pendidik dan peserta sama-sama bersikap aktif dan kreatif, misalnya : curah pendapat, debat, bermain peran, panel, forum, seminar, studi kasus, diskusi kelompok.
Selain itu, metode promosi kesehatan berdasarkan teknik komunikasi yang digunakan dibagi menjadi dua yaitu (Wardani, Muyassaroh dan Ani, 2016: 9-10):
- Metode Penyuluhan Langsung
Dalam metode penyuluhan langsung para penyuluh langsung berhadapan atau bertatap muka dengan sasaran. Termasuk disini antara lain adalah kunjungan rumah.
- Metode Penyuluhan Tidak Langsung
Dalam metode penyuluhan tidak langsung, para penyuluh atau komunikator kesehatan tidak berhadapan atau bertatap muka secara langsung dengan komunikan. Tetapi komunikator menggunakan media sebagai perantara dalam penyampaian pesan. Misalnya: publikasi dalam bentuk media cetak
Promosi Kesehatan (skripsi tesis dan disertasi)
- Definisi
Menurut Povlsen dan Borup (2015) promosi kesehatan digunakan sebagai pendekatan salutogenic karena fokusnya pada penguatan kesehatan masyarakat dan fokus pada sumber daya positif untuk kesehatan. Konsep seperti kepercayaan, jaringan sosial, kontrol dan penguasaan yang dirasakan juga ditekankan, menunjukkan bahwa promosi kesehatan harus bertujuan untuk mendorong dan memperkuat persepsi individu tentang koherensi. Dengan menggunakan kebermaknaan sebagai faktor motivasi, pendidikan kesehatan mungkin memiliki dasar baru dan lebih positif untuk berkomunikasi tentang pencegahan penyakit gaya hidup.
Promosi kesehatan memiliki pendekatan holistik untuk mempromosikan intervensi kesehatan dalam merangsang kesehatan dan kesejahteraan yaitu melalui pemberian nutrisi yang tepat, aktivitas fisik, mencegah penyakit, mengidentifikasi dan memelihara kesehatan orang yang menderita penyakit kronis (Pati et al, 2017). Promosi kesehatan dideskripsikan sebagai setiap tindakan terencana bagi yang mempromosikan kesehatan, pandangan etis dan moral dari promosi kesehatan (Povlsen dan Borup, 2015). Povlsen dan Borup, (2015) mengidentifikasi enam prinsip utama dalam kegiatan promosi kesehatan, yaitu: pemberdayaan memungkinkan individu dan masyarakat untuk mengambil alih kekuasaan lebih besar atas faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mereka, partisipatif melibatkan semua pihak yang berkepentingan di semua tahap proses, holistik membina kesehatan fisik, mental, sosial dan spiritual lintas sektoral melibatkan kolaborasi lembaga-lembaga dari sektor-sektor terkait, adil dipandu oleh kepedulian terhadap kesetaraan dan keadilan sosial, berkelanjutan menghasilkan perubahan yang dapat dipertahankan setelah pendanaan awal berakhir, multi-strategi menggunakan berbagai pendekatan dalam kombinasi
Promosi kesehatan adalah gabungan dari berbagai macam upaya di bidang pendidikan, kebijakan politik, peraturan dan segala bentuk organisasi yang mendukung kegiatan dalam kondisi kehidupan sehari-hari yang dapat menguntungkan kesehatan individu, kelompok, atau komunitas. Dalam upaya untuk mewujudkan tercapainya visi dan misi promosi kesehatan secara efektif dan efisien, tentu diperlukan bentuk suatu cara dan pendekatan yang strategis. Cara ini sering disebut dengan “strategi”, yaitu suatu teknik yang digunakan untuk mencapai atau mewujudkan terciptanya visi dan misi promosi kesehatan tersebut secara berhasil guna dan berdaya guna (Setyabudi dan Dewi, 2017).
Istilah Promosi Kesehatan (Health Promotion) pertama kali dicetuskan pada tahun 1986 saat diselenggarakannya Konferensi Internasional tentang Health Promotion di daerah Ottawa, Canada. Pada konferensi tersebut, dicanangkannya “the Ottawa Charter” yang didalamnya memuat tentang definisi serta beberapa prinsip dasar Promosi Kesehatan. Namun pada saat itu, istilah “Promosi Kesehatan” belum terlalu popular dan dikenal oleh masyarakat seperti sekarang. Di masa itu istilah yang dikenal adalah Penyuluhan Kesehatan, selain itu ada pula istilah-istilah lain seperti KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi), Social Marketing (Pemasaran Sosial) dan Mobilisasi Sosial (Kemenkes, 2016)
Advokasi Kesehatan (skripsi tesis dan disertasi)
Advokasi adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi, membentuk dan mempertanggungjawabkan kebijakan, tindakan atau keputusan elit institusi, baik pemerintah maupun korporasi, untuk melindungi kesehatan masyarakat (Brinsden & Lang, 2015). Advokasi adalah sarana untuk mempromosikan kebijakan yang meningkatkan pemerataan kesehatan, tetapi literatur tentang bagaimana melakukannya secara efektif masih tersebar. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mensintesis bukti dalam literatur akademis dan abu-abu dan untuk memberikan pengetahuan bagi para advokat untuk digunakan untuk menginformasikan upaya mereka (Farrer, et al. 2015).
Beberapa kata kunci dalam advokasi menurut Hubinettea et al. (2016) adlaah, pertama to change, artinya hasil akhir dari advokasi adalah perubahan kebijakan atau praktek terhadap seuatu masalah yang menjadi sasaran. Kedua purposive, mengandung pengertian bahwa advokasi sebagai perencanaan dan perubahan hasil yang diusahakan terdiri dari studi, perencanaan, aksi dan evaluasi. Ketiga adalah targets of change, yaitu mengidentifikasi dua target perubahan yakni kebijakan dan praktik (policies and practices). Keempat adalah with and on behalf of, ungkapan ini mengandung arti bahwa definisi advokasi tidak menunjukkan indikasi tertentu, tidak mempunyai batas waktu, tetapi pada hasil perubahan yang dilahirkan atas nama klien.
Menurut David et al. (2020), praktisi kesehatan masyarakat telah menyoroti peran penting advokasi dalam menanggapi masalah kesehatan masyarakat yang kompleks. Advokasi kesehatan masyarakat mungkin memerlukan pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat untuk meningkatkan hasil kesehatan. Para peneliti telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap masyarakat yang efektif advokasi kesehatan, termasuk: menggunakan bukti untuk mendukung rekomendasi kebijakan; terlibat dengan komunitas dan media; dan membangun koalisi dan aliansi. Banyak kelompok dan kegiatan advokasi bersifat ad hoc dan beberapa telah berkembang dari gerakan ‘akar rumput’, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dibentuk.(Smith & Stewart, 2017)
Menurut Arensman et al. (2018), advokasi merupakan strategi yang semakin penting untuk efektivitas pembangunan berkelanjutan. Kami mendefinisikan advokasi untuk intervensi pembangunan internasional sebagai “berbagai kegiatan yang dilakukan untuk mempengaruhi pengambil keputusan di berbagai tingkat menuju tujuan keseluruhan intervensi pembangunan untuk memerangi penyebab struktural kemiskinan dan ketidakadilan”. Advokasi terdiri dari berbagai substrat dan kegiatan, termasuk kampanye, peningkatan kesadaran, menciptakan massa kritis, melobi, dan bekerja sama dengan target yang ingin dipengaruhi (Arensman et al., 2015).
Oleh karena itu, advokasi seringkali bersifat multilevel, dengan keterkaitan yang berbeda antar level; multisite, dengan keterkaitan yang berbeda antar situs; dan multiaktor, dengan keterlibatan, pemahaman, dan peran yang berbeda dalam program dan melibatkan berbagai struktur organisasi, kapasitas, dan hubungan akuntabilitas (Jabeen, 2016)
Waktu Yang Dianjurkan Untuk Cuci Tangan (skripsi tesis dan disertasi)
Kedua tangan kita selalu terlibat dalam setiap aktifitas kita. Tangan yang kotor akan memudahkan mikroorganisme pathogen masuk ke tubuh kita. Ada beberapa aktifitas kita yang mengharuskan kita untuk melakukan cuci tangan setelah maupun sebelum kita melakukan aktifitas tersebut. Waktu yang tepat untuk mencuci tangan adalah (Kemenkes RI, 2011) :
- Sebelum dan sesudah makan
- Sebelum memegang makanan
- Setelah buang air besar dan juga air kecil
- Setelah menyentuh unggas/hewan, termasuk unggas/hewan piaraan
- Setelah bermain/berolahraga
- Sebelum mengobati luka
- Sebelum melakukan kegiatan apapun yang memasukkan jari – jari ke
dalam mulut atau mata
- Setelah membuang ingus dan membuang sampah
- Setelah memegang uang
- Setelah memegang sarana umum
- Sebelum masuk kelas
- Sebelum masuk kantin
Beberapa waktu tersebut perlu kita biasakan kepada anak sekolah agar menjadi kebiasaan yang baik setelah mereka dewasa nanti.
Sedangkan cuci tangan bagi kalangan pekerja di rumah sakit (dokter, perawat, analis, apoteker, rekam medis dan semua komponen yang ada kaitannya dengan rumah sakit), menurut WHO (2009) waktu yang diharuskan bagi mereka untuk melakukan cuci tangan adalah :
- Sebelum kontak dengan pasien
- Sebelum melakukan tindakan aseptik kapada pasien
- Setelah kontak dengan pasien
- Setelah selesai melakukan tindakan terhadap pasien
- Setelah kontak dengan lingkungan pasien
Hal tersebut perlu dilakukan oleh para petugas kesehatan untuk mencegah penularan penyakit baik kepada petugas rumah sakit maupun kepada pasien yang lain. Sehingga di rumah sakit perlu digalakkan program mencuci tangan sebelum ataupun sesudah kontak dengan pasien.
Dalam penelitian ini akan mendsarkan pada pengukuran cuci tangan berdasarkan teori Notoatmodjo yang selanjutnya dikembangkan dalam penelitian Nurul (2014) dimana kebiasaan cuci tangan pakai sabun diukur berdasarkan dimensi dalam sikap yaitu a). Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. b). Merespon (responding). Memberikan jawaban Memberikan jawaban bila di tanya, mengerjakan atau menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap merespon c) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi tingkat tiga. d) Bertanggung jawab (responsibility) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko adalah sikap yang paling tinggi.
Langkah-Langkah Cuci Tangan Pakai Sabun (skripsi tesis dan disertasi)
Mencuci tangan dengan sabun dan air dilakukan selama 40-60 detik (Kementrian kesehatan RI, 2011). Langkah-langkah mencuci tangan dengan benar menggunakan sabun (WHO, 2009):
- Basahi tangan dengan air
- Tuangkan sabun 3-5 cc
- Gosok kedua telapak tangan hingga merata
- Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya
- Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari
- Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci
- Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan danlakukan sebaliknya
- Gosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan ditelapak kiri dan sebaliknya
- Bilas kedua tangan dengan air
- Keringkan dengan handuk atau tisu sekali pakai sampai benar-benar kering
- Gunakan handuk atau tisu untuk menutup keran
- Tangan sudah bersih
Pengertian Cuci Tangan Pakai Sabun (skripsi tesis dan disertasi)
Mencuci tangan dengan sabun adalah proses yang mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan menggunakan sabun dan air (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Sedangkan menurut WHO (2009), mencuci tangan adalah istilah umum yang mengacu untuk setiap tindakan membersihkan tangan. Dalam pengertian lain menyebutkan bahwa Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari-jemari menggunakan air dan sabun untuk menjadi bersih (Sitorus, 2010).
Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan tindakan kesehatan paling murah dan efektif yang dapat diprogramkan untuk mengurangi risiko penularan berbagai penyakit yang ditularkan melalui air, makanan, dan kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat, salah satu contohnya diare. Kuman penyebab diare bisa mengkontaminasi makanan dan minuman melalui tangan yang tidak terbiasa untuk mencuci tangan menggunakan sabun. Karena mencuci tangan dengan air saja tidak cukup melindungi seseorang dari kuman penyakit yang menempel di tangan. Zat-zat yang ada dalam sabun seperti triclosan lebih efektif dalam membunuh kuman dibandingkan hanya mengandalkan aliran air saja dan 24 gesekan saat mencuci tangan dalam membasmi kuman (Djarkoni dkk, 2014).
Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dikarenakan tangan merupakan pembawa kuman penyebab penyakit. Risiko penularan penyakit dapat berkurang dengan adanya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, perilaku hygiene, seperti cuci tangan pakai sabun pada waktu penting (Rosidi dan Handansari, 2010)
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian cuci tangan pakai sabun adalah tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari-jemari menggunakan air dan sabun untuk menjadi bersih.
Penyebab Diare (skripsi tesis dan disertasi)
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau infestasi parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di lapangan ataupun secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan (Depkes RI, 2011).
Menurut Suharyono (2008), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare dapat di golongkan menjadi dua golongan yaitu :
- Diare sekresi (secretory diarrhea) disebabkan oleh:
1) Infeksi virus, kuman-kuman pathogen dan apatogen seperti
- a) Escherichia coli
Produksi enterotoksin oleh E.coli ditemukan sekitar tahun 1970 dari strain yang ada hubunganya dengan penyakit diare. Penelitian selanjutnya menerangkan strain-strain enterotoksigenik dari E.coli sebagai satu hal yang bersifat patogen pada penyakit diare manusia.
- b) Salmonella
Beberapa sepesies adalah ganas terhadap manusia, diantaranya S.typhi, S.paratyphi, S.hirshfeldi, S.oranienburg, S.weltevreden, S.havana, S.javiana. bakteri masuk tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar tangan, tinja penderita atau pembawa kuman. Untuk menyebabkan diare pada orang sehat diperlukan inokulum yang besar.
- c) Shigella
Terdapat empat kelompok spesies yang terdiri dari S.dysenteriae, S.flexneri, S.boydii dan S.sonnei; yang sering dijumpai di daerah tropis. Shigella adalah sangat ganas bagi manusia dan terkenal dapat menyebabkan desentri basil yang sifatnya sangat akut. Sepuluh sampai dua ratus shigella yang virulen cukup dapat mengakibatkan diare.
- d) Vibrio cholera
Pada waktu wabah, terutama anak yang sudah besar dan orang dewasa diserang karena mobilitasnya yang lebih besar. Jarang menyerang anak dibawah 2 tahun.
- e) Vibrio campylobacter
Kuman di temukan dalam tinja selama penyakit berlangsung dan menghilang pada saat penyembuhan (Suharyono, 2008).
2) Difensiensi imunologi
Dinding usus mempunyai mekanisme pertahanan yang baik. Bila terjadi defisiensi ‘S.IgA’ dapat terjadi bakteri tumbuh lama. Demikian pula defisiensi CMI ‘cell mediated immunity’ dapat menyebabkan tubuh tidak mampu infeksi dan infestasi parasit dalam usus. Hal ini mengakibatkan bakteri, virus, parasit, dan jamur yang masuk dalam usus akan berkembang dengan baik sehingga bakteri tumbuh dan akibat lebih lanjut diare kronik dan malabsorsi makanan.
- Diare osmotik (Osmotic diarrhea) disebabkan oleh:
1) Malabsorsi makanan : Malabsorsi karbohidrat, lemak dan protein.
2) Kurang kalori protein.
3) Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.
Sedangkan menurut Inayah (2006), penyebab diare dapat dibagi beberapa faktor yaitu:
- Factor infeksi
1) Infeksi enteral
Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi bakteri, infeksi firus (Enteovirus, Poliomyelitis, Virua Echo Coxsackie, Adeno Virus, Rota Virus, Astrovirus). Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Tricuris, Oxyuris, Strongxloides), protozoa (Etamoeba histolitica, Giardia lamblia, Trichomonas homunis), jamur (Canida albicous).
2) Infeksi parenteral
Adalah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringits, bronkopenemonia, ensefalitis. Keadaan ini terutama terjadi pada bayi dan anak berumur dibawah dua tahun.
- Faktor malabsorsi
Penyebab diare yang disebabkan karena malabsorsi makanan dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu, malabsorsi karbohidrat, lemak, dan protein. Malabsorsi karbohidrat mengakibatkan beban osmotic (diare berair) lalu bakteri dalam kolon membentuk gas (abdomen kembung,tinja berbuih, flatus). Malabsorsi lemak menyebabkan lemak dalam usus keluar berlebihan dalam tinja. Sedangkan malabsorsi protein diakibatkan adanya gangguan pada pankreas dan mukosa usus halus.
- Faktor makanan
Makanan terlalu pedas dan makanan terlalu asam.
- Faktor psikologis
Bias terjadi karena Stress, cemas, ketakutan dan gugup (Suharyono, 2008).
Klasifikasi Diare (skripsi tesis dan disertasi)
Inayah (2006) mengklasifikasi diare berdasarkan pada ada atau tidaknya infeksi menjadi 2 golongan :
- Diare infeksi spesifik : tifus abdomen dan paratifus, desentri basil, eterokiliatis stafilokok.
- Diare infeksi non spesifik : diare dietetic
Menurut Inayah (2006) juga dapat mengklasifikasikan diare berdasarkan organ yang terkena infeksi :
- Diare infeksi enteral atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus, parasit).
- Diare infeksi parenteral atau diare infeksi di luar usus (otitis media, infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin dan lainya).
Muslimah (2010) membagi diare berdasar lamanya diare, menjadi:
- Diare akut : diare yang terjadi mendadak kurang dari 2 minggu.
- Diare kronik : diare yang terjadi lebih dari 2 minggu atau sampai menahun
Gejala Diare (skripsi tesis dan disertasi)
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit, terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit. Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit melampaui 15% (Soegijanto, 2012).
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan tinja yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya (Suharyono, 2006). Kehilangan cairan akibat diare menyebabkan dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang atau berat.
Pengertian Diare (skripsi tesis dan disertasi)
Diare berasal dari kata yunani yaitu kata “diarroia” yang artinya mengalir terus (Hartanto, 2005). Diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elekttrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar lebih dari satu kali dengan bentuk encer atau cair (Suradi, 2002). Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare Depkes, 2011).
Sedangkan menurut Irianto (2014), diare adalah buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk atau cair denganfrekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Agen infeksius yang menyebabkan penyakit diare biasanya ditularkan melalui jalur fekal oral, terutama karena menelan makanan / minum air yang terkontaminasi dan kontak dengan tangan yang terkontaminasi. Diare disertai gejala buang air besar berulang dengan konsitensi cairan encer, kadang dalam kondisi akut disertai mutah, demam dan dehidrasi serta gangguan elektrolit (Achmadi, Umar Fahmi, 2011).
Menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari. Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif terhadap kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2012).
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari.
Karakteristik/Ciri-Ciri Anak Prasekolah (skripsi tesis dan disertasi)
Menurut Hurlock (2001) ciri-ciri anak prasekolah meliputi fisik, motorik, intelektual dan sosial. Ciri fisik anak prasekolah yaitu :
- Otot-otot lebih kuat dan pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras.
- Anak prasekolah mempergunakan gerak kasar seperti berlari, berjalan, memanjat, dan melompat sebagai bagian dari permainan mereka.
- Kemudian secara motorik anak mampu memanipulasi obyek kecil, menggunakan balok-balok dengan berbagai ukuran dan bentuk
- Selain itu juga anak mempunyai rasa ingin tahu, rasa emosi, iri, dan cemburu. Hal ini timbul karena anak tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman sebayanya.
- Sedangkan secara sosial anak mampu menjalani kontak sosial dengan orang-orang yang ada diluar rumah, sehingga anak mempunyai minat yang lebih untuk bermain pada temannya, orang-orang dewasa, dan saudara kandung di dalam keluarganya
Patmonodewo (2002), mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang biasanya ada di TK meliputi aspek fisik, emosi, social dan kognitif anak,yaitu: Ciri fisik anak prasekolah dalam penampilan maupun gerak gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam 15 tahapan sebelumnya yaitu umumnya anak sangat aktif, mereka telah memiliki penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri.seperti memberikan kesempatan kepada anak untuk lari memanjat dan melompat.
Ciri sosial anak prasekolah biasanya bersosialisasi dengan orang di sekitarnya. Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat yang dipilih biasanya sama jenis kelaminnya. Tetapi kemudian berkembang sahabat yang terdiri dari jenis kelamin yang berbeda. Ciri emosional anak prasekolah yaitu cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut, dan iri hati sering terjadi. Mereka sering kali mempeributkan perhatian guru. Ciri kognitif anak prasekolah umumnya telah terampil dalam bahasa. Sebagai besar dari mereka senang bicara, khususnya dalam kelompoknya. Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk bicara. Sebagian mereka perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
Pengertian Anak Usia Pra Sekolah (skripsi tesis dan disertasi)
Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara 3-6 tahun. Dalam usia ini anak umumnya mengikuti program anak (3Tahun- 5tahun) dan kelompok bermain (Usia 3 Tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka mengikuti program taman kanak-kanak (Patmonedowo, 2008). Menurut Noorlaila (2010), dalam perkembangan ada beberapa tahapan yaitu: 1) sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensories dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya, usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahsanya, 2) masa usia 2-4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
Anak usia prasekolah adalah anak usia 3-5 tahun saat dimana sebagian besar sistem tubuh telah matur dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stres dan perubahan yang moderat. Selama periode ini sebagian besar anak sudah menjalani toilet training (Wong, 2008). Anak usia prasekolah adalah anak berusia 3-6 tahun yang merupakan sosok individu, makhluk sosial kultural yang sedang mengalami suatu proses perkembangan yang sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya dengan memiliki sejumlah potensi dan karakteristik tertentu (Snowman, 2003). Menurut Hurlock (2001), mengatakan bahwa usia prasekolah adalah usia 3-5 tahun dan merupakan kurun yang disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Di usia ini anak mengalami banyak perubahan baik fisik dan mental, dengan karakteristik sebagai berikut, berkembangnya konsep diri, munculnya egosentris, rasa ingin tahu, imajinasi, belajar menimbang rasa, munculnya kontrol internal (tubuh), belajar dari lingkungannya, berkembangnya cara berfikir, berkembangnya kemampuan berbahasa, dan munculnya perilaku (Wong, 2008)
Faktor Dalam Kesehjateraan Psikologis (skripsi tesis dan disertasi)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang menurut Ryff (dalam Farkhan, 2016), antara lain :
- Dukungan Sosial
Gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orangorang yang cukup bermakna dalam hidupnya. Bentuk-bentuk dukungan social berupa bimbingan dan arahan dari orang lain (generativity) memiliki peran yang penting pada kesejahteraan psikologis. Hal ini termasuk kedalam perilaku hubungan (Relation Behaviour) yang mana pemimpin, mendengar, memfasilitasi, dan mendukung mahasiswa yang bekerja sebagai karyawan, sehingga karyawan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung karyawan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan sikologisnya, sehingga mahasiswa yang menjadi karyawan dapat menerima dirinya lebih positif.
- Status sosial ekonomi
Faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan kesejahteraan psikologis, bahwa tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis juga lebih baik. Hal ini dikarenakan status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya pemasukan dalam keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi status sosial dapat serta merta mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang.
- Jaringan sosial
Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan membuat seorang individu memiliki kecenderungan kesejahteraan yang rendah atau yang tinggi ditunjang dari siapakah orang-orang yanng berada di lingkungan sosial individu, semakin baik kontak sosial yang terkait dengan individu, semakin tinggi tingkat kesejahteraan individu tersebut.
- Religiusitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna. Pernyataan tersebut memang punyai keterikatan dengan peranan tentang semakin tinggi seseorang memaknai hidupnya seara positif maka kesejahteraan hidup yang dirasakan juga tinggi.
- Kepribadian
Kepribadian merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kesejahteraan psikologis. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara lain menurut Ryff & Singer (dalam Farkhan, 2016) sebagai berikut:
- Usia
Usia mempengaruhi perbedaan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga madya.
- Jenis kelamin
Sejak kecil stereotipe gender telah tertanam dalam diri, anak lakilaki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain. Sifat-sifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya.
- Status sosial ekonomi
Perubahan penghasilan seseorang penting untuk kesejahteraan psikologisnya daripada orang yang berpenghasilan tetap. Orang-orang yang berpenghasilan tinggi berada pada level kepuasan yang tinggi pula, sehingga mereka dapat merasakan kesejahteraan psikologis
- Budaya
Budaya dan masyarakat terkait dengan norma, nilai dan kebiasaan yang berada dalam masyarakat. Budaya individualistik dan kolektivistik memberikan perbedaan dalam kesejahteraan psikologis.
Aspek Dalam Kesehjateraan Psikologis (skripsi tesis dan disertasi)
Menurut Ryff & Keyes (dalam Farkhan, 2016) bahwa komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:
- Penerimaan diri (self-acceptance)
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (dalam Farkhan, 2016) menandakan kesejahteraan psikologis yang tinggi. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.
- Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)
Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep kesejahteraan psikologis. Ryff (dalam Farkhan, 2016) menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa individu tersebut kurang baik dalam dimensi ini.
- Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa individu tersebut baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.
- Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery)
Individu dengan kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, individu tersebut mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai denga kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.
- Tujuan hidup (purpose in life)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka individu tersebut dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental.
- Perkembangan pribadi (personal growth)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa individu tersebut adalah seorang pribadi yang membosankan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.
Menurut Hurlock (2017) bahwa ada beberapa esensi mengenai kebahagiaan,kesejahteraan, antara lain:
- Sikap menerima (Acceptance)
Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik . Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya.
- Kasih sayang (Affection)
Kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap diterima oleh orang lain. Semakin diterima baik oleh orang lain, semakin banyak diharapkan yang dapat diperoleh dari orang lain. Kurangnya cinta atau kasih yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kebahagiaan seseorang
- Prestasi (Achivment)
Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang. Apabila tujuan ini secara tidak realistis tinggi, maka akan timbul kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas dan tidak bahagia.
Dalam penelitian ini akan menggunakan aspek kesehajteraan psikologis seperti yang diuraikan oleh Ryff & Keyes (dalam Farkhan, 2016) yaitu Penerimaan diri (self-acceptance); Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others); Otonomi (autonomy); Penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery); Tujuan hidup (purpose in life) dan Perkembangan pribadi (personal growth)
Pengertian Kesehjateraan Psikologis (skripsi tesis dan disertasi)
Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal (Ryff & Keyes dalam Farkhan, 2016). Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja, akan tetapi berkaitan juga dengan bagaimana mengembangkan relasi yang positif dengan orang ain dan menjadi pribadi yang autonomy (Ryff & Keyes, dalam Farkhan, 2016). Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis. Ryff menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya, selain itu kesejahteraan psikologis dapat dimaknai dengan diperolehnya kebahagiaan,kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff & Keyes dalam Farkhan, 2016).
Berdasarkan teori yang diuraikan di atas kemudian pendapat para ahli kemudian memberikan penambahan pada pengertian kesehjateraan psikologis. Diantaranya menurut (Daniella dalam Setyabudi, 2017) bahwa Kesejahteraan psikologi merupakan tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti hidup, serta merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu, oleh karena itu bila seorang individu memiliki penilaian positif terhadap diri sendiri, mampu bertindak secara otonomi, menguasai lingkungannya, memiliki tujuan dan makna hidup, serta mengalami perkembangan kepribadian maka individu tersebut dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis
Diuraikan pula berdasarkan pernyataan Batram & Boniwell (dalam Tasema, 2018) bahwa Kesejahteraan psikologis berhubungan dengan kepuasan pribadi, engagement, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Kesejahteraan psikologis memimpin individu untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilaksanakannya Kebahagiaan adalah bagian dari keadaan sejahtera dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan dan timbul apabila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Hurlock, (2017) menambahkan bahwa kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang disertai tingkat kegembiraan
Faktor Terbentuknya Dukungan Sosial (skripsi tesis dan disertasi)
Menurut Myers (dalam Maslihah, 2011) mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif, yakni sebagai berikut :
- Empati, yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.
- Norma dan nilai sosial, yang berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan.
- Pertukaran sosial, yaitu hubungan timbal balik perilaku social antara cinta, pelayanan dan informasi. Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik ini membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan.
Aspek Dalam Dukungan Sosial (skripsi tesis dan disertasi)
Menurut Weiss (dalam Maslihah, 2011) membagi dukungan sosial ke dalam enam bagian yang mberasal dari hubungan dengan individu lain, yaitu: guidance, reliable alliance, attachment, reassurance of worth, social integration, dan opportunity to provide nurturance. Komponen-komponen itu sendiri dikelompokkan ke dalam 2 bentuk, yaitu instrumental support dan emotional support. Berikut ini penjelasan lebih lengkap mengenai enam komponen dukungan sosial dari Weiss (dalam Maslihah, 2011):
- Instrumental Support
- Reliable alliance, merupakan pengetahuan yang dimiliki individu bahwa ia dapat mengandalkan bantuan yang nyata ketika dibutuhkan. Individu yang menerima bantuan ini akan merasa tenang karena ia menyadari ada orang yang dapat diandalkan untuk menolongnya bila ia menghadapi masalah dan kesulitan.
- Guidance (bimbingan) adalah dukungan sosial berupa nasehat dan informasi dari sumber yang dapat dipercaya. Dukungan ini juga dapat berupa pemberian feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah dilakukan individu (Sarafino, dalam Sari dan Ratnaningsih 2016).
- Emotional Support
- Reassurance of worth
Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu (Cutrona, dalam Maslihah, 2011). Dukungan ini akan membuat individu merasa dirinya diterima dan dihargai. Contoh dari dukungan ini misalnya memberikan pujian kepada individu karena telah melakukan sesuatu dengan baik.
- Attachment
Dukungan ini berupa pengekspresian dari kasih sayang dan cinta yang diterima individu (Cutrona, dalam Maslihah, 2011) yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerima. Kedekatan dan intimacy merupakan bentuk dari dukungan ini karena kedekatan dan intimacy dapat memberikan rasa aman.
- Social Integration
Cutrona, (dalam Maslihah, 2011) dikatakan dukungan ini berbentuk kesamaan minat dan perhatian serta rasa memiliki dalam suatu kelompok.
- Opportunity to provide nurturance
Dukungan ini berupa perasaan individu bahwa ia dibutuhkan oleh orang lain.
Menurut Johnson dan Johnson (dalam Saputra, 2014) bahwa dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang memiliki empat aspek :
- Perhatian emosi, dukungan dalam bentuk kelekatan, kehangatan, kepedulian, dan ungkapan empati sehingga timbul keyakinan bahwa individu yang bersangkutan dicintai dan diprhatikan.
- Bantuan instrumental, berwujud barang, pelayanan, keukangan, peralatan, bantuan melaksanakan aktivitas dan memberikan waktu luang.
- Bantuan informasi, bantuan yang berupa nasehat, bimbingan, dan pemberian informasi dalam mengatasi masalah.
- Bantuan penilaian terwujud penghargaan, umpan balik, afirmasi (penguat), dan perbandingan sosial untuk evaluasi diri.
Cutrona dan Russel (dalam Maslihah, 2011) mengemukakan terdapat lima aspek dasar dukungan sosial teman sebaya diantaranya:
- Emotional support
Emotional support merupakan representasi dari hadirnya perasan nyaman dan terlindungi yang diperoleh dari orang lain selama mengalami stres, mengarahkan individu untuk merasa bahwa dirinya diperhatikan oleh orang lain.
- Social integration
Social integration mengacu pada perasaan seseorang bahwa ia merupakan bagian dari sebuah kelompok yang anggotanya memiliki kepentingan dan perhatian yang sama. Hubungan tersebut merefleksikan pertemanan yang lebih santai, yang memungkinkan seseorang terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan rekreasi.
- Esteem support
Esteem support mewakili penguatan kompetensi dan kepercayaan diri seseorang oleh orang lain. Pemberian tanggapan positif pada skill dan kemampuan individu atau mengungkapkan kepercayaan bahwa individu tersebut mampu ngatasi situasi tress yang dialaminya.
- Tangible aid
Tangible aid mengacu pada bantuan dalam bentuk nyata seperti bantuan keuangan dan bantuan fisik untuk mengatasi situasi stress.
- Informational support
Informational support yaitu pemberian nasihat dan panduan kepada individu dengan mempertimbangkan solusi yang mungkin untuk mengatasi suatu masalah
Berdasarkan urain di atas maka peneliti akan menggunakan aspek dukungan sosial yang diuraikan oleh Weiss (dalam Maslihah, 2011): guidance, reliable alliance, attachment, reassurance of worth, social integration, dan opportunity to provide nurturance. Komponen-komponen itu sendiri dikelompokkan ke dalam 2 bentuk, yaitu instrumental support dan emotional support.
Pengertian Dukungan Sosial (skripsi tesis dan disertasi)
Menurut Chaplin (dalam Marni dan Yuniawati, 2015) bahwa pengertian dari kata dukungan adalah mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, serta memberikan dorongan atau pengobatan semangat dan nasihat kepada orang lain dalam satu situasi dalam mengambil keputusan. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh karenanya saling mendukung merupakan salah satu strategi yang dapat dikembangkan untuk bertahan hidup. Apabila difokuskan pada pengertian dukungan sosial maka menurut Sarafino (dalam Sari dan Ratnaningsih 2016), dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu yang diterima dari orang lain atau kelompoknya. Dengan adanya dukungan sosial akan membuat individu merasa nyaman, dicintai, dihargai, dan dibantu oleh orang lain maupun suatu kelompok.
Menurut King (2010) dukungan sosial adalah informasi dan umpan balik dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai, diperhatikan, dihargai, dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik. Menurut Brownel dan Shumaker (dalam Rima & Raudatussalamah, 2012) diuraikan bagaimana dukungan social memberikan efek tidak langsung dalam mempengaruhi kesejahteraan individu dengan mengurangi tingkat keparahan stress dari suatu peristiwa. Dukungan sosial melibatkan hubungan sosial yang berarti, sehingga dapat menimbulkan pengaruh positif bagi si penerimanya.
Menurut Baron & Byme (dalam Emeralda dan Kristiana, 2017) bahwa dukungan social adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. Dukungan sosial yang dirasakan individu dapat diterima dari berbagai pihak, yang diberikan baik secara disadari maupun tidak. disadari oleh pemberi dukungan. Menurut Taylor (2012) bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang yang dicintai dan dipedulikan, dihormati dan dihargai, serta bagian dari hubungan dan kewajiban bersama. Dengan adanya dukungan sosial yang diberikan orang-orang yang terdekat maka orang yang dicintai dan dihormati individu akan lebih bermanfaat daripada dukungan dariorang asing atau yang memiliki hubungan jauh dengan individu.
Tahapan Remaja (skripsi tesis dan disertasi)
Menurut Sarwono (2011) dan Hurlock (2017) ada tiga tahapperkembangan remaja, yaitu :
- Remaja awal (early adolescence) usia 11-13 tahun
Seorang remaja pada tahap ini masih heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Remaja mengembangkanpikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Pada tahap ini remaja awal sulit untukmengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. Remaja ingin bebas danmulai berfikir abstrak
2) Remaja Madya (middle adolescence) usia 14-16 tahun
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan teman-teman.Remaja merasa senang jika banyak teman yang menyukainya. Ada kecendrungan narsistik yaitu mencintai diri sendiri dan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat yang sama pada dirinya. Remaja cendrung berada dalam kondisi kebingungan karenaia tidak tahu harus memilih yang mana. Pada fase remaja madya inimulai timbul keinginan untuk berkencan dengan lawan jenis danberkhayal tentang aktivitas seksual sehingga remaja mulai mencob aaktivitas-aktivitas seksual yang mereka inginkan.
3) Remaja akhir (late adolesence) 17-20 tahun
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa yangditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu :
- Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
- Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orangdan dalam pengalaman-pengalaman yang baru
- Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi
- Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri.
- Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (privateself) dan public
Pengertian Remaja (skripsi tesis dan disertasi)
Remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saatpertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampaisaat ia mencapai kematangan seksual (Sarwono, 2011). Masa remajadisebut juga sebagai masa perubahan, meliputi perubahan dalam sikap,dan perubahan fisik (Pratiwi, 2012). Remaja pada tahap tersebutmengalami perubahan banyak perubahan baik secara emosi, tubuh,minat, pola perilaku dan juga penuh dengan masalah-masalah pada masaremaja (Hurlock, 2017)
WHO mendefinisikan remaja merupakan anak usia 10 – 19 tahun. Undang-Undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak mengatakan remaja adalah individu yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. Menurut Undang-Undang Perburuhan, remaja adalah anak yang telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menganggap remaja jika sudah berusia 18 tahun yang sesuai dengan saat lulus dari sekolah menengah. Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, anak dianggap remaja bila sudah cukup matang untuk menikah yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun unuk anak laki-laki. Menurut Hurlock (2017), remaja adalah anak dalam rentang usia 12-18 tahun. Berdasarkan batasan yang telah dikemukakan rentang usia remaja sangat bervariasi, akan tetapi awal dari masa remaja relatif sama sedangkan masa berakhirnya masa remaja lebih bervariasi
Kebutuhan zat besi pada ibu hamil (skripsi dan tesis)
Defisiensi besi primer bertanggung jawab atas sekitar 80% dari anemia non-fisiologik selama kehamilan. Sekitar 1000 mg tambahan besi dibutuhkan selama kehamilan untuk perluasan massa sel darah merah ibu, untuk Hb janin dan untuk kehilangan besi melalui perdarahan pada saat kelahiran (Hacker, 2001).
Keperluan akan besi bertambah dalam kehamilan, terutama dalam trimester terakhir. Apabila masuknya besi tidak ditambah dalam kehamilan, maka mudah terjadi anemia defisiensi besi, lebih-lebih pada kehamilan kembar (Winkjosastro, 1999).
Kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan dan membentuk set darah merah janin dan seorang wanita mengalami kehamilan dan jumlah set darah merah plasenta. Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan anak akan semakin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin sering anemis (Manuaba, 1998).
Berikut gambaran kebutuhan zat besi menurut Manuaba (1998) pada setiap kehamilan :
- Meningkatkan sel darah ibu 500 mg Fe
- Terdapat dalam plasenta 300 mg Fe
- Untuk darah janin 100 mg Fe
Total jumlah 900 mg Fe
Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30-40% yang puncaknya pada kehamilan 32-34 minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18-30%, dan dan hemoglobin sekitar 19%. Bila hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 gr% maka dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis, dan Hb ibu akan menjadi 9,5-10 gr% (Manuaba, 1998).
Kebutuhan zat besi per individu (skripsi dan tesis)
Jumlah Fe yang dibutuhkan setiap hari dipengaruhi oleh berbagai faktor; umur, jenis kelamin dan jumlah darah dalam tubuh. Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi dari pria karena terjadi menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50-80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30-40 mg.
Distribusi besi dalam tubuh (skripsi dan tesis)
Tubuh manusia yang sehat mengandung ± 3,5 gr besi (Fe) yang hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam bentuk organik, yaitu sebagai ikatan non-ion dan lebih lemah alam bentuk ikatan anorganik, yaitu sebagai ikatan ion. Besi mudah mengalami oksidasi dan reduksi. Kira-kira 70% dari Fe yang terdapat dalam tubuh merupakan Fe esensial dan 30% merupakan Fe non esensial. Cadangan Fe pada wanita hanya 200-400 mg, sedangkan pada pria kira-kira 1 gr (Ganiswarna, 1998).
- Absorbsi
Absorbsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum, makin ke distal absorbsinya makin berkurang. Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka lebih banyak Fe diubah menjadi ferritin. Bila cadangan rendah atau kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut dari sel mukosa ke sum-sum tulang untuk eritropoesis. Eritropoesis dapat meningkat sampai lebih dari 5 kali pada anemia berat. Jumlah Fe yang diabsorbsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah absolutnya serta adanya zat-zat lain. Makanan yang mengandung ± 6 mg Fe/ 1000 kkal akan diabsorbsi
5-10% pada orang normal (Ganiswarna, 1998).
- Ekskresi
Jumlah Fe yang diekskresi tiap hari sedikit sekali, biasanya sekitar 0,5-1 mg sehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel kulit dan saluran cerna yang terkelupas, selain itu juga melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan rambut yang dipotong. Pada wanita usia subur dengan siklus haid 28 hari, jumlah Fe yang diekskresi sehubungan haid diperkirakan sebanyak 0,5-1 mg sehari (Ganiswarna, 1998).
Definisi besi (iron) (skripsi dan tesis)
Besi merupakan bagian dari Hemoglobin, yaitu komponen pembawa oksigen dalam darah. Seseorang yang menderita defisiensi besi akan sangat mudah mengalami kelelahan karena tubuhnya kekurangan oksigen. Besi juga merupakan bagian dari mioglobin. Mioglobin membantu sel-sel otot menyimpan oksigen. Tanpa besi yang cukup, bahan bakar tubuh tidak dapat disintesis dengan sempurna (anonim, 2003).
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anemia (skripsi dan tesis)
Menurut Ramakrishnan, 2001 faktor-faktor yang menyebabkan anemia gizi adalah sebagai berikut :
- Defisiensi besi
Defiensi besi disebabkan karena kebutuhan akan besi meningkat seperti pada saat pertumbuhan, menstruasi dan kehamilan. Pada proses kehamilan Kebutuhan besi meningkat dari 1,25 mg /hari pada saat tidak hamil menjadi 6 mg /hari selama kehamilan yang disebabkan karena besi digunakan dalam pembentukan janin dan cadangan dalam plasenta serta untuk sintesis Hb ibu hamil.
- Asupan dan ketersediaan dalam tubuh yang rendah
Sumber bahan makanan yang tinggi zat besi adalah makanan yang berasal dari hewan seperti daging, ikan dan telur yang sering disebut zat besi heme mempunyai bioavailabilitas tinggi dibanding zat besi dalam bentuk non heme. Makanan yang dapat menghambat absorbsi zat besi adalah tanin (pada teh), polifenol (vegetarian), oksalat, fosfat dan fitat (serealia), albumin pada telur dan yolk, kacang-kacangan, kalsium pada susu dan hasil olahannya, serta mineral lain seperti Cu,Mn, Cd dan Co (Lestari, 2004). Teh yang diminum bersama-sama dengan hidangan lain ketika makan akan menghambat penyerapan besi non hem sampai 50 % (Muchtadi et al, 1993).
Berdasarkan penelitian Raharjo, 2003 diketahui bahwa risiko responden dengan asupan zat besi tidak mencukupi sesuai AKG (Angka Kecukupan Gizi) adalah sebesar 7 kali lebih tinggi untuk menderita anemia dibandingkan dengan responden yang asupan zat besinya sesuai AKG (CI= 1,44-36,02).
- Infeksi dan Parasit
Infeksi dan parasit yang berkontribusi dalam peningkatan anemia adalah malaria, infeksi HIV, dan infeksi cacing. Di daerah tropis, infeksi parasit terutama cacing tambang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak, karena cacing tambang menghisap darah. Menurut hasil INACG (2002) disamping defisiensi zat gizi spesifik seperti vitamin A, B6, B12, riboflavin dan asam folat, penyakit infeksi umum dan kronis termasuk HIV/AID juga dapat menyebabkan anemia. Malaria khususnya Plasmodium falciparum juga dapat menyebabkan pecahnya sel darah merah. Cacing seperti jenis Trichuris trichiura dan Schistosoma haematobium dapat menyebabkan kehilangan darah.
- Anemia defisiensi mikronutrien lain
Anemia defisiensi besi sangat berhubungan dengan defisiensi mikronutrien lain seperti vitamin A, riboflavin, asam folat dan vitamin B12. Infeksi parasit pada usus dapat menyebabkan malabsorbsi zat gizi seperti vitamin A, asam folat dan vitamin B12 antara lain infestasi cacing tambang.
- Defisiensi Vitamin A
Suplementasi vitamin A pada individu yang defisiensi vitamin A akan meningkatkan kadar Hb kira-kira 10 gr/l. Pada beberapa hasil penelitian penambahan vitamin A akan meningkatkan respon Hb pada suplementasi Fe. Suplementasi per minggu dengan 23.000 IU vitamin A sebagai retinol atau beta karoten akan menurunkan prevalensi anemia sampai 45 % pada wanita.
- Defisiensi Riboflavin
Asupan riboflavin dan penyerapan Fe umumnya rendah jika mengkonsumsi produk hewani termasuk susu dalam jumlah terbatas. Defisiensi riboflavin membuat defisiensi besi tambah buruk dengan meningkatnya kehilangan besi, menurunnya absorbsi besi, perusakan besi interseluler, dan meningkatnya proliferasi crypt cell.
- Defisiensi asam folat
Pemberian Asam folat berhubungan dengan penurunan 40 % risiko anemia pada wanita hamil dan 35 % menurunkan risiko anemia megaloblastis. Defisiensi asam folat terutama menyebabkan gangguan metabolisme DNA, akibatnya terjadi perubahan morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat membelah seperti sel darah merah, sel darah putih serta sel epitel lambung dan usus, vagina dan serviks. Kekurangan asam folat menghambat pertumbuhan, menyebabkan anemia megaloblastik dan gangguan darah lainnya, peradangan lidah (glositis) dan gangguan saluran cerna (Almatsier, 2001). Kekurangan asam folat berkaitan dengan berat lahir rendah, ablasio plasenta dan neural tube defect. (Arisman, 2004). Defisiensi folat juga diduga berhubungan dengan perkembangan beberapa kanker khususnya kanker kolon. Defisiensi folat dalam sel dan jaringan potensial meningkatkan perubahan neoplastik di sel normal pada tahap awal kanker (Groff, 2005)
- Defisiensi vitamin B12
Defisiensi vitamin B12 hampir sama dengan asam folat yaitun menyebabkan anemia makrositik. Manifestasi defisiensi vitamin B12 terjadi pada tahap awal dengan konsentrasi serum yang rendah kemudian ada indikasi transcobalamin II yang rendah, pada tahap berikutnya konsentrasi vitamin dalam sel yang rendah dan selanjutnya defisiensi secara biokimia dengan terjadinya penurunan sintesis DNA. (Groff, et al, 2005). Anemia pernisiosa yang disertai rasa letih yang parah merupakan akibat dari defisiensi vitamin B12. Vitamin B12 ini sangat penting dalam pembentukan RBC (Red Blood Cell). Di negara berkembang prevalensi defisiensi vitamin B12 ditemukan pada semua umur. Hal ini disebabkan intake makanan yang rendah (Ramakrishnan, 2001)
Diagnosis Anemia Pada Kehamilan (skripsi dan tesis)
Untuk menegakkan diagnosis anemia kehamilan dapat dilakukan dengan anamnesis. Pada anamnesis akan didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan keluhan mual-muntah lebih hebat pada hamil muda. Pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sahli.
Hasil pemeriksaan Hb dengan Sahli dapat digolongkan sebagai berikut :
Hb 11 gr% Tidak anemia (normal)
Hb 9-10 gr% Anemia ringan
Hb 7-8 gr% Anemia sedang
Hb < 7 gr% Anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu pada trimestester 1 dan 3 (Manuaba, 1998).
Pengaruh Anemia Dalam Kehamilan (skripsi dan tesis)
Menurut Winkjosastro (1999), anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu hamil karena dapat berakibat antara lain : abortus, perdarahan post partum, syok, infeksi, serta untuk anemia yang sangat berat (Hb kurang dari 4 gr/100 ml) dapat mengakibatkan dekompensasi kordis.
Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Pengaruh anemia dapat memberi gangguan dalam bentuk : kematian (abortus), prematuritas, cacat bawaan, dan cadangan besi dalam tubuhnya rendah, intelegensia rendah, dan berat badan lahir rendah (Manuaba, 1998).
Anemia juga akan membahayakan perkembangan mental, gagal dan lambatnya pertumbuhan anak, menurunnya aktifitas fisik, produktititas kerja, serta meningkatkan kesakitan (Gillespie, 1998).
Etiologi (skripsi dan tesis)
Etiologi anemia selama kehamilan sama dengan etiologi yang dijumpai pada wanita yang tidak hamil dan semua anemia yang sering terdapat diantara kaum wanita dalam usia reproduktif, dapat mempersulit kehamilan (Cunningham, 2005).
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan kehilangan darah yang akut. Tidak jarang kedua keadaan tersebut berhubungan erat mengingat kehilangan darah yang berlebihan dengan disertai hilangnya zat besi Hemoglobin dan habisnya simpanan zat besi pada kehamilan yang satu dapat menjadi penyebab yang penting bagi terjadinya anemia defisiensi besi pada kehamilan berikutnya (Saifuddin, 2000).
Namun, yang paling sering terjadi adalah anemia defisiensi besi, yakni sekitar 50% ibu hamil menderita anemia ini dibandingkan dengan ibu tidak hamil, yakni 20%. Penyebab anemia defisiensi besi sendiri adalah rendahnya absorbsi besi ke dalam tubuh dan tidak adekuatnya intake tablet besi harian pada ibu hamil (Anonim, 2003).
Pengertian Anemia (skripsi dan tesis)
Anemia yang biasa kita kenal dengan ‘kurang darah’, didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana kadar Hb dalam darah kurang dari normal. Secara umum, seseorang, baik pria maupun wanita dinyatakan menderita anemia apabila kadar Hb dalam darahnya kurang dari 12 gr/100 ml. Anemia lebih sering dijumpai dalam kehamilan karena dalam kehamilan keperluan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahan perubahan dalam darah dan sum-sum tulang (Winkjosastro, 1999).
Menurut Saifuddin (2000), anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu hamil yang digolongkan pada trimester 1 dan 3, kadar Hb kurang dari 11 gr/100 ml sedangkan pada trimester 2, kadar Hb kurang dari 10,5 gr/100 ml. Nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil terjadi karena hemodilusi (pengenceran) terutama pada trimester 2.
Hoo Swie Tjiong dalam penelitiannya menyebutkan nilai 10 gr/100 ml sebagai batas terendah untuk kadar Hb dalam kehamilan. Seorang wanita hamil yang memiliki Hb kurang dari 10 gr/100 ml baru disebut menderita anemia dalam kehamilan. Anemia dalam kehamilan yang paling sering dijumpai ialah anemia akibat kekurangan besi. Ini dikarenakan kurang masuknya unsur besi ke dalam tubuh dan banyaknya besi yang ke luar dari tubuh. Keperluan akan besi bertambah dalam kehamilan, terutama dalam trimester terakhir. Apabila masuknya asupan zat besi tidak ditambah dalam kehamilan, maka akan mudah terjadi anemia defisiensi (Winkjosastro, 1999). Menurut Manuaba (1998), anemia dalam kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi, jenis anemia yang pengobatannya relatif mudah dan murah.
Ukuran Kesiapsiagaan Bencana (skripsi dan tesis)
Kajian tingkat kesiapsiagaan komunitas keluarga menggunakan framework yang dikembangkan LIPI bekerja sama dengan UNESCO/ISDR tahun 2006. Ada lima parameter yang digunakan dalam mengkaji tingkat kesiapsiagaan keluarga dalam kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana yaitu pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya.(LIPIUNESCO/ISDR, 2006):
- Pengetahuan tentang kebakaran serta risiko bencana mencakup pengertian bencana alam, kejadian yang menimbulkan bencana, penyebab terjadinya kebakaran, ciri-ciri terjadinya kebakaran, dampak terjadinya kebakaran.
- Kebijakan dan panduan meliputi kebijakan pendidikan yang terkait dengan kesiapsiagaan keluarga, UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Surat Edaran 70a/MPN/2010) kegiatan penyuluhan diharapkan mampu mobilisasi sumber daya di dalam keluarga untuk peningkatan kesiapsiagaan komunitas keluarga.
- Rencana tanggap darurat terkait dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan agar korban bencana dapat diminimalkan. Rencana yang berkaitan dengan evakuasi mencakup tempat-tempat evakuasi, peta dan jalur evakuasi, peralatan dan perlengkapan, latihan/simulasi dan prosedur tetap (protap) evakuasi. Penyelamatan dokumen-dokumen penting juga perlu dilakukan, seperti copy atau salinan dokumen perlu disimpan di tempat yang aman.
- Parameter peringatan bencana yang meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Peringatan dini bertujuan untuk mengurangi korban jiwa, karena itu pengetahuan tentang tanda/bunyi peringatan, pembatalan dan kondisi aman dari bencana sangat diperlukan. Penyiapan peralatan dan perlengkapan untuk mengetahui peringatan sangat diperlukan, demikian juga dengan latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu sesuai dengan lokasi di mana keluarga sedang berada saat terjadi bencana.
- Parameter mobilisasi sumber daya adalah kemampuan keluarga dalam memobilisasi sumber daya manusia (SDM) kepala keluarga dan anggota keluarga, pendanaan, dan prasarana-sarana penting untuk keadaan darurat. Mobilisasi sumber daya ini sangat diperlukan untuk mendukung kesiapsiagaan. Mobilisasi SDM berupa peningkatan kesiapsiagaan kepala keluarga dan anggota keluarga yang diperoleh melalui berbagai pelatihan, workshop atau ceramah serta penyediaan materi-materi kesiapsiagaan di Keluarga yang dapat diakses oleh semua komponen. (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006)
Pengertian Kesiapsiagaan Bencana (skripsi dan tesis)
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (BPBD DKI Jakarta, 2013). Menurut BNPB (2008) kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas lintas-sektor yang berkelanjutan. Kesiapsiagaan dalam menghadapi banjir terdiri dari kegiatan yang memungkinkan masyarakat dan individu untuk dapat bertindak dengan cepat dan efektif ketika terjadi banjir. Hal ini membantu masyarakat dalam membentuk dan merencanakan tindakan apa saja yang perlu dilakukan ketika banjir (UNESCO, 2008). Tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi korban bencana sehingga dapat mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan (BNPB, 2008).
Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa pengertian kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisispasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Membangun kesiapsiagaan adalah unsur penting, namun mudah dilakukan karena menyangkut sikap dan mental dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat kesiapsiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana (Kementerian Sosial RI, 2011).
Bencana Erupsi Gunung Berapi (skripsi dan tesis)
- Pengertian
Letusan Gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan erupsi. Gunung api adalah bentuk timbunan (kerucut dan lainnya) di permukaan bumi yang dibangun oleh timbunan rempah letusan, atau tempat munculnya batuan lelehan atau magma/rempah lepas/gas yang berasal dari bagian dalam bumi. Bahaya letusan ini dapat berupa awan panas, lontaran material pijar, hujan abu lebat, gas beracun, tsunami dan banjir lahar.
- Penyebab
Penyebab terjadinya letusan gunung api adalah pancaran magma dari dalam bumi yang berasosiasi dengan arus konveksi panas, proses tektonik dari pergerakan dan pembentukan lempeng/kulit bumi, akumulasi tekanan dan tempertaur dari fluida magma menimbulkan pelepasan energi.
- Hasil Letusan gunung berapi
Hasil letusan gunung berapi menurut BNPB (2011) antara lain berupa:
- Gas Vulkanik adalah gas yang dihasilkan saat terjadinya letusan gunung berapi, gas tersebut meliputi: Hidrogen Sulfida (H2S), sulfurdioksida(SO2) dan nitrogen (NO2), carbon monoksida (CO) dan Carbondioksida (Co2) yang dapat membahayakan
- Lava adalah magma yang memiliki suhu panas yang tinggi. Lava terdiri dari dua yaitu lava encer dan lava kental. Cairan lava encer dapat mengalir jauh mengikuti arus sungai sedangkan cairan lava kental mengalir tidak jauh dari lokasi letusan gunung
- Lahar adalah banjir yang diakibatkan dari letusan gunung berapi. Lahar bercampur dengan hasil letusan gunung berapi seperti material vulkanik hingga bongkahan-bongkahan batu
- Abu letusan gunung berapi seperti debu halus yang dapat berhembus sejauh ratusan kilometer. Dampak dari abu letusan yaitu mengalami kesulitan air bersih, sesak nafas, kesulitan penglihatan, mengganggu infrastruktur pertanian serta akses jalan dan
- Awan panas adalah awan yang terdiri dari material letusan yang Awan panas mengalir turun kedataran rendah seperti sungai dan lembah. Dampak dari awan panas dapat mengakibatkan luka bakar pada bagian tubuh dan dapat mengakibatkan sesak nafas.
- Dampak Gunung Meletus
Gunung berapi yang meletus akan menyebabkan dampak bagi kehidupan manusia, dampak tersebut dapat mempengaruhi psikologis, fisik, sosial, tatanan infrastruktur dan ekonomi (BNPB, 2011). Dampak psikologis yang terjadi pada daerah letusan gunung berapi masyarakat mengalami trauma ketika mengetahui tempat tinggalnya rusak, keluarganya ada yang sakit atau meninggal dunia (Wahyuni, et al, 2012). Dampak fisik yang terjadi pada daerah letusan gunung berapi tercemarnya udara dengan abu gunung berapi yang mengandung bermacam-macam gas yang berpotensi meracuni masyarakat, penyakit yang muncul akibat letusan gunung berapi antara lain Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), infeksi saluran pernafasan bawah, iritasi mata dan iritasi kulit, lahar yang panas juga akan membuat hutan di sekitar gunung rusak terbakar (Badan Geologi, 2006).
Bencana Alam (skripsi dan tesis)
Bencana alam adalah peristiwa alam yang dapat mengakibatkan dampak bagi kehidupan manusia. Beberapa bencana alam:
- Tsunami adalah gelombang laut yang disebabkan oleh gangguan implusif dari dalam laut. Gangguan impulsif yang dapat mempengaruhi terjadinya tsunami. Faktor utama terjadinya tsunami adalah gempa bumi yang terjadi di dasar laut, gelombang tsunami yang terjadi besar atau kecil dapat ditentukan oleh karakteristik gempa bumi yang menyebabkan
- Tanah Longsor adalah bencana alam yang disebabkan oleh struktur tanah yang mengalami gangguan kestabilan. Faktor terjadinya tanah longsor dapat di akibatkan oleh curah hujan yang tinggi dan gempa
- Banjir adalah keadaan dimana suatu wilayah tergenang air, sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba akibat tersumbatnya sungai dan curah hujan yang tinggi (Bakornas PBP, 2005).
- Kekeringan adalah kurangnya ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan, dampakkekeringan muncul sebagai akibat dari kekurangannya air, kekeringan dapat menganggu perekonomian dan kehidupan masyarakat.
- Angin puting beliung adalah bencana alam yang disebabakan oleh perbedaan tekanan cuaca, pusaran angin puting beliung sangat kencang dengan kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis (Prahasta, E, 2003).
- Letusan Gunung Berapi adalah aktivitas vulkanik atau erupsi, gunung berapi berkaitan dengan zona kegempaan yang diakibatkan oleh batas lempeng. Batas lempeng dapat mengakibatkan perubahan suhu dan tekanan yang tinggi sehingga dapat melelehkan material di sekitarnya yang merupakan cairan pijar (magma). Magma akan meluap ke permukaan melalui rekahan permukaan bumi. Gunung berapi memiliki karakteristik, dapat dilihat melalui muntahan yang dihasilkan (Bakornas PBP, 2005). Gunung meletus terjadi karena magma yang berada di perut bumi mengalami tekanan tinggi oleh gas sehingga terdorong keluar. Letusan gunung berapi ini dapat menyemburkan abu sejauh 60 km lebih dan lavanya dapat membanjiri daerah lereng gunung sejauh 30 km. Dampak dari letusan gunung berapi dapat menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa (Watt & Fiona, 2009). Berdasarkan pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa bencana gunung berapi merupakan bagian dari aktivitas vulkanik atau erupsi, dari letusan gunung berapi akan membawa bencana bagi
Macam-macam indeks pengukuran antropometri (skripsi dan tesis)
Kata antropometri berasal dari kata latin “antropos” yang berarti manusia. Menurut ensiklopedi Encarta (2998) pengukuran tubuh manusia dengan antrpometrik dipelopori oleh ahli antropologi terkenal di Amerika Serikat Ales Herdlicka (Fajar, 2002)
Untuk mengetahui apakah berat dan tinggi badan normal, lebih rendah atau lebih tinggi dari yang seharusnya, dilakukan perbandingan dengan suatu standar internasioanl yang ditetapkan oleh WHO. Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur berat badan (BB) atau tinggi badan (TB) sesuai dengan umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi abtara ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna tersendiri, misalnya kombinasi antar BB dan U membentuk indikator BB/U dan kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U atau TB/U dan kombinasi antara BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau BB/TB (Fajar, 2002).
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitive status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena BB selain dipengaruhi oleh U juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB menggambarkan secara spesifik dan sensitif status gizi saat ini.
- Berat Badan Menurut Umur
Berate badan adalaha satu aparameter yang memberikan massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan yang mendadak, sepeti karena serangan penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. BB adalah parameter antropometri yang sangat baku. Dalam keadaan normal keadaan kesehatan dan ekseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin maka BB berkembang mengikuti perkembangan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat lebih cepat atau lambat dari keadaan normal. Berdasarkan keraketristik BB ini maka indeks BB menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat BB yang labil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang (Fajar, 2002)
- Kelebihan BB/U
- Lebih cepat dan cepat dimengerti oleh masyarakat
- Baik untuk pengukuran status gizi akut dan kronis
- BB dapat difluktuasi
- Sangat baik terhadap perubahan kecil
- Dapat mendeteksi kegemukan
Kekurangan BB/U
- Dapat menimbulkan interpretasi status gizi yang keliru apabila terdapat oedema atau acites
- Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit ditaksir secara tepat krena pencatatan umur yang belum baik
- Tinggi Badan menurut Umur
Tinggi badan menggambakan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal TB berubah seiring dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan TB tidak sama dengan pertumbuhan BB, relative kurang sensitive terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu cepat. Pengaruhnya akan nampak dalam waktu yang relative lama. TB/U menggambarkan status giz masa lampau sehingga juga erat kaitannya dengan social ekonomi (Fajar 2002)
Keuntungan TB/U
- Baik untuk menilai staus gizi masa lampau
- Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa
Kekurangan TB/U
- TB tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun
- Kemungkinan relative sulit dilakukan
- Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berate badan memberikan hubungan yang linier dengan TB, akan searah dengan pertumbuhan BB dan kecepatan TB. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang). Indeks BB/Tb adalah merupakan indeks yang independent terhadap umur (Fajar, 2000)
Keuntungan BB/TB
- Tidak memerlukan data umur
- Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, kurus)
Kekurangan BB/TB
- Tidak dapat memebrikan jawaban apakah orangnya pendek karena factor umur tidak diperhitungkan
- Dalam prakteknya mengalami kesulitan karena dapat melibatkan bantuan kepada keluarga
- Membutuhkan dua macam alat pengukuran
- Mengukur relatif lama
- Membutuhkan dua orang untuk melakukannya
- Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran tentu nila dilakukan oleh kelompok non professional
- Lingkar Lengan Atas (LILA)
Penukuran LILA adalah salah satu deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok beresiko Kekurangan Energi Kronis (KEK). LILA merupakan indeks ztatus gizi saat ini. Sumber rujukan yang digunakan adalah pedeoman penggunaan alat ukur Lingkar Lengan Atas (LILA) pada wanita usia subur yang dikeluarkan oleh DEpkes (Fajar (2002).
Ambang batas LILa dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah LILa artinya wanita tersebut memiliki resiko KEK dan diperkirakan melahirkan Berat BAdan Lahir Rendah (BBLR).
Cara pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan melalui urutan yang telah ditetapkan yaitu:
- Tetapkan posisi bahu dan siku
- Letakkan pita antara bahu dan siku
- Tentukan titik tengah lengan
- Lingkarkan pita LILA pada tengah lengan
- Pita jangan terlalu ketat dn jangan terlalu longgar
- Cara pembacaan skala yang benar
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengukuran LILA adalah pengukuran dilakukan di bagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri (kecuali orang kidal maka diukur dengan tangan kanan). Lngan harus dalam keadaan bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau kencang. Alat pengukur dalam keadaan baik atau tidak kusut dan sudah dilipat-lipat sehingga permukaannya tidak rata.
Tujuan pengukuran LILA adalah:
- Mengetahui resiko KEK pada ibu hamil untuk menapis wanita yang mempunyai resiko melahirkan Berat BAdan Lahir REndah (BBLR)
- Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agara lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK
- Mengembangkan gagasan baru di kalangan amsyarakat dengan tujuan meningkatkan kesehajteraan ibu dan anak
- Meningkatkan peran petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi
- Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran yang menderita Kurang Energi Kronis (KEK)
Keuntungan LILA
- Indikator yang baik untuk melihat KEP berat
- Alat ukur murah, ringan dan dapat dibuat sendiri
- Dapat diberi kode warna untuk menentukan keadaan gizi sehingga dapat digunakan oleh yang tidak dapat membca dan menulis
Kekurangan LILA
- Tidak dapat mengidentifikasi KEP berat
- Sulit menentukan ambang batas
Status Gizi (skripsi dan tesis)
- Penilaian Status Gizi
- Penilaian status gizi langsung dapat dikerjakan dengan pemeriksaan klinis, atipometri, uji biokimia dan biofisik
- Penilaian status gizi tidak langsung, pada prinsipnya bahwa malnutrisi dapat mempengaruhi morbiditas maupun mortalitas beberapa jenis penyakit pada berbagai golongan umur sehingga angka statistic yang diperoleh dari berbagai jenis penyakit dapet menggambarkan keadaan status gizi golongan umur, mortalitas ibu dan bayi baru lahir, serta angka harapan hidup
Untuk menyatakan status gizi seseorang perlu disebutkan variabel yang digunakan dalam penentuan, misalnya BB, TB atau variabel pertumbuhan lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan status gizi disebut dengan indicator status gizi.
Syarat-syarat makanan bagi ibu hamil (skripsi dan tesis)
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memyusun makanan untuk seorang wanita yang sedang hamil (Depkes, 1995) :
- Menghindari makanan pantangan karena akan menghambat waktu melahirkan dan sesudah melahirkan.
- Pada Trisemester I jika terdapat keluhan mual, muntah, makanan harus diatur sedemikian rupa sehingga makanan mudah dicerna dan porsi tidak terlalu besar.
- Pada Trisemester II protein di utamakan dan di jaga agar jangan sampai kekurangan darah dengan banyak mengkonsumsi sayuran.
- Pada Trisemester III seperti pada Trisemester II tetapi dijaga jangan sampai terlalu gemuk. Jika dijumpai tanda keracunan kehamilan maka ibu hamil harus pantang garam.
- Pada trisemester III kandungan sudah besar sehingga lambung sedikit terdesak. Makanan dengan porsi besar sering menyebabkan rasa tidak enak, karena itu dalam masa ini porsi makan sebaiknya porsi kecil tetapi sering.
- Prinsip-prinsip diet untuk kehamilan
Menurut Stanhope dan Knollmuder (1998) diet untuk wanita hamil mempunyai prinsip-prinsip yaitu :
- Elemen-elemen nutrisi yang penting seperti natrium tidak dibatasi selama kehamilan normal.
- Kenaikan berat badan pada rata-rata selama kehamilan normal adalah 11 sampai 13 kg.
- Asupan harian minimal harus 35 sampai 40 kkal/kg untuk wanita berat badan normal dan 30 kkal/kg untuk wanita.
- Makanan kecil diberikan untuk wanita hamil antara waktu makan pagi dan makan siang, makan siang dan makan malam serta sebelum tidur untuk meningkatkan asupan kalori.
- Suplemen vitamin termasuk 30 sampai 60 mg zat besi dan 400 mg asam folat diberikan semua untuk wanita hamil.
- Jika tidak dikonsumsi produk susu, 500 mg kalsium glukonat atau kalsium laktat harus diberikan dua kali sehari selama Trisemester I dan Trisemester II, tiga kali sehari selama Trisemester III.
Gizi ibu hamil (skripsi dan tesis)
Perawatan kehamilan salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil. Gizi berasal dari Bahasa Arab Al Gizza yang berarti makanan dan manfaatnya untuk kesehatan (Depkes RI, 1995).
Manfaat gizi pada ibu hamil.
- Memenuhi kebutuhan zat-zat gizi ibu.
- Pertumbuhan dan perkembangan dan persalinan.
- Pencegahan komplikasi pada kehamilan dan persalinan.
Kebutuhan unsur-unsur ibu hamil.
Kebutuhan zat gizi untuk ibu hamil yaitu dalam 1 hari yaitu kalori 2500 yang disesuaikan dengan berat badan, protein 85 gram, vitamin A 600 SI, calsium 1.5 gram, Ferrum 15 mg, vitamin B 1.8, vitamin C 100 mg, asam nicotin 18 mg, vitamin D 400-800 Si (Fisio Un. Pad, 1993).
Menurut Mochtar (1995) kebutuhan makan ibu hamil dalam sehari, kalori 2300 kal, protein 65 gram, kalsium 1 gram, zat besi (Fe) 17 gram, vitamin A 6000 iu, kalsium 1 gram, Thianin 1 mg, Ribolflavin 1,3 mg, Miacin 15 mg, vitamin C 90 mg.
Menurut Pudjiadi. S (1995) makanan tambahan yang dianjurkan bagi wanita hamil 2.700 kalori atau 100 k. kalori/hari, protein 6 gram pada trisemester III serta vitamin dan mineral tidak melebihi 100% kecuali zat besi.
Gizi (skripsi dan tesis)
Kata gizi berasal dari Bahasa Arab, ghidza yang beratri “makanan” di satu sisi ilmu gizi berkaitan dengan makanan dan di sisi lain dengan tubuh manusia. Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi, membangun dan memelihara jaringan tubuh, serta mengatur proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi sebuah kata gizi mempunyai pengertian lebih luas di samping untuk kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak kemampuan belajar dan produktivitas kerja (Almatsier, 2001).
Zat gizi atau disebut nutrient adalah setiap zat yang dicerna, diserap dan digunakan untuk mendorong kelangsungan faal tubuh. Beberapa zat gizi dapat dibuat oleh tubuh sendiri dan sebagian besar lainnya harus diperoleh dari makanan yang di konsumsi sehari-hari. Zat gizi yang diperlukan tubuh terdiri dari (1) karbohidrat, (2) protein, (3) lemak, (4) vitamin, (5) mineral dan air (Auliana, 2001).
Berdasarkan fungsinya tubuh manusia memerlukan zat gizi untuk memperoleh energi, guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari atau sebagai zat tenaga, untuk proses tumbuh kembang pada anak, penggantian jaringan tubuh yang rusak atau sebagai zat pembangunan serta untuk mengatur semua fungsi tubuh serta melindungi tubuh dari penyakit atau sebagai zat pengatur.
Karbohidrat dan lemak berfungsi sebagai tenaga, protein berfungsi sebagai zat pembangun, sedangkan vitamin dan mineral berfungsi sebagai zat pengatur.
Pencegahan (skripsi dan tesis)
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin (Preeklampsia ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya Preeklampsia kalau ada faktor-faktor predeposisi Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring ditempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein, dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda Preeklampsia dan mengobatinya segera apabila di temukan. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda Preeklampsia tidak juga dapat di hilangkan.
Komplikasi Akibat Preeklampsia dan Eklampsia (skripsi dan tesis)
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi dibawah ini biasanya terjadi pada Preeklampsia berat dan eklampsia. Solusio plasenta. Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada Preeklampsia (Wiknjosastro, 1999).
- Pada Preeklampsia berat
- Penderita dengan Preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang di kenal dengan ikterus. Belum di ketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati sering di temukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
- Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
- Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlansung sampai seminggu.
- Edema paru-paru.
- Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada Preeklampsi – eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol umum.
- Sindrom HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
- Kelainan ginjal
- Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi.
- Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra – uterin.
Klasifikasi Preeklampsi (skripsi dan tesis)
Biasanya tanda-tanda Preeklampsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada Preeklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada Preeklampsia berat. Gejala-gejalanya adalah:
- Tekanan darah sistolik ³ 160 mmHg
- Tekanan darah diastolik ³ 110 mmHg
- Peningkatan kadar enzim hati/ ikterus
- Trombosit < 100.000/mm³
- Oliguaria < 400 ml/24 jam
- Proteunaria > 3 g/liter
- Nyeri epigastrium
- Skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat
- Perdarahan retina
- Edema pulmonum
- Koma
Pada umumnya kejangan didahului oleh makin memburuknya Preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejangan terutama pada persalinan bahaya ini besar.
Etiologi (skripsi dan tesis)
Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori dikemukakan para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang sekarang ini dipakai sebagai penyebab Preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini. Rupanya tidak hanya satu fackor yang menyebabkan pre eklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang ditemukan sering kali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi kelainan preeklampsia tersebut sehingga kelainan ini disebut dengan diaseases of theory. Adapun teoei tersebut antara lain
- Peran prostasiklin dan tromboksan
- Peran factor imunologis
- Peran factor genetika
- Peanan Renisi-Angiotensin-Aldoteron System (RAAS). (Sudhaderata, 2001)
Definisi Preeklamsia dan Eklamsia (skripsi dan tesis)
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri. Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik. Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala-gejala Preeklampsia (Cunningham, 1995).
Menurut Mohtar (1995) preeklampsia dan eklampsia merupakan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias, hipertensi, proteinuria dan edema dan kadang-kadang disertai dengan konvulsi sampai koma.
Berdasarkan hal tersebut maka disimpulkan bahwa preeklampsi adalah penyakit yang ditandai dengan trias: hiepertensi, protenuria dan edema akibat kehamilan yaitu pada saat usia kehamilan atau segera sat persalinan dan nifas. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit tofoblastik
Hubungan Antara Merokok dan Kadar Hemoglobin (skripsi dan tesis)
Komponen gas asap rokok adalah karbon monoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida, dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin, karbarzol, dan kresol. Zatzat ini beracun, mengiritasi, dan menimbulkan kanker (karsinogen). Karbon Monoksida (CO) memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam selsel darah merah, ikatan ini 210-300 kali lebih kuat daripada ikatan hemoglobin dengan oksigen (oksihemoglobin) (Irawati, 2011).
Menurut Balcerzak et all, (dalam Sudaryanto, 2015) menyatakan bahwa para perokok lebih dari satu bungkus rokok per hari memiliki sel darah merah lebih besar bila dibandingkan dengan yang bukan perokok. Peningkatan massa sel darah merah dijelaskan sebagai respon terhadap jaringan yang kekurangan suplai oksigen akibat dari paparan karbonmonoksida (CO) dan dapat mengurangi afinitas oksigen terhadap hemoglobin, sehingga dapat mempengaruhi kadar saturasi oksigen dalam darah.Saturasi oksigen adalah ukuran seberapa banyak prosentase oksigen yang mampu dibawa oleh hemoglobin.
Perokok umumnya memiliki hematokrit yang tinggi daripada yang bukan perokok. Fakta menyatakan bahwa perokok bernafas pada 250 ml CO dari setiap bungkus rokok. CO mengurangi kemampuan eritrosit untuk membawa oksigen dan tubuh mengkompensasi hal ini dengan memproduksi lebih banyak eritrosit. Hematokrit yang lebih banyak mengakibatkan kekentalan lebih besar, yang dapat mengakibatkan lebih banyak penyakit kardiovaskuler seperti stroke dan penyakit jantung (Cameron dalam Irawati, 2011)
Rokok juga memberikan berbagai pengaruh terhadap kadar hemoglobin melalui beberapa mekanisme. Salah satu diantaranya adalah mempengaruhi desaturasi hemoglobin oleh adanya kandungan karbonmonoksida (CO). Kandungan rokok juga merusak sumsum tulang (pembentuk sel darah merah), nikotin dapat menyempitkan pembuluh darah, menaikkan viskositas darah sehingga dapat menyebabkan penyakit jantung dan konsentrasi tinggi CO dalam darah dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan bahkan kematian. Dalam hal lain kandungan lipid peroksidase (LPO) dalam rokok akan menurunkan status antioksidan eritrosit yang menyebabkan kerusakan pada membran eritrosit sehingga eritrosit akan lebih mudah lisis dan akibatnya akan terjadi penurunan jumlah eritrosit. Oleh karena itu peningkatan radikal bebas secara tidak langsung dapat diketahui dari penurunan jumlah eritrosit. Jika jumlah eritrosit rendah maka jumlah molekul hemoglobin rendah, dan pada akhirnya mempengaruhi massa hemoglobin (Wulandari, 2013).
Faktor yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin (skripsi dan tesis)
Menurut Purwanti dalam Setyawan (2010) menyatakan bahwa jumlah zat besi dalam tubuh salah satunya dipengaruhi oleh penyerapan yang bervariasi. Apabila simpanan zat besi dalam tubuh berkurang maka penyerapan besi akan meningkat. Mekanisme kompensasi homeostatit ini merupakan proteksi terhadap kemungkinan berkembangnya atau berkurangnya zat besi karena konsumsi makanan yang mengandung zat besi yang salah satunya untuk membentuk hemoglobin darah. Selain itu, kadar hemoglobin lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hemostatis tubuh seperti aktivitas atau olahraga, sedangkan penyerapan Fe dari sumber makanan yang dimakan mengikuti kebutuhan tubuh. Ini membuktikan bahwa dalam asupan makanan, perlu adanya zat besi untuk pembentukan hemoglobin.
Menurut Zarianis (2006) bahwa kadar hemoglobin seseorang dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, pola hidup dan komposisi tubuh yang berhubungan dengan status gizi. Secara mendetail maka terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah (Nurdiana, 2015; Kosasi, 2014 dan Alhaq, 2015):
- Perdarahan
Ketika mengalami perdarahan yang cepat, tubuh akan berusaha mengganti cairan plasma dalam waktu satu sampai tiga hari yang akan menyebabkan konsentrasi sel darah merah menjadi rendah. Bila perdarahan tidak berlanjut maka konsentrasi sel darah merah akan kembali ke keadaan normal dalam waktu tiga sampai enam minggu. Pada kehilangan darah yang kronik, tubuh tidak dapat mengabsorbsi cukup besi dari usus untuk membentuk hemoglobin secepat darah yang hilang. Maka terbentuklah sel darah merah yang berukuran jauh lebih kecil dari ukuran normalnya dan mengandung sedikit hemoglobin. Keadaan ini dapat menimbulkan anemia.
- Kelainan pada sel darah merah
Berbagai kelainan sel darah merah banyak didapat secara keturunan. Sel-sel darah merah bersifat rapuh sehingga akan mudah pecah ketika melewati kapiler terutama ketika melalui limpa. Kelainan sel darah merah dapat berupa ukurannya yang sangat kecil dan berbentuk sferis, terdapat kandungan hemoglobin abnormal dalam darah serta reaksi antibodi yang abnormal dalam darah yang menyebabkan rapuhnya sel darah merah. Keadaan-keadaan tersebut dapat menyebabkan keadaan anemia yang parah.
- Usia
Semakin bertambah usia manusia maka akan semakin mengalami penurunan fisilogis semua fungsi organ termasuk penurunan sum-sum tulang yang memproduksi sel darah merah. Selain itu kemampuan sistem pencernaan dalam menyaerap zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh terutama dalam hal ini adalah Fe juga berkurang. Sehingga pada orang tua atau usia lanjut mudah mengalami penurunan kadar hemoglobin jika terjadi perdarahan atau ketika melakukan aktivitas berat. Pada orangtua toleransi terhadap penurunan kadar hemoglobin kurang baik karena adanya efek kekurangan oksigen pada organ jika terjadi gangguan kompensasi kardiovaskular normal (peningkatan curah jantung karena peningkatan volum sekuncup dan takikardia).
- Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah segala gerakan tubuh yang berasal dari otot rangka yang membutuhkan pengeluaran energi. Melalui aktivitas fisik maka terjadi peningkatan aktivitas metabolik yang tinggi, asam yang diproduksi (ion hidrogen, asam laktat) pun semakin banyak sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan pH. pH yang rendah akan mengurangi daya tarik antara oksigen dan hemoglobin. Hal ini menyebabkan hemoglobin melepaskan lebih banyak oksigen sehingga meningkatkan pengiriman oksigen ke otot
- Kecukupan Besi dalam tubuh
Menurut Parakkasi, besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk diekskresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004% berat tubuh (60-70%) terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai feritin di dalam hati, hemosiderin di dalam limfa dan sumsum tulang (Zarianis, 2006).
Berdasarkan uraian di atas maka kadar hemoglobin sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah pola hidup, jenis kelamin, perdarahan, kelainan pada sel darah merah, usia, aktivitas fisik dan kecukupan besi dalam tubuh
Batas Kadar Hemoglobin (skripsi dan tesis)
Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram hemoglobin dalam 100 ml darah, dan tiap gram hemoglobin dapat berikatan maksimal dengan 1,34 ml oksigen yang berarti bahwa rata-rata 15 gram hemoglobin dalam 100 ml darah dapat bergabung dengan hampir 20 ml oksigen bila saturasi hemoglobin 100 persen. Dengan demikian apabila dibedakan antara laki-laki dan perempuan maka kadar hemoglobin normal pada pria adalah 14-17 gram/dl darah dan pada wanita 12,5-16 gram/dl darah (Radiopoetro dalam Wiarto, 2013).
Cut off point kriteria WHO tahun 2005, dinyatakan anemia bila
- Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
- Perempuan dewasa : Hb < 12 g/dl
- Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl
- Anak umur 6-11 tahun : Hb < 11,5 g/dl
- Anak umur 6 bulan-5 tahun : Hb < 11 g/dl
Kadar hemoglobin pada wanita dewasa dapat digolongkan berdasarkan tiga tingkatan yaitu : normal jika kadar Hb ≥ 12,0 g/dl, anemia ringan jika kadar Hb 10,0-11,00 g/dl, dan anemia berat jika kadar Hb ≤ 8,0-9,9 g/dl (Depkes RI, 2003). Selain kriteria WHO (2005), terdapat juga kriteria klinik anemia yang umumnya di pakai di Indonesia, yaitu ; Hb < 10 g/dl, Ht < 30%, Eritrosit < 2,8 juta/mm (Irianti, 2008).
Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia perlu disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus anemia. Klasifikasi derajat anemia yang umumnya dipakai adalah sebagai berikut (Smeltzer, 2002) :
- Ringan sekali : Hb < 10 g/dl – cut off point
- Ringan : Hb < 8 g/dl – 9,9 g/dl
- Sedang : Hb < 6 g/dl – 7,9 g/dl
- Berat : Hb < 6 g/dl
Berdasarkan uraian di atas maka batas normal kadar hemoglobin normal pada pria adalah 14-17
Pengertian Hemoglobin (skripsi dan tesis)
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Hemoglobin merupakan protein berpigmen merah yang terdapat pada eritrosit. Tiap eritrosit mengandung sekitar 640 juta molekul hemoglobin. Berfungsi mengikat dan membawa oksigen dari paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh (Arisman, 2005)
Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hemoglobin adalah kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat didalam eritrosit. Sebuah molekul hemoglobin memiliki empat gugus haeme yang mengandung besi fero dan empat rantai globin (Brooker, 2001). Hal sama ditegaskan oleh Sutejdo (2009) bahwa hemoglobin adalah molekul yang terdiri dari atas empat kandungan haem (berisi zat besi) dan empat rantai globin (alfa, beta, gamma dan delta) berada di dalam eritosit dan bertugas utama untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna darah ditentukan oleh kadar hemoglobin.
Berdasarkan uraian di atas maka hemoglobin adalah senyawa protein berpigmen merah yang terdapat pada eritrosit dan berfungsi sebagai pembawa oksigen pada sel darah merah
Sistem Respiratori Manusia (skripsi dan tesis)
Paru merupakan organ tubuh berfungsi dalam sistem pernapasan. Dimana sistem pernafasan melibatkan Ventilasi yang melibatkan dua proses, yaitu inspirasi (pemasukan udara) dan ekspirasi (pengeluaran udara). Kedua proses ini dapat dicapai apabila terjadi perbedaan tekanan udara. Prinsip pada ventilasi ini ialah udara mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Perbedaan tekanan ini dibantu oleh kinerja otot-otot pernafasan dan dipengaruhi oleh volume dan kapasitas paru, resistensi aliran udara, dan daya kembang atau compliance paru (Guyton dan Hall, 2007). Oksigen digunakan untuk proses metabolisme CO2 yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar (Khairunnisa, 2014).
Proses pernafasan dimulai dari masuknya oksigen melalui mulut atau hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus sampai dengan alveoli. Dari alveoli oksigen berdifusi masuk ke dalam darah dan dibawa oleh eritrosit (sel darah merah). Dalam darah, oksigen dibawa ke jantung kemudian dipompakan oleh jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan digunakan sampai tingkat sel. Oksigen masuk ke dalam sel dan di dalam mitokondria digunakan untuk proses-proses metabolisme yang penting untuk kelangsungan hidup. Sedangkan karbon dioksida berjalan arah sebaliknya dengan oksigen (Guyton dan Hall, 2008).
Tahapan proses pernapasan menurut Price & Wilson (dalam Priyanto, 2010) meliputi:
- Ventilasi
Ventilasi adalah proses keluar masuk udara dari dan ke paru yang membutuhkan koordinasi otot paru dan torak yang elastis dengan persyarafan yang utuh. Adequasi ventilasi paru ditentukan oleh volume paru, resistensi jalan nafas, sifat elasitik atau compliance paru dan kondisi dinding dada. Perbedaan tekanan udara antara intrapleura dengan tekanan atmosfer, pada inspirasi tekanan intrapleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer sehingga udara masuk ke alveoli. Fungsi ventilasi paru tergantung pada:
- bersihan jalan nafas, adanya sumbatan/obstruksi jalan napas;
- sistem saraf pusat dan pusat pernapasan;
- kemampuan pengembangan dan pengempisan (compliance) paru;
- kemampuan otot-otot pernapasan seperti; otot diafragma, otot interkosta eksterna dan interna, otot abdomen.
- Perfusi
Perfusi paru adalah proses pergerakan darah melewati sistem sirkulasi paru untuk dioksigenasi, selanjutnya mengalir dalam arteri pulmonalis dan akan memperfusi paru serta berperan dalam proses pertukaran gas O2 dan CO2 di kapiler paru dan alveoli. c. Difusi Difusi adalah pergerakan gas O2 dan CO2 dari area dengan bertekanan tinggi ke tekanan rendah antara alveolus dengan membran kapiler.
Proses respirasi selanjutnya memasuki tahapan yang disebut sebagai perfusi. Proses perfusi adalah penyebaran darah yang sudah teroksigenasi ke seluruh paru dan jaringan tubuh. Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan dimana oksigen dilepaskan untuk dipergunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah mengangkut 30 sampai 100 kali jumlah oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan membentuk sejumlah besar karbondioksida. Karbondioksida ini masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru. Karbondioksida, seperti oksigen, juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam darah yang meningkatkan transportasi karbondioksida 15-20 kali lipat. Gangguan perfusi terjadi apabila ada emboli pada pembuluh darah (Guyton dan Hall, 2007).
Pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai pada fase anak sampai kira-kira umur 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner) kemudian menurun secara gradual (pelan-pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (KVP=Kapasitas Vital Paksa dan FEV1=Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu.
Dampak Merokok (skripsi dan tesis)
Efek positif merokok yaitu menimbulkan perasaan bahagia karena kandungan nikotin pada tembakau menstimulasi adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang terdapat pada area spesifik di otak (Hahn & Payne, 2003). Marks et al, (2004) mengatakan bahwa nikotin yang dikonsumsi dalam jumlah kecil memiliki efek psikofisiologis, antara lain: menenangkan, mengurangi berat badan, mengurangi perasaan mudah tersinggung, meningkatkan kesiagaan dan memperbaiki fungsi kognitif. Istilah nicotine paradox digunakan oleh Nesbih (Marks, Murray, et al, 2004) untuk menjelaskan adanya pertentangan antara efek fisiologis nikotin sebagai stimulan dan menenangkan yaitu kondisi menenangkan diperoleh saat perokok kembali merokok setelah mengalami gejala withdrawal akibat pengurangan atau penghentian nikotin. Meskipun demikian, efek positif merokok sangat kecil dibandingkan dengan efek negatifnya terhadap kesehatan (Ogden, 2000).
Hahn & Payne (2003) mengatakan bahwa perokok aktif biasanya lebih mudah sakit, menjalani proses pemulihan kesehatan yang lebih lama dan usia hidup yang lebih singkat. Merokok tidak menyebabkan kematian tetapi mendorong munculnya jenis penyakit yang dapat mengakibatkan kematian, antara lain : penyakit kardiovaskuler, kanker, saluran pernapasan, gangguan kehamilan, penurunan kesuburan, gangguan pencernaan, peningkatan tekanan darah, peningkatan prevalensi gondok dan gangguan penglihatan (Sitepoe, 2000). Secara signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan meningkatkan resiko disfungsi ereksi sebesar 50% (Taylor, 2009). Merokok tidak hanya berbahaya bagi perokok tetapi juga bagi orang-orang di sekitar perokok dan lingkungan (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Passive smokers memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami gangguan jantung karena menghirup tar dan nikotin 2 kali lebih banyak, karbonmonoksida 5 kali lebih banyak dan amonia 50 kali lebih banyak (Donatelle & Davis, 2009). Polusi lingkungan yang menyebabkan kematian terbesar adalah karena asap rokok dan dikategorikan sebagai penyebab paling dominan dalam polusi ruangan tertutup karena memberikan polutan berupa gas dan logam-logam berat (Donatelle & Davis, 2009). Gangguan akut dari polusi ruangan akibat rokok adalah bau yang kurang menyenangkan pada pakaian serta menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan. Bagi penderita asma, polusi ruangan akan menstimulasi kambuhnya penyakit asma (Sitepoe, 2010).
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Merokok (skripsi dan tesis)
Perilaku merupukan respon dari berbagai macam faktor baik aspek internal dan eksternal. Perilaku tidak berdiri sendiri akan tetapi berkiatan dengan faktor-faktor lain. Green dan Keuter (dalam Baequni, 2004) menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
- Faktor predisposing
Adalah faktor yang ada dalam individu yang termasuk diantaranya adalah sikap, nilai dan kepercayaan
- Faktor reinforcing
Adalah faktor yang muncul dari konsekuensi positif dari perilaku seperti penerimaan kelompo atau konsekuensi negatif seperti sanksi sosial
- Faktor enabling
Faktor ini adalah kondisi lingkungan yang secara umum memungkinkan suatu perilaku dilakukan atau mengjlangi perilaku tersebut.
Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hampir semua perilaku kesehtan termasuk diantaranya adalah perilaku merokok berasal dari ketiga faktor tersebut. Pada perilaku merokok, pengaruhnya pada individu yang merokok atau berhenti merokok, dalam faktor predisposing factor termasuk diantaranya adalah sikap tentang merokok, kepercayaan dan pengetahuan tentang efek kesehatan akibat merokok. Faktor reinforcing secara sosial termasuk dukungan sosial, pengaruh kelompok dan iklan rokok. Sedngkan pada faktor enabling termasuk kesediaan dan harga rokok. Hal inilah yang menimbulkan adanya perilaku merokok pada individu.
Tipe-tipe Perilaku Merokok (skripsi dan tesis)
Sedangkan menurut Mu’tadin, (2002) perilaku merokok berdasarkan intensitas merokok membagi jumlah rokok yang dihisapnya setiap hari, yaitu:
- Perokok sangat berat adalah perokok yang mengkomsumsi rokok sangat sering yaitu merokok lebih 31 batang tiap harinya dengan selang merokok lima menit setelah bangun tidur pagi hari.
- Perokok berat adalah perokok yang menghabiskan 21-30 batang rokok setiap hari dengan selang waktu merokok berkisar 6-30 menit setelah bangun tidur pagi hari.
- Perokok sedang adalah perokok yang mengkomsumsi rokok cukup yaitu 11-21 batang per hari dengan selang waktu 31-60 menit mulai bangun tidur pagi hari.
- Perokok ringan adalah perokok yang mengkomsumsi rokok jarang yaitu sekitar 10 batang per hari dengan selang waktu 60 menit dari bangun tidur pagi.
Salawati (2006) mengungkapkan empat tahap dalam perilaku merokok, yaitu :
- Tahap Preparatory
Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan, sehingga menimbulkan niat untuk merokok.
- Tahap Initiation
Tahap perintisan merokok, yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
- Tahap Becoming A Smoker
Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak empat batang per hari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
- Tahap Maintaining Of Smoking
Pada tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek yang menyenangkan.
Dalam penelitian ini maka kuantitas rokok di dasarkan pada pernyataan Mu’tadin (2002) yaitu (a) lebih 31 batang per hari (b) 21-30 batang rokok per hari (c) 11-21 batang per hari dan (d) 10 batang per hari.
Perilaku Merokok Aktif (skripsi dan tesis)
Perilaku merokok adalah aktivitas seseorang yang merupakan respons orang tersebut terhadap rangsangan dari luar yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk merokok dan dapat diamati secara langsung (Walgito, 2004). Menurut Oskamp (2004) bahwa perilaku merokok adalah kegiatan menghisap asap tembakau yang telah menjadi cerutu kemudian disulut api. Tembakau berasal dari tanaman nicotiana tabacum. Menurutnya ada dua tipe merokok, pertama adalah menghisap rokok secara langsung yang disebut perokok aktif, dan yang kedua mereka yang secara tidak langsung menghisap rokok, namun turut menghisap asap rokok disebut perokok pasif. Secara khusus pengertian dari perlaku perokok aktif adalah individu yang yang merokok dan langsung menghisap rokok serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun lingkungan sekitar (Bustan, 2010).
Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Munculnya perilaku dari organisme ini dipengaruhi oleh faktor stimulus yang diterima, baik stimulus internal maupun stimulus eksternal. Sari dkk (2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok.
Perilaku merokok disebut sebagai suatu kebiasaan atau ketagihan, tetapi dewasa ini merokok disebut sebagai tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai perilaku penggunaan tembakau yang menetap, biasanya lebih dari setengah bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres yang disebabkan oleh kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang. Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari (Komalasari & Helmi, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas maka perokok aktif adalah individu yang melakukan kegiatan menghisap asap tembakau dan langsung menghisap rokok.
Diagnosa Keperawatan dan Rencana Keperawatan pada Pasien Halusinasi (skripsi dan tesis)
Diagnosa yang muncul pada pasien dengan halusinasi (Nurjannah, 2004) adalah gangguan persepsi sensori (penglihatan, pendengaran, penghidu, pengecap dan peraba). Halusinasi merupakan kondisi dimana individu mengalami perubahan dalam jumlah atau pola dari stimulus yang dikaitkan dengan penurunan, berlebihan, distorsi atau kerusakan respon terhadap stimulasi (NANDA, 2007).
Batasan karakteristik halusinasi meliputi: konsentrasi kurang, mudah tersinggung, gelisah, disorientasi waktu, tempat dan orang lain, penyimpangan penglihatan, penyimpangan pendengaran, adanya perubahan pola perilaku dan perubahan pola komunikasi. Menurut Nurjannah (2004) terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan halusinasi terdiri dari: perubahan persepsi sensori, adanya rangsangan lingkungan yang berlebihan, ketidakseimbangan biokimia diotak, rangsangan lingkungan kurang dan stres. Gejala-gejala diatas juga dapat diatasi dengan NIC dan intervensinya sehingga sesuai dengan NOC yang telah ditentukan.
Adapun Nursing Outcome yang berhubungan dengan visual dan audiotory adalah sebagai berikut: gambaran diri, orientasi kognitif, fungsi sensori, kemampuan untuk berkomunikasi, perubahan pola pikir, perubahan persepsi pendengaran. Hal yang ingin dicapai setelah dilakukan tindakan keperawatan kepada pasien dengan halusinasi antara lain adalah pasien menunjukan pemahaman secara verbal dan non verbal, menunjukan ekspresi wajah yang rileks, menjelaskan rencana modifikasi gaya hidup untuk mengakomodasi kerusakan visual dan pendengaran, bebas dari bahaya fisik, memelihara kontak dengan orang lain. Oleh karena itu perlu adanya intervensi keperawatan.
Intervensi keperawatan yang utama pada pasien dengan halusinasi adalah dengan menggunakan NIC: Hallucination Management (pengelolaan halusinasi) yang terdiri dari: bangun hubungan saling percaya dengan pasien, monitor dan atur tingkat aktivitas dan stimulasi dari lingkungan, menjaga lingkungan yang aman, catat tingkah laku pasien yang mengindikasikan halusinasi, atur konsistensi pemberian perawatan sehari-hari, dukung komuninasi yang jelas dan terbuka, sediakan kesempatan kepada pasien untuk mendiskusikan halusinasi.
Dalam proses keperawatan adalah suatu pendekatan yang teratur dan sistematis dalam mengidentifikasikan masalah klien, membuat rencana, melaksanakan dan menilai daya guna dalam pemecahan masalah klien. Hal ini termasuk diantaranya adalah proses pengkajian. Proses pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis untuk mengumpulkan data, menganalisa dan menentukan diagnosa keperawatan (Depkes RI, 1991).
Pengkajian pasien dengan halusinasi ada 4 poin pokok pengkajian yang dilakukan sebagai berikut:
- Isi halusinasi yang dialami klien
Hal ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar atau bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, bila halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi bau atau hirup, rasa apa yang dikecap, untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa yang dipermukaan tubuh bila halusinasi perabaan. Informasi ini penting untuk menentukan menetukan jenis halusinasi dengan isi halusinasi.
- Waktu dan frekuensi halusinasi
Hal ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Bila memungkinkan klien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut. Imformasi ini penting untuk mengidentifikasikan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.
- Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang di alami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga dapat mengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
- Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien mampu mengontrol stimulasi halusinasi atau sudah tidak berdaya terhadap stimulasi
Namun dalam pengkajian pasien dengan tingkatan di mana komunikasi tidak dapat lagi dilaksanakan maka dapat dilakukan penggalian tambahan informasi dari keluarga atau perawat yang sudah lama ikut merawatnya. Penggalian informasi dari keluarga biasanya dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan kepercayaan. Oleh karena itu baik pengkajian pasien maupun dari keluarga bersifat subjektif atau sangat tergantung pendapat secara individual.
Jenis Halusinasi (skripsi dan tesis)
Berdasarkan tingkat proses halusinasi menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi empat yaitu:
- Tingkat I: Comforting
Halusinasi pada tingkat I ini ditandai dengan adanya ansietas/kecemasan. Individu yang dapat mengelola kecemasan akan mampu mengontrol pikiran dan pengalaman sensorinya. Perilaku pasien yang dapat diobservasi pada tingkat halusinasi 1 ini adalah: pasien tampak tersenyum lebar; menyeringai tetapi tampak tidak tepat; menggerakkan bibir tanpa membuat suara; pergerakkan mata yang cepat; respon verbal yang lambat seperti asyik, serta diam dan tampak asyik.
- Tingkat II: Condemming
Seseorang yang mengalami halusinasi tingkat II mengalami kecemasan tingkat berat. Tingkat halusinasi ini juga bisa ditandai dengan pengalaman halusinasi yang bersifat menjijikan atau menakutkan
- Tingkat II: Condemming
Seseorang yang mengalami halusinasi tingkat II mengalami kecemasan tingkat berat. Tingkat halusinasi ini juga bisa ditandai dengan pengalaman halusinasi yang bersifat menjijikan atau menakutkan.
- Tingkat IV: Conquering
Halusinasi pada tingkat IV ini ditandai dengan kondisi dimana seseorang menjadi panik, dan ketakutan. Isi halusinasi pada tingkat IV ini sudah mengancam jika individu yang berhalusinasi tersebut tidak mengikuti perintah dari halusinasinya.
Menurut Stuart dan Laraia cit. Nurjannah (2008), mengkategorikan jenis indera dimana halusinasi berpengaruh terdapat beberapa macam yaitu :
- Pendengaran (auditory)
Sesuai dengan namanya yaitu pendengaran, maka jenis halusinasi ini terkait dengan kondisi dimana pasien sering mendengar suara-suara dan pasien meyakini bahwa suara tersebut tampak nyata. Isi dari suara tersebut dapat berupa suara berbisik atau suara-suara yang berbicara tentang pasien, suara perbincangan beberapa orang, suara yang membicarakan apa yang pasien pikirkan, suara yang memerintah dan kadang suara tersebut memerintahkan pasien untuk melakukan sesuatu.
- Penglihatan (visual)
Halusinasi penglihatan yang dialami pasien dikaitkan dengan kondisi dimana pasien mungkin melihat gambaran seperti bentuk lintasan cahaya, gambaran geometris, gambaran kartun, atau pandangan yang terperinci atau komplek. Pandangan tersebut bisa menyenangkan atau menakutkan bagi pasien
- Penciuman (olfactory)
Jenis halusinasi ini, pasien mungkin mencium bau busuk dan, sangat menjijikan, bau tengik seperti darah atau air kencing, tetapi kadang-kadang bau yang dihirup pasien adalah bau yang menyenangkan. Halusinasi penciuman ini umumnya berkaitan dengan stroke, tumor, atau kejang.
- Pengecap (gustatory)
Pasien merasa halusinasi ini pada indra pengecapan dimana pasien merasa mengecap sesuatu yang busuk, yang menjijikan seperti kotoran manusia, rasa tengik seperti darah atau air kencing.
- Peraba (tactile)
Pasien yang mengalami halusinasi peraba ini, merasakan tidak nyaman atau nyeri tanpa adanya rangsangan yang bisa diidentifikasi. Contoh dari halusinasi ini adalah adanya perasaan bahwa pasien merasakan sensasi listrik datang dari tanah, obyek mati atau orang lain.
- Cenesthetic
Halusinasi ini adalah halusinasi dimana pasien merasakan fungsi tubuhnya sendiri misalkan pasien merasakan darahnya mengalir melalui pembuluh darah, merasakan bagaimana makanan dicerna dan merasakan bagaimana pembentukan air kencing.
- Kinestetic
Halusinasi jenis ini terkait dengan kondisi dimana pasien merasakan tubuhnya bergerak pada saat berdiam atau sebaliknya merasakan tubuhnya diam saat dia bergerak.
Halusinasi (skripsi dan tesis)
Halusinasi adalah kesalahan persepsi yang berasal dari lima panca indera (pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap, penghidu) (Stuart & Laraia, 2001 cit. Nurjannah, 2008). Menurut Maramis (1990), halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasar mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halusinasi adalah kesalahan persepsi yang timbul akibat tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasar mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik
Tipe-tipe Klinik Skizofrenia (skripsi dan tesis)
Menurut Hawari (2006) Skizofrenia dibagi dalam beberapa tipe, yaitu:
- Skizofrenia tipe hebefrenik
Seseorang yang menderita tipe ini disebut juga tipe disorganisasi atau kacau balau yang ditandai dengan gejala-gejala antara lain sebagai berikut:
- Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, dimana jalan pikiran seorang penderita ini tidak dapat dimengerti. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan oleh pasien dimana satu kata dengan kata lain tidak ada hubungannya.
- Dalam perasaan (mood, affect) yang datar tanpa ekspresi serta adanya ketidakserasian (incongruous) atau pasien tampak seperti ketolol-tololan.
- Perilaku kekanak-kanakan, senyum yang menunjukan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
- Waham (delusion) tidak sistematik (terpecah-pecah) dan tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan.
- Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi serta temanya tidak terorganinisir sebagai satu kesatuan.
- Perilaku aneh misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan aneh, berkelakar, mengucapkan kalimat berulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
- Tipe katatonik.
Skizofrenia tipe ini dibedakan dengan tipe skizofrenia lain berdasarkan gejala-gejala psikomotor sebagai berikut:
- Stupor katatonik yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau aktivitas spontan sehingga nampak seperti “patung” atau diam membisu (mute).
- Negativisme katatonik adalah suatu perlawanan yang tidak berdasarkan motif yang jelas, terhadap semua perintah atau upaya yang dilakukan untuk menggerakan dirinya.
- Kekakuan (rigidity) katatonik yaitu kondisi dimana pasien yang mempertahankan suatu sikap kaku terhadap semua upaya yang dilakukan untuk menggerakan dirinya.
- Kegaduhan katatonik adalah kondisi kegaduhan aktivitas motorik yang tidak memiliki tujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
- Sikap tubuh katatonik adalah sikap tubuh yang tidak wajar dan tampak aneh.
- Tipe paranoid
Perilaku utama pada tipe ini adalah adanya rasa curiga yang berlebihan dan irasional. Manifestasi klinisnya dari skizofrenia tipe paranoid meliputi :
- Waham (delusion) kejar atau waham kebesaran, misalnya kelahiran luar biasa (exalted birth), misi atau utusan sebagai penyelamat bangsa, dunia atau agama, misi kenabian atau merasa tubuhnya bisa berubah. Waham cemburu sering kali juga ditemukan.
- Halusinasi yang mengandung isi kejaran atau kebesaran.
- Gangguan dalam perasaan dan perilaku, rasa kecemasan yang tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar, berdebat dan tidak kekerasan. Sering kali ditemukan kebingungan pasien mengenai identitas jenis kelamin dirinya (gender identity) ketakutan bahwa dirinya diduga sebagai seorang homoseksual atau merasa dirinya didekati orang-orang homoseksual.
- Tipe residual.
Tipe ini merupakan sisa-sisa dari gejala Skizofrenia yang tidak begitu menonjol. Gejala yang tampak pada tipe ini antara lain adalah adanya alam perasaan yang tumpul dan datar serta tidak serasi (inappropriate), menarik diri dari lingkungan sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional atau adanya pelonggaran asosiasi pikiran. Meskipun gejala-gejala Skizofrenia tidak aktif atau tidak menampakan gejala-gejala positif Skizofrenia, walaupun dalam kondisi seperti ini pihak keluarga hendaknya tetap membawa pasien untuk berobat.
- Tipe Skizofrenia tak tergolongkan.
Tipe skizofrenia ini tak dapat digolongkan dalam tipe-tipe skizofrenia lainnya. Gejala klinis dari skizofrenia ini adalah terdapatnya waham, halusinasi, inkoherensi atau tingkah laku kacau.
- Golongan Skizofrenia lainnya.
Selain gambaran gejala klinis dari Skizofrenia yang jelas dengan pengelompokan yang telah disebutkan diatas masih terdapat pengelompokan tipe lainnya seperti: skizofrenia simpleks, ganggguan skizofreniform, skizofrenia laten dan gangguan skizoafektif.
- Gejala-Gejala Skizofrenia
Menurut Hawari (2006) yaitu ada 2 gejala yang tampak pada penderita skizofrenia seperti dibawah ini:
- Gejala positif
Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut:
- delusi atau waham yaitu suatu keyakinan yang irrasional dan penderita menyakini kebenarannya,
- Halusinasi yaitu pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus),
- Kekacauan alam pikir yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya, misalnya bicara kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
- Gaduh gelisah, tidak dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara dengan semangat dan rasa gembira berlebihan.
- Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu, serba sehat dan sejenisnya.
- Pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada seseorang yang mengancam dirinya.
- Menyimpan rasa permusuhan.
- Gejala negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut gejala negatif karena merupakan kondisi kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Gejala negatif ini di dalamnya termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia) (Hawari, 2009). Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia secara rinci adalah sebagai berikut : Alam perasaan (afek) tumpul dan datar, gambarannya dapat terlihat dari wajah pasien yang tidak menunjukan ekspresi, Kontak emosional amat miskin sukar diajak bicara, pendiam, pasif dan apatis, menarik diri dari lingkungan sosial, sulit dalam berpikir abstrak, tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (avolition) tidak ada inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serba malas (kehilangan nafsu)
Etiologi Skizofrenia (skripsi dan tesis)
Menurut Stuart (2007) etiologi skizofrenia dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
- Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Faktor predisposisi ini terdiri dari:
- Biologi
Berdasarkan beberapa penelitian yang terkait dengan pencitraan otak dan penelitian mengenai biokimia dari otak, dapat dipahami bahwa kondisi abnormalitas otak mungkin akan menyebabkan respon neurobiologis yang maladaftif. Penelitian menunjukkan bahwa skizofrenia terjadi karena keterlibatan lesi pada area frontal, temporal dan limbic, sedangkan telah ditemukan juga bahwa beberapa zat kimia otak mempunyai peran pada penyakit Skizofrenia (Stuart dan Sundeen, 1995).
- Psikologi
Faktor predisposisi lain terjadinya Skizofrenia adalah faktor psikologi. Hanya saja teori psikodinamika terjadinya respons neurobiologis yang maladaftif belum cukup didukung oleh penelitian-penelitian yang ada. Meskipun begitu, teori psikologis terdahulu menempatkan keluarga sebagai penyebab terjadinya gangguan ini. Penempatan keluarga sebagai penyebab terjadinya Skizofrenia ini menyebabkan kepercayaan keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa professional menurun.
- Psikososial
Faktor predisposisi ketiga dari terjadinya skizofrenia adalah faktor psikososial. Stres psikososial adalah setiap kejadian atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan individu, sehingga individu tersebut terpaksa mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) untuk menanggulangi stresor (tekanan mental) yang timbul.
- Faktor presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk mengatasi ancaman atau tuntutan. Adanya rangsangan lingkungan yang sering yaitu partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau isolasi sering dianggap sebagai pencetus dari terjadinya skizofrenia.
Faktor presipitasi meliputi :
- Biologi
Menurut dari beberapa hasil penelitian pencitraan otak mulai menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Kerusakan pada otak misalnya: terdapat lesi pada area frontal, temporal dan pada system limbik serta adanya ketidakseimbangan kimiawi pada pada otak.
- Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor presipitasi yang kedua dimana ambang toleransi terhadap stress berinteraksi dengan stresor lingkungan dan interaksi ini yang akan menentukan bagaimana gangguan perilaku terjadi.
- Pemicu gejala
Presipitasi merupakan stresor dan stimulus yang sering menimbulkan episode baru timbulnya suatu penyakit. Pemicu yang biasanya terdapat pada respons neurobiologis maladaptif ini adalah pemicu yang berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap, dan perilaku individu.
- Penilaian terhadap stresor
Penilaian terhadap stresor dijelaskan melalui model diathesis stress yang menyebutkan bahwa gejala skizofrenia muncul berdasarkan hubungan antara beratnya stress yang dialami individu dan ambang toleransi terhadap internal stress. Model ini penting karena mengintegrasikan faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya dalam menjelaskan perkembangan terjadinya skizofrenia (Stuart, 2006).
- Sumber koping
Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi yang mengancam baik fisik maupun psikologik. Seseorang yang mengalami stress atau ketegangan psikologis dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan, agar dapat mengurangi stress dan kemampuan itulah yang disebut dengan koping. Sumber koping dapat diartikan sebagai semua kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan yang dipergunakan untuk mengurangi stress. Jenis-jenis koping misalnya: kompensasi, mengingkari, mengalihkan proyeksi, rasionalisasi, regresi dan sebagainya.
Pengertian (skripsi dan tesis)
Skizofrenia menggambarkan suatu kondisi psikotik yang kadang-kadang ditandai dengan apatis, tidak mempunyai hasrat, asosial, afek tumpul, dan alogia. Klien mengalami gangguan-gangguan pada pikiran, persepsi, dan perilaku. Pengalaman subjektif dari pikiran yang terganggu dimanifestasikan dalam gangguan berbentuk konsep yang sewaktu-waktu dapat mengarah kepada keadaan salah mengartikan kenyataan, delusi (biasanya delusi pengaruh dan ide referensi), dan halusinasi. Perubahan alam perasaan pada kondisi skizofrenia ini antara lain adalah pasien mengalami ambivalen dalam bersikap, perasaan konstriksi atau tidak sesuai, dan hilangnya rasa empati pada orang lain. Perilaku pada kondisi skizophrenia ini dapat berupa menarik diri, regresif, atau aneh (Shader, 1994).
Dalam pengertian lain maka disebutkan bahwa Skizofrenia merupakan penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkrit, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2007). Menurut Rusdi Maslim, (1997) Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya.
Pelaksanaan Senam Diabetes (skripsi dan tesis)
Senam ergonomis merupakan senam yang diilhami dari gerakan shalat yang mengandung fungsi autoregulasi dan adaptasi tubuh manusia dengan otak sebagai pusat pengendali. Hasil penelitian juga menunjukkan, mereka yang menerapkan senam ergonomis secara rutin umumnya lebih tenang secara psikis.
Dimana senam ergonomis dilakukan tiga kali dalam sepekan dengan durasi waktu 15 menit. Terdapat lima gerakan utama dalam senam ergonomis ini yang memiliki manfaat pada setiap gerakannya. Pada gerakan pertama, seseorang berdiri tegak pandangan lurus kedepan, tubuh rileks, tangan di depan dada dengan jari-jari sedikit meregang. “Dianjurkan bernafas dalam-dalam pada gerakan ini sehingga mereka dapat memperlancar aliran darah yang dapat mengurangi beban psikis sehingga terasa ringan dalam tubuh.
Berikut merupakan uraian dari gerakan senam diabetes yaitu:
- Pemanasan 1
Berdiri di tempat. Angkat kedua tangan ke atas selurus bahu. Kedua tangan bertautan. Lakukan bergantian dengan posisi kedua tangan di depan tubuh.
- Pemanasan 2
Berdiri di tempat. Angkat kedua tangan ke depan tubuh hingga lurus bahu. Kemudian, gerakkan kedua jari tangan seperti hendak meremas. Lalu, buka lebar. Lakukan secara bergantian, namun tangan diangkat ke kanan-kiri tubuh hingga lurus bahu.
- Inti 1
Posisi berdiri tegap. Kaki kanan maju selangkah ke depan. Kaki kiri tetap di tempat. Tangan kanan diangkat ke kanan tubuh selurus bahu. Sedangkan tangan kiri ditekuk hingga telapak tangan mendekati dada. Lakukan secara bergantian.
- Inti 2
Posisi berdiri tegap. Kaki kanan diangkat hingga paha dan betis bentuk sudut 90 derajat. Kaki kiri tetap di tempat. Tangan kanan diangkat ke kanan tubuh selurus bahu. Sedangkan tangan kiri ditekuk hingga telapak tangan mendekati dada. Lakukan secara bergantian.
- Pendinginan 1
Kaki kanan agak menekuk, kaki kiri lurus. Tangan kiri lurus ke depan selurus bahu. Tangan kanan ditekuk ke dalam. Lakukan secara bergantian.
- Pendinginan 2
Posisi kaki bentuk huruf V terbalik. Kedua tangan direntangkan ke atas dengan membentuk huruf V.
Pengertian Senam Diabetes (skripsi dan tesis)
Pengelolaan Diabetes Melitus meliputi 4 pilar dan aktivitas fisik merupakan salah satu dari empat pilar tersebut. Kegiatan fisik diabetasi (tipe 1 maupun tipe 2), akan mengurangi resiko kejadian kardiovaskuler dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat. Pengendalian glukosa darah salah satunya dengan olahraga, diantaranya senam. Senam diabetes yang digunakan senam aerobik yang bisa meningkatkan kesegaran jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan jantung dan sistem peredaran darah, sistem respirasi, daya tahan otot-otot dan sendi. Senam bagi diabetes dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif, sehingga secara langsung dapat menurunkan glukosa darah.
Insulin Insulin (skripsi dan tesis)
Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang dihubungkan oleh jembatan sulfida (Ganong,2003). Secara klinik, defisiensi (kekurangan) insulin mengakibatkan hiperglikemia yaitu kadar gula darah yang tinggi, turunnya berat badan, lelah dan poliurial (sering buang air kecil) disertai rasa haus, lapar, kulit kering, mulut dan lidah kering. Akibatnya juga ketosis serta asidosis dan kecepatan nafas bertambah.
Keadaan sebaliknya ialah hipoglikemia atau kadar gula darah rendah, dapat terjadi sebagai akibat kelebihan dosis insulin atau karena pasien tidak makan makanan sesudah suntikan insulin sehigga kelebihan insulin dan darahnya menyebabkan koma hipoglikemia (Pearce, 2008).
Beberapa efek hipoglikemik insulin diantaranya insulin mempermudah glukosa masuk ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter glukosa di membran sel. Dalam jaringan-jaringan ini kecepatan fosforilasi glukosa, setelah masuk ke dalam sel diatur oleh hormon lain. Hormon pertumbuhan dalam kortisol keduanya menghambat fosforilasi pada jaringan tertentu. Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati tetapi tidak melalui peningkatan jumlah transporter GLUT 4 di membran sel. Insulin menginduksi heksokinase dan hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa sehingga konsentrasi glukosa bebas dalam intrasel tetap rendah serta memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel (Ganong, 2003).
Kerja insulin berupa :
- Menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan.
- Menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif.
- Menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan mencegah penguraian glikogen.
- Menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa (Guyton, 1994).
Insulin diklasifikasikan menjadi beberapa macam :
- Insulin dengan masa kerja singkat, menimbulkan pengaruh maksimal dalam waktu 2-6 jam sesudah disuntikkan diberikan pada pengobatan dekompensasi diabetik akut dan pasien dengan ketoasidosis diabetik. Digunakan untuk pelengkap insulin masa kerja panjang.
- Insulin dengan masa kerja sedang mencapai kadar puncaknya dalam waktu 14-20 jam setelah pemberian digunakan untuk mengendalikan pasien diabetes sehari-hari.
- Insulin dengan masa kerja panjang mencapai masa puncaknya dalam waktu 18-24 jam setelah pemberian dan jarang dipakai untuk pengobatan rutin pasien diabetes.
Diagnosa Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)
Penyakit DM ditandai gejala 3P, yaitu poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan), yang dapat di jelaskan sebagai berikut. Di samping naiknya kadar gula darah, gejala kencing manis bercirikan adanya “gula” dalam kemih karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya timbul rasa haus, kehilangan energi dan turunnya berat badan serta rasa letih. Tubuh mulai membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energinya, yang disertai pembentukan zat-zat perombakan, antara lain aseton, asam hidroksibutirat, dan diasetat, yang membuat darah menjadi asam. Keadaan ini disebut ketoasidosis, ketoasidosis sangat berbahaya karena dapat menyebabkan pingsan (coma diabeticum). Tubuh penderita menjadi sangat kurus dan nafas berbau aseton (Tjay dan Rahardja, 2002).
Pengukuran hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) adalah cara yang paling akurat untuk menentukan tingkat ketinggian gula darah selama dua sampai tiga bulan terakhir. Hemoglobin adalah bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen. Salah satu jenis dari Hb adalah HbA, dan HbA1c merupakan subtipe spesifik dari HbA. Semakin tinggi kadar gula darah, akan semakin cepat HbA1c terbentuk, yang mengakibatkan tingginya kadar HbA1c. HbA1c ini juga merupakan pemeriksaan tunggal terbaik untuk menilai resiko terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya kadar gula darah (Mag, 2004). Selain pemeriksaan HbA1c, untuk menegakkan diagnosis bagi penderita DM biasanya dilakukan pengukuran kadar gula darah (KGD), dan KGD yang paling tepat menunjukkan keadaan sebenarnya adalah KGD puasa (Oki dan Isley, 2002).
Kriteria diagnosis diabetes menurut PERKENI 2002 adalah memenuhi satu dari tiga kriteria berikut :
- Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l).
Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
- Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/l).
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
- Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO (tes toleransi glukosa oral) ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l).
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.
Klasifikasi Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)
Secara umum diabetes dapat dibagi atas dua jenis yaitu :
IDDM (Insulin Dibetes Mellitus), juga dikenal sebagai diabetes tipe 1.
Penderita diabetes ini yaitu diabetes yang tergantung insulin. Penyakit pada tipe I ini dikarenakan kurang menggetahkan hormon insulin atau hormon ini tidak aktif mengubah gula yang berkadar tingggi dalam darah menjadi glikogen di dalam hati dan otot. IDDM disebut juga Juvenile Diabetes.
Penyakit ini timbul pada masa remaja dan teori baru mengatakan penyakit ini erat berkaitan dengan sistem HLA (Human Leukocyte Antigen) atau sistem kecocokan jaringan. Pada golongan ini terbentuk reaksi auto anti bodi terhadap sel β pulau Langerhans pankreas, sehingga rusak dan hancur dan insulin tidak dapat diproduksi di dalam tubuh (Yatim, 2005).
Pada IDDM faktor lingkungan dan predisposisi genetika berperan. Penyakit ini timbul sebelum usia 40 tahun walaupun dapat timbul pada usia berapa saja dan ditandai oleh hilangnya insulin dari darah. Penyakit ini berkaitan dengan kegemukan dan sering dipersulit oleh ketosis dan asidosis (Ganong, 2003)
NIDDM (Non Insulin Dependent Dibetes Mellitus), dikenal diabetes tipe II.
NIDDM biasanya timbul setelah usia 40 tahun dan tidak berkaitan dengan hilangnya seluruh kemampuan mengsekresi insulin. Awalnya penyakit perlahan jarang berkaitan dengan ketosis dan biasanya memperlihatkan morfologi dan kandungan insulin sel β yang normal apabila sel β belum mengalami kelelahan. Satu tanda utama penyakit ini adalah gangguan sekresi insulin. Yang lain adalah resistansi insulin, terutama pada otot rangka dan ketiga ada peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati.
Terdapat respon yang berlebihan, timbul lambat tapi berkepanjangan terhadap glukosa yang terjadi akibat ketidak kuatan respon sel β awal yang tidak menekankan pengeluaran glukosa oleh hati.
Disamping itu ada jenis Diabetes Mellitus yang digolongkan impared glucose tolerance yaitu golongan penderita dengan gangguan toleransi terhadap pemakaian karbohidrat. Mereka dianggap penderita dengan kasus yang ringan yaitu dalam keadaan mengambang antara sehat dan sakit (borderline) yang dapat berubah menjadi diabetes sejati.
