Berdasarkan penelitian terdahulu yang menggunakan teori perilaku berencana yang dikaitkan dengan tindakan whistleblowing terdapat pada penelitian (Aliyah, 2015), (Bagustianto dan Nurkholis, 2012), (Prasetyo, Purnamasari, dan Maemunah, 2016), (Pertiwi et al., 2017), (Rahayu, 2017) serta (Lestari dan Yaya, 2018). Teori ini merupakan teori dalam psikologi yang dikemukan oleh Ajzen (1991). Teori ini menghubungkan antara keyakinan dengan perilaku dimana dalam teori ini dijelaskan bagaimana minat terhadap perilaku dan perilaku dapat dibentuk. Minat terhadap perilaku diartikan sebagai indikasi kesiapan individu untuk menampilkan perilaku, atau dapat diasumsikan sebagai suatu yang mendahului tindakan. Tindakan dapat diartikan sebagai respon yang tampak dari individu sehubungan dengan target yang diberikan. Dalam teori ini terdapat tiga prediktor pembentuk perilaku. Pertama adalah sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior), merupakan evaluasi positif atau negative individu terhdap benda, orang, institusi, kejadian, perilaku atau niat tertentu. Sikap individu terhadap suatu perilaku diperoleh dari keyakinan terhadap 24 konsekuensi yang ditimbulkan perilaku tersebut. Apabila seseorang melakukan perilaku yang menghasilkan outcome positif, maka individu tersebut memiliki sikap positif, begitu juga sebaliknya (Rustiarini dan Sunarsih, 2015) Kedua, norma subjektif (subjective norm), merupakan faktor diluar individu yang menunjukkan persepsi seseorang tentang perilaku yang dilaksanakan. Subjective norms tidak hanya ditentukan referent, tetapi juga motivation to comply. Apabila individu yakin referent menyetujui dirinya melaksanakan suatu perilaku dan termotivasi mengikuti suatu perilaku, maka individu tersebut akan merasakan adanya tekanan sosial untuk melakukannya, begitu pula sebaliknya. Ketiga, persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control/PBC), merupakan persepsi terhadap tingkat kesulitan sebuah perilaku untuk dapat dilaksanakan. PBC merefleksikan pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap hambatan yang mungkin terjadi ketika melakukan sebuah perilaku (Sarwono dan Meinarno, 2011). Alasan digunakannya Theory of Planned Behaviour adalah karena teori ini mampu mengidentifikasi keyakinan seseorang terhadap pengendalian atas sesuatu yang terjadi dari perilaku yang akan dilakukan, sehingga dapat membedakan perilaku yang dikehendaki individu dan yang tidak dikehendaki indiividu. Dalam hal ini mengukur tentang seberapa besar perilaku yang direncanakan oleh pegawai di pemerintah daerah dengan mempertimbangkan implikasi sebelum melaporkan 25 tindakan kecurangan yang sedang diketahui dan terjadi. Ruang lingkup yang mempengaruhi difokuskan pada keputusan pengungkapan kecurangan