Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, dengan jelas mengamantkan bahwa dalam pemanfaatan sumber daya alam harus dilaksanakan dan didasarkan pada daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup. Untuk itu, dalam pemanfaatanya harus didasarkan pada RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Pasal 12, menyatakan bahwa : (1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. 50 (2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup dengan memperhatikan a. Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup b. Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. Keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyrakat”
Ketentuan RPPLH tersebut, maka dalam pemanfaatan lingkungan hidup akan senantiasa memperhatikan hak asasi manusia untuk mendapatkan hidup sehat terpenuhi. Setiap kegiatan usaha mempunyai kewajiban melestarikan dan memelihara lingkungan hidup. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup terjadi sebagai akibat kegiatan usaha cenderung disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum selama ini, sehingga aktivitas pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tetap marak dan kian mengkhawatirkan. Kegiatan usaha yang telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup diakibatkan tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya adalah pengabaikan terhadap ketentuan AMDAL. Salah satu alat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam rencana pembangunan adalah keharusan untuk melakukan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). AMDAL merupakan instrument pengelolaan lingkungan dan menjamin upaya-uapaya koservasi. Hasil Studi AMDAL, merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek itu sendiri. Adapun 51 tujuan AMDAL secara umum adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran, sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga mengatur tentang sanksi pidana kepada pihak-pihak yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan berupa sanksi kurungan badan dan denda karena telah melakukan tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Instrumen pidana ini sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan untuk menantisipasi perusakan lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimatum remedium, dimana tuntutan pidana merupakan akhir matarantai yang panjang. Bertujuan untuk menghapus atau mengurangi akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Takdir Rahmadi, menyatakan bahwa : “setidaknya ada dua alas an tentang mengapa sanksi pidana diperlukan. Pertama, sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan seperti harta benda dan kesehatan juga untuk melindungi kepentingan lingkungan seperti harta benda kesehaatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik apabila persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak dipenuhi. Kedua, pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan lingkungan yang tercemar, penutupan tempat 52 usaha dadan pengumuman melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik pencemar yang bersangkutan