Stres dapat muncul ketika seseorang mendapat tekanan
yang menyebabkan ia tidak mampu untuk mengikuti standarĀ
standar yang ditetapkan selama proses pekerjaan. Stres kerja
dapat diartikan sebagai kesadaran atas perasaan tak terkendali
yang dimiliki seseorang akibat timbulnya suatu tekanan yang
membuat tidak nyaman atau dinilai sebagai ancaman di tempat
kerja (Montgomery dkk., 1996). Rustiarini (2014) menjelaskan
bahwa stres kerja pada level tinggi dapat menyebabkan
gangguan stabilitas emosional yang berpengaruh terhadap
perilaku kerja yang menyimpang. Kondisi tersebut dapat
dialami oleh auditor karena sering berhadapan dengan banyak
pekerjaan dan dituntut untuk menyelesaikannya dengan waktu
yang terbatas.
Beberapa penelitian terdahulu telah meneliti hubungan
stres kerja dengan perilaku disfungsional audit. Chen dkk.
(2006) menemukan bahwa beberapa auditor pada tingkat
tertentu tidak menganggap stres kerja sebagai beban,
melainkan sebagai motivasi bekerja. Namun demikian, hasil
penelitian Hsieh & Wang (2012) menunjukkan bahwa stres kerja
yang tinggi dapat meningkatkan job burnout. Hasil penelitian
tersebut didukung oleh Rustiarini (2014), Utami (2015) dan
Golparvar dkk. (2012) yang menunjukkan adanya hubungan
positif antara stres kerja pada level tinggi dengan perilaku
disfungsional audit. Sementara itu, Rahmi (2015) tidak
menemukan hubungan antara stres kerja dengan perilaku
disfungsional audit.
Menurut peneliti, tekanan dan tuntutan kerja yang tinggi
secara otomatis akan memaksa auditor untuk bekerja lebih
keras. Ketika seseorang merasa tidak mampu mengatasi
tekanan tersebut maka auditor akan mengalami stres kerja.
Apabila auditor tidak memiliki kemampuan dan kekuatan yang
cukup untuk mengontrol stres kerja yang dialami atas tuntutan
pekerjaannya, maka auditor akan terpicu untuk melakukan
perilaku disfungsional.