Dalam rangka memproduksi atau menghasilkan suatu produk, baik
barang maupun jasa, perusahaan terkadang perlu terlebih dulu
merencanakan berapa besar laba yang ingin diperoleh. Artinya dalam hal
ini besarnya laba merupakan prioritas yang harus dicapai perusahaan, di
samping hal-hal lainnya. Agar perolehan laba mudah ditentukan, salah
satu cara agar perusahaan mudah menentukan laba adalah perusahaan
tersebut harus mengetahui terlebih dulu berapa break even pointnya.
Artinya perusahaan beroperasi pada jumlah produksi atau penjulan
tertentu sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian ataupun
keuntungan.
Analisis break even point atau yang lebih dikenal dengan nama
istilah analisis titik impas merupakan salah satu analisis keuangan yang
sangat penting dalam perencanaan keuangan suatu perusahaan. Analisis
titik impas ini sering disebut analisis perencanaan laba (profit planning).
Analisis ini biasanya lebih sering cenderung digunakan apabila
perusahaan ingin mengeluarkan suatu produk baru. Artinya dalam
memproduksi produk baru tentu berkaitan dengan masalah biaya yang
harus dikeluarkan, kemudian penentuan harga jual serta jumlah barang
atau jasa yang akan diproduksi atau dijual ke konsumen. (Kasmir,
2014:332)
Dalam rangka penentuan break even point ini, perlu diketahui
beberapa hal yang penting, agar break even point dapat ditentukan
dengan tepat, yaitu:
a. Tingkat keuntungan (laba) yang ingin dicapai dalam suatu periode.
b. Besarnya kapasitas produksi yang tersedia atau yang mungkin dapat
ditingkatkan.
c. Jumlah biaya yang harus dikeluarkan, baik biaya tetap maupun biaya
variabel.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa arti analisis Break
Even Point (titik impas) adalah suatu keadaan di mana perusahaan
beroperasi dalam kondisi tidak memperoleh pendapatan (laba) dan
tidak pula menderita kerugian. Artinya dalam kondisi ini jumlah
pendapatan yang diterima sama dengan jumlah biaya yang
dikeluarkan. Kasmir (2014:333)
“Break Even Point merupakan tingkat aktivitas dimana suatu
organisasi tidak mendapat laba dan juga tidak menderita kerugian”.
Samryn (2012:174)