Jenis-jenis Status Kepegawaian


Bila merujuk pada UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
outsourcing (alih daya) dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang
diatur pada pasal 64, 65 dan 66. Menurut UU no 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, ada 2 macam status karyawan yaitu :

  1. Karyawan tetap yang diikat oleh perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
  2. Karyawan kontrak yang diikat oleh perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
    Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003
    tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
    pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan
    kewajiban para pihak. Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang
    dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:
    a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
    b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
    c. Jabatan atau jenis pekerjaan
    d. Tempat pekerjaan
    e. Besarnya upah dan cara pembayarannya
    f. Syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
    pekerja/buruh
    g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
    h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak
    dalam perjanjian kerja.
    Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau
    tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab
    Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
    a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
    b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
    c. Suatu pokok persoalan tertentu
    d. Suatu sebab yang tidak terlarang
    Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga
    menegaskan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
    a. Kesepakatan kedua belah pihak
    b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
    c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
    d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
    kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
    Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
    No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja
    dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
    untuk pekerja tertentu. Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang menjadi pihak
    dalam perjanjian adalah pekerja secara pribadi dan langsung dengan pengusaha.
    Isi dari PKWT bersifat mengatur hubungan individual antara pekerja
    dengan perusahaan/pengusaha, contohnya : kedudukan atau jabatan, gaji/upah
    pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang
    bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi. Jenis dan sifat pekerjaan yang
    diperbolehkan menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah ;
  3. Pekerjaan yang selesai sekali atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya
    paling lama tiga tahun
    a. Apabila pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjian
    maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut putus demi hukum pada
    saat selesainya pekerjaan.
    b. Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu harus mencantumkan batasan
    suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
    c. Apabila pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan
    pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
    d. Pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dilakukan setelah masa
    tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya Perjanjian Kerja. Selama
    tenggang waktu 30 hari tersebut, tidak ada hubungan kerja antara pekerja
    dan perusahaan/pengusaha.
  4. Pekerjaan Musiman
    a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ini hanya dapat dilakukan untuk satu
    jenis pekerjaan pada musim tertentu.
    b. Pekerjaan – pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan/
    target tertentu dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
    sebagai pekerjaan musiman.
    c. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan musiman tidak dapat
    dilakukan pembaruan.
  5. Pekerjaan yang terkait dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
    tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
    a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk jenis pekerjaan ini hanya dapat
    dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang
    untuk satu kali paling lama 1 tahun.
    b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan ini tidak dapat dilakukan
    pembaruan.
    c. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh diberlakukan bagi pekerja
    yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar perkerjaan yang
    biasa dilakukan perusahaan.
  6. Pekerjaan harian/ Pekerja lepas
    a. Perjanjian Kerja Waktu Terntu dapat dilakukan untuk pekerjaan –
    pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume
    pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.
    b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerja harian lepas dilakukan
    dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
    c. Apabila pekerja harian bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan
    berturut-turut maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berubah menjadi
    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
    d. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja harian/lepas wajib membuat
    perjanjian kerja secara tertulis. e. Perjanjian Kerja tersebut harus memuat sekurang – kurangnya :
    Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja, nama/alamat pekerja, jenis
    pekerjaan yang dilakukan dan bersarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
    PKWT wajib dibuat secara tertulis dan didaftarkan di instansi
    ketenagakerjaan terkait. Apabila dibuat secara lisan, akibat hukumnya adalah
    kontrak kerja tersebut menjadi PKWT. PKWT dapat diadakan paling lama 2 (dua)
    tahun. Apabila pengusaha ingin melakukan perpanjangan kontrak, maka
    pengusaha wajib memberitahukan maksud perpanjangan tersebut secara tertulis
    kepada pekerja paling lama 7 (tujuh) hari sebelum kontrak berakhir.
    Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 4, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
    (PKWT) hanya boleh dilakukan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
    diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
    Pengusaha/perusahaan yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, harus
    memberitahukan maksudnya untuk memperpanjang PKWT secara tertulis kepada
    pekerja yang bersangkutan, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir.
    Jika pengusaha tidak memberitahukan perpanjangan PKWT ini dalam wakktu 7
    (tujuh) hari maka perjanjian kerjanya batal demi hukum dan menjadi Perjanjian
    Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), seperti yang diatur dalam UU No.13/2003
    pasal 59 ayat 5.
    Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 3 ayat 2 Keputusan Menteri Tenaga
    Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004
    Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, bahwa PKWT
    hanya dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. PKWT yang dilakukan melebihi
    waktu 3 (tiga) tahun, maka perjanjian kerjanya batal demi hukum dan menjadi
    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan kata lain karyawan
    tersebut menjadi karyawan permanen – UU No.13/2003 pasal 59 ayat 7. Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 6, Pembaruan perjanjian kerja
    dapat dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Pembaharuan ini
    dapat diadakan setelah lebih dari 30 hari sejak berakhirnya PKWT . Misalnya,
    apabila pekerjaan belum dapat diselesaikan maka dapat diadakan pembaruan
    perjanjian. Apabila PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 hari sejak
    berakhirnya PKWT, maka PKWT dapat berubah menjadi PKWTT.
    Pembaruan PKWT ini dilakukan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan
    selesainya pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu maka pekerjaan
    tersebut belum dapat diselesaikan – pasal 3 ayat 5 Kepmenakertrans Nomor KEP.
    100/MEN/VI/2004. Outsourcing diartikan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Perusahaan
    pemberi kerja memborongkan sebagian dari pekerjaan kepada perusahaan
    pemborong atau perusahaan penyedia tenaga kerja melalui perjanjian
    pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja. Hubungan kerja antara
    pekerja outsourcing dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyediaan
    jasa pekerja dapat dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian
    Kerja Waktu Tidak Tertentu. Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini.
    Baik pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan maupun pekerja
    dari perusahaan pemborong outsourcing akan bekerja di lokasi kerja perusahaan
    tersebut. Status hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu apakah pekerja
    yang dipekerjakan langsung atau pekerja yang melalui outsourcing boleh saja
    dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang – Undang No. 13
    tahun 2003.
    Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara saudara -selaku
    pekerja/buruh- dengan “perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam UU No.
    13.2003 pasal 66 ayat 2 huruf b, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam
    hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, adalah
    PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu
    yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam
    waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan
    ditanda-tangani oleh kedua belah pihak.
    Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam pasal
    59 ayat 2 UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT),
    tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud
    dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni:
    a. Pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak
    dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
    produksi dalan satu perusahaan, atau
    b. Pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan pasal 59
    ayat 2 UU No. 13/2003).
    Dengan perkataan lain, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus- menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu namun bukan merupakan
    bagian dari suatu proses produksi pada satu perusahaan, dalam arti hanya
    merupakan kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan
    proses produksi atau kegiatan pokok (core business) sebagaimana disebutkan
    dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan
    yang berisfat tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT.
    Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja
    dapat dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk
    “perusahaan outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK
    Register Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT harus memuat prinsip
    pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja atau Transfer of Undertaking
    Protection Employment (TUPE) yang mengamanatkan:
  7. Pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk
    berlanjutnya hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru)
    yang objek kerja-nya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan
    outsourcing. 2. Masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuat
    experience letter
  8. Experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar
    penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.
    Atas dasar Putusan MK tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 29 ayat
    (2) dan ayat (3) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, khususnya PKWT
    pada perusahaan penyedia jasa pekerja, bahwa PKWT-nya, sekurang-kurangnya
    memuat:
    a. Jaminan kelangsungan bekerja;
    b. Jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan
    perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
    c. Jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan
    penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah;
    Demikian juga memuat hak-hak lainnya, seperti :
    a. Hak atas cuti (tahunan) apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
    b. Hak atas jamsostek;
    c. Tunjangan Hari Raya (THR),
    30
    d. Istirahat mingguan;
    e. Hak atas ganti-rugi (kompensasi diakhirinya hubungan kerja PKWT);
    f. Penyesuaian upah berdasarkan -akumulasi- masa kerja;
    g. Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
    perjanjian kerja (PKWT) sebelumnya.
    Dalam Undang – Undang No. 13 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 menyatakan
    bahwa “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
    menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”. Meski para pihak adalah orang
    asing, hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut adalah Hukum
    Ketenagakerjaan Indonesia, oleh karena itu PKWT harus dibuat dalam bahasa
    Indonesia, dengan terjemahan ke Bahasa Inggris. Segala ketentuan yang mengikat
    secara hukum adalah ketentuan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa
    Inggris dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut hanyalah merupakan
    terjemahan, agar para pihak mengerti isinya.
    Penggunaan tenaga kerja asing pada representative office juga wajib
    tunduk pada peraturan ketenagakerjaan Indonesia. Oleh karena itu, apabila
    ketentuan ketenagakerjaan kita mengatur mengenai suatu hak bagi tenaga kerja
    asing yang wajib dipatuhi oleh pemberi kerja, maka hak-hak tersebut wajib
    diberikan pada tenaga kerja asing tersebut. Contohnya, mengenai jaminan sosial
    tenaga kerja. Seorang tenaga kerja asing juga berhak untuk memperoleh
    jamsostek, seperti halnya pekerja WNI

Pengertian Budaya Kerja


Budaya kerja adalah suatu falsafah didasari pandangan
hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga
pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin
dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta
tindakan yang terwujud sebagai bekerja.
Budaya kerja merupakan pernyataan filosofis, dapat
difungsikan sebagai tuntutan yang mengikat pada karyawan karena
dapat diformulasikan secara formal dalam berbagai peraturan dan
ketentuan perusahaan. Budaya kerja merupakan sekumpulan pola
perilaku yang melekat secara keseluruhan pada diri setiap individu
dalam sebuah organisasi.
Menurut Triguno dalam Ruliyansa (2018:83) Budaya kerja
merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan perusahaan
atau organisasi dalam membangun prestasi dan produktivitas kerja
para pegawai sehingga mengarahkan perusahaan kepada
keberhasilan yang dilakukan dengan kesadaran masing-masing
individu, sedangkan kesadaran adalah merupakan sikap seseorang
yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas
dan tanggung jawabnya.
Budaya kerja adalah Cara kerja sehari-hari yang bermutu
dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga
menjadi motivasi, memberi inspirasi, untuk senantiasa bekerja
lebih baik dan memuaskan bagi masyarakat yang dilayani
(Ruliyansa, 2018: 83)
Menurut Sulaksono (2010) budaya kerja adalah “the way
we are doing here” artinya sikap dan perilaku pegawai dalam
melaksanakan tugas”.
Menurut Robbins (2015:721) budaya kerja mengarah
kepada kesatuan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota
organisasi yang membedakan organisasi itu dengan yang lain.
Budaya kerja adalah perwuudan dari kehidupan yang dijumpai di
tempat kerja. Secara lebih khusus, budaya kerja merupakan suatu
sistem makna yang terkait dengan kerja, pekerjaan dan interaksi
kerja yang disepakati bersama dan digunakan di dalam kehidupan
sehari-hari. Budaya kerja yang terdapat dalam suatu organisasi
adalah tempat mengasah anggota organisasi berkarya di organisasi
tersebut. Kualitas dari karakter budaya kerja inilah yang akan
membentuk besar kecilnya kemauan, hasrat, dan gairah anggota
organisasi untuk memunculkan dan memanfaatkan potensi insani
mereka untuk dikontribusikan pada proses penciptaan kinerja
organisasi (Hartanto,2009).
Dari beberapa pengertian teori budaya kerja, dapat penulis
simpulkan bahwa budaya kerja dari karyawan dapat membantu
organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan, hal ini juga tentunya akan diasosiasikan dengan
kinerja dalam waktu yang panjang dan berkesinambungan.

Pengertian Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugasnya yang dibebankan kepadanya yang didasari atas
kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu, Hasibuan (2019:94).
Menurut Indrasari (2017:50), kinerja telah menjadi terminologi atau konsep penting
dalam berbagai pembahasan khususnya dalam mendorong keberhasilan organisasi
dan sumber daya manusia. Kinerja akan selalu menjadi isu actual dalam organisasi
karena apapun organisasinya kinerja merupakan kunci terhadap efektifitas
keberhasilan organisasi. Organisasi yang efektif atau berhasil akan ditopang oleh
sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Mangkunegara (2017:67),
menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dapat dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
tanggung jawan yang diberikan kepadanya. Kinerja karyawan merupakan hasil
kerja yang dicapai oleh individu atau sekelompok orang dalam suatu organisasi atau
perusahaan secara kualitas dan kuantitas pada periode tertentu yang merefleksikan
seberapa baik individu atau kelompok tersebut memenuhi persyaratan sebuah
pekerjaan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan,
Widyaningrum (2020:5).

 Jenis-Jenis Promosi Jabatan 


Terdapat beberapa jenis promosi jabatan menurut Hasibuan (2019:113),
yaitu:

  1. Promosi Tetap (Permanent Promotion)
    Promosi tetap adalah kenaikan jabatan pada karyawan yang bersifat
    permanent, artinya menurut ketentuan yang berlaku rutin, tetap serta tidak
    berubah lagi.
  2. Promosi Sementara (Temporary Promotion)
    Promosi sementara yaitu seseorang yang diangkat sementara atau diangkat
    untuk mengisi suatu keadaan kosong dalam keadaan apapun, Tetapi dengan
    anggapan bahwa jabatan itu telah diisi oleh suatu kekuasaan yang bertahan
    lama, maka kekuasaan peralihan itu akan diturunkan derajatnya kepada
    kedudukannya yang lalu.
  3. Promosi Kering (Dry Promotion)
    Promosi kering yaitu orang yang jabatan atau kedudukannya diperluas dan
    diikuti dengan perluasan beban kerja, keahlian dan kewajiban, tetapi tidak
    disertai perluasan upah atau kompensasi.

Fungsi Penghargaan


Menurut Handoko (2011:68), terdapat fungsi penghargaan adalah sebagai
berikut:

  1. Meningkatkan tekad untuk memotivasi diri agar memenuhi hasil.
  2. Memberikan symbol untuk pegawai yang mempunyai kompetensi lebih.
  3. Bersifat umum.

Pengertian Penghargaan


Menurut Handoko (2011:55), penghargaan merupakan sebagian cara
apresiasi usaha untuk memperoleh tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan
ketentuan jabatan digunakan suatu penegakan yang berkeseimbangan, yaitu suatu
upaya aktivitas perancangan, pengelolaan, penerapan, dan pemeliharaan tenaga
kerja berupaya mengerjakan tugas dengan tepat. Menurut Busro (2018:315), bentuk
pemberian penghargaan yang efektif adalah pemberian insentif dan tunjangan,
karena hasil yang baik segera diberi imbalan yang sesuai. Hal tersebut lebih efektif
dibandingkan menunggu sampai saat pemberian bonus di akhir tahun ketika semua
karyawan menerima.
Menurut Busro (2018:315), penghargaan merupakan perangsang atau
motivasi untuk meningkatkan kinerja yang dicapai seseorang pada umumnya
diwujudkan dalam bentuk finansial (insentif moneter) seperti pemberian insentif,
tunjangan, bonus dan komisi. Penghargaan juga dapat dipahami sebagai bentuk
hadiah yang diberikan kepada pegawai yang mampu mendapatkan prestasi tertentu
yang bermanfaat bagi perusahaan atau organisasi dalam bentuk finansial maupun
non finansial dalam rangka meningkatkan semangat, motivasi, komitmen pegawai
dan mampu memengaruhi pegawai lain untuk berbuat yang lebih baik lagi,
sehingga terjadi persaingan yang positif antara pegawai.
Pemberian penghargaan haruslah dihubungkan secara langsung dengan
tujuan pencapaian melalui cara yang sesederhana mungkin, sehingga karyawan
yang menerima segera dapat mengetahui berupa rupiah yang diperoleh dari
upayanya. Penghargaan tidak harus dalam bentuk uang tetapi juga dapat berupa
pujian, piagam, piala, tropi, fandel, lencana, bintang, tanda kehormatan, kenaikan
pangkat, pemberian jabatan yang lebih tinggi, promosi memimpin suatu area.

Indikator Perilaku Kewargaan Organisasi


Menurut Titisari (2019:7), OCB memiliki lima indikator, yaitu:

  1. Altruism (sikap menolong)
    Sikap membantu orang tertentu. Diantaranya adalah sikap mengambil alih
    pekerjaan rekan kerja serta menyelesaikan tugas karyawan yang tidak
    masuk.
  2. Conscientoiusness (taat pada aturan)
    Perilaku yang melebihi syarat minimun. Perilaku tersebut seperti ketaatan
    terhadap aturan, kehadiran tepat waktu.
  3. Sportsmanship (sikap sportif)
    Toleransi dengan tidak memprotes pada karyawan lain yang mengeluh,
    kecakapan menahan diri dari segala suatu yang dapat membuahkan keluhan
    dan tidak membesar-besarkan masalah di luar keseimbangannya.
  4. Civic virtue (kebajikan warganegara)
    Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi.
  5. Courtesy (kesopan-santunan)
    Dimana seseorang menghargai dan menutupi informasi atau kejadian
    penting serta perubahan yang terjadi dalam organisasi.

Manfaat Perilaku Kewargaan Organisasi


Menurut Podsakoff dalam Titisari (2019:10), terdapat manfaat OCB dalam
meningkatkan kinerja perusahaan, disimpulkan manfaat tersebut sebagai berikut:

  1. Meningkatkan produktivitas rekan kerja.
    Karyawan yang meringankan serta mempermudah rekan kerja dalam
    menuntaskan tugas sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Sikap
    yang ditunjukkan oleh karyawan tersebut akan menolong tersebarnya
    perbuatan terbaik ke seluruh unit kerja dan kelompok.
  2. Meningkatkan produktivitas manajer.
    Karyawan yang menunjukkan sikap civic virtue akan menolong manajer
    memperoleh saran atau feedback yang berharga dari karyawan tersebut
    untuk meningkatkan efisiensi unit kerja.
  3. Menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
    keseluruhan.
  4. Membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara
    fungsi kelompok.
  5. Menjadi sarana efektif untuk mengoordinasi kegiatan kelompok kerja.
    Menunjukkan sikap civic virtue akan menolong koordinasi anggota yang
    akan berpotensi menumbuhkan efektivitas dan efisiensi kelompok.
    Sedangkan sikap courtesy akan menjauhi terciptanya masalah yang
    memerlukan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
  6. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan
    karyawan terbaik.
    Perilaku membantu bias menumbuhkan moril serta keeratan dan perasaan
    saling memiliki antar anggota, sehingga meningkatkan kinerja organisasi
    dan menolong organisasi menarik dan membentengi karyawan yang baik.
  7. Meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.
    Menolong tugas karyawan yang tidak hadir saat kerja serta mempunyai
    beban kerja yang berat akan menumbuhkan stabilitas. Selain itu karyawan
    yang conscientiuous berkeinginan menjaga tingkat kinerja yang tinggi
    sehingga menyusutkan variabilitas pada kinerja.
  8. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan
    lingkungan.

Pengertian Perilaku Kewargaan Organisasi


Menurut Titisari (2019:4), Perilaku Kewargaan Organisasi atau dikenal
dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dianggap sebagai suatu
perilaku ditempat kerja yang sesuai dengan penilaian pribadi yang melebihi
persyaratan kerja dasar seseorang. Mereka sering dijelaskan sebagai perilaku yang
melebihi permintaan tugas. Organizational Citizenship Behavior (OCB) membantu
mengubah suasana organisasi yang formal menjadi sedikit santai dan penuh dengan
kerja sama. Diharapkan dengan suasana yang seperti itu maka ketegangan diantara
para karyawan dapat dikurangi dan karena suasana yang mendukung diharapkan
produktivitas karyawan meningkat, sehingga akan tercapai keefektifan.
Menurut Robbins dalam Putra dan Adnyai (2016:4492), dalam dunia kerja
yang antusias seperti saat ini, di mana pekerjaan semakin sering dikerjakan dalam
kelompok dan elastisitas sangatlah penting, organisasi memerlukan karyawan yang
menunjukkan perilaku OCB, misalnya membantu rekan lain dalam kelompok,
menawarkan diri untuk melaksanakan pekerjaan tambahan, menjauhi konflik yang
tidak penting, menghormati semangat dan isi peraturan, dengan besar hati
menerima kekalahan dan gangguan terpaut pekerjaan yang terjadi.

Pentingnya Perilaku Organisasi


Ada berbagai alasan di antara para spesialis, mengapa perilaku organisasi
itu penting. Namun, dari semua penilaian saat ini, menunjukan bahwa terdapat
perhatian yang meluas terhadap pentingnya SDM sebagai tenaga kerja pada
organisasi. Jika SDM diperhatikan, maka mereka akan menciptakan komitmen
yang tinggi terhadap organisasi. Terdapat tiga alasan mengapa perlu memahami
perilaku organisasi seperti yang diungkapkan oleh Vecchio yang dikutip oleh
Wibowo dalam Wijaya (2017:6) yaitu:
a. Practical Application
Dalam realita, ada beberapa keuntungan dari memahami cara berperilaku
organisasi, antara lain menggabungkan tentang menciptakan gaya
kepemimpinan, memilih prosedur untuk mengatasi masalah, memilih
pekerjaan yang tepat, peningkatan kinerja dan sebagainya
b. Personal Growth
Dengan memahami cara berperilaku organisasi, kemungkinan besar juga
dapat memahami orang lain. Memahami orang lain akan memberikan
informasi dan pengetahuan diri yang lebih luas. Dengan memahami orang
lain, atasan dapat mengevaluasi apa yang dibutuhkan bawahan utnuk
mengembangkan diri sendiri sehingga dengan demikian meningkatkan
komitmen terhadap organisasi.
c. Increased Knowledge
Dengan cara berperilaku organisasi dapat menggabungkan informasi
tentang individu dalam pekerjaan. Studi tentang cara berperilaku organisasi
dapat membantu orang-orang yang memikirkan masalah yang terkait
dengan pengalaman kerja.

Pengertian Perilaku Organisasi


Menurut Wijaya (2017:1), perilaku organisasi adalah suatu disiplin ilmu
yang mempelajari tentang perilaku tingkat individu dan tingkat kelompok dalam
suatu organisasi serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual,
kelompok, maupun organisasi). Perilaku organisasi berkaitan dengan bagaimana
yang bertiindak dan bereaksi dalam semua jenis organisasi. Menurut Robbins dan
Judge (2016:3), perilaku organisasi adalah studi tentang apa yang individu lakukan
dalam suatu organisasi dan cara perilaku mereka mempengaruhi kinerja organisasi.
Karena perilaku organisasi bersangkutan secara khusus dengan situasi yang
berhubungan dengan pekerjaan, memeriksa perilaku dalam konteks kepuasan kerja,
ketidakhadiran, perputaran pekerjaan, produktivitas, kinerja manusia dan
manajemen.

Indikator Kinerja


Kinerja karyawan dapat diukur berdasarkan indikator kinerja yang
merupakan tolok ukur dalam pencapaian kerja seseorang. Dengan adanya
pengukuran kinerja karyawan, organisasi dapat mengetahui sejauh mana
tingkat kinerja karyawan sehingga organisasi dapat memberikan umpan balik
terhadap hasil pengukuran kinerja, mendorong perbaikan kinerja, dan
pengambilan keputusan sehingga organisasi memiliki sumber daya yang
berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Untuk mengetahui tinggi rendahnya kinerja seseorang, maka diperlukan
suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan
akuntabilitas. Menurut Wibowo (2018:235), indikator kinerja yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja karyawan seperti “(1) produktivitas, (2)
kualitas, (3) ketepatan waktu, (4) cycle time, dan (5) pemanfaatan sumber daya,
dan (6) biaya”.

Faktor-Faktor yang memengaruhi Kinerja


Berdasarkan perencanaan kinerja yang telah disepakati bersama antara
pimpinan dan bawahan, dilakukan implementasi kinerja. Pelaksanaan kinerja
berlangsung dalam suatu lingkungan internal dan eksternal yang dapat
memengaruhi keberhasilan maupun kegagalan kinerja.
Untuk meningkatkan kinerja karyawan perlu memerhatikan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan. Faktor tersebut akan
memberikan kontribusi tersendiri terhadap kinerja, baik kinerja karyawan maupun
kinerja organisasi. Masing-masing faktor akan memengaruhi kinerja baik
langsung maupun tidak langsung melalui variabel perantara atau moderating.
Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2018:100) menyebutkan beberapa
faktor yang memengaruhi kinerja karyawan diantaranya, yaitu :

  1. “Personal factor, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang
    dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
  2. Leadership factor, ditunjukkan oleh kualitas dorongan bimbingan, dan
    dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
  3. Team factor, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan
    sekerja.
  4. System factor, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang
    diberikan organisasi.
  5. Contextual/situational factor, ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan
    dan perubahan lingkungan internal dan eksternal”

Perilaku Mendorong Kinerja


Sudah dapat dipastikan hampir semua orang yang bekerja ingin
melaksanakan pekerjaannya dengan sebaik mungkin. Bahkan jika perlu
memberikan hasil yang lebih baik dari yang telah ditetapkan. Namun, dalam
praktiknya terkadang masih terdapat karyawan yang tidak mampu melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan target yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain tidak
mampu untuk menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan jauh dari yang telah
diharapankan sebelumnya.
Faktor yang mendorong kinerja adalah perilaku. Perilaku adalah tentang
bagaimana anda bertindak (how you act) dan bukan tentang apa atau siapa anda
(what you are or who you are).
Kottze dalam Wibowo (2018:87), “perilaku adalah suatu cara di mana
seseorang bertindak atau melakukan. Karena dapat menentukan apa yang
akan dilakukan dalam setiap situasi, anda dapat menentukan kinerja anda.
Kinerja tingkat tinggi adalah hasil dari melakukan sesuatu yang benar pada
waktu yang tepat”.
Pada dasarnya kinerja merupakan sesuatu hal yang bersifat individual,
karena setiap karyawan memiliki tingkat kemampuan yang berbeda dalam
mengerjakan tugasnya, kinerja tergantung pada kombinasi antara kemampuan,
usaha, dan kesempatan yang diperoleh. Kinerja keseluruhan pada pekerjaan
adalah sama dengan jumlah kinerja pada fungsi pekerjaan yang penting. Fungsi
yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut akan dilakukan dan tidak dilakukan
dengan karateristik kinerja individu

Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja


Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam
memengaruhi prestasi organisasi karena kepemimpinan merupakan aktivitas yang
utama dengan tujuan organisasi yang dapat dicapai. Gaya kepemimpinan
merupakan suatu cara yang digunakan seorang pemimpin dalam memengaruhi,
mengarahkan, dan mengendalikan bawahannya dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi secara efisiensi dan efektif.
Situasi yang dihadapi dalam organisasi perusahaan yang satu dengan
lainnya saling berbeda. Hal ini tidak hanya terjadi pada organisasi yang berbeda
kegiatannya, melainkan terjadi juga pada organisasi perusahaan yang sejenis.
Selain itu, situasi yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan lingkungan
maka dibutuhkan pemimpin yang memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan kondisi
dan situasi organisasi yang dipimpinnya.
Sifat atau karakter yang ada pada diri pemimpin akan memunculkan gaya
kepemimpinan yang dipergunakan untuk memengaruhi bawahannya agar
melakukan hal-hal yang diinginkannya. Jika bawahannya mampu bekerja dengan
baik, maka gaya kepemimpinan yang dipergunakan telah tepat dan ini membantu
karyawan dalam pencapaian kinerjanya. Frech dan Bertram dalam Fahmi
(2018:83), mengemukakan bahwa “seorang pemimpin memengaruhi para
bawahannya berdasarkan coercive power (kekuatan berdasarkan paksaan), reward
power (kekuatan yang memberikan penghargaan), legitimate power (kekuatan
yang sah), expert power (kekuatan karena keahlian), dan kekuatan referen”.
Keterkaitan antara gaya kepemimpinan sangat erat dalam meningkatkan
kinerja untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi.
Peran seorang pemimpin dalam menggerakkan roda kepemimpinan dalam suatu
organisasi sangatlah penting, karena keberhasilan sebuah organisasi tidak terlepas
dari kualitas pemimpinnya. Dengan gaya kepemimpinan yang sesuai maka
kualitas kerja dan prestasi kerja karyawan akan meningkat. Dalam sebuah
organisasi jika pemimpinnya mampu memengaruhi bawahannya untuk ikut
berperan aktif maka akan mendorong karyawan mencapai tingkat kinerja yang
harus dicapainya dalam organisasi tersebut.

Indikator Gaya Kepemimpinan


Kepemimpinan merupakan faktor yang menentukan dalam suatu
perusahaan. Berhasil atau gagalnya perusahaan dalam mencapai suatu tujuan
dipengaruhi oleh cara seorang pemimpin. Sosok pemimpin dalam perusahaan
dapat menjadi efektif apabila pemimpin tersebut mampu mengelola
perusahaannya dan memengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dalam
mencapai tujuan perusahaan.
Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda antara satu
pemimpin dengan pemimpin yang lainnya, dan bukan suatu keharusan bahwa
suatu gaya kepemimpinan lebih baik atau lebih buruk dibanding gaya
kepemimpinan lainnya.
Untuk mengukur dan menilai gaya kepemimpinan seorang pemimpin
dapat digunakan beberapa indikator yaitu dengan berdasarkan macam-macam
gaya kepemimpinan. Menurut Hasibuan (2019:170), terdapat beberapa macam
gaya kepemimpinan, yaitu sebagai berikut:

  1. “Kepemimpinan otoriter
  2. Kepemimpinan partisipatif
  3. Kepemimpinan delegatif”

Faktor – Faktor yang memengaruhi Gaya Kepemimpinan


Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengelola atau
mengatur organisasi secara efektif dan mampu melaksanakan kepemimpinan
secara efektif pula. Untuk itu pemimpin harus betul-betul dapat menjalankan
fungsinya sebagai seorang pemimpin. Dalam suatu organisasi, faktor
kepemimpinan memegang peranan yang penting karena pimpinan yang
menggerakkan dan mengarahkan organisasi dalam mencapai tujuan dan hal itu
merupakan tugas yang tidak mudah. Hal itu dikarenakan pemimpin harus
memahami sikap dan perilaku setiap bawahannya yang berbeda-beda.
Fiedler dalam Amirullah (2015:173) mengungkapkan tiga dimensi
kontingensi yang menetapkan faktor-faktor situasional utama untuk menetapkan
efektivitas pemimpin, yaitu :

  1. “Hubungan pemimpin dan bawahan (leader member relation), yaitu
    kadar hubungan antara pemimpin dengan bawahan merupakan tingkat
    sejauh mana kelompok tersebut memberi dukungan pemimpinnya.
  2. Struktur tugas dalam arti sampai sejauh mana tugas-tugas yang harus
    dilaksanakan itu terstruktur atau tidak dan apakah disertai oleh
    prosedur yang tegas dan jelas atau tidak.
  3. Posisi kewenangan seseorang dalam arti tingkat dari pengaruh seorang
    pemimpin pada faktor-faktor wewenang seperti dalam pengangkatan
    dan pemberhentian karyawan, penegakan disiplin, promosi dan
    kenaikan gaji”.
    Allen dalam Fahmi (2018:77) menyebutkan tujuh sifat kepemimpinan,
    yaitu :
  4. “Mengedepankan kepentingan sendiri
  5. Membuat semua keputusan secara sendirian
  6. Lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan atau solusi-solusi teknik
  7. Lebih suka memberi tahu daripada mendengarkan
  8. Menjalankan organisasi sesuai dengan selera pribadi
  9. Memonopoli ganjaran
  10. Mengontrol dengan cara melakukan inspeksi”

Pengertian Gaya Kepemimpinan


Seorang pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan, dan jiwa
kepemimpinan yang dimiliki seorang pemimpin tidak bisa diperoleh dengan cepat
dan segera namun sebuah proses yang terbentuk dari waktu ke waktu hingga
akhirnya terbentuk dalam sebuah karateristik yang menjadi ciri khasnya. Hal ini
menunjukkan bahwa ada sebagian orang yang memiliki sifat kepemimpinan
namun dengan usahanya yang gigih mampu membantu lahirnya penegasan sikap
kepemimpinan pada dirinya tersebut.
Fahmi (2017:15) “kepemimpinan merupakan suatu ilmu yang mengkaji
secara komprehensif tentang bagaimana mengarahkan, memengaruhi, dan
mengawasi orang lain untuk mengerjakan tugas sesuai dengan perintah yang
direncanakan”.
Terry dan Frankin dalam Amirullah (2015:167) mendefinisikan
“kepemimpinan dengan hubungan dimana seseorang (pemimpin) memengaruhi
orang lain untuk mau bekerja sama melaksanakan tugas-tugas yang saling
berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin dan atau kelompok”.

Hubungan Motivasi Kerja dengan Kinerja


Motivasi merupakan suatu kekuatan sumber daya manusia yang
menggerakkan dan mengendalikan perilaku manusia. Motivasi sebagai upaya
yang dapat memberikan dorongan kepada seseorang untuk mengambil tindakan
yang dikehendaki. Perilaku seseorang cendrung berorientasi pada tujuan dan
didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.
Robins dalam Sutrisno (2019:111) mengemukakan “motivasi sebagai
suatu kerelaan berusaha seoptimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi
yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha memuaskan beberapa kebutuhan”.
Motivasi adalah suatu daya penggerak yang mampu menciptakan kegairahan kerja
dengan membangkitkan, mengarahkan, dan berperilaku kerja serta mengeluarkan
tingkat upaya untuk memberikan kontribusi yang sebesar besarnya demi
keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya.
Dalam dunia pekerjaan, motivasi merupakan salah satu faktor penting
dalam mendorong seorang karyawan untuk bekerja. Terdapat elemen yang
menjadi suksesnya suatu motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi dan kebutuhan.
Upaya merupakan ukuran intensitas. Bila seorang karyawan termotivasi maka ia
akan berupaya sekuat tenaga untuk mencapai tujuan organisasi. Kebutuhan
merupakan suatu kondisi yang mendorong untuk dan harus memenuhi kebutuhan.
Motivasi kerja erat hubungannya dengan kinerja seseorang. Pada dasarnya
motivasi kerja seseorang itu berbeda-beda. Ada karyawan yang memiliki motivasi
kerja yang tinggi dan ada yang memiliki motivasi kerja yang rendah. Apabila
motivasi kerjanya tinggi maka akan berpengaruh pada kinerja yang tinggi dan
sebaliknya jika motivasinya rendah maka akan menyebabkan kinerja yang
dimiliki seorang karyawan tersebut juga rendah. Jika karyawan memiliki motivasi
yang tinggi maka karyawan tersebut akan bekerja dengan tekun dan berdedikasi
tinggi sehingga hasilnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Setiap karyawan akan menginginkan penghargaan terhadap hasil
pekerjaannya. Penghargaan tersebut berupa kompensasi atau imbalan yang adil.
Oleh karena itu, perlu adanya dilakukan penilaian kinerja secara objektif sehingga
akan meningkatkan kinerja. Kinerja seorang karyawan akan mudah dicapai jika
didukung dengan motivasi yang tinggi. Motivasi untuk melaksanakan pekerjaan
dengan baik akan muncul apabila pekerjaan yang dikerjakan mempunyai nilai
atau berarti bagi karyawan tersebut.
Mangkunegara (2017:67) mengatakan bahwa “faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan dan faktor motivasi”. Untuk dapat
memberikan hasil kerja yang berkualitas dan berkuantitas maka seorang karyawan
membutuhkan motivasi kerja dalam dirinya yang akan berpengaruh terhadap
semangat kerja sehingga dapat meningkatkan kinerja

Indikator Motivasi Kerja


Motivasi sangat menguntungkan bagi karyawan maupun perusahan. Dalam
memotivasi karyawan pastinya setiap perusahan memiliki teknik masing-masing
agar motivasi yang diberikan dapat meningkatkan semangat kerja pagawai.
Pemberian motivasi yang tepat akan menimbulkan semangat, kemauan, dan
keikhlasan untuk bekerja dalam diri seorang karyawan. Semakin meningkatnya
semangat dan kemauan untuk bekerja dengan ikhlas akan membuat pekerjaan
lebih maksimal, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Wahjosumidjo dalam Amirullah (2015:192) “tingkah laku bawahan dalam
kehidupan organisasi pada dasarnya berorientasi pada tugas. Artinya,
bahwa tingkah laku bawahan biasanya di dorong oleh keinginan untuk
mencapai tujuan harus diamati, diawasi, dan diarahkan dalam kerangka
pelaksanaan tugas dalam mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan”.
Kekuatan motivasi kerja karyawan untuk bekerja dan berkinerja secara
langsung tercermin pada seberapa jauh upayanya bekerja keras untuk
menghasilkan kinerja yang lebih baik demi mencapai tujuan perusahaan. Agar
suatu proses motivasi kerja dapat dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan
indikator yang dijadikan sebagai acuan dalam proses memotivasi kerja karyawan.
Indikator motivasi dijadikan sebagai alat untuk mengukur keberhasilan motivasi
kerja bermanfaat atau tidak dalam suatu organisasi.
Menurut teori Herzberg dalam Hasibuan (2019:158), terdapat faktor yang
berperan sebagai satisfiers atau motivators yang dijadikan sebagai indikator
motivasi kerja karyawan, yaitu :

  1. “Prestasi atau achievement
  2. Pengakuan atau recognition
  3. Pekerjaan itu sendiri atau the work it self
  4. Tanggung jawab atau responsibility
  5. Kemajuan atau advancement
  6. Pengembangan potensi individu atau the possibility of growth”

Faktor – Faktor yang memengaruhi Motivasi Kerja


Pada umumnya, motivasi seseorang untuk melakukan kegiatan muncul
karena merasakan perlunya untuk memenuhi kebutuhan. Apabila kebutuhannya
telah terpenuhi, motivasinya akan menurun. Kemudian berkembang pemikiran
bahwa motivasi juga diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun apabila
tujuan telah tercapai, biasanya motivasi juga menurun. Oleh karena itu, motivasi
dapat dikembangkan apabila timbul kebutuhan merupakan kepentingan manusia,
maka tujuan dapat menjadi kepentingan manusia maupun organisasi. Motivasi
dapat terwujudkan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor.
Menurut Sutrisno (2019:116), motivasi sebagai proses psikologi dalam diri
seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat
dibedakan atas faktor intern dan ekstern yang berasal dari karyawan tersebut :

  1. “Faktor intern, yang dapat memengaruhi pemberian motivasi pada
    karyawan, yaitu :
    a. Keinginan untuk dapat hidup, untuk dapat bertahan hidup maka
    seseorang harus bekerja. Keinginan untuk dapat hidup meliputi
    kebutuhan untuk memperoleh kompensasi, pekerjaan yang tetap, dan
    kondisi kerja yang aman dan nyaman.
    b. Keinginan untuk dapat memiliki, keinginan yang keras untuk dapat
    memiliki itu dapat mendorong orang mau bekera.
    c. Keinginan untuk memperoleh penghargaan, seseorang mau bekerja
    disebabkan adanya keinginan untuk diakui, dihormati oleh orang lain.
    d. Keinginan untuk memperoleh pengakuan, seperti adanya penghargaan
    terhadap prestasi, hubungan kerja yang harmonis, pimpinan yang
    bijaksana, perusahaan tempat bekerja dihargai oleh masyarakat.
    e. Keinginan untuk berkuasa akan mendorong seseorang untuk bekerja.
  2. Faktor ekstern, yang dapat memengaruhi pemberian motivasi pada
    karyawan, yaitu :
    a. Kondisi lingkungan kerja, keseluruhan sarana dan prasarana kerja yang
    ada di sekitar karyawan yang sedang melakukan pekerjaan yang dapat
    memengaruhi pelaksanaan pekerjaan.
    b. Kompensasi yang memadai, motivasi yang paling penting bagi
    perusahaan untuk mendorong para karyawan bekerja dengan baik.
    c. Supervisi yang baik, memberikan pengarahan, membimbing kerja para
    karyawan agar bekerja dengan baik tanpa melakukan kesalahan.
    d. Adanya jaminan pekerjaan yaitu jaminan karier untuk masa depan
    seperti promosi jabatan.
    e. Status dan tanggung jawab.
    f. Peraturan yang fleksibel yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan
    agar pekerjaan berjalan dengan baik”

Prinsip-Prinsip dalam Motivasi Kerja


Pimpinan harus mampu mendorong, menyemangati karyawan agar terus
bergairah dan bersemangat dalam bekerja. Motivasi dapat terjadi dari dalam diri
karyawan apabila karyawan merasa nyaman, atau dari luar dirinya seperti apa
yang diberikan perusahaan. Motivasi juga perlu diberikan oleh pihak pimpinan,
mulai dari pemberian perhatiann, penghargaan atau kompensasi yang layak dan
wajar sehingga karyawan terdorong untuk melakukan tugas-tugasnya dengan
baik. Demikian pula dengan karyawan akan terdorong untuk bekerja secara
dengan sungguh-sungguh.
Hamalik dalam Sutrisno (2019:111), mengatakan ada dua prinsip yang
dapat digunakan untuk meninjau motivasi, yaitu “(1) memotivasi dipandang
sebagai suatu proses dan (2) menentukan karakter dari proses ini”.
Mangkunegara (2017:101) prinsip-prinsip dalam memotivasi kerja
karyawan, yaitu: “(1) prinsip partisipasi, (2) prinsip komunikasi, (3) prinsip
mengakui andil bawahan, (4) prinsip pendelegasian wewenang, dan (5) prinsip
memberi perhatian”.

Pengertian Motivasi Kerja


Setiap organisasi tentu ingin mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan
tersebut, peranan manusia yang terlibat didalamnya sangat penting. Untuk
menggerakkan manusia agar sesuai dengan yang dikehendaki organisasi, maka
harus dipahami motivasi manusia yang bekerja di dalam organisasi tersebut,
karena motivasi inilah yang menentukan perilaku orang-orang untuk bekerja.
Motivasi merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas
tertentu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan seseorang.
Hartatik (2018:160), “motivasi merupakan hal yang menyebabkan,
menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat serta
antusias mencapai hasil yang optimal”.
Soroso dalam Fahmi (2018:107) mengatakan bahwa “motivasi adalah
suatu set atau kumpulan perilaku yang memberikan landasan bagi seseorang untuk
bertindak dalam suatu cara yang diarahkan kepada tujuan spesifik tertentu
(specific goal directed way)”

Hubungan Disiplin Kerja dengan Kinerja


Dalam disiplin kerja dituntut adanya kesanggupan untuk mengikuti aturan
hukum dan tata tertib sehingga sadar akan melaksanakan dan menaati peraturan
tersebut. Disiplin kerja mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang
terhadap tugas-tugas yang telah diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah
kerja dan semangat kerja yang mendukung terwujudnya tujuan organisasi.
Riva’i dalam Hartatik (2018:183) menyebutkan bahwa “disiplin kerja
adalah suatu alat yang digunakan manajer untuk mengubah suatu perilaku serta
sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang
menaati semua peraturan perusahaan serta norma-norma sosial yang berlaku”.
Pentingnya disiplin kerja dalam perusahaan bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas kerja karyawan. Disiplin yang baik dari karyawan akan
menunjukkan bahwa suatu organisasi dapat memelihara dan menjaga loyalitas
maupun kualitas karyawannya. Selain itu, dengan mengetahui disiplin kerja
karyawan maka nilai kinerja dari setiap karyawan pun akan diketahui. Hal
tersebut karena disiplin kerja dan kinerja karyawan memiliki hubungan yang
sangat erat. Karyawan yang berdisiplin diri dalam bekerja maka ia akan bekerja
secara optimal, tekun, dan mengerjakan sesuatu pekerjaan secara terarah dan
sebaliknya karyawan yang memiliki disiplin kerja yang rendah maka ia akan
bermalas-malasan dan cendrung akan menunda-nunda pekerjaan.
Salah satu faktor yang memengaruhi kinerja karyawan adalah disiplin
kerja. Disiplin kerja merupakan salah satu tolok ukur dari penilaian hasil kinerja
karyawan. Setiap karyawan yang mampu menunjukkan sikap disiplin dalam
bekerja cendrung memiliki ketelitian dan memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap pekerjaan atau tugas-tugas yang sudah menjadi tanggung jawabnya
secara personal. Semakin memiliki kesadaran akan tugas dan tanggung jawab ini
akan menimbulkan disiplin kerja yang tinggi. Karyawan yang mampu mengatasi
segala permasalahan yang berhubungan dengan pekerjaan cendrung lebih mampu
menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.
Disiplin kerja yang tinggi dan optimal dapat memengaruhi kinerja
karyawan secara langsung maupun tidak langsung. Dengan disiplin kerja yang
tinggi akan membuat karyawan bekerja lebih giat dan menjiwai pekerjaannya
yang pada akhirnya akan dapat menjadi karyawan yang tangguh dan bermutu serta
mampu melaksanakan tugas atau kegiatan dengan baik yang akan menghasilkan
kinerja yang tinggi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa salah satu kunci
keberhasilan organisasi dalam menjalankan usahanya adalah dengan cara
meningkatkan kinerja karyawannya melalui peningkatan disiplin kerja. Setiap
organisasi mengharapkan kinerja karyawannya dapat meningkat. Kinerja yang
baik dapat menciptakan kualitas, kuantitas kerja dan prestasi kerja.

Indikator Disiplin Kerja


Kedisiplinan menjadi kunci terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan,
dan masyarakat. Dengan disiplin yang baik berarti karyawan sadar dan bersedia
mengerjakan semua tugasnya yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik.
Tujuan utama disiplin adalah untuk meningkatkan efisiensi semaksimal mungkin
dengan cara mencegah kerusakan atau kehilangan peralatan dan perlengkapan
kerja yang disebabkan oleh tidak adanya sikap kehati-hatian.
Disiplin berusaha mencegah keterlambatan dan kemalasan kerja karyawan
serta berusaha untuk mengatasi perbedaan pendapat antarkaryawan dan mencegah
ketidaktaatan yang disebabkan oleh salah pengertian dan salah penafsiran.
Disiplin berusaha untuk melindungi perilaku yang baik dengan menetapkan
peraturan dan ketentuan yang telah disepakati demi terwujudnya tujuan
organisasi. Karyawan yang tunduk pada ketetapan dan peraturan perusahaan
menggambarkan adanya kondisi disiplin yang baik dan sebaliknya karyawan yang
sering melanggar atau mengabaikan perusahaan maka karyawan tersebut
mempunyai disiplin kerja yang buruk.
Menurut Fathoni dalam Hartatik (2018:200), terdapat indikator yang
memengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organiasi, sebagai berikut :

  1. “Tujuan dan kemampuan
  2. Keteladanan pimpinan
  3. Keadilan
  4. Pengawasan melekat
  5. Sanksi hukuman
  6. Ketegasan
  7. Hubungan kemanusian”

Faktor – Faktor yang memengaruhi Disiplin Kerja


Pada umumnya bahwa pemimpin mempunyai pengaruh langsung atas
sikap kebiasaan yang diperoleh karyawan. Kebiasaan itu ditentukan oleh
pemimpin, baik dengan iklim atau suasana kepemimpinan maupun melalui contoh
diri pribadi. Untuk mendapat disiplin yang baik, maka pemimpin harus
memberikan kepemimpinan yang baik pula.
Helmi dalam Hartatik (2018:197) merumuskan faktor-faktor yang
memengaruhi disiplin kerja menjadi dua, yaitu :
a. “Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang
dianut berkaitan langsung dengan disiplin. Sistem nilai akan terlihat dari sikap
seseorang, dimana sikap ini diharapkan akan tercermin dalam perilaku seperti
disiplin karena kepatuhan, disiplin karena identifikasi, dan disiplin karena
internalisasi.
b. Faktor Lingkungan
Sikap disiplin dalam diri seseorang merupakan produk interaksinya dengan
lingkungan, terutama lingkungan sosial. Oleh karena itu, pembentukan
disiplin tunduk pada kaidah-kaidah proses belajar. Pemimpin yang merupakan
agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsio konsisten, adil, bersikap
positif, dan terbuka”.
Menurut Singodimedjo dalam Sutrisno (2019:89) mengemukakan
beberapa faktor-faktor yang memengaruhi disiplin karyawan adalah :

  1. “Besar kecilnya pemberian kompensasi
  2. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan
  3. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan
  4. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan
  5. Ada tidaknya pengawasan pimpinan
  6. Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan
  7. Diciptakan kebiasaan – kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin”.

Jenis-Jenis Disiplin Kerja


Disiplin merupakan suatu kegiatan manajemen untuk menjalankan standar
dan prosedur organisasi. Kedisiplinan merupakan fungsi operatif manajemen
sumber daya manusia yang terpenting karena semakin baik disiplin kerja
karyawan maka semakin tinggi prestasi kerja yang dicapai. Kurangnya
kedisiplinan karyawan akan membuat perusahaan sulit mencapai hasil kerja yang
optimal.
Sutrisno (2019:86) menyebutkan beberapa bentuk disiplin yang baik yang
tercermin pada suasana, sebagai berikut :
a. “Tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian tujuan
perusahaan.
b. Tingginya semangat dan gairah kerja dan inisiatif para karyawan dalam
melakukan pekerjaan.
c. Besarnya rasa tanggung jawab para karyawan untuk melaksanakan tugas
dengan sebaik-baiknya.
d. Berkembangnya rasa memiliki dan rasa solidaritas yang tinggi di kalangan
karyawan.
e. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja para karyawan”.

Pengertian Disiplin Kerja


Disiplin kerja sangatlah penting bagi suatu perusahaan atau instansi
pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Tanpa adanya disiplin
kerja yang baik sulit bagi suatu perusahaan untuk mencapai hasil yang optimal.
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap
tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Kedisiplinan merupakan fungsi sumber daya manusia yang keenam dari
fungsi operatif manajemen sumber daya manusia yang terpenting karena semakin
banyak disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya.
Tanpa disiplin kerja karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan mencapai hasil
kerja yang optimal.
Hasibuan (2019:193), “kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang
berlaku”.
Latainer dalam Sutrisno (2019:87) mengartikan “disiplin sebagai suatu
kekuatan yang berkembang di dalam tubuh karyawan dan menyebabkan karyawan
dapat menyesuaikan diri dengan sukarela pada keputusan, peraturan, dan nilainilai yang tinggi dari pekerjaan dan perilaku”.
Salah satu upaya untuk mengatasi penyebab tindakan indispliner yang
bertujuan untuk pertumbuhan organisasi yaitu memotivasi karyawan agar dapat
mendisiplinkan diri dalam melaksanakan pekerjaan baik secara perorangan
maupun kelompok. Adanya disiplin kerja sangat bermanfaat dalam mendidik
karyawan untuk mematuhi peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku pada
perusahaan tersebut sehingga akan menghasilkan kinerja yang optimal.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)


Pengertian pengendalian intern menurut Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 60 Tahun 2008 Pasal 1 butir 1 adalah proses yang integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
SPIP terdiri atas unsur:
a) lingkungan pengendalian;
b) penilaian risiko;
c) kegiatan pengendalian;
d) informasi dan komunikasi; dan
e) pemantauan pengendalian intern.
COSO I : 1992 Pasal 3 ayat (1) PP 60/2008
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan”.
Sistem Pengendalian Intern juga diterapkan pada instansi pemerintah
yang kita kenal dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP
adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di
lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (PP 60/2008, Bab I Pasal. 1
butir 2). Tujuan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah untuk
memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya:
1) Efektivitas dan Efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan;
2) Keandalan Laporan Keuangan;
3) Pengamanan aset negara;
4) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan

Kepuasan Kerja


Davis (1985:96) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu
perasaan menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan
dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya. Kepuasan kerja menjadi hal yang
penting, karena memiliki pengaruh yang besar bagi organisasi. Mangkunegara
(2005:118) menyebutkan kepuasan kerja seseorang memiliki dampak terhadap
organisasi antara lain yaitu tingkat turn over, tingkat kehadiran pegawai, tingkat
kesehatan pegawai, tingkat efektivitas penyelesaian pekerjaan, pengembangan
ide dan inovasi, tingkat kesalahan, sampai rasa kebanggaan terhadap
organisasi/perusahaan yang diwujudkan dalam komitmen dan loyal terhadap
organisasi/perusahaan. Luthans (2011:141) menyatakan bahwa kepuasan timbul
dari evaluasi terhadap suatu pengalaman, atau pernyataan secara psikologis
akibat suatu harapan dihubungkan dengan apa yang mereka peroleh.
Ada beberapa teori kepuasan kerja, antara lain teori keadilan (equity
theory) dari Adam, terori perbedaan (discrepancy theory) dari Porter, teori
pemenuhan kebutuhan (need fulfillment theory) dari Schaffer, teori pandangan
kelompok social (social reference group theory) dari Alferder, teori pengharapan
(expected theory) dari Victor Vroom, dan teori dua faktor (two factor theory) dari
Herzberg. Penelitian ini dikarenakan menggunakan teori dua faktor dari
Herzberg, maka yang akan diulas hanyalah teori tersebut.
Menurut Two Factors Theory dari Herzberg (dalam Mangkunegara, 2005)
terdapat dua faktor yang dapat menyebabkan kepuasan maupun ketidakpuasan
yang dapat dialami oleh seorang pegawai, yaitu (1) kepuasan ekstrinsik atau
dissatisfies (hygiene factors) dan (2) kepuasan intrinsik atau satisfies. Adapun
penjelasan tiap faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kepuasan ekstrinsik atau dissatisfies (hygiene factors) merupakan faktorfaktor atau situasi yang dipandang sebagai sumber ketidakpuasan, yakni
gaji/upah, pengawasan pimpinan, tatakelola dan kebijakan organisasi,
hubungan antarpribadi, kondisi dan keamanan kerja serta status/kedudukan.
Apabila faktor ini tidak terpenuhi, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan
absensi pegawai, bahkan dapat menyebabkan pegawai keluar.
b) Kepuasan intrinsik atau satisfies merupakan faktor-faktor atau situasi yang
dipandang sebagai sumber kepuasan kerja, yakni: pekerjaan itu sendiri (work
it self), adanya kesempatan untuk berprestasi (achievement), adanya
tanggung jawab (responsibility), dan pengembangan potensi individu yang
didukung oleh pengakuan (recognition) serta promosi. Jika faktor-faktor
tersebut terpenuhi, rasa kepuasan terhadap pekerjaannya akan terpenuhi.

Kompetensi Pegawai


Kompetensi menurut Spencer and Spencer (1993:9) merupakan
karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakter
pribadi (ciri khusus/khas), nilai-nilai, konsep diri, pengetahuan atau keahlian
yang dimiliki seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat
kerja. Sedangkan kompetensi menurut Peraturan Kepala Badan Kepegawaian
Negara Nomor 7 tahun 2013 diartikan sebagai karakteristik dan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai tugas
dan / atau fungsi jabatan.
Menurut Kamus Kompetensi Kementerian Keuangan, Kompetensi
pegawai dapat diartikan sebagai kemampuan (capability) atau keahlian
(expertise) yang lebih dari sekedar keterampilan (skill) belaka, namun
merupakan hasil dari pengalaman yang melibatkan pemahaman/pengetahuan,
tindakan nyata, serta proses mental yang terjadi dalam bidang tertentu.
Kompetensi dapat pula untuk menggambarkan pengelompokan pengetahuan,
keahlian dan perilaku yang menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang
dalam pekerjaan (Peraturan Sekretaris Jenderal Nomor 55/SJ/2008).

Penilaian Kinerja Institusi Pemerintahan


Salah satu yang menjadi sasaran dalam penerapan reformasi birokrasi
adalah mewujudkan instansi yang akuntabel. Instansi pemerintah diwajibkan
melakukan pengelolaan kinerja yang dimulai dari perencanaan kinerja,
pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, sampai evaluasi kinerja (Permenpan
Nomor 11 Tahun 2011). Hal ini dilakukan agar instansi pemerintah terukur
capaian kinerjanya sehingga dapat diketahui efektivitas dari pencapaian visi,
misi, tugas dan fungsi pokok instansi pemerintah tersebut. Kinerja di dalam
Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah (SAKIP) merupakan rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat
dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan, pengukuran,
pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja
pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan
kinerja instansi pemerintah.
Keberhasilan suatu program yang dijalankan, diukur berdasarkan
indikator kinerja yang merupakan ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari
kinerja program dan kegiatan yang telah direncanakan (Perpres Nomor 29 tahun
2014). Indikator kinerja terbagi atas tiga hal, yaitu:
1) Indikator Kinerja Program (IKP) yang merupakan ukuran atas hasil (outcome)
dari suatu program yang merupakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
suatu kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh
satuan kerja/SKPD.
2) Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) adalah ukuran atas keluaran (output) dari
suatu kegiatan yang terkait secara logis dengan Indikator Kinerja Program
(IKP).
3) Indikator Kinerja Utama (IKU) merupakan ukuran keberhasilan organisasi
dalam mencapai tujuan dan merupakan ikhtisar hasil berbagai program dan
kegiatan sebagai penjabaran tugas dan fungsi organisasi.

Kinerja Organisasi


Mulyadi (2007) menyatakan bahwa kinerja merupakan keberhasilan yang
dicapai personel, tim atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik
yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. Bastian
(2006:274) berpendapat bahwa kinerja adalah gambaran pencapaian atas
pelaksanaan dari suatu kegiatan/kebijakan/ program dalam rangka mewujudkan
visi, misi, tujuan organisasi, dimana apa yang ingin dicapai tertuang dalam
perumusan perencanaan strategik (strategic planning) organisasi. Kinerja dapat
juga diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam suatu periode
tertentu. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) menyatakan bahwa kinerja merupakan
keluaran/hasil dari kegiatan/program yang telah atau hendak dicapai sehubungan
dengan penggunaan anggaran dengan kualitas dan kuantitas yang terukur.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kinerja, terdapat dua hal
pokok yang terkandung dalam pengertian kinerja, yaitu: (1) hasil akhir dari
keseluruhan kegiatan yang dilakukan organisasi yang disesuaikan dengan
kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan, dan (2) kinerja mencerminkan
prestasi yang dicapai oleh organisasi

Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Herzberg


Teori pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang
kepuasan kerja atau sering dikenal dengan sebutan Two Factor Theory (teori
dua faktor) yang dikemukakan oleh Herzberg tahun 1996. Situasi yang
memengaruhi sikap puas atau tidaknya seseorang terhadap pekerjaan terbagi
dalam dua kelompok (Mangkunegara, 2015:121-122), yaitu:
a) Kepuasan intrinsik atau satisfies merupakan faktor-faktor atau situasi yang
dipandang sebagai sumber kepuasan kerja, yakni: pekerjaan itu sendiri (work
it self), adanya kesempatan untuk berprestasi (achievement), adanya
tanggung jawab (responsibility), dan pengembangan potensi individu yang
didukung oleh pengakuan (recognition) serta promosi. Jika seorang individu
memenuhi faktor-faktor tersebut, rasa kepuasan terhadap pekerjaannya akan
terpenuhi.
b) Kepuasan ekstrinsik atau dissatisfies (hygiene factors) merupakan faktorfaktor atau situasi yang dipandang sebagai sumber ketidakpuasan, yakni
gaji/upah, pengawasan pimpinan, tatakelola dan kebijakan organisasi,
hubungan antarpribadi, kondisi dan keamanan kerja serta status/kedudukan.
Kedua kelompok teori di atas, yakni satisfies dan dissatisfies akan
digunakan dalam penelitian ini karena keduanya dianggap sebagai sumber
kepuasan yang akan mempengaruhi kinerja pegawai dan pada akhirnya kinerja
organisasi.

Teori Agensi


Teori keagenan pada dasarnya merupakan teori yang muncul karena
adanya konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Teori ini mengasumsikan
bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya
sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.
Prinsipal mengontrak agen untuk melakukan pengelolaan sumber daya dalam
perusahaan dan berkewajiban untuk memberikan imbalan kepada agen
sedangkan agen berkewajiban melakukan pengelolaan sumber daya yang
dimiliki oleh perusahaan dan bertanggungjawab atas tugas yang dibebankan
kepadanya (Jensen dan Meckling, 1976:29).
Teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) asumsi yaitu (a) asumsi tentang
sifat manusia; (b) asumsi tentang keorganisasian dan (c) asumsi tentang
informasi. Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki
sifat mementingkan diri sendiri (self interest) memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality) dan tidak menyukai resiko (risk aversion). Asumsi
keorganisasian menekankan adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas. Asimetri informasi (asimmetric information)
merupakan informasi yang tidak seimbang karena perbedaan distribusi informasi
antara prinsipal dan agen (Jensen dan Meckling, 1976:38-41). Teori keagenan
akan terjadi pada berbagai organisasi termasuk dalam organisasi pemerintahan
dan berfokus pada persoalan ketimpangan/asimetri informasi antara pengelola
(agen/pemerintah) dan publik (diwakili prinsipal/dewan perwakilan rakyat).
Prinsipal harus memonitor kerja agen, agar tujuan organisasi dapat dicapai
dengan efisien serta tercapainya akuntabilitas publik (Mustikawati, 2004).
Akuntabilitas publik sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agen) untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya
kepada pihak pemberi amanah (prinsipal) yang memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut.

Teori Goal Setting


Goal Setting Theory yang dikemukakan oleh Locke, 1978 menjelaskan
hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja). Konsep
dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang diharapkan
organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Goal-Setting
Theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada tujuan
(Mangkunegara, 2014: 73). Jika seorang individu memiliki komitmen untuk
mencapai tujuannya, maka komitmen tersebut akan mempengaruhi tindakannya
dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya. Salah satu hal penting yang dapat
menentukan kinerja, baik kinerja individu yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap kinerja organisasi adalah kompetensi yang dimiliki individu di dalam
organisasi (Mangkunegara, 2015:67). Seorang individu yang berkomitmen untuk
memberikan kinerja yang terbaik pada organisasi akan berusaha meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kerja (kompetensi) yang dimilikinya. Hal tersebut
sebagai konsekuensi yang harus dicapai, bila seorang individu tersebut ingin
meraih hasil kinerja yang optimal.
Teori Goal Setting ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh
ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/
tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Penetapan tujuan yang
menantang (sulit) namun dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan
prestasi kerja (kinerja). Capaian atas sasaran (tujuan) mempunyai pengaruh
terhadap perilaku pegawai dan kinerja dalam organisasi. Berdasarkan
pendekatan goal setting theory ini, kinerja organisasi yang maksimal merupakan
tujuan yang ingin dicapai, sedangkan kompetensi pegawai dan kepuasan kerja
merupakan faktor penentu. Semakin tinggi faktor penentu tersebut, maka akan
semakin tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuannya.

Teori Sikap dan Perilaku (Theory of Attitude and Behavior)


Teori sikap dan perilaku (theory of attitude and behavior) yang
dikembangkan oleh Triandis di tahun 1971 menyatakan bahwa perilaku
ditentukan oleh untuk apa sesuatu hal dilakukan (sikap), pedoman atas suatu hal
yang dilakukan (aturan-aturan sosial), dan apa yang biasa dilakukan (kebiasaan)
yang menentukan terbentuknya suatu perilaku.
Sikap terdiri dari komponen kognitif yang berkaitan dengan keyakinan, dan
komponen afektif yang berkaitan dengan konotasi suka atau tidak suka, serta
komponen perilaku yakni bagaimana seseorang ingin berperilaku terhadap sikap.
Gibson, dkk di tahun 1982 sebagaimana yang dikemukakan oleh Mangkunegara
(2008:16) menyebutkan bahwa sikap seseorang didorong oleh faktor-faktor
stimulus, seperti gaji, tunjangan, gaya manajer, rangsangan pekerjaan, teknologi
dan kebijakan perusahaan. Faktor-faktor stimulus tersebut menentukan apakah
suatu perasaan positif yang menimbulkan kesukaan atau malahan perasaan
negatif yang menimbulkan ketidaksukaan terhadap suatu pekerjaan. Perasaan
positif dan negatif tersebut pada akhirnya yang menentukan kepuasan atau
ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya, yang pada akhirnya
menentukan perilaku seseorang di dalam organisasi. Mangkunegara (2015:117-
119) menyebutkan kepuasan kerja seseorang memiliki dampak terhadap
organisasi antara lain yaitu tingkat turn over, tingkat kehadiran pegawai, tingkat
kesehatan pegawai, tingkat efektivitas penyelesaian pekerjaan, pengembangan
ide dan inovasi, tingkat kesalahan, sampai rasa kebanggaan terhadap
organisasi/ perusahaan yang diwujudkan dalam komitmen dan loyal terhadap
organisasi/ perusahaan.
Aturan-aturan sosial yang merupakan pedoman atas suatu hal yang
dilakukan seorang individu di dalam organisasi, ditentukan oleh nilai-nilai yang
dianut oleh suatu organisasi yang pada akhirnya menjadi kebiasaan yang
merupakan embrio dari suatu budaya yang dimiliki oleh organisasi. Susanto
(1997:21), budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang menjadi pedoman
sumber daya manusia di dalam organisasi untuk menghadapi permasalahan
eksternal dan dan berusaha untuk melakukan penyesuaian integrasi ke dalam
tubuh organisasi. Masing-masing individu di dalam organisasi harus memahami
nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku dan
berperilaku di dalam organisasi.
Nilai-nilai organsasi menjadi petunjuk (guidance) dan pedoman bagi
individu di dalam organisasi dalam berperilaku serta berinteraksi dengan individu
lainnya, baik di dalam maupun di luar organisasi. Nilai-nilai organisasi menjadi
hal yang penting dan ditanamkan secara kokoh dan kuat serta harus diterima
secara luas di semua kalangan dalam organisasi. Semakin tinggi penerimaan
anggota organisasi terhadap nilai-nilai pokok organisasi, maka kesetiaan, dan
kinerja seseorang kepada organisasi semakin besar yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap kinerja organisasi (Yuliana, 2014).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior


 Menurut Wirawan (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi OCBdiantaranya antara lain kepribadian, budaya organisasi, iklim organisasi,
kepuasan kerja, komitmen organisasi, kepemimpinan transformasional
&servant leadership, tanggung jawab sosial pegawai, umur pegawai,
keterlibatan kerja, kolektivisme serta keadilan organisasi.
Organ dan Sloat (dalam Ahdiyana, 2010) mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi OCB sebagai berikut :
a. Budaya dan iklim organisasi
Menurut Novliadi (2007) iklim Organisasi dan budaya organisasi dapat
menjadi penyebab kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi.
Di iklmi organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan
pekerjaan melebihi apa yang telah diisyaratkan dalam pekerjaan, dan akan
selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlukan oleh para
atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa
mereka diperlukan secara adil oleh organisasi.
b. Kepribadian dan Suasana Hati (mood)
Kepribadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap timbulnya
perilaku OCB secara individual maupun kelompok.
c. Persepsi terhadap dukungan organisasi
Pekerja yang merasa bahwa mereka didukung oleh organisasi akan
memberikan timbal balinya dan menurunkan ketidakseimbangan dalam
hubungan tersebut dengan terlibat dalam perilaku citizenship. 
1) Persepsi terhadap kualitas hubungan/ interaksi atasan bawahan
2) Masa kerja
3) Jenis Kelamin

Dimensi-Dimensi Organizational Citizenship Behavior


Organ (1995) megatakan bahwa orang yang melakukan
Organizational Citizenship Behavior dieknal sebagai tentara yang baik.
Terdapat lima dimensi Organizational Citizenship Behavior menurut Organ
adalah sebagai berikut :
a. altruism adalah perilaku yang merefleksikan atau membantu orang lain
dalam menghadapi masalah pekerjaan.
b. Conscientiousness adalah mengacu pada perilaku seseorang yang tepat
waktu, tingkat kehadiran tinggi, dan berada di atas pesyratan normal yang
diharapkan.
c. Civic virtue adalah berkomitmen fungsi – fungsi adminitratif seperti
menghadiri pertemuan, menyampaikan pendapat dan aktif berpartisipasi
dalam kegiatan organisasi. d. Sportsmanship yaitu menunjukkan perilaku seseorang yang tidak suka
memprotes atau mengajukan ketidakpuasan terhadap masalah-masalah
kecil.
e. Courtesy adalah perilaku bersikap sopan santun, hormat, dan sesuai aturan
yang ditunjukkan dalam setiap perilaku

Pengertian Organizational Citizenship Behavior


Konsep Organizational Citizenship Behavior pertama kali
diperkenalkan oleh Bateman dan Organ, dan telah dibahas secara detail oleh
Organ tahun (1995). Namun jauh sebelum tahun tersebut Bernard
mempergunakan konsep Organizational Citizenship Behavior dan
menyebutnya sebagai kerelaan bekerjasama. Pada tahun 1964, Katz
menggunakan konsep serupa dan menyebutkan sebagai inovatif dan perilaku
spontan (Triyanto, 2009).
Organizational Citizenship Behavior dapat dikatakan sebagai
perilaku-perilaku yang menyumbang pada pemeliharaan dan perbaikan baik
secara social maupun psikologikal untuk mendukung job performance
(Organ, 1995). Organizational Citizenship Behavior berperan penting bagi
upaya meningkatkan kinerja organisasi karena, Organizational Citizenship
Behavior dapat mengurangi kebutuhan akan sumber daya-sumber daya yang
langka/mahal untuk fungsi-fungsi perawatan/perbaikan dalam organisasi,
meningkatkan produktifitas hubungan kerja atau manajerial, meningkatkan
kemampuan organisasi untuk menarik minat dan mempertahankan orang- orang terbaiknya untuk bekerja disitu dengan menciptakan suasana kerja yang
menyenangkan (Organ, 1995).
Berdasarkan definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku karyawan yang
dilakukan secara sukarela dan melebihi tuntutan pekerjaannya. Perilaku
tersebut dilakukan tanpa mengharapkan pamrih dari organisasi dan berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Terdapat kesepakatan luas bahwa
budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang
dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang membedakan
organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Sistem pengertian bersama ini,
dalam pengamatan yang lebih seksama, merupakan serangkaian karakter
penting menjadi nilai bagi suatu organisasi. Menurut Robbins (2003)
menyatakan bahwa terdapat tujuh karakter utama, yang kesemuanya menjadi
elemen-elemen penting suatu budaya organisasi.
a. Inovasi dan pengambilam risiko, yaitu tingkat daya pendorong karyawan
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
b. Perhatian terhadap hasil, yaitu tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk
mampu memperlihatkan ketetapan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
c. Orientasi terhadap hasil, yaitu tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk
lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada
teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
d. Orientasi terhadap individu, yaitu tingkat keputusan manajemen dalam
mempertimbangkan efek- efek hasil terhadap individu yang ada di dalam
organisasi.
e. Orientasi terhadap tim, yaitu tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam
tim, bukan secara perorangan
f. Agresivitas, yaitu tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku
agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
g. Stabilitas, yaitu tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam
mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Keterlibatan Kerja


Menurut Harnoto (2002) faktor-faktor keterlibatan kerja dilihat dari
sejauh mana seorang karyawan ikut berpartisipasi dengan seluruh
kemampuannya dalam membuat peningkatan kesuksesan suatu organisasi
atau perusahaan.
Ada beberapa faktor yang dapat dipakai untuk melihat keterlibatan
kerja seorang karyawan yaitu :
a. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan
Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat menunjukkan bahwa seorang
karyawan terlibat dalam pekerjaanya (job involment). Aktif berpartisipasi
adalah perhatian yang dicurahkan seseorang terhadap sesuatu. Dari tingkat
atensi inilah dapat diketahui seberapa perhatian dan kepeduliaan yang
dimiliki oleh seseorang pekerja.
b. Menunjukkan pekerjaan adalah yang utama
Seseorang karyawan yang merasa bahwa pekerjaannya adalah hal yang
utama akan selalu berusaha memberi serta melakukan yang terbaik untuk
pekerjaannya dan menganggap pekerjaannya sebagai pusat yang menarik
dalam hidup dan pantas untuk diutamakan.
c. Melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang penting untuk harga diri
Keterlibatan kerja dapat dilihat dari sikap seorang karyawan dalam
pikiran mengenai pekerjaannya, dimana seorang karyawan dalam pikiran
mengenai pekerjaannya, dimana seorang karyawan menganggap pekerjaan
itu penting bagi harga dirinya. Harga diri merupakan perpaduan antara
kepercayaan diri dan penghormatan diri, mempunyai harga diri yang kuat
artinya merasa cocok dengan kehidupan dan penuh keyakinan, yaitu
mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah
kehidupan. Harga diri menurut Harnoto (2002) merupakan evaluasi
individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif. Apabila
pekerjaan tersebut dirasa berarti dan sangat berharga baik secara materi
dan psikologis bagi karyawan tersebut maka karyawan tersebut akan
menghargai dan melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Dengan begitu
keterlibatan kerja dapat tercapai, dan karyawan tersebut merasa bahwa
pekerjaan mereka penting bagi harga dirinya.

Aspek-aspek keterlibatan kerja


Menurut Saleh dan Hosek (1976) keterlibatan kerja merupakan
konsep yang kompleks berdsarkan aspek kongnitif, aspek tindakan dan aspek
perasaan adalah derajat dimana individu dikenal dari pekerjaannya,
berpartisipasi aktif didalamnya dan menganggap prestasi penting untuk harga
diri yaitu :
a. Pekerjaan adalah minat hidup yang utama
Keterlibatan kerja akan muncul bila pekerjaan dirasakan sebagai
sumber utama terhadap harapan individu dan sumber kepuasan dari
kebutuhan-kebutuhan yang menonjol individu. Kebutuhan yang menonjol
ini akan menguat bila pekerjaan dipersepsikan mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sehingga akan membuat invidu menghabiskan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk pekerjaan.
b. Berpartisipasi aktif dalam pekerjaan
Partisipasi aktif akan terjadi bila seseorang diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya dalam bekerja seperti kesempatan mengerluarkan ide-ide,
membuat keputusan yang berguna untuk kesuksesan perusahaan,
kesempatan untuk belajar, mengeluarkan keahlian dan kemampuan dalam
bekerja, sehingga partisipasi aktif ini akan berpengaruh pada hasil kerja
dan hasil yang memuaskan akan mempengaruhi rasa berharga pada diri.
c. Menganggap performa sebagai hal yang penting bagi harga diri. Seberapa jauh performa kerja individu mempengaruhi harga diri. Usaha
kerja yang ditampilkan menggambarkan seberapa jauh seseorang yang 
terlibat pada pekerjaan akan menganggap penting pekerjaan tersebut bagi
harga diri atau rasa keberhargaan diri pada diri seseorang. Hal ini bisa
terlihat dari seberapa sering karyawan memikirkan tentang pekerjaan yang
belum terselesaikan setelah jam kerja selesai, masalah yang belum selesai
menjadi pusat konsep diri yang berlaku dalam hati.
d. Menganggap kinerja konsisten dengan konsep diri
Seseorang yang terlibat dalam pekerjaan akan memiliki konsentrasi
terhadap unjuk kerja sehingga mempengaruhi konsistensi seseorang
dengan konsep diri. Hal ini dapat terlihat dari seseorang memiliki prinsip
terhadap pekerjaan, unjuk kerja konsisten dengan kemampuan yang
dimiliki.

Pengertian Keterlibatan Kerja


Keterlibatan pekerjaan mengukur derajat sejauh mana seseorang
memihak secara psikologis pada pekerjaannya dan menganggap tingkat
kinerjanya yang dipersepsikan sebagai penting untuk harga diri (Robbins,
2003). Dapat dinyatakan bahwa aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat
menunjukkan seseorang pekerja terlibat dalam pekerjaan. Aktif paritisipasi
adalah perhatian seorang terhadap seseuatu. Keterlibatan kerja merupakan
faktor penting dalam sikap kerja lain yang terkait dengan kinerja. Orang
dengan keterlibatan kerja tinggi memfokuskan sebagian sebagian besar pada
pekerjaan mereka sehingga menjadi benar – benar tenggelam dan menikmati
pekerjaan tersebut (Suharti 2013).
Keterlibatan kerja merupakan suatu ukuran sampai dimana karyawan
dapat berpatisipasi dalam dalam pekerjaan secara psikologis dan mengagap
pekerjaan dan kinerjanya penting. Menurut Hao et al. (2009), seseorang
memiliki involvement yang tinggi jika (1) meyakini bahwa pekerjaannya
memiliki manfaat; (2) memiliki kontrol terhadap pencapaian pekerjaan; (3)
memelihara norma-norma perilaku; (4) memberikan umpan balik atas
penyelesaian pekerjaan; dan (5) adanya hubungan baik dengan atasan maupun
rekan kerja. Lebih jauh lagi Hao et al. (2009) menyatakan bahwa karyawan
dengan keterlibatan kerja tinggi akan berupaya keras dalam mencapai tujuantujuan organisasi. Sedangkan menurut Gibson (2000) Keterlibatan kerja pada
setiap individu adalah berbeda yaitu dalam hal sejauh mana: (1) Pekerjaan
merupakan pusat perhatian hidup, (2) Mereka secara aktif turut serta dalam
pekerjaan, (3) Mereka memandang pekerjaan sebagai pusat harga diri, dan (4)
Mereka memandang pekerjaan sesuai dengan konsep pribadi. Orang yang
tidak terlibat dalam pekerjaannya tidak dapat diharap untuk mencapai
kepuasan yang sama dengan mereka yang terlibat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja


Menurut Wirawan (2013) dalam kinerja, terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah :

a. Organizational Citizenship Behavior (OCB), bila seorang karyawan dalam
melakukan segala sesuatu, tidak selalu digerakkan oleh hal-hal yang
menguntungkan bagi dirinya, namun dikarenakan karyawan tersebut akan
mempunyai perasaan puas jika dapat membantu atau mengerjakan sesuatu
yang lebih perannya.
b. Deskripsi pekerjaan, spesifikasi pekerjaan yang standar kinerja pekerjaan.
Karena pekerjaan yang berbeda mempunyai deskripsi pekerjaan yang
berbeda, program evaluasi kinerja haruslah menyediakan cara yang
sistematik untuk mempertimbangkan perbedaan-perbedaan ini dan
memastikan evaluasi yang konsisten di seluruh pekerjaan dan karyawan
yang mendudukinya.
c. Keterlibatan kerja adalah mengimpilkasikan suatu pernyataan positif dan
lengkap dari ketertarikan aspek inti pada diri sendiri dalam pekerjaan.
Sehingga keterlibatan kerja akan meningkatkan produktivitas.
d. Tujuan-tujuan penilaian kinerja. Tujuan – tujuan penilaian kinerja secara
mendasar dapat digolongkan kepada dua bagian besar yaitu evaluasi dan
pengembangan.
e. Sikap para pekerja dan atasan terhadap evaluasi
Menurut Gibson (2000) faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja
sebagai berikut :
a. Faktor Individu. Faktor individu meliputi : kemampuan, keterampilan,
latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi
seseorang.


b. Faktor Psikologis. Faktor – faktor psikologis terdiri dari : persepsi, peran,
sikap, kepribadian motivasi lingkungan kerja dan kepuasan kerja.
c. Faktor Organisasi. Struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan
dan imbalan
Menurut Siagian (2008) faktor – faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja seseorang karyawan yang mempunyai karater baik apabila:
a. Mempunyai keahlian yang tinggi
b. Kesediaan untuk bekerja
c. Lingkungan kerja yang mendukung
d. Adanya imbalam yang layak dan mempunyai harapan masa depan

Metode Penilaian Kinerja


Menurut Wiraman (2013) setiap perusahaan mempunyai metode
sistem penilaian kinerja yang berbeda. Di bawah ini uraian tentang metode- metode penilaian kinerja di perusahaan.
a. Esai tertulis yaitu, metode yang paling mudah untuk menilai suatu kinerja
adalah dengan menulis sebuah narasi yang menggambarkan kelebihan,
kekurangan, prestasi waktu lampau, potensi dan saran – saran mengenai
seorang karyawan untuk perbaikan. Esai tertulis ini tidak membutuhkan
bentuk format yang rumit atau latihan. Tetapi hasil tulisan itu seringkali
menggambarkan kemampuan penulisnya. Baik atau buruknya sebuah
penilaian sama-sama ditentukan oleh keterampilan menulis si penilai dan
tingakat aktual kinerja seorang pekerja.
b. Keadaan kritis yaitu, metode keadaan kritis memfokuskan perhatian si
penilai pada perilaku-perilaku yang merupakan kunci untuk membedakan
anatara sebuah pekerjaan efektif atau yang tidak efektif. Si penilai menulis
anekdot yang menggambarkan apa-apa saja yang dilakukan para pekerja
dengan efektif atau tidak efektif. Disini yang menjadi kunci adalah
perilaku yang sifatnya khusus, dan bukan sifat-sifat personal yang samar,
melainkan yang disebutkan. Sebuah daftar keadaan kritis memuat
serangkaian contoh-contoh, dimana dengan daftar ini para pekerja dapat
meliahat perilaku-perialku yang diharapkan dan perilaku-perilaku yang
membutuhkan penegembangan.
c. Grafik skala penilaian yaitu, salah satu metode tertua dan terpopuler untuk
penilaian adalah dengan menggunakan grafik skala penilaian. Di dalam
metode ini, dicatat faktor-faktor kinerja, seperti kualitas dan kuantitas
kerja, tingkat pengetahuan,kerja sama, loyalitas, kehadiran, kejujuran dan
inisiatif. Selanjutnya, si penilai memeriksa daftar tersebut dan menilai
setiap faktor sesuai dengan skala peningkatan. Skala-skala tersebut
menghasilkan spesifikasi berdasarkan lima poin, sehingga sebuah faktor
seperti pengetahuan kerja bisa dinilai 1 hingga 5.
d. Skala peningkatan perilaku yaitu, skala peningkatan perilaku telah
dianggap sebagai pemikiran yang hebat pada tahun-tahun terakhir ini.
Skala ini mengkombinasikan elemen penting dari metode keadaan kritis
dengan metode pendekatan grafik skala penilaian
e. Skala peningkatan perilaku yaitu, menentukan dengan pasti, bersifat dapat
diamati, dan dapat mengukur perilaku kerja. Contoh perilaku di dalam
bekerja dan dimensi kinerja ditemukan dengan meminta para peserta untuk
memberiksan ilustrasi spesifik tentang efektif atau tidak efektifnya sebuah
perilaku berdasarkan dimensi kinerja. Contoh-contoh perilaku tersebut
selanjutnya diterjamahkan ke dalam sebuah perangkat dimensi kerja,
setiap dimensi memiliki bermacam-macam tingkat kinerja. Hasil dari
proses ini merupakan deskripsi perilaku, seperti antisipasi perencanaan,
pelaksanaan, pemecahan masalah, menjalankan perintah yang mendesak
dan penanganan situasi darurat.
f. Perbandingan multipersonal yaitu, metode perbandingan multipersonal
mengevaluasi satu kinerja individu dengan membandingkannya dengan
individu atau individu- individu lainnya. Cara ini bersifat relatif, bukan
sebagai alat pengukur yang absolut. Tiga pembanding yang sangat populer
adalah peringkat urutan kelompok, peringkat individu, dan perbandingan
berpasangan.

Penilaian Kinerja


Menurut Rivai dan Basri (2005) penilaian kinerja merupakan kajian
sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal
yang dikaitkan dengan standar kinerja yang yang telah ditentukan oleh
perusahaan. Dessler (2008) berpendapat bahwa penilaian kinerja adalah
mengevaluasi dari seorang karyawan baik saat ini maupun dimasa lalu
dihubungkan dengan standar kinerja dari karyawan tersebut. Hasil penilaian
kinerja dapat menunjukkan apakah SDM telah memenuhi tuntutan yang
dikehendaki perusahaan, baik dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitas.

Dimensi dan Indikator-indikator Kinerja karyawan


Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu ada 6
Bernadin dan Russel (2003), yaitu :
a. Kualitas, kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap
keterampilan dan kemampuan karyawan.
b. Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah
seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan
c. Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal
waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output
serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
d. Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi
(tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud
menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
e. Kemandirian merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan
dapat menjalakan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dari
orang lain atau pengawas.
f. Komitmen kerja merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai
komitmen kerja dengan instansi dan tangung jawab karyawan terhadap
kantor.

Pengertian Kinerja


Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai
bentuk aktivitas. Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh manusia baik
secara alami atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi untuk
berperilaku tertentu tetapi perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat – saat
tertentu saja. Potensi untuk berperilaku tertentu itu disebut kemampuan,
sedangkan ekspresi dikenal sebagai kinerja (Brahmasari & Agus 2008).
Kinerja individu juga disebut dengan job perfomance, task
perfomance, work outcome. Kinerja (perfomance) dapat diartikan sebagai
kesuksesan didalam melaksanakan suatu pekerjaan. Arti lain job perfomance
adalah Successful role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan- perbuatannya Cash and Fischer, Robert, Baron and Greenberg, Mair, Lawler
and Porter (dalam Irien, 2014). Pada umumnya kinerja dapat diartikan
sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Arti lain
Job Perfomance adalah Successful role achievement yang diperoleh
seseorang dari perbuatan-perbuatannya. Kedua batasan pengertian tersebut
menunjukkan bahwa yang dimaksud Job Perfomance adalah hasil yang
dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang
bersangkutan.
Tika (2006), mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang
dapat dicapai seseorang atas sekelompok orang dalam rangka penyampaian
tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Kinerja disini merupakan
hasil – hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam
suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk pencapaian
tujuan organisasi dalam waktu tertentu.
Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai
dari pekerjaan tersebut. Kinerja juga merupakan apa yang diharapkan dan
bagaimana cara mengerjakannya. Selanjutnya kinerja adalah hasil karya yang
dapat dicapai dari seseorang atau sekelompok dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing- masing dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi atau instansi yang bersangkutan secara ilegal,
tidak melanggar hukum seseuai dengan moral maupun etika Prawirasentoso
(dalam Irien, 2014).

Indikator Kinerja Karyawan


Dikembangkan oleh J. Richard Hackman dan Gred Oldman, model
karakteristik pekerjaan (job characteristic model) mengatakan bahwa kita dapat
menggambarkan suatu pekerjaan dalam bentuk lima dimensi utama pekerjaan
yaitu (Robbins dan Judge, 2015:155-156) :

  1. Keahlian yang bervariasi adalah kondisi yang mana suatu pekerjaan
    memerlukan aktivitas berbeda yang bervariasi sehingga pekerja dapat
    menggunakan keahlian dan bakat;
  2. Identitas tugas adalah keadaan di mana suatu pekerjaan memerlukan
    penyelesaian secara keseluruhan dan dapat mengindentifikasikan hasil kerja;
  3. Signifikansi tugas adalah di mana suatu pekerjaan memengaruhi kehidupan
    atau pekerjaan orang lain;
  4. Kemandirian adalah keadaan di mana suatu pekerjaan memberikan kebebasan
    yang cukup besar dan keleluasan kepada individu dalam menjadwalkan
    pekerjaan dan dalam menetapkan prosedur yang akan digunakan untuk
    melaksanakannya;
  5. Umpan balik adalah keadaan di mana pelaksanaan aktivitas kerja
    menghasilkan informasi secara langsung dan jelas tentang kinerja anda
    sendiri.

Pengertian Kinerja Karyawan


Pengertian kinerja menurut Rivai, dkk (2015 : 141) adalah hasil atau
tingkatan keberhasilan seseorang secara keseluruhan selam periode tertentu dalam
melaksanakan tugas dibandingkan dengan standar hasil kerja, target atau sasaran
atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu serta telah disepakati bersama.
Kinerja juga tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan kepuasan kerja
dan kompensasi, dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan dan sifat-sifat
individu. Dengan itu kinerja ditentukan oleh kemampuan, keinginan dan
lingkungan. Oleh karena itu agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus
mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui
pekerjaannya serta dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan
kemampuan.
Pengertian kinerja adalah sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dapat dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2017:67).
Sementara menurut Soedjono, (2013 : 93) kinerja karyawan adalah
prestasi kerja yakni perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata dengan
standar kerja yang ditetapkan dalam melaksanakan tugasnya sebagai karyawan.
Selanjutnya Robbins, (2015 : 88) mengistilahkan kinerja (performance)
dengan prestasi kerja yaitu proses melalui mana organisasi mengevaluasi atau
menilai prestasi kerja karyawan.
Menurut Rivai, dkk (2015 : 309) Kinerja seseorang merupakan
kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai hasil kerja,
dan juga merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai
prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan dengan peranan dalam
pemerintahan.
Sedangkan Hasibuan (2015 : 34) menyatakan bahwa Kinerja (prestasi
kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugastugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman
dan kesungguhan serta waktu

Pengertian Budaya Kerja


Menurut Triguno dalam Ruliyansa (2018 : 83) Budaya kerja merupakan
hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan perusahaan atau organisasi dalam
membangun prestasi dan produktivitas kerja para pegawai sehingga
mengarahkan perusahaan kepada keberhasilan yang dilakukan dengan kesadaran
masing-masing individu, sedangkan kesadaran adalah merupakan sikap
seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas
dan tanggung jawabnya.
Budaya kerja adalah Cara kerja sehari-hari yang bermutu dan selalu
mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi motivasi, memberi
inspirasi, untuk senantiasa bekerja lebih baik, dan memuaskan bagi masyarakat
yang dilayani (Ruliyansa, 2018 : 83) .
Sedangkan menurut Sulaksono, (2010 ) budaya kerja adalah “ The way
we are doing here” artinya sikap dan perilaku pegawai dalam melaksanakan
tugas.
Selanjutnya Robbins (2015:721) budaya kerja mengarah kepada kesatuan
sistem makna bersama yang dianut oleh anggota organisasi yang membedakan
organisasi itu dengan organisasi yang lain. Budaya kerja adalah perwujudan dari
kehidupan yang dijumpai di tempat kerja. Secara lebih khusus, budaya kerja
merupakan suatu sistem makna yang terkait dengan kerja, pekerjaan dan interaksi
kerja yang disepakati bersama dan digunakan di dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya kerja yang terdapat dalam suatu organisasi adalah tempat mengasah
anggota organisasi berkarya di organisasi tersebut. Kualitas dari karakter budaya
kerja inilah yang akan membentuk besar kecilnya kemauan, hasrat, dan gairah
anggota organisasi untuk memunculkan dan memanfaatkan potensi insani mereka
untuk dikontribusikan pada proses penciptaan kinerja organisasi (Hartanto, 2009).
Menurut Moeljono (2005: 90) budaya mempunyai suatu dampak yang
sangat kuat dan semakin besar pada prestasi kerja organisasi, yaitu:

  1. Budaya korporat dapat mempunyai dampak signifikan pada prestasi kerja
    ekonomi organisasi dalam jangka panjang;
  2. Budaya korporat bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam
    menentukan sukses atau kegagalan suatu organisasi dalam masa mendatang;
  3. Budaya korporat yang menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam
    jangka panjang adalah tidak jarang, dan budaya itu berkembang dengan
    mudah, bahkan dalam organisasi yang penuh dengan orang yang bijaksana
    dan pandai;
  4. Walaupun sulit diubah, budaya korporat dapat dibuat untuk lebih
    meningkatkan prestasi.

Indikator Kinerja


Menurut Mangkunegara (2017: 75) indikator yang dapat mengukur variabel
kinerja adalah sebagai berikut:

  1. Kuantitas Kerja (Quantity Of Work)
    Kuantitas kerja menunjukkan jumlah pekerjaan yang dihasilkan individu
    atau kelompok sebagai persyaratan yang menjadi standar pekerjaan. Setiap
    pekerjaan memiliki persyaratan yang berbeda sehingga menuntut pegawai
    harus memenuhi persyaratan tersebut jika pengalaman keterampilan,
    maupun kemampuan yang sesuai.
  2. Kualitas Kerja (Quality Of Work)
    Kualitas kerja sesuai dengan kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi
    yang berkembang peat, melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan
    yang sistematis, kualitas pekerjaan yang dicapai berdasarkan persyaratan
    penerapan dan kesiapan yang tinggi pada gilirannya akan menghasilkan
    penghargaan, kemajuan, dan pengembangan organisasi.
  3. Ketepatan Waktu (Pompteness)
    Apakah waktu penyelesaian pekerjaan terkait dengan target waktu yang
    direncanakan. Segala upaya dilakukan untuk menyelesaikan sesuai rencana
    agar tidak mengganggu tugas-tugas lainnya.
  4. Inisiatif (Initiative)
    Ketika memenuhi tugas dan tanggung jawab, setiap individu harus
    melakukan sesuatu secara sadar. Bawahan atau pegawai dapat melakukan
    tugas tanpa harus tergantung pada atasan sepanjang waktu.
  5. Kemampuan Kerjasama (Cooperative Capability)
    Tidak semua pekerjaan dapat dilakukan oleh suatu pegawai. Beberapa jenis
    pekerjaan mungkin perlu dilakukan oleh dua atau lebih pegawai, kerjasama
    antar pegawai sangat diperlukan. Kinerja pegawai dapat dinilai dari
    kemampuan bekerjasama dengan rekan kerja lainnya.

Tujuan Kinerja


Menurut Suparyadi (2016: 304) tujuan kinerja karyawan diantaranya yaitu
sebagai berikut:

  1. Tujuan Organisasi
    a. Mendukung strategi
    Setiap organisasi dalam upayanya dapat mencapai tujuan organisasi
    yang telah ditetapkan, biasanya menggunakan strategi tertentu.
    Misalnya, organisasi atau perusahaan menetapkan strategi kepuasan
    pelanggan, yang mana organisasi akan berupaya untuk memenuhi
    kebutuhan dan keinginan pelanggan baik tentang kualitas produk
    maupun layanan.
    b. Pelatihan dan pengembangan karyawan
    Evaluasi yang dilakukan terhadap kinerja akan menghasilkan
    kesimpulan apakah kinerja karyawan saat ini telah sesuai dengan apa
    yang diharapkan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
    atau belum.
    c. Administratif
    Penilaian kinerja karyawan akan mengasilkan kesimpulan tentang
    prestasi yang dicapai oleh karyawan dan potensi manajerial mereka.
    Karyawan yang berprestasi perlu mendapatkan penghargaan agar lebih
    termotivasi dalam melaksanakan pekerjaannya. Misalnya memberikan
    bonus atau promosi jabatan bagi mereka yang memiliki potensi untuk
    dapat lebih berkembang.
  2. Tujuan Individu Karyawan
    a. Karir yang tinggi
    Setiap individu pada umumnya mengharapkan untuk dapat menduduki
    jabatan yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Dengan posisi jabatan
    yang lebih tinggi, maka tidak hanya memiliki peluang untuk terus
    mengembangkan kemampuannya, tetapi juga memiliki wewenang dan
    tanggungjawab besar sehingga dapat terlihat dalam pengambilan
    keputusan strategi bagi organisasi.
    b. Hidup sejahtera
    Dengan posisi jabatan yang semakin tinggi, karyawan akan memperoleh
    kompensasi yang lebih baik dari pada sebelumnya sehingga hal ini dapat
    meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.
    c. Status
    Dengan status sosial yang tinggi, ia akan menjadi seorang yang
    dihormati, disegani, dan dijadikan tokoh panutan oleh komunitasnya.

Karakteristik Kinerja


Menurut Mangkunegara (2017: 60) karakteristik orang yang mempunyai
kinerja tinggi adalah sebagai berikut:

  1. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi.
  2. Berani mengambil dan menanggung resiko yang dihadapi.
  3. Memiliki tujuan yang realistis.
  4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk
    merealisasikan tujuannya.
  5. Memanfaatkan umpan balik (feed back) yang konkrit dalam seluruh
    kegiatan kerja dilakukannya.
  6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah
    diprogramkan.

Pengertian Kinerja


Menurut Priansa (2016: 269) kinerja dalam bahasa inggris disebut dengan
job performance atau actual performance atau level of performance, yang
merupakan tingkat keberhasilan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Kinerja bukan merupakan karakteristik individu, seperti bakat, atau
kemampuan, namun merupakan perwujudan dari bakat atau kemampuan dalam
bentuk karya nyata. Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai pegawai dalam
mengemban tugas dan pekerjaan yang berasal dari organisasi.
Menurut Mangkunegara (2017: 67) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Sulaksono (2015: 91) kinerja merupakan perbandingan hasil yang
diraih dan peran serta karyawan per satuan waktu umumnya per jam. Kinerja
juga diartikan selaku ungkapan seperti output, efisiensi dan efektivitas yang
berhubungan dengan produktivitas.

Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan merupakan hal yang penting bagi organisasi maupun
perusahaan. Karena setiap perusahaan mengharapkan karyawannya
menunjukkan kinerja yang optimal dalam menunjang tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan perusahaan. Sehingga untuk tercapainya tujuan maka
perusahaan harus memperhatikan kinerja karyawan.

Indikator Beban Kerja


Menurut Koesomowidjojo (2017: 33) ada beberapa indikator beban kerja
yaitu sebagai berikut:

  1. Kondisi Pekerjaan
    Kondisi pekerjaan yang dimaksud adalah bagaimana seorang karyawan
    memahami pekerjaan tersebut dengan baik. Misalnya, karyawan yang
    berada pada divisi produksi tentunya akan berhubungan dengan mesinmesin produksi. Sejauhmana kemampuan dan pemahaman karyawan dalam
    penguasaan mesin-mesin produksi untuk membantu mencapai target
    produksi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perusahaan hendaknya
    telah memiliki dan mensosialisasikan SOP (Standartd Operating
    Procedure) kepada semua unsur di dalam lembaga sehingga karyawan yang
    bekerja di dalamnya dapat:
    a. Mudah mengoperasikan pekerjaan yang telah didelegasikan;
    b. Meminimalisir kesalahan dalam melaksanakan tahapan pekerjaan;
    c. Meminimalisir kesalahan kerja;
    d. Mengurangi beban kerja karyawan dan meningkatkan comparability,
    credibility, and defensibility;
    e. Memudahkan evaluasi atas setiap proses kerja yang telah ditetapkan
    oleh perusahaan;
    f. Memudahkan karyawan dalam mengambil keputusan apabila terdapat
    perubahan dalam prosedur kerja sehingga kualitas kerja yang ditetapkan
    akan jauh lebih mudah dicapai;
    g. Memudahkan karyawan untuk memiliki komunikasi yang baik dengan
    atasan maupun rekan kerja.
  2. Penggunaan waktu
    Waktu kerja sesuai dengan SOP tentunya akan meminimalisir beban kerja
    karyawan. Namun apabila suatu organisasi tidak memiliki SOP atau tidak
    konsisten dalam melaksanakan SOP, penggunaan waktu kerja yang
    diberlakukan karyawan cenderung berlebihan. Beberapa indikator yang
    perlu ditentukan dalam SOP yaitu kedisiplinan waktu, pembagian waktu,
    efisiensi waktu, dan efektivitas waktu.
  3. Target yang harus dicapai
    Target kerja yang ditetapkan perusahaan tentunya secara langsung akan
    mempengaruhi beban kerja yang diterima oleh karyawan. Semakin sempit
    waktu yang disediakan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu akan
    semakin besar beban kerja yang diterima oleh karyawan. Sehingga sangat
    dibutuhkan penetapan waktu yang seimbang dalam menyelesaikan banyak
    pekerjaan tertentu dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang jumlahnya
    berbeda satu sama lain.
  4. Lingkungan kerja
    Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja
    yang mempengaruhi dirinya dalam menjalakan tugas.

Manfaat Beban Kerja


Suatu organisasi melakukan analisis beban kerja untuk dapat memperbaiki
kualitas dari sumber daya manusia yang diberdayakan. Adapun manfaat analisis
beban kerja menurut Koesomowidjojo (2017: 91) sebagai berikut:

  1. Penentuan jumlah kebutuhan karyawan.
    Melakukan penentuan jumlah kebutuhan karyawan ditujukan agar
    organisasi memiliki dasar untuk melakukan penambahan (rekrutmen) atau
    pengurangan (PHK) tenaga kerja pada suatu unit kerja. Dengan mengetahui
    jumlah tenaga kerja optimal dan komposisi yang dibutuhkan pada unit kerja
    yang yang berbeda, diharapkan akan meningkatkan efektivitas sumber daya
    manusia.
  2. Melakukan proses yang terorganisir dalam melakukan penambahan atau
    pengurangan karyawan.
    Proses yang terorganisir dalam melakukan penambahan atau pengurangan
    karyawan diharapkan akan menempatkan karyawan sesuai kualifikasi dan
    pendidikannya. Karyawan yang memiliki kualifikasi baik dan berprestasi
    tentunya akan ditempatkan pada posisi-posisi strategis dalam organisasi,
    mendapatkan fasilitas yang jauh lebih baik dalam organisasi. Namun, bagi
    karyawan yang memiliki kualifikasi rendah, organisasi tentunya akan
    mengarahkan karyawan tersebut mengikuti program pelatihan dan
    pengembangan atau dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) apabila
    tidak dapat memperbaiki kinerjanya.
  3. Melakukan penyempurnaan tugas dalam jabatan-jabatan yang ada pada
    setiap organisasi.
    Untuk mencapai suatu kinerja organisasi yang unggul, penempatan sumber
    daya manusia akan disesuaikan dengan kompetensinya. Jabatan-jabatan
    strategis yang dipegang oleh sumber daya manusia yang mumpuni akan ikut
    meningkatkan produktivitas organisasi.
  4. Melakukan perhitungan beban kerja karyawan dalam suatu periode tertentu.
    Dengan melakukan perhitungan beban kerja karyawan dalam satu periode
    tertentu akan diketahui apakah dalam suatu unit kerja dibutuhkan tambahan
    tenaga kerja atau bahkan pengurangan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja
    yang sedikit tentunya akan menghambat tumbuh kembang perusahaan.
    demikian pula apabila jumlah tenaga kerja berlebihan, efektivitas kerja
    dalam suatu unit kerja/organisasi tentunya akan berkurang.
  5. Penyempurnaan SOP (Standar Operating Procedure).
    Penyempurnaan SOP akan dilakukan apabila pada beberapa unit kerja atau
    mendatangkan dampak kerja yang cukup signifikan, baik kepada karyawan
    sebagai individu, unit kerja sebagai kelompok maupun perusahaan sebagai
    organisasi dimana karyawan tersebut bekerja.
  6. Penyempurnaan struktur organisasi.
    Penyempurnaan ini tentunya dengan tujuan agar unsur-unsur di dalam
    organisasi yang mengalami perubahan utamanya karyawan yang bekerja di
    dalamnya dapat bekerja sesuai kompetensi yang dimilikinya. Ketika analisis
    beban kerja dilakukan, akan diketahui pada bagian mana sajakah yang
    memerlukan perbaikan akibat dari terlalu tingginya atau terlalu rendahnya
    beban kerja karyawan pada bagian-bagian dalam organisasi.
  7. Pengukuran waktu kerja dan melakukan penentuan standar waktu dalam
    menyelesaikan tugas.
    Dalam menjalankan operasional organisasi, penentuan standar waktu dalam
    menyelesaikan tugas akan menjadi salah satu hal yang mutlak dijadikan
    tolak ukur apakah suatu pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik atau
    tidak. Minimnya penyelesaian pekerjaan yang sesuai dengan target waktu
    akan berimbas pada produktivitas organisasi. Namun, pada penetapan
    standar waktu kerja tentunya akan disesuaikan dengan kompetensi
    karyawan.
  8. Penentuan jumlah kebutuhan pelatihan (training needs) bagi karyawan.
    Dengan adanya analisis beban kerja, organisasi dapat menentukan jumlah
    kebutuhan pelatihan bagi karyawan. Penentuan jumlah kebutuhan pelatihan
    bagi karyawan dengan cara mengidentifikasi waktu normal tiap karyawan
    nilainya lebih besar dibandingkan dengan waktu standar yang digunakan
    untuk melakukan suatu pekerjaan/aktivitas. Dengan mengimplementasikan
    analisis beban kerja, organisasi/perusahaan akan dapat melakukan prediksi,
    menetapkan perhitungan komposisi jumlah karyawan, komposisi
    kualifikasi karyawan dan komposisi pekerjaan.

Jenis Beban Kerja


Menurut Vanchapo (2020: 4) beban kerja meliputi dua jenis yaitu sebagai
berikut:

  1. Beban kerja kuantitatif
    Beban berlebihan secara fisik maupun mental, yaitu individu harus
    melakukan banyak hal dalam pekerjaannya dan dapat memungkinkan
    menjadi sumber stress pekerjaan. Unsur lain yang menimbulkan beban
    berlebih kuantitatif ini adalah desakan waktu dan desakan target.
  2. Beban kerja kualitatif
    Beban kerja kualitatif merupakan tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi dari
    batas kemampuan dan teknis individu. Pada batasan tertentu, beban kerja
    tersebut menyebabkan pekerjaan tidak produktif dan juga kelelahan mental
    yang tercermin dari reaksi emosional.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja


Untuk menganalisis beban kerja suatu lembaga perusahaan tentunya
memiliki harapan agar beban yang diampu seorang karyawan tidak
memberatkan dan sesuai dengan kemampuan/kompetensi seorang karyawan
pada umumnya. Untuk itu, perusahaan hendaknya memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi beban kerja. Adapun menurut Koesomowidjojo (2017: 24)
faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja baik internal maupun eksternal
adalah sebagai berikut:

  1. Faktor Internal
    Faktor internal yang mempengaruhi beban kerja adalah faktor yang berasal
    dari dalam tubuh akibat dari reaksi beban kerja eksternal berupa jenis kelamin,
    usia, postur tubuh, status kesehatan (faktor somatis) dan motivasi, kepuasan,
    keinginan atau persepsi (faktor psikis). Jenis kelamin, usia, postur tubuh, dan
    status kesehatan adalah hal yang dipertimbangkan oleh perusahaan atau
    lembaga dalam memberikan tanggung jawab suatu pekerjaan.
  2. Faktor Eksternal
    Faktor eksternal dalam dunia kerja juga akan mempengaruhi beban kerja
    karyawan. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor dari luar tubuh
    karyawan seperti:
    a. Lingkungan kerja
    Lingkungan kerja yang berhubungan dengan kimiawi, psikologis,
    biologis dan lingkungan kerja secara fisik. Lingkungan kerja yang
    nyaman tentunya akan berpengaruh terhadap kenyamanan karyawan
    menyelesaikan pekerjaannya.
    b. Tugas-tugas fisik
    Tugas-tugas yang dimaksud adalah hal-hal yang berhubungan dengan
    alat-alat dan sarana bantu dalam menyelesaikan pekerjaan, tanggung
    jawab pekerjaan, bahkan tingkat kesulitan yang dihadapi ketika
    menyelesaikan pekerjaan.
    c. Organisasi kerja
    Seorang karyawan tentunya membutuhkan jadwal kerja yang teratur
    dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga lamanya waktu bekerja,
    shift kerja, istirahat, perencanaan karier hingga penggajian atau
    pengupahan akan turut memberikan kontribusi terhadap beban kerja
    yang dirasakan oleh masing-masing karyawan.

Pengertian Beban Kerja


Beban kerja menurut Koesomowidjojo (2017: 21) mengemukakan bahwa
beban kerja merupakan segala bentuk pekerjaan yang diberikan kepada sumber
daya manusia untuk diselesaikan dalam kurun waktu tertentu.
Sedangkan Menurut Aprilia (2017: 91) beban kerja adalah sekumpulan atau
sejumlah kegiatan yang diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang
jabatan dalam jangka waktu tertentu.
Adapun Menurut Nabawi (2019: 175) beban kerja adalah sebuah proses
yang dilakukan seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas suatu pekerjaan
atau kelompok jabatan yang dilaksanakan dalam keadaan normal dalam suatu
jangka waktu tertentu.
Menurut Sugiharjo (2018: 130) beban kerja adalah beban yang terlalu
banyak dapat menyebabkan ketegangan dalam diri seseorang sehingga
menimbulkan stress. Hal ini bisa disebabkan oleh tingkat keahlian yang dituntut
terlalu tinggi, kecepatan kerja mungkin terlalu tinggi, volume kerja mungkin
terlalu banyak dan sebagainya.
Menurut Tjiabrata (2017: 1572) beban kerja adalah suatu kondisi dari
pekerjaan dengan uraian tugasnya harus diselesaikan pada batas waktu tertentu

Indikator Etos Kerja


Menurut Salamun et. all (2017: 16) ada beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur etos kerja yaitu sebagai berikut:

  1. Kerja keras
    Kerja keras ialah bahwa didalam bekerja mempunyai sifat mabuk kerja atau
    berusaha sekuat tenaga untuk dapat mencapai sasaran yang ingin dicapai.
    Dengan memanfaatkan waktu yang optimal sehingga kadang-kadang tidak
    mengenal waktu, jarak, dan kesulitan yang dihadapi.
  2. Disiplin
    Disiplin sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat
    terhadap peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak
    tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak menerima
    sanksi-sanksi apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan
    kepadanya.
  3. Jujur
    Kejujuran yaitu kesanggupan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya
    sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan.
  4. Tanggung jawab
    Tanggung jawab adalah memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang
    dilakukan merupakan suatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan
    kesungguhan.
  5. Rajin
    Rajin adalah seseorang yang bekerja secara teratur, rajin, keras hati, dan
    bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaanya. Dengan
    terciptanya kebiasaan karyawan untuk menjaga dan meningkatkan apa yang
    sudah dicapai.

Dimensi Etos Kerja


Dalam sebuah aspek etos kerja terdapat dimensi-dimensi yang bisa menjadi
acuan dalam menentukan tingkat etos kerja tersebut. Menurut Priansa
(2016:287) mengemukakan ada delapan dimensi etos kerja, yaitu sebagai
berikut:

  1. Kerja adalah Rahmat
    Segala macam jenis pekerjaan yang kita lakukan adalah rahmat dari Tuhan
    YME, entah itu pengusaha, pekerja kantor, atau buruh sekalipun. Semua itu
    kita terima dari Tuhan tanpa adanya syarat tertentu.
  2. Kerja adalah Amanah
    Bekerja juga merupakan sebuah titipan dari Tuhan yang harus kita lakukan
    dengan penuh rasa tanggung jawab serta dikerjakan dengan baik dan benar.
  3. Kerja adalah Panggilan
    Bekerja dengan penuh integritas adalah ciri bahwa kita telah melakukan
    pekerjaan yang kita anggap merupakan sebuah panggilan jiwa bagi diri kita.
    Kita akan bertekad dalam diri bahwa apa yang kita kerjakan adalah yang
    paling baik dari yang kita bisa agar merasa puas terhadap hasil kerja kita.
  4. Kerja adalah Aktualisasi
    Untuk mencapai hakikat manusia yang tinggi, bekerja merupakan sebuah
    sarana dalam menciptakan hal tersebut. Beragam pekerjaan yang ada di
    dunia, semuanya merupakan sebuah aktualisasi diri dari setiap orang, entah
    dokter, guru, atau ahli hukum sekalipun.
  5. Kerja adalah Ibadah
    Suatu hal yang baik jika dikerjakan dengan ikhlas akan dinilai sebagai
    sebuah ibadah oleh Tuhan, begitu pun dengan pekerjaan. Bekerja dengan
    ikhlas akan membawa kita kepada sebuah ibadah yang akan membentuk
    sebuah bakti dan ketakwaan terhadap Tuhan YME.
  6. Kerja adalah Seni
    Bekerja hendaknya dianggap menjadi sebuah seni demi mencapai titik
    bahagia saat melakukan pekerjaan tersebut seperti saat kita melakukan
    sebuah hobi. Dengan demikian, bekerja akan bisa dinikmati oleh seseorang
    jika mereka menganggap pekerjaan sebagai sebuah seni.
  7. Kerja adalah Kehormatan
    Sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan maka anggaplah itu sebagai
    suatu kehormatan yang harus kita jaga. Jika hal kecil bisa kita jaga
    kehormatannya, maka hal lain yang kehormatannya lebih besar akan
    mendatangi kita.
  8. Kerja adalah Pelayanan
    Selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi bekerja merupakan sebuah
    bentuk pelayanan kita terhadap orang lain. Bekerja harus dilakukan dengan
    penuh kerendahan hati dan sesuai kemampuan diri.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja


Menurut Priansa (2016: 285) etos kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik internal maupun eksternal diantaranya, sebagai berikut:

  1. Faktor Internal
    a. Agama
    Agama membentuk nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku. Sistem nilai
    tersebut akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para
    penganutnya. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak pegawai pastilah
    diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya.
    b. Pendidikan
    Pendidikan yang baik dapat menginternalisasikan etos kerja dengan
    tepat, sehingga individu akan memiliki etos kerja yang tinggi. Melalui
    pendidikan yang baik maka dalam diri pegawai akan terbentuk etos
    kerja yang tinggi.
    c. Motivasi
    Individu yang memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang
    memiliki motivasi yang tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan
    dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini pegawai,
    yang juga dipengaruhi oleh motivasi yang timbul dari dalam dirinya.
    d. Usia
    Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pegawai dengan usia di
    bawah 30 tahun memiliki etos kerja yang lebih tinggi dibandingkan
    dengan pegawai yang berusia diatas 30 tahun.
    e. Jenis Kelamin
    Jenis kelamin sering kali diidentikkan dengan etos kerja, beberapa pakar
    mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa perempuan cenderung
    memiliki etos kerja, komitmen dan loyalitas yang tinggi dibandingkan
    dengan laki-laki.
  2. Faktor Eksternal
    a. Budaya
    Sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga
    disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara
    operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja
    ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang
    bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju
    memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki
    sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang
    rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.
    b. Sosial Politik
    Tinggi dan rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada
    atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk
    bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan
    penuh.
    c. Kondisi Lingkungan (Geografis)
    Etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis.
    Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang
    berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan
    mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk
    turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
    d. Struktur Ekonomi
    Tinggi rendahnya etos kerja yang dimiliki masyarakat juga dipengaruhi
    oleh struktur ekonomi yang ada di negara tersebut.
    e. Tingkat Kesejahteraan
    Tingkat kesejahteraan masyarakat juga sangat mempengaruhi etos kerja
    yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
    f. Perkembangan Bangsa Lain
    Semakin berkembangnya teknologi, informasi, dan komunikasi
    mendorong negara berkembang untuk meniru etos kerja negara lain
    yang lebih maju.

Karakteristik Etos Kerja


Menurut Priansa (2016: 283) etos kerja memiliki sejumlah karakteristik
yang menjadi identitas dari makna etos kerja itu sendiri. Adapun tiga
karakteristik utama dari etos kerja yaitu sebagai berikut:

  1. Keahlian Interpersonal
    Keahlian interpersonal adalah aspek yang berkaitan dengan kemampuan
    pegawai untuk menjalin hubungan kerja dengan orang lain atau bagaimana
    pegawai berhubungan dengan pegawai lain yang ada di dalam organisasi
    maupun pegawai yang ada diluar organisasi. Keahlian interpersonal meliputi
    kebiasaan, sikap, cara, penampilan, dan perilaku yang digunakan pegawai pada
    saat disekitar orang lain serta mempengaruhi bagaimana individu berinteraksi
    dengan orang lain. Terdapat tujuh belas sifat yang dapat menggambarkan
    keahlian interpersonal pegawai, yaitu: sopan, bersahabat, gembira, perhatian,
    menyenangkan, kerjasama, menolong, disenangi, tekun, loyal, rapi, sabar,
    apresiatif, kerja keras, rendah hati, emosi yang stabil, dan keras dalam kemauan.
  2. Inisiatif
    Inisiatif merupakan karakteristik yang dapat memfasilitasi pegawai agar
    terdorong untuk lebih meningkatkan kinerjanya dan tidak langsung merasa puas
    dengan kinerja biasa. Aspek ini sering dihubungkan dengan iklim kerja yang
    terbentuk di dalam lingkungan pekerjaan yang ada di dalam organisasi.
    Terdapat enam belas sifat yang dapat menggambarkan inisiatif yang berkenan
    dengan pegawai, yaitu: cerdik, produktif, banyak ide, berinisiatif, ambisius,
    efisien, efektif, antusias, dedikasi, daya tahan kerja, akurat, teliti, mandiri
    mampu beradaptasi, gigih, dan teratur.
  3. Dapat Diandalkan
    Dapat diandalkan adalah aspek yang berhubungan dengan adanya harapan
    terhadap kinerja pegawai dan merupakan suatu perjanjian implisit pegawai
    untuk melakukan beberapa fungsi pekerjaan. Pegawai diharapkan dapat
    memuaskan harapan minimum organisasi, tanpa perlu terlalu berlebihan
    sehingga melakukan pekerjaan yang bukan tugasnya. Aspek ini merupakan
    salah satu hal yang sangat diingat oleh pihak organisasi terhadap pegawainya.
    Terdapat tujuh sifat yang dapat menggambarkan seorang pegawai yang dapat
    diandalkan, yaitu: petunjuk, mematuhi peraturan, dapat diandalkan, dapat
    dipercaya, berhati hati, jujur, dan tepat waktu.

Pengertian Etos Kerja


Secara etimologis bahwa istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang
mempunyai arti “tempat hidup”. Pada awalnya tempat hidup dimaknai sebagai
suatu alat istiadat atau kebiasaan. Seiring berjalannya waktu kata etos
mempunyai makna yang makin kompleks. Dari kata tersebut muncul istilah
“athikos” yang berarti teori kehidupan, kemudian berubah menjadi “etika”.
Dalam bahasa inggris etos disimpulkan sebagai character. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia etos sering disebut sebagai sifat dasar, permunculan atau
disposisi (watak)

Hubungan antara Keadilan Organisasi dan Perilaku KerjaKontraproduktif


Perilaku kerja kontraproduktif muncul akibat dari persepsi keadilan
karyawan terhadap organisasi. Karyawan yang merasa diperlakukan dengan adil
akan merasa senang dan nyaman berada di lingkungan kerja. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lubis dan Weldali (2016) menyatakan bahwa keadilan organisasi
dapat mempengaruhi perilaku kerja kontraproduktif. Semakin tinggi persepsi
karyawan terhadap keadilan yang diterapkan di organisasi maka semakin rendah
perilaku kerja kontraproduktif yang muncul. Para karyawan akan berperilaku
positif jika organisasi dapat memberi perlakuan adil terhadap kinerja karyawan
dapat di evaluasi dengan adil.
Hasil penelitian tersebut dapat didukung dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Oge, Ifeanyi dan Gozie (2015), perilaku kerja kontraproduktif mulai
ditunjukkan oleh karyawan untuk menyesuaikan diri dengan stres yang terjadi
akibat ketidakadilan yang diberikan organisasi. Sehingga perusahaan tidak dapat
mengabaikan pentingannya keadilan organisasi terhadap perilaku kerja
kontraproduktif yang terjadi pada karyawan. Organisasi harus mampu membangun
hubungan kerja yang adil terhadap karyawan dengan memenuhi kebutuhan dan
memberikan kondisi kerja yang adil untuk mencegah terjadinya perilaku kerja
kontraproduktif.
Keadilan organisasi memiliki tiga aspek menurut Colquitt (2001), yaitu
keadilan prosedural, keadilan distributif dan keadilan interaksional. Keadilan
prosedural merupakan presepsi karyawan terhadap kebijakan dan prosedur yang
berlaku di organisasi. Karyawan akan merasa diperlakukan dengan adil apabila
keputusan yang dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di organisasi
serta melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan. Karyawan yang
diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat di lingkungan organisasi akan
merasa mendapatkan keadilan dan menghargai keputusan organisasi sehingga dapat
mencegah perilaku kerja kontraproduktif.
Keadilan prosedural berkaitan dengan keadilan metode, kebijakan dan
prosedur yang digunakan dalam mengambil keputusan daripada hasil keputusan.
Presepsi tidak adil yang akan menyebabkan karyawan memiliki rasa marah dan
berprasangka buruk sedangkan prosedur yang adil akan menghasilkan kepuasan
kepada individu walaupun hasil yang diterima tidak sesuai dengan yang mereka
inginkan. Prosedur dalam membuat keputusan lebih penting daripada jumlah
imbalan yang karyawan terima, karena keputusan dalam proses yang adil akan lebih
mudah diterima oleh karyawan. Prosedur yang adil akan mempengaruhi penilaian
keadilan karyawan terhadap prosedur pengambilan keputusan di organisasi
sehingga akan meningkatkan tingkat kepuasan kerja, komitmen dan mencegah
perilaku kontraproduktif.

Aspek-aspek Keadilan Organisasi


Aspek-aspek dari organisasi terdiri dari tiga aspek menurut Colquitt
(2001), yaitu:
a. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedur terkait dengan organisasi, misalnya komitmen
organisasi dan prosedur formal yang ada di organisasi. Keadilan
prosedural dianggap sebagai nilai untuk membandingkan proses yang
dialami seseorang dengan beberapa peraturan yang telah
digeneralisasikan. Ratnawati dan Amri (2013) menyebutkan bahwa
keadilan prosedural merupakan penilaian karyawan terhadap kebijakan
dan prosedur yang berlaku di organisasi dalam membuat keputusan sudah
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Aturan keadilan prosedural tersebut mencakup proses aturan yang
diterapkan secara konsisten dari waktu ke waktu kepada karyawan,
penekanan bias seperti pembuatan keputusan yang bersifat netral,
ketepatan informasi, kemampuan koreksi dalam membandingkan prosedur
yang baru untuk memperbaiki hasil yang buruk, keterwakilan seluruh
aspirasi semua anggota karyawan dalam memutuskan suatu kebijakan,
proses dalam menegakkan etika dan moral pribadi.
Keadilan prosedural yang terjadi pada instansi pemerintahan X
seperti adanya teguran secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali pada karyawan
yang datang terlambat, namun instansi tidak memberikan teguran kepada
karyawan yang tidak berada di instansi saat jam kerja dan karyawan yang
berada di kantin saat jam kerja. Instansi dianggap telah adil dalam
menanggapi aspirasi karyawannya seperti jika ada karyawan yang
memberikan saran untuk kenyamanan ruang kerja instansi dengan cepat
menanggapi dan memberikan solusi. Adanya penghargaan berupa
satyalancana karya satya bagi karyawan yang telah bekerja dengan rajin
dan mengabdi selama 10, 20 dan 30 tahun pada instansi.
b. Keadilan Distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan dari sebuah distribusi
dimana semua pihak mendapatkan hasil atau pembagian yang sama.
Ratnawati dan Amri (2013) menyebutkan bahwa keadilan distributif dapat
diartikan sebagai penilaian karyawan terhadap kesesuaian imbalan atau
kompensasi yang diterima dari organisasi sudah sesuai dan dianggap
wajar. Keadilan distributif berkaitan dengan keadilan terhadap alokasi
sumber daya yang dianggap oleh karyawan sudah tepat atau bertentangan
terhadap keadilan selama proses dalam pengambilan keputusan (Alzubi,
2010). Hal tersebut didukung oleh penyataan yang dikemukakan oleh
Rokhman (2013) menyebutkan bahwa keadilan distributif mengacu pada
makna keadilan yang dirasakan oleh karyawan berdasarkan hasil
keputusan alokasi.
Keadilan distributif yang terjadi pada instansi pemerintahan X
seperti adanya pembagian hasil perjalanan dinas yang lebih banyak pada
karyawan yang lebih rajin. Hasil perjalanan dinas juga akan berikan lebih
banyak ketika karyawan bekerja lembur.
c. Keadilan Interaksional
Keadilan interaksional merupakan persepsi rasa hormat, sopan
santun, bermartabat yang dirasakan oleh karyawan terhadap perlakuan
seorang atasan dalam mengambil sebuah keputusan kepada karyawannya.
Keadilan interaksional berkaitan dengan bagaimana kewajaran perlakuan
interpersonal yang dirasakan oleh karyawan dalam pengambilan
keputusan didalam organisasi (Hasan, 2002). Aspek ini mencakup
berbagai tindakan yang menunjukkan bagaimana kepekaan sosial seperti
bagaimana seorang atasan memperlakukan karyawannya dengan hormat
dan bermataba

Pengertian Keadilan Organisasi


Keadilan organisasi adalah bagian terpenting bagi sebuah organisasi
untuk dapat mencapai target dan membentuk stategi agar tujuan organisasi
dapat tercapai (Guven & Gursoy, 2014). Karyawan menggunakan istilah
keadilan organisasi untuk menggambarkan suatu keadilan yang berlangsung di
lingkungan organisasi (Alzubi, 2010). Gillilannd dan Chand (Anderson, Deniz,
Sinangil & Viswesvaran, 2001) menyebutkan bahwa keadilan organisasi
merupakan kesetaraan yang dirasakan oleh karyawan dalam mempresepsikan
keadilan yang diputuskan oleh organisasi.
Hal tersebut didukung oleh penyataan yang dikemukakan Irwandi dan
Puspitadewi (2012) mendefinisikan keadilan organisasi sebagai pandangan
atau perasaan pegawai terhadap diri sendiri dan orang lain mengenai hasil
keputusan yang diambil. Berbeda dengan penyataan yang dikemukakan oleh
Dundar dan Tabancali (2012) mendefinisikan keadilan organisasi merupakan
imbalan dan hukum yang diberikan organisasi melalui aturan atau keputusan
yang diumumkan sebagai interaksi antara karyawan dan organisasi.
Colquitt (2001) menjelaskan bahwa keadilan yang diberikan organisasi
harus memiliki pertimbangan besar terhadap sikap karyawan di tempat kerja
termasuk komitmen karyawan dan kepuasan kerja karyawan. Karyawan yang
diperlakukan secara adil dalam keadilan secara interpersonal akan memiliki
kepercayaan terhadap atasannya. Perlakuan yang tidak adil terhadap karyawan
dapat menimbulkan efek mendalam terhadap karyawan sehingga akan
mengganggu perilaku mereka terutama perilaku dalam bekerja (Colquitt &
Judge, 2004).
Laghari dan Memon (2015) berpendapat bahwa keadilan organisasi
menjadi elemen utama yang berfokus pada keadilan yang terjadi di tempat
kerja dan kepuasan yang dirasakan oleh karyawan. Sehingga keadilan
organisasi didasari oleh bagaimana setiap karyawan menilai sikap dan perilaku
karyawan lain dan bagaimana perilaku organisasi terhadap mereka. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Atalay dan Ozler
(2013) persepsi karyawan terhadap bagaimana mereka melihat hal yang serupa
pada karyawan lain tergantung pada keyakinan apakah mereka telah
diperlakukan dengan adil. Keadilan organisasi diartikan sebagai suatu perasaan
yang ada didalam diri individu yang hendak diperlakukan dengan adil dalam
lingkungan kerja (Ratnawati & Amri, 2013).
Oge, Ifeanyi dan Gozie (2015) menyebutkan bahwa keadilan yang
diberikan organisasi kepada karyawannya menjadi faktor kunci keberhasilan
dalam suatu organisasi agar karyawan merasa puas, berkomitmen dan setia
didalam organisasi. Keadilan organisasi memahami presepsi setiap karyawan
di organisasi mengenai keadilan atas hasil yang telah mereka terima,
bagaimana prosedur yang digunakan organisasi dalam pembagian hasil dan
perlakuan yang mereka terima selama bekerja (Muhammad & Fajrianthi,
2013). Keadilan organisasi menjadi suatu sikap adil yang telah diberikan oleh
atasan kepada karyawan sehingga karyawan merasa puas terhadap keputusan
yang telah ditetapkan oleh organisasi (Antari & Suwandana, 2016). Keadilan
yang dirasakan karyawan akan dapat mengubah persepsi karyawan tentang
bagaimana mereka diperlakukan oleh organisasi terkait dengan keadilan yang
telah ditetapkan oleh organisasi (Akram, Haider & Feng, 2016).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kerja Kontraproduktif


Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku kerja
kontraproduktif menurut Sacket dan Devore (Anderson, Deniz, Sinangil &
Viswesvaran, 2001), yaitu:
a. Faktor kepribadian
Faktor kepribadian tertentu ditemukan dapat mempengaruhi
karyawan terlibat dalam perilaku kerja kontraproduktif. Ciri-ciri
kepribadian yang telah diteliti berkaitan dengan perilaku kerja
kontraproduktif adalah kestabilan emosi, ektroversi, agreeableness,
keterbukaan dan kesadaran untuk membangun pengalaman. Hasil
penelitian menunjukkan hubungan yang konsisten dengan perilaku kerja
kontraproduktif yang dilakukan karyawan di lingkungan kerja.
b. Karakteristik pekerjaan
Karakteristik pekerjaan yang diberikan dan cara kerja pada
organisasi akan mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan tugas
dengan sempurna, bertanggung jawab atas tugas yang diberikan dan hasil
kerja yang dicapai. Perilaku kerja kontraproduktif akan terjadi ketika
karyawan terlalu diawasi dengan ketat oleh atasan dan selalu diawasi
sehingga karyawan tidak mempunyai kesempatan untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan rencana dan wawasan mereka
sendiri.
c. Karakteristik kelompok kerja
Karakteristik kelompok kerja dapat mempengaruhi antar pekerja di
lingkungan organisasi. Individu cenderung akan mengikuti tingkah laku
yang menjadi kebiasan didalam kelompok organisasi. Perilaku yang biasa
diterapkan pada kelompok kerja memiliki pengaruh yang besar terhadap
perilaku individu karena apa yang dilakukan oleh orang lain akan
menimbulkan dampak terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Individu
akan mengembangkan sikapnya sesuai dengan kelompok kerjanya.
Karyawan akan mengamati perilaku karyawan lainnya dan melihat
konsekuensi yang ditimbulkan dari perilaku tersebut. Sehingga mereka
akan menyesuaikan tingkah laku mereka berdasarkan konsekuensi yang
dialami.
d. Budaya organisasi
Budaya organisasi dan karateristik kelompok kerja memiliki
kesamaan karena keduanya merupakan pengaruh sosial yang mampu
mempengaruhi individu di tempat kerja. Namun, budaya organisasi
mencakup lebih luas yang dipengaruhi oleh faktor diluar kelompok kerja.
Perilaku kerja kontrproduktif biasa terjadi pada perusahaan dimana kode
etik yang berlaku tidak didefinisikan dengan baik. Salah satu bidang yang
menjadi fokus budaya organisasi adalah mengenai konsep iklim kejujuran
yang ada di organisasi.
e. Sistem pengendalian organisasi
Sistem pengendalian organisasi merupakan entitas fisik atau
prosedural yang ada di tempat kerja khusus untuk mengurangi terjadinya
perilaku kerja kontraproduktif melalui pengawasan atau dengan
meningkatkan hukuman. Pertama dapat dilakukan dengan pengawasan
oleh atasan kemudian dapat di tingkatkan dengan menggunakan teknologi.
Praktik sistem pengendalian organisasi dapat berupa sistem keamanan
20
melalui aplikasi komputer, pelatihan karyawan, pengawasan oleh atasan
dan memasang cctv.
f. Ketidakadilan organisasi
Ketidakadilan organisasi dapat menimbulkan perilaku kerja
kontraproduktif jika usaha atau imbalan yang diterima karyawan tidak
sesuai dengan usaha yang telah diberikan sehingga karyawan merasa tidak
adanya keadilan di lingkungan organisasi. Karyawan akan membandingkan
imbalan yang didapatkan atas usaha yang telah mereka berikan kepada
organisasi dengan imbalan yang diterima oleh karyawan lain berdasarkan
usaha mereka masing-masing. Jika rasio usaha atau imbalan yang didapat
tidak proporsional dan tidak adil maka kemungkinan beberapa karyawan
akan merasa menerima imbalan yang lebih dan beberapa karyawan lain
akan merasa kurang beruntung. Ketidakadilan tidak hanya dilihat dari
alokasi penghargaan atau hukuman yang tidak setara namun dapat berupa
ketidakadilan dalam keputusan atau prosedur yang dibuat oleh atasan

Aspek-Aspek Perilaku Kerja Kontraproduktif


Aspek-aspek dari perilaku kerja kontraproduktif terdiri dari lima aspek
menurut Spector, Goh, Bruursema, Kessler, Fox dan Penney (2006), yaitu:
a. Pelecehan terhadap orang lain
Pelecehan terhadap orang lain merupakan perilaku berbahaya yang
dilakukan kepada rekan kerja. Dampak dari perilaku ini dapat merugikan
secara fisik maupun psikologis seperti ancaman, komentar buruk,
mengabaikan orang lain, merusak kemampuan seseorang untuk dapat
bekerja secara efektif. Kebanyakan penelitian menilai perilaku tersebut
merupakan perilaku dalam bentuk nonfisik. Maka, kondisi kerja yang
penuh tekanan dapat menyebabkan penyalahgunaan perilaku yang dapat
diterima antar pekerja.
Pelecehan terhadap orang lain yang terjadi pada instansi
pemerintahan X seperti berupa ancaman terhadap gaji perjalanan dinas
yang tidak diberikan jika karyawan menolak untuk bekerja pada hari libur.
Komentar buruk diberikan kepada karyawan ketika karyawan melakukan
kesalahan dalam bekerja atau tidak menyelesaikan pekerja dengan tepat
waktu.
b. Penyimpangan produksi
Penyimpangan produksi merupakan kegagalan yang dilakukan
pekerja dalam melakukan pekerjaannya secara efektif dengan cara yang
seharusnya. Penyimpangan produksi biasanya lebih pasif karena tindakan
yang dilakukan kurang dapat dilihat dengan jelas, tidak merusak properti
dan memerlukan bukti yang jelas. Perilaku penyimpangan produksi
biasanya berupa mengabaikan pekerjaan saat jam kerja, bekerja tidak
sesuai tugas, tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik, menundanunda pekerjaan.
Penyimpangan produksi yang terjadi pada instansi pemerintahan X
seperti perilaku menunda-nunda pekerjaan saat diminta untuk membuat
surat atau membalas pesan yang masuk untuk instansi yang seharusnya
segera dikerjakan. Masih terdapat karyawan yang bekerja tidak sesuai tugas
seperti saat adanya undangan rapat untuk kepala dinas, kepala dinas
memerintahkan kepala bidang dan staff dari bidang Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit (P2P) untuk menghadiri rapat. Seharusnya bidang
yang tepat untuk menghadiri undangan rapat tersebut adalah bidang
Sumber Daya Kesehatan (SDK).
c. Sabotase
Sabotase merupakan perilaku sengaja menghancurkan sesuatu atau
properti milik organisasi dan tidak mempergunakan fasilitas milik
organisasi dengan sebagaimana mestinya. Perilaku sabotase
memungkinkan karyawan untuk dikenakan sanksi oleh organisasi karena
perilaku sabotase merupakan perilaku yang aktif yang berdampak
merugikan organisasi dengan merusak properti dan akan ditindak
tergantung beratnya kerusakan yang dilakukan. Perilaku sabotase dapat
berupa merusak komputer milik organisasi, merusak alat transportasi milik
organisasi, dan membiarkan ruangan kerja yang kotor.
Perilaku sabotase yang terjadi pada pemerintahan X seperti
pemakaian air conditioner dan pemakaian lampu ruangan yang menyala
selama 24 jam. Karyawan tidak mematikan air conditioner dan lampu saat
pulang bekerja ataupun saat ruangan tidak sedang digunakan. Masih ada
karyawan yang membuang sampah sembarang dan tidak merapikan meja
dan kursi kerja setelah digunakan.
d. Pencurian
Pencurian merupakan perilaku menyimpang yang bersifat
mengambil atau mencuri barang milik organisasi dan tidak
mengembalikannya. Pencurian yang dilakukan oleh karyawan merupakan
masalah besar bagi organisasi karena sebagian besar karyawan melakukan
tindakan pencurian disebabkan oleh banyak faktor. Kebanyakan karyawan
melakukan tindak pencurian tidak untuk membahayakan organisasi tetapi
16
untuk mencapai keuntungan ekonomi yang diinginkan dengan anggapan
bahwa organisasi tersebut tidak adil kepada karyawannya. Perilaku
pencurian oleh karyawan biasanya berupa membawa barang milik
organisasi tanpa izin dan mengambil uang milik organisasi. Perilaku
pencurian yang terjadi pada pemerintahan X seperti membawa printer,
laptop dan kertas milik instansi tanpa izin dan digunakan untuk
kepentingan pribadi.
e. Penarikan diri
Penarikan diri merupakan perilaku yang dilakukan karyawan
dengan cara membatasi jumlah waktu kerja kurang dari jam seharusnya
seperti ketidakhadiran, datang terlambat, mengambil jam istirahat lebih
lama dari waktu seharusnya. Penarikan diri merupakan usaha untuk
menghindari situasi lingkungan kerja. Karyawan menarik diri dari
lingkungan organisasi dikarenakan untuk melepaskan diri dari stres,
ketidakadilan dan ketidakpuasan dari atasan

Definisi Perilaku Kerja Kontraproduktif


Perilaku kerja kontraproduktif merupakan perilaku yang dilakukan oleh
anggota organisasi secara sukarela dan mempengaruhi prestasi kerja serta
melemahkan efektivitas organisasi (Lau, Au & Ho, 2003). Gruys dan Sackett
(2003) mengemukakan bahwa perilaku kerja kontraproduktif dilakuan dengan
sengaja oleh anggota organisasi yang dipandang organisasi sebagai perilaku
yang bertentangan dengan kepentingan yang sah. Pernyataan tersebut serupa
dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Goh, Bruursema, Kessler, Spector,
Fox dan Penney (2006) menambahkan bahwa perilaku kerja kontraproduktif
memiliki dampak kerugian pada organisasi dan anggota organisasi. Perilaku
kerja kontraproduktif merupakan perilaku kerja yang sangat mengganggu
kinerja organisasi secara umum dan penurunan produktivitas kerja karyawan
secara khususnya (Rusdi, 2015).
Selain itu, Budiman (2015) mendefinisikan perilaku kerja
kontraproduktif adalah suatu tindakan yang diambil oleh pekerja yang dapat
merugikan seluruh lingkungan kerja. Perilaku kerja kontraproduktif dapat
mengganggu organisasi secara langsung pada fungsi organisasi atau dengan
menyakiti anggota kerja dengan tujuan untuk menurunkan keefektifan kerja
karyawan (Wahyuni & Nugraheni, 2016). Fox, Spector dan Miles (2001)
mendefinisikan bahwa perilaku kerja kontraproduktif merupakan perilaku
yang dilakukan oleh karyawan dengan efek yang dapat merugikan organisasi
dan anggota kerja. Perilaku kerja kontraproduktif menjadi jenis perilaku kerja
yang menyimpang dengan maksut menyakiti organisasi dan anggota organisasi
(Bai, Wang & Lin, 2016).

Komitmen Organisasi


Komitmen organisasi identik dengan rasa kecintaan seorang
individu terhadap entitas dimana orang tersebut berkontribusi. Komitmen
dapat terbentuk dari berbagai macam hal, baik dari dalam diri individu
tersebut maupun organisasi. Individu yang memiliki komitmen yang tinggi
terhadap organisasi dapat dikarenakan kesamaan nilai perusahaan dengan
nilai pribadi, kepuasan individu dengan pekerjaan yang diberikan,
kepantasan kompensasi, keamanan dan kenyamanan fasilitas tempat kerja,
kejelasan jenjang karir dan lain – lain. Organisasi dapat menciptakan
komitmen organisasi pada diri tiap individu dengan memenuhi apa yang
mereka janjikan kepada individu yang berkontribusi pada organisasi
tersebut.
Luthans (2008; 147) mengartikan komitmen organisasi sebagai:
1) . A strong desire to remain a member of particular
organization; Keinginan yang kuat untuk seseorang
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tertentu.
2) A willingness to exert high levels of effort on behalf of the
organizations; Sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha
mempertahankan nama organisasi.
3) A definite belief in, and acceptance of, the values and goals of
the
organization; Keyakinan dan penerimaan nilai-nilai dan tujuan
organisasi.
Menurut Robbins (2001:123) komitmen pada organisasi merupakan
suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi
dan tujuan tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam
organisasi itu; “Organizational commitment is the collection of feelings
and beliefs that peoplehave about their organization as a whole”

Motivasi


Motivasi secara bahasa berasal dari kata movere (bahasa latin) yang
berarti dorongan, keinginan, sebab, atau alasan seseorang melakukan
sesuatu. Motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang
mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan
tujuan individu. Sikap dan nilai tersebut merupakan suatu yang invisible
yang memberikan kekuatan untuk mendorong individu bertingkah laku
dalam mencapai tujuan (Rivai, 2005). Dorongan tersebut terdiri dan 2
(dua) komponen, yaitu: arah perilaku (kerja untuk mencapai tujuan), dan
kekuatan perilaku (seberapa kuat usaha individu dalam bekerja). Motivasi
meliputi perasaan unik, pemikiranan dan pengalaman masa lalu yang
merupakan bagian dari hubungan internal dan eksternal lembaga. Selain
itu motivasi dapat pula diartikan sebagai dorongan individu untuk
melakukan tindakan karena mereka ingin melakukannya. Apabila individu
termotivasi, mereka akan membuat pilihan yang positif untuk melakukan
sesuatu, karena dapat memuaskan keinginan mereka (Rivai, 2005).
Robbins (2008) mendifinisikan motivasi (motivation) sebagai
proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu
untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi tersebut
adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Intensitas berhubungan dengan
seberapa giat seseorang berusaha. Ini adalah elemen yang paling banyak
mendapat perhatian ketika membicarakan tentang motivasi. Namun,
intensitas yang tinggi sepertinya tidak akan menghasilkan prestasi kerja
yang memuaskan kacuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang
menguntungkan organisasi. Dengan demikian, kita harus
mempertimbangkan kualitas serta intensitas upaya secara bersamaan.
Upaya yang diarahkan dan konsisten dengan tujuan-tujuan organisasi
merupakan jenis upaya yang seharusnya kita lakukan. Terakhir, motivasi
memiliki dimensi ketekunan. Dimensi ini merupakan ukuran mengenai
berapa lama seseorang bisa mempertahankan usahanya. Individu-individu
yang termotivasi bertahan melakukan suatu tugas dalam waktu yang cukup
lama demi mencapai tujuan mereka (Robbins, 2008).

Karakteristik Budaya Organisasi


Karakteristik budaya organisasi menurut Robbins (2006: 279)
dikemukakan ada tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama
menangkap hakikat budaya organisasi. Ketujuh karakter tersebut yaitu:
1) Inovasi dan mengambil risiko berkaitan dengan sejauh mana para
anggota organisasi/karyawan didorong untuk inovatif dan berani
mengambil risiko.
2) Perhatian pada rincian berkaitan dengan sejauh mana para anggota
organisasi/karyawan diharapkan mau memperlihatkan kecermatan
(presisi), analisis dan perhatian kepada rincian.
3) Orientasi hasil mendiskripsikan sejauh mana manajemen fokus
pada hasil bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk
mendapatkan hasil tersebut.
4) Orientasi manusia menjelaskan sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil kepada orang-orang di dalam
organisasi tersebut.
5) Orientasi tim berkaitan dengan sejauh mana kegiatan kerja
organisasi dilaksanakan dalam tim-tim kerja, bukan pada individu
individu.
6) Agresivitas menjelaskan sejauh mana orang-orang dalam
organisasi menunjukkan keagresifan dan kompetitif, bukan
bersantai.
7) Stabilitas sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau
inovasi

Fungsi Budaya Organisasi


Menurut Robbins (2006), budaya menjalankan sejumlah fungsi di
dalam suatu organisasi. adapun fungsi budaya organisasi tersebut adalah :

  1. Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya
    budaya menciptakan pembeda yang jelas antara satu
    organisasi dengan yang lain.
  2. Budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota
    organisasi.
  3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu
    yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang.
  4. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
  5. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan
    mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap
    serta perilaku para karyawan.
    Sedangkan Fungsi budaya organisasi menurut Pabundu (2010: 14)
    adalah sebagai berikut:
    1) Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi
    maupun kelompok.
    2) Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi
    sehingga dapat mempunyai rasa memiliki, partisipasi dan rasa
    tanggung jawab atas kemajuan perusahaan.
    3) Mempromosikan stabilitas sistem sosial, sehingga lingkungan
    kerja menjadi positif, nyaman dan konflik dapat diatur secara
    efektif.
    4) Sebagai mekanisme kontrol dalam memandu dan membentuk
    sikap serta perilaku karyawan. Sebagai integrator karena
    adanya sub budaya baru.
    5) Dapat mempersatukan kegiatan para anggota perusahaan yang
    terdiri dari sekumpulan individu yang berasal dari budaya yang
    berbeda.
    6) Membentuk perilaku karyawan, sehingga karyawan dapat
    memahami bagaimana mencapai tujuan organisasi.
    7) Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok
    organisasi.
    8) Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan.
    9) Sebagai alat komunikasi antara atasan dengan bawahan atau
    sebaliknya, serta antar anggota organisasi.
    10) Sebagai penghambat berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya
    organisasi tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang
    menyangkut lingkungan eksternal dan integritas internal.

Budaya Organisasi


Budaya organisasi memilki makna yang luas. Menurut Luthans
(2003:108), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai
organisasi akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar
diterima oleh lingkungannya. Budaya organisasi dapat dipandang sebagai
sebuah sistem.
Budaya organisasi terdiri dari asumsi-asumsi dasar yang dipelajari
baik sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dalam proses
penyesuaian dengan lingkungannya, maupun sebagai hasil memecahkan
masalah yang timbul dari dalam organisasi, antar unit-unit organisasi yang
berkaitan dengan integrasi. Budaya timbul sebagai hasil belajar bersama
dari para anggota organisasi agar dapat tetap bertahan. Asumsi-asumsi
dasar yang di anggap absah diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara yang tepat dalam hal mengamati, memikirkan, dan merasakan
dalam hubungannya dengan masalah-masalah tersebut. Bagian pertama
dari definisi Schein menjelaskan bagaimana budaya organisasi terbentuk
dan bagian kedua menjelaskan bagaimana budaya organisasi
dipertahankan. Dapat lebih jauh disimpulkan bahwa budaya organisasi
dapat berubah, yaitu bila asumsi dasar yang digunakan dalam
memecahkan masalah (eksternal dan internal) ternyata tidak absah dan
perlu diganti dengan asumsi dasar lain (Munandar, 2004:262).
Robbins (2003:305) menjelaskan bahwa budaya organisasi
mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggotaanggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain.
Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih saksama merupakan
seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.

Aspek-aspek Kinerja Karyawan


Wirawan (2009:105) menjelaskan bahwa secara umum aspek-aspek
kinerja dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yang dalamnya
terkandung indikator-indikator dari kinerja, yaitu adalah sebagai berikut:
a. Hasil kerja
Hasil kerja adalah hal yang dihasilkan dari apa yang telah
dikerjakan (keluaran hasil atau keluaran jasa), dapat berupa barang
dan jasa yang dihitung dan diukur kuantitas dan kualitasnya.
Kualitas kerja yang merupakan kemapuan karyawan menunjukkan
kualitas hasil kerja yang ditinjau dari segi ketelitian dan kerapian.
Kuantitas kerja yang merupakan kemampuan karyawan dalam
menyelesaikan sejumlah hasil tugas pada setiap harinya (Wirawan,
2009:105).
b. Perilaku kerja
Dalam kesehariannya di tempat kerja, seorang karyawan akan
menghasilkan dua bentuk perilaku kerja, yaitu:
1) Perilaku pribadi adalah perilaku yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan, contohnya cara berjalan, cara makan siang,
dll.
2) Perilaku kerja adalah perilaku karyawan yang berhubungan
dengan pekerjaannya, contohnya disiplin kerja, perilaku yang
disyaratkan dalam prosedur kerja dan kerja sama, komitmen
terhadap tugas, ramah pada pelanggan, dll. Perilaku kerja juga
bisa meliputi inisiatif yang dihasilkan untuk memecahkan
permasalahan kerja, seperti ide atau tindakan yang dihasilkan,
serta mampu untuk membuat alternatif solusi demi
memperlancar pekerjaan, agar dapat menghasilkan kinerja
tinggi. Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku yang
berniat untuk menaati segala peraturan organisasi yang didasari
atas kesadaran diri untuk menyesuaikan diri dengan peraturan
organisasi atau perusahann. Kerja sama (team work) adalah
keinginan untuk bekerja sama dengan orang lain secara
kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok.
c. Sifat pribadi
Sifat pribadi adalah sifat yang dimiliki oleh setiap karyawan. Sifat
pribadi karyawan yang diperlukan dalam melaksanakan
pekerjaannya. Sebagai seorang manusia biasa, seorang karyawan
memiliki banyak sekali sifat bawaan, artinya sifat yang memang
sudah dibawa sejak lahir atau watak. Sifat bawaan yang diperoleh
sejak lahir ini akan diperkuat oleh pengalaman-pengalaman yang
diperoleh pada saat manusia beranjak dewasa. Untuk dapat
menunjang pekerjaan agar dapat terlaksana dengan baik maka
seorang karyawan memerlukan sifat pribadi tertentu seperti
kemampuan beradaptasi yang merupakan kemampuan seseorang
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya, kesabarn
yang merupakan menunggu, bertahan, atau menghindari respon
buruk dalam bekerja untuk beberapa saat sampai dapat merasa
tenang dan pikiran dapat berfungsi kembali dengan baik, dan
kejujuran dalam bekerja merupakan menceritakan informasi,
fenomena yang ada dan sesuai dengan realitas tanpa ada perubahan
dalam menyelesaikan pekerjaan.

Kinerja Karyawan


Kinerja berasal dari pengertian performance. Ada pula yang
memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi
kerja. Namun sebenarnya kinerja mempunyai makna yang luas, bukan
hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan
berlangsung (Wibowo, 2007:7).
Lebih lanjut Simamora (2006) menyampaikan bahwa kinerja
(performance) mengacu kepada kadar pencapaian tugas-tugas yang
membentuk sebuah pekerjaan karyawan dan merefleksikan seberapa baik
karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan, namun sering
disalahtafsirkan sebagai upaya (effort) yang mencerminkan energi yang
dikeluarkan, kinerja diukur dari segi hasil.
Armstrong dan Baron (Wibowo,2007:7) menjelaskan bahwa
kinerja merupakan pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan
tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan
kontribusi ekonomi.
Robbins (2003:98) mengatakan kinerja adalah sebagai fungsi
interaksi antara kemampuan atau Ability (A), motivasi atau motivation
(M), dan peluang atau Opportunity (O) yaitu kinerja= f (A x M x O) yang
artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan peluang.

Hubungan Konflik Kerja dengan Kinerja Karyawan


Menurut Aldag dalam (Wahyu dan Akdon, 2005:87) mengemukakan bahwa
hubungan performasi kerja adalah “Hubungn antara konflik dengan kinerja
perusahaan menunjukkan bahwa, apabila tingkat konflik optimal yaitu tingkat
konflik sangat fungsional maka kinerja akan maksimal. Bila konflik terlalu rendah,
performasi perusahaan mengalami stagnasi atau rendah dan perusahaan menjadi
lambat dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan lingkungan. Jika
tingkat konflik terlalu tinggi, akan timbul kendala, tidak kooperatif, dan
menghalangi pencapaian tujuan perusahaan tersebut”. Penelitian yang dilakukan
oleh Ahmad Yofandi (2017) mengatakan Konflik kerja, berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan.

Hubungan Perilaku Kerja dengan Kinerja Karyawan


Menurut Jong & Hartog (2008:5), perilaku kerja inovatif merupakan
perilaku individu yang bertujuan untuk mengenalkan ide, proses, produk atau
prosedur baru dan berguna kepada kelompok atau organisasi. Perilaku kerja inovatif
sangat dibutuhkan dalam pengembangan organisasi dan meningkatkan kinerja
melalui perbaikan atau efisiensi berbagai aktifitas melalui inovasi yang dihasilkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Larsen Barasa, Agus Leonard togatorop, dan
Mutiara Szeze (2021) mengatakan bahwa terdapat pengaruh yang kuat dan positif
antara perilaku kerja dengan kinerja karyawan.

Hubungan Sikap Kerja dengan Kinerja Karyawan

Sikap kerja yang baik juga menjadi salah satu faktor yang penting agar
kinerja dapat berjalan secara optimal. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008),
dijelaskan bahwa sikap kerja adalah suatu kecenderungan yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap sikap yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan dengan rasa menghargai kepada suatu objek tertentu. Menurut
George dan Jones (2005), sikap kerja adalah kumpulan perasaan, kepercayaan, dan
pemikiran tentang cara berperilaku yang dipegang oleh seseorang tentang pekerjaan
dan organisasinya. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Lam’ah Nasution (2019)
mengatakan bahwa sikap kerja dan kepuasan kerja secara bersama-sama
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.

Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Karyawan


Kinerja pegawwai dapat ditingkatkan melalui budaya orgaisasi. Jika budaya
organisasi baik, maka pegawai akan merasa nyaman pada posisinya dan
menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Secara teori, semakin baik
budaya organisasi suatu perusahaan maupun institusi, maka akan semakin baik juga
kinerja pegawainya. Penelitian yang dilakukan oleh Sunaryo (2017) mengatakan
Secara bersama-sama perubahan organisasi, budaya organisasi berpengaruh
signifikan terhadap kinerja karyawan .

Tujuan Penilaian Kinerja


Menurut Werther dan Davis yang dikutip oleh Suwanto dan Doni
(2011:197), tujuan penilaian kinerja adalah sebagai berikut :
a. Performance Improvement (peningkatan kinerja), yaitu berujuan untuk
memungkinkan karyawan dan manajer untuk mengambil tindakan yang
berhubungan dengan peningkatan kinerja.
b. Compensation Adjustment (kesesuaian kompensasi), yaitu bertujuan untuk
menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
c. Placement Decision (penempatan keputusan), yaitu bertujuan untuk
menentukan mengenai promosi, transfer dan demotion (penurunan pangkat).
d. Training and Development Needs (pelatihan dan pengembangan), yaitu
bertujuan untuk mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi
karyawan agar kinerja mereka lebih optimal.
e. Career Planning and Development (perencanaan karir dan pengembangan),
yaitu memadu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang akan
dicapai.
f. Staffing Process Defieciencies (ketenaga kerjaan), yaitu mempengaruhi
prosedur pengrekrutan karyawan.
g. Information Inaccuracies and Job-Design Errors (kesalahan informasi dan
pekerjaan), membantu menjelaskan kesalahan yang telah terjadi dalam
manajemen sumber daya manusia, terutama dalam bidang job design, job
analysis, dan sistem informasi manajemen Sumber Daya Manusia.
h. Equal Employment Oportunity (kesempatan dalam bekerja sama),
menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
i. External Challenges (tantangan eksternal), yaitu kinerja karyawan
dipengagruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi,
kesehatan, dan lain-lainnya.
j. Feedback (umpan balik), yaitu memberikan umpan balik bagi urusan
karyawan maupun karyawan itu sendiri.

Indikator Kinerja Karyawan


Menurut Handoko (1987) kinerja adalah ukuran terakhir keberhasilan
seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya.
a. Lingkungan kerja, lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada
di sekitar karyawan dan dapat mempengaruhi karyawan dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.
b. Quality (Kualitas), yaitu tingkatan dimana proses atau penyesuaian pada
cara yang ideal di dalam melakukan aktifitas atau memenuhi aktifitas
yang sesuai harapan.
c. Quantity (Kuantitas), yaitu jumlah yang dihasilkan, diwujudkan melalui
nilai mata uang, jumlah unit, jumlah dari siklus aktifitas yang telah
diselesaikan.
d. Timeliness (Ketepatan Waktu), yaitu tingkatan dimana aktifitas telah
diselesaikan dengan waktu yang lebih cepat dari waktu yang ditentukan
dan memaksimalkan waktu yang ada untuk aktifitas lain.
e. Interpersonal Impact (Hubungan Rekan Kerja), yaitu tingkatan dimana
seorang karyawan merasa percaya diri, punya keinginan yang baik dan
bekerja sama diantara rekan kerja.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kinerja Karyawan


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan, antara
lain yang dikemukakan oleh Kasmir (2016: 189)

  1. Kemampuan dan Keadilan
    Merupakan kemampuan atau skill yang dimiliki seseorang dalam
    melakukan suatu pekerjaan. semakin memiliki kemampuan dan
    keahlian maka akan dapat menyelesaikan pekerjaannya secara benar,
    sesuai dengan yang telah ditetapkan. Artinya, karyawan yang memiliki
    kemampuan dan keahlian yang lebih baik, maka akan memberikan
    kinerja yang baik pula, demikian pula sebaliknya bagi karyawan yang
    tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaannya secara
    benaar, maka akan memberikan hasil yang kurang baik pula, yang pada
    akhirnya akan menunjukkan kinerja yang kurang baik, dengan demikian
    kemampuan dan keahlian akan mempengaruhi kinerja seseorang.
  2. Pengetahuan
    Maksudnya adalah pengetahuan tentang pekerjaan. Seseorang pekerjaan
    secara yang memiliki pengetahuan tentang pekerjaan secara baik akan
    memberikan hasil pekerjaan yang baik pula, demikian sebaliknya.
  3. Rancangan kerja
    Merupakan rancangan pekerjaan yang akan memudahkan karyaawan
    dalam mencapai tujuannya. Artinya jika suatu pekerjaan memiliki
    rancangan yang baik, maka akan memudahkan untuk menjalankan
    pekerjaan tersebut secara tepat dan benar.
  4. Kepribadian
    Yaitu kepribadian seseorang atau karakter yang dimiliki seseorang.
    Setiap orang memiliki kepribadian atau karakter yang berbeda satu sama
    lainnya. Seseorang yang memiliki kepribadian atau karakter yang baik,
    akan dapat melakukan pekerjaan secara sungguh-sungguh penuh
    tanggung jawab sehingga hasil pekerjaannya juga baik.
  5. Motivasi Kerja
    Motivasi kerja merupakan dorongan bagi seseorang untuk melakukan
    pekerjaannya. Jika karyawan memiliki dorongan yang kuat dari dalam
    dirinya atau dorongan dari luar dirinya (misalnya dari pihak peusahaan)
    maka karyawan akan terangsang atau terdorong untuk melakukan
    pekerjaanya dengan baik.
  6. Kepemimpinan
    Kepemimpinan merupakan perilaku seseorang pemimpin dalam
    mengatur, mengelola, dan memerintah bawahannya untuk mengerjakan
    sesuatu tugas dan tanggungjawab yang sudah diberikan.
  7. Gaya Kepemimpinan
    Merupakan gaya atau sikap seseorang pemimpin dalam menghadapi
    atau memerintahkan bawahannya. Dalam praktiknya gaya
    kepemimpinan ini dapat diterapkan sesuai dengan kondisi organisasinya.
  8. Budaya Organisasi
    Merupakan kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma yang berlaku dan
    dimiliki oleh suatu organisasi atau perusahaan. Kebiasaan-kebiasaan
    atau norma-norma ini mengatur hal-hal yang berlaku dan diterima
    secara umum serta harus dipatuhi oleh segenap anggota atau perusahaan
    atau organisasi.
  9. Kepuasan Kerja
    Merupakan perasaan senang atau gembira, atau perasaan suka seseorang
    sebelum dan setelah melakukan suatu pekerjaan. Jika karyawan merasa
    senang atau gembira atau suka untuk bekerja, maka hasil pekerjaannya
    pun akan berhasil baik.
  10. Lingkungan Kerja
    Merupakan suasana atau kondisi disekitar lokasi tempat bekerja.
    Lingkungan kerja dapat berupa ruangan, layout, sra dan prasarana, serta
    hubungan kerja sesame rekan kerja.
  11. Loyalitas
    Merupakan kesetiaan karyaawan untuk tetap bekerja dan membela
    perussahaan dimanaa tempatnya bekerja. Kesetiaan ini ditunjukkan
    dengan terus bekerja sungguh-sungguh sekalipun perusahaannya dalam
    kondisi yang kurang baik.
  12. Komitmen
    Merupakan kepatuhan karyawan untuk menjalankan kebijakan atau
    peraturan perusahaan dalam bekerja. Komitmen juga diartikan
    kepatuhan karyawan kepada janji-janji yang telah dibuatnya. Atau
    dengan kata lain komitmen merupakan kepatuhan untuk menjalankan
    kesepakatan yang telah dibuat.
  13. Disiplin Kerja
    Merupakan usaha karyawan untuk menjalankan aktivitas kerjanya
    secara sungguh-sungguh. Disiplin kerja dalam hal ini dapat berupa
    waktu misalnya masuk kerja selalu tepat waktu. Kemudian disiplin
    dalam mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya sesuai dengan
    perintah yang harus dikerjakan.

Pengertian Kinerja Karyawan


Setiap perusahaan sejatinya pasti memiliki misi jangka panjang yang ingin
dicapai. Oleh sebab itu perusahaan ingin agar setiap karyawawnnya melakukan
tugasnya dengan baik, agar sesuai dengan standar yang diinginkan oleh perusahaan.
Yang perusahaan peprlu perhatikan ialah kinerja karyawan itu sendiri, apakah
kinerja karyawannya baik atau tidak. Shore dalam Katiningsih (2007)
mendefinisikan kinerja sebagai “the extent og actual, work performed by individual”
atau sampai sejauh mana kerja actual yang diperlihatkan oleh seorang individu.
Kinerja merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam melakukan
pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu.
Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance
yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang.
Kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya menyatakan hasil kerja,
tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja adlah tentang melakukan
dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Menurut (Sedarmayanti, 2011)
definisi kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti hasil kerja
seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara
keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara
konkrit dan dapat diukur (dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan).
Amstrong dan Baron (dalam Wibowo, 2014) mengemukakan bahwa kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi.
Dengan demikian kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang
dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakannya. Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil dalam
rangka mewujudkan tujuan perusahaan (Rivai, Mansyur, Muthis, & Arafah, 2015).
Kasmir (2016: 182) kinerja adalah hasil kerja dan perilaku kerja yang telah
dicapai dalam menyelesaikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang diberikan
dalam satu periode tertentu. Kinerja dapat diukur dari kemampuan seseorang dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang diberikan.
Moehoeriono (2014: 60-61) pengertian kinerja merupakan gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan
melalui perencanaan strategis suatu organisasi, kinerja dapat diketahui dan diukur
jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar
keberhasilan tolak ukur yang ditetapkan oleh organisaasi. Kinerja seorang tenaga
kerja atau karyawan dalam suatu organisasi atau institusi kerja, dipengaruhi oleh
banyak faktor, baik faktor dari dalam diri karyawan itu sendiri maupun dari
lingkungan atau prganisasi kerja itu sendiri.
Sebuah kinerja yang baik yang dilakukan oleh karyawan terhadap
organisasinya, dapat menentukan keberhasilan sebuah organisasi tersebut.
Pengertian kinerja ini umumnya menunjuk kepada keberhasilan karyawan dalam
menyelesaikan atau menjalankan tugasnya dalam waktu yang telah diberikan
atasannya terehadap karyawan tersebut. Dalam setiap perusahaan diperlukan
karyawan yang berkualitas, kinerja yang bagus dan karyawan sebagai sumber ddaya
manusia yang berfungsi mengeloa faktpr produksi, agar perusahaan memiliki
kinerja yang tinggi sehingga dapat unggul didalam persaingan.

Jenis-Jenis Konflik


Menurut (Wirawan, 2010) terdapat lima jenis konflik, diantaranya :
a. Kompetisi (competing)
Kompetisi merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana
seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk
memenangkan konflik terhadap lawannya.
b. Kolaborasi (collaborating)
Kolaborasi merupakan upaya dalam melakukan negosiasi untuk
menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat
konflik. Menurut Derr dalam (Wirawan, 2010) kolaborasi merupakan gaya
manajemen konflik yang paling disukai karena mendorong hubungan
interpersonal, kekuatan kreatif untuk inovatif dan perbaikan, meningkatkan
balikan dan aliran informasi, serta mengembangkan iklim organisasi yang
lebih terbuka, terpercaya, pengambilan resiko dan perasaan terhadap
integritas.
c. Kompromi (compromising)
Kompromi merupakan gaya dalam konflik yang berada di tengah antara
kolaborasi dan kompromi. Dalam keadaan tertentu, kompromi berarti
membagi perbedaan diantatra dua posisi untuk mencari titik tengah.
d. Menghindari (avoiding)
Menurut Thomas dan Kilman (Wirawan, 2010) bentuk menghindar tersebut
bisa berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menunda pokok masalah
hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengencang
dan merugikan.
e. Mengkomodasi (accomudating)
Mengkomodasi merupakan gaya mengabaikan kepentinngan diri sendiri
dan upaya dalam memuaskan kepentingan dari lawan konfliknya. Gaya
akomodasi memberi kesan dalam menyetujui ide seseorang dan ingin
bekerja sama dan kesan demikian hanya diperlukan bukan kenyataan.
Beberapa penulis telah mengidentifikasi jenis-jenis konflik yang dihadapi
oleh perusahaan dan individu, diantaranya yaitu :
a. Konflik dalam diri seseorang
Dimana seseorang dapat mengalami konflik di dalam dirinya karena ia
memilih tujuan yang bertentangan.
b. Konflik Interpersonal
Konflik yang ada di antara dua orang disebut konflik interpersonal. Konflik
yang berada di luar setiap orang (karena itu menjadi awalan) dan hanya ada
di antara dua orang saja. Konflik antar pribadi dapat dilihat setiap kali dua
orang tidak setuju pada suatu topic.
c. Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok merupakan konflik yang berkaitan dengan
kelompok-kelompom orang yang terkonsolidasi. Konflik ini terjadi terusmenerus selama kampanye politik yang memanas. Bukan hanya dua
kandidat yang berkonflik, tetapi individu yang sangat mengidentifikasi
dengan satu atau yang lain mungkin terlibat dalam benturan ide dan ideologi.
d. Konflik Antar Kelas
Konflik antar kelas ini terjadi pada saat individu maupun kelompok berada
pada tingkatan kelas masyarakat secara vertical yang berbeda. Misalnya
seperti antara buruh pabrik dengan pendiri pabrik yang menunt kenaikan
upah dan sebaliknya.
e. Konflik Ras
Konflik rasa tau etnis adalah proses dasar dalam kehidupan sosial dan dapat
bersifat merusak dan kohesif. Dalam beberapa situasi, ini dapat merusak
bagi beberapa kelompok dan bertindak sebagai kekuatan kohesif bagi yang
lain. Kelompok rasa dan etnis dapat menjaadi sumber dan hasil dari dua
wajah konflik sosial, bertindak sebagai penanda batas antara kelompok yang
melihat diri mereka berbeda dalam kepentingan dan nilai mereka dari
kelompok lain.

Faktor – Faktor terjadinya Konflik

  1. Perbedaan Pendapat
    Suatu konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, dimana masingmasing pihak merasa paling benar. Bila suasana makin tidak baik, maka
    dapat menimbulkan perasaan kurang enak, ketegangan, dan lain-lain.
  2. Salah paham
    Salah paham juga termasuk salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.
    Misalnya tindakan seseorang yang mungkin bertujuan baik tapi dianggap
    pihak lain sebagai tindakan yang merugikan.
  3. Perbedaan Kepribadian
    Penyebab konflik ditempat kerja juga terjadi karena perbedaan karakter dan
    kepribadian tiap karyawan.
  4. Titik Tekanan
    Disetiap tempat kerja, seringkali seorang karyawan yang mendapat kritikan
    dapat memicu konflik. Karena setiap orang mempunyai titk tekanan atau
    suatu hal yang dapat menjadi pemicu dirinya bereaksi terhadap situasi
    tertentu.
  5. Masalah Pribadi
    Beberapa tanda seseorang mempunyai masalah pribadi diantaranya sering
    datang terlambat ke tempat kerja, kurang produktif, sering izin karena sakit,
    ssering gagal menyelesaikan tugas tepat waktu.

Bentuk – Bentuk Koflik dalam Organisasi


Menurut (Taufiq, 2016) ada 4 bentuk konflik dalam suatu organisasi, yaitu
sebagai berikut :
a. Konflik Hierarki (Hierarchical Conflict), yaitu konflik yang terjadi pada
tingkatan hierarki organisasi.
b. Konflik Fungsional (Funcitional Conflict), yaitu konflik yang terjadi dari
bermacam-macam fungsi departemen dalam organisasi.
c. Konflik Staff dengan Kepala Unit (Line Staff Conflict), yaitu konflik yang
terjadi antara pemimpin unit dengan staffnya, terutama staff yang
berhubungan dengan wewenang atau otoritas kerja.
d. Konflik Formal-Informal (Formal-Informal Conflict), yaitu konflik yang
terjadi yang berhubungan dengan norma yang berlaku di organisasi informal
dengan organisasi formal

Pengertian Konflik Kerja


Menurut (Fahmi, 2014) konflik adalah sebuah persepsi yang
berbeda dalam melihat suatu situasi dan kondisi yang selanjutnya teraplikasi
dalam bentuk aksi-aksi sehingga telah menimbulkan pertentangan dengan
pihak-pihak tertentu. Menutur (P. Hasibuan, 2013), konflik merupakan
suatu persaingan kurang sehat berdasarkan ambisi dalam hal-hal seperti
ketidakcocokan, ketidaksetujuan atau ketegangan baik antar bagian,
individu maupun interentitas sosial seperti individu, kelompok, atau
organisasi.
Konflik kerja adalah suatu ketidaksesuaian, perselisihan dan
pertentangan anatara dua orang atau dua kelompok dalam suatu organisasi
atau perusahaan karena adanya hambatan atau perbedaan komunikasi,
persepsi, status, nilai, tujuan dan sikap sehingga salah satu atau keduanya
saling terganggu. Konflik adalah suatu proses interaktif yang termanifestasi
dalam hal-hal sepeti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan
baik diantara individu maupun intern entitas sosial seperti individu,
kelompok ataupun organisasi.
Menurut Tommy (2010), konflik kerja adalah adanya suatu
pertentangan antara seseorang dengan orang lain atau ketidakcocokan
kondisi yang dirasakan pegawai karena adanya hambatan komunikasi,
perbedaan tujuan dan sikap sserta ketergantungan aktivitas kerja.
Sedangkan Menurut Wahyudi (2011), konflik kerja adalah suatu
perselisihan, pertentangan antara dua orang atau dua kelompok dimana
adanya perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lainnya sehingga salah
satu atau keduanya saling merasa terganggu.
Konflik kerja adalah ketiaksesuaian dua orang atau lebih anggota
atau kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa
mereka harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan kerja atau
karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan nilai
dan persepsi (Nawawi, 2010).
Konflik kerja dapat diukur dengan menggunakan indikator menurut
(Fitriana, 2013) antara lain :
a. Kesalahan komunikasi.
b. Perbedaan tujuan.
c. Perbedaan persepsi.
d. Interdependensi aktivitas kerja.
Ada beberapa sifat konflik yang terdapat didalam sistem kerja, menurut
(Siswandi, 2013) diantaranya yaitu :
a. Konflik Laten, konflik ini terjadi ketika kondisi konflik muncul
b. Konflik Yang dikenal Orang, atau kelompok mulai mengetahui bahwa
konflik benar-benar ada dan terjadi.
c. Konflik Manifest, konflik yang dimana semua pihak terlibat dalam
konflik sama-sama menyadari ada untung dan ruginya

Pentingnya Perilaku Kerja


Keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh
perilaku manusia, terutama perilaku keerja. Sebagian orang menyebut perilaku
kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja. Oleh karena itu
diupayakan untuk membentuk perilaku kerja yang konsisten dan positif. Menurut
Sinamo (2011), ada delapan paradigm di tingkat perilaku kerja yang sanggup
menjadi basis keberhasilan baik ditingkat pribadi, organisasional maupun sosial,
yaitu :

  1. Bekerja Tulus
    Bekerja dengan tulus merupakan pilar utama terlaksananya
    pekerjaan secara maksimal, mencapai hasil yang terbaik, dan
    kepuasan diri terhadap profesi yang telah dijalani.
  2. Bekerja Tuntas
    Dalam bekerja seorang karyawan mampu mengorganisasikan
    bagian usaha secara terpadu dari awal sampai akhir untuk dapat
    menghasilkan usaha sampai selesai dengan maksimal.
  3. Bekerja Benar
    Dimana seseorang karyawan bekerja dan masih belajar untuk
    menjadi dewasa dalam sikap maupun rohani.
  4. Bekerja Keras
    Seorang karyawan yang bekerja secara sungguh-sungguh tanpa
    mengenal lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu
    mengutamakan atau memperhatikan kepuasan hasil pada setiap
    kegiatan yang dilakukan.
  5. Bekerja Serius
    Bekerja serius ialah bekerja dengan sungguh-sungguh dan menekuni
    pekerjaan yang sedang dijalaninya.
  6. Bekerja Kreatif
    Bekerja kreatif tidak hanya dibutuhkan oleh karyawan-karyawan
    yang bergerak dibidang tertentu saja, yang membutuhkan karyawan
    yang memiliki daya kreatifitas tinggi, tapi juga mereka yang bekerja
    dibidang-bidang lainnya.
  7. Bekerja Unggul
    Bekerja unggul dapat dilihat dari kerja keras, selalu terdepan,
    memiliki kelebihan dibandingkan yang lain, dan tidak pernah
    merasa puas atas prestasi yang diraihnya.
  8. Bekerja Sempurna
    Bekerja sempurna adalah bekerja dengan keahlian karyawan yang
    dimiliki sehingga memiliki kecocokan ketika menjalaninya.

Indikator Perilaku Kerja


Dalam melakukan sebuah penelitian akan menjadi lebih mudah bila
mana ada indikator atau pengukurannya yang bertujuan untuk mempermudah dan
memperjelas sebuah penulisan. Maka indikator perilaku kerja menurut Andi Eko
Prasetyo (2011:26) antara lain persepsi karyawan tentang :

  1. Motivasi
  2. Produktif
  3. Tanggung jawab
  4. Kerja keras
    Ada empat indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
    perilaku kerja menurut Griffiths (2003:41).
  5. Sosial relationships (hubungan sosial)
    Seorang pekerja harus memiliki hubungan sosial yang baik dengan
    pekerja lain, dimana masing-masing pekerja harus mengawasi rekan
    kerja agar bertindak dijalan yang benar dan mengingatkan apabila
    ada kesalahan.
  6. Vocational skill (keahlian kejuruan)
    Keahlian yang dimiliki seseorang sesuai dengan pekerjaannya.
    Misalnya seseorang dengan keahlian memasak cocok untuk menjadi
    seorang chef.
  7. Work Motivation (motivasi kerja)
    Adanya kemauan untuk bekerja untuk mencapai suatu tujuan
    tertentu seperti kebutuhan fisiologi, rasa aman, cinta, harga diri, dan
    aktualisasi diri.
  8. Initiative-confidence (inisiatif-percaya diri)
    Dalam perilaku kerja yang baik harus memupuk rasa percaya diri
    yang penuh serta mengambil inisiatif bahwa semua pekerjaan dapat
    dilaksanakan sesuai dengan job description yang ada.

Faktor-Faktor Pembentukkan Perilaku Karyawan


Sebagai seorang anggota suatu organisasi, seharusnya tidak kehilangan identitasnya
yang khas karena hal itu merupakan kekhususan atau kebanggaan tersendiri yang
dimiiki orang tersebut. Orang yang mampu mempertahankan identitasnya kan
mempunyai harga diri yang tinggi pada gilirannya kan muncul dalam bentuk
keinginan untuk dihormati dan diperlakukan secara manusiawi oleh pimpinannya.
Oleh karna itu, seorang manager perlu memahami faktor-faktor pembentukan
perilaku seorang karyawan Siagian (2016).

  1. Faktor genetic
    Faktor genetic dalam hal ini adalah sifat-sifat yang dibawa sejak lahir
    yang bahkan merupakan warisan dari kedua orang tuanya. Oleh karna
    itu diperlukannya data setiap karyawan mengenai latar belakang
    kehidupan karyawan. Data tersebut dikumpulkan pada saat karyawan
    melamar pada perusahaan. Data demikian akan sangat penting untuk
    referensi dalam mengarahkan perilaku karyawan yang bersangkutan,
    baik dalam melakukan koreksi terhadap perilaku organisasi yang
    sifatnya positif.
  2. Faktor lingkungan
    Faktor lingkungan disini adalah situasi dan kondisi yang dihadapi
    seseorang pada masa muda di dalam rumah dan dalam lingkungan yang
    lebih luas, termasuk lingkungan sekolah dan lingkungan masyaraka.
    Beberapa hal yang berpengaruh terhadap lingkungan seseorang adalah :
    a. Lingkungan yang tentram, dalam arti penuh kedamaian dan bebas
    dari kehidupan yang curiga mencurigai.
    b. Lingkungan yang rukun, dimana esama warga tidak memiliki sikap
    acuh tak acuh.
    c. Lingkungan yang bersih.
    d. Tersedianya fasilitas yang memadai.
    e. Suasana masyarakat yang mencerminkan keakraban.
  3. Faktor pendidikan
    Pendidikan dapat bersifat formal dan non formal. Sasaran pendidikan
    tidak semata-mata pengalihan pengetahuan dan keterampilan saja. Salah
    satu bagian yang teramat penting adalah pembinaan watak (caracter
    bulding). Berkaitan dengan pendidikan sebagai faktor pembentukan
    perilaku kerja adalah keterampilan. Yang dimaksud keterampilan adalah
    kemampuan untuk melakukan sesuatu kegiatan tertentu yang dapat
    dipelajari dan dikembangkan.
  4. Faktor pengalaman
    Pengalaman seseorang sejak kecil turut membentuk perilaku dalam
    kehidupan organisasinya. Pengalaman dapat membentuk sifat apatis,
    keras kepala, tidak toleran, mudah putus asa, dan sebagainya. Salah satu
    sumber pengalaman lain yang dapat membentuk perilaku kerja
    seseorang adalah peristiwa yang mungkin pernah dilaluinya pada
    organisasi lain, baik secara langsung maupun tidak

Indikator – Indikator Sikap Kerja


Menurut Sapran Reanaldi (2015) dalam penelitian terdapat 5 indikator sikap
kerja, yaitu :
a. Kondisi kerja, meliputi lingkungan fisik maupun sosial berpengaruh
kenyamanan dalam bekerja.
b. Pengawasan atasan, pengawasan dan perhatian yang baik dari atasan dapat
mempengaruhi sikap dan semangat kerja.
c. Kerja sama dari teman kerja, adanya kerja sama dari teman sekerja juga
berpengaruh, dengan kualitas dan prestasi dalam menyelesaikan pekerjaan.
d. Kesempatan untuk maju, jaminan terhadap karir dan hari tua dapat
ddijadikan salah satu motivasi dalam sikap kerja.
e. Keamanan, rasa aman dan lingkungan yang terjaga akan menjamin dan
menambah ketenangan dalam bekerja.

Macam – Macam Sikap Kerja


Adapun macam-macam sikap kerja antara lain :

  1. Sikap kerja yang Efektif adalah suatu pekerjaan yang dapat diselesaikan
    tepat waktu, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
  2. Sikap kerjya yang Efisien adalah perbandingan yang terbaik antara input
    dan output, antara daya usaha dan hasil usaha, atau antara pengeluaran dan
    pendapatan.
  3. Sikap kerja Prestatif merupakan salah satu modal dasar untuk mencapai
    kesuksesan dalam berwirausaha. Prestatif dalam hal ini mempunyai arti
    bahwa seseorang yang berwirausaha mempunyai sikap yang selalu
    berambisi ingin maju dalam segala bidang. Mengapa perilaku kerja prestatif
    perlu dilakukan? Berikut ini adalah 3 alasan utama yang mengharuskan
    untuk berperilaku kerja prestatif.
    a) Persaingan Bebas
    b) Perubahan semakin cepat
    c) Derasnya situs informasi yang semakin luas

Fungsi Sikap


Sikap memiliki sejumlah fungsi psikologis yang berbeda, berdasarkan hasil
penelitian Walgito (2010;111) terdapat empat fungsi sikap, yaitu sebagai berikut :
1) Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa sikap adalah
sesuatu yang bersifat communicable, artinya sesuatu yang mudah menjalar,
sehingga mudah pula menjadi milik bersama.
2) Sikap berfungsi sebagai pengatur tingkah laku.
3) Sikap berfungsi sebagai alat ukur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini
perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalamanpengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif,
artinya pengalaman yang berasal dari dunia luar itu tidak semuanya dilayani
oleh manusia, tetapi manusia lebih memilih mana yang perlu dan mana yang
tidak perlu dilayani.
4) Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering
mencerminkan pribadi seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah
terpisah dari pribadi yang mendukungnya

Komponen Sikap


Sikap mengandung komponen-komponen yang membentuk struktur sikap,
Menurut Azwar S (2011:23) sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang,
yaitu sebagai berikut :
1) Komponen Kognitif
Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap,
komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu
mengenai sesuatu yang dapat disamakan penanganan opini) terutama
apabila menyangkut masalah isu atau Sesutu yang kontroversial.
2) Komponen Afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang
mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan
ddengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
3) Komponen Konatif
Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap
yang dimiliki oleh seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan
untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara yang
tertentu.

Pengertian Sikap Kerja


Seorang individu sangat erat hubungannya dengan sikapnya masing-masing
sebagai ciri dari pribadinya. Sikap pada umumnya sering diartikan sebagai suatu
tindakan yang dilakukan individu untuk memberikan tanggapan pada suatu hal.
Pengertian sikap dijelaskan oleh Anzwar (2010) sikap diartikan sebagai suatu reakti
atau respon yang muncul dari seorang individu terhadap objek yang kemudian
memunculkan perilaku individu terhadap objek terssebut dengan cara-car tertentu.
Pengertian sikap juga disampaikan oleh Sarwono & Meinarno (2009) sikap adalah
proses penilaian yang dilakukan oleh seorang individu terhadap suuatu objek.
Objek yang disikapi individu dapet berubah benda, manusia atau informasi. Proses
penilaian seseorang terhadap suatu objek dapat berupa penilaian positif dan negatif.
Sikap merupakan bentuk ungkapan perasaan sesorang terhadap sesuatu.
Sikap menurut Secord dan Backman dalam Azwar S (2011:5) “sikap adalah
keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran, dan predisposisi tindakan
seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sedangkan pengertian
sikap kerja menurut Maulana (2009:72) sikap kerja karyawan adalah cara kerja
karyawan di dalam mengkomunikasikan suasana karyawan kepada pimpinan atau
perusahaan. Sikap merupakan pernyataan evaluative, baik yang menguntungkan
onjek atau tidak, orang atau peristiwa. Sikap kerja sebagai kecenderungan pikiran
dan perasaan puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya. Indikator karyawan
merasa puas pada pekerjaannya akan berusaha keras, jujur, tidak malas dan ikut
memajukan perusahaan. Sebaliknya karyawan yang tidak puas pada pekerjaannya
akan bekerja seenaknya saja, mau bekerja kalau ada pengawasan, tidak berlaku
jujur, dan akhirnya akan dapat merugikan perusahaan

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi


Menurut Robert (2003: 80) ada beberapa faktor yang mempengaruhi budaya
organisasi dalam sebuah perusahaan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut :

  1. Nilai
  2. Kepercayaan
  3. Perilaku yang dikehendaki
  4. Keadaan yang amat penting
  5. Pedoman menyeleksi atau mengevakuasi kejadian
  6. Perilaku
    Sedangkan menurut Veithzal (2003: 81) faktor-faktor yang mempengaruhi
    budaya organisasi dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja karyawan
    adlah dipengaruhi oleh 3 hal. Yaitu sebagai berikut :
  7. Pola-pola yang dipandu oleh norma
  8. Nilai-nilai
  9. Kepercayaan yang ada dalam diri individu.