Terkait dengan usaha penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan termasuk pemberantasan korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti Organization for Economic Co-operation andDevelopment (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memberantas praktik yang bertentangan dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) (KNKG, 2008). Hanif dan Odiatma (2017) menyatakan Niat (intention) adalah keinginan kuat untuk melakukan sesuatu yang berasal dari dalam diri. Niat akan mempengaruhi perilaku karena sebelum melakukan perilaku, niat harus muncul terlebih dahulu untuk mendorong individu melakukan perilaku. Whistleblowing adalah tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media maupun Taylor dan Curtis (2010) whistleblowing adalah pengungkapan oleh anggota organisasi (yang masih aktif sebagai anggota ataupun yang sudah tidak menjadi anggota organisasi) atas suatu praktik-praktik ilegal, tidak bermoral, atau tanpa legitimasi dibawah kendali pimpinan kepada individu atau organisasi yang dapat menimbulkan efek tindakan perbaikan.
Niat Whistleblowing (skripsi dan tesis)
Whistleblowing terbagi menjadi dua jenis, yaitu Whistleblowing internal dan Whistleblowing eksternal. Whistleblowing internal terjadi ketika individu atau beberapa orang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya, kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi. Sedangkan whistleblowing eksternal menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannya lalu membocorkan kepada masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat (Naomi, 2015). Whistleblower dibagi lagi menjadi dua kategori, yakni whistleblower di sektor swasta dan whistleblower di sektor pemerintahan. ditinjau dari tempatnya 16 16 bekerja, umumnya whistleblower bisa berasal dari perusahaan swasta maupun dari instansi pemerintah (Semendawai, 2011). Whistleblowing merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan faktor pribadi dan organisasi. Tindakan whistleblowing tentunya memiliki risiko. Respon atasan untuk menanggapi atau mengabaikan aduan pelanggaran sangat berpengaruh terhadap niat dan kecenderungan pegawai lain untuk melakukan whistleblowing, resiko yang diterima para whistleblower dapat berupa teguran, rujukan ke psikiater, isolasi sosial, pemfitnahan, pengancaman, pengucilan serta tekanan mengundurkan diri, dan sebagainya (Elias, 2008).
Dasgupta dan Kesharwani (2010) menyatakan bahwa secara umum ada tiga penyebab seseorang melakukan whistleblowing, antara lain: 1. Perspektif altrustik seorang whistleblower. Altrustik mengacu kepada sikap seseorang yang sangat mengutamakan kepentingan orang lain atau tidak mementingkan diri sendiri. Alasan altrustik whistleblowing adalah keinginan untuk memperbaiki kesalahan yang merugikan kepentingan organisasi, konsumen, rekan kerja, dan masyarakat luas. 2. Perspektif motivasi dan psikologi. Motivasi whistleblower mendapat manfaat atas tindakannya dapat menyebabkan seseorang melakukan whistleblowing. Sebagai contoh Amerika Serikat memberikan insentif keuangan untuk orang melaporkan pelanggaran. Whistleblower dapat diukur oleh motif pribadi lainnya seperti balas dendam terhadap organisasi dan dipekerjakan kembali. 3. Harapan penghargaan. Organisasi kadang menawarkan hadiah bila mengungkap tindakan pencurian oleh seorang karyawan. Contoh Undang-undang AS memungkinkan whistleblower memperoleh penghargaan pemerintah 30% dari total uang yang dipulihkan.
De George (1986) dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) bahwa terdapat tiga kriteria atas whistleblowing yang adil, antara lain: 1. Organisai yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas, 2. Kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi, dan 3. Apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak mendapatkan hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dalam bukunya yang berjudul “Sistem Pelaporan Pelanggaran-SPP (Whistleblowing system-WBS)” menambahkan beberapa manfaat dari penerapan whistleblowing system selain dari yang telah di jelaskan diatas, yaitu: a. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat publik, dan 18 b. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih jauh area kritikal dan proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk merancang tindakan perbaikan yang diperlukan