Teori kontrak sosial (social contract) berawal pada karya pemikiran Plato,
The Republic (427 SM – 347 SM). Thomas Hobbes (1588 – 1679), yang kemudian
memformalisasikan secara eksplisit konsep teori kontrak sosial pada sekitar abad melalui karya yang berjudul Leviathan. Konsep tersebut lebih lanjut
dikembangkan oleh John Locke (1636 – 1704) yang mengatakan pada dasarnya
bentuk dan dasar lingkungan sosial bersifat apolitical, dimana pelaku sosial
memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum alam yang sudah teratur (Chariri
Anis, dalam Nor Hadi, 2011, p.96). Keteraturan hukum alam memberikan
kewajiban kepada masyarakat untuk memelihara hukum dengan kontrak sosial
untuk mencegah individu agar tidak menyimpang dan melanggar hukum tersebut.
J.J Rousseau (1762) dalam buku Nor Hadi, berpendapat bahwa hukum alam
bukanlah wujud dari konflik, melainkan memberikan hak kebebasan bagi individuindividu untuk berbuat secara kreatif. (Nor Hadi, 2011, p.96). Kontrak sosial dibuat
sebagai media untuk mengatur tatanan (pranata) sosial kehidupan masyarakat.
Pendapat J.J Rousseau mengandung makna bahwa secara volunteer (sukarela),
individu harus menaati perintah, kemudian pemerintah harus mampu mengatur agar
terjadi peningkatan hubungan baik antara Negara dengan warga negaranya (good
citizenship). Kontrak sosial dibangun dan dikembangkan salah satunya umtuk
menjelaskan hubungan antara Perusahaan terhadap masyarakat (society).
Perusahaan memiliki kewajiban kepada masyarakat untuk memberi kemanfaatan
bagi masyarakat setempat baik secara langsung maupun secara tidak langsung
(investasi jangka panjang Perusahaan). Interaksi Perusahaan dengan masyarakat
penting dalam rangka pemenuhan dan upaya untuk mematuhi aturan dan normanorma yang berlaku di masyarakat (community norm), sehingga Perusahaan
memperoleh dasar pembenar atau pengakuan (legitimasi) dari masyarakat (Deegan,
dalam Nor Hadi, 2011, p.96).
Teori ini muncul karena adanya interelasi dalam kehidupan sosial
masyarakat, agar terjadi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan termasuk
terhadap lingkungan. Perusahaan yang merupakan kelompok orang yang memiliki
kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara bersama adalah bagian dari
masyarakat dalam lingkungan yang lebih besar. Keberadaannya sangat ditentukan
oleh masyarakat, di mana antara keduanya saling pengaruh-memengaruhi. Untuk
itu agar terjadi keseimbangan (equality), maka perlu kontrak sosial baik secara
tersurat maupun tersirat, sehingga terjadi kesepakatan-kesepakatan yang saling
melindungi kepentingan masing-masing (Ardianto & Machfudz, 2011, p.76).
Kontrak sosial dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk
menjelaskan hubungan antara perusahaan dan masyarakat. Di sini, perusahaan atau
organisasi memiliki kewajiban pada masyarakat untuk memberi manfaat bagi
masyarakat. Interaksi perusahaan dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk
memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat,
sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimate. (Deegan, dalam
Ardianto & Machfudz, 2011, p.77).
Dalam perspektif manajemen kontemporer, teori kontrak sosial menjelaskan
hak kebebasan individu dan kelompok termasuk masyarakat yang dibentuk
berdasarkan kesepakatan yang saling menguntungkan anggotanya (Rawl, dalam
Ardianto & Machfudz, 2011, p.77). Hal ini sejalan dengan konsep legitimacy theory
bahwa legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat keseuaian antara keberadaan
perusahaan yang tidak menganggu atau sesuai (congruence) dengan eksitensi
sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Shocker dan Sethi dalam
Ardianto & Machfudz, 2011, p.77 menjelaskan konsep kontrak sosial (social
contract) bahwa untuk menjamin kelangsungan hidup dan kebutuhan masyarakat,
kontrak sosial didasarkan pada :
1. Hasil akhir (output) yang secara sosial dapat diberikan kepada
masyarakat luas.
2. Distribusi manfaat ekonomis, sosial atau politik kepada kelompok
sesuai dengan kekuatan yang dimiliki.
Mengingat output perusahaan bermuara pada masyarakat, serta tidak adanya
power institusi yang bersifat permanen, maka perusahaan membutuhkan legitimasi.
Di situ, perusahaan harus melebarkan tanggung jawabnya tidak hanya sekadar
ecomomic responsibility yang lebih diarahkan kepada shareholder (pemilik
perusahaan, namun perusahaan harus memastikan bahwa kegiatannya tidak
melanggar dan bertanggung jawab kepada pemerintah yang dicerminkan dalam
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (legal responsibility). Di samping
itu, perusahaan juga tidak dapat mengesampingkan tanggung jawab kepada
masyarakat, yang dicerminkan lewat tanggung jawab dan keberpihakan pada
berbagai persoalan sosial dan lingkungan yang timbul (societal responsibility).
(Nor Hadi, dalam Ardianto & Machfudz, 2011, p.77)
Dalam konteks ini, salah satu tolak ukur keberhasilan perusahaan dalam
membangun dan melaksanakan Community Relations ini adalah manakala
komunitas baik melalui opinion leader-nya maupun secara individu, merasa dan
menyatakan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari keberadaan dan operasional
perusahaan di lingkungannya. Ada benih-benih rasa sayang dan cinta mereka
kepada perusahaan dikarenakan mereka pun merasakan adanya ketulusan,
kejujuran dukungan riil, rasa sayang, dan cinta perusahaan kepada komunitas.
Hubungan keduanya terasa dan tampak harmonis, saling pengertian, saling
mendukung, saling menghormati, dan solid. Duka dan sukanya komunitas menjadi
duka dan sukanya perusahaan, sebaliknya duka dan sukanya perusahaan menjadi
duka dan sukanya komunitas. Betapa indahnya interelasi dan interaksi keduanya.
Untuk ini dibutuhkan Community Development Officer dan Community
Development Manager yang tangguh, responsif, cerdas, amanah, bertanggung
jawab serta memiliki kemampuan empati dan human communications yang baik.
Ia adalah pribadi tepercaya, dipercaya oleh perusahaan dan dipercaya oleh
komunitas. Komunitas, setidaknya opinion leader-nya, bahkan ‘jawara’ setempat
menaruh respek dan sayang kepada Community Development Officer dan Managernya. (Ardianto & Machfudz, 2011, p.77-78).