Menurut Myers (1984), pecking order theory menjelaskan mengenai perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang lebih tinggi berbanding terbalik dengan tingkat hutang yang rendah. Hal ini dikarenakan entitas yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal berlimpah. Dalam pecking order theory sendiri, struktur modal tidak memiliki nilai yang optimal. Secara spesifik, perusahaan mempunyai urutan preferensi (hierarki) dalam pengelolaan dana. Perusahaan yang memiliki jumlah laba besar lebih memilih untuk melakukan pinjaman karena adanya keuntungan berupa taxshield. Pecking order theory menjelaskan langkah-langkah dalam memilih sumber pendanaan, yaitu:
a. perusahaan memilih untuk memanfaatkan sumber pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal yang diperoleh dari laba ditahan merupakan pendapatan dari kegiatan operasional.
b. Jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan akan memulai dari tingkat sekuritas yang paling aman, yaitu hutang tingkat risikonya paling rendah, selanjutnya mengarah pada hutang dengan lebih berisiko, sekuritas seperti saham preferen, obligasi konversi, serta saham biasa.
c. Terdapat kebijakan deviden yang nilainya konstan, yaitu perusahaan menetapkan jumlah pembayaran deviden yang konstan. Hal ini tidak terpengaruh pada seberapa besar perusahaan tersebut untung atau rugi.
d. Untuk mengantisipasi adanya kekurangan dari persediaan kas akibat adanya kebijakan deviden yang konstan dan perubahan yang tidak menentu dari perubahan tingkat keuntungan, serta peluang untuk berinvestasi, maka perusahaan akan lebih memilih mengambil portofolio investasi yang lancar. Pecking order theory tidak berhubungan dengan target kepemilikan struktur modal.
Teori ini lebih mengarah pada urut-urutan dari pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat hutang pada tingkat wajar. Kebutuhan dana ditetapkan oleh kebutuhan investasi perusahaan. Pecking order theory ini dapat menjelaskan alasan mengapa perusahaan dengan tingkat keuntungan yang tinggi justru memiliki tingkat hutang yang relatif kecil. Kondisi tersebutdikarenakan perusahaan-perusahaan dalam menggunakan dana untuk kebutuhan investasinya tidak sesuai seperti urutan-urutan yang dijelaskan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan Singh dan Hamid (1992) menyatakan bahwa “Perusahaan yang di dirikan pada negara berkembang justru lebih memilih untuk menerbitkan kepemilikan ekuitas perusahaan mereka daripada berhutang untuk membiayai kegiatan perusahaannya”. Hal ini terkait dengan pecking order theory yang menyebutkan bahwa seuatu entitas akan memilih pertama kali untuk menerbitkan hutang daripada menerbitkan kepemilikan saham pada saat membutuhkan pendanaan dari pihak eksternal