Pajak menurut UU Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan kompensasi secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak memperoleh jasa timbal (kontraprestasi) yang 22 langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk memenuhi pengeluaran umum (Mardiasmo, 2016:3). UU pajak penghasilan mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkaitan dengan penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenakan pajak apabila memperoleh penghasilan (Mardiasmo, 2016:163). Mardiasmo (2016:163-164) mengungkapkan subjek pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria. Badan terdiri dari PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif. Yoehana (2013) mengungkapkan bahwa UU No. 36 Tahun 2008 merupakan perubahan UU No. 17 Tahun 2000, UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 7 Tahun 1991 dan UU No. 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan. Dasar pengenaan PPh Badan adalah sebesar laba bersih kena pajak tanpa pengurangan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kewajiban WP Badan dalam Perpajakan antara lain: a. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). b. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 28 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007, yaitu WP orang pribadi yang melaksanakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. c. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya: a. Kewajiban pajak sendiri (PPh Pasal 25/29). b. Kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan orang lain (PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final). c. Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak. d. Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). e. Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak. f. Kewajiban membuat faktur pajak. g. Kewajiban melunasi bea materai. Perusahaan sebagai salah satu subjek pajak seringkali melakukan penghematan beban pajak demi pencapaian laba sesudah pajak yang lebih tinggi. Hal tersebut dilakukan karena ada benturan kepentingan antara stakeholderdengan pihak managemen. Ketidakselarasan tersebut, membuat manajer melakukan berbagai hal demi kepuasan stakeholder, salah satunya dilakukan dengan meminimalisir jumlah laba, sehingga jumlah beban pajak yang dibayarkan rendah, baik melalui cara yang legal maupun ilegal yang sering disebut agresivitas pajak. Agresivitas pajak dilakukan melalui perencanaan yang lebih agresif untuk mengurangi pajak terhutang perusahaan (Jessica dan Toly, 2014). Hlaing (2012) mengungkapkan agresivitas pajak merupakan kegiatan perencanaan pajak di semua perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat pajak yang efektif. Tidak ada definisi ataupun ukuran agresivitas pajak yang dapat diterima secara universal. Gunawan (2017) mengatakan bahwa agresivitas pajak merupakan hal umum yang terjadi diperusahaan-perusahaan besar diseluruh dunia. Tujuan agresivitas pajak untuk meminimalisir pajak perusahaan yang menjadi perhatian publik karena tidak sesuai dengan keinginan masyarakat dan merugikan pemerintah. Pembayaran pajak oleh perusahaan memiliki keterlibatan penting bagi masyarakat dalam hal pembiayaan barang publik seperti pendidikan, pertahanan nasional, kesehatan masyarakat dan hukum (Gunawan, 2017) Tujuan utama agresivitas pajak untuk meminimalisir beban pajak perusahaan. Jumlah pajak yang dibayarkan sebesar hasil perkalian antara pendapatan kena pajak (PKP) dengan tarif pajak (tax rate) yang telah ditetapkan negara. PKP diperoleh dari penghasilan bruto dikurangi biaya yang diperkenankan UU PPh. Pajak yang dibayar perusahaan bergantung pada koreksi pajak atau selisih antara laba dengan pendapatan kena pajak (book tax difference), sehingga teknik dalam melakukan agresivitas pajak dengan mengatur book tax difference (Kamila, 2014). Setiap tindakan yang akan dilakukan manajer pasti dipertimbangkan terlebih dahulu cost and benefit yang akan diterima, termasuk keputusan melakukan agresivitas pajak. Pajak memiliki unsur memaksa mengakibatkan banyak perusahaan sebagai wajib pajak berusaha untuk melakukan praktek perlawanan pajak. Perlawanan pajak yang dilakukan perusahaan dapat berupa perlawanan pajak aktif maupun perlawanan pajak pasif. Diantara kedua perlawanan pajak tersebut perlawanan pajak aktif lebih mendominasi strategi perusahaan untuk menghindari pajak yanga dapat diwujudkan dalam bentuk agresivitas pajak (Andhari, 2017). Wajib Pajak (WP) dapat melakukan suatu perencanaan pajak karena Indonesia mengimplementasikan Self Assessment System sebagai sistem perpajakannya, dimana sistem ini adalah sebuah sistem perpajakan yang memberi wewenang serta kepercayaan pada WP untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak terhutangnya secara mandiri. Upaya WP untuk menurunkan beban pajaknya menggambarkan tingkat agresivitas pajak yang dilakukannya. Perusahaan berkewajiban untuk membayarkan pajak berdasarkan laba bersih. Perusahaan memandang pajak sebagai kewajiban perusahaan yang bisa mengurangi laba. Hal tersebut mendorong perusahaan mengambil langkah untuk meminimalkan besaran pajak yang ditanggungnya, sehingga perusahaan cenderung dipandang telah melakukan agresivitas pajak (Rengganis, 2018). Yoehana (2013) mengatakan bahwa beban pajak yang dipikul oleh subjek pajak badan, membutuhkan kerangka yang baik, oleh karena itu strategi perpajakan mutlak diperlukan untuk mencapai perusahaan yang optimal. Strategi dan perencanaan pajak yang baik dan legal, mampu mendorong perusahaan untuk dapat bersaing dengan perusahaan yang lain. Jenis transaksi agresivitas pajak antara lain penggunaan utang perusahaan secara berlebihan untuk meminimalisir penghasilan kena pajak dengan mengklaim kelebihan pengurangan pajak untuk beban bunga, penggunaan berlebih atas kerugian pajak. Transaksi yang sering dilakukan dalam tindakan agresivitas pajak secara efektif menambah pengurangan pajak (melalui bunga, kerugian pajak, dan lain-lain) yang dapat digunakan perusahaan untuk mengimbangi nilai pendapatan, sehingga mengurangi pajak penghasilan dan jumlah pajak terhutang perusahaan (Jessica, 2014). Rengganis (2018) mengungkapkan ada banyak cara yang digunakan untuk menilai bagaimana perusahaan mengatur beban pajaknya, salah satunya adalah dengan mengamati besaran tarif efektifnya. Rendahnya nilai ETR perusahaan menggambarkan bahwa beban pph perusahaan lebih kecil dari penghasilan sebelum pajaknya yang menunjukkan adanya kemungkinan tindak agresivitas pajak yang cukup tinggi. Hal tersebut karena ada kemungkinan perusahaan tersebut tidak membayarkan beban pajak dalam jumlah yang semestinya. Nilai ETR perusahaan yang semakin rendah mengindikasikan semakin tingginya tindakan agresivitas pajak suatu perusahan. Tindakan agresivitas pajak yaitu tindakan yang bertentangan dengan harapan dari lingkungan masyarakat. Apabila perusahaan terbukti melakukan suatu tindakan agresivitas pajak akan memperoleh pandangan negatif dari masyarakat karena dirasa kurang memiliki tanggung jawab sosial. Perusahaan sebagai organisasi yang sangat berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan tentunya tidak menginginkan mendapat pandangan negatif dari masyarakat. Yoehana (2013) Mengungkapkan bahwa ada berbagai macam proksi pengukuran agresivitas pajak, antara lain Effective Tax Rates (ETR), Book Tax Differences, Discretionary Permanent BTDs (DTAX), Unrecognize Tax benefit, Tax Shelter Activity, dan Marginal tax rate. Lanis dan Richardson (2012) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan menggunakan ETR sebagai proksi untuk mengukur agresivitas pajak, antara lain penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Slemrod, 2004; Dyreng et al, 2008; Robinson et al, 2010; Armstrong dkk menggunakan ETR untuk mengukur agresivitas pajak, proksi ETR adalah proksi yang paling banyak digunakan dalam literatur, dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi indikator adanya agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang menghindari pajak perusahan dengan mengurangi penghasilan kena pajak mereka dengan tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih rendah. Dengan demikin, ETR dapat digunakan untuk mengukur agresivitas pajak.