Motivasi kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendorong seseorang melakukan sesuatu. Menurut Komang Ardana dkk. (2017: 31), faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang adalah sebagai berikut:
Karakteristik individu, antara lain: minat, sikap terhadap diri sendiri, pekerjaan dan situasi pekerjaan, kebutuhan individual kemampuan atau kompetensi, pengetahuan tentang pekerjaan, emosi, suasana hati, perasaan keyakinan dan nilai-nilai
Faktor-faktor pekerjaan, antara lain: (a) Faktor lingkungan pekerjaan, yaitu: gaji yang diterima, kebijakan-kebijakan sekolah, supervisi, hubungan antar manusia, kondisi pekerjaan, budaya organisasi; (b) Faktor dalam pekerjaan, yaitu: sifat pekerjaan, rancangan tugas atau pekerjaan, pemberian pengakuan terhadap prestasi, tingkat atau besarnya tanggung jawab yang diberikan, adanya perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, adanya kepuasan dari pekerjaan
Menurut Robin (2010:120) karakteristik pekerjaan terdiri dari teknik-teknik sebagai berikut:
Mengkombinasikan tugas-tugas
Langkah yang dilakukan adalah mengumpulkan tugas-tugas yang telah terbagi untuk membetuk modul pekerjaan yang lebih besar (pemekaran pekerjaan), untuk meningkatkan keragaman keterampilan dan identitas tugas.
Menciptakan unit kerja yang alami
Mendesain tugas-tugas yang membentuk satu kesatuan yang dapat diidentifikasi dan bermakna untuk meningkatkan “kepemilikan” pegawai terhadap pekerjaan.
Membangun hubungan dengan klien
Bila memungkinkan, membangun hubungan langsung antara pekerja dengan klien merek untuk meningkatkan keragaman keterampilan, otonomi, dan umpan balik.
Memperluas pekerjaan secara vertical
Perluasan secara vertical memberikan tanggungjawab dan kendali kepada pegawai hala-hal yang dilakukan oleh manajer sehingga dapat meningkatkan otonomi pegawai.
Membuka saluran umpan balik
Umpan balik yang langsung memungkinkan pegawai mengetahui seberapa baik mereka melaksanakan pekerjaan mereka dan apakah kinerja pegawai membaik.
Pekerjaan pada dasarnya adalah pekerjaan adalah sekelompok posisi yang agak serupa dalam hal elemen-elemen pekerjaannya, tugas-tugas dan tanggung jawab-tanggung jawab yang dicakup oleh deskripsi pekerjaan yang sama (Simamora, 2015). Karakteristik pekerjaan didefinisikan sebagai sifat tugas yang meliputi besarnya tanggung-jawab dan macam-macam tugas yang diemban karyawan (Porter, 2015). Karakteristik pekerjaan merupakan sifat tugas karyawan yang meliputi macam tugas, tanggung jawab, dan tingkat kepuasan yang diperoleh dari karakteristik pekerjaan itu sendiri (Stoner dan Freeman dalam Sumarsono, 2014). Selanjutnya menurut Jatmiko (2011) Karakteristik pekerjaan adalah menunjukkan seberapa besar pengambilan keputusan yang dibuat oleh karyawan kepada pekerjaannya, dan seberapa banyak tugas yang harus dirampungkan oleh karyawan. Karakteristik pekerjaan merupakan dasar bagi produktivitas organisasi dan kepuasan kerja karyawan yang memainkan peranan penting dalam kesuksesan dan kelangsungan hidup organisasi. Dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, pekerjaan yang dirancang dengan baik akan mampu menarik dan mempertahankan tenaga kerja dan memberikan motivasi untuk menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas. Simamora (2014) mengatakan bahwa karakteristik pekerjaan merupakan suatu pendekatan terhadap pemerkayaan pekerjaan. Program pemerkayaan pekerjaan berusaha merancang pekerjaan dengan cara membantu para pemangku jabatan memuaskan kebutuhan mereka dan pertumbuhan, pengakuan, dan tanggung jawab. Pemerkayaan pekerjaan menambahkan sumber kepuasan kepada pekerjaan, metode ini meningkatkan tanggung jawab, otonomi, dan keja secara vertikal (vertikal job loading). Menurut Agung Panudju (2014:52), karakteristrik pekerjaan menunjukkan seberapa besar pengambilan keputusan yang dibuat oleh karyawan kepada pekerjaannya, dan seberapa banyak tugas yang harus dirampungkan oleh karyawan. Selanjutnya menurut Robbins dan Judge (2015:124) karakteristik pekerjaan adalah sebuah pendekatan dalam merancang pekerjaan yang menunjukkan bagaimana pekerjaan dideskripsikan ke dalam lima dimensi inti yaitu keanekaragaman keterampilan, identitas tugas, arti tugas, otonomi dan umpan balik.
Penilaian kinerja di lingkungan pegawai negeri sipil (PNS) dikenal dengan sebutan penilaian pelaksanaan pekerjaan (Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979) dikutip oleh Nurjanah (2008). Penilaian kinerja tersebut dilaksanakan menggunakan daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3), dengan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, meliputi :
Kesetiaan Yang dimaksud dengan kesetiaan, adalah kesetiaan, ketaatan, dan pengabdian kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. Unsur kesetiaan terdiri atas sub-sub unsur penilaian sebagai berikut: 1) Tidak pernah menyangsikan kebenaran Pancasila baik dalam ucapan, sikap, tingkah laku, dan perbuatan. 2) Menjunjung tinggi kehormatan Negara dan atau Pemerintah, serta senantiasa mengutamakan kepentingan Negara dari pada kepentingan diri sendiri, seseorang, atau golongan. 3) Berusaha memperdalam pengetahuan tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta selalu berusaha mempelaiari haluan Negara, politik Pemerintah, dan rencana-renca Pemerintah dengan tujuan untuk melaksanakan tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna. 4) Tidak menjadi simpatisan/anggota perkumpulan atau tidak pernah terlibat dalam gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang Pancasila UndangUndang Dasar 1945, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau Pemerintah. 5) Tidak mengeluarkan ucapan, membuat tulisan, atau melakukan tindakan yang dapat dinilai bertujuan mengubah atau menentang Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Bangun (2012:231), menjelaskan bahwa penilaian kerja adalah proses yang dilakukan oleh organisasi untuk mengevaluasi atau menilai keberhasilan pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Penilaian dapat dilakukan dengan membandingkan hasil kerja yang dicapai pegawai dengan standar pekerjaan. Bila hasil kerja yang diperoleh sampai atau melebihi standar pekerjaan dapat dikatakan kinerja seorang pegawai termasuk pada kategori baik. Demikian sebaliknya, seorang pegawai yang hasil kerjanya tidak mencapai standar pekerjaan termasuk pada kinerja yang tidak baik atau rendah. Secara umum tujuan dari penelitian kinerja adalah memberikan timbal balik kepada pegawai dalam upaya memperbaiki kinerja pegawai, dan untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Secara khusus tujuan penilaian kinerja adalah sebagai pertimbangan keputusan-keputusan organisasi terhadap pegawainya mengenai promosi, mutasi, kenaikan gaji, pedidikan, dan pelatihan ataupun kebijakan manajerial lainnya. Menurut Rivai (2011:563) manfaat penilaian kinerja adalah sebagai berikut : 1) Manfaat bagi pegawai yang dinilai, antara lain : a. Meningkatkan motivasi. b. Meningkatkan kepuasan kerja. c. Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan. d. Adanya kesempatan berkomunikasi ke atas. e. Peningkatan pengertian tentang nilai pribadi. 2) Manfaat bagi penilai a. Meningkatkan kepuasan kerja. b. Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasi kecenderungan kinerja pegawai. c. Meningkatkan kepuasan kerja baik para manajer maupun pegawai. d. Sebagai sarana meningkatkan motivasi pegawai. e. Bisa mengidentifikasi kesempatan untuk rotasi pegawai. 3) Manfaat bagi perusahaan a. Perbaiki seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan. b. Meningkatkan kualitas komunikasi. c. Meningkatkan motivasi pegawai secara keseluruhan. d. Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan masing-masing karyawan.
Perencanaan lingkungan kerja yang kondusif merupaka suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan perusahaan. Syarat-syarat lingkungan kerja yang kondusif secara terinci menurut Anoraga (2010:44) adalah sebagai berikut:
Lingkungan kerja yang menyangkut fisik a. Keadaan bangunan, gedung atau tempat kerja yang menarik dan menjamin keselamatan kerja para pegawai, termasuk didalamnya ruang kerja yang nyaman dan mampu memberikan ruang gerak yang cukup bagi para pegawai, serta mengatur ventilasi yang baik sehingga pegawai leluasa bekerja. b. Tersedianya beberapa fasilitas, seperti: peralatan kerja yang cukup memadai, tempat istirahat, tempat ibadah dan sebagainya. c. Letak gedung dan tempat kerja yang strategis sehingga mudah dijangkau dari segala penjuru dengan kendaraan umum.
Lingkugan kerja yang menyangkut psikis a. Adanya perasaan aman dari pegawai dalam menjalankan tugasnya, yang meliputi: rasa aman dari bahaya yang mungkin timbbul pada saat menjalankan tugas, merasa aman dari pihak yang sewenang-wenang, serta merasa aman dari segala macam bentuk tuduhan antara pegawai. b. Adanya loyalitas yang bersifat dua dimensi, yaitu loyalitas yang bersifat vertikal (antara bawahan dengan pimpinan) dan loyalitas yang bersisfat horizontal (antara pimpinan dengan pimpinan yang setingkat, antara pegawai dengan pegawai yang setingkat). c. Adanya perasaan puas dikalangan para pegawai. Perasaan puas tersebut akan terwujud apabila pegawai merasa kebutuhannya telah terpenuhi. Beberapa hal diatas merupakan persyaratan lingkungan kerja yang kondusif, yaitu suatu kondisi lingkungan kerja yang dapat memberikan keamanan serta kenyamanan kepada pegawai dalam melakukan pekerjaannya, apabila instansi menghendak setiap pegawai dapat menunjukkan kinerja yang optimal.
Kondisi kerja yang baik akan sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan kinerja pegawai. Aspek-aspek lingkungan kerja yang dapat memberikan dampak positif kepada para pegawai sehingga dapat meningkatkan kinerjanya secara optimal, menurut Alex Nitisemito (2011:183) diantaranya:
Lingkungan kerja yang selalu bersih, sejuk, dan rindang
Tempat kerja yang dapat memberikan rasa aman saat bekerja
Tersedianya alat-alat memadai
Tersedianya ruang kerja yang memiliki penerangan cukup baik
Tersedianya ruang kerja yang mencakupi dan memadai serta lokasi yang jauh dari kebisingan dan getaran sehingga tidak mengganggu konsentrasi saat bekerja. Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik, sehingga dicapai suatu hasil yang optimal, apabila diantaranya ditunjang oleh suatu kondisi lingkungan yang sesuai. Suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Ketidak sesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi, keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut tenaga dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien. Banya faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja. Untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang baik sesuai dengan kebutuhan pegawai yang dapat meningkatkan semangat kerja pegawai, ada faktor-faktor yang membentuknya
Ketidak nyamanan saat bekerja merupakan kondisi yang sangat tidak baik bagi tenaga kerja dalam beraktivitas, karena pekerja akan melakukan aktivitasnya yang kurang optimal dan akan menyebabkan lingkungan kerja yang tidak bersemangat dan membosankan. Sebaliknya apabila kenyamanan kerja tercipta saat pegawai melakukan aktivitasnya maka pekerja akan melakukan aktivitasnya dengan optimal, dikarenakan kondisi lingkungan pekerjaan yang sangat baik dan mendukung serta akan memberikan kepuasan kerja tersendiri bagi pegawai. Sedarmayanti (2011:21) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni: 1) Lingkungan kerja fisik Semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni: a. Lingkungan kerja yang langsung berhubungan dengan pegawai, seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya. b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembabab, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna dan lain-lain. 2) Lingkungan Kerja Non Fisik Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja. a. Hubungan dengan atasan b. Hubungan sesama rekan kerja c. Hubungan dengan bawahan
Pada dasarnya setiap pekerjaan pasti mempunyai karakteristik sendiri. Antara satu pekerjaan dengan pekerjaan yang lain dimungkinkan adanya kesamaan karakteristik namun dipastikan bahwa mayoritas pekerjaan mempunyai perbedaan karakteristik. Panudju (2010:7), menyebutkan bahwa setiap pekerjaan memiliki lima karakteristik, yaitu : a. Otonomi, yaitu kebebasan untuk mengendalikan sendiri pelaksanaan tugasnya berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang dibebankan kepadanya, dengan indikator kebebasan dalam merencanakan pekerjaan dan kebebasan dalam melaksanakan tugas. b. Variasi perkerjaan, yaitu keterampilan/metode/cara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas, keterampilan dan variasi tugas. c. Identitas tugas, yaitu aktivitas yang dilakukan karyawan dalam merencanakan dan melaksanakan tugas, dengan indikator tingkat pemahaman prosedur kerja dan tingkat keterlibatan kerja. d. Signifkansi tugas, yaitu pentingnya pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan, dengan indikator dampak pekerjaan terhadap pegawai lain dalam satu departemen dan lain departemen. e. Umpan balik, yaitu informasi atau tanggapan mengenai hasil pelaksanaan kerja karyawan, dengan indikator penerima informasi tentang keberhasilan yang telah dicapai dan penerimaan informasi tentang kesesuaian pelaksanaan kerja dengan keinginan atasan.
Menurut Flippo (1981) yang dikutip oleh Suwanto dan Priansa (2011 : 30)fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia meliputi : 1) Fungsi Manajerial a. Perencanaan (Planning) Perencanaan adalah proses penentuan tindakan untuk mencapai tujuan. Sebelum tujuan akhir perusahaan ditentukan, informasi, khususnya informasi mengenai kepegawaian harus lengkap. Kelengkapan informasi mengenai kepegawaian itu datangnya dari manajer kepegawaian. Sehubungan dengan perencanaan kepegawaian, manajer kepegawaian harus dapat mengajukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. b. Pengorganisasian(Organizing) Setelah diadakan perencanaan, tindakan selanjutnya adalah membentuk organisasi untuk melaksanakan tujuan yang telah ditentukan untuk dicapai. Proses organisasi ialah membentuk organisasi, kemudian membaginya dalam unit-unit yang sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah ditentukan, dan dilengkapi dengan pegawai serta ditambah fasilitas-fasilitas tertentu. c. Pengarahan (Directing) Sesudah dilakukan pengorganisasian, maka tahap selanjutnya adalah mengadakan pengarahan. Pengarahan berarti memberi petunjuk dan mengajak para pegawai agar mereka berkemauan secara sadar untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yang telah ditentukan perusahaan. Pengarahan ini sering disebut sebagai penggerak, motivasi, dan pemberian perintah. Jadi dalam pengarahan ini adalah agar pegawai bekerja sukarela tanpa merasa dirinya dipaksa dan mau bekerjasama dengan pegawai lainnya dalam perusahaan. d. Pengendalian(Controlling) Setelah diadakan perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan maka fungsi manajerial yang terakhir adalah pengendalian. Pengendalian berarti melihat, mengamati dan menilai tindakan atau pekerjaan pegawai. Pengendalian membandingkan hasil yang dicapai pegawai dengan hasil atau target yang direncanakan. Kalau terjadi penyimpangan dari rencana semula perlu diperbaiki dengan memberi petunjuk-petunjuk kepada pegawai. Dalam hal ini dipakai pengendalian (controlling) bukan pengawasan, karena pengawasan merupakan bagian dari pengendalian. Pengawasan berarti mengawasi pegawai yang sedang bekerja, tetapi tidak menilai apakah dia benar atau salah melakukan pekerjaan. Sedangkan pengendalian disamping mengamati pegawai, juga turut serta menilai hasil pekerjaan yang dicapai oleh pegawai. 2) Fungsi Operatif dan Fungsi Teknis a) Pengadaan (Recruitment) Fungsi operasional manajemen kepegawaian yang pertama adalah memperoleh jumlah dan jenis pegawai yang tepat untuk mencapai tujuan organisasi, fungsi ini terutama berkaitan dengan penentuan kebutuhan pegawai dan penarikannya, seleksi dan penempatannya. Penentuan kebutuhan pegawai menyangkut mutu dan jumlah pegawai. Sedangkan seleksi dan penempatan menyangkut masalah memilih dan menarik pegawai, pembahasan tentang formulir-formulir surat lamaran, mengadakan tes psikologis dan wawancara, dan lain sebagainya. b) Pengembangan (Development) Sesudah pegawai diterima, kemudian pegawai perlu dibina dan dikembangkan. Pengembangan ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan melalui latihan yang diperlukan untuk dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik. Kegiatan ini dianggap semakin penting untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan, dan semakin rumitnya tugas-tugas pekerjaan. c) Kompensasi (Compensation) Fungsi kompensasi sangat besar bagi pegawai. Kompensasi adalah sebagai pemberian penghargaan kepada pegawai sesuai dengan sumbangan mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Kompensasi ini biasanya diterima pegawai dalam bentuk uang yang ditambah dengan tunjangan-tunjangan lain. d) Pengintegrasian (integration) Walaupun sudah menerima pegawai, sudah mengembangkannya, dan sudah memberi kompensasi yang memadai, perusahaan masih mengalami masalah yang sulit, yaitu pengintegrasian. Pengintegrasian adalah penyesuaian sikapsikap, keinginan pegawai, dengan keinginan perusahaan dan masyarakat.
Dalam menjalankan pekerjaan seseorang pekerja dapat mengalami stress kerja. Istilah beban kerja yang berlebihan serta desakan waktu mengakibatkan karyawan menjadi tertekan dan stress. Beberapa tekanan kerap kali berasal dari penyelia, sehingga kualitas penyelia yang jelek bisa mengakibatkan stress terhadap karyawan. Penyelia yang otokratik, wewenang pekerjaan yang tidakjelas merupakan contoh lain dari sumber stress kerja yang dialami oleh karyawan. Greebreg dalam Kristanto (2007) mendefinisikan stress kerja sebagai kombinasi antara sumber –sumber stress pada pekerjaan, karakteristik individual, dan stress di luar organisasi, yang mempengaruhi emosi, proses, berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stress yang terlalu hasilnya dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. sebagai hasilnya, pada diri karyawan berbagai macam gejala stress dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Sehingga orang yang mengalami stress kerja bias menjadi gugup dan merasakan kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah marah dan agresif, tidak dapat rileks atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif (Veithzal et.al.,2009). Siagian (2008) menyatakan bahwa stress merupakan kondisi ketengangan yang berpengaruh empsi, jalan pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stress yang tidak bisa diatasi baik biasanya lingkunganya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luarnya. Artinya, karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja. Stress di tempat kerja akhir-akhir ini telah menjadi masalah yang serius bagi manajemen perusahaan di dalam dunia bisnis (Qureshi et.al., 2013)karyawan sering dihadapi dengan berbagai masalah dalam perusahaan sehingga sangat mungkin untuk terkena stress. Studi penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh paille (2011) menunjukkan hasil bahwa stress kerja mampu menurunkan kondisi fisik seseorang di tempat kerja, meningkatkan tekanan psikologis di tempat kerja, mendorong kekerasan antara rekan-rekan dan menyebabkan kelelahan yang berlebihan. Stress kerja akan muncul apabila disuatu titik karyawan merasa tidak dapat lagi memenuhi tuntutan-tuntutan pekerjaan. Dalam jangka panjang, karyawanyang tidak dapat menahan stress kerja, karyawan tidak akan mampu lagi bekerja di perusahaan terkait. Pada tahap yang semakin parah, stress bias membuat karyawan menjadi sakit atau bahkan akan mengundurkan diri (Manurung & Ratnawati, 2012). Menurut Hasibun (2006), stress kerja adalah sejumlah aktivitas fisik dan mental yang dilakukan seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan, maka dari itu bekerja merupakan salah satu bentuk ragam dari segala aktivitas hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan, dimana setiap orang akan melakukan produktivitas tinggi dengan menghadapkan pencapaian status, keadaan yang lebih baik serta mencapai kondisi yang memuaskan. Stress kerja dapat menimbulkan konsekuensi pada individu pekerja. Baik secara fisiologis, psikologis, dan perilaku. Stress kerja dialami secara terus menerus dan tidak terkendali dapat menyebabkan terjadinya burnout yaitu kombinasi kelelahan secara fisik, psikis dan emosi. Bagi organisasi stress di tempatkerja dapat berakibatkan pada rendahnya kepuasan kerja, kurangnya komitmen terhadap organisasi, terhambatnya pembentuk emosi positif, pengambilan keputusan yang buruk, rendahnya kinerja dan tingginya keinginan untukberpindah. Stress di tempat kerja pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kerugian finansial pada organisasi yang tidak sedikit jumlahnya (saragih, 2010).
Dampak perilaku dari kepuasan dan ketidakpuasan kerja tidak hanya meliputi variabel kerja, hingga kerja dan perpindahan, tetapi juga variable nonkerja seperti kesehatan dan kepuasan hidup (priansa, 2017). Hubungan penelitian membuktikan bahwa ada pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hingga membuktikan bahwa kepuasan kerja berkaitan dengan motivasi kerja yang ada akhirnya meningkatkan kinerja. Hubungan juga ada yang membuktikan bahwa kepuasan kerja dan kinerja akan lebih tinggi pada pekerjaan yang menghargai kinerja yang bagus ketimbangan pekerjaan yang tidak memberikan penghargaan. Dengan demikian karyawan yang memiliki kinerja baik akan mendapatkan penghargaan itu menyebabkan kepuasan kerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan berpindah cukup kompleks dan saling untuk berkaitan satu sama lain. Diantara faktor-faktor tersebut yang akan dibahas antara lain sebagai berikut (Novliadi, 2007).
Usia Tingkat keinginan untuk berpindah yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui cara coba-coba tersebut. Hal ini juga didukung oleh Chen dan Chan (2008), bahwa keinginan berpindah lebih kuat pada karyawan dengan masa kerja yang lebih pendek dan lebih kuat pada karyawan yang lebih muda dari pada karyawan yang lebih tua.
Lama Kerja Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan untuk keinginan berpindah lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat.Interaksi memungkinkan keinginan berpindah.
Tingkat Pendidikan dan intelegensi Mereka yang mempunyai tingkat intelegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Iamudah merasa gelisah akan tugas dan tanggungjawab yang diberikan padanya dan merasa tidak nyaman. Sebaliknya mereka mempunyai tingkat intelegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaanpekerjaan monoton. Mereka akan berani keluar mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya terbatas pula.
Keterikatan terhadap perusahaan Karyawan yang mempunyai rasa keterkaitan yang cukup kuat terhadap perusahaannya berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (Sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri positif. Akibat secara langsung adalah menurunya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dari perusahaan.
Keinginan berpindah dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Keinginan berpindah menurut Robbins dan Judge (2011) adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh karyawan baik secara sukarela ataupun tidak secara sukarela. keinginan berpindah dapat berupa pengunduran diri, berpindah ataupun keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Culpeper (2011) menyatakan bahwa keinginan berpindah merupakan prediktor terbaik untuk mengidentifikasi secara perilaku keinginan yang akan terjadi pada karyawan suatu organisasi. Keinginan berpindah pada karyawan dapat dipengaruhi oleh faktor kepuasan kerja yang dirasakan di tempat kerja (Abdillah, 2012). Sebagai aspek yang cukup menarik perhatian adalah mendeteksi faktor-faktor motivasional yang akan dapat mengurangi niat karyawan untuk meninggalkan organisasi, niat bentuk pindah yang kuat pengaruhnya memerlukan biaya yang besar dalam bentuk kerugian yang besar akan membutuhkan tenaga ahli, yang mungkin juga memindahkan suatu spesifik dalam perusahaan kepada pesaing (Carmeli dan Weisberg, 2006).
Menurut Panuju (2001) iklim organisasi meliputi : a. Tanggung jawab tingkat pendelegasian yang dialami pegawai. b. Standar, yakni harapan tentang kualitas kerja pegawai. c. Imbalan, pengakuan dan penghargaan atas kinerja dan penolakan terhadap penyimpangan kerja. d. Keramahan semangat tim, persaudaraan, saling mempercayai penuh kejujuran. e. Kesiapan teknologi. Penyempurnaan metode kerja. f. Komunikasi terbuka, kecukupan informasi dan terbuka bagi saran- saran.
Swammy, Nanjundeswaraswamy dan Rashmi (2015) mengemukakan 8 (Delapan) faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja. Yaitu sebagai berikut: a. Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah tempat di mana seseorang bekerja. Lingkungan ini adalah lingkungan sosial dan profesional di mana karyawan seharusnya berinteraksi dengan sejumlah orang, dan harus bekerja sama dengan koordinasi dengan satu atau sebaliknya. Kondisi kerja yang aman dan sehat memastikan kesehatan yang baik, kelangsungan layanan, menurunnya hubungan manajemen buruh yang buruk. Seorang pekerja yang sehat mencatat produktivitas yang tinggi. Karyawan ceria, percaya diri dan bisa membuktikan aset tak ternilai bagi organisasi jika lingkungan kerja baik. Hal ini terdiri dari situasi kerja fisik dan mental yang aman dan menentukan jam kerja yang masuk akal. b. Budaya Organisasi dan Iklim Budaya organisasi adalah seperangkat sifat dan iklim organisasi adalah perilaku kolektif orang-orang yang merupakan bagian dari nilai, visi, norma, dan lain-lain. Peluang promosi, promosi dan evaluasi penghargaan yang digunakan keduanya berada di bawah kendali langsung dari sebuah organisasi dan tunduk pada kebijakan organisasi. c. Hubungan dan Kerjasama Hubungan dan kerjasama adalah komunikasi antara manajemen dan karyawan, mengenai keputusan di tempat kerja, konflik dan penyelesaian masalah. Pekerjaan dan karir biasanya dikejar dalam kerangka organisasi sosial dan sifat hubungan pribadi menjadi dimensi penting kualitas kehidupan kerja. Penerimaan pekerja didasarkan pada keterampilan, sifat terkait pekerjaan, kemampuan dan potensi tanpa mempertimbangkan ras, jenis kelamin, penampilan fisik, dan lain-lain. d. Pelatihan dan Pengembangan Pelatihan dan pengembangan merupakan kegiatan organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja individu dan kelompok. Kualitas kehidupan kerja dipastikan untuk pengembangan karyawan dan dorongan yang diberikan oleh manajemen untuk melakukan pekerjaan, memiliki kondisi yang baik untuk meningkatkan pemberdayaan dan keterampilan pribadi. e. Kompensasi dan Penghargaan Kompensasi dan penghargaan adalah faktor motivasi. Pelaku terbaik diberi penghargaan, dan ini membangun kompetisi di antara para karyawan untuk bekerja keras dan mencapainya baik tujuan organisasi maupun individu. Kepentingan ekonomi karyawan mendorong mereka untuk bekerja dan kepuasan karyawan bergantung pada tingkat tertentu pada kompensasi yang ditawarkan. pembayaran harus ditetapkan berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, keterampilan individu, tanggung jawab yang dilakukan, kinerja dan prestasi. f. Fasilitas Fasilitas memainkan peran utama dalam aktualisasi tujuan dan sasaran dengan memuaskan kebutuhan fisik dan emosional para karyawan. Fasilitas termasuk layanan makanan, transportasi, keamanan, dan sebagainya. Banyak pengusaha merasa beruntung dapat memberikan alternatif pengaturan kerja bagi karyawan mereka. Inilah salah satu metode untuk meningkatkan produktivitas dan semangat kerja karyawan. Pengaturan kerja alternatif untuk karyawan termasuk jam kerja yang fleksibel, lebih pendek atau tidak ada jalan buntu, dan lingkungan kerja yang aman. g. Kepuasan Kerja dan Jaminan Kerja Kepuasan kerja dipengaruhi oleh desain pekerjaan. Pekerjaan yang kaya akan elemen perilaku konstruktif seperti otonomi kerja, variasi tugas, identitas, signifikansi kerja dan umpan balik turut berkontribusi pada kepuasan karyawan. Jaminan kerja merupakan faktor lain yang menjadi perhatian karyawan. Pekerjaan tetap memberikan keamanan kepada karyawan dan meningkatkan kualitas kehidupan kerja mereka. h. Otonomi Kerja Karyawan diberi kebebasan pengambilan keputusan. Pekerja sendiri merencanakan, mengkoordinasikan dan mengendalikan kegiatan terkait pekerjaan. Ini juga mencakup berbagai kesempatan bagi personil seperti kemandirian di tempat kerja dan memiliki wewenang untuk mengakses informasi terkait untuk tugas mereka
Berkaitan dengan pernyataan di atas, Job Demand-Resource Concept juga menjadi salah satu faktor yang mendasari menjadi terciptanya WOM. Teori ini menjelaskan bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko tersendiri yang berhubungan dengan stress kerja, diantaranya yaitu Job Demand (tuntutan kerja) dan Job Resources (sumber daya pekerjaan) (Bakker & Demerouti, 2007). Menurut Bakker & Demerouti (2007), tuntutan kerja mengacu pada tujuan organisasi sehingga membutuhkan upaya atau keterampilan yang menguras energi baik secara fisik, psikologis, maupun sosial untuk menggapainya. Dilihat dari dampaknya secara berkelanjutan, tuntutan kerja dapat menyebabkan keletihan yang memicu stress di tempat kerja. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap produktivitas karyawan, misalnya dalam berinovasi. Berkebalikan dengan tuntutan kerja, sumber daya pekerjaan menjadi jawaban dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Sumber daya pekerjaan dapat mengurangi tuntutan pekerjaan, biaya fisiologis dan psikologis, serta merangsang pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan individu (Bakker & Demerouti, 2007). Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kedua faktor di atas untuk membuat karyawan tetap bekerja secara optimal. Sejalan dengan Job Demand-Resource Concept, Guest (2017) juga menyarankan organisasi untuk menetapkan kebijakan HRM yang memberikan prioritas terhadap kesejahteraan karyawan. Terdapat tiga alasan utama yang mendasari hal tersebut, yaitu atas dasar etika karena kurangnya perhatian pemangku kepentingan terhadap kesejahteraan karyawan; tekanan kerja yang mengancam kesejahteraan karyawan; serta manfaat dari praktik berorientasi pada kesejahteraan dalam hal peningkatan kinerja dan pengurangan biaya (Guest, 2017). Menurut Guest (2017), kesejahteraan karyawan tercermin melalui psikologis, kesehatan fisik, dan hubungan sosial yang positif di tempat kerja. Selain itu, Guest (2017) juga mengusulkan pendekatan terkait praktik berorientasi kesejahteraan perlu dipromosikan untuk studi lebih lanjut di masa depan. Atas dasar pandangan di atas, maka Salas-Vallina et al., (2020) mengusulkan sebuah model sebagai pengembangan dari praktik HRM terhadap kesejahteraan karyawan, yaitu Well-Being Oriented Management (WOM). Praktik ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar psikologis, fisik, dan sosial karyawan. Untuk memenuhi aspek tersebut, Salas-Vallina et al., (2020) membagi praktik WOM ke dalam empat poin yaitu memperkaya (penggunaan variasi keterampilan, signifikansi tugas, umpan balik, refleksi dan work-life balance), memperkuat (pelatihan, pendampingan, toleransi terhadap kesalahan, keamanan, gaji yang sesuai, pengakuan, kesehatan dan keselamatan kerja), menghubungkan (kerja tim, kemitraan, interaksi eksternal), dan memberdayakan (otonomi, hak bersuara, representasi kolektif) karyawan. Berikutnya, akan dijelaskan lebih lanjut terkait konsep WOM dan pemenuhannya terhadap aspek psikologis, fisik, dan sosial yang mendorong kesejahteraan. Merujuk pada teori Job Characteristics Model, dijelaskan bahwa tingkat dimensi pekerjaan yang semakin terstruktur akan meningkatkan kepuasan, motivasi, dan kinerja karyawan (Hackman, 1980). Karyawan cenderung menghargai pekerjaan mereka ketika proses pelaksanaanya lebih terstruktur. Maka dari itu, praktik WOM dalam hal pengayaan tugas memiliki pengaruh positif terhadap motivasi sehingga berdampak pada kesejahteraan psikologis karyawan (Salas-Vallina et al., 2020)
Keberhasilan sebuah organisasi bergantung pada tingkat kinerja inovatif di dalamnya. Brem et al., (2016) mendefinisikan kinerja inovatif sebagai akumulasi dari kegiatan inovatif dalam sebuah industri. Hal tersebut diperkuat dengan beberapa konsensus yang menunjukkan bahwa sumber daya utama dalam menggapai kesuksesan organisasi adalah inovasi (AlEssa & Durugbo, 2021), khususnya dalam menciptakan keunggulan kompetitif (Anderson et al., 2014; Aziz & Samad, 2016). Terkait dengan pernyataan tersebut, De Jong & Den Hartog (2007) mengidentifikasi Innovative Work Behavior (IWB) sebagai kunci bagi organisasi untuk lebih berinovatif. Menurut Janssen (2000), IWB merupakan sekumpulan kegiatan untuk menciptakan, memperkenalkan, dan menerapkan ide – ide baru dengan sengaja di tempat kerja yang berkontribusi pada kinerja. Singkatnya, IWB berkaitan erat dengan kreativitas karyawan untuk menghasilkan manfaat di tempat kerja (Bos-Nehles et al., 2017). Untuk memahami istilah ini lebih lanjut, organisasi perlu mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi terciptanya IWB di tempat kerja. Zhou & George (2001) mengidentifikasi lingkungan kerja sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif seseorang. Ketika karyawan merasakan lingkungan kerja yang mendukung, maka respon terhadap perilaku inovatif meningkat. Selain itu, persepsi terhadap iklim organisasi juga memiliki keterkaitan dengan IWB karena peran penting manajer di dalamnya untuk menciptakan / memperkuat hubungan sosial serta memberikan dukungan langsung kepada karyawan di berbagai situasi (Wojtczuk-Turek & Turek, 2016). Oleh karena itu, dukungan manajemen atau praktik human resource management (HRM) menjadi faktor penting dalam meningkatkan perilaku inovatif (Parker et al., 2006) Praktik HRM dianggap sebagai sumber daya yang mendorong kinerja inovatif di sebuah organisasi. Tingkat kinerja inovatif akan berbanding lurus dengan pengembangan praktik HRM di tempat kerja (Berber & Lekovic, 2018). Terkait dengan hal tersebut, Bos-Nehles et al., (2017) mengidentifikasi tujuh praktik HRM yang dikategorikan sebagai aspek terbaik dalam merangsang IWB. Praktik – praktik tersebut meliputi pengembangan dan pelatihan, penghargaan, keamanan kerja, otonomi, komposisi tugas, tuntutan pekerjaan dan tekanan waktu, serta umpan balik. Selain itu, terdapat salah satu pendekatan yang telah dikembangkan untuk menjawab keterkaitan antara perilaku inovatif dengan praktik HRM, yaitu Job Demand-Resource Concept. Secara umum, teori ini menjelaskan bahwa organisasi harus menyediakan sumber daya (praktik – praktik HRM) yang cukup bagi karyawan agar mereka memiliki energi dalam menyelesaikan setiap tuntutan pekerjaan, termasuk proses inovasi.
Self Determination Theory merupakan salah satu teori motivasi yang dikembangkan oleh Edward L. Deci dan Richard Ryan tahun 1985. Teori ini menjelaskan tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan psikologis bawaan seperti kompetensi, otonomi, dan keterkaitan sebagai konstruksi dasar motivasi instrinsik seseorang (Deci & Ryan, 2000). Motivasi instrinsik ini kemudian mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu secara mandiri (Gagné et al., 2014) seperti mencari, mengembangkan, dan menerapkan ide atau pengetahuan baru yang pada akhirnya menuju ke perilaku inovatif. Secara umum, teori ini menjadi payung besar yang akan direpresentasikan melalui variabel dalam penelitian ini karena keterkaitannya pada kesejahteraan, perilaku otonom, dan kemauan untuk menemukan hal-hal baru
Menurut Timotius Huda (2018:15) faktor-faktor pendukung perilaku organisasi adalah sebagai berikut:
Keberagaman Kebutuhan Merupakan suatu kondisi untuk memahami dan menyampaikan ide-ide yang merupakan suatu tolak ukur mencapai keberhasilan yang harus dipahami disuatu organisasi.
Perkembangan Zaman Perkembangan zaman diera ini harus dibarengi dengan adanya perubahan yang mana dapat membawa organisasi menjadi kuat dalam menghadapi persaingan yaitu dengan menggunakan teknologi digital, mesin-mesin dan alat-alat pendukung lainnya.
Pengorganisasian Penyesuaian bidang atau keahlian individu dalam bekerja yang tepat atau sesuai akan meningkatkan kinerja sehingga organisasi harus lebih memperhatikan penempatan struktur organisasi yang sesuai sehingga tujuan organisasi dapat dicapai.
Kesetiaan Loyalitas individu terhadap perusahaan memang merupakan hal yang harus diperhatikan, karena indivu didalam organisasi dapat menetukan berhasil atau tidaknya suatu organisasi sehingga harus diperhatikan fasilitas, penunjang kerja, dan gaji yang sesuai dengan hak yang seharusnya diperoleh
Menurut Badeni (2014:3) mengemukakan bahwa perilaku organisasi adalah suatu bahasan yang memperhatikan tingkah laku individu atau kelompok yang berada dalam organisasi yang mana dapat meningkatkan kinerja yang efektif dan efisien sehingga tujuan organisasi dapat terwujud. Menurut Thoha dalam Timotius Huda (2018:8) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan suatu aspek-aspek tingkah laku yang diperhatikan didalam suatu kelompok yang berada didalam suatu organisasi. Menurut Robbins dalam Timotius Huda (2018:9) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan suatu ilmu yang mempelajari dampoak adanya pengaruh yang ditimbulkan individu, kelompok dan struktur organisasi terhadap perilaku orang-orang yang mungkin terlibat didalamnya untuk kemudian dapat disimpulkan suatu pengetahuan yang mana dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Kesimpulan dari definisi diatas bahwa pengertian perilaku organisasi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku suatu kelompok, atau individu, mengenai keterlibatan individu didalam suatu organisasi yang mana dapat meningkatkan tujuan organisasi.
Motivies (Motif) merupakan suatu cara mencirikan kompetensi melalui tindakan dengan cara berfikir dalam mengambil suatu tujuan pekerjaannya yang mana karyawan memberikan semangat dan tantangan pada dirirnya agar memberikan tanggung jawab yang dapat memberikan kepuasan dalam bekerja.
Traits (watak) merupakan suatu dasar yang berasal dari dalam diri seseorang terhadap perilaku dalam menyelesaikan pekerjaan
Self concept (sikap dan nilai-nilai) merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi seseorang melalui tes terhadap responden untuk mengetahui nilai atau sikap yang dimiliki oleh seseorang untuk sesuatu yang menarik terhadap sikap karyawan.
Knowledge (Pengetahuan) merupakan pengetahuan yang dimilki seseorang berkaitan dengan ketrampilan keahlian terhadap suatu bidang pekerjaan.
Skills (kemampuan) merupakan penyelesaian tugas yang dilakukan oleh seseorang yang didukung oleh kemampuan fisik maupun mental yang diharuskan mempunyai hal tersebut.
Menurut Busro (2018:26) kompetensi merupakan suatu kemampuan yang dimilki oleh seseorang yang menjadi faktor penentu dalam menyelesaikan pekerjaan dengan pengetahuan, keterampilan dan faktor-faktor individu seperti sikap seseorang dalam menilai suatu pekerjaan. Menurut Sutrisno (2011:202) kompetensi berasal dari kata competence merupakan yang sudah dimiliki oleh seseorang yang mana menjadi bagian dari dirinya seperti kemampuan, wewenang dan kecakapan sebagai dasar keunggulan kemampuan menyelesaikan semua pekerjaan yang telah diterapkan. Menurut Rivai (2010:298) menyatakan bahawa kompetensi merupakan suatu kemampuan, keterampilan serta kecakapan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan pekerjaannya yang mana dapat membantu untuk memcahkan masalah yang ada dipekerjaannya.
Karakteristik pekerjaan menurut Robbins (2009:268) menyatakan bahwa suatu rincian didalam pekerjaan yang mana dideskripsikan dalam dimensi keanekaragaman keterampilan dan tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan. Karaktertistik pekerjaan antara pegawai mempunyai karakteristik yang berbeda dalam menilai pekerjaan serta bagaimana menyelesaikan keberagaman tugas yang telah dibebankan. Menurut Elbadiansyah (2019:41) karakteristik pekerjaan adalah suatu uraian yang memberikan informasi dari pekerjaan yang berkaitan dengan tugas-tugas dan tanggung jawab dari pelaksanaan tugas dan kewajiban dari sebuah pekerjaan yang dibebankan karyawan.
Menurut Robbins dalam Busro (2018:101) Kepuasan kerja (job satisfaction) karyawan merupakan segala sesuatu kondisi emosional yang dirasakan secara positif tentang suatu pekerjaan yang berasal dari evaluasi pekerjaanya. Kepuasan kerja karyawan merupakan faktor penunjang karyawan didalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya. Menurut Sutrisno (2011:74) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sesuatu yang diterima karyawan terhadap sikap terhadap sesuatu yang berhubungan dengan hal yang menyangkut situasi kerja, kerja tim dengan rekan kerja, gaji yang diperoleh dari hasil pekerjaan, serta hal yang terkait dengan faktor fisik dan psikologis karyawan. Menurut kesimpulan para ahli mengenai kepuasan kerja adalah suatu cara keadaan dalam menilai suatu kondisi disekitar karyawan didalam pekerjaan karyawan yang mana setiap karyawan memiliki perbedaan dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Kepuasan kerja karyawan juga dapat dirasakan apabila kesesuaian antara harapan karyawan dengan hasil yang mereka terima terhadap pekerjaannya.
Fungsi manajemen Menurut Umi Farida (2017:12) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia I mengatakan bahwa pengertian fungsifungsi manajemen yang dikelompokan menjadi dua fungsi manajemen antara lain:
Fungsi Manajerial Fungsi manajerial yaitu fungsi yang berwenang memimpin sumber daya manusia lain. a. Perencanaan Merencanakan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan atau program sumber daya manusia yang dapat membantu tujuan perusahaan. Fungsi manajemen perencanaan ini berfungsi sebagai awal dari penentuan suatu organisasi dalam menentukan hal-hal apa saja yang harus dipikirkan dalam mencapai tujuan organisasi. b. Pengorganisasian Menetapkan organisasi dengan menetapkan fungsi-fungsi dan merancang susunan jabatan, personalia, dan faktor-faktor fisik. Pengorganisasian juga sering disebut dengan pengelompokkan yang mana sudah di diarahkan oleh manajer untuk ditempatkan sesuai dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh organisasi. c. Pengarahan Proses pemberian suatu arahan terhadap melaksanakan tugas dengan memeberikan arahan perintah dan saran-saran agar pekerjaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. d. Pengawasan Proses mengamati dan membandingkan apabila terjadi penyimpangan terhadap proses bekerja dengan mengendalikan proses agar kembali ke proses atau tujuan awal.
Fungsi Operasional Fungsi operasional yaitu fungsi yang melaksanakan tugas-tugas dibawah pengawasan fungsi manajerial a. Pengadaan sumber daya manusia Adalah proses mendapatkan atau penarikan SDM yang telah melewati pemilihan SDM sesuai dengan criteria yang dibutuhkan didalam organisasi. b. Pengembangan SDM Adalah pemberian keterampilan lewat latihan dan pendidikan yang diperlukan untuk mengembangkan kebutuhan atau skill SDM untuk memenuhi tujuan organisasi. c. Pemberian kompensasi SDM Setelah menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan tujuan perusahaan maka SDM diberikan penghargaan yang layak dan sebagai dasar penilaian prestasi kerja karyawan didalam organisasi. d. Pengintergrasian SDM Proses integrasi didalam organisasi adalah menyesuaikan permintaan atau keinginan pekerja secara individu dengan keinginan dari organisasi dan masyarakat. e. Pemeliharaan SDM Adalah proses mempertahankan atau meningkatkan kondisi yang berjalan saat ini dan harus memelihara kondisi pekerja didalam program pelayanan karyawan. f. Pemutusan hubungan kerja SDM Adalah proses pemeberhentian karyawan yang harus didasarkan dengan prosedur seperti sudah memasuki masa pensiun, ketidakmampuan operasional perusahaan serta kebijakan organisasi dalam menangani sanksi karyawannya
Tuntutan kerja menurut Kristensen (2004) adalah sebuah atau beberapa permintaan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu yang singkat dan bersamaan, di dalam tuntutan pekerjaan terdapat aspek waktu dan aspek kecepatan kerja. Sedangkan Tuntutan kerja menurut Schaufeli dan Bakker (2004) adalah aspek fisik, psikis, sosial dan organisasi dari pekerjaan itu sendiri yang membutuhkan usaha (fisik) dan keterampilan, karena hal ini tuntutan kerja berkaitan dengan biaya psikis (psychological cost), tekanan kerja dan tuntutan emosional karyawan. Tuntutan kerja menurut Hussain dan Khalid (2011) merupakan sumber penyebab terjadinya stress kerja yang berkaitan dengan jumlah beban kerja dan beban tanggung jawab yang diterima oleh karyawan yang harus diselesaikan dalam kuantitas waktu yang dibatasi dan ketika karyawan mendapatkan tugas yang sulit/tidak diharapkan
Organisasi merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan, suatu organisasi yang berhasil dalam mencapai tujuannya adalah organisasi yang mampu memenuhi kepuasan kerja karyawannya. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individual memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda, secara garis besar kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan karyawan dalam memandang pekerjaannya (Sahlan,dkk.,2015). Menurut Sutrisno (2014:73) kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup penting, karena terbukti besar manfaatnya bagi individu, industry dan masyarakat. Karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaannya dan menganggap pekerjaannya sebagai sesuatu yang menyenangkan akan cenderung memiliki kinerja yang baik. Menurut Handoko (2012:193) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Menurut Hasibuan (2013:202) kepuasan kerja adalah sikap emosional karyawan yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya.
Mangkunegara (2009:74) mengemukakan kegunaan karakteristik pekerjaan dalam sebuah perusahaan antara lain yaitu :
Memberi deskripsi kepada semua karyawan mengenai jenis-jenis pekerjaan dan tugas – tugas yang dapat mengefektifitaskan pekerjaan yang harus dilakukan.
Mempermudah perusahaan memberikan job description kepada semua karyawan sehingga dapat memilih karyawan yang benar-benar sesuai dengan keahliannya
Memotivasi kerja karyawan dan merangsang karyawan untuk berkompetisi secara positif dalam lingkungan kerjanya, karena dalam karakteristik pekerjaan terdapat target-target yang harus dicapai karyawan.
Pengertian karakteristik kerja menurut Ni Made Gunastri (2013:14) adalah sebagai berikut : “Merupakan sifat dan tugas yang meliputi tanggung jawab, macam tugas, tingkat kepuasan yang diperoleh dari pekerjaan itu sendiri, aturan dan pedoman pelaksanaan tugas”. Agung Panudju (2010:6) mendefinisikan karakteristrik pekerjaan sebagai berikut : “Menunjukkan seberapa besar pengambilan keputusan yang dibuat oleh karyawan kepada pekerjaannya, dan seberapa banyak tugas yang harus dirampungkan oleh karyawan”. Wijono (2008:7) menyebutkan ada lima aspek dalam karakteristik pekerjaan yaitu :
Keragaman keterampilan (Skill Variety), yaitu tingkat dimana seseorang karyawan menggunakan berbagai keterampilan/cara pelaksanaan tugas/ bagaimana tugas itu dilakukan atau dilaksanakan dan berbagai kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Pekerjaan yang mempunyai keragaman tinggi ini membuat karyawan menggunakan beberapa keterampilan dan bakat untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Kejelasan tugas (Task Identity), yaitu tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang dalam penyelesaian tiap tahap pekerjaan dari awal hingga selesai.
Kepentingan tugas (Taks Significance), yaitu tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar.
Otonomi (Autonomy),yaitu mengendalikan sendiri pelaksanaan tugasnya berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Umpan balik (Feed Back), yaitu tingkat dimana pemberian umpan balik pada setiap pekerjaan membantu meningkatkan kinerja karyawan dan tingkat kepuasan karyawan didalam perusahaan, para karyawan perlu mengetahui seberapa baik prestasi yang telah dilakukan.
Kompetensi adalah kecakapan (skills), kemampuan (abilities), dan pengetahuan (knowledge) yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu tugas spesifik, juga merupakan seperangkat perilaku atau perbuatan seseorang yang meliputi kemampuan, keterampilan dan pengetahuan. Francoise (2005) dalam Kagaari dan Munene (2008) menyatakan terdapat empat klasifikasi dimensi kompetensi secara universal, yaitu :
Kompetensi kognitif Kompetensi kognitif menjelaskan mengenai tingkat pengetahuan seorang karyawan. Tingkat pengetahuan individu membantu pekerja untuk memperoleh kompetensi lainnya yang dibutuhkan oleh pekerja.
Kompetensi fungsional Kompetensi fungsional menjelaskan mengenai tingkat keterampilan seorang karyawan.
Kompetensi sosial Kompetensi sosial menjelaskan mengenai bagaimana kebiasaan dan perilaku seorang karyawan.
Kompetensi meta Kompetensi meta berhubungan dengan kemampuan untuk memperoleh sebuah kompetensi melalui pengetahuan individu itu sendiri. Menurut Sutrisno (2011:204) Indikator kompetensi sebagai berikut :
Pengetahuan, yaitu tingkat pengetahuan seorang karyawan mengenai pekerjaan dan keterampilan atau teknis yang digunakan pada pekerjaan.
Pemahaman, yaitu seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaan harus mempunyai pemahaman yang baik tentang karateristik dan kondisi kerja secara efektif dan efisien.
Keterampilan/Keahlian, yaitu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Pendidikan, yaitu latar belakang pendidikan yang menyangkut kegiatan guna mencapai tujuan.
Pengalaman kerja, yaitu suatu dasar seorang karyawan dapat menempatkan diri, mampu menghadapi tantangan dengan penuh tanggung jawab serta menghasilkan individu yang kompeten dalam bidangnya,karyawan dengan pengalaman kerja akan lebih mudah dalam melaksanakan pekerjaannya. Kompetensi yang dimiliki karyawan akan menunjang kinerja karyawan, semakin baik kompetensi yang dimiliki karyawan maka kinerja karyawan akan meningkat dan karyawan yang menunjukkan kompetensi lebih tinggi maka akan dapat hasil yang lebih baik.
Menurut Micahel Zwell (2008:56) terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kompetensi seseorang. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kompetensi tersebut diantaranya adalah :
Keyakinan dan nilai-nilai Keyakinan orang tentang dirinya maupun terhadap orang lain akan sangat mempengaruhi prilaku. Apabila orang percaya bahwa mereka tidak kreatif dan inovatif, mereka tidak akan berusaha berpikir tentang cara baru atau berbeda dalam melakukan sesuatu. Untuk itu setiap orang harus berpikir positif tentang dirinya, maupun terhadap orang lain dan menunjukkan ciri orang yang berpikir ke depan.
Keterampilan Dengan memperbaiki keterampilan, individu akan meningkat kecakapannya dalam kompetensi.
Pengalaman Keahlian dari banyak kompetensi memerlukan pengalaman. Diantaranya pengalaman dalam mengorganisasi orang, komunikasi dihadapan kelompok, menyelesaikan masalah,dsb. Orang yang tidak pernah berhubungan dengan organisasi besar dan kelompok tidak mungkin mengembangkan kecerdasan organisasional untuk memahami dinamika kekuasaan dan pengaruh dalam lingkungan. Orang yang pekerjaannya memerlukan sedikit pemikiran strategis kurang mengembangkan kompetensi daripada mereka yang telah menggunakan pemikiran startegis bertahun-tahun.
Karakteristik Kepribadian Kepribadian bukanlah sesuatu yang tidak dapat berubah. Kepribadian seseorang dapat berubah sepanjang waktu. Orang merespon dan berinteraksi dengan kekuatan dan lingkungan sekitar. Walaupun dapat berubah, kepribadian cenderung berubah dengan tidak mudah. Tidaklah bijaksana mengharapkan orang memperbaiki kompetensinya dengan mengubah kepribadiannya.
Motivasi Dengan memberikan dorongan apresiasi terhadap pekerjaan bawahan, memberikan pengakuan dan perhatian individual dari atasan dapat memberikan pengaruh positif terhadap motivasi seseorang bawahan.
Isu Emosional Hambatan emosional dapat membatasi penguasaan kompetensi. Misal, takut membuat kesalahan, menjadi malu, merasa tidak disukai atau tidak menjadi bagian, cenderung membatasi motivasi dan inisiatif.
Kemampuan Inteletktual Kompetensi tergantung pada pemikiran kognitif seperti, pemikiran analitis, dan pemikiran konseptual
Menurut Moeheriono (2010:13) mengemukakan bahwa dalam setiap individu terdapat beberapa karakteristik kompetensi dasar, yaitu sebagai berikut :
Watak (traits), yaitu membuat seseorang memiliki sikap dan perilaku atau bagaimana orang tersebut merespon sesuatu dengan cara tertentu, seperti percaya diri, kontrol diri, ketabahan atau daya tahan.
Motif (motive),yaitu sesuatu yang diinginkan seseorang secara konsisten dengan dipikirkan dan diinginkan yang mengakibatkan suatu tindakan atau dasar dari dalam yang bersangkutan untuk melakukan suatu tindakan.
Bawaan (self concept), yaitu sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Pengetahuan (knowledge), yaitu informasi yang dimiliki seseorang pada bidang tertentu.
Keterampilan atau keahlian (skill), yaitu kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu baik secara fisik maupun mental. Kompetensi pengetahuan dan keterampilan cenderung lebih mudah untuk dikembangkan dengan adanya pendidikan dan pelatihan bagi pegawai yang dianggap masih kurang kompetensinya, sedangkan kompetensi watak, motif dan konsep diri lebih tersembunyi, sehingga cukup sulit untuk dikembangkan (Moeheriono,2010:14).
Istilah Kompetensi menurut Webster’s Dictionary mulai muncul pada tahun 1596. Istilah ini diambil dari kata lain “competere” yang artinya “to be suitable”. Kemudian ini secara substansial mengalami perubahan dengan masuknya berbagai isu dan pembahasan mengenai konsep kompetensi dari berbagai literatur. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang karyawan berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap prilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan, sehingga dapat melaksanakan pekerjaannya secara profesional, efektif dan efisien. Menurut Hutapea dan Thoha (2008:28) menjelaskan bahwa kompetensi adalah “Kemampuan dalam melakukan sebuah tugas dengan kinerja yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan perusahaan.” Ada tiga komponen utama pembentukan kompetensi yaitu :
Pengetahuan (knowledge), informasi yang dimiliki seseorang karyawan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan bidang tertentu.
Kemampuan (skill), sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan.
perilaku individu (attitude), perasaan senang tidak senang atau suka tidak suka
Menurut Wirawan (2012:80) untuk mengukur kinerja dapat menggunakan indikator sebagai berikut :
Kualitas hasil kerja yaitu kemampuan karyawan menunjukkan kualitas hasil kerja ditinjau dari ketelitian dan kerapian.
Kuantitas hasil kerja yaitu kemampuan karyawan dalam menyelesaikan sejumlah hasil tugas hariannya.
Efisiensi yaitu penyelesaian kerja karyawan secara cepat dan tepat. 4.Disiplin kerja yaitu kesediaan karyawan dalam mematuhi peraturan perusahaan yang berkaitan dengan ketepatan waktu masuk/pulang kerja.
Ketelitian yaitu kemampuan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur dan apa yang diperintahkan oleh atasan. Anwar Prabu Mangkunegara (2012:75) Mengemukakan bahwa indikator kinerja, yaitu :
Kualitas Kerja adalah seberapa baik seorang karyawan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.
Kuantitas Kerja adalah seberapa lama seorang karyawan bekerja dilihat dari kecepatan kerja setiap karyawan.
Pelaksanaan Tugas adalah seberapa jauh karyawan mampu melakukan pekerjaannya dengan akurat atau tidak ada kesalahan.
Tanggung Jawab terhadap pekerjaan adalah kesadaran akan kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan perusahaan
Menurut Sedarmayanti (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain :
Kemampuan dan Keahlian Merupakan kemampuan skill yang dimiliki seseorang melakukan suatu pekerjaan. Semakin memiliki kemampuan dan keahlian maka aka dapat menyelesaikankan pekerjaannya secara benar, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Karyawan yang memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih baik, maka akan memberikan kinerja yang lebih baik pula.
Pengetahuan Maksudnya adalah pengetahuan tentang pekerjaan. Sesesorang yang memiliki pengetahuan tentang pekerjaan secara baik akan memberikan hasil pekerjaan yang baik.
Karakteristik Pekerjaan Merupakan rancangan yang akan memudahkan dalam mencapai tujuannya, jika suatu pekerjaan memiliki rancangan yang baik, maka akan memudahkan untuk menjalankan pekerjaan tersebut secara tepat dan benar.
Gaya Kepemimpinan Merupakan gaya seorang sikap pemimpin dalam menghadapi atau memerintah bawahannya.
Pendidikan Tingkat pendidikan harus selalu dikembangkan melalui jalur pendidikan formal maupun informal.
Lingkungan Kerja Merupakan suasana atau kondisi disekitar lokasi ditempat bekerja. Lingkungan kerja dapat berupa ruangan, layout, sarana dan prasarana, serta hubungan kerja sesama rekan kerja.
Disiplin Kerja Merupakan suatu karyawan dalam menjalankan aktifitas kerjanya secara sungguh-sungguh. Disiplin kerja dalam hal ini merupakan waktu, misalnya masuk kerja selalu tepat waktu.
Kepuasan Kerja Merupakan perasaan senang atau gembira atau perasaan suka seseorang sebelum dan setelah melakukan suatu pekerjaan. Jika karyawan merasa senang atau gembira atau suka dalam bekerja, maka hasil pekerjaan akan baik pula.
Kepemimpinan Merupakan prilaku seorang pemimpin dalam mengatur, mengelola dan memerintah bawahannya untuk mengatur tugas yang diberikannya.
Kompetensi Merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik. Kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. 13
Budaya Organisasi Merupakan kebiasan-kebiasaan atau norma-norma yang berlaku dan dimiliki suatu organisasi atau suatu perusahaan. Kebiasaan norma ni mengatur al yang berlakudan dterima secara umum seerta harus dipatuhi oleh suatu perusahaan atau oganisasi.
Motivasi Kerja Merupakan dorongan bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan. Jika karyawan memiliki dorongan yang kuat dari dalam dirinya atau dorongan dari luar dirinya, maka karyawan akan terdorong untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Pada akhirnya dorongan dari dalam maupun dari luar diri seseorang akan menghasilkan kinerja yang baik.
Sejak pandemi covid-19, terjadi beberapa perubahan terkait dengan sistem kerja di Indonesia. Pengaturan kerja yang fleksibel marak dilakukan sebagai dampak dari adanya covid-19. Pengaturan kerja yang fleksibel merupakan bekerja alternatif yang memungkinkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan di luar batasan waktu dan atau tempat pada hari kerja normal. Terdapat dua bentuk pengaturan kerja fleksibel yang umum dilakukan yaitu flexy time atau kebebasan terkait waktu bekerja dan flexy place atau kebebasan terkait lokasi bekerja (Shockley & Allen dalam Ham & Etikariena, 2021, p. 10). Work From Home atau disingkat WFH adalah salah satu bentuk sistem kerja yang fleksibel. Pola kerja WFH merupakan bagian dari ruang kerja fleksibel (Flexible Working Space / FWS) yang merupakan suatu terobosan baru mengenai cara kerja di era pandemi covid-19. FWS adalah pengaturan pola kerja pegawai yang memaksimalkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan dan menjaga produktivitas pegawai serta menjamin keberlangsungan pelaksanaan tugas dengan memberikan fleksibilitas lokasi kerja selama periode tertentu (BPS RI, 2021, p. 47). WFH adalah sebuah konsep bekerja dari mana saja namun dalam situasi dan kondisi yang berbeda, atau lebih dikenal dengan virtual working, yang menuntut top management level untuk mampu secara bersama-sama menjaga keamanan karyawannya dalam bekerja dan kestabilan performa perusahaan (Sakitri, 2020, p. 1). Menurut Mustajab et al., (2020, pp. 13–14), WFH adalah metode dan budaya kerja dengan bekerja dari rumah, memanfaatkan teknologi informasi dimana organisasi melakukan transformasi dalam semua aspek untuk membangun startegi keuntungan kompetitif, sebagai sebuah fenomena dalam upaya mencegah penyebaran covid-19 di banyak negara di dunia yang dapat berdampak pada produktifitas karyawan. Sejalan dengan Putri & Amran, (2021, p. 31), WFH atau bekerja dari rumah adalah istilah umum untuk berbagai praktik kerja yang melibatkan informasi teknologi komunikasi (TIK) dan lokasi kerja selain kantor utama. Kerja dari rumah bisa memiliki dampak positif atau negatif pada keseimbangan kehidupan kerja bagi setiap karyawan. Ini dapat memiliki hasil yang berbeda karena work life balance memiliki tolak ukur yang unik, yaitu kembalinya nilai dan prioritas hidup seseorang. Misalnya, bagi sebagian orang bekerja dari rumah dapat meningkatkan kualitas hubungan dengan keluarga. Di sisi lain, bekerja dari rumah dapat meningkatkan kaburnya batas antara pekerjaan dan keluarga, sehingga upaya untuk memisahkan waktu antara bekerja dan waktu untuk keluarga menjadi sulit. Lebih lanjut Putri & Amran, (2021, p. 31) mengemukakan 4 (empat) aspek yang bertindak sebagai dimensi dalam mengukur Work From Home, yaitu: lokasi kerja, informasi dan komunikasi teknologi (ICT), waktu, dan hubungan dengan rekan kerja. Penerapan sistem kerja work from home (WFH) ini membuat pegawai memiliki waktu yang fleksibel dalam pengerjaan tugas. Hal ini akan membuat pegawai lebih produktif sehingga pegawai ASN menjadi bahagia dan kehidupan pribadi akan menjadi seimbang ataupun sebaliknya membuat pegawai menjadi tidak disiplin dan mengurangi kepuasan kerja (Fahmi et al., 2021, p. 2218). Menurut Tamunomiebi & Oyibo, (2020, pp. 3–4), dalam organisasi dimana karyawan bekerja pada lingkungan yang tidak fleksibel, akan cenderung mengalami stres dan konflik peran, karena organisasi yang menerapkan jam kerja fleksibel dapat memenuhi kebutuhan dan harapan karyawan.
Otonomi kerja atau job autonomy diartikan sebagai sejauh mana suatu pekerjaan tertentu dapat memberikan kebebasan yang besar, kemandirian, dan keleluasaan individu dalam penjadwalan kerja dan menentukan prosedur yang akan digunakan dalam pelaksanaannya (Johari et al., 2018, p. 109). Hackman dan Oldham dalam Johari et al., (2018, p. 109) menegaskan bahwa otonomi kerja mengarah pada keadaan psikologis secara kritis dimana adanya rasa tanggung jawab pada karyawan untuk hasil pekerjaannya, berdasarkan pengalaman yang pada akhirnya mengarah pada efisiensi kerja yang lebih baik serta tingkat motivasi kerja yang lebih tinggi. Menurut Spector dan Saragih dalam Johari et al., (2018, p. 115), otonomi kerja memungkinkan karyawan untuk menentukan urutan dan kecepatan dalam pengerjaan serta prosedur yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam tulisannya, Ugargol & Patrick, (2018, p. 45) menyebutkan bahwa kebebasan yang diberikan dalam pengaturan kerja yang fleksibel juga dapat meningkatkan performa karyawan, karena ketika karyawan diberikan kebebasan terkait pengaturan kerja yang fleksibel, maka karyawan memiliki lebih banyak sumber daya untuk mencapai tujuan dalam bekerja, serta memiliki kontrol yang lebih besar akan pekerjaannya. Hal tersebut dapat membantu karyawan untuk memiliki lebih banyak energi yang ditujukan pada pekerjaannya, sehingga dapat memengaruhi performa kerja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketika karyawan dapat memanfaatkan kebebasan dalam mengontrol pekerjaannya, karyawan dapat mencapai performa kerja. Menurut Pearson et al., (2009, p. 44), otonomi kerja atau job autonomy merupakan tingkat kebebasan, independensi, dan kebijaksanaan yang dimiliki seseorang dalam merencanakan suatu pekerjaan dan menentukan cara apa yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Otonomi merupakan faktor yang sangat penting karena jika pegawai diberikan kendali atas waktu kerja dan metode kerja, maka dapat berinovasi merencanakan pekerjaan dengan caranya sendiri. Sebagai contoh pegawai yang memiliki pilihan untuk memilih prosedur kerja lebih cenderung memanfaatkan teknologi dan informasi dengan cara baru atau inovatif supaya dapat menyelesaikan tugas lebih cepat atau akurat. Dengan begitu pegawai tersebut memiliki kebebasan untuk menjadwalkan pekerjaannya sendiri dan bisa mengatur waktu untuk bereksperimen dengan perangkat lunak atau teknologi lain untuk menemukan cara dan solusi yang lebih efisien untuk pekerjaannya. Dalam tulisannya, Hutasuhut, Syauffa Pratiwi., (2016, p. 63) mendefinisikan otonomi kerja sebagai tingkat kebebasan, independensi, dan kebijaksanaan yang dimiliki seseorang dalam merencanakan suatu pekerjaan dan menentukan cara apa yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pengukuran otonomi kerja berdasarkan indikator yang diukur dengan poin-poin berskala ordinal (likert). Otonomi pekerjaan adalah kemampuan untuk memutuskan kapan, dimana, dan bagaimana pekerjaan itu harus dilakukan (Clark dalam Sarri, 2016, p. 5). Lebih lanjut Thompson dan Prottas dalam Sarri, (2016, p. 5) menemukan bahwa karyawan dengan tingkat otonomi pekerjaan yang lebih tinggi lebih mungkin untuk puas dengan pekerjaannya sehingga kinerjanya akan baik. Otonomi kerja (job autonomy) adalah sebagai tingkatan yang dimana sebagai individu diberikan kebebasan, kemandirian dan diskresi dalam pelaksanaan tugas seperti penjadwalan kerja dan prosedur yang telah ditentukan (Hackman dan Oldham) dalam Pratama, (2017, p. 155). Xie dan Johns dalam Pearson et al., (2009, p. 44) menemukan bahwa ketika otonomi sesuai dengan persyaratan tugas karyawan maka kinerja pekerjaan lebih tinggi. Otonomi dalam suatu pekerjaan memberikan kebebasan pada karyawan untuk mengatur dan menentukan prosedur yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan. Yang diharapkan dengan adanya kebebasan yang diberikan, dapat digunakan dengan tanggung jawab. Dengan adanya kebebasan ini, kinerja karyawan akan menjadi meningkat terhadap pekerjaan yang diberikan (Pratama, 2017, p. 155).
Keseimbangan kehidupan kerja atau work life balance menurut Abendroth dan Dulk dalam Johari et al., (2018, p. 110) mengacu pada keharmonisan antar berbagai domain kehidupan. Daipuria, P. & Kakar, (2013, p. 47) mendefinisikan keseimbangan kehidupan kerja sebagai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, serta perasaan nyaman dengan komitmen peran ganda yang dijalankan yaitu pekerjaan dan keluarga. Konsep keseimbangan kehidupan kerja dibangun di atas gagasan bahwa kehidupan kerja dan kehidupan pribadi pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain dalam mewujudkan kesempurnaan hidup seseorang. Namun, terkadang diantara pekerjaan dan keluarga sulit dijalankan secara seimbang, sering terjadi salah satunya memerlukan prioritas penuh. Kehidupan seseorang dapat dianggap tidak seimbang ketika jumlah waktu bekerja menyebabkan konflik atau stres di bidang kehidupan lainnya. Pilihan yang dibuat untuk menentukan salah satu prioritas, bisa jadi menyebabkan konflik dengan rekan kerja dan/atau anggota keluarga. Stres juga bisa disebabkan oleh spillover di mana seseorang mengkhawatirkan masalah kehidupan saat bekerja dan mengkhawatirkan masalah pekerjaan saat di rumah. Keseimbangan kehidupan kerja seseorang didasarkan pada persepsi seseorang tentang keseimbangan. Lebih lanjut, Saikia dalam Johari et al., (2018, p. 110) mendefinisikan konsep ini sebagai sejauh mana seseorang terlibat dan sama-sama puas dengan pekerjaan dan peran pribadinya. Byrne menegaskan bahwa keberhasilan dalam mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan membuat karyawan lebih termotivasi, produktif, dan mengurangi stres. Keseimbangan kehidupan kerja juga dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi tingkat turnover (Johari et al., 2018, p. 110). Bulger dan Fisher menjelaskan definisi keseimbangan kehidupan kerja adalah kemampuan untuk mencapai tujuan atau memenuhi tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi seseorang, serta mencapai kepuasan dalam semua domain kehidupan. Mengapa keseimbangan kehidupan kerja begitu penting? Sudah banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa keseimbangan kehidupan kerja memainkan peran penting dalam kepuasan hidup secara keseluruhan serta kepuasan domain (Lee, D. J., & Sirgy, 2018, p. 772). Selanjutnya penelitian telah menunjukan bahwa keseimbangan kehidupan kerja mempengaruhi pengalaman dalam kehidupan kerja dengan meningkatkan komitmen organisasi dan mengurangi stress kerja pegawai. Secara teori yang disampaikan oleh Clark, work life balance adalah kehidupan yang seimbang dimana individu mampu melaksanakan tanggung jawabnya di tempat kerja, di rumah dan di masyarakat dengan konflik peran yang sangat minimal. Apabila didefinisikan secara keseluruhan, work life balance adalah sejauh mana individu terlibat dan sama-sama merasa puas dalam hal waktu dan keterlibatan psikologis dengan perannya di dalam kehidupan kerja dan kehidupan pribadi misalnya pasangan, orang tua, keluarga, teman dan anggota masyarakat, serta tidak adanya konflik diantara kedua peran tersebut (Adiningtiyas & Mardhatillah, 2016, p. 327). Menurut Kossek et al., (2014, p. 300), work life balance adalah kepuasan dan persepsi keberhasilan yang dicapai oleh seseorang dalam memenuhi tuntutan peran pekerjaan dan non pekerjaan, serta rendahnya tingkat konflik dalam kedua peran yang dimilikinya. Dengan kata lain work life balance merupakan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dengan peran lainnya di luar pekerjaan juga mencakup bagaimana peran tersebut mempengaruhi kesejahteraan psikologis, ekonomi, dan mental karyawan. Kirchmeyer dalam Tamunomiebi & Oyibo, (2020, p. 2) mendefinisikan work life balance sebagai pencapaian pengalaman yang memuaskan di semua domain kehidupan dan untuk melakukannya membutuhkan sumber daya pribadi seperti energi, waktu dan komitmen untuk didistribusikan dengan baik di seluruh domain. Greenhaus, Collins dan Shaw dalam Tamunomiebi & Oyibo, (2020, p. 2) juga mendefinisikannya sebagai sejauh mana seorang individu terlibat dan setara kepuasannya antara peran pekerjaan dan peran keluarganya. Haar, Russo, Sune dan Ollier Malaterre dalam Tamunomiebi & Oyibo, (2020, p. 2) berpendapat bahwa work life balance adalah penilaian individu tentang bagaimana menyeimbangkan banyak peran kehidupan secara efektif.
Pencapaian hasil kerja individu diketahui melalui penilaian kinerja organisasi terhadap individu tersebut. Kamaroellah, (2014, p. 33) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai analisis dan interpretasi keberhasilan atau kegagalan pencapaian kinerja. Sedangkan menurut Haryono, (2018, p. 18), penilaian kinerja berkenaan dengan seberapa jauh pegawai mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya, dimana kinerja individu pegawai diukur dengan tiga deskriptor atau dimensi kinerja yaitu: 1) Hasil kerja, meliputi: kuantitas hasil kerja, kualitas hasil kerja, serta efisiensi dalam melaksanakan tugas. 2) Perilaku kerja, meliputi: disiplin kerja, inisiatif, dan ketelitian. 3) Sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan, meliputi: kepemimpinan, kejujuran, dan kreativitas.
Setiap organisasi, lembaga, atau perusahaan memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mencapai tujuannya. Sumber daya diperlukan untuk menciptakan daya, gerakan, aktivitas, kegiatan, dan tindakan dalam sebuah organisasi, lembaga, atau perusahaan. Sumber daya tersebut berupa sumber daya alam, sumber daya finansial, sumber daya manusia, sumber daya ilmu pengetahuan, dan sumber daya teknologi. Diantara semua sumber daya tersebut, yang paling penting adalah sumber daya manusia. SDM merupakan sumber daya yang dipergunakan untuk mendayagunakan sumber daya lain dalam mencapai tujuan. Menurut Tamunomiebi & Oyibo, (2020, p. 1), karyawan merupakan aset yang sangat vital dalam suatu organisasi dan merupakan sumber daya paling penting dalam melakukan proses organisasi dan menjadi kunci dalam menentukan pencapaian tujuan organisasi. Tantangan setiap organisasi adalah bagaimana mengoptimalkan kinerja karyawan, organisasi harus mencari cara untuk memotivasi karyawan supaya memberikan kinerja yang terbaik pada pekerjaannya, salah satunya dengan kebijakan yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif baik melalui internal maupun sarana eksternal. Oleh karena itu suatu organisasi atau perusahaan tentu sangat memperhatikan kinerja SDM yang ada di dalamnya, sebagai bahan penilaian dari suatu target yang telah ditentukan. Begitu juga dengan para karyawan yang memerlukan umpan balik atas hasil kerjanya selama periode tertentu. Setiap organisasi atau lembaga yang memberikan pelayanan (service) baik berupa produk barang atau jasa harus memperhatikan kualitas pelayanan, sehingga seluruh pegawai dituntut memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang telah dibebankan kepadanya (Fahmi et al., 2021, p. 2223). Kompetensi salah satunya dilihat dari kinerja yang diberikan pegawai terhadap organisasi. Kinerja (job performance) sudah menjadi kata populer, dalam tesaurus bahasa indonesia berarti performa, kemampuan, penampilan, prestasi dan kapasitas (tesaurus.id, diakses 1 November 2021). Bastian mendefinisikan kinerja sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut (Tsauri, 2014, p. 1).
Menurut Frone, M.R (2000) konflik peran ganda merupakan suatu bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Ketika seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaan. Adanya konflik peran yang dialami oleh ibu bekerja dan tidak dapat dikelola dengan baik akan menghambat kepuasan kerja mereka. Perasaan bersalah (meninggalkan peran sementara waktu sebagai ibu rumah tangga) membuat mereka tidak dapat menikmati perannya dalam dunia kerja yang dapat menimbulkan ketidakpuasan mereka dalam melakukan pekerjaannya.
Studi-studi tentang pentingnya perbedaan karakteristik pekerjaan menemukan secara konsisten bahwa sifat pekerjaan itu sendiri adalah determinan utama dari kepuasan kerja. Beberapa studi terakhir telah berusaha mengidentifisir dimensidimensi penting dari materi pekerjaan dan mengetahui bagaimana kepuasan pekerja ditentukan bersama oleh materi pekerjaan dan sifat individu. Dimensi-dimensi inti antara lain: ragam ketrampilan (skill variety), identitas pekerjaan (task identity), signifikasi tugas (task significance), otonomi dan umpan balik pekerjaan itu sendiri. Kelima karakteristik kerja ini akan mempengaruhi tiga keadaan psikologis yang penting bagi karyawan, yaitu: keberartian tugas, tanggung jawab, dan pengetahuan akan hasil kerja. Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan mempengaruhi motivasi secara internal, kualitas kerja, serta kepuasan kerja karyawan (Mathis, R.L dan Jacson 2006).
Menurut Hasibuan (2001:202), untuk mengukur kepuasan kerja karyawan dapat dilakukan melalui beberapa aspek yaitu:
Kedisiplinan Kedisiplinan merupakan suatu keharusan dan perlu dimiliki oleh setiap karyawan dalam bekerja. Menurut Handoko (2001), disiplin merupakan kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan karyawan merupakan kesadaran dan kesediaan karyawan dalam mentaati semua peraturan perusahaan.
Moral kerja Moral kerja merupakan suatu perasaan bertanggung jawab karyawan atas pekerjaannya sehingga akan berpengaruh terhadap hasil pekerjaan dari karyawan tersebut. Karyawan yang memilki moral kerja rendah cenderung memiliki hasil pekerjaanya yang kurang maksimal, begitu juga sebaliknya karyawan yang memiliki moral kerja tinggi akan memiliki hasil pekerjaannya yang lebih maksimal. Terbentuknya moral kerja berawal dari adanya persepsi pegawai terhadap situasi di dalam organisasi secara keseluruhan. Hasil dari proses persepsi dan pengalaman kerja di lingkungan organisasi tersebut akan menjadi bagian dari mekanisme penyesuaian secara terus-menerus antara kepercayaan (beliefs) dan perasaan (feelings) yang membentuk atau mengubah sikap individu. Jadi moral kerja bisa dikatakan sebagai keterlibatan atau kepedulian, minat dan antusiasme pekerja untuk melakukan pekerjaan mereka.
Turnover Turnover yaitu tingkat pergantian atau keluar masuknya karyawan pada suatu perusahaan. Pada umumnya apabila seorang karyawan kurang memiliki kepuasan dalam bekerja pada suatu perusahaan, maka karyawan tersebut akan memiliki keinginan untuk keluar dari perusahaan tersebut. Tidak adanya titik temu antara perusahaan dengan karyawan menimbulkan ketidakpuasan pada salah satu pihak, sebagai akibatnya perputaran karyawan tidak dapat dihindarkan (Handoko, 2001). Perusahaan bisa mengharapkan bahwa bila kepuasan kerja karyawan meningkat maka tingkat absensi dan turnover karyawan dari perusahaan kecil, begitu juga sebaliknya (Handoko, 2001).
Terhadap Produktivitas Produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja memersepsikan bahwa apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang karyawan terima yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang unggul. Dengan kata lain bahwa performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja seorang pekerja, karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang diharapkan.
Terhadap Ketidakhadiran Dan Keluarnya Tenaga Kerja Kemangkiran yang tinggi disebabkan oleh kepuasan kerja yang rendah. Sementara kepuasan kerja yang tinggi akan membuat tingkat kemangkiran yang rendah.
Keluarnya Pekerjaan Tingkat kepuasan karyawan yang tinggi akan meminimasi tingkat keluarnya karyawan. Berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
As’ad, (2001) banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja adalah: Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.
Faktor social, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan pekerja, kebebasan berpolitik dan hubungan kemasyarakatan.
Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan social didalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. AA. Prabu Mangkunegara (2008) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:
Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan ketrampilan.
Faktor social, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi social antarkaryawan maupun karyawan dengan atasan.
Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya.
Faktor financial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi system dan besarnya gaji, jaminan social, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan sebagainya.
Two factor theory dikemukakan oleh F. Herzberg (2003), berdasarkan hasil penelitiannya Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: a. statisfers atau motivator, faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan yang terdiri dari: pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, status, promosi dll. b. dissatifiers atau hygiene factors, yaitu faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, seperti: gaji, keamanan, kondisi kerja, hubungan interpersonal yang baik, jaminan perusahaan dll
Menurut konsep teori ini dalam Wibowo (2007), kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil. Akan semakin puas. Semakin sedikit mereka menerima hasil, akan kurang puas. Value Theory memfokuskan pada hasil manapun yang menilai orang tanpa memperhatikan siapa mereka
Menurut Munandar (2001), menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai:
pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seorang individu dengan apa yang ia terima
pentingnya apa yang diinginkan bagi individu Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan bagi individu.
Mathis, R.L dan Jackson (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kepuasan psikologis dan akhirnya akan timbul sikap atau tingkah laku negative dan pada gilirannya akan dapat menimbulkan frustasi, sebaliknya karyawan yang terpuaskan akan dapat bekerja dengan baik, penuh semangat, aktif dan dapat berprestasi lebih baik dari karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda sesuai dengan system nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya, sebaliknya semakin sedikit aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakannya.
Yang, Chen, Choi, & Zou, 2000 Vol 43, No 1 mengidentifikasikan tiga jenis work-family conflict, yaitu:
Konflik berdasarkan waktu (Time-based conflict). Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). Bentuk konflik ini secara positif berkaitan dengan jam kerja dan ketidakteraturan shift.
Konflik berdasarkan tekanan (Strain-based conflict). Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lainnya. Tekanan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Strain based conflict muncul saat tekanan yang diakibatkan dari menjalankan peran yang satu, mempengaruhi performa individu di perannya yang lain. Peran- peran tersebut menjadi bertentangan karena tekanan akibat peran yang satu membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan perannya yang lain.
Konflik berdasarkan perilaku (Behavior-based conflict). Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan atau keluarga). Yang dimaksud dengan behaviour based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk peran yang lain. Misalnya seorang wanita karir diharapkan menekankan perilaku yang tegas, stabil secara emosional dan objektif (Schein, dalam Greenhaus & Beutell, 1985), diharapkan oleh anggota keluarganya untuk berperilaku hangat, penuh kasih sayang, emosional dan peka saat berinteraksi dengan mereka
Menurut Kamaludin (2002) konflik adalah segala sesuatu (interaksi) pertentangan atau antagonis antar dua pihak atau lebih. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “konflik” berarti “pertentangan” atau “percekcokan”. Konflik atau pertentangan bisa terjadi pada diri seseorang (konflik internal) ataupun di dalam kalangan yang lebih luas. Konflik terjadi saat motif, tujuan, keyakinan, opini dan tingkah laku seseorang bersinggungan atau tidak sesuai dengan yang lain. Konflik terjadi saat harapan atau tindakan seseorang sebenarnya menghambat harapan atau tindakan orang lain, seperti saat seseorang harus melepaskan keninginannya karena pengaruh pasangan (Aryanti, 2008). Sedangkan peran adalah suatu set perilaku yang diharapkan dilakukan oleh individu yang memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok (Baron & Byrne 2009). Menurut Gibson et al (2000) peran ganda seringkali menimbulkan konflik peran bagi yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena mereka harus menjalankan berbagai peran yang berbeda, sementara dalam masing-masing peran itu sendiri bisa terjadi dari serangkaian peran yang kompleks. Pada perempuan yang bekerja mereka dihadapkan pada banyak pilihan yang ditimbulkan oleh perubahan peran dalam masyarakat. Di satu sisi mereka harus berperan sebagai ibu rumah tangga yang tentu saja bisa dikatakan memilki tugas yang cukup berat dan sisi lain mereka juga harus berperan sebagai wanita karir.
Kreitner dan Kinicki (2005) menjelaskan kondisi di mana individu mengalami tiga keadaan psikologis, keadaan tersebut antara lain: a. Pemahaman Tentang Pekerjaan Individu harus merasakan pekerjaannya penting dalam suatu sistem nilai yang diterimanya. Keadaan ini muncul karena adanya keanekaragaman ketrampilan, identitas tugas dan arti tugas. Keanekaragaman keterampilan, identitas tugas dan arti tugas secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. b. Pengalaman Bertanggung Jawab Atas Hasil Karyawan harus merasa yakin bahwa secara pribadi dirinya dapat diperhitungkan untuk usaha yang dilakukannya. Keadaan ini muncul akibat adanya unsur otonomi. Otonomi memberikan kepada pelaksana pekerjaan itu suatu pesan tanggung jawab pribadi untuk hasil-hasilnya. Sehingga dirinya dapat merasakan bahwa pekerjaan yang dikerjakannya saat ini tergantung pada usaha, inisiatif dan keputusannya sendiri. c. Pengetahuan Tentang Hasil Kerja Karyawan harus mampu menentukkan pada suatu dasar apakah hasil dari pekerjaannya memuaskan atau tidak. Keadaan ini muncul akibat adanya unsur umpan balik. Jika suatu pekerjaan memberikan umpan balik, maka karyawan tersebut akan mengetahui seberapa efektif dia bekerja.
Penghasilan pedagang kaki lima adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh pedagang kaki lima baik yang berasal dari keterlibatan langsung dalam proses produksi atau tidak, yang dapat diukur dengan uang dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perorangan pada suatu keluarga pedagang kaki lima dalam satu bulan
Motivasi merupakan serangkaian sikap dan nilai-nilai yang dapat memberikan pengaruh terhadap setiap individu yang dapat mencapai hal yang lebih nyata dengan tujuan individu. Moral dan nilai merupakan suatu tidak terlihat atau nampak yang memberikan dorongan seseorang untuk bertingkah laku dalam mencapai tujuan. Dorongan tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu : arah perilaku (kerja untuk mencapai tujuan), dan kekuatan perilaku (seberapa kuat usaha individu dalam berinteraksi)
Pedagang Kaki Lima (Sektor Informal) adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti trotoar, pingir-pingir jalan umum, emperan toko dan lain sebagainya
Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki perilaku yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Bentuk interaksi sosial dalam penelitian ini akan dianalisis berdasarkan pendapat Partowisastro (2003) yang mengemukakan pendapat tentang bentuk-bentuk interaksi sosial itu pada dasarnya terbagi dalam dua proses, yaitu :
Proses-proses asosiasi;
Proses-proses dissosiasi;
Posted on
Penghasilan seseorang dapat dilihat dari pekerjaan utama mereka. Lapangan pekerjaan utama seseorang adalah bidang kegiatan utama pekerja tersebut. Lapangan pekerjaan utama biasanya digolongkan atas pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, persewaan, jasa perusahaan, dan jasa kemasyarakata (Mulyadi, 2008)
Penghasilan atau sering disebut pendapatan adalah jumlah seluruh penghasilan atau penerimaan yang diperoleh baik berupa gaji atau upah maupun pendapatan dari usaha dan pendapatan lainnya selama satu bulan, Penghasilan adalah uang yang diterima dan diberikan kepada subjek ekonomi berdasarkan prestasi-prestasi yang diserahkan yaitu berupa pendapatan dari profesi yang dilakukan sendiri atau usaha perorangan dan pendapatan dari kekayaan (Supratikno, 2004).
Disini dapat diartikan Penghasilan pedagang kaki lima adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh pedagang kaki lima baik yang berasal dari keterlibatan langsung dalam proses produksi atau tidak, yang dapat diukur dengan uang dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perorangan pada suatu keluarga pedagang kaki lima dalam satu bulan.
Motivasi didefinisikan sebagai dorongan. Dorongan merupakan suatu gerak jiwa dan perilaku seseorang untuk berbuat. Sedangkan motif dapat dikatakan suatu driving force yang artinya sesuatu yang dapat menggerakkan manusia untuk melakukan tindakan atau perilaku, dan di dalam tindakan tersebut terdapat tujuan tertentu. Menurut Umam(2012 : 159) . Pengertian dari motivasi tercaakup berbagai aspek tingkah atau perilaku manusia yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku atau tidak berperilaku. Namun dalam istilah berikut ini, motivasi adalah dorongan manusia untuk bertindak dan berperilaku. Sedangkan pengertian motivasi di kehidupan sehari-hari, motivasi dapat diartikan sebagai proses yang dapat memberikan dorongan atau rasangan kepada karyawan sehingga mereka bersedia bekerja dengan ikhlas dan tidak terbebani menurut Saydam(2000 : 326).
Menurut Usman (2013 : 276) Motivasi ialah dorongan yang dimiliki seseorang untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan(need), keinginan(wish), dorongan(desire) atau impuls. Motivasi merupakan dorongan yang dimiliki seorang individu yang dapat merangsang untuk dapat melakukan tindakan-tindakan atau sesuatu yang menjadi dasar atau alasan seseorang untuk berperilaku atau melakukan sesuatu. Motivasi kerja dapat diartikan sebagai dorongan yang terdapat pada diri seseorang sehingga ia terdorong untuk melakukan suatu kegiatan yang berkaitan dengan suatu pekerjaan. Motivasi seseorang dapat diperoleh dari kebutuhannya.
Motivasi merupakan serangkaian sikap dan nilai-nilai yang dapat memberikan pengaruh terhadap setiap individu yang dapat mencapai hal yang lebih nyata dengan tujuan individu. Moral dan nilai merupakan suatu tidak terlihat atau nampak yang memberikan dorongan seseorang untuk bertingkah laku dalam mencapai tujuan. Dorongan tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu : arah perilaku (kerja untuk mencapai tujuan), dan kekuatan perilaku (seberapa kuat usaha individu dalam bekerja) motivasi meliputi perasaaan, pikiran, dan pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang yang merupakan bagian dari hubungan dalam dan hubungan luar dari perusahaan. Selain itu motivasi diartikan sebagai dorongan yang dimiliki seorang individu untuk berperilaku atau bertindak karena mereka ingin melakukan perbuatan yang dapat mencapai tujuan atau keberhasilan. Apabila individu memiliki motivasi yang kuat mereka akan melakukan suatu tindakan yang positif untuk melakukan sesuatu, karena dapat mencapai tujuan mereka (Rivai, 2013 : 607)
Posted on
Interaksi sosial secara umum dapat dipengaruhi oleh perkembangan konsep diri dalam seseorang, terkhusus lagi dalam hal individu memandang positif atau negatif terhadap dirinya, sehingga ada yang menjadi pemalu atau sebaliknya dan akibatnya kepada masalah hubungan interaksi sosialnya. Menurut Monks dkk (2006) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi interaksi sosial yaitu :
Jenis kelamin. Kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi dengan teman sebaya/sejawat lebih besar daripada perempuan.
Kepribadian ekstrovert. Orang-orang ekstrovert lebih komformitas daripada introvert.
Besar kelompok. Pengaruh kelompok menjadi makin besar bila besarnya kelompok semakin bertambah.
Keinginan untuk mempunyai status. Adanya dorongan untuk memiliki status inilah yang menyebabkan seseorang berinteraksi dengan sejawatnya, individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat atau status terlebih di dalam suatu pekerjaan.
Interaksi orang tua. Suasana rumah yang tidak menyenangkan dan tekanan dari orang tua menjadi dorongan individu dalam berinteraksi dengan teman sejawatnya.
Pendidikan. Pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam mendorong individu untuk interaksi, karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan pengetahuan yang luas, yang mendukung dalam pergaulannya.
Menurut Gerungan (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial yaitu :
Imitasi, mempunyai peran yang penting dalam proses interaksi. Salah satu segi positif dari imitasi adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Tetapi imitasi juga dapat menyebabkan hal-hal negatif, misalnya yang ditirunya adalah tindakan-tindakan yang menyimpang dan mematikan daya kreasi seseorang.
Sugesti, hal ini terjadi apabila individu memberikan suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima pihak lain. Berlangsungnya sugesti bisa terjadi pada pihak penerima yang sedang dalam keadaan labil emosinya sehingga menghambat daya pikirnya secara rasional. Biasanya orang yang memberi sugesti orang yang berwibawa atau mungkin yang sifatnya otoriter.
Identifikasi, sifatnya lebih mendalam karena kepribadian individu dapat terbentuk atas dasar proses identifikasi. Proses ini dapat berlangsung dengan sendirinya ataupun disengaja sebab individu memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya.
Simpati, merupakan suatu proses dimana individu merasa tertarik pada pihak lain. Didalam proses ini perasaan individu memegang peranan penting walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk kerjasama.
Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial yaitu intensitas bertemu dengan orang lain, jenis kelamin, kepribadian ekstrovert, besar kelompok, keinginan untuk memperoleh status, interaksi dengan orang tua, pendidikan, imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Louis (Toneka, 2000) mengemukakan interaksi sosial dapat berlangsung apabila memiliki beberapa aspek berikut :
adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini dan akan datang, yang menentukan sifat dan aksi yang sedang berlangsung;
adanya jumlah perilaku lebih dari seseorang;
adanya tujuan tertentu, tujuan ini harus sama dengan yang dipikirkan oleh pengamat.
Soekanto (2015) mengemukakan aspek interaksi sosial yaitu :
Aspek kontak sosial, merupakan peristiwa terjadinya hubungan sosial antara individu satu dengan lain. Kontak yang terjadi tidak hanya fisik tapi juga secara simbolik seperti senyum, jabat tangan. Kontak sosial dapat positif atau negatif. Kontak sosial negatif mengarah pada suatu pertentangan sedangkan kontak sosial positif mengarah pada kerja sama.
Aspek komunikasi. Komunikasi adalah menyampaikan informasi, ide, konsepsi, pengetahuan dan perbuatan kepada sesamanya secara timbal balik sebagai penyampai atau komunikator maupun penerima atau komunikan. Tujuan utama komunikasi adalah menciptakan pengertian bersama dengan maksud untuk mempengaruhi pikiran atau tingkah laku seseorang menuju ke arah positif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek interaksi sosial yang digunakan sebagai skala interaksi sosial yaitu kontak sosial dan komunikasi, dengan alasan kedua aspek sudah mencakup unsur-unsur dalam interaksi sosial serta dianggap dapat mewakili teori-teori yang lain.
Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.
Adapun Basrowi (2005) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok dengan kelompok, maupun orang dengan kelompok manusia. Bentuknya tidak hanya bersifat kerjasama, tetapi juga berbentuk tindakan, persaingan, pertikaian dan sejenisnya. Menurut Partowisastro (2003) interaksi sosial ialah relasi sosial yang berfungsi menjalin berbagai jenis relasi sosial yang dinamis, baik relasi itu berbentuk antar individu, kelompok dengan kelompok, atau individu dengan kelompok.
Soekanto (2015) mengemukakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang meliputi hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Menurut Sarwono dan Meinarno (2009) interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lain.
Gerungan (2006) secara lebih mendalam menyatakan interaksi sosial adalah proses individu satu dapat menyesuaikan diri secara autoplastis kepada individu yang lain, dimana dirinya dipengaruhi oleh diri yang lain. Individu yang satu dapat juga menyesuaikan diri secara aloplastis dengan individu lain, dimana individu yang lain itulah yang dipengaruhi oleh dirinya yang pertama.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki perilaku yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.
Kesatuan Genealogis merupakan salah satu yang yang menjadi unsurdalam membangun solidaritas suatu kelompok. Solidaritas yang dibangun berdasarkan kesamaan keturunan mampu membuat suasana kelompok sosial lebihmengarah pada arah persaudaraan. Karena kesamaan keturunan mampu memberikan komitmen yang kuat dalam kelompok sosial agar tidak terputus tali persaudaraannya.
Kesatuan Religius
Setiap agama sudah pasti memiliki atauran-atauran dalam hidupbermasyarakat ataupun berkelompok. Aturan-aturan tersebut tertuang dalamsebuah nilai dan norma. Nilai dan norma inilah yang kemudian mengatur setiapgerak-gerik tingkah laku manusia. Tentu hal yang sangat ide menjadikan kesamaan agama sebagai pemersatu dalam membentuk suatau kelopok sosialdalam membangun solidaritas sosial
Kesatuan Teritorial (Community)
Terbentuknya suatu kelompok sosial dalam membangun solidaritas yangkuat tentu pula didasari karena adanya kesamaan suatau wilayah atau sering kitasebut dengan persamaan primordial (kedaeraan). Di dalam kesamaan primordialsudah pasti nilai-nilai serta norma-norma yang dianut akan sama. Hal ini akanlebih mudah dalam membangun pola interaksi dalam sebuah kelompok sosial.
Kesatuan Kepentingan (Asosiasi)
Tentu persamaan kepentingan dapat mempermudah tercapainya cita-cita bersama. Karena pada dasarnya individu-individu memiliki keinginan yang ingin dicapai. Oleh karena itu bergabung bersama dengan orang-orang yang memiliki persamaan kepentingan, akan jauh lebih mudah untuk mencapainya.
Pengertian solidaritas sosial berasal dari dua pemaknaan kata yaitu solidaritas dan sosial. Solidaritas sosial merupakan perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama. Durkheim membagi dua tipe solidaritas mekanik dan organik. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organik bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memilki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2018: 90-91).
Teori solidaritas (dalam Ritzer, 2012:145) dari Emile Durkheim menekankan pada keadaan individu atau kelompok yang mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup di masyarakat. Penulis melihat tingkat kebersamaan dalam anggota masyarakat yang berperan dalam meningkatkan solidaritas. Pembagian kerja memiliki imlikasi yang sangat besar terhadap struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara dimana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara- cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi solidaritas menjad solidaritas mekanik dan organik. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktifitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dn memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang dittandai oleh solidaritas organik bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang aa didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda – beda
Menurut Durkheim dalam (Ritzer, 2012:90), solidaritas sosial masyarakat terdiri dari dua bentuk yakni solidaritas sosial mekanik dan solidaritas sosial organik. Pandangan Durkheim mengenai masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas mekanik adalah suatu yang hidup. Masyarakat berpikir dan bertingkah laku dihadapan kepada gejala-gejala sosial atau fakta-fakta sosial yang seolah-olah berada diluar individu. pada masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi sehingga timbul rasa kebersamaan diantar anggota masyarakat. Solidaritas mekanik pada umumnya terdapat pada masyarakat pedesaan, solidaritas mekanik ini terbentuk karena setiap anggota terlibat dalam aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama dan memerlukan keterlibatan secara fisik.
Solidaritas mekanik tersebut mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam membangun kehidupan harmonis antara sesama, sehingga solidaritas tersebut lebih bersifat lama dan tidak tempore(sementara). Solidaritas mekanik juga didasarkan pada tingkat homogenitas yang sangat tinggi. Tingkat homogenitas individu yang tinggi dengan tingkat ketergantungan antara individu yang sangat rendah. Tingkat homogenitas tersebut dapat dilihat misalnya dalam pembagian kerja dalam masyarakat. Solidaritas mekanik dapat menjadikan individu memiliki tingkat kemampuan dan keahlian dalam suatu pekerjaan yang sama sehingga setiap individu dapat mecapai keinginannya tanpa ada ketergantungan kepada orang lain. Berbeda dengan tipikal solidaritas sosial mekanik, solidaritas organik adalah tipe solidaritas yang didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi dari adanya spesialis dalam pembagian kerja (Ritzer, 2012:145).
Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. Setiap anggota menjalankan peran yang berbeda, dan saling ketergantungan seperti pada hubungan antara organisme biologis. Solidaritas organik ini menyebabkan masyarakat yang ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, karena adanya saling ketergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada sistem kerja dan kelangsungan hidup masyarakat. Keadaan masyarakat dengan solidaritas organik ini, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif melainkan kesepakatan yang terjalin diantara berbagai kelompok profesi. Ciri dari masyarakat solidaritas mekanik ini ditandai dengan adanya kesadaran kolektif yang sangat kuat, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama. Ikatan kebersamaan tersebut terbentuk karena adanya kepedulian diantara sesama.
Menurut Emile Durkheim dalam (Ritzer, 2012:145) indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik ini adalah ruang lingkungan dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat represif (menekan). Anggota masyarakat ini memiliki kesamaan satu sama lainnya. Semuanya cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu, apalagi oleh masyarakat yang menjadi tempat penelitian kali ini. Hukuman yang dikenakan terhadap pelanggaran tehadap aturan-aturan represif tersebut pada hakekatnya adalah merupakan manifestasi dari kesadaran kolektif yang tujuannya untuk menjamin masyarakat berjalan dengan teratur dengan baik.
Ikatan yang mempersatukan anggota-anggota masyarakat disini adalah homogenya dan masyarakat terikat satu sama lainnya secara mekanik, jadi perilaku yang disebut melawan hukum jika dipandang mengancam atau melanggar kesadaran kolektif. Jenis dan beratnya hukuman tidak selalu harus mempertimbangkan kerugian atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelanggarannya, akan tetapi lebih didasarkan pada kemarahan bersama akibat terganggunya kesadaran kolektif seperti penghinaan, menfitnah, pembunuhan dan lain sebagainya, untuk menjamin supaya masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan baik dan teratur. Pembahasan mengenai kedua solidaritas akan digunakan manjadi satu saja, yaitu solidaritas mekanik yang mengambarkan akan keadaan dalam masyarakat pedesaan.
Solidaritas mekanik yang telah diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam teorinya; yakni dengan melihat kembali keberadaan masyarakat setempat yang dicirikan dengan kegiatankegiatan yang seragam antar masyarakat setempat. Durkeim dalam (Ritzer, 2012:90) menuturkan bahwa dalam solidaritas mekaniknya maka anggota dalam kelompok tersebut cenderung memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat; pemahaman, norma dan kepercayaan bersama. .
Kata Angkringan berasal dari kata pergaulan jawa, angkring atau nangkring yang memiliki arti duduk santai yang lebih bebas. Para pembeli yang duduk di bangku kayu memanjang di sekitar gerobak dapat mengangkat atau melipat kaki naik ke atas kursi. Angkringan merupakan suatu bentuk variasi dari kaki lima. Penjual kaki lima yang menggunakan pikulan juga dapat di temui di daerah-daerah lain. Kaki lima pikulan yang menjual makanan dengan harga murah seperti angkringan dapat pula di temui di Solo dan klaten. Menurut Klara, “masyarakat setempat menyebut kaki lima tersebut dengan nama HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Istilah ini gunakan di Solo, tetapi istilah ini populer di Yogyakarta adalah angkringan (Azizah Risyda, 2015).
Pada awalnya penjual angkringan tidak menggunakan gerobak dorong beroda dua, melainkan pikulan yang terbuat dari belahan batang bambu. Di kedua ujungnya digantung dua set perangkat, serta di lengkapi sebuah bangku untuk penjual. Satu set angkringan dilengkapi dengan alat dan bahan minuman yang akan di olah, termasuk anglo atau tungku berbahan bakar arang. Sementara, set-set yang lain memuat bahan makanan siap saji yang hanya perlu di bakar kembali diatas tungku. Perlengkapan kios berjalan ini masih sangat sederhana mengingatfrekuensi perpindahanya cukup tinggi.Konsep angkringanadalah gerobak dorong dari kayu dan tungku dari arang.Di atasnya ceret besar berjumlah tiga buah sebagai alat untuk menghidangkanbahan minuman. Tak lupa yang menambah suasana remang-remang eksotis adalahlampu minyak yang di sebut teplok yang menerangi di tengah gerobak. Tempat duduk yang menggunakan kursi kayu panjang mengelilingi gerobak yang dinaungi terpal plastik gulung sebagai tenda. Perpaduan yang bersahaja ini menjadiestetika angkringan yang terbentuk melawan waktu dan perkembangan zaman (Nita, 2017).
Meski begitu, inilah yang menjadi daya tarik luar biasa dari warung angkringan.Makanan yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telurpuyuh, dan keripik. Minuman yang dijualpun beraneka macam seperti teh, jeruk,kopi, tape, wedang jahe dan susu. Semua dijual dengan harga yang sangatterjangkau, mulai dari minuman Rp. 2000 – Rp. 6000, nasi kucing Rp. 3000, Rica-rica ayam Rp. 4000 dan macam-macam sate Rp. 3000. Meski harganya murah,namun konsumen warung ini sangat bervariasi. Mulai dari tukang bangunan,pegawai kantor, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif. Antarpembeli dan penjual sering terlihat mengobrol dengan santai dalam suasana penuh kekeluargaan.
Angkringan juga terkenal sebagai tempat yang egaliter karenabervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan strata sosial atau sara. Mereka menikmati makanan sambil bebas mengobrol hingga larut malammeskipun tak saling kenal tentang berbagai hal atau kadang berdiskusi tentangtopik-topik yang serius. Harganya yang murah dan tempatnya yang santaimembuat angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat persinggahanuntuk mengusir lapar atau sekadar melepas lelah. Akrabnya suasana dalamangkringan membuat nama angkringan tak hanya merujuk ke dalam tempat tetapikesuasana, beberapa acara mengadopsi kata angkringan untuk menggambarkansuasana yang akrab saling berbagi dan menjembatani perbedaan
Putnam (2000) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Lebih lanjut dikatakan Putman bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga. Hal ini diperjelas dengan adanya pernyataan Ridell dalam Suharto, E. & Yuliani. (2005) menyebutkan beberapa parameter modal sosial, antara lain kepercayaan, norma, dan jaringan. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga parameter modal sosial tersebut.
Jaringan: Granovetter mengungkapkan bahwa jaringan hubungan sosial adalah suatu rangkaian hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama di antara individu-individu atau kelompok-kelompok (Santoso: 2010). Jaringan ini akan menjadi media komunikasi dan interaksi yang menghasilkan kepercayaan dan kekuatan suatu kerja sama. Putnam berargumen bahwa jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerja sama para anggotanya serta manfaaat-manfaat dari partisipasinya itu. Kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi sekaligus membangun jaringan merupakan salah satu sumber kekuatan modal sosial. Sumber lain adalah pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial.
Pertukaran ekonomi untuk mendapatkan modal dan kepentingan ekonomi juga dapat dilakukan melalui perolehan reputasi lewat pengakuan dalam jaringan atau kelompok. Tahapan tersebut dapat mengoptimasi keuntungan relasional (menjaga hubungan sosial) serta analisis biaya dan keuntungan Hendry juga mengungkapkan bahwa jaringan-jaringan telah lama dilihat sangat penting bagi keberhasilan bisnis.
Terutama pada tingkat permulaan, bahwa fungsi jaringan-jaringan diterima dengan luas sebagai suatu sumber informasi penting, yang sangat menentukan dalam mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang bisnis (Field, 2010). Ben-Porath menambahkan mengenai konsep ‘F-connection’. Konsep ini terdiri dari families (keluarga), friends (teman), dan firms (perusahaan) Bentuk-bentuk koneksi tersebut dalam organisasi sosial dapat mempengaruhi pertukaran ekonomi. Jika dikembangkan secara lebih jauh, hubungan keluarga dan pertemanan bisa bermanfaat bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan atau karir yang lebih bagus.
Norma: Norma merupakan pemahaman, nilai, harapan, dan tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang dilengkapi sanksi yang bertujuan mencegah individu melakukan perbuatan menyimpang dalam masyarakat. Sebagian besar norma hanya dipahami tanpa ditulis, sehingga menentukan tingkah laku masyarakat dalam berhubungan sosial. Yustika menyatakan bahwa kerja sama yang dilengkapi dengan sanksi sosial dapat berfungsi sebagai komplementer untuk merangsang mekanisme efek modal sosial terhadap kinerja ekonomi. Dari kegiatan ekonomi tersebut, pelaku dapat mengakumulasi laba, upah, dan pengembalian modal sehingga terdapat insentif untuk berproduksi. Norma yang kuat memungkinkan setiap anggota kelompok atau komunitas saling mengawasi sehingga tidak ada celah bagi individu untuk berbuat ‘menyimpang’ Menurut Putnam dan Fukuyama, norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerja sama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerja sama. North mengungkapkan bahwa norma merupakan sebuah ‘institusi’ yang mengatur interaksi sosial antar manusia. Norma terbentuk oleh interaksi nilai-nilai yang dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat di dalamnya dan sifatnya selalu harus memberikan manfaat positf bagi setiap anggota masyarakat itu. Saat norma tidak bermanfaat atau bahkan merugikan, norma akan hilang dan mati (Leksono, 2009).
Kepercayaan: Menurut Fukuyama, kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Fukuyama juga mengklaim bahwa kepercayaan merupakan dasar paling dalam dari tatanan sosial: ”komunitas-komunitas tergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul secara spontan tanpanya ( Field, 2010). Sedangkan menurut Putnam (2000), rasa percaya adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya). Yustika menyatakan bahwa modal sosial tergantung dari dua elemen kunci, yaitu kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Dari perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan saling kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situsi sebaliknya. Menurut Francois, kepercayaan merupakan komponen ekonomi yang relevan melekat pada kultur masyarakat yang akan membentuk kekayaan modal sosial. Hal ini akan menciptakan suatu siklus sosial yang membuat kepercayaan yang tinggi (diwujudkan dalam tindakan untuk mencapai kepentingan bersama) berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat
Adapun lingkup modal sosial menurut Carrier R Leana dan Van Burren, terdiri dari tiga komponen utama yaitu associability, shared trust, dan shared responsibility. Dalam konteks associability penekanannya adalah sociability, kemampuan melakukan interaksi sosial diikuti dengan kemampuan memacu aksi kolektif yang memadai dalam usaha-usaha bersama. Selain itu dibutuhkan shared trust(kepercayaan timbal balik) dan juga shared responsibility (tanggung jawab timbal balik) dalam usaha kolektif. Dalam perspektif serupa Don Cohen Laurens mengungkapkan bahwa modal sosial dapat terlihat dalam aspek trust, mutual understanding (saling memahami), shared knowledge (pengetahuan bersama), dan cooperative action (aksi bersama). Modal sosial terjelma dari persenyawaaan tiga unsur yaitu pertama, ikatan tradisi dalam wujudnya sebagai keluarga, kekerabatan dan kewilayahan, kedua ketersediaan untuk bekerja keras di bawah pemahaman bahwa mereka yang tidak bekerja tidak berhak memperoleh makanan, ketiga suatu konteks yang disediakan oleh pemegang tampuk kekuasaan berupa ketentraman politik, terbukanya kesempatan ekonomi dan finansial serta jaminan keamanan masa depan yang meyakinkan. Dua faktor pertama bersama-sama dalam bingkai konteks faktor ketiga membentuk apa yang disebut modal sosial. Maka terjadi saling taut fungsional dari persekutuan antar manusia, karya dan modal.
Pendapat lain yaitu Woolcock, M. D. Narayan (2000) yang membedakan tiga tipe modal sosial sebagai berikut:
Sosial bounding, berupa kultur nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat. Modal sosial dengan karakteristik ikatan yang kuat dalam suatu sistem kemasyarakatan dimana masih berlakunya sistem kekerabatan dengan sistem klen yang mewujudkan rasa simpati berkewajiban, percaya resiprositas dan pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang dipercaya. Tradisi merupakan tata kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi kuat dengan pola perilaku masyarakat mempunyai kekuatan mengikat dengan beban sangsi bagi pelanggarnya.
Sosial bridging, berupa institusi maupun mekanisme yang merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Stephen Aldidgre menggambarkannya sebagai pelumas sosial yaitu pelancar roda-roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah komunitas dengan wilayah kerja lebih luas dari pada poin 1, bisa bekerja lintas kelompok etnis maupun kelompok kepentingan. Dapat dilihat pula adanya keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, dan jaringan.
Sosial linking, berupa hubungan/jaringan sosial dengan adanya hubungan diantara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti akan menggunakan komponen modal sosial yang diutarakan oleh Putnam yang menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi.
Pada awalnya, modal sosial berangkat dari hasil penelitian Robert Putnam (2000) di Italia yang menemukan bagaimana modal sosial berpengaruh terhadap perkembangan suatu wilayah. Bagi Robert Putnam modal sosial sebagai “connections among individuals social networks and the norms of reciprocity and trustworthiness that arise from them’. Hasil penelitian ini berkembang dengan hasil penelitian senada sehingga meberikan sudut pandang yang berbeda mengenai pengertian modal sosial. Ahli sosiologi Prancis Pierre Bourdieu (1985) mendefinisikan modal sosial atau social capital sebagai ‘the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition’. Sedangkan James Coleman (2000), ahli sosiologi Amerika, mengatakan bahwa modal sosial‘is not a single entity, but a variety of different entities, having two characteristics in common: they all consist of some aspect of a social structure,and they facilitate certain actions of individuals who are within the structure’.
Sedangkan menurut Fukuyama (2005) bahwa modal sosial secara sederhana yaitu serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Norma-norma yang menghasilkan sosial capital harus secara substantive memasukkan nilai-nilai seperti kejujuran, pemenuhan tugas dan kesediaan untuk saling menolong, dan komitmen bersama. Norma kooperatif di atas bisa dibagi di antara kelompok masyarakat terbatas dan bukan dengan yang lainnya dalam masyarakat yang sama. Menurut Cohen dan Prusak berpendapat bahwa modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia, rasa percaya, saling mengerti dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama (Cohen, Don dan Prusak, Laurence, 2001)
Berdasarkan uraian di atas maka modal sosial merupakan kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia, rasa percaya, saling mengerti dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama.
Istilah budaya lalu lintas terdiri dari dua kata yaitu budaya dan lalu lintas. Pengertian budaya sendiri adalah “nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat”. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Tagel, 2013).
Sedangkan kata lalu lintas dalam UU No. 22 Tahun 2009 didefenisikan sebagai: “ gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedangkan yang dimaksud dengan ruang lalu lintas adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung.” Adapun definisi mengenai lalu lintas lain menyebutkan bahwa menurut adalah “berjalan bolak balik, hilir mudik dan perihal perjalanan di jalan dan sebagainya serta berhubungan antara sebuah tempat dengan tempat lainnya. Secara keseluruhan budaya berlalu lintas adalah nilai sosial dan norma sosial yang ditumbuhkan dalam kehidupan masyarakat berkaitan dengan pengaturan mengenai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan” (Rachma, 2013).
Lalu lintas berarti berbicara mengenai manusia, kendaraan, dan jalan yang masing-masing mempunyai masalah tersendiri dan berkaitan dengan keselamatan hidup orang banyak khususnya para pemakai jalan raya. Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, lalu lintas diartikan sebagai : “Berjalan bolak-balik, hilir mudik, perihal perjalanan di jalan dan sebagainya, perhubungan antara sebuah tempat dengan tempat lain”. Sementara. Djajusman dalam bukunya, “Polisi Dan Lalu Lintas”, mengartikan lalu lintas sebagai : “Gerak-gerik pindah manusia dengan atau tanpa alat penggerak dari satu tempat ke tempat lain” (Djajoesman HS, 2006). Sementara UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, memberikan pengertian lalu lintas sebagai gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan. Sedangkan jalan diartikan sebagai jalan yang diperuntukan bagi lalu lintas umum, dan kendaraan adalah alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor.
Konsep budaya berlalu lintas sebenarnya merupakan penggabungan dari berbagai konsep lainnya. Diantaranya adalah safety driving adalah (Ikhsan, 2009):
perilaku mengemudi yang aman yang bisa membantu untuk menghindari masalah lalu lintas. Safety driving merupakan kegiatan untuk keselamatan berkendara. Kegiatan ini mencakup pada kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan mengendarai kendaraan bermotor, kiat-kiat aman berkendara. Ketrampilan dan keahlian berkendara yang dilatihkan dan diselenggarakan oleh polisi yang bekerjasama dengan sektor bisnis, media dan LSM yang ditujukan baik dari tingkat pelajar, mahasiswa, pengemudi angkutan umum, club otomotif, masyarakat umum atau siapa saja yang perduli terhadap masalah keselamatan berkendara dengan tujuan meningkatkan kemampuan serta kesadaran berlalu lintas untuk keselamatan para pengguna jalan.
Konsep lain yang lekat dengan budaya berlalu lintas adalah safety riding adalah yang mengandung pengertian adalah: “suatu usaha yang dilakukan dalam meminimalisir tingkat bahaya dan memaksimalkan keamanan dalam berkendara, demi menciptakan suatu kondisi, yang mana kita berada pada titik tidak membahayakan pengendara lain dan menyadari kemungkinan bahaya yang dapat terjadi di sekitar kita serta pemahaman akan pencegahan dan penanggulangan” (Mohamad 2009).
Menurut Canada Safety Council, dalam hal lain budaya berlalu lintas juga berkiatan dengan menyatakan defensiver driving yaitu (Ervina 2012) :
ketrampilan pengemudi bertahan dari kejadian berbahaya selama di jalan raya. Dimana terdapat 3 (tiga) hal rumusan yang diperlukan untuk melakukan pencegahan terjadinya tabrakan yaitu; mengenali bahaya (recognize the hazard), memahami cara bertahan (understand the defence), dan beraksi pada waktunya (act in time).
Peran adalah kelengkapan dari hubungan – hubungan berdasarkan peran yang di miliki oleh orang karena menduduki status-status sosial khusus. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu : harapan – harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban – kewajiban dari pemegang peran, dan harapan – harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang – orang yang berhubungan dengan dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya (Abdussalam. 2017)
Identitas peran, terdapat sikap tertentu dan perilaku aktual yang konsisten dengan sebuah peran dan menimbulkan identitas peran (role identify). Orang memiliki kemampuan untuk berganti peran dengan cepat ketika mereka mengenali terjadinya situasi dan tuntutan yang secara jelas membutuhkan perubahan besar. Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan ( status ) yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan status merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang apabila seseorang melakukan. Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa peran adalah proses dinamis kedudukan (status). Apabila seorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya (Soekanto . 2019)
Menurut Merton (dalam Soekanto, 2019) bahwa peranan didefiniskanm sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan – hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status sosial khusus. Menurut Abu Ahmadi (2019) bahwa peran adalah suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu yang berdasarkan status dan fungsi sosial
Menurut Djuhandar (2015) terdapat beberapa model rekruitmen dan seleksi politik yang biasa digunakan, yaitu:
Seleksi pemilihan melalui ujian dan pelatihan
Seleksi ini merupakan cara rekruitmen yang dianggap paling penting mengingat cara ini memiliki keragaman dan mempunyai implikasi penting bagi perekrutan politik. Dalam seleksi ini juga ditekankan perlu adanya kompetensi bagi semua calon yang ingin mengikuti tahapan seleksi, agar dapat melalui tahapan-tahapan dengan maksimal.
Pengembangan Kaderisasi
Pengembangan kader bertujuan untuk mematangkan dan mendewasakan kader melalui tantangan yang terdapat di tengah masyarakat, melalui akumulasi pengalaman dan penghayatan atas kehidupan masyarakat, sehingga menumbuhkan suatu bentuk kemampuan nyata sekaligus kearifan dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada. Pada tahap lebih lanjut, para kader diharapkan dapat mencari dan menemukan secara kreatif tantangan-tantangan tersebut dalam penghayatan dan pergumulannya di tengah masyarakat.
Menurut Putra (2013) bahwa dalam pernyataan lain disebutkan model kaderisasi partai politik ditunjukkan melalui proses sebagai berikut:
Rekrutmen Terbuka.
Rekrutmen terbuka yang mana syarat dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh dapat diketahui secara luas. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi elit politik yang berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini memberikan kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya. Dengan demikian cara ini sangat kompetitif. Jika dihubungkan dengan paham demokrasi, maka cara ini juga berfungsi sebagai sarana rakyat mengontrol legitimasi politik para elit. Adapun manfaat yang diharapkan dari rekrutmen terbuka adalah:
Mekanismenya demokratis.
Tingkat kompetisi politiknya sangat tinggi dan masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar mereka kehendaki.
Tingkat akuntabilitas pemimpin tinggi.
Melahirkan sejumlah pemimpin yang demokratis dan mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi.
Rekrutmen Tertutup.
Rekrutmen tertutup berlawan dengan cara rekrutmen terbuka. Dalam rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara bebas diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal dari dalam tubuh partai itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang kompetitif. Hal ini menyebabkan demokrasi berfungsi sebagai sarana elit memperbaharui legitimasinya.
Pamungkas (2011) menjelaskan ada 3 tahap dalam rekrutmen politik antara lain:
Tahap Sertifikasi, yaitu tahap pendefinisian kriteria yang dapat masuk dalam kandidasi. Berbagai hal mempengaruhi tahap sertifikasi meliputi aturan-aturan pemilihan, aturan-aturan partai, dan normanorma sosial informan.
Tahap Penominasian, yaitu tahap yang meliputi ketersedian (supply) calon yang memenuhi syarat dan permintaan (demand) dari penyeleksi ketika memutuskan siapa yang dinominasikan.
Tahap Pemilu, yaitu tahap terakhir yang menentukan siapa yang akan memenangkan pemilu.
Menurut Mangkubumi (2009) bahwa Komponen utama kaderisasi adalah:
Pendidikan kader, dimana disampaikan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan.
Penugasan kader, dimana para kader diberi kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan organisasi sebagai latihan pematangan dan pendewasaan.
Pengarahan karir kader, dimana para kader diberi tanggung jawab yang lebih besar dalam berbagai aspek perjuangan sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada
Pendapat dari para ahli memberikan pemahaman berbeda mengenai bagaimana succesion planning seharusnya dilakukan. Dalam beberapa pendapat maka pengelolaan succesion planning di dasarkan pada cakupan hasil dari pengelolaan itu sendiri. Sedangkan dalam pendapat berbeda menguraikan mengenai pengelolaan dipandang dari tahapan-tahapan yang harus dilewati. Hal inilah yang akan diuraikan dalam sub bab pengelolaan dalam succession planning di bawah ini:
Menurut Management Guide yang dirilis oleh Government of Newfoundland and Labrardor (2008), penting untuk dipahami bahwa proses succession planningbervariasi pada beberapa organisasi. Sumber daya yang berbeda, desain organisasi yang berbeda dan sikap yang berbeda merupakan faktor penyebab perbedaan tersebut. Succession planning harus fleksibel dan mudah disesuaikan agar bisa mengakomodasiberbagai kebutuhan dan mencapai kesinambungan bisnis. Secara umum bahwa Apabila ditinjau dari tahapan yang harus dilewati maka pendapat Meijaard et al. (2015) menyatakan bahwa perencanaan suksesi meliputi tiga tahap, yaitu tahap pra-suksesi, tahap suksesi, dan tahap pasca suksesi. Tahap pra-suksesi merupakan tahap di mana para suksesor potensial dikenalkan dengan pekerjaan mulai dari operasional hingga manajer madya, termasuk proses mengenal aktivitas bisnis yang dijalankan, mengenal karyawan dan keluarga lainnya yang terlibat dalam bisnis, maupun proses pembinaan dan penilaian kinerja suksesor. Tahap suksesi adalah tahap dimana secara resmi terjadi pergantian pengelola atau pemilik perusahaan keluarga. Tahap pasca-suksesi adalah tahap untuk menjaga kestabilan perusahaan dari kemungkinan konflik atau gangguan lain akibat proses suksesi sebelumnya. Tahap pra-transfer difokuskan pada empat faktor, yaitu karakteristik perusahaan, karakteristik pemilik (predecessor), perencanaan transfer, serta alasan transfer. Tahap transfer difokuskan pada dua faktor, yaitu karakteristik suksesor dan pelaksanaan transfer. Tahap post-transfer difokuskan pada tiga faktor, yaitu perubahan organisasional, perubahan sikap, dan perubahan kinerja.
Fleksibilitas proses succession planning dinyatakan dengan adanya beberapa model proses succession planning antara lain:
Model US Office of Personnel Management
Gambar 2.2. Proses Succession Planning menurut
US Office of Personnel Management (2008)
Government of Newfoundland and Labrardor (2008) menjelaskan tahapan proses succession planning yang dinyatakan oleh US Office of Personnel Management.
Tahap pertama adalah proses mengidentifikasi posisi kunci dan kelompokkunci. Posisi kunci terkait erat dengan posisi kritis dan risiko retensi. Posisi kritisadalah salah satu yang, jika kosong, akan memiliki dampak signifikan pada kemampuan organisasimelakukan bisnis secara normal. Pentingnya dampak tersebut dapat dipertimbangkan dalam halkeamanan, pengoperasian peralatan, operasi keuangan, efisiensi, opini publik, dan sebagainya.Risiko retensi mengacu pada posisi kepergian karyawan misalnya pensiun. Dengan memeriksa kriteria ini pada skala rendah-ke-tinggi, maka organisasi dapat menentukan posisi apa yang memerlukan perencanaan jangka pendek atau jangka panjang.
Tahap kedua adalah proses mengidentifikasi kompetensi. Semua posisi mensyaratkan adanya pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang diharapkan pada karyawan untukmemenuhinya. Dengan demikian, mengetahui kompetensi suatu pekerjaan adalah komponen wajib dalam proses rekrutmen, berfungsi sebagai garis dasar umum untuk mengukur calon potensial.
Tahap ketiga adalah proses mengidentifikasi dan mengevaluasi kandidat potensial. Tujuan utama mengidentifikasi dan menilai karyawan terhadap kompetensi kerja adalah dengan membantu memfokuskan kesempatan belajar dan pengembangan mereka untuk mempersiapkan peran mereka dalam organisasidi masa depan. Proses ini tidaktransparan dan dapat berdampak negatif terhadap moral karyawan lainnya (termasuk orang yang dipilih untuk suksesi) dan hubungan mereka dengan organisasi.Pendekatan modern terhadap succession planning menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas merupakan praktik terbaik untuk sebuah organisasi. Rekrutmen dalam pelayanan publik didasarkan pada prestasi,keadilan dan rasa hormat, dan konsep-konsep ini dipertahankan dan didukung oleh proses succession planning.
Tahap keempat adalah rencana belajar dan pengembangan. Begitu kandidat yang relevan telah diidentifikasi, berdasarkan minat dan potensinya keberhasilanannya dalam posisi kunci, organisasi harus memastikan bahwa karyawan tersebut memiliki aksesfokus belajar dan peluang pengembangan.
Tahap kelima adalah implementasi dan evaluasi. Mengevaluasi upaya succession planning akan membantu memastikan keefektifan proses tersebut dengan memberikan informasi mengenai: bagaimana proses beroperasi-hubungan antara input, kegiatan, output, dan outcome; dampak proses tersebut terhadap tujuan; kekuatan dan kelemahan fungsional; potensi gap yang terjadi dalam perencanaan dan asumsi; dan biaya keefektifan dan biaya keuntungan.
Model Rothwell
Proses succession planningyang dikemukakan oleh Rothwell (2010) dikenal dengan Seven-Pointed Star Model yang memiliki keunggulan padakonsepnya yang komprehensif sampai pada tahapan evaluasi.Selain itu, konsep Seven-Pointed StarModel juga dapat mengidentifikasi proses suksesi pada posisikunci lainnya selain CEO. Seven-Pointed Star Model for Systematic SuccessionPlanning andManagement yang terdiri dari tujuh langkahatau tahapan untuk dapat mencapai tujuan suksesi perusahaankeluarga. Langkah 1: Membuat komitmen, langkah 2:Menetapkan posisi kerja saat ini, langkah 3: Menilai KinerjaIndividu, langkah 4: Menilai posisi kerja masa depan, langkah5: Menilai potensi individu pada masa depan, langkah 6:Menutup kesenjangan pembangunan (gap).
Gambar 2.3 Proses Succession Planning menurut Rothwell (2010)
Langkah-langkahkunci di dalam pendekatan ini diantaranya:
Membuat komitmen
Dalam pembuatan komitmen, calon suksesor harusberkomitmen pada keluarga dalam perencanaantujuan masa depan, serta terhadap bisnis dankelangsungan hidup perusahaan. Calon suksesor yangmemegang komitmen kuat untuk melanjutkan bisniske generasi berikutnya merupakan calon suksesoryang paling mungkin sukses menjalankansuksesi didalam perusahaan. Pengambilan keputusan dalamperusahaan juga harus berkomitmen terhadapkesistematisan Succession Planning andManagement dalam memajukan program.
Menetapkan Posisi Kerja Saat Ini
Dalam suksesi, posisi kerja yang strategis yaituterletak pada posisi kunci. Posisi kunci inilah yangingin didalami oleh penulis. Posisi kunci merupakanindividu yang memiliki pengaruh penting dan jabatantinggi di dalam organisasi. Organisasi harus mulaimengidentifikasi posisi-posisi kunci, untukmemaksimal program perencanaan suksesi yangsistematis. Ada 6 cara yang dapat digunakan untukmengidentifikasi posisi kunci, yaitu: dengankonsekuensi (uproar) akibat pending atau adanyakekosongan; menurut bagan organisasi; denganpertanyaan; dengan bukti sejarah; dengan networkcharting; dengan kombinasi.
Menilai Kinerja Individu
Penilaian kinerja merupakan proses penentuanseberapa baik individu memenuhi persyaratan kerjadalam pekerjaan mereka. Dalam hal ini, penilaiankinerja akan dilakukan pada calon suksesor. Menilai kinerja calon suksesor dengan menggunakan FullCircle, Penilaian Multirater. Full-circle modelmerupakan sarana untuk menilai kinerja calonsuksesor saat ini atau potensinya di masa depan, danpengumpulan datanya dengan memeriksa individudari full-circle di sekitarnya. Data dapat berasal dariatasan, bawahan, rekan kerja dan bahkan pelanggan,pemasok, distributor, dan anggota keluarga.
Menilai Posisi Kerja Masa Depan
Penilaian persyaratan kerja di masa depan bertujuanuntuk ingin mengetahui posisi kunci dan kebutuhanbakat yang bagaimana yang nantinya akan muncul dimasa depan serta mengetahui persyaratan kerjadiposisi tersebut, penilaian potensi yang dimilikiindividu, dan juga adakah perkembangan baru dalammenilai potensi individu untuk dapat dipromosikan.
Ada 3 cara untuk dapat memprediksi posisi kunci dimasa depan: menerapkan scanning lingkungan,dengan memfokuskan perhatian pada ekonomi,pemerintah / hukum, teknologi, sosial, geografis, danisu-isu lain serta tren yang mempengaruhi lingkunganeksternal dalam organisasi; menerapkan analisisorganisasi, denganmengkaji proses sistematis dalammemposisikan diri untuk mengatasi tantangan masadepan, dilakukan untuk menilai kekuatan dankelemahan perusahaan; mempersiapkan perencanaanmasa depan yang realistis, dengan menuliskanharapan misi masa depan masing-masing fungsiorganisasi pada tabel, kemudian tambahkan namanama calonpemimpin dan penerus.
Menilai Potensi Individu Pada Masa Depan
Penilaian potensi individu adalah proses pengujianpeluang individu untuk melakukan perubahanpekerjaan atau pergerakan. Individu dapatdiklasifikasikan menjadi empat kelompok yang berbeda berdasarkan kinerja dan potensi mereka,yaitu:
Star (kiri atas) merupakan individu teladandalam posisi mereka saat ini dan dianggapmemiliki potensi yang tinggi untuk maju di masadepan. Ini merupakan aset utama perusahaan,merekadianggap memiliki potensi tinggi danmerupakan sumberpengganti untuk posisi kunci.
Workhorses (kanan atas) merupakan individuyang berkinerja dan menjadi teladan dalamposisi mereka saat ini yang dianggap memilikipotensi buruk di masa depan. Strategi yangefektif untuk workhorses adalah memanfaatkanketerampilan serta menjaga mereka tetaptermotivasi dan produktif.
Question mark (kiri bawah) merupakan individuyang berkinerja buruk dalam posisi mereka saatini yang dianggap memiliki potensi tinggi dimasa depan. Strategi yang digunakan adalah berfokus pada peningkatan kinerja saat ini,sehingga dapat mengubahnya menjadi star.
Deadwood (kanan bawah) merupakan individuyang tidak berkinerja baik dalam pekerjaan saatini dan tidak memiliki potensi untuk maju dimasa depan. Strategi ganda sangat efektif dengandeadwood.
Menutup Gap
Perusahaan harus memiliki beberapa sarana untukmenggantikan incumbent agar tidak terjadikekosongan pada posisi tersebut. Penulis menggunakan cara untuk menutup gap denganmempersiapkan Rencana Pengembangan Diri (IDP)yang merupakan hasil dari perbandingan kekuatandan kelemahan individu pada pekerjaan saat ini danpotensi individu untuk maju ke posisi kunci di masa depan. Mempersiapkan (IDP) merupakan suatuproses perencanaan untuk mengurangi gap antara apayang akan dilakukan saat ini dan masa depan untukmemenuhi kompetensi masa depan pada posisi kunci.
Melakukan evaluasi
Menurut Rothwell (2010), tujuan evaluasi adalah mengingatkan organisasi agar mengimplikasikan strategi bisnisbagi pengembangan karyawan, budaya dan perilaku sebaikdalam jumlah danketerampilan, sehingga beberapa bentuk audit atau review adalah penting. Teknik evaluasi yang digunakan adalah: audit sederhana tentang apakah target tercapai setelah dilakukan penambahan atau pengurangan yang berhubungan dengan biaya, tenaga terlatih, dan sebagainya.
Model Aon Consulting Global Forum (2003)
Dalam pernyataan lain menunjukkan bahwa proses pengelolaan manajemen suksesi berdasarkan aktivitas yang dilakukan dan proses manajemen suksesi berdasarkan perlakuan terhadap suksesor (Aon Consulting Global Forum (2003). Langkah pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi posisi-posisi kunci dan mendefinisikan persyaratan untuk menduduki posisi tersebut. Langkah kedua adalah mengidentifikasi suksesor yang sesuai dengan kriteria pada langkah pertama, masing-masing posisi sebanyak 2 calon. Pada tahap ini pula pengumpulan data berkaitan dengan masing-masing calon dilakukan. Tahap ketiga adalah menilai masing-masing calon berdasarkan posisi-posisi kunci yang tersedia. Tahap berikutnya adalah memberikan umpan balik dan pengarahan kepada masing-masing calon berdasarkan hasil penilaian, yang dilanjutkan mengidentifikasi pengembangan aktivitas yang seharusnya dilakukan masing- masing suksesor. Pada tahap ke lima, tim suksesi mengadakan pemetaan mengenai rencana pengembangan personal kepada masing-masing calon. Tahap terakhir adalah melaksanakan rencana pengembangan personal, mengevaluasi serta melakukan tindak lanjut. Dengan pentahapan seperti itu, pemilik perusahaan mempunyai informasi mengenai siapa yang paling tepat untuk menggantikan posisinya, jika sewaktu-waktu dia berhalangan tetap, atau ingin keluar dari aktivitas bisnis.
Gambar 2.4. Pengelolaan Succesion Planning Berdasarkan Aon Consulting Global Forum
Pada gambar tersebut, langkah pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi posisi-posisi kunci dan mendefinisikan persyaratan untukmenduduki posisi tersebut. Langkah kedua adalah mengidentifikasi suksesoryang sesuai dengan kriteria pada langkah pertama, masing-masing posisisebanyak 2 calon. Pada tahap ini pula pengumpulan data berkaitan denganmasing-masing calon dilakukan.
Tahap ketiga adalah menilai masing-masingcalon berdasarkan posisi-posisi kunci yang tersedia. Pada tahap ini jugadilakukanpemaduan gambaran kompetensi masing-masing suksesor.Tahap berikutnya adalah memberikan umpan balik dan pengarahankepada masing-masing calon berdasarkan hasil penilaian, yang dilanjutkan mengidentifikasi pengembangan aktivitas yang seharusnya dilakukan masingmasing suksesor.
Pada tahap ke lima, tim suksesi mengadakan pemetaanmengenai rencana pengembangan personal kepada masing-masing calon.Tahap terakhir adalah melaksanakan rencana pengembangan personal,mengevaluasi serta melakukan tindak lanjut. Dengan pentahapan seperti itu,pemilik perusahaan mempunyai informasi mengenai siapa yang paling tepatuntuk menggantikan posisinya, jika sewaktu-waktu dia berhalangan tetap, atauingin keluar dari aktivitas bisnis.
Model Scarborough dan Zimmerer (2006)
Model proses succession planning berikutnya dikemukakan oleh Scarborough & Zimmerer (2006). Secara umum konsep ini menekankan padapelibatan suksesor pada masing-masing tahapan.
Early Involvement with the Business in the Routine Tasks (while very young and in high school)Little
Rotation among Various Assignments on Summer/Holiday Vacation Time (while in college)
Entry-Level Position with Planned Job Rotations. Regular Performance Evaluations, and Mentoring by Both Insiders & Outsiders
Greater Responsibility
General Manager
Department or Functional Manager; Service on Advisory Board
Transition Phase; Membership on the BoardGreat
Stage I
Stage II
Stage III
Stage IV
Stage VAscension to CEO Position
Gambar 2.6. Proses Succession Planning menurutScarborough & Zimmerer (2006)
Tahap pertama, suksesor dilibatkan dalam tugas-tugas rutin ketika mereka masih sangat muda, setingkat SMA. Tahap ini dikatakan sebagai early involvement with business. Tahap kedua, ketika suksesor sudah memasukipendidikan tinggi, dia mulai dilibatkan dalam berbagai penugasan saat liburansemester atau hari libur. Tahap berikutnya, ketika suksesor sudahmenyelesaikan pendidikan, dia mulai memasuki posisi tingkat pertama, denganperencanaan rotasi pekerjaan, penilaian kinerja reguler, serta mendapatkanbimbingan, baik dari fihak dalam perusahaan maupun dari luar.
Dua tahap terakhir merupakan langkah di mana suksesor diberi tugasdan tanggungjawab yang lebih besar dari sebelumnya. Pada tahap ke empat,suksesor sudah menduduki posisi sebagai manajer departemen atau fungsional,termasuk dalam dean penasihat. Tahap terakhir, suksesor diberi posisi sebagaigeneral manajer. Tahap ini sudah masuk masa transisi, dan suksesor sudahmenjadi anggota dewan direksi. Dengan pentahapan seperti itu, maka suksesorsudah siap jika sewaktu-waktu harus menggantikan posisi tertinggi dalamperusahaan.
Model Seniwoliba (2015)
Program succession planningbervariasitergantung pada tujuan bisnis dan tujuan agen publik. Kajian ulang terhadap literatur yang ada menemukan bahwasuccession planningmemiliki kesamaanelemen, yang bisa diorganisasikan sebagai tipe kerangka konseptual.
Tahap pertama adalah dukungan manajemen puncak. Manajemen mendiskusikan program succession planning setiap bulan atautriwulanan untuk mengetahui karyawan mana yang memilikitalenta paling potensial di lini divisi untuk naik ke suatu posisi. Selanjutnya, diskusi inimemungkinkan tim manajemen mendiskusikan setiap calon berdasarkan tujuan strategis dan kompetensi yang dibutuhkan untuk posisi tertentu. Nowack (1994) dalam Seniwoliba (2015) mengemukakan bahwa diskusi terbuka dengan manajemen puncak melalui pertemuan kelompokatau wawancara terstruktur juga memungkinkan organisasi untuk mempelajari kompetensi keterampilan yang dibutuhkanposisi manajemen. Tahap kedua adalah tanggung jawab khusus. Tanggung jawab khusus terdapat pada pengembangan SDM dan anggaran. Tahap ketiga adalah kesempatan pengembangan secara profesional, yang dilaksanakan melalui training dan pelatihan untuk kepentingan promosi. Tahap selanjutnya adalah fokus terhadap individu. Pengembangan kepemimpinandan mentoring adalah alat penting untuk pengembangan profesional. Menurut Nowack(1994) dalam Seniwoliba, fokus terhadap individu berarticalon terpilih bekerja sesuai dengan yang dipersiapkan oleh manajemen untuk rencana pengembangan karir yang konsistendengan tujuan dan ekspektasi karir karyawan.
Tahap rencana strategis sebagaimana dinyatakan oleh Rothwell dalam Seniwoliba (2015) bahwa suksesi seharusnya memiliki rencana strategis dimana pemimpin dapat berbagi visi dan tujuan bagi perusahaan yang didukung oleh kepemimpinan saat ini. Manajemen harus memiliki rencana strategis dengan tujuan tertulisdan memastikan program organisasi memiliki tujuan terukur sesuai dengan rencana strategisnya. Dunemann & Barrett (2014) membagi praktik suksesi menjadi dua, yaitu suksesi kepemilikan dan suksesi manajemen. Suksesi kepemilikan berkaitan dengan siapa yang akan memiliki perusahaan, kapan dan bagaimana suksesi dilaksanakan. Suksesi manajemen berkaitan dengan siapa yang akan menjalankan bisnis, perubahan apa yang akan terjadi, kapan mereka bertanggungjawab terhadap hasil dan bagaimana hasil tersebut direalisasikan. Agar berhasil dengan baik, suksesi tidak dilakukan begitu saja tanpa persiapan begitu pemilik lama berhalangan, tetapi harus direncanakan (Manthey & Balhoff, 2012).
Model Scarborough & Zimmerer (2006).
Model proses manajemen suksesi berikutnya dikemukakan oleh Scarborough & Zimmerer (2006). Secara umum konsep ini menekankan pada pelibatan suksesor pada masing-masing tahapan sebagaimana tersaji pada Gambar 2. Tahap pertama, suksesor dilibatkan dalam tugas-tugas rutin ketika mereka masih sangat muda, setingkat SMA. Tahap ini dikatakan sebagai early involvement with business. Tahap kedua, ketika suksesor sudah memasuki pendidikan tinggi, dia mulai dilibatkan dalam berbagai penugasan saat liburan semester atau hari libur. Tahap berikutnya, ketika suksesor sudah menyelesaikan pendidikan, dia mulai memasuki posisi tingkat pertama, dengan perencanaan rotasi pekerjaan, penilaian kinerja reguler, serta mendapatkan bimbingan, baik dari fihak dalam perusahaan maupun dari luar. Dua tahap terakhir merupakan langkah di mana suksesor diberi tugas dan tanggungjawab yang lebih besar dari sebelumnya. Pada tahap ke empat, suksesor sudah menduduki posisi sebagai manajer departemen atau fungsional, termasuk dalam dean penasihat. Tahap terakhir, suksesor diberi posisi sebagai general manajer. Tahap ini sudah masuk masa transisi, dan suksesor sudah menjadi anggota dewan direksi. Dengan pentahapan seperti itu, maka suksesor sudah siap jika sewaktu-waktu harus menggantikan posisi tertinggi dalam perusahaan.
Menurut Rothwell (2010), succession plan adalah sebuah sarana untuk mengidentifikasi posisi manajemen kunci, dimulai dari level manajer terendah hingga posisi tertinggi dalam organisasi. Succession plan juga mendeskripsikan posisi manajemen untuk menyediakan fleksibilitas maksimal dalam pergerakan manajemen yang bercabang dan memastikan pekerja sebagai individual mencapai senioritas yang lebih baik, kemampuan manajemen yang lebih luas dan menjadi lebih berbaur dalam relasi di organsisasi secara keseluruhan daripada hanya di satu unit saja. Penerapan succession plan dapat berjalan dengan baik bila proses pemilihan suksesor dan persiapan suksesornya juga berjalan dengan lancar. Proses pemilihan suksesor berbicara mengenai nilai komunikasi dalam proses pemilihan tersebut dan nilai objektivitas dalam proses pemilihan suksesor (Fishman, 2009). Oleh karenanya menurut Cantor (2015) bahwa perencanaan suksesi seharusnya menjadi bagian dari proses perencanaan keseluruhan, yang dimulai dengan perencanaan strategik dan penilaian sumberdaya yang dibutuhkan untuk hal tersebut.
Menurut Butler & Roche-Tarry (2012) untuk mendefinisikan perencanaan suksesi maka hal ini dirujukan pada proses yang berlangsung. Dimana proses dinamis yang terus berjalan, yang membantu organisasi untuk meluruskan tujuan bisnis dan kebutuhan sumberdaya manusia. Perencanaan suksesi juga merupakan suatu proses yang memastikan suatu perusahaan dapat mengatasi perubahan pada bisnis, industri serta pasar secara keseluruhan. Pengertian sama ditambahkan pula oleh Kim (2015) bahwa perencanaan suksesi sebagai proses yang sedang berjalan secara sistematis dalam mengidentifikasi, menilai dan mengembangkan kepemimpinan organisasi untuk meningkatkan kinerja
Pemahaman mengenai suksesi tidak hanya berarti ”alih generasi‟ di pimpinan puncak. Praktik yang selama ini dijalankan berdasarkan kriteria usia atau dari pemimpin ke keturunan atau profesional saja ditolak dalam pembahasan succesion planning. Suksesi harus memiliki kriteria kemauan dan kemampuan dari suksesornya. Dalam hal lain, suksesi juga menyangkut mengenai perencanaan dan pelaksanaan suksesi dengan tujuan yang lebih luas. Pelaksanaan succession plan termasuk di dalamnya proses pengembangan perusahaan, kebijakan perencanaan karir, sistem promosi dan mutasi (Ward 2006; Yan Jun 2009)\
Berdasarkan uraian di atas maka definisi succesion planning adalah proses mempersiapkan pemimpin dan juga posisi posisi kunci pada generasi berikutnya sesuai dengan skill dan kompetensi yang memadai serta menempatkan orang yang tepat diwaktu yang tepat guna keberlangsungan organisasi itu sendiri.
Sejalan dengan berkembangnya pendapat-pendapat dikalangan praktisi manajemen sebagai mana diungkapkan di atas, pada akhirnya Berger (2008) dan Barron, (2008) mengemukakan bahwa proses pengelolaan manajemen talenta dilakukan dengan: (1) Mengidentifikasi dan menyusun pola jalur karier, pengembangan, dan program balas jasa bagi para superkeeper. Hal ini akan memastikan bahwa para model peran yang kualitasnya tinggi ini akan benar-benar mendukung organisasi untuk mencapai dan mempertahankan keunggulannya. (2) Menentukan posisi-posisi (jabatan-jabatan) kunci dan memperhatikan benar-benar posisi kunci yang tidak memiliki calon pengganti dan memperhatikan bahwa calon-calon pengganti yang telah ada benar-benar memenuhi kualitas yang dituntut. Hal ini harus dipastikan untuk menjaga kelangsungan organisasi agar tidak terus kehilangan SDM (terutama yang unggul).(3) Membuat segmentasi pool talenta sesuai dengan kategori investasi yang harus dilakukan (superkeeper, keeper, solid citizen, dan misfit) agar investasi dapat diimplementasikan secara lebih tepat.
Ditambahkan pula bahwa pengelolaan manajemen talenta dapat dipandang dari hal berbeda yaitu dimulai dari menetapkan kriteria talenta serta mengidentifikasi kebutuhan kunci organisasi. Hal ini berangkat dari kebijakan bahwa program manajemen talenta dilakukan untuk menjawab kebutuhan organisasi. Oleh karenanya, organisasi harusnya mengetahui tentang kebutuhan organisasi sehingga lebih mudah untuk menentukan program talenta. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengidentifikasi kebutuhan organisasi karena harus disesuaikan dengan organisasi itu sendiri yaitu disesuaikan dengan visi dan misi organisasi seberapa besar talenta mempengaruhi bisnis, dan budaya atau nilai-nilai yang akan dikembangkan. Langkah selanjutnya adalah menetapkan kelompok level untuk pusat pengembangan talenta. Sebelum proses seleksi pusat pengembangan talenta, kita perlu membuat kesepakatan dalam organisasi perihal berapa banyak level pusat pengembangan talenta. Hal itu sangat berpengaruh untuk perusahaan atau lembaga guna menghasilkan jumlah kader yang cukup. Penetapan kelompok level dibagi menjadi dua bagian. Pertama, berdasarkan level jabatan yaitu untuk melahirkan pemimpin di setiap level jabatan struktural. Sedangkan kedua, berdasarkan jalur karier fungsional, level ini untuk memperkuat kompetensi inti organisasi.
Langkah terakhir adalah menetapkan kriteria kompetensi sasaran pengembangan pusat pengembangan talenta. Dalam tahap ini, organisasi dan lembaga seharusnya menetapkan kriteria yang sesuai denga visi dan misi organisasi. Sasaran atau target yang ingin dicapai hendaknya diseleraskan dengan tujuan organisasi. Tujuan dan sasaran tersebut harus ditulis supaya dapat dipantau. Para penyelia harus tegas dalam menentukan tujuan dan sasaran secara terperinci. Sasaran dan tujuan tersebut harus dapat diukur, dan berjenjang waktu yang mendukung tercapainya tujuan tersebut (Michael Allison dan Jude Kaye, 2005; Mondy, 2008).
Tahapan program talent mangement memiliki berbagai macam. Menurut Pella dan Inayati (2011), tahapan-tahapan dari program talent management adalah sebagi berikut:
Menetapkan Kriteria Talenta (Talent Criteria)
Langkah ini memperjelas posisi-posisi kunci, posisi-posisi paling penting, posisi-posisi yang memiliki risiko tertinggi sebagai sasaran program pengembangan dalam program talent management. Selanjutnya dilakukan serangkaian aktivitas untuk menetapkan kriteria calon pemimpin berkualitas diperusahaan pada setiap level dan posisi yang didalamnya berisikan kualitas karakter pribadi, pengetahuan bisnis dan fungsional, pengalaman karir, kinerja dan assigment potensi.
Menyeleksi Group Pusat Pengembangan Talenta (Talent Pool Selection)
Pada tahap ini dilakukan segala macam usaha untuk mengkoleksi kandidat-kandidat dari berbagai posisi, jabatan dan level pegawai diperusahaan untuk menjadi peserta program talent management. Pada tahap ini dilakukan seleksi talenta (talent selection). Proses ini terdiri dari dua unsur, yaitu mengidentifikasi talent dan menarik talent untuk masuk dalam grup pusat pengembangan talent. Perhatikan bahwa kandidat dapat berasal dari dalam maupun luar organisasi.
Membuat Program Percepatan Pengembangan Talent (Acceleration Development Program)
Dalam tahap ini, dilakukan segala macam usaha untuk merancang, merencanakan dan mengeksekusi program-program pengembangan yang dipercepat yang diberikan kepada setiap anggota dari program manajemen talenta.
Menugaskan Posisi Kunci (Key Position Assigment)
Pada tahap ini dilakukan penugasan dan penempatan atas setiap anggota dari program talent management yang lulus evaluasi kelayakan kepemimpinan untuk menduduki jabatan-jabatan yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Mengevaluasi Kemajuan Program (Monitoring Program)
Pada tahap ini dilakukan segala aktivitas untuk memonitor, memeriksa dan mengevaluasi kemajuan setiap aktivitas. Mengevaluasi pengembangan serta hasil-hasil kemajuan yang dibuat peserta program manajemen talenta dalam setiap penugasan yang diberikan kepadanya sebagi dasar membuat keputusan-keputusan suksesi dan promo.
Dalam menjalankan manajemen talenta tentunya di dasarkan sebuah fungsi. Dengan demikian manajemen talenta dapat menyesuaikan antara fungsi dengan tujuan yang hendak dipenuhi. Menurut Smilansky (2008) dan Baron, et all. (2017) bahwa fungsi dari manajemen talenta diantaranya adalah (1) Untuk mengembangkan tim unggulan yang terbaik dalam kondisi yang penuh persaingan (2) Untuk memperoleh calon pengganti untuk posisi kunci eksekutif (3) Untuk memungkinkan adanya saling pengisian antar eksekutif dari berbagai latar belakang fungsional, geografis dan bisnis, sehingga dapat mengembangkan inovasi dan memanfaatkan sebaik mungkin sumber daya internal yang ada dalam perusahaan (4) Untuk mengembangkan peluang-peluang karir yang diperlukan, yang dapat mempertahankan dan menarik eksekutif terbaik (5) Untuk membangun budaya yang mampu mendorong eksekutif terbaik menunjukkan kinerjanya dipuncak potensinya (6) Untuk memastikan adanya peluang-peluang bagi karyawan yang paling bertalenta untuk dapat meningkat dengan cepat dari tingkat bawah perusahaan menuju tingkat atas (7) Agar dapat mempromosikan adanya keragaman eksekutif (berdasarkan jenis kelamin, latar belakang etnis, dan usia) dalam posisi kunci, yang mencerminkan karakteristik pelanggan dan kelompok talenta yang luas (8) Untuk dapat menyusun proses asesmen karyawan yang berpotensi yang hasilnya melebihi perspektif organisasi tersebut (9) Untuk membangun rasa memiliki perlunya organisasi terhadap anggotanya yang bertalenta baik, membuka peluang yang tidak terbatas bagi karyawan yang istimewa dan mengembangkan karyawan untuk kepentingan perusahaan. Ditambahkan bahwa fungsi manajemen talenta yang berhasil dapat membantu serta memberikan manfaat bagi organisasi dalam menjawab tantangan bisnis, memasuki wilayah pasar yang baru dan bergerak maju mengungguli kompetitor. Anggota organisasi yang bertalenta juga akan lebih tertarik bekerja untuk sebuah organisasi yang mampu menghargai dan memberikan kesempatan untuk berkembang dan terus menerus mencapai sebuah kesuksesan (Whelan, et all, 2010; dan Skuza 2013).
Tujuan lain dari manajemen talenta adalah tersedianya terus-menerus anggota organisasi yang mencapai potensi terbaik mereka masing-masing, mampu mengembangkan reputasi publik untuk menjadi tempat bekerja yang bagus, sekaligus memupuk loyalitas para anggota organisasi. Program manajemen talenta yang berhasil akan membantu perusahaan menjawab tantangan bisnis, memasuki wilayah pasar yang baru dan bergerak maju mengungguli kompetitor. Karyawan bertalenta juga akan lebih tertarik bekerja untuk sebuah perusahaan yang menghargai karyawan dan memberikan mereka kesempatan untuk terus menggapai kesuksesan (Ashton, & Morton, 2015 dan Koli , 2012).
Menurut Jogiyanto (2009) bahwa investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke aktiva produktif selama periode waktu tertentu. Dahulu kita mengenal jenis investasi yang berupa tabungan, deposito atau investasi dalam sektor riil seperti rumah, tanah dan lainnya. perkembangan perekonomian yang begitu pesat berimbas semakin berkembangnya jenis investasi yang tersedia saat ini, seperti contohnya saham, reksadana dan obligasi. Jenis investasi yang dipilih sangat berpengaruh terhadap seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari investasi tersebut. Saat ini pilihan investasi berupa tabungan dan deposito tidak lagi menjadi suatu investasi yang menarik bagi orang-orang yang mengerti tentang perkembangan investasi karena tingkat pengembalian yang dihasilkan kecil. Investor lebih memilih untuk berinvestasi di saham atau obligasi karena memberikan keuntungan yang besar walaupun memiliki risiko yang besar juga.
Menurut Sunariyah (2014) bahwa investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan return di masa yang akan datang. Keputusan penanaman modal tersebut dapat dilakukan oleh individu atau suatu entitas yang mempunyai kelebihan dana. Menurut Tandelilin (2011), investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa yang akan datang. Menginvestasikan sejumlah dana pada asset riil (tanah, emas, mesin atau bangunan), maupun aset finansial (deposito, saham ataupun obligasi) merupakan aktivitas investasi yang umumnya dilakukan. Menurut Halim (2013) investasi selalu memiliki dua sisi, yaitu return dan risiko. Dalam berinvestasi berlaku hukum bahwa semakin tinggi return yang ditawarkan maka semakin tinggi pula risiko yang harus ditanggung investor. Investor bisa saja mengalami kerugian bahkan lebih dari itu bisa kehilangan semua modalnya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa investasi adalah penanaman modal yang berasal dari penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke aktiva produktif selama periode waktu tertentu.
Menurut Qerda (2013) bahwa sebagian besar sektor investasi menunjukan indikasi herding selama periode bullish dan bearish. Perilaku investor yang mengikuti investor lain terjadi ketika kondisi pasar naik atau turun. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa investor harus mengikuti trend yang sedang terjadi untukmendapatkan keuntungan dalam berinvestasi. Ditambahkan oleh Gleason et al. (2014) yang menemukan adanya kecenderungan perilaku ikut-ikutan lebih terjadi selama periode dengan karakteristik abnormal volatilitas. Penelitian lain yang dilakukan Tan et al. (2008) menemukan efekasimetris selama periode dengan karakteristik volume transaksi yang tinggi ataurendah. Gunawan et al (2008) dalam penelitiannya menemukan adanya perilaku herding pada kondisi market stress.
Christie dan Huang (2015) mengutarakan bahwa herding dapat dianalisis menggunakan metode cross-sectional dari imbal hasil asset. Sebagai dispersi cross-sectional yang lebih kecil dari imbal hasil mengindikasi adanya pergerakan karenakonsesus, sehingga mengindikasi adanya perilaku herding. Menurut pendapat Lao dan Singh (2011) yang menyatakaninvestor akan mendapatkan harga saham dengan melakukan observasi dan mengikutitindakan investor lain karena tidak semua partisipan di pasar mendapatkan informasiyang lengkap, selain itu modal yang dinvestasikan oleh investor asing seringkali dalam jumlah yang besar sehingga mampu menggerakan harga suatu saham di pasar modal.
Menurut Rodhiyah (2012) maka pengukuran pengelolaan keuangan pribadi berdasarkan yaitu meliputi perencanaan keuangan, pemanfaatan atau pengalokasian dana serta mengevaluasi kinerja keuangan. Secara lebih terperinci, menurut Reza (2015) maka langkah-langkah literasi keuangan tersebut adalah:
(a) Perencanaan keuangan, adalah suatu proses mengelola uang untuk mencapai tujuan keuangan, tujuan keuangan bagi setiap orang berbeda-beda., dan yang paling tahu mengenai diri dan tujuan hidup termasuk keuangan adalah diri sendiri. Perencanaan keuangan keluarga memang tidak berlaku umum, tetapi bersifat spesifik yang dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: status marital, pekerjaan, kondisi ekonomi, usia, asset yang dimiliki, akan tetapi perencanaan keuangan harus di buat se realistis mungkin.
Menurut Masassya, (2014) perlu dilakukan 5 langkah-langkah perencanaan sebagai berikut :
Perlu diketahui tentang kekayaan bersih yang dimiliki (misalnya ; jumlah asset, utang, dan dana yang bisa disisihkan setiap bulan).
Menentukan tujuan keuangan (jangka pendek, menengah maupun panjang)
Membuat action plan (mengalokasikan pendapatan dalam empat hal yaitu konsumsi, saving, investasi dan proteksi)
Mengimplementasi plan tersebut secara disiplin. Secara periodik, plan yang telah dibuat dan diimplimentasikan di evaluasi tingkat kesesuaiannya, dan bisa dilakukakn perubahan sepanjang ada argumentasi yang jelas.
(b) Pemanfaatan atau pengalokasian dana mengalokasikan dana berarti mengimplementasi plan/perencanaan yang telah di buat.
Pengalokasian dana (dalam arti pendapatan) bulanan di bagi dalam tiga hal pokok yaitu :
Konsumsi, pengalokasian ini termasuk pengeluaran biaya tetap (fixed cost) yang tidak bisa di tunda lagi,yaitu : angsuran rumah, angsuran kendaraan, biaya telpon, listrik, dan air , kemudian baru biaya makan, minum, dan rekreasi. Biaya konsumsi ini beragam, akan tetapi perlu di patok atau di tentukan, lazimnya biaya ini berkisar antara 40 % – 50 %.
Saving atau tabungan, pengalokasian pada tabungan bisa dimaksudkan sebagai simpanan/tabungan tetap dan bisa di maksudkan sebagai tabungan untuk berjaga-jaga yaitu misalnya untuk keperluan ke dokter, dan memberi sumbangan. Tabungan ini juga perlu di tentukan dan yang lazim biasanya ber kisar 25 % , dari 25 % tersebut yang di gunakan untuk berjaga-jaga ber kisar antara 10%-15 %, sedangkan sisanya sebagai tabungan tetap.
Investasi, pengalokasian pada investasi disini dimaksudkan sebagai pengembang biakan uang tetapi secara terencana dan disiplin. Ada beberapa alternatif yang dapat dipilih yaitu membeli emas koin, reksa dana atau iuran dana pensiun, maka action plan tentang proteksi dapat di masukkan dalam pengalokasian pendapat pada investasi
(c) Mengevaluasi kinerja keuangan
Evaluasi terhadap kondisi keuangan perlu dilakukan setidaknya meng evaluasi atau membandingkan antara rencana yang di buat pada awal tahun dan pencapaian realisasinya. Evaluasi dapat dilakukakn secara periodik yaitu mulai penerimaan (cash inflow) hingga pengeluaran (cash out flow) yang ber implikasi terhadap asset maupun hutang.
Evaluasi atau pemeriksaan keuangan dapat dilihat dari beberapa aspek:
1) Evaluasi terhadap penerimaan (cash in flow) apakah berasal dari hasil investasi atau pendapatan lain.
2) Evaluasi terhadap pengeluaran (cash out flow) yang berimplikasi terhadap posisi asset atau hutang. Pertambahan pengeluaran tidak boleh melebihi persentase tertentu dari peningkatan penghasilan.
3) Pertumbuhan asset, dihitung adalah asset netto yaitu sudah di kurangi dengan seluruh hutang.
Chen and Volpe (2008) mengkategorikan literasi keuangan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) < 60% yang berarti individu memiliki pengetahuan tentang keuangan yang rendah 2) 60%–79%, yang berarti individu memiliki pengetahuan tentang keuangan yang sedang dan 3) > 80% yang menunjukkan bahwa individu memiliki pengetahuan keuangan yang tinggi.
Dalam penelitian ini akan menggunakan penelitian Reza (2015) yang membagi langkah-langkah dalam literasi keuangan menjadi perencanaan, pelaksanaan /pengalokasian dan evaluasi
Lusardi dan Mitchell (2010) mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan keuangan dan kemampuan untuk mengaplikasikannya (knowledge and ability). Menurut Agarwala et al (2012) pengertian literasi keuangan adalah seluruh pengetahuan keuangan yang diperlukan untuk mengetehui tingkat inflasi dan pengembalian, hubungan antara tingkat inflasi dan pengembalian, tingkat resiko dan tingkat pengembalian serta aturan mengenai macam-macam reduksi pengembalian. Menurut Hung (2009), literasi keuangan adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan serta keahlian untuk mengelola sumber daya keuangan untuk mencapai kesejahteraan. Hailwood (2007) menyatakan bahwa literasi keuangan akan mempengaruhi bagaimana orang menabung, meminjam, berinvestasi dan mengelola keuangan Lebih jauh, kecakapan financial disini juga lebih menekankan pada kemampuan untuk memahami konsep dasar dari ilmu ekonomi dan keuangan, hingga bagaimana menerapkannya secara tepat.
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian dari literasi keuangan yaitu mencakup mengenai pengetahuan dan kemampuan (knowledge and ability) keuangan untuk kemudian mengaplikasikannya dalam pengelolaan keuangan
Berbagai tori menunjukkan bahwa pengkategorian psikografi dapat dibedakan oleh penggolongan psikografi itu sendiri. Menurut Halim (2005) tipe psikografi investor dapat dibedakan berdasarkan preferensi investor terhadap risiko. Tipe psikografi investor berdasarkan preferensi investor tersebut dapat dibedakan menjadi tiga:
Investor yang suka terhadap risiko (risk seeker)
Investor yang suka terhadap risiko (risk seeker) merupakan yang apabila dihadapkan pada dua pilihan investasi yang memberikan tingkat pengembalian yang sama dengan risiko yang berbeda, maka ia akan lebih suka mengambil investasi dengan risiko yang lebih besar. Investor jenis ini biasanya bersifat agresif dan spekulatif dalam mengambil keputusan investasi. Widiatmojo dalam Putra (2011) mengungkapkan bahwa investor berpreferensi resiko tinggi sangat menikmati resiko
Investor yang netral terhadap risiko (risk neutrality)
Investor yang netral terhadap risiko (risk neutrality) merupakan investor yang akan meminta kenaikan pengembalian yang sama untuk setiap kenaikan risiko. Investor jenis ini umunya cukup fleksibel dan bersikap hati-hati (prudent) dalam mengambil keputusan investasi. Menurut Harefa (dalam Putra, 2011) sebagian besar investor berada pada kelompok ini.
Investor yang tidak suka terhadap risiko (risk averter)
Investasi yang tidak suka terhadap risiko (risk averter) merupakan investor yang apabila dihadapkan pada dua pilihan investasi yang memberikan tingkat pengembalian yang sama dengan risiko yang berbeda, maka ia akan lebih suka mengambil investasi dengan risiko yang lebih kecil. Investor jenis ini selalu mempertimbangkan secara matang dan terencana atas keputusan investasinya. Tipe risk averter akan senang ditawari saham yang memiliki beta yang rendah karena resikonya juga rendah. Mereka cendering memilih investasi dengan tingkat resiko rendah seperti tabungan deposito, unit link dan obligasi pemerintah.
Dalam pernyataan lain bahwa faktor psikografi minat produk investasi dapat dibedakan berdasarkan minat, ketertarikan dan opini seseorang terhadap isu-isu di sekitarnya. Psikografik sering diartikan sebagai pengukuran AIO (activity, Interest, Opinion), yaitu pengukuran kegiatan, minat, dan pendapat konsumen. Psikografik memuat beberapa pernyataan yang menggambarkan kegiatan, minat dan pendapat konsumen. Pendekatan psikografik sering dipakai produsen dalam mempromosikan produknya (Sumarwan, 2013). Minat, ketertarikan dan opini tersebut disebut juga sebagai AIO (Activities, Interest and Opinion). Dalam penelitian ini akan menggunakan adaptasi faktor AIO berdasarkan Plumer (1974 dalam Purwaningsih, 2008)
Menurut Mowen dan Minor (2014) psikografis adalah jenis riset konsumen yang menggambarkan segmen konsumen dalam hal bagaimana mereka hidup, bekerja, dan bermain. Pengertian lain menyatakan bahwa Psikografis adalah identifikasi karakteristik kepribadian dan sikap yang memepengaruhi gaya hidup seseorang dan perilaku pembelian. Psikografis titik data mencakup pendapat, sikap, dan keyakinan tentangberbagai aspek yang berkaitan dengan gaya hidup dan perilaku pembelian (Engel, 2004)
Sedangkan definisi lain diungkapkan oleh Demby dalam Engel, dkk (2004) bahwa psikografi adalah pemakaian faktor psikologis, sosiologis, dan antropologis, seperti manfaat yang diinginkan (dari perilaku yang sedang dipelajari), konsep diri, dan gaya hidup (atau gaya yang dijalani) untuk menentukan bagaimana pasar dipangsa menurut kecenderungan kelompok di dalam pasar yang bersangkutan dan alasan mereka untuk mengambil keputusan tertentu mengenai produk, orang, ideologi, atau kalau tidak, menganut suatu sikap atau menggunakan suatu medium
Berdasarkan uraian di atas maka psikografi adalah menilai konsumen berdasarkan karakteritik sifat dan perilaku yang dimilikinya.
Pengaruh yang diberikan demografi terhadap minat produk investasi sangat bervariasi tergantung pada karakteristik penduduk itu sendiri. Hal ini membawa berbagai hasil penelitian berbeda. Faktor utama dari demografi yang dianggap berpengaruh terhadap pilihan produk investasi meliputi jenis kelamin, usia, pendapatan dan pendidikan (Ariyadi, et all, 2015; Tallo et all, 2015; Rudhy, 2013). Pengaruh yang diberikan antara jenis kelamin terhadap pilihan produk investasi menunjukkan perbedaan dikarenakan karakteristik pria yang lebih cenderung berani dalam mengambil resiko dibandingkan perempuan (Barber dan Odean 2001). Demikian pula karakteristik usia yang memiliki perbedaan pengaruh terhadap pilihan produk investasi. Grebel dan Lytton (1998 dalam Tallo, et all, 2015) menyatakan bahwa usia yang lebih muda akan lebih berani mengambil risiko dalam investasi dibanding usia yang tidak produktif atau sudah tua, yang tidak berani mengambil risko dalam berinvestasi
Pengaruh pendapatan terhadap minat produk investasi di dasarkan pada investor yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memiliki portofolio yang lebih berfluktuatif atau memiliki risiko lebih besar (Barber dan Odean, 2011; Schooley and Worden 2009). Sedangkan pendidikan mempengaruhi minat produk investasi dikarenakan jenjang pendidikan secara tidak langsung berhubungan dengan pengetahuan. Orang yang berani mengambil risiko (risk aggressive) bisa dikatakan berpendidikan tinggi karena memiliki pengetahuan yang luas dan mampu menghitung risiko yang dihadapi (Bhandari dan Deaves, 2006).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil karakteristik demografi yang di duga berpengaruh terhadap minat produk investasi properti masyarakat Kota Semarang adalah jenis kelamin, usia, pendidikan, dan pendapatan.
Demografi, secara etimology (kebahasaan) berasal bahasa Latin, kata ‘demograhie’ terdiri dari dua kata yaitu demos dan graphien, demos artinya penduduk dan graphien berarti catatan, bahasan tentang sesuatu. Secara etimologi, makna demografi adalah catatan atau bahasan mengenai penduduk suatu daerah pada waktu tertentu (Setiati, 2006). Segmentasi pasar secara demografi merupakan dasar yang paling populer untuk membedakan kelompok-kelompok pelanggan. Salah satu alasannya adalah keinginan, preferensi, dan tingkat pemakaian konsumen sering sangat berhubungan dengan variabel-variabel demografis. Karakteristik demografis dibutuhkan untuk mengetahui ukuran pasar sasaran dan media yang harus digunakan untuk menjangkaunya secara efisien (Kotler, 2005 dalam Wijaya dan Chandra, 2015).
Hadi (2010) menyatakan bahwa dalam segmentasi pasar berdasarkan demografi ini maka pasar dapat didekati dengan variabel-variabel karakteristik kependudukan. Segmentasi ini dapat dibentuk dengan mudah, baik berdasarkan data sekunder maupun data primer. Realitas pasar menunjukkan bahwa produk itu bersifat heterogen bagi seluruh pasar, maka segmentasi merupakan upaya “memetakan” (mapping) segmen-segmen pasar potensial ke dalam ciri-ciri perilaku yang sama (Hasan, 2008)
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian demografi adalah ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan. Apabila diterapkan dalam ilmu manajemen maka demografi pemasaran adalah pengelompokan kelompok-kelompok konsumen berdasarkan suatu karakteristik penduduk.
Suatu perusahaan terdorong untuk memberikan informasi laporan keuangan kepada pihak eksternal dikarenakan adanya signaling theory. Signaling theory didasarkan pada asumsi bahwa informasi yang dipublikasikan oleh perusahaan diterima oleh para pengguna laporan keuangan atau masing-masing pihak tidak sama. Hal ini disebabkan karena adanya asimetri informasi antara pihak internal perusahaan dan pihak eksternal. Akan tetapi perusahaan berupaya untuk mengurangi adanya asimetri informasi tersebut. Mengacu pada Connelly et al. (2011), bahwa informasi dapat mempengaruhi pengambilan keputusan investasi para investor. Kualitas informasi dalam laporan keuangan dapat dinilai dari berbagai sudut pandang, yaitu keakuratan, relevan, kelengkapan informasi dan ketepatan waktu.
Menurut Noor (2015), teori sinyal atau teori pensignalan merupakan dampak dari adanya asimetri informasi. Teori Sinyal adalah teori yang menjelaskan cara pemberian sinyal perusahaan kepada pihakpihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut (Jama’an, 2008). Informasi yang dibutuhkan disajikan pada laporan keuangan yang dibuat perusahaan setiap tahunnya. Sinyal diberikan perusahaan mengenai kinerja perusahaan dalam aspek keuangan maupun non-keuangan dan pencapaian kinerja yang telah diraih oleh manajemen dalam merealisasikan harapan dan keputusan para pemegang saham. Informasi yang diberikan oleh perusahaan umumnya merupakan catatan atau gambaran mengenai kondisi perusahaan pada masa lalu, saat ini, maupun keadaan di masa yang akan datang.
Perusahaan dapat memberikan sinyal terkait modal dasar dan rasio-rasio keuangan. Pemberian informasi diharapkan dapat meyakinkan para pihak eksternal terkait laba yang disajikan oleh perusahaan. Terlebih bagi pihak eksternal yang kurang memahami laporan keuangan dapat memanfaatkan informasi-informasi manajemen dan rasio-rasio keuangan dalam mengukur prospek perusahaan. Hal tersebut dapat membuat pihak luar percaya bahwa laba yang disajikan itu benar adanya sesuai dengan kinerja 2 perusahaan bukan merupakan hasil tindakan rekayasa meningkatkan laba demi memberikan sinyal yang positif bagi pihak eksternal. Sinyal positif yang diberikan oleh perusahaan akan mempengaruhi keputusan para pemegang saham yang nantinya akan berpengaruh terhadap peningkatan kepemilikan jumlah saham. Pemberian informasi terhadap pihak luar akan mampu mengurangi asimetri informasi dengan memberikan informasi yang benar serta dapat dipercaya
Signaling theory menjelaskan terkait bagaimana seharusnya suatu perusahaan memberikan signal yang berguna bagi para pengguna laporan keuangan. Signal yang diberikan perusahaan berupa informasi seperti laporan keuangan tahunan perusahaan terkait upaya manajemen dalam mengelola perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin. Signal dapat berupa informasi yang menyatakan bahwa perusahaan A lebih baik daripada perusahaan B atau perusahaan lainnya. Signal juga dapat berupa informasi yang dapat dipercaya terkait gambaran atau prospek perusahaan di masa yang 2 akan datang. Pengguna laporan keuangan terutama investor membutuhkan informasi untuk menganalisis risiko setiap perusahaan. Perusahaan yang baik akan mempublikasikan laporan keuangan secara terbuka dan transparan serta mempublikasikan pengungkapan sukarela.
Menurut Hartono (2010, 392), suatu informasi yang disajikan sebagai suatu pengumuman akan dianggap sebagai signal bagi para investor dalam pengambilan keputusan investasi. Apabila informasi tersebut positif, maka pasar akan bereaksi terhadap pengumuman tersebut sehingga terjadi perubahan dalam pasar terkait volume perdagangan saham. Kaitannya dengan informasi OCI yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana OCI dan komponen-komponennya tersebut memberikan signal bagi para investor terkait perusahaan yang akan dijadikan investasi. Apabila informasi OCI dianggap berguna maka informasi OCI akan dianggap sebagai signal bagi para investor dalam pengambilan keputusan investasi.
Keputusan Dewan Standar Akuntansi Keuangan mewajibkan perusahaan melaporkan OCI dalam laporan laba rugi komprehensif karena OCI dinilai dapat meningkatkan komparabilitas, konsistensi dan keakuratan laporan keuangan karena OCI berisi transaksi yang diukur dengan nilai wajar sehingga informasinya lebih relevan dan dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Menurut Engel dan Blackwell dalam Suwarman (2003), Perilaku terencana sepenuhnya: individu dalam hal ini telah menentukan pilihan produk, jauh hari memberikan keputusan dilakukan. Biasaya keputusan ini merupakan sebuah proses yang ketertlibataninividu yang luas dan tinggi. Sedangkan Perilaku yang separuh terencana: individu dalam hal ini berencana memilih produk namun tidak tahu merek apa yang dipilihnya. Sampai pada saat ia memperoleh informasi lengkap dari pramuniaga atau display di swalayan hingga ia memutuskan untuk membelinya. Perilaku terencana adalah perilaku pembelian dimana keputusan tentang item yang akan dibeli telah diambil sebelum konsumen masuk ke dalam toko, (Dony, 2007). Perilaku terencana adalah aktifitas yang terjadi karena ada masalah dan sudah muncul niat untuk membeli sebelum pembelian tersebut terjadi. (Levy, 2004).
Perbedaan pemrosesan informasi mempunyai arti penting bagi pemasar dalam menentukan strategi pemasarannya. Apabila sebagian besar individu melakukan pembelian secara terencana, manager marketing akan lebih baik melakukan promosi diluar toko seperti memuat iklan di koran atau mengirim brosur ke rumah pelanggan. Perilaku yang direncanakan sepenuhnya yaitu jika individu telah menentukan pilihan produk dan mereka jauh sebelum pembelian dilakukan, maka ini termasuk pembelian yang direncanakan sepenuhnya. Pembelian yang terencana sepenuhnya biasanya adalah hasil dari proses keputusan yang diperluas atau keterlibatan yang tinggi. Perilaku yang direncanakan sebagian yaitu individu sering kali sudah mengetahui ingin membeli suatu produk sebelum masuk ke swalayan, namun mungkin ia tidak tahu merek yang akan dibelinya sampai ia bisa memperoleh informasi yang lengkap dari pramuniaga atau display di swalayan. Ketika ia sudah tahu produk yang ingin dibeli sebelumnya dan memutuskan merek dari produk tersebut di toko, maka ini termasuk pembelian yang separuh terencana.
Shefrin (2010) mendefinisikan behaviour finance adalah studi yang mempelajari bagaimana fenomena psikologi mempengaruhi tingkah laku keuangannya. Tingkah laku dari para para pemain saham tersebut dimana Shefrin (2010) menyatakan tingkat laku para praktisi. Menurut Pompian (2006), behavioral finance secara sederhana dapat didefinisikan sebagai aplikasi dari ilmu psikologi ke dalam disiplin ilmu keuangan. Istilah Behavioral finance semakin banyak dibahas di berbagai buku, artikel majalah, jurnal investasi dan berbagai penelitian, namun masih banyak kalangan memahami konsep yang mendasari Behavioral finance secara berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari pemberian istilah yang beraneka ragam bagi istilah Behavioral finance, diantaranya adalah Behavioral Science, Investor Psychology, Cognitive Psychology, Behavioral Economics, Experimental Economics dan Cognitive Science.
Nofsinger (2005) mendefinisikan perilaku keuangan yaitu mempelajari bagaimana manusia secara actual berperilaku dalam sebuah penentuan keuangan (a financial setting). Khususnya, mempelajari bagaimana psikologi mempengaruhi keputusan keuangan, perusahaan dan pasar keuangan. Kedua konsep yang diuraikan secara jelas menyatakan bahwa perilaku keuangan merupakan sebuah pendekatan yang menjelaskan bagaimana manusia melakukan investasi atau berhubungan dengan keuangan dipengaruhi oleh faktor psikologi. Sedangkan menurut Ricciardi dan Simon (2000) Behavioral finance mencoba menjelaskan dan meningkatkan pemahaman tentang pola – pola dari alasan investor termasuk aspek emosional dan derajat dari aspek tersebut dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Secara lebih spesifik behavioral finance mencoba mencari jawaban atas what, why and how keuangan dan investasi dari sudut pandang manusia
Shefrin (2010) menyatakan ada tiga tema yang dibahas dalam Perilaku Keuangan, dimana tema tersebut dibuat dalam bentuk pertanyaan yaitu:
Apakah Praktisi keuangan mengakui adanya kesalahan karena selalu berpatokan kepada aturan yang telah ditentukan (rules of thumb). Bagi penganut Perilaku Keuangan mengakuinya sementara keuangan tradisional tidak mengakuinya. Penggunaan rules of thumb ini disebut dengan Heuristics to Process data. Penganut keuangan tradisional selalu menggunakan alat statistik secara tepat dan benar untuk mengolah data. Sementara penganut Perilaku Keuangan melaksanakan rules of thumb seperti “back-of-the-envelope calculations” dimana ini secara umum tidak sempurna. Akibatnya, praktisi memegang “biased beliefs” yang mempengaruhi memenuhi janji terhadap kesalahan tersebut. Tema ini dikenal dengan Heuristic-driven bias.
Apakah bentuk termasuk inti persoalan (substance) mempengaruhi praktisi ? Penganut Perilaku Keuangan menyatakan bahwa persepsi praktisi terhadap risiko dan tingkat pengembalian sangat dipengaruhi oleh bagaimana “decision problem” dikerangkannya (framed). Sementara penganut Keuangan Tradisional memandang semua keputusan berdasarkan transparan dan objektif. Tema ini dikenal dengan frame dependence.
Apakah kesalahan dan kerangka mengambil keputusan mempengaruhi harga yang dibangun pada pasar ? Penganut Perilaku Keuangan menyatakan “heuristic-driven bias” dan pengaruh framing menyebabkan harga jauh dari nilai fundamentalnya sehingga pasar tidak efisien. Sementara penganut Keuangan Tradisional mengasumsikan pasar efisien seperti yang diuraikan Fama (1970). Tema ini dikenal dengan pasar tidak efisien (inefficient market)
Menurut Jogiyanto (2009) bahwa investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke aktiva produktif selama periode waktu tertentu. Dahulu kita mengenal jenis investasi yang berupa tabungan, deposito atau investasi dalam sektor riil seperti rumah, tanah dan lainnya. perkembangan perekonomian yang begitu pesat berimbas semakin berkembangnya jenis investasi yang tersedia saat ini, seperti contohnya saham, reksadana dan obligasi. Jenis investasi yang dipilih sangat berpengaruh terhadap seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari investasi tersebut. Saat ini pilihan investasi berupa tabungan dan deposito tidak lagi menjadi suatu investasi yang menarik bagi orang-orang yang mengerti tentang perkembangan investasi karena tingkat pengembalian yang dihasilkan kecil. Investor lebih memilih untuk berinvestasi di saham atau obligasi karena memberikan keuntungan yang besar walaupun memiliki risiko yang besar juga.
Menurut Sunariyah (2014) bahwa investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan return di masa yang akan datang. Keputusan penanaman modal tersebut dapat dilakukan oleh individu atau suatu entitas yang mempunyai kelebihan dana. Menurut Tandelilin (2011), investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa yang akan datang. Menginvestasikan sejumlah dana pada asset riil (tanah, emas, mesin atau bangunan), maupun aset finansial (deposito, saham ataupun obligasi) merupakan aktivitas investasi yang umumnya dilakukan. Menurut Halim (2013) investasi selalu memiliki dua sisi, yaitu return dan risiko. Dalam berinvestasi berlaku hukum bahwa semakin tinggi return yang ditawarkan maka semakin tinggi pula risiko yang harus ditanggung investor. Investor bisa saja mengalami kerugian bahkan lebih dari itu bisa kehilangan semua modalnya.
Pengertian keputusan investasi sendiri adalah langkah awal untuk menentukan jumlah aktiva yang dibutuhkan perusahaan secara keseluruhan sehingga keputusan investasi ini merupakan keputusan terpenting yang dibuat oleh perusahaan”. Dalam hubungannya dengan nilai perusahaan, maka setiap keputusan investasi yang dibuat oleh manajer keuangan akan berdampak terhadap harga saham perusahaan tersebut. Menurut Keown et al. (2011) bahwa keputusan investasi adalah maksimalisasi kekayaan pemegang saham, yaitu maksimalisasi harga pasar saham perusahaan karena seluruh keputusan keuangan akan terrefleksi di dalamnya. Dalam pernyataan lain menyebutkan bahwa keputusan investasi menyangkut tentang keputusan alokasi dana baik dana yang berasal dari dalam maupun dana yang berasal dari luar perusahaan pada berbagai bentuk investasi. Dengan kata lain, investasi macam apa yang paling baik bagi perusahaan (Sartono, 2010). Dalam pengertian ini maka keputusan investasi disangkutkan dengan perusahaan. Apabila diaplikasikan dalam keputusan investasi individu maka dianggap sebagai keputusan alokasi dana baik dana yang berasal dari dalam maupun dana yang berasal dari luar individu pada berbagai bentuk investasi.
Menurut Fenandar, (2009:27) adalah “Keputusan investasi merupakan keputusan yang menyangkut pengalokasian dana yang berasal dari dalam maupun dana yang berasal dari luar perusahaan pada berbagai bentuk investasi”. Keputusan Investasi menurut Wijaya dan Wibawa (2010) adalah “Keputusan investasi keputusan sebagai komposisi antara aset yang dimiliki dan pilihan investasi dimasa yang akan datang”
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa investasi adalah penanaman modal yang berasal dari penundaan konsumsi sekarang untuk dimasukkan ke aktiva produktif selama periode waktu tertentu. Sedangkan pengertian keputusan investasi adalah keputusan alokasi dana baik dana yang berasal dari dalam maupun dana yang berasal dari luar individu pada berbagai bentuk investasi
Dimensi komitmen organisasional menurut Newstrom dalam Wibowo
(2016: 189), mengemukakan bahwa terdapat tiga dimensi terpisah komitmen
organisasional, yaitu:
1. Affective commitment
Ditandai oleh adanya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut
bahwa individu mengidentifikasi dengan berkomitmen afektif, keterlibatan
didalam organisasi dan menyukai keanggotaan di dalam organisasi serta
merasa memiliki persamaan dengan organisasi. Karyawan afektif tetap
berkomitmen dengan organisasi karena mereka inginkan.
2. Continuance commitment
Nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila
dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.
3. Normative commitment
Kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral
atau etis.
Heller dalam Wibowo (2016: 191) menyarankan beberapa cara yang dapat
ditempuh untuk menumbuhkan komitmen melalui faktor-faktor, diantaranya:
1. Memelihara kepercayaan (nurturing trust)
Kunci untuk meraih kepercayaan adalah mengedepankan kualitas dan
gaya kepemimpinan, dan pertama kali yang harus dilakukan adalah
mempercayai karyawan yang bekerja untuk organisasi.
2. Memenangkan pikiran, semangat dan hati (Winning minds, spirits, and
hearts)
Komitmen dari karyawan tidak dapat dibentuk sebelum pemimpin
mampu menunjukkan kebutuhan akan psikologis, intelektul dan emosional,
seperti memberikan otonomi dalam menciptakan lingkungan pekerjaan,
menghargai hasil kerja keras dan memberdayaakan karyawan dengan
menyerahkan kontrol sebanyak mungkin.
3. Menjaga komitmen pekerja (keeping staff commited)
Memperkaya pekerjaan dan meningkatkan motivasi merupakan hal
yang paling efektif dalam menjaga komitmen seseorang.
4. Menghargai keunggulan (rewarding execellence)
Pengakuan atas kemampuan merupakan hal penting dan efektif untuk
menjaga komitmen.
5. Bersikap positif (staying positive)
Lingkungan kerja yang positif merupakan hal penting, untuk
membangunnya dapat melalui mutual trust, saling memberikaan kepercayaan
antara organisasi dengan karyawan
Menurut Samsuddin (2018: 61) komitmen adalah pengakuan seutuhnya,
sebagai sikap yang berasal dari watak yang muncul dari dalam diri seseorang.
Komitmen individu akan memunculkaan motivasi diri dan mendorong semangat
dalam bekerja, sehingga mampu menjalankan tugas menuju perubahan ke arah
yang lebih baik. Robbins dan Judge (2015: 47) mendefinisikan komitmen
organisasional sebagai suatu keadaan seorang karyawan telah memihak pada
organisasi beserta tujuan-tujuannya dan berusaha untuk tetap mempertahankan
keanggotaannya.
Greenberg dan Baron dalam Wibowo (2016: 187) yang mendefinisikan
komitmen organisasional sebagai suatu derajat individu mengidentifikasi dirinya
sebagai bagian dari organisasi dan terlibat dengan segala aktivitas organisasi
serta tidak ingin meninggalkan organisasi tersebut. Sementara itu pendapat lain
yaitu Schermerhorn, dkk dalam Wibowo (2016: 188) mengemukakan bahwa
komitmen organisasional sebagai suatu tingkatatan loyalitas yang dirasakan
karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja.
Dari beberapa definisi para ahli yang sudah dibahas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa komitmen kerja merupakan sikap individu terhadap
organisasi yang sangat penting dalam upaya peningkatan kinerja dan akan
memotivasi untuk menjadi baik dalam bekeja
Komitmen organisasional dapat digunakan untuk memprediksi aktivitas
professional dan perilaku kerja karena mencerminkan sikap positif individu
terhadap organisasi. Sikap tersebut akan memotivasi individu untuk menjadi
disiplin dalam bekerja, mematuhi aturan dan kebijakan dalam organisasi, menjaga
hubungan baik dengan rekan kerja, dan meningkatkan pencapaian seseorang,
dengan cara ini pengetahuan dan pemahaman mengenai komitmen organisasi dapat
digunakan sebagai dasar untuk memprediksi perilaku kerja individu.
Dimensi Kepuasan Kerja Menurut Afandi (2016: 67) lima indikator
kepuasan kerja adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan. Isi pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memiliki elemen
yang memuaskan
2. Upah. Jumlah bayaran yang diterima seseorang sebagai akıbat dari
pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan adil
3. Promosı. Kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan
jabatan
4. Pengawas. Seseorang yang senantiasa memberikan perintah atau petunuk
dalam pelaksanaan kerja
5. Rekan kerja. Teman-teman kepada siapa seseorang senantiasa berinteraksı
dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang dapat merasakan rekan kerjanya
sangat menyenangkan atau tidak menyenangkan
Kepemimpinan merupakan suatu upaya untuk mempengaruhi pegawai
melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan
dapat dikatakan sebagai cara dari seorang pimimpin dalam mengarahkan,
mendorong dan mengatur seluruh unsur unsur di dalam kelompok atau
organisasinya untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan sehingga
menghasilkan kinerja pegawai yang maksimal. Meningkatnya kinerja pegawai
berarti tercapainya hasil kerja seseorang atau pegawai dalam mewujudkan tujuan
organisasi. Kinerja merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.
Paparan di atas mencerminkan bahwa dengan adanya pola kepemimpinan
yang efektif diharapkan dapat terwujudnya kinerja pegawai yang tinggi. Intinya
kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kinerja
pegawai.dengan demikian pengukuran terhadap kinerja perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang
telah di tentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan yang di
harapkan.
Berdasarkan paparan di atas, maka dimensi dan indikator dari kinerja
pegawai dalam penelitian ini mengacu pada pendapat dari Mathis dan Jackson
(2012:378) adalah sebagai berikut:
a. Kuantitas
Merupakan jumlah yang dihasilkan, dinyatakan dalam istilah seperti jumlah
unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan pegawai, dan jumlah aktivitas
yang dihasilkan
b. Kualitas
Kualitas kerja diukur dari persepsi pegawai terhadap kualitas pekerjaan yang
dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap ketrampilan dan kemampuan
pegawai.
c. Ketepatan waktu
Ketepatan waktu diukur dari persepsi pegawai terhadap suatu aktivitas yang
diselesaikan di awal waktu sampai menjadi output.
d. Kehadiran
Kehadiran pegawai di perusahaan baik dalam masuk kerja, pulang kerja, izin,
maupun tanpa keterangan yang seluruhnya mempengaruhi kinerja pegawai itu.
e. Kemampuan bekerjasama
Kemampuan bekerja sama adalah kemampuan seseorang tenaga kerja untuk
bekerja sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan
pekerjaan yang telah ditetapkan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna
yang sebesar-besarnya.
Moeharianto (2012:95) menyatakan bahwa penilaian kinerja mempunyai
pengertian suatu proses penilaian tentang suatu kemajuan pekerjaan terhadap
tujuan dan sasaran dalam pengelolaan sumber daya manusia untuk menghasilkan
barang dan jasa termasuk informasi atas efisiensi serta efektifitas tindakan dalam
mencapai tujuan organisasi.
Penilaian kinerja digunakan secara luas untuk mengelolah upah dan gaji,
memberikan umpan balik kinerja dan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
pegawai individual. Sebagaian besar penilaian adalah tidak konsisten hanya
berorientasi pada jangka pendek, subjektif dah berguna hanya untuk
mengdentifikasi pegawai yang bekerja sangat baik atau sangat buruk, penilaian
kinerja yang dilakuakan dengan buruk akan membawa hasil yang mengecewakan
untuk smua pihak yang terkait, tetapi tanpa menialain kenerja formal akan
membatasi pilihan pemberi kerja yang berkaitan dengan pendisiplinan dan
pemecatan.
Menurut Mathis dan Jackson (2012:382-383), orgnisasi dalam penilaian
kerja biasanya menggunakan dua peran yang memiliki potensi konflik. Peran
pertama untuk mengukur kinerja dalam memberikan imbln kerja atau keputusan
administratif mengenai pegawai. Peran kedua berfokus pada pengembangan
individu. Dalam peran ini manajer berperan lebih sebagai seseorang penasehat
dibandingkan seorang hakim yang akan mengubah atmosfer hubungan. Peran
kedua tersebut akan menekankan dalam mengidentifikasi potensi dan
merencanakan kesempatan pertumbuhan dan arah pegawai
Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif
atau negatif. Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah sampai kuat.
Hubungan yang kuat menunjukan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan
signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja. Beberapa
korelasi kepuasan kerja Afandi (2016: 62) sebagai berikut:
1. Motivasi
2. Pelibatan Kerja
3. Organizational Citizenship Behavior
4. Organizational Commitment
5. Ketidakhadiran (Absenteisme)
6. Perputaran (Turnover)
7. Perasaan Stres
8. Prestasi Kerja/Kinerja
Kinerja seseorang di pengaruhi oleh banyak faktor yang dapat di
golongkan pada 3 (tiga) kelompok yaitu kompensasi individu orang yang
bersangkutan, dukungan organisasi, dan dukungan manejemen. Simanjuntak,
(2011:11)
a. Kompensasi individu
Kompensasi individu adalah kemampuan dan keterampilan melakukan kerja.
Kompensasi setiap orang mempengaruhi oleh beberapa faktor yang dapa di
kelompokkan dalam 6 (enam) golongan yaitu.
1) Kemampuan dan keterampilan kerja
2) Keahlian yang menggambarkan tentang kerja pegawai berdasarkan sejauh
mana pengetahuan tentang hal yang mereka tangani lebih baik dari pada
dari pada orang yang lain di bidang yang sama.
3) Kebutuhan yang menggambarkan tentang kinerja pegawai berdasarkan
pada hal-hal yang menggerakkan pegawai pada aktivitas-aktivitasdan
menjadi dasar alasan berusaha.
4) Tanggung jawab yang menggambarkan tentang kinerja pegawai
berdasarkan keadaan wajib menanggung terhadap tugas-tugasnya.
5) Latar belakang yang menggambarkan tentang kinerja karywan dilihat dari
titik tolk masa lalunya yamg memberikan pemahaman kepada
pekerjaannya apa yang ingin dia lakukan.
6) Etos kerja yang menggambarkan kinerja pegawai berdasarkan sikap yang
muncul atsas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem
organisasi orientasi nilai budaya terhadap kinerja.
b. Faktor Dukungan organisasi
1) Kondisi dan syarat kerja setiap seseorang juga tergantung pada dukungan
organisasi dalam bentuk pengorganisasian, penyediaan sarana dan
prasarana kerja, kenyamanan lingkungan kerja, serta kondisi dan syarat
kerja.
2) Pengorganisasian yang di maksud disini adalah untuk memberi kejelasan
bagi setiap unit kerja dan setiap orang tentang sasaran tersebut. Sedangkan
penyediaan sarana dan alat kerja langsung mempengaruhi kinerj setiap
orang, penggunaan peralatan dan teknologi maju sekarang ini bukan saja
dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, akan tetapi juga dipandang
untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan kerja.
c. Faktor psikologis
Kinerja setiap perorangan juga sangat tergantung pada kemampuan psikologis
seperi persepsi, sikap dan motivasi.
Perusahaan penting untuk mengetahui kinerja pegawai agar dapat
mengambil langkah untuk mengembangkan sumber daya manusia yang ada dalam
perusahaannya dengan langkah mengikut sertakan pegawai ke pelatihan-pelatihn
tertentu faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kinerja pegawai diantaranya
adalah bagaimana kondisi fisik tempat bekerj, pertan dan materi, waktu untuk
bekerja pengawasan dan pelatuhan, desain organisasi dan iklim organisasi.
Berikut ini akan dijelaskan pengertian kinerja menurut para ahli, yaitu
sebagai berikut:
Faustin Gomes dalam Maulizar (2012:60) menyatakan bahwa kinerja
adalah “Catatan hasil keluaran yang di hasilkan dari suatu fungsi pekerjaan
tertentu atau kegiatan tertentu dalam suatu periode tertentu”.
Robbins (2012:212) mendefinisikan kinerja pegawai, yaitu:
“Sebagai hasil kerja seseorang pegawai selama periode tertentu di
bandingkan dengan berbagai kemungkinan misalnya standar,
target/sasaran atau kriteria yang telah di tentukan terlebih dahulu dan telah
di sepakati bersama”.
Menurut Gibson dalam Laksmi Riani, (2011:98) adalah “Hasil pekerjaan
yang sesuai dengan tujuan organisasi, yakni kualitas kerja, kuantitas kerja,
efisiensi, dan kriteria efektifitas lainnya.
Guilford dalam Munandar (2014:53) mengemukakan ciri-ciri dari
kreativitas yang dijadikan dimensi dan indikator dalam penelitian ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Kelancaran berpikir (fluency of thinking)
Kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran
seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang ditekankan adalah
kuantitas, dan bukan kualitas.
b. Keluwesan berpikir (flexibility)
Kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau
pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut
pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-beda,
serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara
pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir.
Mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan
menggantikannya dengan cara berpikir yang baru.
c. Elaborasi (elaboration)
Kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci
detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih
menarik.
d. Originalitas (originality)
Merupakan kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan
untuk mencetuskan gagasan asli
Ada lima faktor yang dapat memengaruhi kepuasan kerja menurut Afandi
(2016: 60) yaitu sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfilment). Kepuasan ditentukan oleh tingkatan
karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk
memenuhi kebutuhannya.
2. Perbedaan (Discrepancies). Kepuasarn merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan
lebih besar dari apa yang diterima orang akan tidak puas. Sebaliknya individu
akan puas bila menerima manfaat diatas harapan.
3. Pencapaian nilai (Value attainment). Kepuasan merupakan hasil dari persepsi
pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4. Keadilan (Equity). Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu
diperlakukan di tempat kerja.
5. Komponen genetik (Genetic components). Kepuasan kerja merupakan fungsi
sifat pribadi dan faktor genetik.
Selain penyebab kepuasan kena, ada juga faktor penentu kepuasan kerja.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu sendiri (work itself). Setiap pekerjaan memerlukan suatu
keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing Sukar
tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya
dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau
mengurangi kepuasan.
2. Hubungan dengan atasan (supervision). Kepemimpinan yang konsisten
berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa (consideration).
Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu tenaga
kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja.
Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang
mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya
mempunyai pandangan hidup yang sama. Tingkat kepuasan kerja yang paling
besar dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan
yang memiliki ciri pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan
meningkat motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan
pekerjaannya.
3. Teman sekerja (workers). Teman kerja merupakan faktor yang berhubungan
dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain,
baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
4. Promosi (pronmotion). Promosi merupakan faktor yang berhubungan dengan
ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama
bekerja.
5. Gaji atau upah (pay). Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hilup
pegawai yang dianggap laik atau tidak