Komunitas sekitar lokasi kegiatan perusahaan –seperti pabrik, area
penambangan, kantor atau bengkel– diibaratkan Jefkins sebagai tetangga. Bila
diperlakukan dengan baik maka akan menjadi kawan, dan sebaliknya bila
diperlakukan buruk bisa menjadi lawan. Akan tetapi hubungan antar organisasi dan
komunitas bukanlah sekadar soal bertetangga belaka. Bila komunitas dimaknai
dengan lokalitas, bisa berarti menjaga hubungan baik dengan tetangga seperti yang
dimaksudkan Jefkins. Namun, konsep komunitas sudah mengalami pergeseran
sehingga komunitas tidak hanya dimaknai dengan lokalitas saja melainkan juga
dimaknai secara struktural, artinya dilihat dari aspek interaksi yang pada saat ini
bisa saja berlangsung di antara individu yang berbeda lokasinya.
Hubungan antara organisasi dan komunitas lebih tepat dipandang sebagai
wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Menurut Daugherty (2003), konsep
tanggung jawab sosial perusahaan baru muncul tahun 1960-an sebagai respons
terhadap nilai-nilai sosial yang berubah. Nilai-nilai sosial tersebut muncul dalam
bentuk mulai meningkatnya perdebatan-perdebatan tentang isu-isu sosial.
Akibatnya, organisasi dituntut untuk mematuhi tanggung jawab hukum yang baru.
Berbeda dengan sebelumnya, khususnya sekitar revolusi industri, organisasiorganisasi bisnis hanya peduli dengan upaya meraup keuntungan dan aturan hukum
soal bisnis pun hanya ada beberapa saja. Daughtery menambahkan bahwa tanggung
jawab sosial itu merupakan proses untuk mengevaluasi stakeholder dan tuntutan
lingkungan serta implementasi program-program untuk menangani isu-isu sosial.
Tanggung jawab sosial itu berkaitan dengan kode-kode etik, sumbangan
perusahaan, program-program Community Relations dan tindakan mematuhi
hukum. (Iriantara, 2013, p.26).