Skeptisisme Auditor (skripsi dan tesis)

Auditor wajib merencanakan dan melaksanakan suatu audit dengan skeptisisme profesional dengan menyadari bahwa mungkin ada situasi yang menyebabkan laporan keuangan disalahsajikan secara material (ISA,200:15). Skeptisisme profesional auditor adalah sikap profesional auditor yang harus selalu mempertanyakan bukti-bukti audit serta tidak mudah begitu saja percaya terhadap keterangan-keterangan yang diberikan klien atas pemberian opini auditor terhadap laporan keuangan (Kushasyandita & Januarti, 2012). Kee dan Knox (1970) dalam Kushasyandita & Januarti (2012) menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor : 1. Faktor Kecondongan Etika : Pengembangan kesadaran etis atau moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan, termasuk melatih sikap skeptisisme profesional auditor (Louwers, 1997). 2. Faktor Situasi : Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (irregularities situation) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya. 3. Pengalaman : Pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Standar profesi Akuntan Publik (SPAP, 2011), menyatakan bahwa Skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap mencakup pikiran yang selalu  mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit.

Skeptisisme itu berasal dari kata skeptis yang memiliki arti kurang percaya atau bersikap ragu-ragu ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008) Sesuai dengan Prinsip Etika Profesi dalam kode etik IAI yang mencakup aspek kepercayaan, kecermatan, kejujuran, dan keandalan menjadi bukti bahwa skeptisisme profesional sebagai auditor sangatlah penting untuk memenuhi prinsip-prinsip (1) Tanggung jawab profesional, (2) Kepentingan publik, (3) Integritas, (4) objektifitas, (5) Kompetensi dan kehati-hatian profesional, (6) Kerahasiaan, (7) Perilaku profesional, (8) Standar teknis (Kushasyandita dan Januarti, 2012). Praktik yang dilakukan oleh akuntan publik, sebagian masyarakat masih meragukan tingkat skeptis yang dimiliki oleh auditor sehingga berdampak pada keraguan. Semakin kecil tingkat kepercayaan berarti semakin besar tingkat kecurigaan. Demikian pula sebaliknya, semakin besar tingkat kepercayaan berarti semakin kecil tingkat kecurigaan. Jadi, sudah sepantasnya auditor memiliki sikap cermat dan hati-hati (due care) dalam melakukan audit atas laporan keuangan kliennya agar hasil audit berupa opini akuntan dapat dipertanggungjawabkan (Handayan & Merkusiwati, 2015)