Perceived value menurut Chapmann (1999:55) adalah selisih antara total perceived benefits yang ditawarkan dan perceived sacrifice. Di mana perceived benefits adalah kumpulan manfaat yang diharapkan diperoleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu. Sedangkan perceived sacrifice adalah kumpulan pengorbanan yang diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh dan menggunakan produk atau jasa.
Penilaian konsumen terhadap suatu barang tergantung pada harapan dan manfaat produk. Kalau konsumen mendapatkan manfaat yang diterima oleh suatu produk lebih besar dibandingkan harapannya, konsumen itu akan merasa puas setelah melakukan pembelian. Akan tetapi sebaliknya, kalau manfaat yang diterima lebih rendah dari harapannya akan suatu produk, konsumen tersebut akan menjadi tidak puas dan berakhir dengan ketidakpuasan. Konsumen yang merasa puas, akan memungkinkan untuk melakukan pembelian lagi akan tetapi konsumen yang tidak puas kemungkinan akan mengurangi aktivitas pembelian produk itu dan bisa jadi beralih ke produk lain.
Pada kasus yang sama terjadi manakala seorang konsumen belum melakukan pembelian barang. Penilaian akan suatu barang didasarkan pada informasi yang dia dapatkan terhadap suatu barang. Informasi itu bisa berupa informasi merek, harga, manfaat barang, jenis barang dll. Informasi yang ada itu akan menciptakan penilaian konsumen terhadap barang. Kalau konsumen melihat suatu barang dengan nilai sangat tinggi, kemungkinan dia akan membeli barang tersebut pada saat dibutuhkan. Sebaliknya kalau penilaian suatu barang menjadi sangat rendah, konsumen akan cenderung menghindari produk itu.
Untuk bersaing dengan sukses dalam suatu lingkungan persaingan bisnis yang ketat, penjual harus menekankan pada nilai dari penawaran mereka. Penjual dapat meningkatkan perceived value tambah dengan meningkatkan persepsi pembeli atas kualitas produk atau manfaat relatif pada harga jual. Oleh karena itu, perusahaan dapat memilih pada satu dari tiga posisi strategis berbasis nilai (value-based strategy). Kualitas tinggi, harga rendah, atau keseimbangan antara kualitas dan harga. Monroe dalam Dodds et al, (1991:308) mengungkapkan asumsi yang mengatakan bahwa harga hanya merupakan suatu ukuran terhadap purchase cost (sacrifice) dari pembeli. Meskipun demikian, bukti penelitian mengindikasikan bahwa peran harga lebih kompleks daripada sekedar menjadi indicator of purchase cost dari pembeli. Penilaian terhadap harga akan dibandingkan dengan persepsi konsumen terhadap kualitas produk, alternatif produk pesaing dan nilai moneter yang dikorbankan
Monroe dalam Dodds et al. (1991:308) salah satu modelnya mengenai conceptual relationship of price effect menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perceived value dari seorang konsumen, dimana perceived value ini akan mampu mempengaruhi niat beli seseorang. Monroe menjadikan harga sebagai indikator berapa besar pengorbanan (sacrifice) yang diperlukan untuk membeli suatu produk sekaligus dijadikan sebagai indikator level of quality. Semakin tinggi harga orang mempersepsikan kualitas semakin tinggi sehingga konsekuensinya akan meningkatkan perceived value seseorang, pada saat yang sama harga yang tinggi mencerminkan ukuran moneter yang harus kita korbankan untuk mendapatkan suatu barang yang berarti akan mengurangi perceived value seseorang terhadap suatu barang.
Hubungan antara perceived quality, evaluasi dan pilihan dapat diterangkan sebagai bagian dari harga yang dapat diterima dalam suatu konsep. Pembeli biasanya telah memiliki beberapa patokan yang realistis untuk mempertimbangkan suatu barang daripada hanya dengan satu harga (Monroe dalam Dodds et al., 1991:308). Meskipun demikian orang-orang akan membatalkan membeli suatu produk jika mereka merasa harga barang tersebut terlalu tinggi dan jika mereka meragukan kualitas produk tersebut karena harganya yang terlalu rendah (Cooper dalam Dodds et al., 1991:308). Pada akhirnya jika harga tersebut tidak disepakati, dapat disimpulkan bahwa penawaran harus memiliki sedikit perceive value.
Persepsi nilai secara langsung mempengaruhi minat untuk membeli. Monroe dan Krishnan dalam Dodds et al. (1991:308) mengatakan bahwa semakin tinggi perceived value konsumen maka semakin tinggi pula minat untuk membeli. Selain itu Szybillo dan Jacobi dalam Dodds et al. (1991:308) menyatakan bahwa hubungan di mana terdapat hipotesis yang menunjukkan nilai uang memiliki hubungan yang lebih kuat pada pembelian daripada kualitas. Terdapat persepsi bahwa nilai akan meningkat bersamaan dengan peningkatan harga di mana batas nilai yang dapat diterima pembeli merupakan batas harga yang akan menentukan range harga yang dapat mereka terima. Meskipun demikian seiring dengan naiknya harga, persepsi suatu nilai akan turun. Dengan demikian hubungan antara harga dan nilai akan membentuk suatu kurva linier. Untuk menghasilkan perceived value yang tepat bagi konsumen, perusahaan hendaknya memperlihatkan kriteria evaluasi bagi kualitas produk atau jasa yang ditawarkan. Konsumen mungkin pula mempertimbangkan kriteria penilaian kualitas yang lebih bersifat hedonic, seperti perasaan yang muncul karena memilikinya.
Dari gambaran di atas, peneliti akan mencari tahu apakah ada pengaruh yang negatif antara perceived sacrifice dan perceived value. Dimana jika perceived sacrifice suatu barang tinggi maka perceived value yang di rasa oleh konsumen rendah. Namun, jika perceived sacrifice suatu barang rendah maka perceived value yang di rasa oleh konsumen tinggi.