Karakteristik Masyarakat Madura (skripsi dan tesis)

Menurut Rifai (dalam Surokim, 2015, p.44) tidak berbeda dengan suku
bangsa Indonesai lainya, dalam menghadapi tantangan masa depannya masyarakat
Madura juga tengah mengalami perubahan besar yang pesat jika dibandingkan
dengan sebelumnya. Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi khususnya
dengan beropersinya jembatan Suramadu, telah meningkatkan frekuensi terjadinya
hubungan, persinggungan, dan interaksi masyarakat Madura dengan masyarakat
luar. Oleh karena itu batas-batas kebudayaan Madura dengan segala kekhasan
sistem tata nilainya telah mulai mengabur apabila dipertentangkan dengan
kebudayaan dan peradaban suku-suku bangsa lainnya.
Adanya jembatan Suramadu menjadikan semakin mudahnya akses bagi
orang luar untuk memasuki Madura dengan segala konsekuensi logisnya.
Industrialisasi Madura menjadikan identitas kultural Madura berada di kancah
global. Kondisi ini diharapkan menjadikan identitas kultural Madura semakin
menguat, dan bukannya terisolasi dalam relasi multi etnis yang kompleks. Ditengah
pesatnya kemajuan teknologi informasi, masyarakat Madura masih menjunjung
tinggi nilai-nilai tradisional maupun kearifan lokal yang telah lama berakar kuat.
Dalam masyarakat Madura banyak dikenal pepatah adat yang dijadikan sebagai
falsafah hidup dan menjadi identitas kultural tersendiri tersendiri bagi masyarakat
madura. Bila dipelajari dengan seksama pepatah-pepatah adat Madura, serta faktafakta dalam masyarakat seperti masalah perkawinan, sistem kekerabatan,
kedudukan dan peran, orang tua, guru dan pemimpin. Melalui falsafah tersebut kita
dapat membaca konsep-konsep hidup dan kehidupan yang ada dalam pikiran orang
Madura.
Salah satu tujuan adat pada umumnya termasuk Madura adalah membentuk
individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, dan beradab. Adat ini
jugalah yang telah diteruskan secara turun temurun dari generasi ke generasi oleh
masyarakat Madura sehingga menjadi ciri budaya dari orang madura. Ciri budaya
ini jugalah yang kemudian memiliki peran tertentu dalam interaksi orang Madura
dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya.
Ada ungkapan-ungkapan yang merupakan cerminan dari pandangan atau
falsafah hidup orang Madura yang mengandung kedalaman makna baik dalam
relasi dengan penciptanya, sesamanya, maupun lingkungannya. Diantara beberapa
ungkapan tersebut antara lain:
1. Abantal syahadat asapo’ iman (berbantal syahadat, berselimut iman). Suatu
ungkapan yang menyiratkan pentingnya menjadikan agama sebagai
sandaran hidup. Ungkapan ini menunjukkan sifat religiusitas orang Madura
terhadap agamanya. Hal ini salah satunya tercermin pada model bangunan
rumah di Madura yang selalu menempatkan bangunan langgar di sisi barat
halaman rumahnya. Langgar ini menjadi tempat shalat, mengaji dan belajar
agama. Sejak kecil anak-anak di Madura sudah dibiasakan untuk belajar
mengaji dan ilmu agama pada kyai. Tidak mengherankan bahwa dalam
struktur masyrakat Madura, kyai memiliki posisi penting dengan beragam
hak istimewa/privilege. Di Madura kyai dan pesantren menjadi sentral
hampir sebagian besar kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan Madura.
Hal ini menunjukkan kuatnya ikatan antara orang Madura dengan
agamanya. Agama diterima bukan semata sebagai tradisi warisan leluhur,
tapi juga menempati bagian tertinggi dalam kehidupan masyarakat Madura.
2. Bhuppha’, bhabhu’, ghuru, ratoh tidak sekedar menggambarkan struktur
penghormatan orang Madura, melainkan juga menggambarkan proses relasi
sosial orang Madura. Ketaatan pada orang tua (bapak dan ibu) (buppa’ ban
Babbu’) sebagai orangtua kandung sudah jelas, tegas, dan diakui
keniscayaannya. Secara kultural ketaatan dan ketundukan seseorang kepada
kedua orangtuanya. Bhuppha’-bhabhu’ adalah orang pertama bagi anak
untuk belajar dan menerima pendidikan. Di lingkungan inilah proses sosial
dalam lingkup kecil mereka kenal. Ghuru atau kyai merupakan sosok sentral
dalam masyarakat Madura. Sementara Ratoh termasuk orang yang harus
dihormati karena ia pemimpin formal dalam masyarakat. Bagi masyarakat
Madura kepatuhan pada ratoh sudah tertanam kuat, sehingga sikap tunduk
dan menghormati terhadap segala peraturan yang berkaitan dengan posisi
dirinya sebagai warga negara adalah sebuah keniscayaan.
3. Manossa coma dharma, yang menunjukkan keyakinan akan kekuasaan
Allah Yang Maha Kuasa. Dalam ungkapan ini tercermin kepatuhan akan
kuasa dan kebesaran Tuhan dalam menentukan takdir manusia.
4. Ango ‘an pote tolang e tembeng pote mata (lebih baik mati dari pada malu).
Makna ungkapan ini sebenarnya sangat mulia, dan mampu memberi
inspirasi bagi orang untuk berbuat kebaikan dan membela kebanaran.
Apabila memahami makna “pote mata pote tolang, ango’ poteya tolang”,
seseorang akan malu untuk berbuat buruk atau melanggar norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Karena dengan melakukan tindakan buruk hal
itu diumpamakan mencoreng hitam di wajah sendiri.
5. Lakona lakone, kennengnga kennengnge. Makna dari ungkapan ini adalah
bahwa orang Madura memiliki pedoman atau tuntunan agar dapat
membawa diri dimanapun dia berada dalam kondisi apapun. Hal ini
menunjukkan bahwa orang Madura ulet professional dalam bekerja, karena
itu para perantau Madura jarang mengalami kegagalan.
6. Kar-karkar colpe’. Ungkapan ini menunjukkan keuletan dan kegigihan
orang Madura dalam bekerja. Bekerja diibaratkan seperti seekor ayam yang
selalu mencakar-cakar tanah untuk mendapat makanan, meskipun hasilnya
sedikit. Ungkapan kar-karkar colpe’ juga menggambarkan sifat orang
Madura yang rajin bekerja, tekun, mengumpulkan penghasilan sedikit demi
sedikit. Sifat ini juga menunjukkan bahwa orang Madura pantang menyerah
dan berputus asa, sampai dia mencapai keinginannya.
7. Ungkapan lain yang berkaitan dengan etos kerja orang Madura diungkapkan
oleh Rifai (2007) yang menjelaskan bahwa orang Madura tidak akan
menyia-yiakan atau membuang waktu dalam hidupnya yang pendek,
sehingga tidak akan mèndu ghabay atau menduakalikan pekerjaan.
Berdasarkan ungkapan ini, orang Madura bersikap sangat efisien terhadap
waktu dalam bekerja, yang tergambar dalam ungkapan atolo ngèras mandi
(berkeramas sambil mandi). Dalam mengerjakan suatu pekerjaan, orang
Madura bersikap du’-nondu’ mèntè tampar (duduk menunduk memintal
tali). Ungkapan ini berarti bahwa meskipun terlihat duduk menunduk,
sebenarnya orang Madura tetap ulet dan rajin melakukan kegiatan yang
bermanfaat. Orang Madura juga meyakini bahwa tiap orang mendapat hasil
sesuai dengan yang diupayakan nyamon atanè atana’, mon adhagang
adhaging (siapa yang bertani bertanak nasi, siapa yang mau berdagang atau
bekerja, maka dia akan memperoleh hasilnya).