Penyebab Kegagalan Total Quality Management (TQM)(skripsi dan tesis)

Apabila suatu perusahaan menerapkan TQM dengan cara yang sama seperti
mereka melaksanakan inovasi manajemen lainnya, maka usaha tersebut tidak
akan berhasil karena TQM merupakan suatu pendekatan baru dan menyeluruh
yang membutuhkan perubahan total atas paradigma manajemen tradisional,
komitmen jangka panjang, kesatuan tujuan, dan pelatihan-pelatihan khusus.
Menurut Tjiptono dan Diana (2003), beberapa kesalahan yang sering dilakukan
antara lain:
1. Delegasi dan kepemimpinan yang tidak baik dari manajemen senior.
Inisiatif upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan sepatutnya
dimulai dari pihak manajemen di mana mereka harus terlibat secara
langsung dalam pelaksanaannya. Bila tanggung jawab tersebut
didelegasikan kepada pihak lain (misalnya kepada pakar yang digaji)
maka peluang terjadinya kegagalan sangat besar.
2. Team mania.
Organisasi perlu membentuk beberapa tim yang melibatkan semua
karyawan. Untuk menunjang dan menumbuhkan kerja sama dalam tim,
paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, baik penyelia
maupun karyawan harus memiliki pemahaman yang baik terhadap
perannya masing-masing. Penyelia perlu mempelajari cara menjadi
pelatih yang efektif, sedangkan karyawan perlu mempelajari cara
menjadi anggota tim yang baik. Kedua, organisasi harus melakukan
perubahan budaya supaya kerja sama tim tersebut dapat berhasil.
Apabila kedua hal tersebut tidak dilakukan sebelum pembentukan tim,
maka hanya akan timbul masalah, bukannya pemecahan masalah.
3. Proses penyebarluasan (deployment)
Ada organisasi yang mengembangkan inisiatif kualitas tanpa secara
bersamaan mengembangkan rencana untuk menyatukannya ke dalam
seluruh elemen organisasi (misalnya operasi, pemasaran, dan lain-lain).
Seharusnya pengembangan inisiatif tersebut juga melibatkan para
manajer, serikat kerja, pemasok, dan bidang produksi lainnya, karena
usaha itu meliputi pemikiran mengenai struktur, penghargaan,
pengembangan keterampilan, pendidikan, dan kesadaran.
4. Menggunakan pendekatan yang terbatas dan dogmatis.
Ada pula organisasi yang hanya menggunakan pendekatan Deming,
pendekatan Juran, atau pendekatan Crosby dan hanya menerapkan
prinsip-prinsip yang ditentukan di situ. Padahal tidak ada satu pun
pendekatan yang disarankan oleh ketiga pakar tersebut maupun pakarpakar kualitas lainnya yang merupakan satu pendekatan yang cocok
untuk segala situasi. Bahkan pakar kualitas mendorong organisasi untuk
menyesuaikan program-program kualitas dengan kebutuhan mereka
masing-masing.
5. Harapan yang terlalu berlebihan dan tidak realistis.
Bila hanya mengirim karyawan untuk mengikuti suatu pelatihan selama
beberapa hari, bukan berarti telah membentuk keterampilan mereka.
Masih dibutuhkan waktu untuk mendidik, mengilhami, dan membuat
para karyawan sadar akan pentingnya kualitas. Selain itu dibutuhkan
waktu yang cukup lama pula untuk mengimplementasikan perubahanperubahan proses baru, bahkan seringkali perubahan tersebut memakan
waktu yang sangat lama untuk sampai terasa pengaruhnya terhadap
peningkatan kualitas dan daya saing perusahaan.
6. Empowerment yang bersifat prematur.
Banyak perusahaan yang kurang memahami makna pemberian
empowerment kepada para karyawan. Mereka mengira bahwa karyawan
telah dilatih dan diberi wewenang baru dalam mengambil suatu tindakan,
maka para karyawan tersebut dapat menjadi self-directed dan
memberikan hasil-hasil positif. Seringkali dalam praktik, karyawan tidak
tahu apa yang harus dikerjakan setelah suatu pekerjaan diselesaikan.
Oleh karena itu sebenarnya mereka membutuhkan sasaran dan tujuan
yang jelas sehingga tidak salah dalam melakukan sesuatu