Istilah “Supply Chain Risk Management”, yang akan disingkat menjadi SCRM
dalam penelitian ini, masih relatif baru. Istilah ini pertama muncul dalam literatur pada
tahun 1982.Ini pada awalnya digunakan dalam konteks logistik, danmenekankan
pengurangan persediaan dalam organisasi. Konsep ini, secara umum, masih baru, dan
belum diketahui banyak perusahaan (Blos et al. 2009). SCRM adalah multidisiplin yang
sangat luas, dandalam banyak hal masih dalam proses pendefinisian dalam literatur ilmiah
(Smith dan Buddress, 2005). Tujuan SCRM adalah untuk mengidentifikasi potensi sumber
risiko dan mengambil tindakan yang tepat untuk menghindari atau membendung
kerentanan rantai pasokan (Narasimhan dan Talluri, 2009).
Dalam rangka memperkuat struktur rantai pasokan, proses, dan jaringan, potensi
yang memadai untuk manajemen risiko perlu dibangun dan dimanfaatkan (Hollstein &
Himpel, 2013). Bencanaalam-, seperti kasus Fukushima, menggambarkan betapa
pentingnya manajemen risiko. Titik tolak penting terletak pada fleksibilitas proses.
Penyediaan jaringan yang lebih baik dan pemantauan melalui infrastruktur teknologi dan
komunikasi akan semakin diperlukan.Dalam hal perbaikan SCRM, standardisasi,
fleksibilitas, dan redundansi biasanya harus seimbang (Hollstein & Himpel, 2013).
Sedangkan menurut Mark Strom, et. al. (2017) ada tiga hal yang perlu diperhatikan
dalam menerapkan SCRM antara lain;
1. Perencanaan; Memposisioningbuffer redundansi secara umum, berdasarkan
rencana lintas fungsional yang umum. Melakukan Proses tata kelola risiko yang
mendasar. Adanya visibilitas terhadap perubahan dan pola yang muncul di luar
domain perusahaan.
2. Proaktif; Secara proaktif merespons mekanisme yang digunakan. Merencanakan
kesinambungan bisnis, melakukan manajemen resiko secara kuantitatif.
Universitas Kristen Petra
3. Fleksibel; adanya fleksibilitas dalam investasi (proses, produk dan kapasitas).
Mengelola tekanan dari mitra kerja yang lemah dalam supply chain. Melakukan
risk strategy segmentation.