Seiring dengan perkembangan ide sustainability development, dunia usaha pun
mulai menyerap ide tersebut ke dalam kebijakan bisnis mereka, terutama sebagai
upaya keberlanjutan dari keuntungan yang bisa mereka dapatkan (Kingsbury, 2004).
Menurut Sukada (2008) adopsi prinsip sustainability development kemudian
menghasilkan gagasan bussines sustainability atau corporate sustainability yang
Environmental merupakan pengakuan dan pengintegrasian tujuan dunia bisnis dengan
tujuan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan tersebut melihat peran potensial
perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut:
“For the business enterprise, sustainable development means adopting business
strategies and activities that meet the needs of the enterprise and its stakeholders
today while protecting, sustaining and enhancing the human and natural resources
that will be needed in the future.”
“…If sustainable development is to achieve its potential, it must be integrated into the
planning and measurement systems of business enterprises.” (Sukada, Sonny & Jalal,
2008).
Ide tentang sustainable development inilah yang menjadi inspirasi bagi John
Elkington pada bukunya “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st
Century Business“ menghasilkan prinsip utama Triple Bottom Line, yakni hubungan
yang seimbang antara profit, people, and planet dalam manajemen perusahaan.
Perusahaan dituntut tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (Profit).
Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (Planet) dan
kesejahteraan masyarakat (People) Prinsip Triple Bottom Line inilah yang kemudian menjadi landasan bagi konsep
CSR yang modern. Konsep CSR yang modern dianggap sebagai pembumian gagasan
besar “pembangunan berkelanjutan”. Sejarah panjang yang mempertemukan konsep
dan praktik dari CSR dan sustainable development dijelaskan pada Gambar 2.2 yang
merupakan time-line yang disarikan oleh Loew pada Jalal dalam Hubungan
Sustainable Development dan CSR (Jalal, 2011).
Konsep pemikiran dari John Elkington tersebut menggeser tanggung jawab
pengelolaan perusahaan yang semula hanya kepada stockholders (pemegang saham)
bergeser pada stakeholders/pemangku kepentingan (pemilik, karyawan, pemerintah
dan masyarakat luas). Menurut Elkington, terdapat dua jenis stakeholder yaitu
traditional stakeholder dan emerging stakeholder Pemegang saham, pemberi pinjaman dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan
peraturan adalah pihak-pihak yang termasuk dalam traditional stakeholder.
Sedangkan karyawan, konsumen, organisasi akademisi, asosiasi pedagang,
masyarakat luas, generasi di masa depan dan planet bumi termasuk emerging
stakeholder.
Menurut konsep Triple Bottom Line, keuntungan jangka panjang (sustainability)
dapat dicapai ketika perusahaan mempertimbangkan kepentingan kedua jenis
stakeholder yang pada umumnya memiliki konflik kepentingan. Kesimpulan dari teori Tripple Bottom Line ini adalah perusahaan bergantung pada traditional
stakeholder dan emerging stakeholder serta kondisi lingkungan dalam mencapai
keuntungan ekonomis (economic profit). Proses peningkatan nilai perusahaan harus
sesuai dengan hukum dan etika yang berlaku serta harus sejalan dengan kepentingan
dan harapan dari kedua jenis stakeholder.
Fenomena nasional dan internasional mengimplikasikan dengan jelas bahwa
perusahaan pada masa kini tidak bisa hanya sekedar memperhatikan keuntungan
(profit) saja. Sebagai contoh di dalam negeri, pada tahun 2010 Burger King, Unilever,
Nestle dan Kraft Foods memutuskan menghentikan pembelian minyak kelapa sawit
yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas dengan alasan adanya dugaan perusakan hutan
tropis yang membahayakan kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan
karbon dioksida yang merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim global
yang lebih dikenal dengan global warming (www.nasional.news.viva.co.id, 2010).
Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga
mengalami hal yang sama (Harvard Business Review, 2010). Pagi hari 1 Juni 2009,
Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka
menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di
Amazon. Keadaan semakin diperburuk karena Timberland tidak mengetahui apakah
material yang mereka beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang
mengimplikasikan mungkin saja tuduhan tersebut benar. Kemudian pada Mei 2010,
seluruh dunia gempar dengan kasus bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya tewas karena bunuh diri dalam waktu lima bulan.
Peristiwa yang terjadi semakin memperkuat bahwa konsep Triple Bottom Line
(TBL)-People, Planet and Profit merupakan pilar yang mengukur nilai kesuksesan
suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pendekatan
ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring perkembangan pendekatan
akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak digunakan oleh perusahaan
sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial
(Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu bentuk
implementasi TBL. Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih
mengutamakan kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena
dampak dari kegiatan yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder
(pemegang saham).
Konsep ini diaplikasikan pada program CSR pada perusahaan di Indonesia dengan
mengimplementasikan konsep sebagai berikut:
1. People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang
mendukung kepentingan tenaga kerja. Lebih spesifik konsep ini melindungi
kepentingan tenaga kerja dengan menentang adanya eksploitasi yang
mempekerjakan anak di bawah umur, pembayaran upah yang wajar, lingkungan
kerja yang aman dan jam kerja yang dapat ditoleransi. Bukan hanya itu, konsep
ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi
tenaga kerja.
2. Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas sumber
daya alam yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah produksi dan
mengolah kembali menjadi limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi oleh perusahaan yang telah menerapkan konsep ini. The Body Shop, dalam
Values Report 2005 mencantumkan salah satu target inisiatif Protect Our Planet
untuk tahun 2006 dengan mengurangi hingga 5% emisi CO2 dari listrik yang
digunakan di gerainya. Starbucks memiliki program Coffee and Farmer Equity
(CAFE) untuk memperoleh dan mengolah kopi dengan memperhatikan dampak
ekonomi, sosial dan lingkungan. Starbucks mendefinisikan sustainability sebagai
model yang layak secara ekonomis untuk menjawab kebutuhan sosial dan
lingkungan dari semua partisipan dalam rantai pasokan dari petani sampai
konsumen.
3. Profit di sini lebih dari sekadar keuntungan. Profit di sini berarti menciptakan fair
trade dan ethical trade dalam berbisnis. Starbucks dan The Body Shop selalu
mengaplikasikan fair trade – bukan mencari harga termurah – dalam mencari
bahan bakunya.
Dalam perkembangan dan penerapannya tidak dapat dipungkiri masih banyak
perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu program yang menghabiskan
banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa perusahaan menerapkan program ini
karena “terpaksa” untuk mengantisipasi penolakan dari masyarakat dan lingkungan
sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan, hambatan lainnya dari sisi
eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan profesi akuntansi tentang
penyajian pelaporan non-keuangan (Neviana, 2010).