Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya sendiri-sendiri.
Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU No.22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/ daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh pemerintah pusat di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah berdasar UU No.5 Tahun 1974 (orde baru).
Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi pemekarannya lebih merupakan inisiatif pemerintah pusa ketimbang partisipasi dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.
Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis. Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian dibentuk DOB.
Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis.