Ajzen (1991) mengembangkan sebuah teori yang dinamakan Theory
of Planned Behaviour. Faktor utama dalam teori ini adalah intensi individu
untuk melakukan suatu tindakan. Teori ini menghubungkan antara
keyakinan dengan perilaku (Lestari dan Yaya, 2017). Teori ini
menjelaskan bagaimana intensi terhadap perilaku dan perilaku dapat
dibentuk. Intensi terhadap perilaku diartikan sebagai sesuatu yang
mendahului tindakan. Theory of Planned Behavior cocok untuk
menjelaskan intensi whistle blowing (Park dan Blenkinsopp, 2009). Teori
tersebut menganalisis perbedaan antara sikap dan intensi serta intensi dan
perilaku.
Theory of Planned Behavior mengajukan tiga konsep faktor
independen suatu intensi. Faktor tersebut antara lain sikap terhadap
perilaku, faktor sosial yang disebut norma subyektif, dan persepsi kontrol
perilaku.
Faktor pertama, sikap terhadap perilaku adalah penilaian yang bersifat
pribadi dari orang yang bersangkutan mengenai perilaku tertentu. Sikap
terhadap perilaku diproksikan oleh variabel tingkat keseriusan
pelanggaran. Individu akan menilai apakah suatu pelanggaran yang terjadi
memiliki dampak serius atau tidak. Septianti (2013) menyebutkan bahwa
pelanggaran dengan kerugian yang besar maka intensi untuk melaporkan
pelanggaran akan semakin besar.
Faktor kedua, norma subyektif merupakan persepsi seseorang tentang
perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar individu
(teman, organisasi, dan masyarakat). Norma subyektif diproksikan oleh
variabel iklim etis. Victor dan Cullen (1988) menjelaskan bahwa iklim etis
membantu individu dalam menentukan perilaku yang bisa diterima dalam
suatu organisasi. Keputusan etis seperti whistle blowing dipengaruhi oleh
beberapa hal seperti pertemanan, keuntungan organisasi, kepentingan
masyarakat, tim dalam bekerja, tanggung jawab sosial, dan peraturanperaturan
yang berlaku.
Terakhir, persepsi tentang kontrol perilaku yaitu persepsi mengenai
kesulitan atau kemudahan untuk melakukan perilaku tertentu. Persepsi
tentang kontrol perilaku diproksikan oleh variabel status pelanggar.
Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota organisasi dengan jabatan yang
tinggi merupakan hal yang sulit untuk dilaporkan (Septianti, 2013). Intensi
individu untuk melakukan whistle blowing semakin tinggi apabila
pelanggaran dilakukan oleh anggota organisasi yang tidak memiliki cukup
wewenang/kekuasaan untuk melakukan pembalasan.