Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) menyatakan, bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama (ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan, saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas. Nurcholish Madjid (dalam Jalaluddin, 2016) meyatakan, bahwa religiusitas adalah tingkah laku yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan yang supra-empiris. Ia meletakan sesuatu yang empiris sebagai mana layaknya, tetapi ia meletakkan nilai sesuatu yang empiris di bawah supra-empiris. Ancok dan Suroso (dalam Purwadi, 2007) mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika individu melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak.
Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama (ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan, saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas pada diri individu.