Ciri-Ciri Work Engagement


Karyawan yang memiliki work engagement terhadap perusahaan memiliki
karakteristik tertentu. Hakanen, Bakker, dan Schaufeli (2006) mengatakan bahwa
karyawan yang memiliki work engagement tinggi dicirikan sebagai berikut :
a. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang
berikutnya.
b. Merasakan dirinya adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih
besar daripada diri mereka sendiri.
c. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah
lompatan dalam pekerjaan.
d. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku
yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih
dari kata ‘cukup baik’, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan,
menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara yang terbaik untuk
menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa
yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, dan akan
mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan.
Menurut Schaufeli dan Bakker (2010), karyawan yang memiliki work
engagement yang tinggi secara konsisten akan mendemonstrasikan 3 perilaku umum,
yaitu :
a. Say
Secara konsisten berbicara positif mengenai perusahaan dimana ia bekerja
kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial, dan juga kepada
pelanggan.
b. Stay
Memiliki keinginan untuk menjadi anggota perusahaan dimana ia bekerja
dibandingkan kesempatan bekerja di perusahaan lain.
c. Strive
Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat berkontribusi
pada kesuksesan bisnis perusahaan.
Karyawan yang engaged juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara
antusias terlibat dalam pekerjaannya (Schaufeli, Taris, dan Rhenen, 2008). Ketika
karyawan engaged, mereka merasa terdorong untuk berusaha maju menuju tujuan
yang menantang, mereka menginginkan kesuksesan. Lebih lanjut work engagement
merefleksikan energi karyawan yang dibawa dalam pekerjaan (Leiter dan Bakker,
2010).
Berdasarkan uraian di atas, ciri-ciri karyawan yang engaged tidak hanya
mempunyai kapasitas untuk menjadi energik, tetapi mereka secara antusias
mengaplikasikan energi yang dimiliki pada pekerjaan mereka. Work engagement
juga merefleksikan keterlibatan yang intensif dalam bekerja, karyawan yang
memiliki work engagement memiliki perhatian yang lebih terhadap perusahaan,
memikirkan detail penting, menikmati pekerjaannya, merasakan pengalaman untuk
hanyut dalam pekerjaan sehingga melupakan waktu dan mengurangi segala macam
gangguan dalam pekerjaan

Dimensi Work Engagement


Work engagement merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan
pikiran yang ditandai dengan vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption
(penyerapan) (Sang-Hoon Lee et al, 2017). Vigor atau semangat mencerminkan
kesiapan untuk mengabdikan upaya dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk
terus energik saat bekerja, dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam
menghadapi tugas kesulitan atau kegagalan. Dedikasi mengacu pada identifikasi
yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi,
kebanggaan, dan tantangan. Dimensi ketiga dari work engagement adalah
penyerapan atau absorption. Absorption ditandai dimana seseorang menjadi benarbenar menikmati pekerjaannya, dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk
melupakan diri dari pekerjaannya. Seorang karyawan yang tergolong memiliki work
engagement, dapat didefinisikan dengan melakukan pekerjaan yang ditandai dengan
semangat, dedikasi, dan penyerapan dalam menyelesaikan semua penugasannya.
Secara ringkas Sang-Hoon Lee et al, (2017) menjelaskan mengenai dimensi
yang terdapat dalam work engagement, yaitu :
a. Vigor
Merupakan curahan energi dan mental kuat selama bekerja, keberanian untuk
berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, tekun dalam
menghadapi kesulitan kerja, memiliki kemauan untuk menginvestasikan segala
upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
b. Dedication
Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi, dan tantangan.
c. Absorption
Dalam bekerja, karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu
pekerjaan. Dalam bekerja, waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan
kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.

Definisi Work Engagement


Secara spesifik Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker
mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan, kerja dari pusat
pikiran yang dikarakteristikkan (Schaufeli et al., 2008). Schaufeli, Salanova, dan
Bakker (2008) memberikan batasan mengenai work engagement sebagai persetujuan
yang kuat terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
pekerjaan. Menurut Gallup (2010) karyawan yang engaged akan bekerja dengan
semangat dan merasakan hubungan yang mendalam dengan perusahaan dimana
mereka bekerja, mereka mendorong inovasi dan mendorong kemajuan perusahaan.
Anteseden dan konsekuensi dari job crafting karyawan pada PT Daya Alam Mandiri
Work engagement merupakan gabungan antara kepuasan dan komitmen, dan
kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap, sedangkan
komitmen lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik (Mujiasih dan
Ratnaningsih, 2012). Work engagement bergerak melampaui kepuasan yang
menggabungkan berbagai persepsi karyawan yang secara kolektif menunjukan
kinerja yang tinggi, komitmen, serta loyalitas (Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012).
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian teori diatas mengenai work
engagement merupakan sikap dan perilaku dari tingkat sejauh mana karyawan dalam
bekerja dapat mengekspresikan dirinya secara total baik secara fisik, kognitif, afektif,
dan emosional. Karyawan menemukan arti dalam bekerja, kebanggaan telah menjadi
bagian dari perusahaan tempat ia bekerja, bekerja untuk mencapai visi dan misi
keseluruhan sebuah perusahaan. Karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan
sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang diharapkan baik dalam waktu dan energi.

Faktor yang Berkaitan dengan Knowledge Sharing


Knowledge sharing tidak hanya melibatkan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap
karyawan, namun juga dari proses memberi dan menerima pengetahuan dari orang lain.
Selain faktor organisasi dan teknologi, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong
atau melatar belakangi kemampuan knowledge sharing.
Okyere‐Kwakye dan Nor (2011) dalam artikelnya yang berjudul Individual
Factors and Knowledge Sharing menganalisis tentang knowledge sharing. Terdapat
empat faktor individu yang dianggap mempengaruhi perilaku individu untuk melakukan
knowledge sharing terdiri dari altruism, self efficacy, mutual reciprocity and trust.
Berikut penjelasannya lebih lanjut.
a. Altruism merupakan sikap untuk mau berbagi dan membantu karyawan lain tanpa
ada unsur paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan dengan operasi – operasi
organisasional demi kepentingan kebutuhan organisasi.
b. Self-efficacy adalah penilaian diri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi
dalam situasi tertentu. Self – efficacy berhubungan dengan keyakinan diri
memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan yang diharapkan.
c. Mutual reciprocity merupakan hubungan timbal balik yang memiliki hubungan
positif dengan knowledge sharing. Semakin baik hubungan antar pribadi maka
akan menghasilkan timbal balik dalam berbagi pengetahuan.
d. Trust merupakan kepercayaan terhadap integritas, keadilan, dan keandalan dari
seseorang atau suatu organisasi. Trust adalah kerelaan dari salah satu pihak untuk
menerima tindakan yang dilakukan oleh pihak lain dan mneghasilkan kerjasama,
terlebih pada organisasi besar

Dimensi Knowledge Sharing


Knowledge Sharing memiliki dua dimensi menurut Hooff dan Weenen (2004)
yaitu :
a. Knowledge Collecting adalah usaha untuk mempersuasi orang lain untuk
membagi apa yang mereka ketahui dengan berkonsultasi kepada orang lain
mengenai modal intelektual yang dimiliki.
b. Knowledge Donating merupakan perilaku mengkomunikasikan modal intelektual
(intellectual capital) yang dimiliki seseorang kepada orang lain.
Kedua dimensi diatas merupakan proses aktif, dengan secara aktif berkomunikasi
dengan orang lain apa yang orang ketahui, atau aktif berkonsultasi dengan orang lain
untuk mengetahui apa yang mereka ketahui. Dimana menyumbangkan pengetahuan
merupakan modal intelektual seseorang dengan orang lain, dan mengumpulkan
pengetahuan berarti memungkinkan seseorang memperoleh keuntungan dari modal
intelektual orang lain

Definisi Knowledge Sharing


Sebelum memahami konsep knowledge sharing, terlebih dahul kita pahami
konsep knowledge itu sendiri. Davenport dan Prusak (1998) mendefinisikan pengetahuan
secara luas dengan campurna dari pengalaman, nilai, informal kontekstual, dan
pandangan yang memberikan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman
baru dan informasi. Konwledge merupakan suatu hal yang tercipta dari proses kognitif
seseorang. Ipe (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan pencetus dari inovasi.
Maka dari itu, perusahaan harus dapat mengelola pengetahuan secara efektif dan efisien
sehingga dapat menjadikan sumber kekuatan bagi karyawannya.
Wang dan Noe (2010) menyatakan bahwa kunci sukses dari manajemen
pengetahuan adalah knowledge sharing. Knowledge sharing merupakan sebuah ide,
pengalaman, dan pengetahuan di antara individu dan kelompok (Davenport & Prusak,
1998). Senge (1997) menyatakan knowledge sharing sebagai pertukaran pengetahuan
diantara individu dapat dicapai melalui interaksi sosial. Knowledge sharing merupakan
sebuah mekanisme dimana pengetahuan ditransmisikan dari satu pihak ke pihak yang lain
(Kuo, 2013).
Hoff dan Ridder (2004) mendefinisikan bahwa knowledge sharing adalah proses
dimana para individu saling mempertukarkan pengetahuan mereka (Tacit Knowledge dan
Eksplicit Knowledge). Sedangkan Hooff dan Weenen (2004) mendefinisikan knowledge
sharing sebagai aktivitas para individu berbagi dan bertukar pengetahuan tacit dan
eksplisit mereka. Interaksi harian menciptakan pengetahuan baru melalui proses
pertukaran, sumbangan, dan pengumpulan pengetahuan. Definisi ini mengimplikasikan
bahwa setiap perilaku knowledge sharing terdiri atas knowledge donating dan knowledge
collecting. Knowledge donating yaitu kemampuan karyawan untuk menyampaikan
pengetahuan yang dimiliki, meliputi pengalaman kerja, gagasan, keahlian dan informasi
kontekstual kepada karyawan yang lain. Sedangkan, knowledge collecting adalah
kemampuan karyawan untuk mengumpulkan pengetahuan dari karyawan, meliputi
pengetahuan pengalaman kerja, gagasan, keahlian dan informasi kontekstual.

Faktor-faktor yang Berkaitan dalam Employee Engagement


Karyawan yang engaged akan beperan dalam membantu perusahaan mencapai
visi dan misi perusahaan, melaksanakan strategi, dan meraih hasil bisnisnya. Mereka
memiliki ikatan yang positif, antusiasme, dapat dipercaya dan saling percaya satu sama
lain. Disamping itu, selain interaksi dengan rekan kerja satu sama lain, karyawan yang
engaged juga akan menghormati atasannya. Mereka mengetahui bahwa atasan mereka
menghormati mereka juga, sehingga mereka akan berusaha memberikan yang terbaik
kepada atasannya.
Bakker (2009) menyebutkan terdapat tiga faktor yang berkaitan dengan employee
engagement, yaitu:
a. Job Resources
Job resources merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional
dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan
pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan
dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi
pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.
b. Salience of Job Resources
Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya
pekerjaan yang dimiliki oleh individu.
c. Personal Resources
Personal Resources merujuk kepada karekteristik yang dimiliki oleh
karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Karyawan yang
engaged akan memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan
karyawan lainnya karena mreka memilki inisiatif yang tinggi

Dimensi Employee Engagement


Dimensi atau aspek-aspek dari employee engagement terdiri dari tiga (Schaufeli et
al, 2003), yaitu:
a. Aspek Vigor
Vigor merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan dan
resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk berusaha dengan sungguhsungguh di dalam pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan (Schaufeli &
Bakker, 2003).
b. Aspek Dedication
Aspek dedikasi ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias,
inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Individu yang memiliki
skor dedication yang tinggi secara kuat menidentifikasi pekerjaan mereka karena
menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Mereka
merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan individu
dengan skor rendah pada dedication tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan
karena mereka tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau
menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap
pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003).
c. Aspek Absorption
Aspek absorption ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang mendalam
dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan individu sulit melepaskan
diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan segala sesuatu disekitarnya,
(Schaufeli & Bakker, 2003). Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada
absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa
tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari
pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya terlupa dan waktu terasa berlalu
cepat. Sebaliknya orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa tertarik
dan tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah
dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu disekeliling mereka,
termasuk waktu (Schaufeli & Bakker, 2003)

Definisi Employee Engagement


Gagasan employee engagement pertama kali di pelopori oleh Kahn (1990) yang
percaya bahwa seseorang dapat menggunakan berbagai tingkat dirinya secara fisik,
kognitif, dan emosional pada peran yang sedang mereka tampilkan. Bahkan mereka bisa
mempertahankan keutuhan batasan antara peran yang sedang ditampilkan dan siapa diri
mereka sebenarnya. Employee engagement merupakan seseorang yang akan
mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional selama menunjukan
performa mereka. Aspek kognitif dalam employee engagement mencakup keyakinan
yang dimiliki oleh karyawna mengenai perusahaannya, para pemimpinnya, dan kondisi
kerja. Aspek emosional meliputi bagaimana perasaan karyawan terhadap perusahaan dan
pemimpinnya. Sedangkan aspek fisik meliputi energi fisik yang dikeluarkan oleh
karyawan dalam melaksanakan tugas peran yang dimiliki di perusahaan (Kahn, 1990).
Lockwood (2005) berpendapat bahwa employee engagement dilihat sebagai
pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual komit terhadap perusahaan,
yang dilihat melalui tiga perilaku utama: berbicara positif mengenai perusahaannya,
memiliki gairah yang intens untuk menjadi bagian dari perusahaan, dan menunjukan
usaha ekstra dan perilaku yang memiliki kontribusi terhadap kesuksesan perusahaan.
Schaufeli & Bakker (2003) mendefinisikan employee engagement adalah perasaan
positif yang dimiliki individu, diukur terhadap pekerjaannya dengan disertai kesediaan
untuk mencurahkan kemampuan dan energi yang dimunculkan melalui perialku, dimana
mereka akan merasa memiliki kepentingan, dapat fokus dengan pekerjaan, adanya
perasaan intens dalam bekerja, dan memiliki antusiasme yang tinggi dengan
pekerjaannya. Hal tersebut ada karena terdapat karakteristik karyawan yang memiliki
keterlibatan dengan pekerjaannya, seperti memiliki keyakinan terhadap kemampuannya
sendiri serta memiliki tanggapan bahwa “ work is fun”, dimana karyawan merasa positif
dan puas terhadap pekerjannya yang ditandai dengan tiga hal, yaitu dengan adanya vigor
(semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (keasyikan) pada karyawan. Ketiga hal
tersebut dapar diartikan sebagai keadaan motivasional yang positif. Vigor adalah level
energi dan resiliensi yang tinggi, adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi, dan
tidak mudah lelah. Dedication adalah keterlibatan yang kuat ditandai oleh antusiasme,
rasa bangga, dan inspirasi. Absorption adalah keadaan totalitas pada karyawan yang
dikarakteristikan oleh cepatnya waktu berlalu dan sulitnya memisahkan seseorang dari
pekerjaannya.
Selain itu, terdapat juga pandangan lain mengenai employee engagement. Thomas
(2007) menyebutkan bahwa employee engagement merupakan suatu keadaan psikologis
yang stabil dan adalah hasil interaksi antara seorang individu dengan lingkungan tempat
individu bekerja. Employee engagement adalah komitmen emosional karyawan pada
perusahaan dan tujuannya. Mereka tidak hanya bekerja karena untuk gaji atau promosi,
tetapi bekerja atas nama tujuan perusahaan tersebut (Kruse, 2012). Wiley & Blakweel
(2009) menyatakan bahwa Employee engagement adalah penghayatan karyawan terhadap
tujuan dan pemusatan energi yang muncul dalam bentuk inisiatif, adaptibilitas, usaha, dan
kegigihan yang mengarah kepada tujuan perusahaan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement


Schaufeli dan Bakker menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi prediktor
penting bagi Work Engagement. Menurut Schaufeli dan Bakker Job demand, job resources,
dan personal resources merupakan faktor-faktor yang kuat bagi Work Engagement (Bakker &
Leiter, 2010, h. 87).
a. Tuntutan kerja (Job demands)
Diartikan sebagai derajat lingkungan pekerjaan dalam memberikan stimulus yang
bersifat menuntut dan memerintah sehingga perlu diberikan respon. Respon yang diberikan
seringkali harus mengeluarkan usaha baik fisik ataupun psikis dari individu atau karyawan
terkait dikarenakan tuntutan kerja ini dapat mengarah pada aspek fisik, sosial atau
organisasional. Beberapa fakor yang dapat mempengaruhi tuntutan kerja antara lain adalah:
tekanan kerja (work pressure), tuntutan emosi (emotional demands), tuntutan mental (mental
demands), dan tuntutan fisik (physical demands)
b. Sumber daya kerja (job resources)
Sumber daya kerja atau yang sering disebut job resources diartikan sebagai aspek fisik,
psikologis, sosial, dan organisasi pada pekerjaan yang antara lain digunakan untuk: 1)
mengurangi tuntutan dari pekerjaan dan usaha yang dikerluarkan secara fisik maupun psikis, 2)
meraih suatu tujuan/goal dari pekerjaan 3) dan menstimulasi perkembangan, pertumbuhan dan
pembelajaran pribadi. Menurut model teori job demands- resources, Halbesleben (dalam
Bakker & Leiter, 2010, h. 109) menyatakan bahwa sumber daya kerja merupakan penahan
hubungan antara tuntutan kerja dan kelelahan (exhaution). Dibawah kondisi pekerjaan, pekerja
yang memiliki level tinggi dari resources memberikan lebih masukan dan kemudian lebih
mampu berhubungan dengan tuntutan (demands). Hasilnya, pekerja akan cenderung memiliki
tingkat kelelahan yang rendah dalam bekerja.
c. Sumber daya pribadi (Personal resources)
Diartikan sebagai aspek kognitif dan afektif dari kepribadian, yang merupakan
kepercayaan positif terhadap diri sendiri dan lingkungan serta bersifat dapat dikembangkan,
yang mana hal ini dapat memotivasi dan memfasilitasi pencapaian tujuan bahkan saat
menghadapi kesulitan dan tantangan. (Bakker, 2008, h. 8-13).

Ciri-ciri dari Work Engagement


Terdapat berbagai macam pendapat mengenai ciri-ciri yang dimiliki oleh karyawan
dengan Work Engagement yang tinggi dan dikemukakan dalam beberapa literatur, antara lain
menurut Hewitt (dalam Schaufeli & Bakker, 2010, h.12), menyatakan karyawan yang memiliki
engagement yang tinggi akan secara konsisten mendemonstrasikan tiga perilaku umum, antara
lain yaitu:
a. Say – secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja kepada
rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan
b. Stay – Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja
dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain
c. Strive – Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat berkontribusi
pada kesuksesan bisnis organisasi ditampat ia bekerja.
Federman (2009, h.21-22) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki engagement
yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
a. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya
b. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar daripada diri
mereka sendiri
c. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan
dalam pekerjaan
d. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa
Leiter & Bakker (2010, h.2), menyatakan bahwa ciri karyawan yang memiliki Work
Engagement yaitu mereka yang merasa terdorong untuk berusaha terus maju menuju tujuan
yang menantang, dan selalu menginginkan kesuksesan. Selain itu, Work Engagement juga
merefleksikan energi karyawan yang dibawa dalam pekerjaan.
Marciano (2010, h. 42) mengemukakan terdapat 10 karakteristik respon yang
dimunculkan oleh para karyawan yang memiliki Work Engagement yaitu:
a. Membawa ide baru dalam pekerjaan,
b. Bersemangat dan antusias tentang pekerjaan,
c. Memiliki inisiatif,
d. Aktif dalam meningkatkan diri, orang lain dan bisnis,
e. Konsisten dalam mencapai tujuan dan harapan, bahkan melebihinya,
f. Ingin tahu dan tertarik terhadap pekerjaan, misalnya dengan bertanya,
g. Mengenal dan mendukung anggota tim,
h. Bersikap positif dan optimis dalam bekerja,
i. Mengatasi masalah atau tantangan dan tetap fokus terhadap tugas, dan
j. Berkomitmen terhadap organisasi
Karyawan yang memiliki Work Engagement akan menikmati pekerjaan yang mereka
lakukan dan berkeinginan untuk memberikan segala bantuan yang mereka mampu untuk
dapat mensukseskan organisasi dimana mereka bekerja. Selain itu karyawan yang engaged
juga mempunyai tingkat energi yang tinggi dan secara antusias terlibat dalam pekerjaannya
(Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris, 2008, h. 173).

Aspek-aspek Work Engagement


Menurut Schaufeli, & Bakker, (dalam Bakker dan Leiter 2010, h 13) terdapat tiga aspek
penting yang mewakili Work Engagement, yaitu :
a. Vigor
Merupakan level energi yang tinggi dan resiliensi mental ketika bekerja, kemauan untuk
mengerahkan upaya, dan persisten ketika menghadapi hambatan dalam bekerja (Bakker &
Leiter, 2010:13). Aspek vigor juga mencerminkan kemauan untuk menginvestasikan segala
upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
b. Dedication
Mengarah pada pelibatan diri yang kuat terhadap suatu pekerjaan dan merasakan
keberartian (significance), antusiasme (enthusiasm), inspirasi (inspiration), kebanggaan
(pride), dan tantangan (challenge). Dedikasi yang tinggi berhubungan dengan cara kerja
karyawan yang mampu menimbulkan antusiasme dan tantangan dalam menyelesaikan tugas
pekerjaannya.
c. Absorption
Aspek yang terakhir adalah absorption yang ditandai dengan konsentrasi yang penuh
ketika bekerja, dimana Individu merasa ketika ia bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat
dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan (Bakker & Leiter, 2010,
h.13).

Pengertian Work Engagement


Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker menjelaskan Work Engagement adalah
suatu penghayatan positif dan rasa terpenuhi pada pekerjaan yang ditandai dengan adanya
vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma & Bakker, 2002,
dalam Bakker dan Leiter 2010, h. 13).
Definisi yang dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker pada
tahun 2002 tersebut membedakan konsep work engagement dengan konsep burnout dan
menjadikan konsep work engagement sebagai suatu konstruk yang independen. Selain itu
dalam definisi yang dikemukakan tercakup aspek afektif dan kognitif dari work engagement
sehingga secara tidak langsung disamping mencakup aspek kognitif, work engagement juga
mencakup penggunaaan emosi dan perasaan secara aktif (Salanova &Schaufeli, 2008). Seperti
yang sudah dijelaskan di atas, definisi work engagement mencakup tiga aspek yaitu vigor,
dedication, dan absorption yang dapat dianalisis secara terpisah.

Hubungan antara Dukungan Sosial Atasan dengan Work Engagement


Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah sebuah
kondisi dari seseorang yang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan
pekerjaan. Menurut Macey (dalam Steven dan Prihatsanti, 2017), karyawan yang
memiliki work engagement selalu punya pemikiran yang luas apabila sewaktuwaktu tuntutan pekerjaan terjadi perubahan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi dari work engagement, salah satunya ialah dukungan sosial.
Dukungan sosial diartikan sebagai rasa nyaman berkat kepedulian, penghargaan,
atau pertolongan yang diterima oleh seseorang dari orang atau kelompok lain
(Sarafino dan Smith, 2014). Seseorang merasa bahwa dukungan sosial dapat
membuatnya menjalani tantangan dengan lebih mudah. Cohen dan Syme (1985)
mengemukakan bahwa dukungan sosial secara lebih umum yaitu segala sumber
daya yang diberikan oleh orang lain. Dukungan sosial dapat bersumber dari
berbagai pihak, seperti sahabat, rekan kerja, keluarga, dan atasan, serta dukungan
dapat diberikan dalam bentuk pujian, pertolongan, materi, dan lain sebagainya.
Salah satu dukungan sosial yang dapat diberikan adalah dukungan sosial atasan.
Bagi pegawai dukungan yang paling berpengaruh adalah dukungan dari atasan,
atasan atau pemimpin dalam sebuah instansi adalah orang yang memiliki
kedudukan yang lebih tinggi, sehingga memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap
proses dan hasil kerja yang berada di bawahnya (Septianingrum dan Supraba,
2021).
Menurut Rosliana (2018) mendefinisikan pemimpin atau atasan sebagai
kelompok sosial yang memiliki peran dalam mendukung kinerja bawahannya.
Lebih lagi dijelaskan pengertian atasan yang disampaikan oleh Hersey, Blanchard
dan Natemeyer (dalam Thoha, 2010) menyatakan bahwa atasan memiliki tugas
dalam mendukung bawahannya agar dapat bekerja dengan efektif serta tujuan yang
telah ditentukan dapat tercapai, sehingga atasan tidak hanya menilai perilakunya
sendiri untuk mempengaruhi orang lain, tetapi juga mengerti posisi dan tanggung
jawabnya agar menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang baik. Hal ini juga
didukung dari pendapat Agustina, Soedjatmiko, dan Zainab (2019) yang
menyatakan bahwa dukungan atasan merupakan faktor pendukung internal yang
dapat menunjang kualitas sumber daya manusia, seperti pegawai yang
mendapatkan perhatian dan motivasi dari atasan yang akan berdampak positif
terhadap kinerja dari pegawai tersebut.
Terdapat aspek dari dukungan sosial atasan menurut Sarafino dan Smith
(2014) yaitu (1) dukungan emosional, (2) dukungan penghargaan, (3) dukungan
instrumental, dan (4) dukungan informasi. Pada aspek dukungan emosional yaitu
berupa ungkapan empati, simpati, kasih sayang, kepedulian seseorang terhadap
orang lain (Sarafino dan Smith, 2014). Menurut Dorio (2009) menerangkan bahwa
karyawan yang memiliki dukungan secara emosional, akan memberikan pengaruh
baik pada work engagement. Dorio (2009) juga menambahkan bahwa salah satu
sumber dukungan yaitu pasangan, keluarga, maupun atasan akan senantiasa
mendengarkan permasalahan yang dialami oleh karyawan, meluangkan waktunya,
menunjukkan bahwa atasan memahami apa yang sedang dirasakan oleh
karyawannya. Hal ini akan menyebabkan emosi positif pada diri karyawan sehingga
berpengaruh pada semangat (vigor) yang ditunjukkan ketika karyawan sedang
mengerjakan pekerjaannya (Dorio, 2009). Sebaliknya, karyawan yang memiliki
dukungan emosional rendah, karyawan memiliki kecenderungan untuk tertutup
dengan permasalahan yang dimilikinya, merasa atasan tidak memahami apa yang
dirasakan karyawan, serta karyawan merasa tidak adanya kepedulian dari
sekitarnya (Dorio, 2009).
Pada aspek dukungan penghargaan yaitu suatu bentuk dukungan yang
berupa ungkapan yang diberikan oleh orang lain yang disekelilingnya dalam
membantu seseorang untuk membangun kompetensi dan mengembangkan harga
dirinya (Sarafino dan Smith, 2014). Menurut Bakker dan Demerouti (2007)
menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement
yaitu sumber daya organisasi (job resources) dan sumber daya pribadi (personal
resources). Sumber daya organisasi meliputi aspek fisik, sosial, dan organisasi yang
dapat menurunkan tuntutan kerja, serta dapat berfungsi untuk mencapai tujuan
pekerjaan serta memberikan stimulus terhadap individu untuk tumbuh, belajar dan
berkembang (Bakker dan Demerouti, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rezkinda (2019), menunjukkan karyawan yang memiliki dukungan penghargaan
tinggi, akan memberikan pengaruh baik pada work engagement. Karyawan yang
mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliknya serta mendapatkan tempat
untuk mengembangkannya, hal ini dikarenakan adanya dukungan yang diberikan
oleh atasan, sehingga karyawan merasa dirinya berharga dan mampu memberikan
kemampuan terbaiknya di tempat kerja (Rezkinda, 2019). Sebaliknya, karyawan
yang memiliki dukungan sosial rendah, karyawan tersebut belum mampu untuk
mengembangkan kompetensi yang dimiliki serta adanya rasa kurang percaya diri
dari karyawan tersebut (Rezkinda, 2019).
Pada aspek dukungan instrumental menekankan pada bentuk dukungan
yang berupa material dan lebih bersifat bantuan, sumbangan dana, uang dan lain
sebagainya (Sarafino dan Smith, 2014). Hasil penelitian Nugraha (2018)
menjelaskan bahwa dukungan instrumental dapat berpengaruh baik terhadap
engaged karyawan. Hal ini dikarenakan adanya berupa dukungan yang bersifat
material, seperti adanya keringanan terhadap pekerjaannya yang diakibatkan
dengan adanya bantuan, sehingga karyawan menjadi memiliki motivasi tersendiri
karena merasa dihargai dan pekerjaannya mendapatkan dukungan dari pihak lain
(atasan). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Sedarmayanti (2009) karyawan yang
dengan motivasi tinggi akan bersedia mengeluarkan usaha terbaiknya untuk
mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya, karyawan yang memiliki dukungan
instrumental rendah, karyawan akan merasa tidak dihargai karena tidak
mendapatkan bantuan maupun dukungan yang membuat karyawan tersebut
terbebani, serta karyawan selalu merasa adanya tekanan yang membuat karyawan
tersebut tidak dapat berkembang. Hal ini akan membuat engaged karyawan menjadi
rendah (Nugraha, 2018).
Pada aspek dukungan informasi lebih bersifat nasihat, memberitahukan hal
yang baik, terhadap apa yang sudah dilakukan oleh individu tersebut (Sarafino dan
Smith, 2014). Hasil penelitian Rezkinda (2019) menyatakan bahwa atasan yang
dapat membantu karyawan mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan
dan pemahaman dari individu karyawan terhadap masalah yang dihadapi, serta
informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan
masalah secara praktis. Maka, karyawan dapat memperluas wawasan dan
pemahamannya dengan baik, serta karyawan tersebut akan memiliki engaged yang
tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan pendapat Kerns (2006) yaitu dengan adanya
informasi yang memberitahukan hal positif kepada karyawan, maka karyawan
tersebut memiliki rasa berharga dan membuat kinerja karyawan menjadi
meningkat, serta dapat menguntungkan suatu organisasi. Sebaliknya, karyawan
yang tidak mendapatkan dukungan informasi yang baik dari atasannya, maka
karyawan tersebut tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapinya, karyawan
tidak dapat memperluas wawasan yang tentunya menjadi tidak dapat berkembang
di tempat kerja, serta karyawan tersebut tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya
maupun kewajibannya dengan baik (Rezkinda, 2019).
Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah menurut Sarafino dan Smith
(2014) dukungan sosial atasan meliputi dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi berpengaruh positif
terhadap work engagement. Keempat aspek dari dukungan sosial ini memiliki
pengaruh terhadap work engagement. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari
Bakker dan Demerouti (2007) yang memberikan beberapa contoh dari job
resources yaitu berupa dukungan sosial, pemberian feedback, pemberian pelatihan,
otonomi, serta memicu motivasi kerja karyawan yang mengarah pada work
engagement dalam meningkatkan maksimalitas kerjanya. Kemudian penjelasan di
atas juga didukung oleh pendapat dari Schaufeli dan Bakker (2004) yang
menjelaskan work engagement disebabkan oleh beberapa hal, yaitu otonomi
pekerjaan, dukungan sosial, coaching, dan lain sebagainya. Hal ini juga didasarkan
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2012) yaitu menunjukkan
adanya korelasi positif antara dukungan sosial dengan work engagement. Kemudian
juga terdapat hasil penelitian dari Rezkinda (2019) yaitu menunjukkan bahwa
terdapat hubungan signifikan antaran dukungan sosial atasan dengan keterikatan
kerja. Serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiani dan Nurtjahjanti (2017)
yaitu menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial
dengan keterikatan kerja (work engagement). Semakin tinggi dukungan sosial
atasan yang dirasakan karyawan maka semakin tinggi work engagement.
Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial atasan yang dirasakan karyawan maka
semakin rendah work engagement.

Hubungan antara Resiliensi dengan Work Engagement


Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah sebuah
kondisi dari seseorang yang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan
pekerjaan. Menurut Macey (dalam Steven dan Prihatsanti, 2017), karyawan yang
memiliki work engagement selalu punya pemikiran yang luas apabila sewaktuwaktu tuntutan pekerjaan terjadi perubahan. Menurut Agustian (2012) work
engagement tidak hanya perlu untuk perusahaan swasta, namun juga penting untuk
perusahaan negara (BUMN) juga instansi pemerinatahan, sehingga pegawai dalam
instansi yang berkaitan dengan pemerintahan dapat juga memiliki komitmen,
antusias, dan kompetensi. Hal ini akan membuat pegawai dapat melakukan
pekerjaannya dengan penuh semangat, tepat waktu dalam menyelesaikan
pekerjaan, serta fokus terhadap pekerjaannya. Hal ini dapat diperkuat dari pendapat
Bakker dan Demerouti (2006) menyatakan bahwa pegawai yang memiliki work
engagement lebih tinggi akan cenderung kreatif, produktif, dan mau untuk bekerja
ekstra. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dari work engagement, salah
satunya ialah resiliensi. Hal ini diperkuat dan didasarkan pada hasil penelitian yang
dilakukan Steven dan Prihatsanti (2017), yang menunjukkan adanya hubungan
positif dan signifikan antara resiliensi dengan work engagement. Hasil penelitian
Santoso dan Jatmika (2017), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat dan positif antara resiliensi dengan work engagement. Berdasarkan dari
penelitian yang dilakukan Luthans (dalam Yuniar, Nurtjahjanti, dan Rusmawati,
2011) resiliensi menjadi faktor yang sangat diperlukan untuk dapat mengubah
sebuah ancaman yang menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang, dan
meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi demi perubahan yang lebih baik.
Menurut Mase dan Tyokya (dalam Astika dan Saptoto, 2016) karyawan yang
mampu bertahan dan mampu mengatasi segala bentuk kejadian negatif dalam
organisasi cenderung memilik work engagement yang tinggi. Menurut Rushton,
Batcheller, Schroader dan Donuhue (dalam Astika dan Saptoto, 2016), karyawan
yang resiliensi akan terkoneksi secara psikologis terhadap pekerjaannya. Setiap
tantangan dan kesulitan yang dihadapi tidak dipandang sebagai suatu penghalang.
Hal tersebut akan berkebalikan dengan orang yang memiliki resiliensi rendah,
karyawan akan cenderung mengalami burnout pada pekerjaannya.
Menurut Mcewen (2011), resiliensi diartikan sebagai kemampuan bertahan
atau mengatasi kesulitan dari persitiwa tidak menyenangkan dan berhasil
beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian. Mcewen (2011) menyatakan
aspek aspek resiliensi, yaitu (1) mental toughness, (2) physical endurance, (3)
emotional balance, dan (4) purpose and meanings. Pada aspek mental toughness
merupakan individu yang mampu beradaptasi dengan keadaan, dapat
mengendalikan keadaan yang terjadi di sekitarnya, dan optimis untuk berhasil
dalam situasi tertentu (Mcewen, 2011). Bakker (2003), mengatakan dari salah satu
dimensi work engagement ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan
mental saat bekerja, kemauan untuk berinvestasi usaha dalam pekerjaan dan
ketekunan bahkan dalam menghadapi keadaan yang sulit. Hasil Penelitian Ayu,
Maarif, dan Sukmawati (2015), menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki
ketahanan dan keyakinan pada dirinya yang besar, dapat membuat diri karyawan
mampu mengontrol, dan memberikan dampak baik pada lingkungan tempat bekerja
sesuai dengan kemampuan, dengan hal itu mendorong karyawan untuk
meningkatkan work engagement. Sebaliknya, jika karyawan merasa pesimis, tidak
mampu bertahan dan tidak mampu mengatasi segala kejadian negatif dalam
perusahaan cenderung memiliki work engagement yang rendah (Astika dan
Saptoto, 2016). Individu yang meragukan kemampuan cenderung menganggap
pekerjaan yang sulit sebagai ancaman (Federichi dan Skaalviv dalam Bulit, 2018).
Pada umumnya, individu yang memandang rendah terhadap kemampuan dirinya
akan merasa ragu atau tidak yakin terhadap dirinya sendiri apabila dihadapkan pada
situasi yang sulit, dan individu tersebut cenderung untuk menarik diri dari kegiatan
yang dianggap mengancam atau menantang (Federichi dan Skaalviv, 2012).
Pada aspek physical endurance menekankan perlunya seseorang untuk
merawat tubuh dengan cara yang diketahui (Mcewen, 2011). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti (2017), menunjukkan karyawan yang
memiliki physical endurance baik, akan memberikan pengaruh baik pada work
engagement. Karyawan yang melakukan dan menyelesaikan pekerjaannya dengan
semangat, berusaha sebaik mungkin, antusias dan berkontribusi baik dalam
pekerjaannya, berarti memiliki resiliensi yang baik, ditunjukkan dengan karyawan
yang melatih daya tahan tubuhnya dengan cara berolahraga, mengistirahatkan
tubuhnya sementara, hal tersebut dilakukan agar karyawan dapat bertahan dan
mengatasi masalah atau keadaan yang sulit dalam perusahaan (Steven dan
Prihatsanti, 2017). Sebaliknya, karyawan yang memiliki aspek physical endurance
yang rendah, karyawan tersebut belum mampu merawat tubuhnya dengan baik,
belum memahami kemampuan tubuh sedini mungkin dan belum mampu
mengembangkan kekuatan fisik dan daya tahan, yang ditunjukkan pada perilaku
karyawan yang jarang melatih daya tahan tubuhnya seperti berolahraga, hal itu yang
akan mempengaruhi work engagement, karyawan menjadi kurang semangat dan
antusias dalam menyelesaikan pekerjaan (Steven dan Prihatsanti, 2017).
Pada aspek emotional balance adalah kemampuan untuk mengelola
perasaan negatif yang berarti dalam tingkat tertentu dapat mengontrol emosi dan
mengetahui apa yang dibutuhkan dari diri individu tersebut pada situasi tertentu
(Mcewen, 2011). Hasil penelitian Steven dan Prihatsanti (2017), karyawan yang
dapat mengontrol emosi dan bertahan pada keadaan yang sulit, berarti karyawan
tersebut memiliki resiliensi. Menurut Wakhyuni (2016), kemampuan individu
menciptakan emosi positif terhadap pekerjaannya merupakan salah satu cerminan
dari tingkat work engagement individu. Menurut Fredrickson (dalam Boniwell,
2012) emosi positif terdiri dari kebahagiaan, kepuasan, persahabatan yang hangat,
cinta dan kasih sayang, semua itu akan meningkatkan ketahanan dan kemampuan
untuk mengatasi setiap masalah, terutama pada pekerjaan yang sulit. Sebaliknya,
individu yang memiliki emosi yang negatif terhadap pekerjaannya maka individu
tersebut akan memiliki keyakinan yang rendah terhadap hal yang berkaitan dengan
pekerjaannya, hal tersebut dapat mempengaruhi work engagement (Wakhyuni,
2016). Menurut Fredrickson (dalam Boniwell, 2012) emosi negatif terdiri dari
adanya kecemasan atau kemarahan, yang dikaitkan dengan kecenderungan untuk
bertindak dengan cara tertentu, sehingga pada situasi emosi tersebut yang tidak
dapat dikendalikan, akan menurunkan ketahanan dan kemampuan individu dalam
mengatasi masalah, terutama pada hal pekerjaan yang sulit.
Pada aspek purpose and meanings digambarkan dengan seseorang yang
mempunyai tujuan dan makna hidup sehingga mau berkontribusi pada lingkungan
sekitarnya (Mcewen, 2011). Steven dan Prihatsanti (2017), menyatakan bahwa rasa
bermakna dan berkontribusi bagi lingkungan sekitar menandakan adanya
keterkaitan antara aspek purpose and meanings dan aspek dedication pada
karyawan. Menurut Kahn (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), karyawan yang
memiliki rasa kebermaknaan dan mau berkontribusi terhadap pekerjaanya dengan
baik dapat membangun work engagement, hal itu dilakukan dengan cara berusaha,
semangat dan mengeluarkan setiap energinya, rasa memiliki emosional yang baik
dan tenang, dengan itu karyawan akan mencapai target dan tujuan dalam
penyelesaian pekerjaan dengan baik. Sebaliknya, karyawan yang belum
berkontribusi terhadap perusahaannya, akan mempengaruhi work engagement pada
diri karyawan tersebut, hal ini ditunjukkan pada perilaku karyawan yang tidak
semangat dan tidak berusaha untuk mencapai tujuan dan terget yang ditentukan oleh
individu maupun perusahaan, sehingga karyawan tidak menyelesaikan pekerjaann
dengan baik (Steven dan Prihatsanti, 2017).
Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah menurut Mcewen (dalam Steven
dan Prihatsanti, 2017) resiliensi meliputi mental thoughnes, physical endurance,
emotional balance, purpose and meaning berpengaruh positif terhadap work
engagement. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Steven dan Prihatsanti (2017),
adanya hubungan positif dan signifikan antara resiliensi dengan work engagement.
Hasil penelitian Santoso dan Jatmika (2017), juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat dan positif antara resiliensi dengan work engagement. Semakin
tinggi resiliensi karyawan maka semakin tinggi work engagement. Sebaliknya,
semakin rendah resiliensi karyawan maka semakin rendah work engagement.

Aspek Dukungan Sosial Atasan


Sarafino dan Smith (2014) menyatakan ada beberapa aspek dari dukungan
sosial, yaitu:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional yaitu berupa ungkapan empati, simpati, kasih sayang,
kepedulian seseorang terhadap orang lain.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan yaitu suatu bentuk dukungan yang berupa ungkapan
yang diberikan oleh orang lain yang disekelilingnya dalam membantu
seseorang untuk membangun kompetensi dan mengembangkan harga dirinya.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental yaitu bentuk dukungan yang berupa material dan
lebih bersifat bantuan, sumbangan dana, uang dan lain sebagainya.
d. Dukungan informasi
Dukungan informasi yaitu lebih bersifat nasihat, memberitahukan hal yang
baik, terhadap apa yang sudah dilakukan oleh individu tersebut.
Menurut Cutrona dalam (Pinkerton dan Dolan, 2007) menyatakan bahwa
terdapat beberapa aspek dari dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan konkret yang berkaitan dengan tindakan berupa bantuan praktis di
antara individu-individu.
b. Dukungan emosional yang terdiri dari tindakan empati, mendengarkan, dan
umumnya untuk individu ketika dibutuhkan.
c. Dukungan saran yang melampaui nasihat itu sendiri ke jaminan yang
menyertainya.
d. Dukungan harga diri yang berpusat pada bagaimana satu individu menilai dan
memberitahu individu lainnya tentang nilai pribadinya.

Pengertian Dukungan Sosial Atasan


Sarafino dan Smith (2014) mendefinisikan dukungan sosial sebagai rasa
nyaman berkat kepedulian, penghargaan, atau pertolongan yang diterima oleh
seseorang dari orang atau kelompok lain. Seseorang merasa bahwa dukungan
sosial dapat membuatnya menjalani tantangan dengan lebih mudah. Cohen dan
Syme (1985) mengemukakan bahwa dukungan sosial secara lebih umum yaitu
segala sumber daya yang diberikan oleh orang lain. Cutrona (dalam Pinkerton
dan Dolan, 2007) menambahkan jika dukungan sosial merupakan perilaku
membantu orang yang mengalami stres agar dari individu tersebut mampu dalam
menghadapi masalah. Dukungan sosial akan memberikan rasa nyaman ketika
diperlukan maupun berikan (Baron dan Byrne, 1997).
Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa dukungan sosial adalah rasa nyaman berkat kepedulian, penghargaan,
atau pertolongan yang diterima oleh seseorang dari orang atau kelompok lain.
Dukungan sosial dapat bersumber dari berbagai pihak, seperti sahabat, rekan
kerja, keluarga, dan atasan, serta dukungan dapat diberikan dalam bentuk pujian,
pertolongan, materi, dan lain sebagainya. Salah satu dukungan sosial yang dapat
diberikan adalah dukungan sosial atasan. Bagi pegawai dukungan yang paling
berpengaruh adalah dukungan dari atasan, atasan atau pemimpin dalam sebuah
instansi adalah orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sehingga
memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap proses dan hasil kerja yang berada
di bawahnya (Septianingrum dan Supraba, 2021).
Menurut Rosliana (2018) mendefinisikan pemimpin atau atasan sebagai
kelompok sosial yang memiliki peran dalam mendukung kinerja bawahannya.
Lebih lagi dijelaskan pengertian atasan yang disampaikan oleh Hersey,
Blanchard dan Natemeyer (dalam Thoha, 2010) menyatakan bahwa atasan
memiliki tugas dalam mendukung bawahannya agar dapat bekerja dengan efektif
serta tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai, sehingga atasan tidak hanya
menilai perilakunya sendiri untuk mempengaruhi orang lain, tetapi juga mengerti
posisi dan tanggung jawabnya agar menghasilkan kualitas sumber daya manusia
yang baik. Hal ini juga didukung dari pendapat Agustina, Soedjatmiko, dan
Zainab (2019) yang menyatakan bahwa dukungan atasan merupakan faktor
pendukung internal yang dapat menunjang kualitas sumber daya manusia, seperti
pegawai yang mendapatkan perhatian dan motivasi dari atasan yang akan
berdampak positif terhadap kinerja dari pegawai tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
atasan adalah bantuan yang diterima dari atasan untuk memberikan dorongan,
nasihat agar membuat bawahan yang bekerja merasa dihargai, diperhatikan,
memiliki rasa nyaman, serta mendapatkan bantuan secara nyata yang terintegrasi
secara sosial di lingkungan kerja.

Aspek Resiliensi


Mcewen (2011), yang menyatakan bahwa resiliensi terdiri dari aspekaspek mental toughness, physical endurance, emotional balance, purpose and
meanings. Adapun penjelasannya yaitu:
a. Mental Toughness
Mental Toughness yaitu individu yang mampu beradaptasi dengan
keadaan, dapat mengendalikan keadaan yang terjadi di sekitarnya, dan
optimis untuk berhasil dalam situasi tertentu. karyawan yang lebih optimis
diketahui lebih minim stres dibandingkan dengan karyawan yang kurang
optimis (Makikangas dan Kinnunen, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Steven dan Prihatsanti (2017), adanya aspek mental thougnes membuat
karyawan dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi di
tempat kerja.
b. Physical Endurance
Physical Endurance menekankan perlunya seseorang untuk merawat
tubuh dengan cara yang diketahui. Individu memahami kemampuan tubuh
sedini mungkin dan dapat mengembangkan kekuatan fisik dan daya tahan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti (2017),
menunjukkan karyawan yang memiliki physical endurance baik, maka
karyawan tersebut memiliki daya tahan yang baik, sehingga karyawan
tersebut dapat bertahan dan beradaptasi untuk menyelesaikan pekerjaannya.
c. Emotional Balance
Emotional Balance merupakan kemampuan untuk mengelola perasaan
negatif yang berarti dalam tingkat tertentu dapat mengontrol emosi dan
mengetahui apa yang dibutuhkan dari diri individu tersebut pada situasi
tertentu. Hasil penelitian Steven dan Prihatsanti (2017), karyawan yang dapat
mengontrol emosi dan bertahan dalam keadaan yang sulit, berarti karyawan
tersebut memiliki resiliensi.
d. Purpose and Meanings
Purpose and Meanings digambarkan dengan seseorang yang mempunyai
tujuan dan makna hidup sehingga mau berkontribusi pada lingkungan
sekitarnya. Menurut Santoso dan Jatmika (2017), memiliki tujuan dan makna
hidup juga dapat mempengaruhi seseorang dalam menjalankan kehidupan
yang seimbang, memberikan energi kepada karyawan kenyamanan, dan
kemampuan untuk menampilkan dirinya tanpa ada rasa takut terhadap citra
diri, status, dan karir. Teori tersebut diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti (2017), karyawan yang memiliki
purpose and meanings, menunjukkan karyawan yang mau untuk
berkontribusi bagi lingkungan pekerjaanya, sehingga dapat membantu untuk
kesuksesan perusahaannya.
Williams dan Wilkins (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), menjelaskan
beberapa aspek resiliensi yang dirangkum dari beberapa penelitian sebelumnya.
Adapun aspek tersebut adalah:
a. Hidup otentik (hidup dengan benar), dipandang mewakili mengetahui dan
memegang nilai-nilai pribadi, penggelaran kekuatan pribadi, dan memiliki
tingkat yang baik kesadaran emosional dan regulasi.
b. Mencari panggilan diri, terkait dengan mencari pekerjaan yang sejalan dengan
tujuan dan nilainilai pribadi. Selain itu faktor ini juga berhubungan dengan
rasa memiliki seseorang terhadap pekerjaannya.
c. Mempertahankan perspektif, berbicara mengenai bagaimana seseorang dapat
fokus pada penyelesaian masalah daripada hal-hal negatif dari suatu masalah.
Bagaimana seseorang dapat menyikapi suatu kegagalan.
d. Mengelola stress, berbicara tentang menggunakan rutinitas pekerjaan dan
kehidupan sehari-hari untuk mengelola stresor, menjaga keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi, dan waktu untuk relaksasi.
e. Berinteraksi dengan kooperatif, berbicara mengenai budaya dan sikap kerja
terkait dengan hal feedback, saran, dan dukungan baik terhadap diri sendiri
ataupun orang lain.
f. Menjaga kesehatan, berbicara mengenai bagaimana individu daat menjaga
kesehatan fisik dan pola makan yang baik.
g. Membangun jaringan, berbicara mengenai bagaimana seseorang membangun
dan mempertahankan relasi baik ditempat kerja maupun di luar tempat kerja.
Menurut Jackson, dkk (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), mengenai
resiliensi mengusulkan bahwa strategi pengembangan diri salah satunya
adalah membangun hubungan positif yang professional, agar dapat
mengembangankan dan menjaga jaringan dengan orang luar dan mengekspos
profesionalitas perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin menggunakan aspek dari
resiliensi menurut Mcewen (2011), yaitu meliputi mental toughness, physical
endurance, emotional balance, purpose and meanings. Pertimbangan pemilihan
aspek pada penelitian ini juga berdasarkan penelitian yang dilakukan Steven dan
Prihatsanti (2017), adanya aspek mental toughness, physical endurance,
emotional balance, purpose and meaning, pegawai akan dengan mudah untuk
mengendalikan keadaan, mengelola atau mengontrol emosi, dan merawat
tubuhnya sebaik mungkin sehingga karyawan dapat berkontribusi dengan baik
terhadap pekerjaannya

Pengertian Resiliensi


Menurut Mcewen (2011), resiliensi diartikan sebagai kemampuan
bertahan atau mengatasi kesulitan dari persitiwa tidak menyenangkan dan
berhasil beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian. Menurut Yuniar
(dalam Santoso dan Jatmika, 2017), resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan
beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan. Seorang yang
memiliki resiliensi akan mampu mengatur emosinya dan berinteraksi lebih
efektif dalam lingkungan sosial. Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi
merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi
kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Menurut McCann, dkk. (dalam Santoso dan Jatmika, 2017)
mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk menjaga kesejahteraan
pribadi dan professional dalam menghadapi stres kerja yang sedang berlangsung
dan kesulitan yang ada. Williams dan Wilkins (2013), menjelaskan bahwa
resiliensi terkait dengan proses negosiasi, mengelola, dan beradaptasi dengan
sumber signifikan dari stress atau trauma di tempat kerja. Sehingga dari segi
pekerjaan resiliensi memiliki definisi sebagai proses dan pengalaman terganggu
oleh perubahan, peluang, tekanan, dan kesulitan, dan setelah beberapa
introspeksi, pada akhirnya mengakses karunia dan kekuatan (resiliensi) untuk
tumbuh lebih kuat melalui masalah (Naswall dkk., 2013).
Menurut Keye dan Pidgeon (dalam Utami dan Helmi, 2017), resiliensi
didefinisikan sebagai kemampuan individu memilih untuk pulih dari peristiwa
kehidupan yang menyedihkan dan penuh tantangan, dengan cara meningkatkan
pengetahuan untuk adaptif dan mengatasi situasi serupa yang merugikan di masa
mendatang. Menurut Siebert (2005) resiliensi adalah kemampuan untuk
mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga
kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi
kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi
dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan
kekerasan. Menurut Wagnild dan Young (1993) resiliensi merupakan
kemampuan seorang individu untuk beradaptasi dalam menghadapi kesulitan
hidup.
Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa resiliensi adalah kemampuan seorang individu untuk bertahan,
beradaptasi dan mengatasi kesulitan dari peristiwa atau perubahan yang terjadi
pada situasi-situasi sulit atau tidak menyenangkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi Work Engagement


Menurut Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa work
engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Personal resources
Personal resources adalah evaluasi diri secara positif yang dihubungkan
dengan resiliensi dan mengacu kemampuan individu untuk mengontrol dan
memiliki dampak pada lingkungannya. Penelitian Bakker dan Demerouti
(2007) juga menegaskan engagement berhubungan dengan sumber daya
personal (personal resources) yang pada akhirnya akan memperlihatkan
tingkat kinerja. Semakin besar sumber daya pribadi individu, semakin positif
pula diri individu dan tujuan keharmonisan diri diharapkan muncul, individu
dengan tujuan keharmonisan diri secara intrinsik termotivasi untuk mengikuti
tujuannya dan hasilnya memicu kinerja yang lebih tinggi dan kepuasan, empat
konstruk seperti hope, optimism, self-efficacy, dan resiliensi merupakan
bagian dari kekuatan psikologis dan personal resources (Herbert, 2011).
b. Job demands
Job demands adalah derajat lingkungan pekerjaan dalam memberikan
stimulus yang bersifat menuntut sehingga perlu diberikan respon. Menurut
Ayu, Maarif, dan Sukmawati (2015), job demands adalah seluruh aspek yang
berhubungan dengan kondisi fisik, kondisi psikologis, atau mental pribadi
manusia, kondisi sosial atau hubungan antara pribadi manusia, dan kondisi
organisasional atau keadaan pribadi di dalam kelompok yang membutuhkan
usaha yang harus dikeluarkan dari seseorang. 1) Aspek fisik terdiri dari waktu
kerja, kelelahan fisik, lingkungan kerja. 2) Aspek psikologis terdiri dari
tekanan deadline dari pekerjaan, kesulitan untuk melakukan pekerjaan. 3)
Aspek sosial terdiri dari hubungan emosional dengan klien kerja, hubungan
dengan rekan kerja, dan hubungan dengan atasan kerja. 4) Aspek
organisasional terdiri dari perasaan terkait dengan pekerjaan, dan peran yang
ambigu dalam pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu, Maarif,
dan Sukmawati (2015), faktor job demands berpengaruh terhadap work
engagement, apabila karyawan merasakan kelelahan secara fisik, psikologis,
sosial, dan organisasi maka akan berdampak menurunkan tingkat work
engagement. Sebaliknya, apabila karyawan merasa secara fisik, psikologis,
sosial, dan organisasi secara baik maka akan meningkatkan tingkat work
engagement pada karyawan.
c. Job resources
Job resources merupakan aspek fisik, psikologis, sosial, dan organisasi
pada pekerjaan, yang memungkinkan individu untuk mengurangi dari
tuntutan pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho, Mujiasih, dan
Prihatsanti (2013), yaitu tingginya job resources tersebut secara teoritis akan
mempengaruhi pula job demands sebagai faktor penting lain yang
mempengaruhi work engagement, ketika job resources dirasakan tinggi maka
akan menimbulkan motivasi yang tinggi pula pada karyawan. Job
resources terdiri dari 1) Level organisasi yaitu adanya kesesuaian gaji yang
didapatkan, adanya kesempatan pengembangan karir, dan ketersedian
informasi yang ada pada organisasi. 2) Level interpersonal terdiri dari
komunikasi yang baik antar sesama rekan kerja, dukungan atasan, dan iklim
kelompok. 3) Level tugas terdiri dari keikutsertaan dalam pengambilan
keputusan, kejelasan peran, dan jenis pekerjaan yang variatif.
Menurut Hewitt (dalam Titien, 2016), work engagement dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain, penghargaan (total rewards), kondisi perusahaan
(company practise), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan
(opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work), dan orang lain
disekitar pekerjaan (people). Menurut Vazirani (dalam Titien, 2016),
mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penting yang menyebabkan
karyawan menjadi engaged, yakni adanya kesempatan untuk pengembangan
pribadi, manajemen yang efektif atas potensi atau bakat individu, kejelasan dari
nilai inti perusahaan, perlakuan organisasi yang penuh hormat kepada karyawan,
perilaku etis yang sesuai standar perusahaan, adanya pemberdayaan, image
organisasi, serta faktor-faktor lainnya yang meliputi kesempatan yang sama dan
perlakuan yang adil, penilaian kinerja, gaji dan bonus, kesehatan dan
keselamatan, kepuasan kerja, dan komunikasi.
Berdasarkan uraian faktor di atas, work engagement dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu 1) Personal resources, adalah evaluasi diri secara positif
yang dihubungkan dengan resiliensi dan mengacu kemampuan individu untuk
mengontrol dan memiliki dampak pada lingkungannya. Personal resources ini
terdiri dari empat seperti hope, optimism, self-efficacy, dan resiliensi. 2) Job
demands adalah derajat lingkungan pekerjaan dalam memberikan stimulus yang
bersifat menuntut sehingga perlu diberikan respon. Job demands terdiri dari
beberapa aspek. Aspek fisik terdiri dari waktu kerja, kekuatan fisik, lingkungan
kerja. Aspek psikologis terdiri dari tekanan deadline dari pekerjaan, kesulitan
untuk melakukan pekerjaan. Aspek sosial terdiri dari hubungan emosional
dengan klien kerja, hubungan dengan rekan kerja, dan hubungan dengan atasan
kerja. Aspek organisasional terdiri dari perasaan terkait dengan pekerjaan, dan
peran yang ambigu dalam pekerjaan. 3) Job resources merupakan aspek fisik,
psikologis, sosial, dan organisasi pada pekerjaan, yang memungkinkan individu
untuk mengurangi dari tuntutan pekerjaan Job resources terdiri dari level
organisasi , level interpersonal, dan level tugas.
Berdasarkan uraian dari beberapa faktor, peneliti ingin memilih faktor
resiliensi. Alasan peneliti memilih resiliensi, karena salah satu faktor yang dapat
membuat work engagement seorang karyawan tinggi yaitu resiliensi, ini
didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti
(2017), yang menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara
resiliensi dengan work engagement. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian
oleh Vernold (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), mengenai resiliensi
menunjukkan bahwa individu yang dapat bertahan atau terus di perusahaan
tersebut dikarenakan memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap faktor
pembentuk resiliensi, sedangkan orang-orang yang berencana meninggalkan
pekerjaannya memiliki tingkat kepuasan yang rendah.
Selanjutnya, berdasarkan uraian dari beberapa faktor, peneliti ingin
memilih faktor dukungan sosial atasan. Alasan peneliti memilih dukungan sosial
atasan, karena salah satu faktor yang dapat membuat work engagement seorang
karyawan tinggi yaitu dukungan sosial, hal tersebut berkaitan dengan penjelasan
Bakker dan Demerouti (2007) yang memberikan beberapa contoh dari job
resources yaitu berupa dukungan sosial, pemberian feedback, pemberian
pelatihan, otonomi, serta memicu motivasi kerja karyawan yang mengarah pada
work engagement dalam meningkatkan maksimalitas kerjanya. Kemudian
penjelasan di atas juga didukung oleh pendapat dari Schaufeli dan Bakker (2004)
yang menjelaskan work engagement disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
otonomi pekerjaan, dukungan sosial, coaching, dan lain sebagainya. Hal ini juga
didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2012) yaitu
menunjukkan adanya korelasi positif antara dukungan sosial dengan work
engagement. Kemudian juga terdapat hasil penelitian yang dilakukan oleh
Septiani dan Nurtjahjanti (2017) yaitu menunjukkan adanya hubungan positif
yang signifikan antara dukungan sosial dengan keterikatan kerja (work
engagement)

Pengertian Work Engagement


Work engagement adalah isu terkini dalam pengelolaan Sumber Daya
Manusia. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah
sebuah kondisi dari seseorang yang memiliki pikiran yang positif sehingga
mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam
melakukan pekerja. Menurut Khan (dalam Saks, 2006), juga mendefinisikan
work engagement merupakan pemanfaatan diri secara optimal dalam peran
seorang individu terhadap organisasi, selain itu, individu tersebut juga
mewujudkannya secara fisik, kognitif dan emosional ketika bekerja. Menurut
Cook (dalam Titien, 2016) work engagement mengacu pada satu tingkat, yaitu
para karyawan melakukan perannya dalam tata krama yang positif dan proaktif.
Perrin (dalam Bakker dan Leiter, 2010), mendefinisikan work engagement
sebagai keadaan afektif pada diri karyawan yang mencerminkan kepuasan
terhadap inspirasi dan afirmasi yang karyawan dapatkan ketika bekerja dan
menjadi bagian dari organisasi. Menurut Rothbard (dalam Rahmawati, 2016),
mendefinisikan model work engagement dalam beberapa peran yang berfokus
pada respon emosional seseorang untuk terlibat dalam peran dan bagaimana
tanggapan emosional terhadap keterlibatan dalam satu peran mempengaruhi
keterlibatan dalam peran yang lain. Menurut Federman (dalam Mujiasih, 2012),
work engagement adalah derajat dari seseorang karyawan mampu berkomitmen
pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada
bagaimana karyawan tersebut bekerja dan lama masa bekerja. Menurut Wellins
dan Concelman (dalam Mujiasih, 2012), mendefinisikan work engagement
adalah kekuatan ilusif yang memotivasi karyawan meningatkan kinerja pada
level yang lebih tinggi, energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa
memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih (waktu dan energi),
semangat dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa work engagement
adalah kondisi dari karyawan yang memiliki pikiran positif sehingga karyawan
mampu untuk mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif
dalam melakukan pekerjaan

 Jenis-jenis Status Kepegawaian


Bila merujuk pada UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
outsourcing (alih daya) dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang
diatur pada pasal 64, 65 dan 66. Menurut UU no 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, ada 2 macam status karyawan yaitu :

  1. Karyawan tetap yang diikat oleh perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
  2. Karyawan kontrak yang diikat oleh perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
    Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003
    tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
    pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan
    kewajiban para pihak. Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang
    dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:
    a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
    b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
    c. Jabatan atau jenis pekerjaan
    d. Tempat pekerjaan
    e. Besarnya upah dan cara pembayarannya
    f. Syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
    pekerja/buruh
    g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
    h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak
    dalam perjanjian kerja.
    Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau
    tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab
    Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
    a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
    b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
    c. Suatu pokok persoalan tertentu
    d. Suatu sebab yang tidak terlarang
    Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga
    menegaskan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
    a. Kesepakatan kedua belah pihak
    b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
    c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
    d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
    kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
    Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
    No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja
    dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
    untuk pekerja tertentu. Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang menjadi pihak
    dalam perjanjian adalah pekerja secara pribadi dan langsung dengan pengusaha.
    Isi dari PKWT bersifat mengatur hubungan individual antara pekerja
    dengan perusahaan/pengusaha, contohnya : kedudukan atau jabatan, gaji/upah
    pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang
    bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi. Jenis dan sifat pekerjaan yang
    diperbolehkan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah ;
  3. Pekerjaan yang selesai sekali atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya
    paling lama tiga tahun
    a. Apabila pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjian
    maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut putus demi hukum pada
    saat selesainya pekerjaan.
    b. Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu harus mencantumkan batasan
    suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
    c. Apabila pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan
    pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
    d. Pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dilakukan setelah masa
    tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya Perjanjian Kerja. Selama
    tenggang waktu 30 hari tersebut, tidak ada hubungan kerja antara pekerja
    dan perusahaan/pengusaha.
  4. Pekerjaan Musiman
    a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ini hanya dapat dilakukan untuk satu
    jenis pekerjaan pada musim tertentu.
    b. Pekerjaan – pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan/
    target tertentu dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
    sebagai pekerjaan musiman.
    c. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan musiman tidak dapat
    dilakukan pembaruan.
  5. Pekerjaan yang terkait dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
    tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
    a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk jenis pekerjaan ini hanya dapat
    dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang
    untuk satu kali paling lama 1 tahun.
    b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan ini tidak dapat dilakukan
    pembaruan.
    c. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh diberlakukan bagi pekerja
    yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar perkerjaan yang
    biasa dilakukan perusahaan.
  6. Pekerjaan harian/ Pekerja lepas
    a. Perjanjian Kerja Waktu Terntu dapat dilakukan untuk pekerjaan –
    pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume
    pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.
    b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerja harian lepas dilakukan
    dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
    c. Apabila pekerja harian bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan
    berturut-turut maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berubah menjadi
    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
    d. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja harian/lepas wajib membuat
    perjanjian kerja secara tertulis. e. Perjanjian Kerja tersebut harus memuat sekurang – kurangnya :
    Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja, nama/alamat pekerja, jenis
    pekerjaan yang dilakukan dan bersarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
    PKWT wajib dibuat secara tertulis dan didaftarkan di instansi
    ketenagakerjaan terkait. Apabila dibuat secara lisan, akibat hukumnya adalah
    kontrak kerja tersebut menjadi PKWT. PKWT dapat diadakan paling lama 2 (dua)
    tahun. Apabila pengusaha ingin melakukan perpanjangan kontrak, maka
    pengusaha wajib memberitahukan maksud perpanjangan tersebut secara tertulis
    kepada pekerja paling lama 7 (tujuh) hari sebelum kontrak berakhir.
    Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 4, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
    (PKWT) hanya boleh dilakukan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
    diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
    Pengusaha/perusahaan yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, harus
    memberitahukan maksudnya untuk memperpanjang PKWT secara tertulis kepada
    pekerja yang bersangkutan, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir.
    Jika pengusaha tidak memberitahukan perpanjangan PKWT ini dalam wakktu 7
    (tujuh) hari maka perjanjian kerjanya batal demi hukum dan menjadi Perjanjian
    Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), seperti yang diatur dalam UU No.13/2003
    pasal 59 ayat 5.
    Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 3 ayat 2 Keputusan Menteri Tenaga
    Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004
    Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, bahwa PKWT
    hanya dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. PKWT yang dilakukan melebihi
    waktu 3 (tiga) tahun, maka perjanjian kerjanya batal demi hukum dan menjadi
    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan kata lain karyawan
    tersebut menjadi karyawan permanen – UU No.13/2003 pasal 59 ayat 7. Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 6, Pembaruan perjanjian kerja
    dapat dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Pembaharuan ini
    dapat diadakan setelah lebih dari 30 hari sejak berakhirnya PKWT . Misalnya,
    apabila pekerjaan belum dapat diselesaikan maka dapat diadakan pembaruan
    perjanjian. Apabila PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 hari sejak
    berakhirnya PKWT, maka PKWT dapat berubah menjadi PKWTT.
    Pembaruan PKWT ini dilakukan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan
    selesainya pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu maka pekerjaan
    tersebut belum dapat diselesaikan – pasal 3 ayat 5 Kepmenakertrans Nomor KEP.
    100/MEN/VI/2004. Outsourcing diartikan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Perusahaan
    pemberi kerja memborongkan sebagian dari pekerjaan kepada perusahaan
    pemborong atau perusahaan penyedia tenaga kerja melalui perjanjian
    pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja. Hubungan kerja antara
    pekerja outsourcing dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyediaan
    jasa pekerja dapat dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian
    Kerja Waktu Tidak Tertentu. Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini.
    Baik pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan maupun pekerja
    dari perusahaan pemborong outsourcing akan bekerja di lokasi kerja perusahaan
    tersebut. Status hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu apakah pekerja
    yang dipekerjakan langsung atau pekerja yang melalui outsourcing boleh saja
    dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang – Undang No. 13
    tahun 2003.
    Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara saudara -selaku
    pekerja/buruh- dengan “perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam UU No.
    13.2003 pasal 66 ayat 2 huruf b, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam
    hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, adalah
    PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu
    yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam
    waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan
    ditanda-tangani oleh kedua belah pihak.
    Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam pasal
    59 ayat 2 UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT),
    tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud
    dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni:
    a. Pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak
    dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
    produksi dalan satu perusahaan, atau
    b. Pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan pasal 59
    ayat 2 UU No. 13/2003).
    Dengan perkataan lain, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus- menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu namun bukan merupakan
    bagian dari suatu proses produksi pada satu perusahaan, dalam arti hanya
    merupakan kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan
    proses produksi atau kegiatan pokok (core business) sebagaimana disebutkan
    dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan
    yang berisfat tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT.
    Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja
    dapat dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk
    “perusahaan outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK
    Register Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT harus memuat prinsip
    pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja atau Transfer of Undertaking
    Protection Employment (TUPE) yang mengamanatkan:
  7. Pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk
    berlanjutnya hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru)
    yang objek kerja-nya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan
    outsourcing. 2. Masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuat
    experience letter
  8. Experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar
    penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.
    Atas dasar Putusan MK tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 29 ayat
    (2) dan ayat (3) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, khususnya PKWT
    pada perusahaan penyedia jasa pekerja, bahwa PKWT-nya, sekurang-kurangnya
    memuat:
    a. Jaminan kelangsungan bekerja;
    b. Jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan
    perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
    c. Jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan
    penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah;
    Demikian juga memuat hak-hak lainnya, seperti :
    a. Hak atas cuti (tahunan) apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
    b. Hak atas jamsostek;
    c. Tunjangan Hari Raya (THR),
    30
    d. Istirahat mingguan;
    e. Hak atas ganti-rugi (kompensasi diakhirinya hubungan kerja PKWT);
    f. Penyesuaian upah berdasarkan -akumulasi- masa kerja;
    g. Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
    perjanjian kerja (PKWT) sebelumnya.
    Dalam Undang – Undang No. 13 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 menyatakan
    bahwa “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
    menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”. Meski para pihak adalah orang
    asing, hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut adalah Hukum
    Ketenagakerjaan Indonesia, oleh karena itu PKWT harus dibuat dalam bahasa
    Indonesia, dengan terjemahan ke Bahasa Inggris. Segala ketentuan yang mengikat
    secara hukum adalah ketentuan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa
    Inggris dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut hanyalah merupakan
    terjemahan, agar para pihak mengerti isinya.
    Penggunaan tenaga kerja asing pada representative office juga wajib
    tunduk pada peraturan ketenagakerjaan Indonesia. Oleh karena itu, apabila
    ketentuan ketenagakerjaan kita mengatur mengenai suatu hak bagi tenaga kerja
    asing yang wajib dipatuhi oleh pemberi kerja, maka hak-hak tersebut wajib
    diberikan pada tenaga kerja asing tersebut. Contohnya, mengenai jaminan sosial
    tenaga kerja. Seorang tenaga kerja asing juga berhak untuk memperoleh
    jamsostek, seperti halnya pekerja WNI

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Work Engagement


Menurut Lockwood (2007) engagement merupakan konsep yang
kompleks dan dipengaruhi banyak faktor , diantaranya adalah budaya di dalam
tempat bekerja, komunikasi organisasional, gaya manajerial yang memicu
kepercayaan dan penghargaan serta kepemimpinan yang dianut dan reputasi
perusahaan itu sendiri. Engagement juga dipengaruhi karakteristik organisasional,
seperti reputasi untuk integritas, komunikasi internal yang baik, dan inovasi
budaya.Menurut Robinson dkk, (2004), faktor kunci pendorong dari engagement
karyawan adalah dimana apabila karyawan dapat merasa dihargai dan dilibatkan
(feeling valued and involved), yang mempengaruhi hal ini adalah:

  1. Karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
  2. Karyawan dapat menyalurkan ide/ suara sehingga mereka dapat merasa
    berharga.
  3. Kesempatan untuk mengembangkan pekerjaan.
  4. Organisasi memperhatikan akan keberadaan dan kesehatan karyawan.
    Penggerak employee engagement akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan
    organisasi. Hewitt (2008) mengemukakan bahwa engagement dipengaruhi oleh
    beberapa faktor, diantaranya adalah: penghargaan (total rewards), kondisi
    perusahaan (company practices), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan
    (opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work) dan orang lain di sekitar
    pekerjaan (people). Apabila keenam faktor tersebut terpenuhi maka akan dicapai
    high level of engagement, dan keenam faktor tersebut merupakan faktor yang
    saling berhubungan.
    Bakker (2007) menyebutkan bahwa terdapat 3 faktor yang menjadi
    penyebab utama work engegement, yakni :
    Job Resources
    Merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional dari pekerjaan
    yang memungkinkan individu untuk : mengurangi tuntutan pekerjaan
    dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan
    pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi
    pertumbuhan, perkembangan, dan perkembangan personal.
  5. Salience of Job Resources
    Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya
    pekerjaan yang dimiliki oleh individu. 3. Personal Resources
    Merujuk pada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti
    kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Karyawan yang engaged akan
    memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan karyawan lainnya
    karena memiliki skor extraversion dan concientiousness yang lebih
    tinggi serta memiliki skor neuoriticism yang lebih rendah.

Pengertian Work Engagement


Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep
manajemen bisnis yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki engagement
tinggi adalah karyawan yang memiliki keterlibatan penuh dan memiliki semangat
bekerja tinggi dalam pekerjaannya maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan perusahaan jangka panjang. Dengan kata lain, definisi work engagement
mengacu pada keterlibatan, kepuasan dan antusiasme karyawan dalam bekerja.
Work engagement telah berkembang dari berbagai konsep melingkupi motivasi,
kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Saks, 2006).
Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam pekerjaan
dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya,
bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama
bekerja. Keterikatan karyawan yang demikian itu sangat diperlukan untuk
mendorong timbulnya semangat kerja karyawan (Hochschild, dalam May dkk,
2004).
Brown (Robbins, 2003) memberikan definisi work engagement yaitu
dimana seorang karyawan dikatakan memiliki work engagement dalam
pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara
psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk
dirinya, selain untuk organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi
dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar
peduli dengan jenis kerja itu .
Secara lebih spesifik Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker
(2002) mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan, kerja
dari pusat pikiran yang dikarakteristikkan (Schaufeli,dkk, 2008). Work
engagement merupakan sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang
berhubungan dengan pekerjaan yang dicirikan dengan vigor, dedication dan
absorption. Work engagement lebih daripada keadaan sesaat dan spesifik, mengacu ke
keadaan yang begerak tetap meliputi aspek kognitif dan afektif yang tidak fokus
pada objek, peristiwa, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli & Martinez,
2002). Schaufeli, Salanova, dan Bakker (dalam Schaufeli, dkk, 2008 )
memberikan batasan mengenai work engagement sebagai persetujuan yang kuat
terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
pekerjaan.
Menurut Development Dimension International (2005) work engagement
terjadi ketika seseorang merasa bernilai, menikmati dan percaya pada pekerjaan
yang mereka lakukan. Work engagement juga dijelaskan sebagai interaksi dua
arah antara pekerja dan pihak yang memberi pekerjaan (Chartered Institute of
Personnel and Development, 2006), pekerja yang memiliki work engagement
dikarakterisasikan dengan melingkupi beberapa faktor yang diantaranya: memiliki
fokus terhadap motivasi, kepuasan kerja, komitmen, menemukan arti dalam
14
bekerja, kebanggaan serta memiliki sebuah hubungan dengan visi dan misi
keseluruhan sebuah organisasi.
Schmidt (2004) mengartikan work engagement sebagai gabungan antara
kepuasan dan komitmen, dan kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen
emosional atau sikap, sedangkan komitmen lebih melibatkan pada elemen
motivasi dan fisik. Meskipun kepuasan dan komitmen adalah dua elemen kunci,
secara individu mereka tidak cukup untuk menjamin work engagement, terdapat
tema berulang yang menunjukkan work engagement yang melibatkan pekerja
yaitu “going extra mile” (akan bekerja ekstra) dan mengupayakan sesuatu untuk
pekerjaan di atas apa yang biasanya diharapkan.
Pengertian yang dikemukan Wellins & Concelman (2004) mengenai work
engagement adalah kekuatan yang memotivasi karyawan meningatkan kinerja
pada level yang lebih tinggi, energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa
memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih (waktu dan energi),
semangat dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan. Menurut Federman (2009), work engagement karyawan adalah derajat
dimana seorang karyawan mampu berkomitman pada suatu organisasi dan hasil
dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lama masa
bekerja.
Lockwood (2005) dalam Society for Human Resorce Management
(SHRM) memberi pengertian mengenai work engagement sebagai keadaan
dimana seseorang mampu berkomitmen dengan organisasi baik secara emosional
maupun secara intelektual. Sedangkan Benthal (2006) berpendapat bahwa
15
employee work engagement adalah suatu keadaan ketika manusia merasa dirinya
menemukan arti diri secara utuh, memiliki motivasi dalam bekerja, maupun
menerima dukungan orang lain secara positif dan mampu bekerja secara efektif
dan efisien di lingkungan kerjanya.
Hewitt (2008) mendefinisikan employee work engagement sebagai sikap
positif pegawai dan perusahaan (komitmen, keterlibatan, dan keterikatan)
terhadap nilai nilai budaya dan pencapaian keberhasilan perusahaan. Work
engagement bergerak melampaui kepuasan yang menggabungkan berbagai
persepsi karyawan yang secara kolektif menunjukkan kinerja yang tinggi,
komitmen, serta loyalitas (Wulandari dan Gustomo, 2009).
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian teori di atas mengenai work
engagement adalah work engagement merupakan perilaku karyawan dalam
bekerja dengan mengekspresikan dirinya secara total baik secara fisik, kognitif,
afektif dan emosional. Karyawan menemukan arti dalam bekerja, kebanggaan
telah menjadi bagian dari organisasi tempat ia bekerja, bekerja untuk mencapai
visi dan misi keseluruhan sebuah organisasi. Karyawan akan bekerja ekstra dan
mengupayakan sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang diharapkan baik dalam
waktu dan energi.

Pengertian Counter Work Behavior


Counter Work Behavior merupakan perilaku karyawan yang
bertentangan dengan kepentingan sah suatu organisasi. Perilaku ini dapat
membahayakan organisasi atau orang dalam organisasi termasuk karyawan
dan klien, pelanggan, atau pasien. Menurut Chand, Piar&Chand, Kuman
(2014) Perilaku Kerja kontraproduktif dapat didefinisikan sebagai setiap
kegiatan yang disengaja atau tidak disengaja dari individu yang dapat
menghambat kinerja diri, orang lain atau organisasi. Perilaku Kerja
kontraproduktif mungkin juga dipahami sebagai perilaku yang dapat
membahayakan atau dimaksudkan untuk menyakiti diri sendiri, orang-orang
dan sumber daya organisasi. Juga sebagai perilaku yang dilakukan oleh
individu baik secara sengaja ataupun tidak sengaja yang dapat bertentangan
dan menghambat organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Perilaku seperti itu tentu saja menyebabkan biaya ekonomi yang
tinggi untuk organisasi, psikologis, dan biaya sosial juga (An, Feng & Wang,
Bing (2016). Itulah sebabnya, itu harus dikontrol dengan baik. Banyak
peneliti menyebut CW Merupakan kanker yang mengancam kehidupan
organisasi. Ini pasti merusak atau mengacaukan nilai-nilai organisasi yang
hebat, yang mengarah untuk mengintimidasi kesejahteraan dan masa depan
sebuah organisasi dan anggota. CWB umumnya dipersepsikan sebagai
negatif dan kebalikan dari keterlibatan karyawan.
Sebelum pertengahan 1990-an, pendekatan yang paling umum adalah
untuk memeriksa perilaku disfungsional individu tanpa saran konstruk
menyeluruh. Misalnya, individu mempelajari topik seperti keterlambatan
(Kelloway, Francis, Prosser, & Cameron, 2010)(Blau,1995), kekerasan di
tempat kerja (Greenberg,1990), dan absensi (mis., John,1994). Tindak
penyimpangan dapat berbahaya bagi individu (penyimpangan interpersonal)
atau kesejahteraan organisasi (penyimpangan organisasi). Melihat dua
dimensi ini dapat diklasifikasikan sebagai penyimpangan produksi (seperti
pergi lebih awal atau terlalu banyak istirahat), penyimpangan properti (seperti
mencuri, menerima kickbacks), penyimpangan politik (seperti gosip,
persaingan tidak sehat), penyimpangan pribadi (seperti pelecehan verbal,
perilaku kasar, bertindak semena-mena).
 Perilaku
Perilaku adalah apapun yang dikerjakan seseorang (Suprihanto,
2003). Berbicara dengan atasan, menyimpan arsip, melayani pelanggan dan
sebagainya menunjukkan perilaku (behavior) seseorang. Untuk memahami
bagaimana individu berperilaku dalam organisasi, seorang manajer harus
mengetahui mengapa ada perbedaan perilaku diantara para karyawan.
Pendapat yang dikemukakan oleh ahli tentang perilaku individu masih
terdapat kontradiksi. Ada yang berpendapat bahwa perilaku seseorang itu
lebih banyak ditentukan oleh faktor keturunan atau sifat bawaan, dan ada juga
yang mengatakan bahwa perilaku itu lebih banyak dipengaruhi oleh variabel
lingkungan. Sedangkan menurut Prawirosentono (1999, p.35), perilaku
adalah suatu karakteristik penting dari pribadi untuk melakukan kegiatan.
Perilaku merupakan hasil gabungan dari berbagai faktor psikologis. Faktorfaktor psikologis tersebut merupakan hasil kombinasi dari faktor fisik,
biologis, dan kondisi sosial yang mempengaruhi lingkungan kehidupan
seseorang.
 Faktor-faktor Pembentuk Perilaku Karyawan
Sebagai seorang anggota suatu organisasi, seharusnya tidak
kehilangan identitasnya yang khas, karena hal itu merupakan kekhususan atau
kebanggaan tersendiri yang dimiliki orang tersebut. Orang yang mampu
mempertahankan identitasnya akan mempunyai harga diri yang tinggi yang
pada gilirannya akan muncul dalam bentuk keinginan untuk dihormati dan
diperlakukan secara manusiawi oleh pimpinananya serta rekan kerja. Oleh
karena itu seorang manajer perlu memahami faktor-faktor pembentuk
perilaku seorang karyawan (Siagian, 2006, p.54):

  1. Faktor Genetik
    Faktor genetik dalam hal ini adalah sifat-sifat yang dibawa sejak lahir
    yang bahkan merupakan “warisan” dari kedua orang tuanya. Misalkan
    tentang latar belakang kehidupan karyawan, seperti kecerdasan, sifat
    pemarah, penyabar dan lain-lain.
  2. Faktor Lingkungan
    Faktor lingkungan disini adalah situasi dan kondisi yang dihadapi
    seseorang pada masa muda didalam rumah dan dalam lingkungan yang lebih
    luas, termasuk lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dekat yang
    dijumpai sehari-hari.
  3. Faktor Pendidikan
    Pendidikan adalah usaha secara sadar dan sistematis dalam rangka
    mengalihkan pengetahuan dari seorang kepada orang lain. Pendidikan dapat
    bersifat formal dan juga non-formal.
  4. Faktor Pengalaman
    Pengalaman seseorang sejak kecil turut membentuk perilaku dalam
    kehidupan organisasionalnya. Pengalaman dapat membentuk sifat apatis,
    keras kepala, tidak toleran, mudah putus asa, dan sebagainya.
     Perilaku Kerja Karyawan
    Perilaku kerja adalah tanggapan atau reaksi individu yang timbul baik
    berupa perbuatan atau sikap maupun anggapan seseorang terhadap
    pekerjaannya, kondisi kerja yang dialami di lingkungan kerja serta perlakuan
    pimpinan terhadap orang dengan tipe ini. (Theedens, 1996, p.16)
    Definisi perilaku kerja menurut Robbins (2002, pp.35-39) yaitu
    bagaimana orang-orang dalam lingkungan kerja dapat mengaktualisasikan
    dirinya melalui sikap dalam kerja. Dimana pendapat Robbins ini menekankan
    pada sikap yang di ambil oleh pekerja untuk menentukan apa yang akan
    lakukan orang dengan tipe ini di lingkungan tempat kerja.
     Perilaku Kerja yang Positif dan Negatif
    Beberapa perilaku positif sebagai seorang karyawan atau pegawai
    yang baik menurut Irmin (2004, p.44) adalah:
  5. Menampilkan etos kerja yang tinggi seperti, pandai menghargai dan
    mengatur waktu, memiliki disiplin yang tinggi, bisa memanfaatkan jam kerja
    secara efektif, memiliki perencanaan dalam bekerja, mempunyai target dalam
    bekerja, tidak selalu menunggu perintah dalam bekerja, memaksimalkan
    potensi diri, selalu semangat, tidak mudah putus asa, berani mengambil resiko
    dan memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap pekerjaan serta memiliki
    prinsip dan pendirian yang kuat.
  6. Menunjukkan hubungan personal yang simpatik seperti, bertutur kata halus
    dan sopan, menghargai atasan dan teman, suka menolong, bisa menempatkan
    diri, selalu ceria, tidak segan meminta maaf bila melakukan kesalahan, mudah
    memaafkan kesalahan orang lain, supel, mudah diajak bekerja sama,
    mengakui kelebihan orang lain, memiliki ide-ide kreatif, loyalitas terhadap
    atasan, tidak suka membuat konflik.
  7. Mampu menyikapi perubahan secara positif seperti, selalu menyadari
    bahwa perubahan akan terus terjadi, setiap perubahan pasti ada sisi positif dan
    negatifnya, menyikapi perubahan peraturan secara positif, menyadari bahwa
    setiap perubahan terkadang tidak memuaskan semua pihak, dan menyadari
    bahwa apa yang terjadi saat ini adalah yang terbaik, selalu siap mengantisipasi
    perubahan, dapat mengambil manfaat dari setiap perubahan yang terjadi.
  8. Memiliki kendali diri yang kuat seperti, mampu mengendalikan amarah,
    dapat mengontrol pembicaraan, selalu tersenyum pada orang lain, mampu
    meredam rasa iri, mampu menahan godaan materi, mampu mengendalikan
    rasa malas, bisa berpikir dengan kepala dingin, selalu berpikir sebelum
    bertindak, sadar posisi dan peran, sadar akan kelemahan diri sendiri, bisa
    memahami orang lain dan selalu berserah diri pada yang kuasa.
  9. Mampu meringankan tugas atasan seperti membantu atasan sebisanya,
    dapat memberikan solusi kepada atasan, tidak pernah menolak perintah atasan
    selama itu tidak melanggar hukum, mengingatkan atasan dengan cara yang
    santun, jika harus menolak perintah atasan tolaklah dengan santun, tahu tugas
    dan tanggung jawab yang diemban atasannya.
  10. Mampu menjadi contoh orang lain seperti, mempunyai sifat jujur,
    menghindari prilaku yang tidak pantas, mau membagi ilmunya dengan orang
    lain, tidak menyimpan dendam dengan orang lain, tidak menyakiti orang lain,
    tidak menunda pekerjaan, dan tidak sombong.
  11. Mampu membedakan antara yang hak dan yang kewajiban seperti, selalu
    berpikir apakah yang dilakukan itu salah atau benar, selalu menggunakan hati
    nurani dalam menyikapi masalah, tidak mau menerima yang bukan haknya,
    berusaha menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, tidak membalas yang
    salah, menghadapi setiap konflik dengan kepala dingin dan selalu berpikir
    bekerja untuk ibadah.
  12. Kreatif dan inovatif, mempunyai prinsip hari ini harus lebih baik dari hari
    kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini, memiliki ide-ide
    cemerlang, cepat menangkap perkembangan yang terjadi dan suka belajar,
    tidak takut gagal dan berani mengambil resiko, mau belajar dari orang lain.
  13. Berjiwa besar dan berlapang dada seperti, menghargai keberadaan orang
    lain, mengakui kelebihan orang lain, mampu menahan hawa nafsu, tidak suka
    mencela orang lain, tidak mudah kecewa, bersikap baik pada orang yang
    memusuhi kita dan selalu berpikir positif.
     Terdapat empat belas tipe dari perilaku negatif yang biasa terlihat dari
    seseorang di tempat kerja yaitu (Topchik, 2000, p.95):
  14. Tipe Locomotif
    Orang dengan tipe ini mengekspresikan siikap negatifnya dengan cara
    melindas orang lain. Orang dengan tipe ini cenderung cepat marah dan
    mengekpresikan kemarahan serta rasa frustasinya pada orang lain. Orang
    dengan tipe ini selalu menunjukan perilaku otokratik dan bersikap diktator.
  15. Tipe Perfeksionis
    Orang dengan tipe ini apabila menghadapi sesuatu yang tidak sempurna akan
    cenderung menjadi negatif. Standar-standar yang ditetapkannya cenderung
    tidak realistis. Hasil pekerjaan anak buahnya yang dipuji oleh orang lain tetap
    belum bisa diterima olehnya. Kata-kata favoritnya adalah, “masih harus
    disempurnakan lagi”.
  16. Tipe Manusia Es (Penolak)
    Bagi orang dengan tipe ini, perubahan sekecil apapun akan
    mengecewakannya dan menyebabkan bisa bersikap negatif. Tipe ini senang
    mempertahankan keadaan status kuno, dan cenderung menolak perubahan.
    Dengan kata-kata orang dengan tipe ini dapat mengatakan bahwa perubahan
    itu baik. Namun orang dengan tipe ini tidak akan mengimplementasikannya
    dalam tindakan nyata.
  17. Tipe “Bukan Tugas Saya”
    Orang dengan tipe ini mengekspresikan sikap negatifnya dengan cara
    menolak melakukan tugas apapun yang menurut pendapatnya tidak termasuk
    dalam lingkup tanggung jawabnya. Kata-kata favorit orang dengan tipe ini
    adalah, “Tugas ini tidak tercantum dalam job description saya”
  18. Tipe Penyebar Gosip
    Tipe ini menampakkan perilaku negatifnya dengan cara menebar gosip.
    Orang dengan tipe ini akan merasa dirinya penting apabila rumor yang
    disebar mendapat reaksi dan sambutan dari banyak orang. Apabila sudah
    mulai kehilangan kontrol atas sesuatu, orang tipe iniakan berupaya
    mendapatkannya kembali dengan cara menebar gosip. Kata-kata favoritnya
    adalah, “Mau dengar nggak? Ini ada berita heboh”.
  19. Tipe Pesimis
    Orang dengan tipe ini memandang dunia sebagai tempat yang tidak nyaman
    baginya. Tipe yang satu ini selalu tidak merasa puas dengan segala sesuatu
    yang sudah ada. Sangat sulit untuk membuat orang-orang seperti ini merasa
    gembira. Dunia dilihatnya sebagai sesuatu yang sama saja, kemarin hari ini
    atau besok tidak ada bedanya. Kata-kata favorit orang dengan tipe ini adalah,
    “Lorong gelap yang kulalui ini seakan tak berujung”.
  20. Tipe Miskin Komitmen
    Orang dengan tipe ini sulit dipegang janji-janjinya. Dalam mengerjakan
    pekerjaan orang dengan tipe ini cenderung angin-anginan dan kurang
    bertanggung jawab. Pekerjaan merupakan prioritas paling rendah bagi orang
    dengan tipe ini. Orang dengan tipe ini mudah berubah-ubah fokus, tidak
    memiliki “sense of urgency” atau rasa kepepet dalam melakukan sesuatu.
    Biasanya orang dengan tipe ini suka menunda pakejaan.
  21. Tipe Pengkritik
    Misi orang dengan tipe ini adalah membantah apapun yang orang lain
    katakan. Orang seperti ini menganggap diri selalu paling benar. Orang dengan
    tipe ini sulit memberi umpan balik positif pada orang lain, orang dengan tipe
    ini sulit memuji orang lain. Kata yang biasa diucap orang tipe ini seperti: Itu
    ide buruk, Usul itu tidak bisa diterapkan.
  22. Tipe Tukang Ngambek
    Orang dengan tipe ini berperilaku seperti anak kecil. Apabila sesuatu tidak
    sesuai dengan keinginan orang dengan tipe ini, orang dengan tipe ini akan
    menunjukan perilaku negatif seperti marah-marah, ngambek, mengundurkan
    diri, bahkan bisa menangis. Perilakunya biasa seperti: Tidak ada orang yang
    memperhatikan saya
  23. Tipe Rela Berkorban
    Orang dengan tipe ini masuk kantor paling pagi, pulang paling malam.
    Namun orang dengan tipe ini cenderung banyak mengeluh tentang beban
    kerja orang dengan tipe ini, tentang pelanggan, juga tentang atasan serta
    tentang lingkungan kerja. Orang dengan tipe ini memiliki kehidupan pribadi
    yang kurang menyenangkan. Pekerjaan adalah pelarian orang dengan tipe ini.
    Orang dengan tipe ini akan berperilaku negatif apabila kerja keras orang
    dengan tipe ini kurang mendapat penghargaan yang pantas. Ucapan yang
    biasa disampaikan orang tipe ini adalah, “Saya telah berkorban sedemikian
    rupa, tapi apa yang saya dapat?”
  24. Tipe Menyalahkan Diri Sendiri
    Orang dengan tipe seperti ini sering kecewa terhadap diri sendiri, kemudian
    menjadi negatif. Orang dengan tipe ini selalu menemukan kekurangan pada
    kinerjanya, pada penampilan, pada peningkatan karir, pada status sosial, pada
    latar belakang pendidikan dan lainnya. Kata-kata yang biasa diucap tipe ini
    pada umumnya ditujukan pada diri sendiri seperti: Bodoh sekali saya ini,
    mengapa harus saya melakukan hal seperti ini?, semua ini kesalahan saya.
  25. Tipe Pencari Kambing Hitam
    Orang dengan tipe ini sangat sulit menerima kenyataan bahwa ini salah. Juga
    sulit untuk mengakui bahwa orang dengan tipe inilah yang harus
    bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan orang lain, misalnya oleh
    anak buah orang dengan tipe ini. Karena itu orang dengan tipe ini akan
    cenderung mengalihkan kesalahan pada orang lain, alias cari kambing hitam.
    Kata-kata yang sering diucapkan orang tipe ini adalah, “Saya tidak
    melakukan ini, dia yang melakukannya”.
  26. Tipe Mudah Retak
    Orang-orang yang bertipe seperti ini sangat sensitif. Hal sekecil dan sepele
    apapun yang dikatakan pada orang dengan tipe ini jika tidak hati-hati
    menyampaikannya akan membuat orang dengan tipe ini menjadi sangat
    tersinggung. Ketika orang dengan tipe ini tersinggung lalu menjadi negatif.
    Kata-kata favorit orang tipe ini adalah, “Jangan katakan itu pada saya, saya
    tidak bisa menghadapinya”.
  27. Tipe Manusia Detail
    Orang dengan tipe ini sangat senang memusatkan perhatian pada hal-hal kecil
    dan detail. Kalimat yang kurang tanda titiknya akan dipersoalkan oleh orang
    yang bertipe detail ini. Kata-kata favoritnya adalah, “Saya perlu mencek
    semuanya lagi dari awal”. Dalam dunia kerja, tipe ini banyak ditemukan. Dari
    dua puluh lima peserta pelatihan yang memberikan evaluasi, dua puluh empat
    orang menyatakan bahwa pelatihannya sangat bagus, hanya satu orang
    menyatakan atau memberi nilai rata-rata. Direktur pelatihan akan memfokus
    pada yang satu orang tadi, tanpa menyinggung yang dua puluh empat lainnya

Indikator Kinerja Karyawan


Menurut Setiawan (2014:1477) untuk mengukur kinerja
dapat menggunakan indikator-indikator sebagai berikut :
1) Ketepatan penyelesaian tugas merupakan pengelolaan waktu
dalam bekerja dan juga ketepatan karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaan.
2) Kesesuaian jam kerja merupakan kesediaan karyawan dalam
mematuhi peraturan perusahaan yang berkaitan dengan
ketepatan waktu masuk dan pulang kerja dan jumlah kehadiran.
3) Tingkat kehadiran dapat dilihat dari jumlah ketidakhadiran
karyawan dalam suatu perusahaan selama periode tertentu.
4) Kerjasama antar karyawan merupakan kemampuan karyawan
untuk bekerja sama dengan orang lain dalam menyelesaikan
suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya guna dan
hasil guna yang sebesar-besarnya

Faktor-Faktor Kinerja Karyawan


Menurut Mahmudi (2010:20) kinerja merupakan suatu
jonstruk multideminsional yang mencakup banyak faktor yang
mempengaruhinya, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
adalah :
1) Faktor personal atau individu.
Meliputi : pengetahuan, keterampilan, kemampuan
kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki
setiap individu.
2) Faktor kepemimpinan.
Meliputi : kualitas dalam memberikan dorongan,
semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer
dan team leader.
3) Faktor team.
Meliputi : kualitas dukungan dan semangat yang
diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan
terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan
anggaran tim.
4) Faktor sistem.
Meliputi : sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur
yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan
kultur kinerja dalam organisasi.
5) Faktor kontekstual (situasional)
Meliputi : tekanan dan perubahan lingkungan eksternal
dan internal.


Menurut Supardi (2013:347) aspek-aspek untuk menilai
kinerja atau prestasi kerja adalah sebagai berikut :
1) Kemampuan kerja
2) Kerajinan
3) Kedisiplinan
4) Hubungan kerja
5) Prakarsa
6) Kepemimpinan atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan
level pekerjaan yang dijabatnya

Pengertian Kinerja Karyawan


Kinerja dalam bahasa Inggris disebut juga dengan job
performance atau actual performance, yang merupakan tingkat
keberhasilan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Perusahaan dapat dikatakan berhasil apabila kinerja sumber daya
manusia berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawan untuk
mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Menurut Sandy
(2015:11) “kinerja merupakan sebuah prestasi yang telah dicapai
oleh karyawan dalam menjalankan pekerjaan yang telah
diberikan”. Menurut Sutrisno (2016:151) “kinerja atau prestasi
kerja merupakan hasil kerja yang telah dicapai oleh seseorang
berdasarkan tingkah laku kerjanya dalam menjalankan aktivitas
dalam bekerja”.
Keberhasilan ataupun kegagalan dalam suatu organisasi
dalam melaksanakan tugas sangat berhubungan dengan kinerja
karyawan, pencapaian kinerja dalam organisasi merupakan faktor
yang harus diperhatikan untuk mewujudkan perusahaan dalam
mencapai tujuan yang telah diciptakan. Menurut Wibowo
(2014:70) yang berpendapat “kinerja adalah suatu proses tentang
bagaimana pekerjaan berlangsung untuk mencapai hasil kerja”.
Menurut Payaman J. Simanjuntak (2011:1) mendefinisikan
“kinerja adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan
tujuan perusahaan”.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan,
dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan merupakan pencapaian
hasil karyawan dalam suatu proses melaksanakan tugasnya dengan
sesuai tanggung jawab yang diberikan. Dengan meningkatkan
kinerja karyawan akan membawa dampak yang positif bagi
perusahaan, sehingga karyawan memiliki tingkat kinerja yang baik
dan optimal untuk membantu mewujudkan tujuan perusahaan

Faktor-Faktor Budaya Kerja


Stepen P. Robbins dalam buku Tika (2013:10) menyatakan
bahwa 10 karateristik yang apabila dicampur dan dicocokkan, akan
menjadi budaya kerja. Kesepuluh karateristik budaya organisasi
tersebut sebagai berikut :
1) Inisiatif Individual
Inisiatif individual adalah tingkat tanggung jawab, keberadaan
atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam
mengemukakan pendapat. Inisiatif tersebut perlu dihargai oleh
kelompok atau pimpinan suatu perusahaan sepanjang
menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan
perusahaan.
2) Toleransi
Tindakan berisiko dalam budaya kerja perlu ditekankan, sejauh
mana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif,
inovatif, dan mengambil resiko. Suatu budaya kerja dikatakan
baik apabila dapat memberikan toleransi kepada anggota atau
para pegawai untuk dapat bertindak agresif dan inovatif untuk
memajukan organisasi atau perusahaan serta berani mengambil
risikoterhapat apa yang dilakukannnya.
3) Pengarahan
Pengarahan dimaksud sejauh mana suatu organisasi atau
perusahaan dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan
harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas
tercantum dalam visi,
misi dan tujusn perusahaan. Kondisi ini dapat berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan.
4) Integrasi
Integrasi dimaksudkan sejauh mana suatu perusahaan dapat
mendorong unit-unit perusahaan untuk bekerja dengan cara
terkoordinasi. Kekompakan unit-unit perusahaan dalam bekerja
dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang
dihasilkan.
5) Dukungan Manajemen
Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manajer
dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta
dukungan yang jelas terhadap bawahan. Perhatian manajemen
terhadap bawahan (karyawan) sangat membantu kelancaran
kinerja suatu perusahaan.
6) Kontrol
Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau
norma-norma yang berlaku dalam suatu perusahaan. Untuk itu
diperlukan sejumlah peraturan dan tenaga pengawas (atasan
langsung) yang dapat digunakan untuk mengawasi dan
mengendalikan perilaku pegawai atau karyawan dalam suatu
perusahaan.
7) Identitas
Identitas dimaksud sejauh mana para anggota atau karyawan
suatu perusahaan dapat mengidentifikasikn dirinya sebagai
suatu kesulitan dalam perusahaan dan bukan sebagai suatu
kesatuan dalam perusahaan sangat membantu manajemen
dalam mencapai tujuan dan sasaran perusahaan.
8) Sistem imbalan
Sistem imbalan dimaksudkan sejauh mana alokasi imbalan
(seperti kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas prestasi kerja
pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas dan sikap
pilih kasih. Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja
pegawai dapat mendorong pegawai atau karyawan suatu
perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan
mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan
keahlian yang dimilikinya.
9) Toleransi
Terhadap konflik sejauh mana para pegawai atau karyawan
didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara
terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering
terjadi dalam suatu perusahaan. Namun perbedaan pendapat
atau kritik yang terjadi bisa dijadikan sebagai media untuk
melakukan perbaikan atau perubahan strategi untuk mencapai
tujuan suatu perusahaan.
10) Pola komunikasi
Sejauh mana komunikasi dapat dibatasi oleh hierarki
kewenangan yang formal. Kadang-kadang hierarki kewenangan
dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan
dan bawahan atau antar karyawan.
Untuk dapat menentukan karateristik budaya kerja yang dapat
meningkatkan kinerja perusahaan, diperlukan kriteria ukuran.
Kriteria ukuran budaya kerja juga bermanfaat untuk
memetakan sejauh mana karateristik tipe budaya kerja tepat
atau relevan dengan kepentingan suatu organisasi karena setiap
perusahaan memiliki spesifikasi tujuan dan karakter sumber
daya yang berlainan. Karateristik perusahaan yang berbeda
akan membawa perbedaan dalam karateristik tipe budaya kerja.
Dan bagaimana orang-orang seharusnya berperilaku.
Tujuannya untuk memastikan bahwa keyakinan ini juga
dimiliki dan dilaksanakan karyawan. Strategi manajemen
budaya seharusnya menganalisis perilaku yang sesuai dan
kemudian dibawa ke dalam proses, seerti manajemen kinerja,
yang akan mendorong pengembangan perilaku tersebut

Jenis-Jenis Budaya Kerja


Setiap lingkungan kerja, memiliki budaya kerja masingmasing sesuai dengan ciri khas atau karateristik yang sesuai dengan
lingkungan kerja tertentu. Unggul atau tidaknya budaya kerja yang
terbangun dalam suatu lingkungan kerja, merupakan hal relatif,
karena lingkungan kerja yang satu dengan yang lain tidak dapat
dibandingksn keunggulannya. Berikut beberapa kerangka yang
dapat ditetapkan dalam suatu lingkungan kerja tersebut, yaitu :
1) Budaya hierarki
Budaya yang dibangun berdasarkan struktur pengorganisasian
suatu lingkungan kerja (perusahaan) yang memiliki sifat
kontrol secara vertikal, dari atas ke bawah ( pimpinan kepada
staf )
2) Badaya pasar
Budaya yang dibangun berdasarkan dinamika kompetisi serta
kecendrungan yang muncul saat ini. Fokus budaya pasar
berorientasi, dengan pemimpin perusahaan yang tangguh dan
selalu mengharapkan hasil yang baik
3) Budaya adhokrasi
Budaya adhokrasi sangat cocok untuk merespon revolusi
industri 4.0. perusahaan jenis ini akan terus berinovasi dan
akan saling berkompetisi untuk membuat perbaikan struktur
hidup manusia di masa mendatang. Budaya adhokrasi
mengedepankan semangat kaloborasi antara sumber daya
manusia yang terlibat, dari atasan hgingga staf.

Indikator Budaya Kerja


Adapun indikator dalam budaya kerja menurut Robbins
dalam Ichsan Nugraha (2016) adalah sebagai berikut:
1) Inovasi dan mengambil resiko
a) Dukungan dan suasana kerja terhadap kreatifitas
b) Penghargaan terhadap aspirasi karyawan perusahaan
c) Pertimbangan karyawan perusahaan dalam mengambil
resiko
d) Tanggung jawab karyawan perusahaan
2) Perhatian pada rincian
a) Ketelitian dalam melakukan pekerjaan
b) Evaluasi hasil kerja
3) Orientasi hasil
a) Pencapaian target
b) Dukungan lembaga dalam bentuk fasilitas kerja
4) Orientasi manusia
a) Perhatian perusahaan terhadap kanyamanan kerja
b) Perhatian perusahaan terhadap rekreasi
c) Perhatian perusahaan terhadap keperluan pribadi
5) Orientasi team
a) Kerja sama yang terjadi antara karyawan perusahaan
b) Toleransi antar karyawan perusahaan
6) Agresifitas
a) Kebebasan untuk memberikan kritik
b) Iklim bersaing dalam perusahaan
c) Kemauan karyawan untuk meningkatkan kemampuan diri
7) Stabilitas
Yaitu kemampuan atau mempertahankan status dalam
organisasi. Gambaran tersebut menjadi basis bagi pemahaman
bersama yang dimiliki para anggoa mengenai organisasi, dan
bagaimana segala sesuatu dilakukan didalamnya sesuai dengan
apa yang telah ditentuka atau disepakati bersama

Pengertian Budaya Kerja


Budaya kerja adalah suatu falsafah didasari pandangan
hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga
pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin
dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta
tindakan yang terwujud sebagai bekerja.
Budaya kerja merupakan pernyataan filosofis, dapat
difungsikan sebagai tuntutan yang mengikat pada karyawan karena
dapat diformulasikan secara formal dalam berbagai peraturan dan
ketentuan perusahaan. Budaya kerja merupakan sekumpulan pola
perilaku yang melekat secara keseluruhan pada diri setiap individu
dalam sebuah organisasi.
Menurut Triguno dalam Ruliyansa (2018:83) Budaya kerja
merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan perusahaan
atau organisasi dalam membangun prestasi dan produktivitas kerja
para pegawai sehingga mengarahkan perusahaan kepada
keberhasilan yang dilakukan dengan kesadaran masing-masing
individu, sedangkan kesadaran adalah merupakan sikap seseorang
yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas
dan tanggung jawabnya.
Budaya kerja adalah Cara kerja sehari-hari yang bermutu
dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga
menjadi motivasi, memberi inspirasi, untuk senantiasa bekerja
lebih baik dan memuaskan bagi masyarakat yang dilayani
(Ruliyansa, 2018: 83)
Menurut Sulaksono (2010) budaya kerja adalah “the way
we are doing here” artinya sikap dan perilaku pegawai dalam
melaksanakan tugas”.
Menurut Robbins (2015:721) budaya kerja mengarah
kepada kesatuan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota
organisasi yang membedakan organisasi itu dengan yang lain.
Budaya kerja adalah perwuudan dari kehidupan yang dijumpai di
tempat kerja. Secara lebih khusus, budaya kerja merupakan suatu
sistem makna yang terkait dengan kerja, pekerjaan dan interaksi
kerja yang disepakati bersama dan digunakan di dalam kehidupan
sehari-hari. Budaya kerja yang terdapat dalam suatu organisasi
adalah tempat mengasah anggota organisasi berkarya di organisasi
tersebut. Kualitas dari karakter budaya kerja inilah yang akan
membentuk besar kecilnya kemauan, hasrat, dan gairah anggota
organisasi untuk memunculkan dan memanfaatkan potensi insani
mereka untuk dikontribusikan pada proses penciptaan kinerja
organisasi (Hartanto,2009).
Dari beberapa pengertian teori budaya kerja, dapat penulis
simpulkan bahwa budaya kerja dari karyawan dapat membantu
organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan, hal ini juga tentunya akan diasosiasikan dengan
kinerja dalam waktu yang panjang dan berkesinambungan.

Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan


Menurut Mangkunegara (2016) dalam Widyaningrum (2020:7) menyatakan
ada dua faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan dalam perusahaan antara lain,
yaitu:

  1. Faktor Kemampuan
    Secara psikologis, kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan
    potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledger + skill). Artinya,
    karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) dengan
    pendidikan yang memadai untuk jabatan dan terampil dalam mengerjakan
    pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai prestasi yang
    diharapkan.
  2. Faktor Motivasi
    Motivasi terbentuk dari sikap (Attitute) seorang karyawan dalam
    menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan
    diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja).
    Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri karyawan
    untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal (sikap mental yang
    siap secara psikofisik). Artinya, seorang karyawan harus siap mental,
    mampu secara fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang akan
    dicapai, mampu memanfaatkan dalam mencapai situasi kerja.
    Sedangkan menurut Afandi (2018) dalam Widyaningrum (2020:9) menyebutkan
    delapan faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan dalam organisasi, yaitu:
  3. Kemampuan, kepribadian dan minat kerja.
  4. Kejelasan dan penerimaan seorang karyawan yang merupakan taraf
    pengertian dan penerimaan tugas yang diberikan kepadanya.
  5. Tingkat motivasi pekerja, suatu kemauan dari karyawan untuk peningkatan
    kinerja karyawan.
  6. Kompetensi, suatu hal yang dikaitkan dengan kemampuan, pengetahuan
    dan sikap yang dijadikan suatu pedoman dalam melakukan tanggung jawab
    pekerjaan.
  7. Fasilitas kerja, sesuatu yang menunjang pekerjaan karyawan yang
    disediakan oleh perusahaan.
  8. Budaya kerja, suatu kebiasaan yang ada di perusahaan dan dilakukan secara
    berulang-ulang.
  9. Kepemimpinan, sikap memimpin untuk pengarahan dan pengendalian
    karyawan.
  10. Disiplin kerja, sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap
    peraturan-peraturan yang berlaku di organisasi.

Pengertian Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugasnya yang dibebankan kepadanya yang didasari atas
kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu, Hasibuan (2019:94).
Menurut Indrasari (2017:50), kinerja telah menjadi terminologi atau konsep penting
dalam berbagai pembahasan khususnya dalam mendorong keberhasilan organisasi
dan sumber daya manusia. Kinerja akan selalu menjadi isu actual dalam organisasi
karena apapun organisasinya kinerja merupakan kunci terhadap efektifitas
keberhasilan organisasi. Organisasi yang efektif atau berhasil akan ditopang oleh
sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Mangkunegara (2017:67),
menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dapat dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
tanggung jawan yang diberikan kepadanya. Kinerja karyawan merupakan hasil
kerja yang dicapai oleh individu atau sekelompok orang dalam suatu organisasi atau
perusahaan secara kualitas dan kuantitas pada periode tertentu yang merefleksikan
seberapa baik individu atau kelompok tersebut memenuhi persyaratan sebuah
pekerjaan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan,
Widyaningrum (2020:5).

Indikator Promosi Jabatan


Menurut Hasibuan (2019:111-112), ada beberapa indikator yang dapat
mengukur proses promosi jabatan sebagai berikut:

  1. Kejujuran
    Karyawan harus memiliki kejujuran pada dirinya sendiri, bawahannya,
    kesepakatan dalam melaksanakan serta mengendalikan jabatan tersebut,
    harus sesuai kata dengan perbuatannya. Selain itu tidak menyalahgunakan
    jabatan untuk kepentingan personal.
  2. Disiplin
    Karyawan harus disiplin pada dirinya, tugas-tugasnya dan menjalani
    peraturan yang berjalan.
  3. Prestasi kerja
    Karyawan berupaya memperoleh hasil kerja yang dapat
    dipertanggungjawabkan kualitas serta kuantitas dan bekerja secara efektif.
  4. Kerjasama
    Karyawan dapat bekerja bersama-sama dengan kompak dan seragam untuk
    memperoleh tujuan perusahaan.
  5. Kecakapan
    Karyawan wajib cakap, kreatif dan inovatif dalam menuntaskan pekerjaan
    pada jabatan tersebut dengan sesuai dan benar, dapat bekerja dengan
    mandiri tanpa mendapat bimbingan dari atasan.
  6. Loyalitas
    Karyawan harus setia dalam memelihara perusahaan serta berpartisipasi
    aktif pada perusahaan.
  7. Kepemimpinan
    Membimbing dan mendorong bawahannya untuk bekerja sama secara
    efisien dalam memperoleh tujuan perusahaan.
  8. Pendidikan
    Karyawan telah memperoleh hasil pendidikan formal berupa ijazah sesuai
    dengan uraian jabatan.
  9. Komunikatif
    Karyawan bisa berkomunikasi serta mendapat atau mempresepsi informasi
    dari atasan dan bawahannya dengan baik akhirnya tidak ada
    kesalahpahaman

 Jenis-Jenis Promosi Jabatan 


Terdapat beberapa jenis promosi jabatan menurut Hasibuan (2019:113),
yaitu:

  1. Promosi Tetap (Permanent Promotion)
    Promosi tetap adalah kenaikan jabatan pada karyawan yang bersifat
    permanent, artinya menurut ketentuan yang berlaku rutin, tetap serta tidak
    berubah lagi.
  2. Promosi Sementara (Temporary Promotion)
    Promosi sementara yaitu seseorang yang diangkat sementara atau diangkat
    untuk mengisi suatu keadaan kosong dalam keadaan apapun, Tetapi dengan
    anggapan bahwa jabatan itu telah diisi oleh suatu kekuasaan yang bertahan
    lama, maka kekuasaan peralihan itu akan diturunkan derajatnya kepada
    kedudukannya yang lalu.
  3. Promosi Kering (Dry Promotion)
    Promosi kering yaitu orang yang jabatan atau kedudukannya diperluas dan
    diikuti dengan perluasan beban kerja, keahlian dan kewajiban, tetapi tidak
    disertai perluasan upah atau kompensasi.

Tujuan Promosi Jabatan


Menurut Hasibuan (2019:113), tujuan promosi jabatan adalah sebagai
berikut:

  1. Untuk membagikan pengakuan, jabatan dan imbalan jasa yang besar kepada
    karyawan yang memiliki prestasi kerja tinggi.
  2. Dapat memicu kepuasan dan kebanggaan individu, status sosial, yang
    semakin tinggi dan penghasilan yang semakin besar.
  3. Untuk mendorong karyawan agar lebih bersemangat dalam bekerja, disiplin
    tinggi dan meningkatkan produktivitas kerjanya.
  4. Untuk menjamin kestabilan pegawai dengan tercapainya promosi jabatan
    karyawan dan dengan waktu yang tepat serta evaluasi yang adil.
  5. Memberikan peluang bagi karyawan untuk menumbuhkan kreatvitas dan
    inovasinya menjadi lebih baik untuk keuntungan perusahaan.
  6. Untuk menambah atau menumbuhkan informasi serta wawasan kerja para
    karyawan yang dapat juga memotivasi karyawan lain.
  7. Untuk menempatkan kekosongan jabatan yang disebabkan adanya
    pemberhentian karyawan sebelumnya.
  8. Agar jabatan tersebut tidak kosong maka dipromosikan karyawan lainnya.
  9. Karyawan yang diangkat ke posisi yang tepat, semangat dan ketenangan
    bekerja meningkat sehingga efisiensi kerjanya juga akan meningkat.
  10. Untuk memudahkan penarikan kandidat, karena dengan adanya promosi
    jabatan dapat menjadikan dorongan serta perangsang bagi para calon
    kandidat untuk melamar.

Pengertian Promosi Jabatan


Menurut Siagian (2015:169), promosi adalah apabila seseorang karyawan
dipindahkan dari satu pekerjaan kepada pekerjaan yang lain dalam hierarki
wewenang dan tanggung jawab yang telah diberikan kepada tenaga kerja pada
waktu sebelumnya. Promosi jabatan merupakan variabel yang signifikan untuk naik
ke tingkat berikutnya dimana karyawan merasa tidak ditawari kesempatan untuk
berkembang maju sehingga mendatangkan penurunan kinerja. Sedangkan menurut
Suprayitno (2020:230), promosi adalah penghargaan terhadap pegawai yang
berhasil menunjukkan prestasi kerja yang tinggi dalam menunaikan kewajiban
dalam pekerjaannya, sekaligus sebagai pengakuan pihak organisasi
(pemerintah/perusahaan) atas kemampuan dan potensi pegawai yang bersangkutan
untuk penjabat jabatan yng lebih tinggi dalam organisasi. Dengan adanya promosi,
pegawai akan merasa dihargai, diperhatikan, dibutuhkan dan diakui
kemampuannya oleh perusahaan sehingga mereka akan menghasilkan kinerja yang
tinggi serta akan mempertinggi loyalitas pada perusahaan. Oleh karena itu,
pimpinan harus menyadari pentingnya promosi dalam peningkatan produktivitas
yang harus dipertimbangkan secara objektif.

Indikator Penghargaan


Menurut Mahmudi (2012:187), terdapat beberapa indikator penghargaan
yaitu:

  1. Insentif
    Hal ini mencangkup penambahan kompensasi keuangan berbentuk bonus
    dan pemberian saham. Pemberian tersebut merupakan suatu wujud
    penghargaan pada kinerja karyawan yang tinggi.
  2. Kesejahteraan
    Beragam program kesejahteraan yang dianjurkan organisasi sebagai
    penghargaan atas kinerja. Yaitu seperti: tunjangan, meliputi tunjangan
    jabatan, tunjangan structural, tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan
    anak, tunjangan keluarga dan tunjangan hari tua. Fasilitas kerja, meliputi
    kendaraan dinas, sopir pribadi dan rumah dinas. Kesejahteraan rohani,
    misalnya rekreasi, liburan dan sebagainya.
  3. Pengembangan karir
    Pengembangan karir merupakan peluang kinerja dimasa depan.
    Pengembangan karir ini penting diberikan kepada karyawan yang memiliki
    hasil kerja yang baik sehingga nilai karyawan lebih tinggi dan memberikan
    hasil yang baik dikemudian hari. Pengembangan karir memberikan pintu
    terbuka bagi karyawan yang memiliki niat luar biasa untuk belajar dan
    mengasah wawasan, kemampuan dan keahliannya.
  4. Penghargaan psikologis
    Penghargaan ini sangat bernilai penting bagi karyawan. Psikologi yang baik
    dapat menghasilkan energi dan mempengaruhi kinerja karyawan.
    Penghargaan psikologis termasuk memberi kepercayaan, pengakuan dan
    pujian.

Jenis-Jenis Penghargaan


Menurut Busro (2018:319), penghargaan dapat diberikan dalam bentuk:

  1. Finansial (tunjangan kinerja, bonus, insentif, kenaikan gaji, remunerasi,
    tunjangan belajar, dan sejenisnya).
  2. Setara finansial (fasilitas kantor, promosi jabatan, fasilitas mobil,
    perumahan, asuransi, kesehatan, rekreasi dan sejenisnya).
  3. Non finansial (fandel, piagam, sertifikat, piala, tropi, lencana, bintang, dan
    sejenisnya)

Fungsi Penghargaan


Menurut Handoko (2011:68), terdapat fungsi penghargaan adalah sebagai
berikut:

  1. Meningkatkan tekad untuk memotivasi diri agar memenuhi hasil.
  2. Memberikan symbol untuk pegawai yang mempunyai kompetensi lebih.
  3. Bersifat umum.

Pengertian Penghargaan


Menurut Handoko (2011:55), penghargaan merupakan sebagian cara
apresiasi usaha untuk memperoleh tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan
ketentuan jabatan digunakan suatu penegakan yang berkeseimbangan, yaitu suatu
upaya aktivitas perancangan, pengelolaan, penerapan, dan pemeliharaan tenaga
kerja berupaya mengerjakan tugas dengan tepat. Menurut Busro (2018:315), bentuk
pemberian penghargaan yang efektif adalah pemberian insentif dan tunjangan,
karena hasil yang baik segera diberi imbalan yang sesuai. Hal tersebut lebih efektif
dibandingkan menunggu sampai saat pemberian bonus di akhir tahun ketika semua
karyawan menerima.
Menurut Busro (2018:315), penghargaan merupakan perangsang atau
motivasi untuk meningkatkan kinerja yang dicapai seseorang pada umumnya
diwujudkan dalam bentuk finansial (insentif moneter) seperti pemberian insentif,
tunjangan, bonus dan komisi. Penghargaan juga dapat dipahami sebagai bentuk
hadiah yang diberikan kepada pegawai yang mampu mendapatkan prestasi tertentu
yang bermanfaat bagi perusahaan atau organisasi dalam bentuk finansial maupun
non finansial dalam rangka meningkatkan semangat, motivasi, komitmen pegawai
dan mampu memengaruhi pegawai lain untuk berbuat yang lebih baik lagi,
sehingga terjadi persaingan yang positif antara pegawai.
Pemberian penghargaan haruslah dihubungkan secara langsung dengan
tujuan pencapaian melalui cara yang sesederhana mungkin, sehingga karyawan
yang menerima segera dapat mengetahui berupa rupiah yang diperoleh dari
upayanya. Penghargaan tidak harus dalam bentuk uang tetapi juga dapat berupa
pujian, piagam, piala, tropi, fandel, lencana, bintang, tanda kehormatan, kenaikan
pangkat, pemberian jabatan yang lebih tinggi, promosi memimpin suatu area.

Indikator Perilaku Kewargaan Organisasi


Menurut Titisari (2019:7), OCB memiliki lima indikator, yaitu:

  1. Altruism (sikap menolong)
    Sikap membantu orang tertentu. Diantaranya adalah sikap mengambil alih
    pekerjaan rekan kerja serta menyelesaikan tugas karyawan yang tidak
    masuk.
  2. Conscientoiusness (taat pada aturan)
    Perilaku yang melebihi syarat minimun. Perilaku tersebut seperti ketaatan
    terhadap aturan, kehadiran tepat waktu.
  3. Sportsmanship (sikap sportif)
    Toleransi dengan tidak memprotes pada karyawan lain yang mengeluh,
    kecakapan menahan diri dari segala suatu yang dapat membuahkan keluhan
    dan tidak membesar-besarkan masalah di luar keseimbangannya.
  4. Civic virtue (kebajikan warganegara)
    Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi.
  5. Courtesy (kesopan-santunan)
    Dimana seseorang menghargai dan menutupi informasi atau kejadian
    penting serta perubahan yang terjadi dalam organisasi.

Manfaat Perilaku Kewargaan Organisasi


Menurut Podsakoff dalam Titisari (2019:10), terdapat manfaat OCB dalam
meningkatkan kinerja perusahaan, disimpulkan manfaat tersebut sebagai berikut:

  1. Meningkatkan produktivitas rekan kerja.
    Karyawan yang meringankan serta mempermudah rekan kerja dalam
    menuntaskan tugas sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Sikap
    yang ditunjukkan oleh karyawan tersebut akan menolong tersebarnya
    perbuatan terbaik ke seluruh unit kerja dan kelompok.
  2. Meningkatkan produktivitas manajer.
    Karyawan yang menunjukkan sikap civic virtue akan menolong manajer
    memperoleh saran atau feedback yang berharga dari karyawan tersebut
    untuk meningkatkan efisiensi unit kerja.
  3. Menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
    keseluruhan.
  4. Membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara
    fungsi kelompok.
  5. Menjadi sarana efektif untuk mengoordinasi kegiatan kelompok kerja.
    Menunjukkan sikap civic virtue akan menolong koordinasi anggota yang
    akan berpotensi menumbuhkan efektivitas dan efisiensi kelompok.
    Sedangkan sikap courtesy akan menjauhi terciptanya masalah yang
    memerlukan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
  6. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan
    karyawan terbaik.
    Perilaku membantu bias menumbuhkan moril serta keeratan dan perasaan
    saling memiliki antar anggota, sehingga meningkatkan kinerja organisasi
    dan menolong organisasi menarik dan membentengi karyawan yang baik.
  7. Meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.
    Menolong tugas karyawan yang tidak hadir saat kerja serta mempunyai
    beban kerja yang berat akan menumbuhkan stabilitas. Selain itu karyawan
    yang conscientiuous berkeinginan menjaga tingkat kinerja yang tinggi
    sehingga menyusutkan variabilitas pada kinerja.
  8. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan
    lingkungan.

Pengertian Perilaku Kewargaan Organisasi


Menurut Titisari (2019:4), Perilaku Kewargaan Organisasi atau dikenal
dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dianggap sebagai suatu
perilaku ditempat kerja yang sesuai dengan penilaian pribadi yang melebihi
persyaratan kerja dasar seseorang. Mereka sering dijelaskan sebagai perilaku yang
melebihi permintaan tugas. Organizational Citizenship Behavior (OCB) membantu
mengubah suasana organisasi yang formal menjadi sedikit santai dan penuh dengan
kerja sama. Diharapkan dengan suasana yang seperti itu maka ketegangan diantara
para karyawan dapat dikurangi dan karena suasana yang mendukung diharapkan
produktivitas karyawan meningkat, sehingga akan tercapai keefektifan.
Menurut Robbins dalam Putra dan Adnyai (2016:4492), dalam dunia kerja
yang antusias seperti saat ini, di mana pekerjaan semakin sering dikerjakan dalam
kelompok dan elastisitas sangatlah penting, organisasi memerlukan karyawan yang
menunjukkan perilaku OCB, misalnya membantu rekan lain dalam kelompok,
menawarkan diri untuk melaksanakan pekerjaan tambahan, menjauhi konflik yang
tidak penting, menghormati semangat dan isi peraturan, dengan besar hati
menerima kekalahan dan gangguan terpaut pekerjaan yang terjadi.

Pentingnya Perilaku Organisasi


Ada berbagai alasan di antara para spesialis, mengapa perilaku organisasi
itu penting. Namun, dari semua penilaian saat ini, menunjukan bahwa terdapat
perhatian yang meluas terhadap pentingnya SDM sebagai tenaga kerja pada
organisasi. Jika SDM diperhatikan, maka mereka akan menciptakan komitmen
yang tinggi terhadap organisasi. Terdapat tiga alasan mengapa perlu memahami
perilaku organisasi seperti yang diungkapkan oleh Vecchio yang dikutip oleh
Wibowo dalam Wijaya (2017:6) yaitu:
a. Practical Application
Dalam realita, ada beberapa keuntungan dari memahami cara berperilaku
organisasi, antara lain menggabungkan tentang menciptakan gaya
kepemimpinan, memilih prosedur untuk mengatasi masalah, memilih
pekerjaan yang tepat, peningkatan kinerja dan sebagainya
b. Personal Growth
Dengan memahami cara berperilaku organisasi, kemungkinan besar juga
dapat memahami orang lain. Memahami orang lain akan memberikan
informasi dan pengetahuan diri yang lebih luas. Dengan memahami orang
lain, atasan dapat mengevaluasi apa yang dibutuhkan bawahan utnuk
mengembangkan diri sendiri sehingga dengan demikian meningkatkan
komitmen terhadap organisasi.
c. Increased Knowledge
Dengan cara berperilaku organisasi dapat menggabungkan informasi
tentang individu dalam pekerjaan. Studi tentang cara berperilaku organisasi
dapat membantu orang-orang yang memikirkan masalah yang terkait
dengan pengalaman kerja.

Pengertian Perilaku Organisasi


Menurut Wijaya (2017:1), perilaku organisasi adalah suatu disiplin ilmu
yang mempelajari tentang perilaku tingkat individu dan tingkat kelompok dalam
suatu organisasi serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual,
kelompok, maupun organisasi). Perilaku organisasi berkaitan dengan bagaimana
yang bertiindak dan bereaksi dalam semua jenis organisasi. Menurut Robbins dan
Judge (2016:3), perilaku organisasi adalah studi tentang apa yang individu lakukan
dalam suatu organisasi dan cara perilaku mereka mempengaruhi kinerja organisasi.
Karena perilaku organisasi bersangkutan secara khusus dengan situasi yang
berhubungan dengan pekerjaan, memeriksa perilaku dalam konteks kepuasan kerja,
ketidakhadiran, perputaran pekerjaan, produktivitas, kinerja manusia dan
manajemen.

Indikator Kinerja


Kinerja karyawan dapat diukur berdasarkan indikator kinerja yang
merupakan tolok ukur dalam pencapaian kerja seseorang. Dengan adanya
pengukuran kinerja karyawan, organisasi dapat mengetahui sejauh mana
tingkat kinerja karyawan sehingga organisasi dapat memberikan umpan balik
terhadap hasil pengukuran kinerja, mendorong perbaikan kinerja, dan
pengambilan keputusan sehingga organisasi memiliki sumber daya yang
berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Untuk mengetahui tinggi rendahnya kinerja seseorang, maka diperlukan
suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan
akuntabilitas. Menurut Wibowo (2018:235), indikator kinerja yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja karyawan seperti “(1) produktivitas, (2)
kualitas, (3) ketepatan waktu, (4) cycle time, dan (5) pemanfaatan sumber daya,
dan (6) biaya”.

Faktor-Faktor yang memengaruhi Kinerja


Berdasarkan perencanaan kinerja yang telah disepakati bersama antara
pimpinan dan bawahan, dilakukan implementasi kinerja. Pelaksanaan kinerja
berlangsung dalam suatu lingkungan internal dan eksternal yang dapat
memengaruhi keberhasilan maupun kegagalan kinerja.
Untuk meningkatkan kinerja karyawan perlu memerhatikan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan. Faktor tersebut akan
memberikan kontribusi tersendiri terhadap kinerja, baik kinerja karyawan maupun
kinerja organisasi. Masing-masing faktor akan memengaruhi kinerja baik
langsung maupun tidak langsung melalui variabel perantara atau moderating.
Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2018:100) menyebutkan beberapa
faktor yang memengaruhi kinerja karyawan diantaranya, yaitu :

  1. “Personal factor, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang
    dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
  2. Leadership factor, ditunjukkan oleh kualitas dorongan bimbingan, dan
    dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
  3. Team factor, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan
    sekerja.
  4. System factor, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang
    diberikan organisasi.
  5. Contextual/situational factor, ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan
    dan perubahan lingkungan internal dan eksternal”

Perilaku Mendorong Kinerja


Sudah dapat dipastikan hampir semua orang yang bekerja ingin
melaksanakan pekerjaannya dengan sebaik mungkin. Bahkan jika perlu
memberikan hasil yang lebih baik dari yang telah ditetapkan. Namun, dalam
praktiknya terkadang masih terdapat karyawan yang tidak mampu melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan target yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain tidak
mampu untuk menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan jauh dari yang telah
diharapankan sebelumnya.
Faktor yang mendorong kinerja adalah perilaku. Perilaku adalah tentang
bagaimana anda bertindak (how you act) dan bukan tentang apa atau siapa anda
(what you are or who you are).
Kottze dalam Wibowo (2018:87), “perilaku adalah suatu cara di mana
seseorang bertindak atau melakukan. Karena dapat menentukan apa yang
akan dilakukan dalam setiap situasi, anda dapat menentukan kinerja anda.
Kinerja tingkat tinggi adalah hasil dari melakukan sesuatu yang benar pada
waktu yang tepat”.
Pada dasarnya kinerja merupakan sesuatu hal yang bersifat individual,
karena setiap karyawan memiliki tingkat kemampuan yang berbeda dalam
mengerjakan tugasnya, kinerja tergantung pada kombinasi antara kemampuan,
usaha, dan kesempatan yang diperoleh. Kinerja keseluruhan pada pekerjaan
adalah sama dengan jumlah kinerja pada fungsi pekerjaan yang penting. Fungsi
yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut akan dilakukan dan tidak dilakukan
dengan karateristik kinerja individu

Pengertian Kinerja


Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber daya
manusia dalam organisasi, baik unsur pimpinan maupun bawahan. Banyak sekali
faktor-faktor yang memengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan
kinerjanya. Terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia
sendiri maupun dari luar dirinya. Setiap karyawan mempunyai kemampuan
berdasar pada pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan
pekerjaannya, motivasi kerja, kepuasan kerja. Namun, karyawan yang mempunyai
kepribadian, sikap, dan perilaku yang dapat memengaruhi kinerjanya.
Mangkunegara (2017:67) mendefinisikan “kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Menurut Kasmir (2016:182) mengatakan ”kinerja adalah hasil kerja dan
perilaku kerja yang telah dicapai dalam menyelesaikan tugas – tugas dan tanggung
jawab yang diberikan dalam suatu periode tertentu”.
Bastian dalam Fahmi (2018:128) menyatakan bahwa “kinerja adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/
kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang
tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organiasi”.
Menurut Wibowo (2018:2), “kinerja yatakan sebagai hasil kerja, tetapi
juga bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan
pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang
apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya”.

Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja


Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam
memengaruhi prestasi organisasi karena kepemimpinan merupakan aktivitas yang
utama dengan tujuan organisasi yang dapat dicapai. Gaya kepemimpinan
merupakan suatu cara yang digunakan seorang pemimpin dalam memengaruhi,
mengarahkan, dan mengendalikan bawahannya dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi secara efisiensi dan efektif.
Situasi yang dihadapi dalam organisasi perusahaan yang satu dengan
lainnya saling berbeda. Hal ini tidak hanya terjadi pada organisasi yang berbeda
kegiatannya, melainkan terjadi juga pada organisasi perusahaan yang sejenis.
Selain itu, situasi yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan lingkungan
maka dibutuhkan pemimpin yang memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kondisi
dan situasi organisasi yang dipimpinnya.
Sifat atau karakter yang ada pada diri pemimpin akan memunculkan gaya
kepemimpinan yang dipergunakan untuk memengaruhi bawahannya agar
melakukan hal-hal yang diinginkannya. Jika bawahannya mampu bekerja dengan
baik, maka gaya kepemimpinan yang dipergunakan telah tepat dan ini membantu
karyawan dalam pencapaian kinerjanya. Frech dan Bertram dalam Fahmi
(2018:83), mengemukakan bahwa “seorang pemimpin memengaruhi para
bawahannya berdasarkan coercive power (kekuatan berdasarkan paksaan), reward
power (kekuatan yang memberikan penghargaan), legitimate power (kekuatan
yang sah), expert power (kekuatan karena keahlian), dan kekuatan referen”.
Keterkaitan antara gaya kepemimpinan sangat erat dalam meningkatkan
kinerja untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi.
Peran seorang pemimpin dalam menggerakkan roda kepemimpinan dalam suatu
organisasi sangatlah penting, karena keberhasilan sebuah organisasi tidak terlepas
dari kualitas pemimpinnya. Dengan gaya kepemimpinan yang sesuai maka
kualitas kerja dan prestasi kerja karyawan akan meningkat. Dalam sebuah
organisasi jika pemimpinnya mampu memengaruhi bawahannya untuk ikut
berperan aktif maka akan mendorong karyawan mencapai tingkat kinerja yang
harus dicapainya dalam organisasi tersebut.

Indikator Gaya Kepemimpinan


Kepemimpinan merupakan faktor yang menentukan dalam suatu
perusahaan. Berhasil atau gagalnya perusahaan dalam mencapai suatu tujuan
dipengaruhi oleh cara seorang pemimpin. Sosok pemimpin dalam perusahaan
dapat menjadi efektif apabila pemimpin tersebut mampu mengelola
perusahaannya dan memengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dalam
mencapai tujuan perusahaan.
Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda antara satu
pemimpin dengan pemimpin yang lainnya, dan bukan suatu keharusan bahwa
suatu gaya kepemimpinan lebih baik atau lebih buruk dibanding gaya
kepemimpinan lainnya.
Untuk mengukur dan menilai gaya kepemimpinan seorang pemimpin
dapat digunakan beberapa indikator yaitu dengan berdasarkan macam-macam
gaya kepemimpinan. Menurut Hasibuan (2019:170), terdapat beberapa macam
gaya kepemimpinan, yaitu sebagai berikut:

  1. “Kepemimpinan otoriter
  2. Kepemimpinan partisipatif
  3. Kepemimpinan delegatif”

Faktor – Faktor yang memengaruhi Gaya Kepemimpinan


Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengelola atau
mengatur organisasi secara efektif dan mampu melaksanakan kepemimpinan
secara efektif pula. Untuk itu pemimpin harus betul-betul dapat menjalankan
fungsinya sebagai seorang pemimpin. Dalam suatu organisasi, faktor
kepemimpinan memegang peranan yang penting karena pimpinan yang
menggerakkan dan mengarahkan organisasi dalam mencapai tujuan dan hal itu
merupakan tugas yang tidak mudah. Hal itu dikarenakan pemimpin harus
memahami sikap dan perilaku setiap bawahannya yang berbeda-beda.
Fiedler dalam Amirullah (2015:173) mengungkapkan tiga dimensi
kontingensi yang menetapkan faktor-faktor situasional utama untuk menetapkan
efektivitas pemimpin, yaitu :

  1. “Hubungan pemimpin dan bawahan (leader member relation), yaitu
    kadar hubungan antara pemimpin dengan bawahan merupakan tingkat
    sejauh mana kelompok tersebut memberi dukungan pemimpinnya.
  2. Struktur tugas dalam arti sampai sejauh mana tugas-tugas yang harus
    dilaksanakan itu terstruktur atau tidak dan apakah disertai oleh
    prosedur yang tegas dan jelas atau tidak.
  3. Posisi kewenangan seseorang dalam arti tingkat dari pengaruh seorang
    pemimpin pada faktor-faktor wewenang seperti dalam pengangkatan
    dan pemberhentian karyawan, penegakan disiplin, promosi dan
    kenaikan gaji”.
    Allen dalam Fahmi (2018:77) menyebutkan tujuh sifat kepemimpinan,
    yaitu :
  4. “Mengedepankan kepentingan sendiri
  5. Membuat semua keputusan secara sendirian
  6. Lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan atau solusi-solusi teknik
  7. Lebih suka memberi tahu daripada mendengarkan
  8. Menjalankan organisasi sesuai dengan selera pribadi
  9. Memonopoli ganjaran
  10. Mengontrol dengan cara melakukan inspeksi”

Fungsi dan Peran Kepemimpinan dalam Organisasi


Fungsi pemimpin dalam organisasi kerap kali memiliki spesifikasi berbeda
dengan bidang kerja atau organisasi lain. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa
macam hal, antara lain macam organisasi, situasi sosial dalam organisasi, dan
jumlah anggota kelompok. Seorang pemimpin harus mengetahui fungsi pemimpin
dan unsur-unsur kepemimpinan sebagai aktivitas yang memengaruhi,
mengarahkan, mengajak dan menciptakan serta memberikan ide-ide baru.
Salah satu kriteria dalam menilai efektivitas kepemimpinan adalah
kemampuannya dalam mengambil keputusan. Selain itu, kriteria yang harus
dipenuhi adalah kemampuan seorang pemimpin menjalankan berbagai fungsifungsi kepemimpinan. Siagian dalam Amirullah (2015:167) mengemukakan
adanya fungsi-fungsi kepemimpinan, yaitu :

  1. “Fungsi penentu arah
  2. Fungsi sebagai juru bicara
  3. Fungsi sebagai komunikator
  4. Fungsi sebagai mediator
  5. Fungsi sebagai integrator”

Pengertian Gaya Kepemimpinan


Seorang pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan, dan jiwa
kepemimpinan yang dimiliki seorang pemimpin tidak bisa diperoleh dengan cepat
dan segera namun sebuah proses yang terbentuk dari waktu ke waktu hingga
akhirnya terbentuk dalam sebuah karateristik yang menjadi ciri khasnya. Hal ini
menunjukkan bahwa ada sebagian orang yang memiliki sifat kepemimpinan
namun dengan usahanya yang gigih mampu membantu lahirnya penegasan sikap
kepemimpinan pada dirinya tersebut.
Fahmi (2017:15) “kepemimpinan merupakan suatu ilmu yang mengkaji
secara komprehensif tentang bagaimana mengarahkan, memengaruhi, dan
mengawasi orang lain untuk mengerjakan tugas sesuai dengan perintah yang
direncanakan”.
Terry dan Frankin dalam Amirullah (2015:167) mendefinisikan
“kepemimpinan dengan hubungan dimana seseorang (pemimpin) memengaruhi
orang lain untuk mau bekerja sama melaksanakan tugas-tugas yang saling
berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin dan atau kelompok”.

Hubungan Motivasi Kerja dengan Kinerja


Motivasi merupakan suatu kekuatan sumber daya manusia yang
menggerakkan dan mengendalikan perilaku manusia. Motivasi sebagai upaya
yang dapat memberikan dorongan kepada seseorang untuk mengambil tindakan
yang dikehendaki. Perilaku seseorang cendrung berorientasi pada tujuan dan
didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.
Robins dalam Sutrisno (2019:111) mengemukakan “motivasi sebagai
suatu kerelaan berusaha seoptimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi
yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha memuaskan beberapa kebutuhan”.
Motivasi adalah suatu daya penggerak yang mampu menciptakan kegairahan kerja
dengan membangkitkan, mengarahkan, dan berperilaku kerja serta mengeluarkan
tingkat upaya untuk memberikan kontribusi yang sebesar besarnya demi
keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya.
Dalam dunia pekerjaan, motivasi merupakan salah satu faktor penting
dalam mendorong seorang karyawan untuk bekerja. Terdapat elemen yang
menjadi suksesnya suatu motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi dan kebutuhan.
Upaya merupakan ukuran intensitas. Bila seorang karyawan termotivasi maka ia
akan berupaya sekuat tenaga untuk mencapai tujuan organisasi. Kebutuhan
merupakan suatu kondisi yang mendorong untuk dan harus memenuhi kebutuhan.
Motivasi kerja erat hubungannya dengan kinerja seseorang. Pada dasarnya
motivasi kerja seseorang itu berbeda-beda. Ada karyawan yang memiliki motivasi
kerja yang tinggi dan ada yang memiliki motivasi kerja yang rendah. Apabila
motivasi kerjanya tinggi maka akan berpengaruh pada kinerja yang tinggi dan
sebaliknya jika motivasinya rendah maka akan menyebabkan kinerja yang
dimiliki seorang karyawan tersebut juga rendah. Jika karyawan memiliki motivasi
yang tinggi maka karyawan tersebut akan bekerja dengan tekun dan berdedikasi
tinggi sehingga hasilnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Setiap karyawan akan menginginkan penghargaan terhadap hasil
pekerjaannya. Penghargaan tersebut berupa kompensasi atau imbalan yang adil.
Oleh karena itu, perlu adanya dilakukan penilaian kinerja secara objektif sehingga
akan meningkatkan kinerja. Kinerja seorang karyawan akan mudah dicapai jika
didukung dengan motivasi yang tinggi. Motivasi untuk melaksanakan pekerjaan
dengan baik akan muncul apabila pekerjaan yang dikerjakan mempunyai nilai
atau berarti bagi karyawan tersebut.
Mangkunegara (2017:67) mengatakan bahwa “faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan dan faktor motivasi”. Untuk dapat
memberikan hasil kerja yang berkualitas dan berkuantitas maka seorang karyawan
membutuhkan motivasi kerja dalam dirinya yang akan berpengaruh terhadap
semangat kerja sehingga dapat meningkatkan kinerja

Indikator Motivasi Kerja


Motivasi sangat menguntungkan bagi karyawan maupun perusahan. Dalam
memotivasi karyawan pastinya setiap perusahan memiliki teknik masing-masing
agar motivasi yang diberikan dapat meningkatkan semangat kerja pagawai.
Pemberian motivasi yang tepat akan menimbulkan semangat, kemauan, dan
keikhlasan untuk bekerja dalam diri seorang karyawan. Semakin meningkatnya
semangat dan kemauan untuk bekerja dengan ikhlas akan membuat pekerjaan
lebih maksimal, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Wahjosumidjo dalam Amirullah (2015:192) “tingkah laku bawahan dalam
kehidupan organisasi pada dasarnya berorientasi pada tugas. Artinya,
bahwa tingkah laku bawahan biasanya di dorong oleh keinginan untuk
mencapai tujuan harus diamati, diawasi, dan diarahkan dalam kerangka
pelaksanaan tugas dalam mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan”.
Kekuatan motivasi kerja karyawan untuk bekerja dan berkinerja secara
langsung tercermin pada seberapa jauh upayanya bekerja keras untuk
menghasilkan kinerja yang lebih baik demi mencapai tujuan perusahaan. Agar
suatu proses motivasi kerja dapat dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan
indikator yang dijadikan sebagai acuan dalam proses memotivasi kerja karyawan.
Indikator motivasi dijadikan sebagai alat untuk mengukur keberhasilan motivasi
kerja bermanfaat atau tidak dalam suatu organisasi.
Menurut teori Herzberg dalam Hasibuan (2019:158), terdapat faktor yang
berperan sebagai satisfiers atau motivators yang dijadikan sebagai indikator
motivasi kerja karyawan, yaitu :

  1. “Prestasi atau achievement
  2. Pengakuan atau recognition
  3. Pekerjaan itu sendiri atau the work it self
  4. Tanggung jawab atau responsibility
  5. Kemajuan atau advancement
  6. Pengembangan potensi individu atau the possibility of growth”

Faktor – Faktor yang memengaruhi Motivasi Kerja


Pada umumnya, motivasi seseorang untuk melakukan kegiatan muncul
karena merasakan perlunya untuk memenuhi kebutuhan. Apabila kebutuhannya
telah terpenuhi, motivasinya akan menurun. Kemudian berkembang pemikiran
bahwa motivasi juga diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun apabila
tujuan telah tercapai, biasanya motivasi juga menurun. Oleh karena itu, motivasi
dapat dikembangkan apabila timbul kebutuhan merupakan kepentingan manusia,
maka tujuan dapat menjadi kepentingan manusia maupun organisasi. Motivasi
dapat terwujudkan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor.
Menurut Sutrisno (2019:116), motivasi sebagai proses psikologi dalam diri
seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat
dibedakan atas faktor intern dan ekstern yang berasal dari karyawan tersebut :

  1. “Faktor intern, yang dapat memengaruhi pemberian motivasi pada
    karyawan, yaitu :
    a. Keinginan untuk dapat hidup, untuk dapat bertahan hidup maka
    seseorang harus bekerja. Keinginan untuk dapat hidup meliputi
    kebutuhan untuk memperoleh kompensasi, pekerjaan yang tetap, dan
    kondisi kerja yang aman dan nyaman.
    b. Keinginan untuk dapat memiliki, keinginan yang keras untuk dapat
    memiliki itu dapat mendorong orang mau bekera.
    c. Keinginan untuk memperoleh penghargaan, seseorang mau bekerja
    disebabkan adanya keinginan untuk diakui, dihormati oleh orang lain.
    d. Keinginan untuk memperoleh pengakuan, seperti adanya penghargaan
    terhadap prestasi, hubungan kerja yang harmonis, pimpinan yang
    bijaksana, perusahaan tempat bekerja dihargai oleh masyarakat.
    e. Keinginan untuk berkuasa akan mendorong seseorang untuk bekerja.
  2. Faktor ekstern, yang dapat memengaruhi pemberian motivasi pada
    karyawan, yaitu :
    a. Kondisi lingkungan kerja, keseluruhan sarana dan prasarana kerja yang
    ada di sekitar karyawan yang sedang melakukan pekerjaan yang dapat
    memengaruhi pelaksanaan pekerjaan.
    b. Kompensasi yang memadai, motivasi yang paling penting bagi
    perusahaan untuk mendorong para karyawan bekerja dengan baik.
    c. Supervisi yang baik, memberikan pengarahan, membimbing kerja para
    karyawan agar bekerja dengan baik tanpa melakukan kesalahan.
    d. Adanya jaminan pekerjaan yaitu jaminan karier untuk masa depan
    seperti promosi jabatan.
    e. Status dan tanggung jawab.
    f. Peraturan yang fleksibel yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan
    agar pekerjaan berjalan dengan baik”

Prinsip-Prinsip dalam Motivasi Kerja


Pimpinan harus mampu mendorong, menyemangati karyawan agar terus
bergairah dan bersemangat dalam bekerja. Motivasi dapat terjadi dari dalam diri
karyawan apabila karyawan merasa nyaman, atau dari luar dirinya seperti apa
yang diberikan perusahaan. Motivasi juga perlu diberikan oleh pihak pimpinan,
mulai dari pemberian perhatiann, penghargaan atau kompensasi yang layak dan
wajar sehingga karyawan terdorong untuk melakukan tugas-tugasnya dengan
baik. Demikian pula dengan karyawan akan terdorong untuk bekerja secara
dengan sungguh-sungguh.
Hamalik dalam Sutrisno (2019:111), mengatakan ada dua prinsip yang
dapat digunakan untuk meninjau motivasi, yaitu “(1) memotivasi dipandang
sebagai suatu proses dan (2) menentukan karakter dari proses ini”.
Mangkunegara (2017:101) prinsip-prinsip dalam memotivasi kerja
karyawan, yaitu: “(1) prinsip partisipasi, (2) prinsip komunikasi, (3) prinsip
mengakui andil bawahan, (4) prinsip pendelegasian wewenang, dan (5) prinsip
memberi perhatian”.

Pengertian Motivasi Kerja


Setiap organisasi tentu ingin mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan
tersebut, peranan manusia yang terlibat didalamnya sangat penting. Untuk
menggerakkan manusia agar sesuai dengan yang dikehendaki organisasi, maka
harus dipahami motivasi manusia yang bekerja di dalam organisasi tersebut,
karena motivasi inilah yang menentukan perilaku orang-orang untuk bekerja.
Motivasi merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas
tertentu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan seseorang.
Hartatik (2018:160), “motivasi merupakan hal yang menyebabkan,
menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat serta
antusias mencapai hasil yang optimal”.
Soroso dalam Fahmi (2018:107) mengatakan bahwa “motivasi adalah
suatu set atau kumpulan perilaku yang memberikan landasan bagi seseorang untuk
bertindak dalam suatu cara yang diarahkan kepada tujuan spesifik tertentu
(specific goal directed way)”

Hubungan Disiplin Kerja dengan Kinerja


Dalam disiplin kerja dituntut adanya kesanggupan untuk mengikuti aturan
hukum dan tata tertib sehingga sadar akan melaksanakan dan menaati peraturan
tersebut. Disiplin kerja mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang
terhadap tugas-tugas yang telah diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah
kerja dan semangat kerja yang mendukung terwujudnya tujuan organisasi.
Riva’i dalam Hartatik (2018:183) menyebutkan bahwa “disiplin kerja
adalah suatu alat yang digunakan manajer untuk mengubah suatu perilaku serta
sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang
menaati semua peraturan perusahaan serta norma-norma sosial yang berlaku”.
Pentingnya disiplin kerja dalam perusahaan bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas kerja karyawan. Disiplin yang baik dari karyawan akan
menunjukkan bahwa suatu organisasi dapat memelihara dan menjaga loyalitas
maupun kualitas karyawannya. Selain itu, dengan mengetahui disiplin kerja
karyawan maka nilai kinerja dari setiap karyawan pun akan diketahui. Hal
tersebut karena disiplin kerja dan kinerja karyawan memiliki hubungan yang
sangat erat. Karyawan yang berdisiplin diri dalam bekerja maka ia akan bekerja
secara optimal, tekun, dan mengerjakan sesuatu pekerjaan secara terarah dan
sebaliknya karyawan yang memiliki disiplin kerja yang rendah maka ia akan
bermalas-malasan dan cendrung akan menunda-nunda pekerjaan.
Salah satu faktor yang memengaruhi kinerja karyawan adalah disiplin
kerja. Disiplin kerja merupakan salah satu tolok ukur dari penilaian hasil kinerja
karyawan. Setiap karyawan yang mampu menunjukkan sikap disiplin dalam
bekerja cendrung memiliki ketelitian dan memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap pekerjaan atau tugas-tugas yang sudah menjadi tanggung jawabnya
secara personal. Semakin memiliki kesadaran akan tugas dan tanggung jawab ini
akan menimbulkan disiplin kerja yang tinggi. Karyawan yang mampu mengatasi
segala permasalahan yang berhubungan dengan pekerjaan cendrung lebih mampu
menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.
Disiplin kerja yang tinggi dan optimal dapat memengaruhi kinerja
karyawan secara langsung maupun tidak langsung. Dengan disiplin kerja yang
tinggi akan membuat karyawan bekerja lebih giat dan menjiwai pekerjaannya
yang pada akhirnya akan dapat menjadi karyawan yang tangguh dan bermutu serta
mampu melaksanakan tugas atau kegiatan dengan baik yang akan menghasilkan
kinerja yang tinggi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa salah satu kunci
keberhasilan organisasi dalam menjalankan usahanya adalah dengan cara
meningkatkan kinerja karyawannya melalui peningkatan disiplin kerja. Setiap
organisasi mengharapkan kinerja karyawannya dapat meningkat. Kinerja yang
baik dapat menciptakan kualitas, kuantitas kerja dan prestasi kerja.

Indikator Disiplin Kerja


Kedisiplinan menjadi kunci terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan,
dan masyarakat. Dengan disiplin yang baik berarti karyawan sadar dan bersedia
mengerjakan semua tugasnya yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik.
Tujuan utama disiplin adalah untuk meningkatkan efisiensi semaksimal mungkin
dengan cara mencegah kerusakan atau kehilangan peralatan dan perlengkapan
kerja yang disebabkan oleh tidak adanya sikap kehati-hatian.
Disiplin berusaha mencegah keterlambatan dan kemalasan kerja karyawan
serta berusaha untuk mengatasi perbedaan pendapat antarkaryawan dan mencegah
ketidaktaatan yang disebabkan oleh salah pengertian dan salah penafsiran.
Disiplin berusaha untuk melindungi perilaku yang baik dengan menetapkan
peraturan dan ketentuan yang telah disepakati demi terwujudnya tujuan
organisasi. Karyawan yang tunduk pada ketetapan dan peraturan perusahaan
menggambarkan adanya kondisi disiplin yang baik dan sebaliknya karyawan yang
sering melanggar atau mengabaikan perusahaan maka karyawan tersebut
mempunyai disiplin kerja yang buruk.
Menurut Fathoni dalam Hartatik (2018:200), terdapat indikator yang
memengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organiasi, sebagai berikut :

  1. “Tujuan dan kemampuan
  2. Keteladanan pimpinan
  3. Keadilan
  4. Pengawasan melekat
  5. Sanksi hukuman
  6. Ketegasan
  7. Hubungan kemanusian”

Faktor – Faktor yang memengaruhi Disiplin Kerja


Pada umumnya bahwa pemimpin mempunyai pengaruh langsung atas
sikap kebiasaan yang diperoleh karyawan. Kebiasaan itu ditentukan oleh
pemimpin, baik dengan iklim atau suasana kepemimpinan maupun melalui contoh
diri pribadi. Untuk mendapat disiplin yang baik, maka pemimpin harus
memberikan kepemimpinan yang baik pula.
Helmi dalam Hartatik (2018:197) merumuskan faktor-faktor yang
memengaruhi disiplin kerja menjadi dua, yaitu :
a. “Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang
dianut berkaitan langsung dengan disiplin. Sistem nilai akan terlihat dari sikap
seseorang, dimana sikap ini diharapkan akan tercermin dalam perilaku seperti
disiplin karena kepatuhan, disiplin karena identifikasi, dan disiplin karena
internalisasi.
b. Faktor Lingkungan
Sikap disiplin dalam diri seseorang merupakan produk interaksinya dengan
lingkungan, terutama lingkungan sosial. Oleh karena itu, pembentukan
disiplin tunduk pada kaidah-kaidah proses belajar. Pemimpin yang merupakan
agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsio konsisten, adil, bersikap
positif, dan terbuka”.
Menurut Singodimedjo dalam Sutrisno (2019:89) mengemukakan
beberapa faktor-faktor yang memengaruhi disiplin karyawan adalah :

  1. “Besar kecilnya pemberian kompensasi
  2. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan
  3. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan
  4. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan
  5. Ada tidaknya pengawasan pimpinan
  6. Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan
  7. Diciptakan kebiasaan – kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin”.

Jenis-Jenis Disiplin Kerja


Disiplin merupakan suatu kegiatan manajemen untuk menjalankan standar
dan prosedur organisasi. Kedisiplinan merupakan fungsi operatif manajemen
sumber daya manusia yang terpenting karena semakin baik disiplin kerja
karyawan maka semakin tinggi prestasi kerja yang dicapai. Kurangnya
kedisiplinan karyawan akan membuat perusahaan sulit mencapai hasil kerja yang
optimal.
Sutrisno (2019:86) menyebutkan beberapa bentuk disiplin yang baik yang
tercermin pada suasana, sebagai berikut :
a. “Tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian tujuan
perusahaan.
b. Tingginya semangat dan gairah kerja dan inisiatif para karyawan dalam
melakukan pekerjaan.
c. Besarnya rasa tanggung jawab para karyawan untuk melaksanakan tugas
dengan sebaik-baiknya.
d. Berkembangnya rasa memiliki dan rasa solidaritas yang tinggi di kalangan
karyawan.
e. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja para karyawan”.

Pengertian Disiplin Kerja


Disiplin kerja sangatlah penting bagi suatu perusahaan atau instansi
pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Tanpa adanya disiplin
kerja yang baik sulit bagi suatu perusahaan untuk mencapai hasil yang optimal.
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap
tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Kedisiplinan merupakan fungsi sumber daya manusia yang keenam dari
fungsi operatif manajemen sumber daya manusia yang terpenting karena semakin
banyak disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya.
Tanpa disiplin kerja karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan mencapai hasil
kerja yang optimal.
Hasibuan (2019:193), “kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang
berlaku”.
Latainer dalam Sutrisno (2019:87) mengartikan “disiplin sebagai suatu
kekuatan yang berkembang di dalam tubuh karyawan dan menyebabkan karyawan
dapat menyesuaikan diri dengan sukarela pada keputusan, peraturan, dan nilainilai yang tinggi dari pekerjaan dan perilaku”.
Salah satu upaya untuk mengatasi penyebab tindakan indispliner yang
bertujuan untuk pertumbuhan organisasi yaitu memotivasi karyawan agar dapat
mendisiplinkan diri dalam melaksanakan pekerjaan baik secara perorangan
maupun kelompok. Adanya disiplin kerja sangat bermanfaat dalam mendidik
karyawan untuk mematuhi peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku pada
perusahaan tersebut sehingga akan menghasilkan kinerja yang optimal.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)


Pengertian pengendalian intern menurut Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 60 Tahun 2008 Pasal 1 butir 1 adalah proses yang integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
SPIP terdiri atas unsur:
a) lingkungan pengendalian;
b) penilaian risiko;
c) kegiatan pengendalian;
d) informasi dan komunikasi; dan
e) pemantauan pengendalian intern.
COSO I : 1992 Pasal 3 ayat (1) PP 60/2008
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan”.
Sistem Pengendalian Intern juga diterapkan pada instansi pemerintah
yang kita kenal dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP
adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di
lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (PP 60/2008, Bab I Pasal. 1
butir 2). Tujuan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah untuk
memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya:
1) Efektivitas dan Efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan;
2) Keandalan Laporan Keuangan;
3) Pengamanan aset negara;
4) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan

Kepuasan Kerja


Davis (1985:96) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu
perasaan menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan
dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya. Kepuasan kerja menjadi hal yang
penting, karena memiliki pengaruh yang besar bagi organisasi. Mangkunegara
(2005:118) menyebutkan kepuasan kerja seseorang memiliki dampak terhadap
organisasi antara lain yaitu tingkat turn over, tingkat kehadiran pegawai, tingkat
kesehatan pegawai, tingkat efektivitas penyelesaian pekerjaan, pengembangan
ide dan inovasi, tingkat kesalahan, sampai rasa kebanggaan terhadap
organisasi/perusahaan yang diwujudkan dalam komitmen dan loyal terhadap
organisasi/perusahaan. Luthans (2011:141) menyatakan bahwa kepuasan timbul
dari evaluasi terhadap suatu pengalaman, atau pernyataan secara psikologis
akibat suatu harapan dihubungkan dengan apa yang mereka peroleh.
Ada beberapa teori kepuasan kerja, antara lain teori keadilan (equity
theory) dari Adam, terori perbedaan (discrepancy theory) dari Porter, teori
pemenuhan kebutuhan (need fulfillment theory) dari Schaffer, teori pandangan
kelompok social (social reference group theory) dari Alferder, teori pengharapan
(expected theory) dari Victor Vroom, dan teori dua faktor (two factor theory) dari
Herzberg. Penelitian ini dikarenakan menggunakan teori dua faktor dari
Herzberg, maka yang akan diulas hanyalah teori tersebut.
Menurut Two Factors Theory dari Herzberg (dalam Mangkunegara, 2005)
terdapat dua faktor yang dapat menyebabkan kepuasan maupun ketidakpuasan
yang dapat dialami oleh seorang pegawai, yaitu (1) kepuasan ekstrinsik atau
dissatisfies (hygiene factors) dan (2) kepuasan intrinsik atau satisfies. Adapun
penjelasan tiap faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kepuasan ekstrinsik atau dissatisfies (hygiene factors) merupakan faktorfaktor atau situasi yang dipandang sebagai sumber ketidakpuasan, yakni
gaji/upah, pengawasan pimpinan, tatakelola dan kebijakan organisasi,
hubungan antarpribadi, kondisi dan keamanan kerja serta status/kedudukan.
Apabila faktor ini tidak terpenuhi, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan
absensi pegawai, bahkan dapat menyebabkan pegawai keluar.
b) Kepuasan intrinsik atau satisfies merupakan faktor-faktor atau situasi yang
dipandang sebagai sumber kepuasan kerja, yakni: pekerjaan itu sendiri (work
it self), adanya kesempatan untuk berprestasi (achievement), adanya
tanggung jawab (responsibility), dan pengembangan potensi individu yang
didukung oleh pengakuan (recognition) serta promosi. Jika faktor-faktor
tersebut terpenuhi, rasa kepuasan terhadap pekerjaannya akan terpenuhi.

Kompetensi Pegawai


Kompetensi menurut Spencer and Spencer (1993:9) merupakan
karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakter
pribadi (ciri khusus/khas), nilai-nilai, konsep diri, pengetahuan atau keahlian
yang dimiliki seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat
kerja. Sedangkan kompetensi menurut Peraturan Kepala Badan Kepegawaian
Negara Nomor 7 tahun 2013 diartikan sebagai karakteristik dan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai tugas
dan / atau fungsi jabatan.
Menurut Kamus Kompetensi Kementerian Keuangan, Kompetensi
pegawai dapat diartikan sebagai kemampuan (capability) atau keahlian
(expertise) yang lebih dari sekedar keterampilan (skill) belaka, namun
merupakan hasil dari pengalaman yang melibatkan pemahaman/pengetahuan,
tindakan nyata, serta proses mental yang terjadi dalam bidang tertentu.
Kompetensi dapat pula untuk menggambarkan pengelompokan pengetahuan,
keahlian dan perilaku yang menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang
dalam pekerjaan (Peraturan Sekretaris Jenderal Nomor 55/SJ/2008).

Penilaian Kinerja Institusi Pemerintahan


Salah satu yang menjadi sasaran dalam penerapan reformasi birokrasi
adalah mewujudkan instansi yang akuntabel. Instansi pemerintah diwajibkan
melakukan pengelolaan kinerja yang dimulai dari perencanaan kinerja,
pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, sampai evaluasi kinerja (Permenpan
Nomor 11 Tahun 2011). Hal ini dilakukan agar instansi pemerintah terukur
capaian kinerjanya sehingga dapat diketahui efektivitas dari pencapaian visi,
misi, tugas dan fungsi pokok instansi pemerintah tersebut. Kinerja di dalam
Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah (SAKIP) merupakan rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat
dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan, pengukuran,
pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja
pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan
kinerja instansi pemerintah.
Keberhasilan suatu program yang dijalankan, diukur berdasarkan
indikator kinerja yang merupakan ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari
kinerja program dan kegiatan yang telah direncanakan (Perpres Nomor 29 tahun
2014). Indikator kinerja terbagi atas tiga hal, yaitu:
1) Indikator Kinerja Program (IKP) yang merupakan ukuran atas hasil (outcome)
dari suatu program yang merupakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
suatu kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh
satuan kerja/SKPD.
2) Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) adalah ukuran atas keluaran (output) dari
suatu kegiatan yang terkait secara logis dengan Indikator Kinerja Program
(IKP).
3) Indikator Kinerja Utama (IKU) merupakan ukuran keberhasilan organisasi
dalam mencapai tujuan dan merupakan ikhtisar hasil berbagai program dan
kegiatan sebagai penjabaran tugas dan fungsi organisasi.

Kinerja Organisasi


Mulyadi (2007) menyatakan bahwa kinerja merupakan keberhasilan yang
dicapai personel, tim atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik
yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. Bastian
(2006:274) berpendapat bahwa kinerja adalah gambaran pencapaian atas
pelaksanaan dari suatu kegiatan/kebijakan/ program dalam rangka mewujudkan
visi, misi, tujuan organisasi, dimana apa yang ingin dicapai tertuang dalam
perumusan perencanaan strategik (strategic planning) organisasi. Kinerja dapat
juga diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam suatu periode
tertentu. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) menyatakan bahwa kinerja merupakan
keluaran/hasil dari kegiatan/program yang telah atau hendak dicapai sehubungan
dengan penggunaan anggaran dengan kualitas dan kuantitas yang terukur.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kinerja, terdapat dua hal
pokok yang terkandung dalam pengertian kinerja, yaitu: (1) hasil akhir dari
keseluruhan kegiatan yang dilakukan organisasi yang disesuaikan dengan
kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan, dan (2) kinerja mencerminkan
prestasi yang dicapai oleh organisasi

Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Herzberg


Teori pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang
kepuasan kerja atau sering dikenal dengan sebutan Two Factor Theory (teori
dua faktor) yang dikemukakan oleh Herzberg tahun 1996. Situasi yang
memengaruhi sikap puas atau tidaknya seseorang terhadap pekerjaan terbagi
dalam dua kelompok (Mangkunegara, 2015:121-122), yaitu:
a) Kepuasan intrinsik atau satisfies merupakan faktor-faktor atau situasi yang
dipandang sebagai sumber kepuasan kerja, yakni: pekerjaan itu sendiri (work
it self), adanya kesempatan untuk berprestasi (achievement), adanya
tanggung jawab (responsibility), dan pengembangan potensi individu yang
didukung oleh pengakuan (recognition) serta promosi. Jika seorang individu
memenuhi faktor-faktor tersebut, rasa kepuasan terhadap pekerjaannya akan
terpenuhi.
b) Kepuasan ekstrinsik atau dissatisfies (hygiene factors) merupakan faktorfaktor atau situasi yang dipandang sebagai sumber ketidakpuasan, yakni
gaji/upah, pengawasan pimpinan, tatakelola dan kebijakan organisasi,
hubungan antarpribadi, kondisi dan keamanan kerja serta status/kedudukan.
Kedua kelompok teori di atas, yakni satisfies dan dissatisfies akan
digunakan dalam penelitian ini karena keduanya dianggap sebagai sumber
kepuasan yang akan mempengaruhi kinerja pegawai dan pada akhirnya kinerja
organisasi.

Teori Agensi


Teori keagenan pada dasarnya merupakan teori yang muncul karena
adanya konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Teori ini mengasumsikan
bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya
sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.
Prinsipal mengontrak agen untuk melakukan pengelolaan sumber daya dalam
perusahaan dan berkewajiban untuk memberikan imbalan kepada agen
sedangkan agen berkewajiban melakukan pengelolaan sumber daya yang
dimiliki oleh perusahaan dan bertanggungjawab atas tugas yang dibebankan
kepadanya (Jensen dan Meckling, 1976:29).
Teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) asumsi yaitu (a) asumsi tentang
sifat manusia; (b) asumsi tentang keorganisasian dan (c) asumsi tentang
informasi. Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki
sifat mementingkan diri sendiri (self interest) memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality) dan tidak menyukai resiko (risk aversion). Asumsi
keorganisasian menekankan adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas. Asimetri informasi (asimmetric information)
merupakan informasi yang tidak seimbang karena perbedaan distribusi informasi
antara prinsipal dan agen (Jensen dan Meckling, 1976:38-41). Teori keagenan
akan terjadi pada berbagai organisasi termasuk dalam organisasi pemerintahan
dan berfokus pada persoalan ketimpangan/asimetri informasi antara pengelola
(agen/pemerintah) dan publik (diwakili prinsipal/dewan perwakilan rakyat).
Prinsipal harus memonitor kerja agen, agar tujuan organisasi dapat dicapai
dengan efisien serta tercapainya akuntabilitas publik (Mustikawati, 2004).
Akuntabilitas publik sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agen) untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya
kepada pihak pemberi amanah (prinsipal) yang memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut.

Teori Goal Setting


Goal Setting Theory yang dikemukakan oleh Locke, 1978 menjelaskan
hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja). Konsep
dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang diharapkan
organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Goal-Setting
Theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada tujuan
(Mangkunegara, 2014: 73). Jika seorang individu memiliki komitmen untuk
mencapai tujuannya, maka komitmen tersebut akan mempengaruhi tindakannya
dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya. Salah satu hal penting yang dapat
menentukan kinerja, baik kinerja individu yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap kinerja organisasi adalah kompetensi yang dimiliki individu di dalam
organisasi (Mangkunegara, 2015:67). Seorang individu yang berkomitmen untuk
memberikan kinerja yang terbaik pada organisasi akan berusaha meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kerja (kompetensi) yang dimilikinya. Hal tersebut
sebagai konsekuensi yang harus dicapai, bila seorang individu tersebut ingin
meraih hasil kinerja yang optimal.
Teori Goal Setting ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh
ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/
tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Penetapan tujuan yang
menantang (sulit) namun dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan
prestasi kerja (kinerja). Capaian atas sasaran (tujuan) mempunyai pengaruh
terhadap perilaku pegawai dan kinerja dalam organisasi. Berdasarkan
pendekatan goal setting theory ini, kinerja organisasi yang maksimal merupakan
tujuan yang ingin dicapai, sedangkan kompetensi pegawai dan kepuasan kerja
merupakan faktor penentu. Semakin tinggi faktor penentu tersebut, maka akan
semakin tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuannya.

Teori Sikap dan Perilaku (Theory of Attitude and Behavior)


Teori sikap dan perilaku (theory of attitude and behavior) yang
dikembangkan oleh Triandis di tahun 1971 menyatakan bahwa perilaku
ditentukan oleh untuk apa sesuatu hal dilakukan (sikap), pedoman atas suatu hal
yang dilakukan (aturan-aturan sosial), dan apa yang biasa dilakukan (kebiasaan)
yang menentukan terbentuknya suatu perilaku.
Sikap terdiri dari komponen kognitif yang berkaitan dengan keyakinan, dan
komponen afektif yang berkaitan dengan konotasi suka atau tidak suka, serta
komponen perilaku yakni bagaimana seseorang ingin berperilaku terhadap sikap.
Gibson, dkk di tahun 1982 sebagaimana yang dikemukakan oleh Mangkunegara
(2008:16) menyebutkan bahwa sikap seseorang didorong oleh faktor-faktor
stimulus, seperti gaji, tunjangan, gaya manajer, rangsangan pekerjaan, teknologi
dan kebijakan perusahaan. Faktor-faktor stimulus tersebut menentukan apakah
suatu perasaan positif yang menimbulkan kesukaan atau malahan perasaan
negatif yang menimbulkan ketidaksukaan terhadap suatu pekerjaan. Perasaan
positif dan negatif tersebut pada akhirnya yang menentukan kepuasan atau
ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya, yang pada akhirnya
menentukan perilaku seseorang di dalam organisasi. Mangkunegara (2015:117-
119) menyebutkan kepuasan kerja seseorang memiliki dampak terhadap
organisasi antara lain yaitu tingkat turn over, tingkat kehadiran pegawai, tingkat
kesehatan pegawai, tingkat efektivitas penyelesaian pekerjaan, pengembangan
ide dan inovasi, tingkat kesalahan, sampai rasa kebanggaan terhadap
organisasi/ perusahaan yang diwujudkan dalam komitmen dan loyal terhadap
organisasi/ perusahaan.
Aturan-aturan sosial yang merupakan pedoman atas suatu hal yang
dilakukan seorang individu di dalam organisasi, ditentukan oleh nilai-nilai yang
dianut oleh suatu organisasi yang pada akhirnya menjadi kebiasaan yang
merupakan embrio dari suatu budaya yang dimiliki oleh organisasi. Susanto
(1997:21), budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang menjadi pedoman
sumber daya manusia di dalam organisasi untuk menghadapi permasalahan
eksternal dan dan berusaha untuk melakukan penyesuaian integrasi ke dalam
tubuh organisasi. Masing-masing individu di dalam organisasi harus memahami
nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku dan
berperilaku di dalam organisasi.
Nilai-nilai organsasi menjadi petunjuk (guidance) dan pedoman bagi
individu di dalam organisasi dalam berperilaku serta berinteraksi dengan individu
lainnya, baik di dalam maupun di luar organisasi. Nilai-nilai organisasi menjadi
hal yang penting dan ditanamkan secara kokoh dan kuat serta harus diterima
secara luas di semua kalangan dalam organisasi. Semakin tinggi penerimaan
anggota organisasi terhadap nilai-nilai pokok organisasi, maka kesetiaan, dan
kinerja seseorang kepada organisasi semakin besar yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap kinerja organisasi (Yuliana, 2014).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior


 Menurut Wirawan (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi OCBdiantaranya antara lain kepribadian, budaya organisasi, iklim organisasi,
kepuasan kerja, komitmen organisasi, kepemimpinan transformasional
&servant leadership, tanggung jawab sosial pegawai, umur pegawai,
keterlibatan kerja, kolektivisme serta keadilan organisasi.
Organ dan Sloat (dalam Ahdiyana, 2010) mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi OCB sebagai berikut :
a. Budaya dan iklim organisasi
Menurut Novliadi (2007) iklim Organisasi dan budaya organisasi dapat
menjadi penyebab kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi.
Di iklmi organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan
pekerjaan melebihi apa yang telah diisyaratkan dalam pekerjaan, dan akan
selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlukan oleh para
atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa
mereka diperlukan secara adil oleh organisasi.
b. Kepribadian dan Suasana Hati (mood)
Kepribadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap timbulnya
perilaku OCB secara individual maupun kelompok.
c. Persepsi terhadap dukungan organisasi
Pekerja yang merasa bahwa mereka didukung oleh organisasi akan
memberikan timbal balinya dan menurunkan ketidakseimbangan dalam
hubungan tersebut dengan terlibat dalam perilaku citizenship. 
1) Persepsi terhadap kualitas hubungan/ interaksi atasan bawahan
2) Masa kerja
3) Jenis Kelamin

Dimensi-Dimensi Organizational Citizenship Behavior


Organ (1995) megatakan bahwa orang yang melakukan
Organizational Citizenship Behavior dieknal sebagai tentara yang baik.
Terdapat lima dimensi Organizational Citizenship Behavior menurut Organ
adalah sebagai berikut :
a. altruism adalah perilaku yang merefleksikan atau membantu orang lain
dalam menghadapi masalah pekerjaan.
b. Conscientiousness adalah mengacu pada perilaku seseorang yang tepat
waktu, tingkat kehadiran tinggi, dan berada di atas pesyratan normal yang
diharapkan.
c. Civic virtue adalah berkomitmen fungsi – fungsi adminitratif seperti
menghadiri pertemuan, menyampaikan pendapat dan aktif berpartisipasi
dalam kegiatan organisasi. d. Sportsmanship yaitu menunjukkan perilaku seseorang yang tidak suka
memprotes atau mengajukan ketidakpuasan terhadap masalah-masalah
kecil.
e. Courtesy adalah perilaku bersikap sopan santun, hormat, dan sesuai aturan
yang ditunjukkan dalam setiap perilaku

Pengertian Organizational Citizenship Behavior


Konsep Organizational Citizenship Behavior pertama kali
diperkenalkan oleh Bateman dan Organ, dan telah dibahas secara detail oleh
Organ tahun (1995). Namun jauh sebelum tahun tersebut Bernard
mempergunakan konsep Organizational Citizenship Behavior dan
menyebutnya sebagai kerelaan bekerjasama. Pada tahun 1964, Katz
menggunakan konsep serupa dan menyebutkan sebagai inovatif dan perilaku
spontan (Triyanto, 2009).
Organizational Citizenship Behavior dapat dikatakan sebagai
perilaku-perilaku yang menyumbang pada pemeliharaan dan perbaikan baik
secara social maupun psikologikal untuk mendukung job performance
(Organ, 1995). Organizational Citizenship Behavior berperan penting bagi
upaya meningkatkan kinerja organisasi karena, Organizational Citizenship
Behavior dapat mengurangi kebutuhan akan sumber daya-sumber daya yang
langka/mahal untuk fungsi-fungsi perawatan/perbaikan dalam organisasi,
meningkatkan produktifitas hubungan kerja atau manajerial, meningkatkan
kemampuan organisasi untuk menarik minat dan mempertahankan orang- orang terbaiknya untuk bekerja disitu dengan menciptakan suasana kerja yang
menyenangkan (Organ, 1995).
Berdasarkan definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku karyawan yang
dilakukan secara sukarela dan melebihi tuntutan pekerjaannya. Perilaku
tersebut dilakukan tanpa mengharapkan pamrih dari organisasi dan berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Terdapat kesepakatan luas bahwa
budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang
dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang membedakan
organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Sistem pengertian bersama ini,
dalam pengamatan yang lebih seksama, merupakan serangkaian karakter
penting menjadi nilai bagi suatu organisasi. Menurut Robbins (2003)
menyatakan bahwa terdapat tujuh karakter utama, yang kesemuanya menjadi
elemen-elemen penting suatu budaya organisasi.
a. Inovasi dan pengambilam risiko, yaitu tingkat daya pendorong karyawan
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
b. Perhatian terhadap hasil, yaitu tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk
mampu memperlihatkan ketetapan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
c. Orientasi terhadap hasil, yaitu tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk
lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada
teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
d. Orientasi terhadap individu, yaitu tingkat keputusan manajemen dalam
mempertimbangkan efek- efek hasil terhadap individu yang ada di dalam
organisasi.
e. Orientasi terhadap tim, yaitu tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam
tim, bukan secara perorangan
f. Agresivitas, yaitu tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku
agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
g. Stabilitas, yaitu tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam
mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Keterlibatan Kerja


Menurut Harnoto (2002) faktor-faktor keterlibatan kerja dilihat dari
sejauh mana seorang karyawan ikut berpartisipasi dengan seluruh
kemampuannya dalam membuat peningkatan kesuksesan suatu organisasi
atau perusahaan.
Ada beberapa faktor yang dapat dipakai untuk melihat keterlibatan
kerja seorang karyawan yaitu :
a. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan
Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat menunjukkan bahwa seorang
karyawan terlibat dalam pekerjaanya (job involment). Aktif berpartisipasi
adalah perhatian yang dicurahkan seseorang terhadap sesuatu. Dari tingkat
atensi inilah dapat diketahui seberapa perhatian dan kepeduliaan yang
dimiliki oleh seseorang pekerja.
b. Menunjukkan pekerjaan adalah yang utama
Seseorang karyawan yang merasa bahwa pekerjaannya adalah hal yang
utama akan selalu berusaha memberi serta melakukan yang terbaik untuk
pekerjaannya dan menganggap pekerjaannya sebagai pusat yang menarik
dalam hidup dan pantas untuk diutamakan.
c. Melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang penting untuk harga diri
Keterlibatan kerja dapat dilihat dari sikap seorang karyawan dalam
pikiran mengenai pekerjaannya, dimana seorang karyawan dalam pikiran
mengenai pekerjaannya, dimana seorang karyawan menganggap pekerjaan
itu penting bagi harga dirinya. Harga diri merupakan perpaduan antara
kepercayaan diri dan penghormatan diri, mempunyai harga diri yang kuat
artinya merasa cocok dengan kehidupan dan penuh keyakinan, yaitu
mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah
kehidupan. Harga diri menurut Harnoto (2002) merupakan evaluasi
individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif. Apabila
pekerjaan tersebut dirasa berarti dan sangat berharga baik secara materi
dan psikologis bagi karyawan tersebut maka karyawan tersebut akan
menghargai dan melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Dengan begitu
keterlibatan kerja dapat tercapai, dan karyawan tersebut merasa bahwa
pekerjaan mereka penting bagi harga dirinya.

Aspek-aspek keterlibatan kerja


Menurut Saleh dan Hosek (1976) keterlibatan kerja merupakan
konsep yang kompleks berdsarkan aspek kongnitif, aspek tindakan dan aspek
perasaan adalah derajat dimana individu dikenal dari pekerjaannya,
berpartisipasi aktif didalamnya dan menganggap prestasi penting untuk harga
diri yaitu :
a. Pekerjaan adalah minat hidup yang utama
Keterlibatan kerja akan muncul bila pekerjaan dirasakan sebagai
sumber utama terhadap harapan individu dan sumber kepuasan dari
kebutuhan-kebutuhan yang menonjol individu. Kebutuhan yang menonjol
ini akan menguat bila pekerjaan dipersepsikan mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sehingga akan membuat invidu menghabiskan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk pekerjaan.
b. Berpartisipasi aktif dalam pekerjaan
Partisipasi aktif akan terjadi bila seseorang diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya dalam bekerja seperti kesempatan mengerluarkan ide-ide,
membuat keputusan yang berguna untuk kesuksesan perusahaan,
kesempatan untuk belajar, mengeluarkan keahlian dan kemampuan dalam
bekerja, sehingga partisipasi aktif ini akan berpengaruh pada hasil kerja
dan hasil yang memuaskan akan mempengaruhi rasa berharga pada diri.
c. Menganggap performa sebagai hal yang penting bagi harga diri. Seberapa jauh performa kerja individu mempengaruhi harga diri. Usaha
kerja yang ditampilkan menggambarkan seberapa jauh seseorang yang 
terlibat pada pekerjaan akan menganggap penting pekerjaan tersebut bagi
harga diri atau rasa keberhargaan diri pada diri seseorang. Hal ini bisa
terlihat dari seberapa sering karyawan memikirkan tentang pekerjaan yang
belum terselesaikan setelah jam kerja selesai, masalah yang belum selesai
menjadi pusat konsep diri yang berlaku dalam hati.
d. Menganggap kinerja konsisten dengan konsep diri
Seseorang yang terlibat dalam pekerjaan akan memiliki konsentrasi
terhadap unjuk kerja sehingga mempengaruhi konsistensi seseorang
dengan konsep diri. Hal ini dapat terlihat dari seseorang memiliki prinsip
terhadap pekerjaan, unjuk kerja konsisten dengan kemampuan yang
dimiliki.

Pengertian Keterlibatan Kerja


Keterlibatan pekerjaan mengukur derajat sejauh mana seseorang
memihak secara psikologis pada pekerjaannya dan menganggap tingkat
kinerjanya yang dipersepsikan sebagai penting untuk harga diri (Robbins,
2003). Dapat dinyatakan bahwa aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat
menunjukkan seseorang pekerja terlibat dalam pekerjaan. Aktif paritisipasi
adalah perhatian seorang terhadap seseuatu. Keterlibatan kerja merupakan
faktor penting dalam sikap kerja lain yang terkait dengan kinerja. Orang
dengan keterlibatan kerja tinggi memfokuskan sebagian sebagian besar pada
pekerjaan mereka sehingga menjadi benar – benar tenggelam dan menikmati
pekerjaan tersebut (Suharti 2013).
Keterlibatan kerja merupakan suatu ukuran sampai dimana karyawan
dapat berpatisipasi dalam dalam pekerjaan secara psikologis dan mengagap
pekerjaan dan kinerjanya penting. Menurut Hao et al. (2009), seseorang
memiliki involvement yang tinggi jika (1) meyakini bahwa pekerjaannya
memiliki manfaat; (2) memiliki kontrol terhadap pencapaian pekerjaan; (3)
memelihara norma-norma perilaku; (4) memberikan umpan balik atas
penyelesaian pekerjaan; dan (5) adanya hubungan baik dengan atasan maupun
rekan kerja. Lebih jauh lagi Hao et al. (2009) menyatakan bahwa karyawan
dengan keterlibatan kerja tinggi akan berupaya keras dalam mencapai tujuantujuan organisasi. Sedangkan menurut Gibson (2000) Keterlibatan kerja pada
setiap individu adalah berbeda yaitu dalam hal sejauh mana: (1) Pekerjaan
merupakan pusat perhatian hidup, (2) Mereka secara aktif turut serta dalam
pekerjaan, (3) Mereka memandang pekerjaan sebagai pusat harga diri, dan (4)
Mereka memandang pekerjaan sesuai dengan konsep pribadi. Orang yang
tidak terlibat dalam pekerjaannya tidak dapat diharap untuk mencapai
kepuasan yang sama dengan mereka yang terlibat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja


Menurut Wirawan (2013) dalam kinerja, terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah :

a. Organizational Citizenship Behavior (OCB), bila seorang karyawan dalam
melakukan segala sesuatu, tidak selalu digerakkan oleh hal-hal yang
menguntungkan bagi dirinya, namun dikarenakan karyawan tersebut akan
mempunyai perasaan puas jika dapat membantu atau mengerjakan sesuatu
yang lebih perannya.
b. Deskripsi pekerjaan, spesifikasi pekerjaan yang standar kinerja pekerjaan.
Karena pekerjaan yang berbeda mempunyai deskripsi pekerjaan yang
berbeda, program evaluasi kinerja haruslah menyediakan cara yang
sistematik untuk mempertimbangkan perbedaan-perbedaan ini dan
memastikan evaluasi yang konsisten di seluruh pekerjaan dan karyawan
yang mendudukinya.
c. Keterlibatan kerja adalah mengimpilkasikan suatu pernyataan positif dan
lengkap dari ketertarikan aspek inti pada diri sendiri dalam pekerjaan.
Sehingga keterlibatan kerja akan meningkatkan produktivitas.
d. Tujuan-tujuan penilaian kinerja. Tujuan – tujuan penilaian kinerja secara
mendasar dapat digolongkan kepada dua bagian besar yaitu evaluasi dan
pengembangan.
e. Sikap para pekerja dan atasan terhadap evaluasi
Menurut Gibson (2000) faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja
sebagai berikut :
a. Faktor Individu. Faktor individu meliputi : kemampuan, keterampilan,
latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi
seseorang.


b. Faktor Psikologis. Faktor – faktor psikologis terdiri dari : persepsi, peran,
sikap, kepribadian motivasi lingkungan kerja dan kepuasan kerja.
c. Faktor Organisasi. Struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan
dan imbalan
Menurut Siagian (2008) faktor – faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja seseorang karyawan yang mempunyai karater baik apabila:
a. Mempunyai keahlian yang tinggi
b. Kesediaan untuk bekerja
c. Lingkungan kerja yang mendukung
d. Adanya imbalam yang layak dan mempunyai harapan masa depan

Metode Penilaian Kinerja


Menurut Wiraman (2013) setiap perusahaan mempunyai metode
sistem penilaian kinerja yang berbeda. Di bawah ini uraian tentang metode- metode penilaian kinerja di perusahaan.
a. Esai tertulis yaitu, metode yang paling mudah untuk menilai suatu kinerja
adalah dengan menulis sebuah narasi yang menggambarkan kelebihan,
kekurangan, prestasi waktu lampau, potensi dan saran – saran mengenai
seorang karyawan untuk perbaikan. Esai tertulis ini tidak membutuhkan
bentuk format yang rumit atau latihan. Tetapi hasil tulisan itu seringkali
menggambarkan kemampuan penulisnya. Baik atau buruknya sebuah
penilaian sama-sama ditentukan oleh keterampilan menulis si penilai dan
tingakat aktual kinerja seorang pekerja.
b. Keadaan kritis yaitu, metode keadaan kritis memfokuskan perhatian si
penilai pada perilaku-perilaku yang merupakan kunci untuk membedakan
anatara sebuah pekerjaan efektif atau yang tidak efektif. Si penilai menulis
anekdot yang menggambarkan apa-apa saja yang dilakukan para pekerja
dengan efektif atau tidak efektif. Disini yang menjadi kunci adalah
perilaku yang sifatnya khusus, dan bukan sifat-sifat personal yang samar,
melainkan yang disebutkan. Sebuah daftar keadaan kritis memuat
serangkaian contoh-contoh, dimana dengan daftar ini para pekerja dapat
meliahat perilaku-perialku yang diharapkan dan perilaku-perilaku yang
membutuhkan penegembangan.
c. Grafik skala penilaian yaitu, salah satu metode tertua dan terpopuler untuk
penilaian adalah dengan menggunakan grafik skala penilaian. Di dalam
metode ini, dicatat faktor-faktor kinerja, seperti kualitas dan kuantitas
kerja, tingkat pengetahuan,kerja sama, loyalitas, kehadiran, kejujuran dan
inisiatif. Selanjutnya, si penilai memeriksa daftar tersebut dan menilai
setiap faktor sesuai dengan skala peningkatan. Skala-skala tersebut
menghasilkan spesifikasi berdasarkan lima poin, sehingga sebuah faktor
seperti pengetahuan kerja bisa dinilai 1 hingga 5.
d. Skala peningkatan perilaku yaitu, skala peningkatan perilaku telah
dianggap sebagai pemikiran yang hebat pada tahun-tahun terakhir ini.
Skala ini mengkombinasikan elemen penting dari metode keadaan kritis
dengan metode pendekatan grafik skala penilaian
e. Skala peningkatan perilaku yaitu, menentukan dengan pasti, bersifat dapat
diamati, dan dapat mengukur perilaku kerja. Contoh perilaku di dalam
bekerja dan dimensi kinerja ditemukan dengan meminta para peserta untuk
memberiksan ilustrasi spesifik tentang efektif atau tidak efektifnya sebuah
perilaku berdasarkan dimensi kinerja. Contoh-contoh perilaku tersebut
selanjutnya diterjamahkan ke dalam sebuah perangkat dimensi kerja,
setiap dimensi memiliki bermacam-macam tingkat kinerja. Hasil dari
proses ini merupakan deskripsi perilaku, seperti antisipasi perencanaan,
pelaksanaan, pemecahan masalah, menjalankan perintah yang mendesak
dan penanganan situasi darurat.
f. Perbandingan multipersonal yaitu, metode perbandingan multipersonal
mengevaluasi satu kinerja individu dengan membandingkannya dengan
individu atau individu- individu lainnya. Cara ini bersifat relatif, bukan
sebagai alat pengukur yang absolut. Tiga pembanding yang sangat populer
adalah peringkat urutan kelompok, peringkat individu, dan perbandingan
berpasangan.

Penilaian Kinerja


Menurut Rivai dan Basri (2005) penilaian kinerja merupakan kajian
sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal
yang dikaitkan dengan standar kinerja yang yang telah ditentukan oleh
perusahaan. Dessler (2008) berpendapat bahwa penilaian kinerja adalah
mengevaluasi dari seorang karyawan baik saat ini maupun dimasa lalu
dihubungkan dengan standar kinerja dari karyawan tersebut. Hasil penilaian
kinerja dapat menunjukkan apakah SDM telah memenuhi tuntutan yang
dikehendaki perusahaan, baik dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitas.

Dimensi dan Indikator-indikator Kinerja karyawan


Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu ada 6
Bernadin dan Russel (2003), yaitu :
a. Kualitas, kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap
keterampilan dan kemampuan karyawan.
b. Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah
seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan
c. Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal
waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output
serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
d. Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi
(tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud
menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
e. Kemandirian merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan
dapat menjalakan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dari
orang lain atau pengawas.
f. Komitmen kerja merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai
komitmen kerja dengan instansi dan tangung jawab karyawan terhadap
kantor.

Pengertian Kinerja


Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai
bentuk aktivitas. Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh manusia baik
secara alami atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi untuk
berperilaku tertentu tetapi perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat – saat
tertentu saja. Potensi untuk berperilaku tertentu itu disebut kemampuan,
sedangkan ekspresi dikenal sebagai kinerja (Brahmasari & Agus 2008).
Kinerja individu juga disebut dengan job perfomance, task
perfomance, work outcome. Kinerja (perfomance) dapat diartikan sebagai
kesuksesan didalam melaksanakan suatu pekerjaan. Arti lain job perfomance
adalah Successful role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan- perbuatannya Cash and Fischer, Robert, Baron and Greenberg, Mair, Lawler
and Porter (dalam Irien, 2014). Pada umumnya kinerja dapat diartikan
sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Arti lain
Job Perfomance adalah Successful role achievement yang diperoleh
seseorang dari perbuatan-perbuatannya. Kedua batasan pengertian tersebut
menunjukkan bahwa yang dimaksud Job Perfomance adalah hasil yang
dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang
bersangkutan.
Tika (2006), mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang
dapat dicapai seseorang atas sekelompok orang dalam rangka penyampaian
tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Kinerja disini merupakan
hasil – hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam
suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk pencapaian
tujuan organisasi dalam waktu tertentu.
Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai
dari pekerjaan tersebut. Kinerja juga merupakan apa yang diharapkan dan
bagaimana cara mengerjakannya. Selanjutnya kinerja adalah hasil karya yang
dapat dicapai dari seseorang atau sekelompok dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing- masing dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi atau instansi yang bersangkutan secara ilegal,
tidak melanggar hukum seseuai dengan moral maupun etika Prawirasentoso
(dalam Irien, 2014).

Indikator Kinerja Karyawan


Dikembangkan oleh J. Richard Hackman dan Gred Oldman, model
karakteristik pekerjaan (job characteristic model) mengatakan bahwa kita dapat
menggambarkan suatu pekerjaan dalam bentuk lima dimensi utama pekerjaan
yaitu (Robbins dan Judge, 2015:155-156) :

  1. Keahlian yang bervariasi adalah kondisi yang mana suatu pekerjaan
    memerlukan aktivitas berbeda yang bervariasi sehingga pekerja dapat
    menggunakan keahlian dan bakat;
  2. Identitas tugas adalah keadaan di mana suatu pekerjaan memerlukan
    penyelesaian secara keseluruhan dan dapat mengindentifikasikan hasil kerja;
  3. Signifikansi tugas adalah di mana suatu pekerjaan memengaruhi kehidupan
    atau pekerjaan orang lain;
  4. Kemandirian adalah keadaan di mana suatu pekerjaan memberikan kebebasan
    yang cukup besar dan keleluasan kepada individu dalam menjadwalkan
    pekerjaan dan dalam menetapkan prosedur yang akan digunakan untuk
    melaksanakannya;
  5. Umpan balik adalah keadaan di mana pelaksanaan aktivitas kerja
    menghasilkan informasi secara langsung dan jelas tentang kinerja anda
    sendiri.

Pengertian Kinerja Karyawan


Pengertian kinerja menurut Rivai, dkk (2015 : 141) adalah hasil atau
tingkatan keberhasilan seseorang secara keseluruhan selam periode tertentu dalam
melaksanakan tugas dibandingkan dengan standar hasil kerja, target atau sasaran
atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu serta telah disepakati bersama.
Kinerja juga tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan kepuasan kerja
dan kompensasi, dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan dan sifat-sifat
individu. Dengan itu kinerja ditentukan oleh kemampuan, keinginan dan
lingkungan. Oleh karena itu agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus
mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui
pekerjaannya serta dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan
kemampuan.
Pengertian kinerja adalah sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dapat dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2017:67).
Sementara menurut Soedjono, (2013 : 93) kinerja karyawan adalah
prestasi kerja yakni perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata dengan
standar kerja yang ditetapkan dalam melaksanakan tugasnya sebagai karyawan.
Selanjutnya Robbins, (2015 : 88) mengistilahkan kinerja (performance)
dengan prestasi kerja yaitu proses melalui mana organisasi mengevaluasi atau
menilai prestasi kerja karyawan.
Menurut Rivai, dkk (2015 : 309) Kinerja seseorang merupakan
kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai hasil kerja,
dan juga merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai
prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan dengan peranan dalam
pemerintahan.
Sedangkan Hasibuan (2015 : 34) menyatakan bahwa Kinerja (prestasi
kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugastugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman
dan kesungguhan serta waktu

Pengertian Budaya Kerja


Menurut Triguno dalam Ruliyansa (2018 : 83) Budaya kerja merupakan
hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan perusahaan atau organisasi dalam
membangun prestasi dan produktivitas kerja para pegawai sehingga
mengarahkan perusahaan kepada keberhasilan yang dilakukan dengan kesadaran
masing-masing individu, sedangkan kesadaran adalah merupakan sikap
seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas
dan tanggung jawabnya.
Budaya kerja adalah Cara kerja sehari-hari yang bermutu dan selalu
mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi motivasi, memberi
inspirasi, untuk senantiasa bekerja lebih baik, dan memuaskan bagi masyarakat
yang dilayani (Ruliyansa, 2018 : 83) .
Sedangkan menurut Sulaksono, (2010 ) budaya kerja adalah “ The way
we are doing here” artinya sikap dan perilaku pegawai dalam melaksanakan
tugas.
Selanjutnya Robbins (2015:721) budaya kerja mengarah kepada kesatuan
sistem makna bersama yang dianut oleh anggota organisasi yang membedakan
organisasi itu dengan organisasi yang lain. Budaya kerja adalah perwujudan dari
kehidupan yang dijumpai di tempat kerja. Secara lebih khusus, budaya kerja
merupakan suatu sistem makna yang terkait dengan kerja, pekerjaan dan interaksi
kerja yang disepakati bersama dan digunakan di dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya kerja yang terdapat dalam suatu organisasi adalah tempat mengasah
anggota organisasi berkarya di organisasi tersebut. Kualitas dari karakter budaya
kerja inilah yang akan membentuk besar kecilnya kemauan, hasrat, dan gairah
anggota organisasi untuk memunculkan dan memanfaatkan potensi insani mereka
untuk dikontribusikan pada proses penciptaan kinerja organisasi (Hartanto, 2009).
Menurut Moeljono (2005: 90) budaya mempunyai suatu dampak yang
sangat kuat dan semakin besar pada prestasi kerja organisasi, yaitu:

  1. Budaya korporat dapat mempunyai dampak signifikan pada prestasi kerja
    ekonomi organisasi dalam jangka panjang;
  2. Budaya korporat bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam
    menentukan sukses atau kegagalan suatu organisasi dalam masa mendatang;
  3. Budaya korporat yang menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam
    jangka panjang adalah tidak jarang, dan budaya itu berkembang dengan
    mudah, bahkan dalam organisasi yang penuh dengan orang yang bijaksana
    dan pandai;
  4. Walaupun sulit diubah, budaya korporat dapat dibuat untuk lebih
    meningkatkan prestasi.

Indikator Kinerja


Menurut Mangkunegara (2017: 75) indikator yang dapat mengukur variabel
kinerja adalah sebagai berikut:

  1. Kuantitas Kerja (Quantity Of Work)
    Kuantitas kerja menunjukkan jumlah pekerjaan yang dihasilkan individu
    atau kelompok sebagai persyaratan yang menjadi standar pekerjaan. Setiap
    pekerjaan memiliki persyaratan yang berbeda sehingga menuntut pegawai
    harus memenuhi persyaratan tersebut jika pengalaman keterampilan,
    maupun kemampuan yang sesuai.
  2. Kualitas Kerja (Quality Of Work)
    Kualitas kerja sesuai dengan kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi
    yang berkembang peat, melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan
    yang sistematis, kualitas pekerjaan yang dicapai berdasarkan persyaratan
    penerapan dan kesiapan yang tinggi pada gilirannya akan menghasilkan
    penghargaan, kemajuan, dan pengembangan organisasi.
  3. Ketepatan Waktu (Pompteness)
    Apakah waktu penyelesaian pekerjaan terkait dengan target waktu yang
    direncanakan. Segala upaya dilakukan untuk menyelesaikan sesuai rencana
    agar tidak mengganggu tugas-tugas lainnya.
  4. Inisiatif (Initiative)
    Ketika memenuhi tugas dan tanggung jawab, setiap individu harus
    melakukan sesuatu secara sadar. Bawahan atau pegawai dapat melakukan
    tugas tanpa harus tergantung pada atasan sepanjang waktu.
  5. Kemampuan Kerjasama (Cooperative Capability)
    Tidak semua pekerjaan dapat dilakukan oleh suatu pegawai. Beberapa jenis
    pekerjaan mungkin perlu dilakukan oleh dua atau lebih pegawai, kerjasama
    antar pegawai sangat diperlukan. Kinerja pegawai dapat dinilai dari
    kemampuan bekerjasama dengan rekan kerja lainnya.

Tujuan Kinerja


Menurut Suparyadi (2016: 304) tujuan kinerja karyawan diantaranya yaitu
sebagai berikut:

  1. Tujuan Organisasi
    a. Mendukung strategi
    Setiap organisasi dalam upayanya dapat mencapai tujuan organisasi
    yang telah ditetapkan, biasanya menggunakan strategi tertentu.
    Misalnya, organisasi atau perusahaan menetapkan strategi kepuasan
    pelanggan, yang mana organisasi akan berupaya untuk memenuhi
    kebutuhan dan keinginan pelanggan baik tentang kualitas produk
    maupun layanan.
    b. Pelatihan dan pengembangan karyawan
    Evaluasi yang dilakukan terhadap kinerja akan menghasilkan
    kesimpulan apakah kinerja karyawan saat ini telah sesuai dengan apa
    yang diharapkan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
    atau belum.
    c. Administratif
    Penilaian kinerja karyawan akan mengasilkan kesimpulan tentang
    prestasi yang dicapai oleh karyawan dan potensi manajerial mereka.
    Karyawan yang berprestasi perlu mendapatkan penghargaan agar lebih
    termotivasi dalam melaksanakan pekerjaannya. Misalnya memberikan
    bonus atau promosi jabatan bagi mereka yang memiliki potensi untuk
    dapat lebih berkembang.
  2. Tujuan Individu Karyawan
    a. Karir yang tinggi
    Setiap individu pada umumnya mengharapkan untuk dapat menduduki
    jabatan yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Dengan posisi jabatan
    yang lebih tinggi, maka tidak hanya memiliki peluang untuk terus
    mengembangkan kemampuannya, tetapi juga memiliki wewenang dan
    tanggungjawab besar sehingga dapat terlihat dalam pengambilan
    keputusan strategi bagi organisasi.
    b. Hidup sejahtera
    Dengan posisi jabatan yang semakin tinggi, karyawan akan memperoleh
    kompensasi yang lebih baik dari pada sebelumnya sehingga hal ini dapat
    meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.
    c. Status
    Dengan status sosial yang tinggi, ia akan menjadi seorang yang
    dihormati, disegani, dan dijadikan tokoh panutan oleh komunitasnya.

Karakteristik Kinerja


Menurut Mangkunegara (2017: 60) karakteristik orang yang mempunyai
kinerja tinggi adalah sebagai berikut:

  1. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi.
  2. Berani mengambil dan menanggung resiko yang dihadapi.
  3. Memiliki tujuan yang realistis.
  4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk
    merealisasikan tujuannya.
  5. Memanfaatkan umpan balik (feed back) yang konkrit dalam seluruh
    kegiatan kerja dilakukannya.
  6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah
    diprogramkan.

Pengertian Kinerja


Menurut Priansa (2016: 269) kinerja dalam bahasa inggris disebut dengan
job performance atau actual performance atau level of performance, yang
merupakan tingkat keberhasilan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Kinerja bukan merupakan karakteristik individu, seperti bakat, atau
kemampuan, namun merupakan perwujudan dari bakat atau kemampuan dalam
bentuk karya nyata. Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai pegawai dalam
mengemban tugas dan pekerjaan yang berasal dari organisasi.
Menurut Mangkunegara (2017: 67) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Sulaksono (2015: 91) kinerja merupakan perbandingan hasil yang
diraih dan peran serta karyawan per satuan waktu umumnya per jam. Kinerja
juga diartikan selaku ungkapan seperti output, efisiensi dan efektivitas yang
berhubungan dengan produktivitas.

Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan merupakan hal yang penting bagi organisasi maupun
perusahaan. Karena setiap perusahaan mengharapkan karyawannya
menunjukkan kinerja yang optimal dalam menunjang tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan perusahaan. Sehingga untuk tercapainya tujuan maka
perusahaan harus memperhatikan kinerja karyawan.

Indikator Beban Kerja


Menurut Koesomowidjojo (2017: 33) ada beberapa indikator beban kerja
yaitu sebagai berikut:

  1. Kondisi Pekerjaan
    Kondisi pekerjaan yang dimaksud adalah bagaimana seorang karyawan
    memahami pekerjaan tersebut dengan baik. Misalnya, karyawan yang
    berada pada divisi produksi tentunya akan berhubungan dengan mesinmesin produksi. Sejauhmana kemampuan dan pemahaman karyawan dalam
    penguasaan mesin-mesin produksi untuk membantu mencapai target
    produksi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perusahaan hendaknya
    telah memiliki dan mensosialisasikan SOP (Standartd Operating
    Procedure) kepada semua unsur di dalam lembaga sehingga karyawan yang
    bekerja di dalamnya dapat:
    a. Mudah mengoperasikan pekerjaan yang telah didelegasikan;
    b. Meminimalisir kesalahan dalam melaksanakan tahapan pekerjaan;
    c. Meminimalisir kesalahan kerja;
    d. Mengurangi beban kerja karyawan dan meningkatkan comparability,
    credibility, and defensibility;
    e. Memudahkan evaluasi atas setiap proses kerja yang telah ditetapkan
    oleh perusahaan;
    f. Memudahkan karyawan dalam mengambil keputusan apabila terdapat
    perubahan dalam prosedur kerja sehingga kualitas kerja yang ditetapkan
    akan jauh lebih mudah dicapai;
    g. Memudahkan karyawan untuk memiliki komunikasi yang baik dengan
    atasan maupun rekan kerja.
  2. Penggunaan waktu
    Waktu kerja sesuai dengan SOP tentunya akan meminimalisir beban kerja
    karyawan. Namun apabila suatu organisasi tidak memiliki SOP atau tidak
    konsisten dalam melaksanakan SOP, penggunaan waktu kerja yang
    diberlakukan karyawan cenderung berlebihan. Beberapa indikator yang
    perlu ditentukan dalam SOP yaitu kedisiplinan waktu, pembagian waktu,
    efisiensi waktu, dan efektivitas waktu.
  3. Target yang harus dicapai
    Target kerja yang ditetapkan perusahaan tentunya secara langsung akan
    mempengaruhi beban kerja yang diterima oleh karyawan. Semakin sempit
    waktu yang disediakan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu akan
    semakin besar beban kerja yang diterima oleh karyawan. Sehingga sangat
    dibutuhkan penetapan waktu yang seimbang dalam menyelesaikan banyak
    pekerjaan tertentu dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang jumlahnya
    berbeda satu sama lain.
  4. Lingkungan kerja
    Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja
    yang mempengaruhi dirinya dalam menjalakan tugas.

Manfaat Beban Kerja


Suatu organisasi melakukan analisis beban kerja untuk dapat memperbaiki
kualitas dari sumber daya manusia yang diberdayakan. Adapun manfaat analisis
beban kerja menurut Koesomowidjojo (2017: 91) sebagai berikut:

  1. Penentuan jumlah kebutuhan karyawan.
    Melakukan penentuan jumlah kebutuhan karyawan ditujukan agar
    organisasi memiliki dasar untuk melakukan penambahan (rekrutmen) atau
    pengurangan (PHK) tenaga kerja pada suatu unit kerja. Dengan mengetahui
    jumlah tenaga kerja optimal dan komposisi yang dibutuhkan pada unit kerja
    yang yang berbeda, diharapkan akan meningkatkan efektivitas sumber daya
    manusia.
  2. Melakukan proses yang terorganisir dalam melakukan penambahan atau
    pengurangan karyawan.
    Proses yang terorganisir dalam melakukan penambahan atau pengurangan
    karyawan diharapkan akan menempatkan karyawan sesuai kualifikasi dan
    pendidikannya. Karyawan yang memiliki kualifikasi baik dan berprestasi
    tentunya akan ditempatkan pada posisi-posisi strategis dalam organisasi,
    mendapatkan fasilitas yang jauh lebih baik dalam organisasi. Namun, bagi
    karyawan yang memiliki kualifikasi rendah, organisasi tentunya akan
    mengarahkan karyawan tersebut mengikuti program pelatihan dan
    pengembangan atau dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) apabila
    tidak dapat memperbaiki kinerjanya.
  3. Melakukan penyempurnaan tugas dalam jabatan-jabatan yang ada pada
    setiap organisasi.
    Untuk mencapai suatu kinerja organisasi yang unggul, penempatan sumber
    daya manusia akan disesuaikan dengan kompetensinya. Jabatan-jabatan
    strategis yang dipegang oleh sumber daya manusia yang mumpuni akan ikut
    meningkatkan produktivitas organisasi.
  4. Melakukan perhitungan beban kerja karyawan dalam suatu periode tertentu.
    Dengan melakukan perhitungan beban kerja karyawan dalam satu periode
    tertentu akan diketahui apakah dalam suatu unit kerja dibutuhkan tambahan
    tenaga kerja atau bahkan pengurangan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja
    yang sedikit tentunya akan menghambat tumbuh kembang perusahaan.
    demikian pula apabila jumlah tenaga kerja berlebihan, efektivitas kerja
    dalam suatu unit kerja/organisasi tentunya akan berkurang.
  5. Penyempurnaan SOP (Standar Operating Procedure).
    Penyempurnaan SOP akan dilakukan apabila pada beberapa unit kerja atau
    mendatangkan dampak kerja yang cukup signifikan, baik kepada karyawan
    sebagai individu, unit kerja sebagai kelompok maupun perusahaan sebagai
    organisasi dimana karyawan tersebut bekerja.
  6. Penyempurnaan struktur organisasi.
    Penyempurnaan ini tentunya dengan tujuan agar unsur-unsur di dalam
    organisasi yang mengalami perubahan utamanya karyawan yang bekerja di
    dalamnya dapat bekerja sesuai kompetensi yang dimilikinya. Ketika analisis
    beban kerja dilakukan, akan diketahui pada bagian mana sajakah yang
    memerlukan perbaikan akibat dari terlalu tingginya atau terlalu rendahnya
    beban kerja karyawan pada bagian-bagian dalam organisasi.
  7. Pengukuran waktu kerja dan melakukan penentuan standar waktu dalam
    menyelesaikan tugas.
    Dalam menjalankan operasional organisasi, penentuan standar waktu dalam
    menyelesaikan tugas akan menjadi salah satu hal yang mutlak dijadikan
    tolak ukur apakah suatu pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik atau
    tidak. Minimnya penyelesaian pekerjaan yang sesuai dengan target waktu
    akan berimbas pada produktivitas organisasi. Namun, pada penetapan
    standar waktu kerja tentunya akan disesuaikan dengan kompetensi
    karyawan.
  8. Penentuan jumlah kebutuhan pelatihan (training needs) bagi karyawan.
    Dengan adanya analisis beban kerja, organisasi dapat menentukan jumlah
    kebutuhan pelatihan bagi karyawan. Penentuan jumlah kebutuhan pelatihan
    bagi karyawan dengan cara mengidentifikasi waktu normal tiap karyawan
    nilainya lebih besar dibandingkan dengan waktu standar yang digunakan
    untuk melakukan suatu pekerjaan/aktivitas. Dengan mengimplementasikan
    analisis beban kerja, organisasi/perusahaan akan dapat melakukan prediksi,
    menetapkan perhitungan komposisi jumlah karyawan, komposisi
    kualifikasi karyawan dan komposisi pekerjaan.

Jenis Beban Kerja


Menurut Vanchapo (2020: 4) beban kerja meliputi dua jenis yaitu sebagai
berikut:

  1. Beban kerja kuantitatif
    Beban berlebihan secara fisik maupun mental, yaitu individu harus
    melakukan banyak hal dalam pekerjaannya dan dapat memungkinkan
    menjadi sumber stress pekerjaan. Unsur lain yang menimbulkan beban
    berlebih kuantitatif ini adalah desakan waktu dan desakan target.
  2. Beban kerja kualitatif
    Beban kerja kualitatif merupakan tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi dari
    batas kemampuan dan teknis individu. Pada batasan tertentu, beban kerja
    tersebut menyebabkan pekerjaan tidak produktif dan juga kelelahan mental
    yang tercermin dari reaksi emosional.

Aspek Beban Kerja


Menurut Koesomowidjojo (2017: 36) aspek beban kerja dibagi menjadi 3
yaitu, diantaranya:

  1. Beban Kerja Fisik
    Beban kerja dipandang dari aspek fisik adalah perhitungan beban kerja yang
    mendasarkan kriteria-kriteria fisik manusia. Pada beban kerja fisik fsiologis,
    organisasi akan mengadakan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh
    kepada karyawan, yaitu pada sistem faal tubuh, denyut jantung, pernapasan,
    serta fungsi alat indera pada tubuh karyawan. Kesehatan karyawan tentunya
    menjadi hal yang akan menjadi pertimbangan penting bagi organisasi untuk
    melanjutkan atau menghentikan kerja sama. Adapun beban kerja fisik
    biomekanika, organisasi akan mengadakan pemeriksaan kesehatan
    utamanya pada daya kinetik tubuh seperti kemampuan tubuh karyawan
    menjangkau alat-alat pedukung kerja.
  2. Beban Kerja Psikis
    Beban kerja dipandang dari aspek psikis adalah perhitungan beban kerja
    yang mempertimbangkan aspek mental karyawan yang berpengaruh
    terhadap kuantitas dan kualitas kerja. Pada penilaian beban kerja psikis,
    organisasi akan menilai bagaimana tanggung jawab, kewaspadaan
    karyawan, bahkan bagaimana seseorang karyawan berinteraksi dengan
    lingkungan kerjanya.
  3. Pemanfaatan Waktu
    Beban kerja dipandang dari aspek pemanfaatan waktu adalah bagaimana
    karyawan memanfaatkan waktu dalam bekerja.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja


Untuk menganalisis beban kerja suatu lembaga perusahaan tentunya
memiliki harapan agar beban yang diampu seorang karyawan tidak
memberatkan dan sesuai dengan kemampuan/kompetensi seorang karyawan
pada umumnya. Untuk itu, perusahaan hendaknya memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi beban kerja. Adapun menurut Koesomowidjojo (2017: 24)
faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja baik internal maupun eksternal
adalah sebagai berikut:

  1. Faktor Internal
    Faktor internal yang mempengaruhi beban kerja adalah faktor yang berasal
    dari dalam tubuh akibat dari reaksi beban kerja eksternal berupa jenis kelamin,
    usia, postur tubuh, status kesehatan (faktor somatis) dan motivasi, kepuasan,
    keinginan atau persepsi (faktor psikis). Jenis kelamin, usia, postur tubuh, dan
    status kesehatan adalah hal yang dipertimbangkan oleh perusahaan atau
    lembaga dalam memberikan tanggung jawab suatu pekerjaan.
  2. Faktor Eksternal
    Faktor eksternal dalam dunia kerja juga akan mempengaruhi beban kerja
    karyawan. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor dari luar tubuh
    karyawan seperti:
    a. Lingkungan kerja
    Lingkungan kerja yang berhubungan dengan kimiawi, psikologis,
    biologis dan lingkungan kerja secara fisik. Lingkungan kerja yang
    nyaman tentunya akan berpengaruh terhadap kenyamanan karyawan
    menyelesaikan pekerjaannya.
    b. Tugas-tugas fisik
    Tugas-tugas yang dimaksud adalah hal-hal yang berhubungan dengan
    alat-alat dan sarana bantu dalam menyelesaikan pekerjaan, tanggung
    jawab pekerjaan, bahkan tingkat kesulitan yang dihadapi ketika
    menyelesaikan pekerjaan.
    c. Organisasi kerja
    Seorang karyawan tentunya membutuhkan jadwal kerja yang teratur
    dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga lamanya waktu bekerja,
    shift kerja, istirahat, perencanaan karier hingga penggajian atau
    pengupahan akan turut memberikan kontribusi terhadap beban kerja
    yang dirasakan oleh masing-masing karyawan.