Dimensi Dalam Kepuasan Kerja

Luthans (1992) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu imbalan, pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok kerja dan kondisi kerja. Gilmer (1984) menyatakan bahwa ada sepuluh dimensi yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja yakni keamanan, kesempatan untuk maju, perusahaan dan manajemen, gaji, aspek intrinsik dari pekerjaan, supervisi, aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, kondisi kerja, dan benefit.

Locke dalam Dunnette (1983) membagi tujuh dimensi kerja yang merupakan pengembangan Locke sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap kepuasan kerja, yaitu:

  1. Pekerjaan, termasuk minat intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja, jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah pekerjaan dan metode pekerjaan.
    1. Pembayaran, termasuk jumlah pembayaran, keadilan pembayaran, serta cara pembayarannya.
    1. Promosi termasuk keadilan mendapatkan promosi dan kesempatan mendapat promosi.
    1. Pengakuan termasuk penghargaan terhadap prestasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan serta kritik atas tugas yang dikerjakan.
    1. Benefit termasuk memperoleh pensiun, mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada saat liburan.
    1. Kondisi kerja termasuk jam kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di tempat kerja, ventilasi, kelembaban, lokasi serta tata ruang kerja.
    1. Supervisi termasuk gaya dan pengaruh supervisi, hubungan manusia dan keterampilan administratif.
    1. Rekan kerja termasuk kompetensi, saling membantu, dan keramahan antar rekan kerja.
    1. Perusahaan dan manajemen termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja baik untuk pembayaran ataupun benefit-benefit.

Sedangkan Model Theory of Work Adjustment mengukur 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  1. Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
  2. Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
  3. Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
  4. Advancement adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
  5. Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
  6. Company Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan.
  7. Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan.
  8. Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
  9. Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
  10. Independence adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
  11. Moral values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
  12. Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
  13. Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
  14. Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
  15. Social Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
  16. Social Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan.
  17. Supervision-Human Relations adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
  18. Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan.
  19. Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya.
  20. Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.

    Dari kesamaan pendapat para ahli yang telah dijelaskan diatas, terlihat ada tujuh dimensi yang sama dipergunakan para ahli tersebut dalam mengungkap dimensi kepuasan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, promosi, gaji, supervisi, rekan kerja, kondisi kerja, serta perusahaan dan manajeme

Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 2002) yang disebut kepuasan kerja ialah perasaan seseorang terhadap pekerjaanya. Menurut Hoppeck (dalam Anoraga, 2001) kepuasan kerja merupakan penilaian dari karyawan mengenai seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Locke (1976) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “sesuatu yang menyenangkan atau keadaan emosi positif yang dihasilkan dari penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman kerja. Cranny, Smith, dan Stone (1992) memandang hal ini sebagai “suatu perasaan (maksudnya secara emosional) reaksi terhadap pekerjaan, sebagai suatu hasil yang dibandingkan dari kewajiban sebagai hasil akhir yang aktual dengan sesuatu yang dikehendaki orang-orang.

Selanjutnya Tiffin (dalam Anoraga, 2001) menjelaskan tentang definisi kepuasan kerja sebagai suatu hal yang berhubungan dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri. Situasi kerja, kerja sama antara pimpinan dan sesama karyawan. Menurut Blum (dalam Anoraga, 2001) dikemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial di luar kerja.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan kerja merupakan perasaan yang menyangkut individu atau karyawan terhadap pekerjaannya, apakah memuaskan kebutuhannya atau tidak.

Efektivitas Organisasi

Efektivitas adalah upaya untuk tercapainya tujuan ataupun sasaran-sasaran organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga dengan demikian efektivitas erat kaitannya dengan keberhasilan pencapaian suatu tujuan atau sasaran. Dimensi Pengukurannya yaitu Karakteristik Organisasi, Karakteristik Lingkungan, Karakteristik Pekerja dan Kebijakan dan praktek pimpinan

Organizational Citizenship Behavior

Organizational Citizenship Behavior atau OCB adalah perilaku diluar-peran dari karyawan, yaitu, perilaku yang secara sukarela dan memperluas diatas ekspektasi peran normal. Perilaku dalam peran, sebagai perbandingan, dibutuhkan dan diharapkan sebagai bagian dari pekerjaan, tugas, atau tanggung jawab individu. Dimensi pengukurannya yaitu Altruism (Kepedulian), Conscientiousness (Kesadaran), Civic Virtue (partisipasi), Sportsmanship (sportivitas), Courtesy (sopan santun) 

Budaya organisasi

Budaya organisasi adalah pengendali sosial dan pengatur jalannya organisasi atas dasar nilai dan keyakinan yang dianut bersama, sehingga menjadi norma kerja kelompok, dan secara operasional disebut budaya kerja karena merupakan pedoman dan arah perilaku kerja karyawan. Dimensi Pengukurannya yaitu Dimensi sosialisasi, Dimensi distribusi kekuasaan dan otonomi pekerjaan, Dimensi derajat struktur, Dimensi penghargaan terhadap kesuksesan, Dimensi kesempatan untuk berkembang, Dimensi toleransi terhadap resiko dan perubahan, Dimensi toleransi terhadap konflik, Dimensi dukungan emosional.

Komitmen Organisasi

Komitmen Organisasi terhadap organisasi merupakan sikap yang dimiliki oleh karyawan dan tertuju pada organisasi tempat ia bekerja, berhubungan dengan kemauan menerima nilai serta tujuan dari organisasi, kesetiaan dan kemauan karyawan berkorban demi pencapaian tujuan organisasi, serta memiliki keinginan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi. Dengan dimensi pengukuran yaitu (1) Komitmen efektif (2) Komitmen berkelanjut (3) Komitmen normative

Pengukuran Keefektifan Organisasi

Steers (2005) mengemukakan lima kriteria dalam pengukuran efektifitas organisasi yaitu:

  1. Produktivitas 
    1. Kemampuan adaptasi atau fleksibilitas 
    1. Kepuasan kerja 
    1. Kemampuan berlaba 
    1. Pencarian sumber daya

Sementara menurut Gibson (2008) mengatakan pula bahwa efektifitas organisasi dapat pula diukur sebagai berikut:

  1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai 
    1. Kejelasan strategi pencapaian tujuan 
    1. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap 
    1. Perencanaan yang matang 
    1. Penyusunan program yang tepat 
    1. Tersedianya sarana dan prasarana 
  2. .Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik  

Sedangkan menurut Steers (2005), terdapat pengaruh 4 faktor tersebut terhadap efektifitas organisasi sebagai berikut:

1)  Karakteristik Organisasi 

 Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi.

  1. Struktur diartikan sebagai hubungan yang relatif tetap sifatnya, merupakan cara suatu organisasi menyusun orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi yang meliputi faktor-faktor seperti deentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan interaksi antar pribadi dan seterusnya. Secara singkat struktur diartikan sebagai cara bagaimana orang-orang akan dikelompokkan untuk menyelesaikan pekerjaan.
  2.  Teknologi menyangkut mekanisme suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi. Teknologi dapat memiliki berbagai bentuk, termasuk variasi-variasi dalam proses mekanisme yang digunakan dalam produksi, variasi dalam pengetahuan teknis yang dipakai untuk menunjang kegiatan menuju sasaran. Ciri organisasi yang berupa struktur organisasi meliputi faktor luasnya desentralisasi. Faktor ini akan mengatur atau menentukan sampai sejauh mana para anggota organisasi dapat mengambil keputusan. Faktor lainnya yaitu spesialisasi pekerjaan yang membuka peluang bagi para pekerja untuk mengembangkan diri dalam bidang keahliannya sehingga tidak mengekang daya inovasi mereka.

2)  Karakteristik Lingkungan 

 Karakteristik lingkungan ini mencakup dua aspek yaitu internal dan eksternal. Lingkungan internal dikenal sebagai iklim organisasi. Yang meliputi macam-macam atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi dan efektifitas khususnya atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu dari efektifitas khususnya atribut diukur pada tingkat individual.  Lingkungan eksternal adalah kekuatan yang timbul dari luar batas organisasi yang memperngaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi seperti kondisi ekonomi, pasar dan peraturan pemerintah. Hal ini mempengaruhi: derajat kestabilan yang relatif dari lingkungan, derajat kompleksitas lingkungan dan derajat kestabilan lingkungan.

 Steers menyimpulkan dari penelitian yang dilakukan para ahli bahwa keterdugaan, persepsi dan reasionalitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi hubungan lingkungan. Dalam hubungan terdapat suatu pola dimana tingkat keterdugaan dari keadaam lingkungan disaring oleh para pengambil keputusan dalam organisasi melalui ketetapan persepsi yang tepat

mengenai lingkungan dan pengambilan keputusan yang sangat rasional akan

dapat memberikan sumbangan terhadap efektifitas organisasi. (Steers, 2005)

3) Karakteristik Pekerja 

 Karakteristik pekerja berhubungan dengan peranan perbedaan individu para pekerja dalam hubungan dengan efektifitas. Para individu pekerja mempunyai pandangan yang berlainan, tujuan dan kemampuan yang berbeda-beda pula. Variasi sifat pekerja ini yang sedang menyebabkan perilaku orang yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap efektifitas organisasi. Dua hal tersebut adalah rasa keterikatan terhadap organisasi dan prestasi kerja individu.  Menurut

4) Kebijakan dan praktek pimpinan

 Karena manajer memainkan peranan sentral dalam keberhasilan suatu organisasi melalui perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan yang

ditujuan ke arah sasaran. Kebijakan yang baik adalah kebijakan tersebut secara jelas membawa kita ke arah tujuan yang diinginkan. Pada intinya pimpinan adalah tentang memutuskan apa yang harus dilakukan kemudian

melaksanakannya melalui sumber daya manusia yang ada

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas

Setiap organisasi atau lembaga di dalam kegiatannya meningkatkan adanya pencapai tujuan. Tujuan dari suatu lembaga akan dicapai apabila segala kegiatannya berjalan efektif. Mewujudkan kegiatan yang efektif akan dapatdilaksanakan apabila didukung oleh faktor-faktor pendukung efektivitas. Di bawah ini penulis menguraikan empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yang dikemukakan oleh Steers (2005):

  1. Karakteristik Organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti  susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur  merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka menciptakan  sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari  suatu hubungan yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan  tingkah laku yang berorientasi pada tugas.
    1. Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah  lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan  sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan  dan pengambilan tindakan. Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal  sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam  lingkungan organisasi.
    1. Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap  efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedaan, akan  tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya  mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu rganisasi menginginkan  keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu  dengan tujuan organisasi.
    1. Karakteristik Manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja yang dirancang  untuk mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi sehingga efektivitas  tercapai. Kebijakan dan praktek manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk  mengarahkan setiap kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam  melaksanakan kebijakan dan praktek manajemen harus memperhatikan manusia,  tidak hanya mementingkan strategi dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini  meliputi penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan atas sumber  daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan  pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungan inovasi  organisasi.

Pengertian Keefektifan Organisasi

Menurut Soekanto (2007) , efektivitas secara etimologis berasal dari kata “effectiveness” yang berarti taraf sampai, yaitu sejauhmana suatu kelompok mencapai tujuannya  sedangkan yang disebut dengan efektivitas menurut Siagian adalah “Efektivitas berkaitan erat bukan hanya dengan penggunaan sumber daya, dana dan prasarana kerja akan tetapi juga dengan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam batas waktu yang telah ditetapkan untuk pencapaiannya”. Sedangkan Etzioni (2005) memberi ukuran keefektifan organisasi sebagai tingkat sejauh mana ia berhasil mencapai tujuannya. Robbins (2005) dalam ringkasannya mendefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh masukan, memproses masukan tersebut, menyalurkan keluaran, dan mem-pertahankan stabilitas dan keseimbangan di dalam sistem.

Terdapat 3 perspektif yang utama didalam menganalisis apa yang disebut efektivitas organisasi (Richard M. Steers, 2005), yaitu :

1. Perspektif optimalisasi tujuan, yaitu efektivitas dinilai menurut ukuran seberapa jauh suatu organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai. Pemusatan perhatian pada tujuan yang layak dicapai secara optimal, memungkinkan dikenalinya secara jelas bermacam-macam tujuan yang sering saling bertentangan, sekaligus dapat diketahui beberapa hambatan dalam usaha mencapai tujuan.

2. Perspektif sistem, yaitu efektivitas organisasi dipandang dari keterpaduan berbagai faktor yang berhubungan mengikuti pola, input, konversi, output dan umpan balik, dan mengikutsertakan lingkungan sebagai faktor eksternal. Dalam perspektif ini tujuan tidak diperlakukan sebagai suatu keadaan akhir yang statis, tetapi sebagai sesuatu yang dapat berubah dalam perjalanan waktu. Lagipula tercapainya tujuan-tujuan jangka pendek tertentu dapat diperlakukan sebagai input baru untuk penetapan selanjutnya. Jadi tujuan mengikuti suatu daur yang saling berhubungan antar komponen, baik faktor yang berasal dari dalam (faktor internal), maupun faktor yang berasal dari luar (faktor eksternal).

3. Perspektif perilaku manusia, yaitu konsep efektivitas organisasi ditekankan pada perilaku orang-orang dalam organisasi yang mempengaruhi keberhasilan organisasi untuk periode jangka panjang. Disini dilakukan pengintegrasian antara tingkah laku individu maupun kelompok sebagai unit analisis, dengan asumsi bahwa cara satu-satunya mencapai tujuan adalah melalui tingkahlaku orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut.

Jadi, kesimpulan yang dapat ditarik dari pernyataan-pernyataan di atas adalah bahwa efektivitas adalah menyangkut pencapaian tujuan. Yang dimaksud di sini yaitu bahwa efektivitas mengandung pengertian tercapainya tujuan ataupun sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga dengan demikian efektivitas erat kaitannya dengan keberhasilan pencapaian suatu tujuan atau sasaran.

Dimensi Organizational Citizenship Behavior

Beberapa  dimensi dari OCB telah diidentifikasi (Podsakoff et al., 2000) dan Organ (1990) terdapat lima dimensi telah menjadi yang paling sering diteliti oleh para peneliti yang diuraikan sebagai berikut:

  1. Altruism (Kepedulian) didefinisikan sebagai mengambil alih tindakan sukarela yang membantu orang lain dengan masalah yang yang terkait dengan pekerjaan (Podsakoff & MacKenzie, 1994). Hal ini mengacu pada mengambil waktu dari jadwal pribadi sesorang dan untuk memberikan pertolongan kepada seseorang yang membutuhkan. Dengan demikian bentuk nyata dari dalam organisasi adalah keinginan untuk membantu rekan sekerja yang kedodoran dalam pekerjaannya.
    1. Conscientiousness (Kesadaran) mengacu pada perilaku yang menguntungkan organisasi, bukan individu atau kelompok spesifik. Hal ini pada dasarnya melakukan peran yang seharusnya dilakukan seseorang dalam organisasi, akan tetapi juga melakukan perilaku melebihi norma yang seharusnya. Dengan demikian karyawan akan menempatkan prioritas pada kehadiran, penggunaan waktu kerja, dan dukungan terhadap berbagai macam peraturan yang melampaui setiap standar minimum yang ditetapkan. Contoh dari tipe OCB ini termasuk tidak membuang waktu, tepat waktu dan kehadiran diatas norma yang seharusnya, sadar akan tanggung jawabnya secara sukarela, tepat waktu, menempatkan kepentingan pada keterperincian dan kualitas tugas, dan secara umum mengerjakan diatas dan jauh melebihi panggilan tugas.
  2. Civic Virtue (partisipasi).  Hal ini dimaksudkan pada konsep bertanggung jawab dalam proses politik dalam organisasi. Komitmen antusias terhadap organisasi ini meliputi menghadiri pertemuan atau peran yang sebenarnya merupakan pilihan atau sukarela, mencari cara untuk meningkatkan cara perusahaan beroperasi, atau mengawasi lingkungan perusahaan untuk kesempatan atau ancaman.Contoh dari Civic Virtue termasuk menghadiri rapat, menjaga kesamaan cara pandang dari keputusan dan isu-isu organisasi, dan mengemukakan pendapat.
  3. Sportsmanship (sportivitas) mengacu melibatkan kemauan untuk mentoleransi ketidaknyamanan yang pasti terjadi dan resiko pekerjaan tanpa mengeluh serta pada toleransi terhadap ketidaknyamanan dan hal-hal yang mengganggu dari kehidupan organisasi tanpa mengeluh dan merasa diperlakukan tidak adil. Hal ini melibatkan tidak menyebarkan isu-isu yang walaupun mengganggu, berdampak lebih kecil dalam skema dari hal-hal yang lebih luas. Sportsmanship yang bagus menjaga pola pikir positif dan menahan diri dari menunjukkan perasaan buruk ketika saran mereka ditolak atau ketika mereka diharuskan untuk mengalami ketidaknyamanan minor yang disebabkan oleh orang lain.
  4. Courtesy (sopan santun)  yaitu upaya untuk menampilkan bahasa tubuh yang dipertimbangkan atau berhati-hati terhadap orang lain, atau memeriksa, atau mengenali orang lain sebelum mengambil tindakan yang akan mempengaruhi kerja mereka. Tindakan sopan dapat termasuk berkomunikasi secara teratur dengan rekan- rekan kerja sehingga mereka tidak terkejut ketika peristiwa-peristiwa gagal membuka jalan yang mereka harapkan

Pengertian Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

Penilaian kinerja terhadap karyawan biasanya didasarkan pada job description yang telah disusun oleh organisasi tersebut. Dengan demikian, baik atau buruknya kinerja seorang karyawan dilihat dari kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, sebagaimana tercantum dalam job description. Melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas yang ada dalam job description ini disebut sebagai in-role behavior (Dyne et al., 2005). Sudah seharusnya bila organisasi mengukur kinerja karyawan tidak hanya sebatas tugas-tugas yang terdapat dalam job description saja. Bagaimanapun diperlukan peran ekstra demi terselesaikannya tugas-tugas itu. Kontribusi di atas dan lebih dari deskripsi kerja formal inilah yang disebut dengan organizational citizenship behavior (Smith et al., 2003).

Perbedaan yang mendasar antara perilaku in-role dengan perilaku extra-role adalah pada reward. Pada in-role biasanya dihubungkan dengan reward dan sanksi (hukuman), sedangkan pada extra-role biasanya terbebas dari reward, dan perilaku yang dilakukan oleh individu tidak diorganisir dalam reward yang akan mereka terima (Morrison, 2004). Tidak ada insentif tambahan yang diberikan ketika individu berperilaku extra-role. Dibandingkan dengan perilaku in-role yang dihubungkan dengan penghargaan ekstrinsik atau penghargaan moneter, maka perilaku extra-role lebih dihubungkan dengan penghargan intrinsik (Wright et al., 1993). Perilaku ini muncul karena perasaan sebagai anggota organisasi dan merasa puas apabila dapat melakukan sesuatu yang lebih kepada organisasi.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan “nilai tambah karyawan” yang merupakan salah satu bentuk perilaku pro sosial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag & Resckhe. 1997:1 dalam Rahardiningtyas).

Organ (2008) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. Organ juga mencatat bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) ditemukan sebagai alternatif penjelasan pada hipotesis “kepuasan berdasarkan kinerja”.

Sementara itu Dyne et al. 2005) yang mengusulkan konstruksi dari ekstra-role behavior (ERB) yaitu perilaku yang menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan organisasi, secara suka rela dan melebihi apa yang menjadi tuntutan peran (p.218). Organ (2008)  menyatakan bahwa definisi ini tidak didukung penjelasan yang cukup, “peran pekerjaan” bagi seseorang adalah tergantung dari harapan dan komunikasi dengan pengirim peran tersebut. Definisi teori peran ini menempatkan OCB atau ERB dalam realisme fenomenologi, tidak dapat  diobservasi dan sangat subjektif. Definisi ini juga menganggap bahwa intensi aktor adalah “untuk menguntungkan organisasi”.

Borman dan Motowidlo (2003) mengkonstruksi tidak hanya mendukung inti dari perilaku itu sendiri melainkan mendukung semakin besarnya lingkungan organisasi, sosial dan psikologis sehingga inti teknisnya berfungsi. Definisi ini tidak dibayangi istilah sukarela, reward atau niat sang aktor melainkan perilaku yang mendukung lingkungan organisasi, sosial dan psikologis lebih dari sekedar inti teknis. OCB menekankan pada kontrak sosial antara individu dengan orang lain (rekan kerjanya) dan antara individu dengan organisasi yang biasanya dibandingkan dengan perilaku in-role yang mendasarkan pada kinerja terbatas yang diisyaratkan oleh organisasi. Demikian pula pernyataan menurut Netemeyer et al. (dalam Allison et al., 2001) OCB didefinisikan sebagai perilaku diatas dan melebihi peran yang digambarkan secara formal dengan peran organisasional, kebebasan alami, dan tidak diberi penghargaan secara langsung atau secara eksplisit dalam konteks struktur penghargaan formal organisasi, serta penting untuk pelaksanaan yang efektif dan suskes dari sebuah organisasi

Secara singkat OCB mengacu pada perilaku diluar-peran dari karyawan, yaitu, perilaku yang secara sukarela dan memperluas diatas ekspektasi peran normal. Perilaku dalam peran, sebagai perbandingan, dibutuhkan dan diharapkan sebagai bagian dari pekerjaan, tugas, atau tanggung jawab individu

Dimensi Dalam Budaya Organisasi

Ada 7 dimensi budaya menurut Robbins  2008, yaitu sebagai berikut:

  1. Inovasi dan Pengambilan Resiko (Innovation and Risk Taking) Tingkat seberapa jauh para anggota organisasi didorong menjadi inovatif dan pengambilan resiko guna terwujudnya visi.
  2. Perhatian pada Detil (Attention to Detail) Tingkat seberapa jauh para anggota organisasi diharapkan untuk memperlihatkan presisi, analisis dan perhatian untuk detil.
  3. Orientasi Hasil (Outcome Orientation) Tingkat seberapa jauh manajemen fokus pada hasil daripada teknik dan proses yang dipakai untuk mencapai hasil-hasilnya.
  4. Orientasi kepada Para Individu (People Orientation) Tingkat seberapa jauh keputusan manajemen memperhitungkan dampaknya pada para individu di dalam organisasi.
  5. Orientasi Tim (Team Orientation) Tingkat seberapa jauh aktivitas pekerjaan diorganisasikan kepada tim daripada individual.
  6. Keagresifan (Aggressiveness) Tingkat seberapa jauh para individu agresif dan kompetitif dari pada “easy going”.
  7. Stabilitas (Stability) Tingkat sejauh mana kegiatan organisasi menekankan posisi status quo daripada perubahan organisasi.

Dalam penelitian ini akan menggunakan pernyataan Adler et al. (2006) bahwa ada beberapa dimensi budaya yang membedakan antara organisasi yang satu dengan lainnya meskipun memiliki bidang usaha yang sama. Dimensi-dimensi tersebut antara lain adalah;

  1. Dimensi sosialisasi

Dimensi budaya sosialisasi dalam organisasi adalah kondisi tingkat hubungan antara karyawan yang satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut bisa terbatas pada interaksi akan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan ataupun sampai pada hubungan yang bersifat lebih pribadi.

  • Dimensi distribusi kekuasaan dan otonomi pekerjaan

Dimensi budaya distribusi kekuasaan dan otonomi pekerjaan merupakan kondisi rentang kekuasaan antara karyawan pada level yang berbeda dalam organisasi, serta kebebasan yang diberikan pihak manajemen kepada para karyawannya. Kekuasaan yang tersebar pada setiap level dalam organisasi menunjukkan distribusi kekuasaan dalam organisasi. Sedangkan organisasi yang memiliki otonomi pekerjaan akan memberikan kebebasan kepada karyawannya untuk membuat keputusan sendiri.

  • Dimensi derajat struktur,

Dimensi budaya derajat struktur merupakan kondisi kejelasan peran karyawan dalam pekerjaan. Karyawan dalam organisasi dituntut bekerja dalam area tanggung jawab masing-masing. Karakteristik derajat struktur juga dilihat dari kejelasan kebijaksanaan dan prosedur yang dimiliki organisasi dalam penanganan terhadap suatu topik dalam organisasi.

  • Dimensi penghargaan terhadap kesuksesan

Dimensi budaya penghargaan terhadap kesuksesan adalah kondisi suatu organisasi dalam mengakui dan menghargai kesuksesan yang telah dicapai karyawannya, dilihat dari sering atau tidaknya karyawan diberikan pujian oleh organisasi. Karakteristik ini juga diketahui melalui adanya pengakuan atau pengenalan organisasi terhadap karyawan yang didasari oleh kemampuan aktual yang dimiliki. Penghargaan terhadap kesuksesan dapat berupa materi maupun non-materi

  • Dimensi kesempatan untuk berkembang,

Dimensi budaya kesempatan untuk berkembang yang diberikan organisasi merupakan kondisi organisasi dalam memberikan dukungan terhadap karyawan untuk mengembangkan keahlian dan mengambil tanggung jawab baru. Organisasi mengaplikasikannya dengan memberikan pendidikan serta pelatihan.

  • Dimensi toleransi terhadap resiko dan perubahan

Dimensi budaya toleransi terhadap resiko dan perubahan adalah kondisi pihak manajemen memberikan dukungan terhadap karyawan untuk mengambil kesempatan dengan resiko, dan bila terjadi suatu perubahan maka organisasi telah memikirkan sebelumnya tolransi yang akan dilakukan. Organisasi yang bertoleransi terhadap resiko dan perubahan cenderung berani untuk mengambil keputusan dalam waktu cepat dan tanpa banyak pertimbangan.

  • Dimensi toleransi terhadap konflik

Dimensi budaya toleransi terhadap konflik adalah kondisi pihak manajemen organisasi yang memiliki keyakinan bahwa perbedaan pendapat bukan tanda penting dari ketidaksetiaan karyawan. Karyawan dapat mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap ide yang telah dikemukakan oleh pihak manajeman. Hal ini tidak menjadi suatu tolak ukur karyawan akan meninggalkan organisasi. Organisasi yang memiliki budaya tersebut akan berusaha memahami konflik yang ada serta berusaha untuk menyelesaikan konflik tersebut

  • Dimensi dukungan emosional.

Dimensi ini adalah kondisi organisasi dalam menunjukkan minatnya secara sungguh-sungguh terhadap kesejahteraan karyawan dengan mengetahui dan merespon terhadap masalah karyawannya. Dimensi ini dapat diukur dengan menilai tingkat kepuasan karyawan dalam menerima dukungan emosional yang diinginkan.

Dimensi Dalam Budaya Organisasi

Ada 7 dimensi budaya menurut Robbins  2008, yaitu sebagai berikut:

  1. Inovasi dan Pengambilan Resiko (Innovation and Risk Taking) Tingkat seberapa jauh para anggota organisasi didorong menjadi inovatif dan pengambilan resiko guna terwujudnya visi.
  2. Perhatian pada Detil (Attention to Detail) Tingkat seberapa jauh para anggota organisasi diharapkan untuk memperlihatkan presisi, analisis dan perhatian untuk detil.
  3. Orientasi Hasil (Outcome Orientation) Tingkat seberapa jauh manajemen fokus pada hasil daripada teknik dan proses yang dipakai untuk mencapai hasil-hasilnya.
  4. Orientasi kepada Para Individu (People Orientation) Tingkat seberapa jauh keputusan manajemen memperhitungkan dampaknya pada para individu di dalam organisasi.
  5. Orientasi Tim (Team Orientation) Tingkat seberapa jauh aktivitas pekerjaan diorganisasikan kepada tim daripada individual.
  6. Keagresifan (Aggressiveness) Tingkat seberapa jauh para individu agresif dan kompetitif dari pada “easy going”.
  7. Stabilitas (Stability) Tingkat sejauh mana kegiatan organisasi menekankan posisi status quo daripada perubahan organisasi.

Dalam penelitian ini akan menggunakan pernyataan Adler et al. (2006) bahwa ada beberapa dimensi budaya yang membedakan antara organisasi yang satu dengan lainnya meskipun memiliki bidang usaha yang sama. Dimensi-dimensi tersebut antara lain adalah;

  1. Dimensi sosialisasi

Dimensi budaya sosialisasi dalam organisasi adalah kondisi tingkat hubungan antara karyawan yang satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut bisa terbatas pada interaksi akan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan ataupun sampai pada hubungan yang bersifat lebih pribadi.

  • Dimensi distribusi kekuasaan dan otonomi pekerjaan

Dimensi budaya distribusi kekuasaan dan otonomi pekerjaan merupakan kondisi rentang kekuasaan antara karyawan pada level yang berbeda dalam organisasi, serta kebebasan yang diberikan pihak manajemen kepada para karyawannya. Kekuasaan yang tersebar pada setiap level dalam organisasi menunjukkan distribusi kekuasaan dalam organisasi. Sedangkan organisasi yang memiliki otonomi pekerjaan akan memberikan kebebasan kepada karyawannya untuk membuat keputusan sendiri.

  • Dimensi derajat struktur,

Dimensi budaya derajat struktur merupakan kondisi kejelasan peran karyawan dalam pekerjaan. Karyawan dalam organisasi dituntut bekerja dalam area tanggung jawab masing-masing. Karakteristik derajat struktur juga dilihat dari kejelasan kebijaksanaan dan prosedur yang dimiliki organisasi dalam penanganan terhadap suatu topik dalam organisasi.

  • Dimensi penghargaan terhadap kesuksesan

Dimensi budaya penghargaan terhadap kesuksesan adalah kondisi suatu organisasi dalam mengakui dan menghargai kesuksesan yang telah dicapai karyawannya, dilihat dari sering atau tidaknya karyawan diberikan pujian oleh organisasi. Karakteristik ini juga diketahui melalui adanya pengakuan atau pengenalan organisasi terhadap karyawan yang didasari oleh kemampuan aktual yang dimiliki. Penghargaan terhadap kesuksesan dapat berupa materi maupun non-materi

  • Dimensi kesempatan untuk berkembang,

Dimensi budaya kesempatan untuk berkembang yang diberikan organisasi merupakan kondisi organisasi dalam memberikan dukungan terhadap karyawan untuk mengembangkan keahlian dan mengambil tanggung jawab baru. Organisasi mengaplikasikannya dengan memberikan pendidikan serta pelatihan.

  • Dimensi toleransi terhadap resiko dan perubahan

Dimensi budaya toleransi terhadap resiko dan perubahan adalah kondisi pihak manajemen memberikan dukungan terhadap karyawan untuk mengambil kesempatan dengan resiko, dan bila terjadi suatu perubahan maka organisasi telah memikirkan sebelumnya tolransi yang akan dilakukan. Organisasi yang bertoleransi terhadap resiko dan perubahan cenderung berani untuk mengambil keputusan dalam waktu cepat dan tanpa banyak pertimbangan.

  • Dimensi toleransi terhadap konflik

Dimensi budaya toleransi terhadap konflik adalah kondisi pihak manajemen organisasi yang memiliki keyakinan bahwa perbedaan pendapat bukan tanda penting dari ketidaksetiaan karyawan. Karyawan dapat mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap ide yang telah dikemukakan oleh pihak manajeman. Hal ini tidak menjadi suatu tolak ukur karyawan akan meninggalkan organisasi. Organisasi yang memiliki budaya tersebut akan berusaha memahami konflik yang ada serta berusaha untuk menyelesaikan konflik tersebut

  • Dimensi dukungan emosional.

Dimensi ini adalah kondisi organisasi dalam menunjukkan minatnya secara sungguh-sungguh terhadap kesejahteraan karyawan dengan mengetahui dan merespon terhadap masalah karyawannya. Dimensi ini dapat diukur dengan menilai tingkat kepuasan karyawan dalam menerima dukungan emosional yang diinginkan.

Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi (Robbbins 2005) merupakan suatu sistem dari makna/arti bersama yang dianut oleh para anggotanya yang membedakan organisasi dari organisasi lainnya, menurut Werther (1996) adalah produk dari semua fitur/karakteristik organisasi, para anggotanya, kesuksesan dan kegagalannya;  Sedangkan menurut Kreitner & Kinicki (2007) budaya organisasi adalah nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi;

 Tingkat organisasional, budaya merupakan seperangkat asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi yang dimiliki betsama oleh anggota kelompok daam suatu organisasi, yang membentuk dan mempengaruhi sikap, perilaku, serta petunjuk dalam membentuk dan mempengaruhi sikap, perilaku, serta petunjuk dalam memecahkan masalah (Gibson, Ivanicevic & Donelly, 2009) ; Menurut Fred Luthans (2007) budaya organisasi adalah tata nilai & norma yang menuntun perilaku jajaran organisasi. Menurut Schein (2002), budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh anggota organisasi dalam menyelesaikan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan pengendali sosial dan pengatur jalannya organisasi atas dasar nilai dan keyakinan yang dianut bersama, sehingga menjadi norma kerja kelompok, dan secara operasional disebut budaya kerja karena merupakan pedoman dan arah perilaku kerja karyawan.

Dimensi Dalam Komitmen Organisasi

Menurut Gibson (2009) komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap: (1) identifikasi dengan tujuan organisasi, (2) perasaaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi, dan (3) Perasaaan loyalitas terhadap organisasi. Sehingga dimaknai bahwa komitmen organisasi merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi. Pegawai yang memiliki komtimen yang baik berarti bahwa pegawai tersebut memiliki loyalitas terhadap organisasi dimana ia berada saat ini dan akan berupaya untuk berusaha dengan optimal mencapai tujuan organisasi tempat ia bekerja.

Komtimen organisasional menurut Ivancevich (2007) adalah perasaan idenifikasi, keterlibatan, dan kesetiaan yang diekspresikan oleh pegawai terhadap organisasi. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diidentifikasi bahwa komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap yaitu, rasa identifikasi dengan tujuan organisasi, perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi, dan perasaan setia terhadap organisasi. Bukti penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya komitme organisasional dapat mengurangi efektivitas organisasi.

Tiga dimensi terpisah dari komitmen organisasioanal yang diutarakan oleh Robbins, (2008) adalah:

  1. Komitmen efektif (Affectif Commitment) merupakan perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Sebagai contoh,seorang karyawan Pecto mungkin memiliki komitmen aktif untuk perusahaannya karena keterlibatannya dengan hewan-hewan.
    1. Komitmen berkelanjut (continuance comimitment) adalah nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.Seorang karyawan mungkin akan berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia di bayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya.
    1. Komitmen normatif (normative commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis.Sebagai contoh,seorang karyawan yang memelopori sebuah inisatif baru mungkin bertahan dengan seorang pemberi kerja karena ia merasa “meninggalkan seseorang dalam keadaan yang sulit” bila ia pergi.

Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasional (organizational commitment), didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak  organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu,sementara komitmen norganisasional yang tinggi berarti memilhak organisasi yang merekrut individu tersebut. (Robbins, 2008).

Komitmen terhadap organisasi didefinisikan oleh Robbins (2005) sebagai suatu sikap kerja karyawan yang ditunjukkan dengan sikap memihak pada suatu organisasi tertentu dengan tujuan-tujuannya serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen bisa juga didefinisikan sebagai derajat seorang individu memihak pada organisasi yang mempekerjakannya dan menunjukkan kesediaannya untuk menggunakan usaha demi kepentingan organisasi dan bermaksud tinggal di organisasi untuk jangka waktu yang lama (Wagner  dan Hollenbeck, 2002).

Menurut Greenberg dan Baron (2003), komitmen terhadap organisasi merupakan suatu sikap yang menggambarkan tingkat individu memihak dan terlibat dengan organisasi tempat mereka berada serta tidak berniat untuk meninggalkannya. Luthans (2002) menyatakan komitmen terhadap organisasi sebagai sikap sering didefinisikan menjadi (a) keinginan untuk tetap menjadi anggota dalam organisasi, (b) kemauan untuk mempertinggi tingkat usaha demi kepentingan organisasi, (c) meyakini secara pasti dan menerima nilai-nilai serta tujuan dari organisasi. Dengan kata lain, komitmen terhadap organisasi merupakan sikap yang menggambarkan kesetiaan karyawan terhadap organisasi, melalui proses terus menerus yakni anggota organisasi mengekspresikan perhatian mereka terhadap organisasi dan berlanjut hingga memperoleh kesuksesan.

Mowday, Porter & Steers (dalam Northcraft, et al., 2004) mendefinisikan komitmen terhadap organisasi sebagai (a) keyakinan (belief) dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilai organisasi, (b) Kemauan (willingness) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan, dan (c) keinginan (desire) yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan sikap yang dimiliki oleh karyawan dan tertuju pada organisasi tempat ia bekerja, berhubungan dengan kemauan menerima nilai serta tujuan dari organisasi, kesetiaan dan kemauan karyawan berkorban demi pencapaian tujuan organisasi, serta memiliki keinginan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.

Pengukuran Jenis Focused Coping

Menurut Carver (dalam Armeli, 2001), perilaku coping terbagi menjadi dua yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping.

  1. Problem-Focused Coping

Problem Focused Coping (PFC) merupakan coping yang digunakan individu dengan cara memfokuskan pada masalah atau situasi spesifik yang telah terjadi, sambil mencoba menemukan cara untuk mengubahnya atau menghindarinya di kemudian hari. Strategi ini dapat diarahkan ke dalam, artinya individu dapat mengubah sesuatu pada dirinya sendiri dan bukan mengubah lingkungan (Atkinson dkk, 2001). Sharp dan Cowie (Suciyani, 2004) mendefinisikan PFC sebagi usaha untuk mencari solusi dari situasi stres dimana PFC diarahkan untuk mengubah stressor. Sedangkan Taylor (1995) mengemukakan bahwa PFC merupakan usaha untuk melakukan sesuatu yang bersifat konstruktif pada situasi stres yang merugikan, mengancam, dan menantang individu.

Smet (1994) dan Sarafino (1998) mengungkapkan bahwa strategi PFC cenderung digunakan, bila individu menilai situasi yang dihadapinya dapat dikendalikan dan diatasi. Folkman dan Lazarus (Diponegoro & Thalib, 2001) mengungkapkan bahwa PFC mengarah pada usaha individu untuk mengurangi atau menghilangkan stres dengan cara menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya stres secara langsung. Contoh perilaku coping yang menggunakan PFC antara lain; membebaskan situasi stres, negosiasi dengan tekanan, mencari jadwal belajar baru, memilih alternatif untuk mencapai tujuan, mencari terapi medis atau psikologis, dan mempelajari kemampuan yang baru (Safarino, 1998). Contoh lain strategi ini adalah mengubah tingkat aspirasi, menemukan sumber pemuasan alternatif dan mempelajari kecakapan baru (Atkinson dkk., 2001; Smet, 1994)

Jenis Perilaku coping yang berfokus pada masalah pemecahan masalah problem-focused coping. menurut Carver (dalam Armeli, 2001) terdiri dari:

  1. Perencanaan

Usaha individu dalam berpikir tentang bagaimana mengatasi penyebab stress.

  • Keaktifan Diri

Usaha individu untuk mengambil tindakan langsung dengan mengerahkan segala daya upaya untuk mencoba memindahkan atau menghilangkan penyebab stress dengan cara bijaksana.

  • Penguasaan Diri

Usaha individu untuk menguasai diri dengan mengontrol atau mengendalikan tindakan sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak

  • Penekanan Pada Suatu Aktifitas Utama

Usaha individu untuk membatasi perhatian individu terhadap aktivitas lainnya yang mungkin berlawanan, supaya konsentrasi lebih penuh pada masalah penyebab stress yang sedang dihadapi

  • Pemahaman Kembali Secara Positif

Usaha individu untuk membuat situasi yang terbaik dengan mengembangkan atau melihat permasalahan dari segi yang lebih baik.

  • Mencari Dukungan Sosial Instrumental

Usaha individu dalam mencari bantuan, informasi, atau nasehat tentang apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyebab stress.

  • Mencari Dukungan Sosial Emosional

Usaha individu untuk mendapatkan simpati atau dukungan emosional dari orang lain.

  •  Penggunaan Obat-obatan

Usaha individu untuk mengurangi stress melalui penggunaan obat-obatan

dan minuman beralkohol.

  • Menggunakan Humor

Usaha individu untuk mengurangi stress melalui humor.

  1. Menghilangkan Peristiwa yang Tidak Menyenangkan

Usaha individu untuk menghilangkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya.

Dalam penelitian ini, hanya menggunakan 7 dimensi berdasarkan Armeli, 2001 karena tiga dimensi seperti dimensi penggunaan obat-obatan (use of drugs) tidak dapat digunakan di Indonesia, berhubungan dengan alkohol dan obat-obatan. Tidak semua orang bersedia memberikan keterangan yang sesungguhnya mengenai hal ini. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo (2007) disebutkan bahwa penggunaan obat-obatan dalam coping hanya digunakan oleh pria yang berhubungan seksual beresiko dengan pria. Dimensi penggunaan humor juga tidak dapat dilakukan pengukuran secara kuantitatif dikarenakan setiap orang memiliki selera humor yang berbeda-beda. Penggunaan humor dapat diketahui melalui observasi sehingga akan memperoleh data yang akurat. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2010), bahwa penggunaan humor hanya mengurangi sedikit beban pikiran individu yang mengalami stress tersebut. Dimensi menghilangkan peristiwa yang tidak menyenangkan tidak dapat digunakan karena jika seseorang melakukan hal ini, maka ia tidak akan mengingat apapun yang berkaitan dengan hal yang ia ingin lupakan. Sehingga tidak akan berjalan dengan efektif. Untuk mengetahui apakah seseorang melakukan penghilangan peristiwa yang tidak menyenangkan atau tidak diperlukan tes secara mendalam.

  • Emotion-Focused Coping

Lazarus dan Folkman (Atkinson dkk, 2001) mendefinisikan Emotion Focused Coping (EFC) sebagai coping yang digunakan individu dengan memfokuskan pada usaha untuk menghilangkan emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasinya sendiri tidak dapat diubah. Folkman dan Lazarus (Diponegoro & Thalib, 2001) mengungkapkan bahwa EFC merupakan usaha-usaha individu untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dirasakannya tidak dengan cara menghadapinya secara langsung, tetapi lebih pada usaha untuk mempertahankan keseimbangan afeksinya. Hal ini senada dengan pengertian EFC yang dikemukakan oleh Sharp dan Cowie (Suciyani, 2004), yaitu EFC merupakan usaha untuk menyesuaikan reaksi emosi individu dengan stressor. EFC digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres (Smet, 1994). EFC tidak mengubah situasi, tetapi membantu individu agar merasa lebih baik. EFC meliputi usaha untuk mengatur konsekuensi emosional pada peristiwa stres (Taylor, 1995).

Individu menggunakan strategi EFC untuk mencegah emosi negative menguasai dirinya dan untuk mencegahnya melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya. Hal ini dilakukan jika suatu masalah tidak dapat dikendalikan (Atkinson dkk, 2001). Hal senada juga diungkapkan Smet (1994) yang menyatakan bahwa individu yang merasa tidak mampu dan tidak berdaya dalam menghadapi situasi stressful cenderung menggunakan strategi ini. EFC lebih mengarah pada mengontrol respon emosi terhadap situasi yang mendatangkan stres.

Carver (dalam Armeli, 2001) mengungkapkan aspek-aspek yang dapat digunakan untuk mengungkap emotion-focused coping.  Aspek-aspek tersebut adalah:

  1. Mencari Dukungan Untuk Pertimbangan Emosi

Kecenderungan untuk memperoleh dukungan, simpati, dan pengertian dari lingkungan sekitar.

  • Mengubah Kembali Keadaan Atau Kejadian Secara Positif

Menginterpretasikan situasi stress dengan andangan positif.

  • Pengingkaran

Respon atau tanggapan individu yang berbentuk penolakan terhadap sumber masalah.

  • Penerimaan

Tanggapan individu terhadap situasi stress dengan menerima kondisi tersebut sebagai suatu hal yang harus dijalani.

  • Berpaling Pada Agama

Individu cenderung lari pada agama ketika ada masalah.

Aspek-Aspek Emotion Focused Coping (EFC) berdasarkan pendapat Cohen dan Lazarus, Pearlin dan Schooler, Moos dan Schaefer (Suciyani, 2004), antara lain:

  1. Seeking information, yaitu usaha untuk mencari informasi mengenai masalah yang dihadapi.
    1. Direct action, merupakan tindakan yang dilakukan saat menghadapi situasi stres. Tindakan yang dilakukan pengguna EFC ini mungkin tidak berkaitan dengan situasi stres, namun dapat membantu individu untuk melepaskan diri dari situasi stres.
    1. Turning to others, yaitu usaha untuk mencari dukungan dari orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti keluarga dan teman.
    1. Emotional discharge, individu akan mengekspresikan, menyalurkan atau melepaskan perasaannya ketika mengalami situasi stres.
    1. Intrapsychic pcrocess, individu menggunakan strategi kognitif (berpikir) saat menghadapi situasi yang mendatangkan stres. Yang termasuk dalam strategi ini antara lain, mengubah makna dari situasi stres dan menolak kejadian yang tidak menyenangkan.
    1. Resigned acceptance, individu menerima situasi yang mendatangkan stress dengan pasrah, tanpa melakukan usaha dalam menghadapi situasi stress tersebut.

Menurut Sarafino (1997, h.136), bentuk-bentuk dari problem focused coping terdiri dari :

a. Planful problem-solving yaitu menganalisis situasi untuk mencapai solusi atas permasalahan dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk mengatasi masalah.

b. Confrontive coping yaitu usaha yang dilakukan untuk menghadapi masalah secara tenang, rasional dan mengarah kepada penyelesaian masalah.

c. Seeking social-support yaitu mencoba untuk memperoleh informasi atau dukungan emosional.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Carver (Bishop, 1994) yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk problem focused coping adalah :

  1. Active Coping (koping aktif), mengambil langkah aktif untuk memindahkan atau mengelak dari stressor atau memperbaiki efek-efek dari stressor. Dengan kata lain bertambahnya usaha seseorang untuk melakukan coping, misalnya dengan bertindak langsung.
    1. Planning (perencanaan), berusaha untuk membuat rencana atau tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah serta memikirkan cara bagaimana mengatasi sumber stres.
    1. Suppression of competing activities (penekanan pada aktivitas utama), usaha individu untuk membatasi ruang gerak atau aktivitas dirinya yang tidak berhubungan dengan masalah untuk berkonsentrasi penuh pada tantangan maupun ancaman yang sedang dihadapinya.
    1. Restrain Coping (penguasaan diri), berusaha mengontrol atau mengendalikan tindakan sampai pada kesempatan yang baik untuk bertindak.
    1. Seeking Social Support (mencari dukungan sosial), berusaha mendapatkan informasi, nasehat, atau bantuan dari orang lain.

Pada penelitian ini bentuk yang akan digunakan adalah bentuk problem focused coping dari Carver karena dianggap lebih lengkap dan telah mencakup bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh ahli lain. Bentuk-bentuk tersebut adalah Active Coping (koping aktif), Planning (perencanaan), Suppression of competing activities (penekanan pada aktivitas utama), Restrain Coping (penguasaan diri), Seeking Social Support (mencari dukungan sosial).

Pengertian Focused Coping

Menurut Lazarus dan Folkman (2006) coping adalah usaha-usaha kognitif dan perilaku yang secara terus menerus berubah untuk mengelola tuntutan dari dalam dan atau dari luar inidividu yang dirasakan merugikan atau melebihi kemampuan individu itu. Menurut Papalia (2009), coping merupakan cara berfikir atau perilaku adaptif yang bertujuan mengurangi atau menghilangkan stress yang timbul dari kondisi berbahaya, mengancam atau menantang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa coping adalah segala usaha individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan konflik yang muncul, mengurangi ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.

Atkinson dkk. (2001) mendefinisikan coping sebagai proses yang digunakan individu untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres. Individu akan melakukan coping ketika dihadapkan pada situasi tidak nyaman, yang ditimbulkan oleh situasi stres. Lazarus dan Folkman serta Lazarus dan Launier (Folkman, 1984), menjelaskan coping sebagai usaha perilaku dan kognitif untuk menguasai, mengurangi atau bertahan terhadap tuntutan internal dan atau eksternal yang ditimbulkan oleh situasi yang penuh stres. Usaha untuk mengelola tuntutan ini dilakukan tanpa menghiraukan sukses atau tidaknya hasil dari usaha yang dilakukan. Coping juga dapat diartikan sebagai suatu proses dinamik dari suatu pola tingkah laku maupun pikiran-pikiran seseorang yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan atau menegangkan (Stone & Neale, 1984).

Lazarus dan Folkman (Sarafino, 1998; Smet, 1994; Taylor, 1995) mendefinisikan coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba mengelola ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan, baik tuntutan dari dalam diri individu maupun dari lingkungan dengan kemampuan yang digunakannya dalam menghadapi situasi stressful. Lazarus (Taylor, 1995) menyebutkan bahwa coping terdiri dari usaha, perilaku dan intrapsikis untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal bahkan pertentangan diantara keduanya yang diprediksi melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Sarafino (1998) mengemukakan bahwa proses coping bukanlah peristiwa tunggal, karena proses ini melibatkan transaksi dengan lingkungan. Individu dapat melakukan coping melalui transaksi antara perilaku dan kognitif dengan lingkungan. Menurut Skiner (Suciyani, 2004), coping dapat dicapai melalui pengaturan emosi, perilaku, dan orientasi. Coping dapat dicapai bergantung pada asal munculnya distress, yang dapat timbul dari diri sendiri atau yang berasal dari lingkungan. Ketika stressor dipandang sebagai sebuah tantangan, maka coping yang dilakukan bersifat cenderung lebih adaptif dan konstruktif. Begitu pula sebaliknya, bila stressor dipandang individu sebagai sebuah ancaman, maka coping yang akan dipakai adalah jenis coping yang bersifat tidak konstruktif dan menghindar.

Pengukuran Jenis Kerja

Keberadaan stres kerja yang dialami oleh karyawan tentu saja tak dapat dipisahkan dari sumber-sumber penyebab stres kerja tersebut. Hal ini kemudian dijadikan dasar pengukuran sres kerja dalam beberapa penelitian. Robbins menyatakan, sumber stres kerja yang dialami oleh seorang karyawan setidaknya ada 3 (Robbins, 2007; Igor, 1997; Ashar Sunyoto, 2001; Prabu, 1993 dan Ivancevich dan Matteson, 1987). Sumber stres kerja tersebut adalah:

  1. Tuntutan tugas.

Merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu itu (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak fisik. Makin banyak kesaling-tergantungan antara tugas seseorang dengan tugas orang lain, maka makin potensial untuk terjadi stres. Pekerjaan dimana suhu, kebisingan, atau kondisi kerja yang berbahaya dan sangat tidak diinginkan dapat menimbulkan kecemasan. Demikian juga bekerja dalam suatu kamar yang berjubel atau dalam lokasi yang dimana terjadi gangguan terus enerus. Secara lebih spesifik, tuntutan tugas masih dipengaruhi oleh beberapa indicator yang  meliputi:

1) Ketersediaan sistem informasi

2) Kelancaran pekerjaan

3) Wewenang untuk melaksanakan pekerjaan

4) Peralatan yang digunakan dalam menunjang pekerjaan

5) Banyaknya pekerjaan yang harus dilaksanakan

  • Tuntutan peran

 Tuntutan peran yakni stres kerja yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi tertentu. Konflik peran menciptakan harapan-harapan yang hamper pasti tidak dapat diwujudkan atau dipuaskan. Jika hal itu sampai terjadi pada karyawan maka dapat dipastikan karyawan akan mengalami ketidakjelasan mengenai apa yang harus dikerjakan. Pengukuran indikator tuntutan peran terdiri dari:

  1. Kesiapan karyawan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan
    1. Perbedaan antara atasan dengan karyawan berkaitan dengan tugas harus dilaksanakan
      1. Keterbatasan waktu dalam melaksanakan pekerjaan
      1. Beban pekerjaan yang berat
    1. Tuntutan pribadi.

 Tuntutan pribadi yaitu stres kerja yang terkait dengan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan kerja dan hubungan antar pribadi yang buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar, terutama diantara karyawan dengan kebutuhan sosial yang tinggi. Pengukuran variabel tuntutan pribadi terdiri dari:

  1. Hubungan dengan supervisor
  2.  Hubungan dengan sesama karyawan
  3.  Hubungan dengan keluarga
  4.  Pengawasan yang dilakukan supervisor (atasan)
  5.  Keahlian pengawas dalam mengawasi pekerjaan

Dalam hal lain, pengukuran stress kerja dapat diukur berdasarkan manifestasi yang di rasakan oleh karyawan itu sendiri. Dalam penelitian ini akan menggunakan pengukuran stress kerja berdasarkan HRSA (Hamilton Rating Scale Anxiety), yang berisi 14 kelompok gejala yang masing-masing gejala di beri penilaian antara 0-4, dengan penilaian sebagai berikut :

1) Nilai 0: tidak ada gejala atau keluhan.

2) Nilai 1: gejala ringan

3) Nilai 2: gejala sedang.

4) Nilai 3: gejala berat.

5) Nilai 4: gejala berat sekali.

Gejala-gejala yang tertuang dalam kuesioner ini ada 14 antara lain: gejala perasaan cemas, gejala ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala somatik fisik/somatik, gejala kardiovaskuler dan pembuluh darah, gejala respiratori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, sikap dan tingkah laku dan diketegorikan menjadi 3 kriteria sesuai dengan jumlah total skor yaitu; ringan (<17), sedang (18-24), berat (25-30)

Pengertian Stres Kerja

Stres adalah hasil dari tidak atau kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif (Munandar, 2001). Menurut Anoraga (2001), stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu daan mengakibatkan dirinya terancam. Robbins (2005) stres menunjukkan suatu kondisi dinamika yang dimana seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang diinginkan dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai hal yang tidak pasti.

Siagian (2007) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luar lainnya.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stress kerja adalah sesuatu yang dirasa memberikan tekanan akibat adanya ketidakseimbangan antara beban kerja yang diterima dengan kemampuan kepribadian individu dalam memberikan tanggapan baik secara fisik maupun mental terhadap berbagai urusan pekerjaan yang dirasa tidak menyenangkan

Pengertian Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi.

(Rahmawati, 2004) menyatakan bahwa secara umum, pengertian jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Fakih (2006) mengemukakan bahwa jenis kelamin merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.

Berdasarkan uraian di atas maka pengertian jenis kelamin adalah perbedaan sifat antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Hubungan Kualitas Produk dan Kepercayaan Terhadap Loyalitas Konsumen


Kualitas yang dirasakan didasarkan pada penilaian konsumen tentang atribut
dari merek yang bermakna bagi mereka, yaitu itu adalah persepsi. Ketika konsumen
merasa bahwa merek memiliki kualitas tinggi dibandingkan dengan merek lain
dalam satu set yang kompetitif, mereka cenderung menempatkan nilai tinggi pada
merek, mengemudi keputusan pembelian dan pembelian kembali mereka.(Nguyen,
Barrett, Miller, Barrett, & Miller, 2011) Jika kualitas produk sesuai dengan harapan
konsumen maka konsumen cenderung akan melakukan pembelian kembali.
Mengingat hubungan antara persepsi kualitas dan loyalitas merek, beberapa
penelitian menunjukkan dampak positif persepsi kualitas maka akan terbentuknya
ras kepercayaan konsumen terhadap perusahaan Kepercayaan (Trust) merupakan
sebuah keyakinan dari salah satu pihak mengenai maksud dan perilaku yang
ditujukan kepada pihak yang lainnya, dengan demikian kepercayaan konsumen
didefinisikan sebagai suatu harapan konsumen bahwa penyedia jasa bisa dipercaya
atau diandalkan dalam memenuhi janjinya.
Konsumen dapat mengalami salah satu dari tiga tingkat kepuasan umum yaitu
kalau kinerja di bawah harapan, konsumen akan merasa kecewa tetapi jika kinerja
sesuai dengan harapan pelanggan akan merasa puas dan apabila kinerja bisa
melebihi harapan maka pelanggan akan merasakan sangat puas senang atau
gembira. Sehingga konsumen yang merasa puas akan menjadi loyal

Hubungan Kepercayaan Terhadap Loyalitas Konsumen


Menurut Tamilla Curtis, dkk (2011) menyatakan bahwa kepercayaan
pelanggan memiliki hubungan yang kuat terhadap loyalitas pelanggan.
Kepercayaan merupakan dasar untuk terjadinya suatu transaksi jual beli online.
Menurut Rahmawati (2013) jika pelanggan tidak mempercayai perusahaan, mereka
tidak akan menempatkan pembelian pertama, apalagi pembelian berikutnya Setelah
pembelian pertama, kepercayaan adalah salah satu hal yang bertanggung jawab atas
komitmen konsumen dalam melakukan pembelian kedua atau ketiga (dan dengan
perusahaan yang sama) dan, secara umum, secara konsisten mengulangi pembelian.
Dengan kata lain, kepercayaan merupakan faktor penentu penting loyalitas dalam
Chinomona (2016) Menurut De Ruyter dalam Jin (2012), kepercayaan berkaitan
dengan kepercayaan pelanggan dan keyakinan bahwa merek akan dapat diandalkan
dalam kepentingan pelanggan. Menjadi mitra terpercaya akan menyebabkan
komitmen pelanggan untuk hubungan jangka panjang. Parvez (2009) menemukan
kepercayaan dan kepuasan pelanggan memengaruhi loyalitas merek

Hubungan Kualitas Produk Terhadap Loyalitas Konsumen


Kualitas yang dirasakan didefinisikan sebagai penilaian konsumen tentang
keunggulan atau keunggulan produk yang didasarkan pada persepsi subjektif.
kualitas yang dirasakan adalah sikap yang dihasilkan dari perbandingan harapan
konsumen dengan kinerja aktual dalam Christina, Jean, Levy (2016). Kualitas
Produk berpengaruh terhadap Kepuasan Pelanggan menunjukkan bahwa semakin
tinggi kualitas produk yang diberikan maka semakin tinggi pula dampaknya
terhadap kepuasan pelanggan. kualitas produk yang baik dan dapat mewujudkan
kepuasan konsumen, maka langkah selanjutnya adalah mendapatkan loyalitas
konsumen. Kepuasan pelanggan digunakan sebagai variabel perantara. Temuan
menunjukkan bahwa peningkatan kualitas produk dapat meningkatkan loyalitas
pelanggan.

Indikator Loyalitas Konsumen


Menurut Jeremia dan Djurwati (2019:833) loyalitas pelanggan merupakan
sebuah hasil yang didapat dari kepuasan pelanggan akan sebuah produk barang atau
jasa, loyalitas ini memberikan dampak positif bagi perusahaan seperti pelanggan
yang loyal melakukan pembelian yang berulang- ulang pada produk perusahaan.
Menurut Tjiptono (2011) dalam Robby (2017:353) menjelaskan bahwa
Indikator loyalitas konsumen sebagai berikut:

  1. Melakukan pembelian ulang adalah niat beli yang dilakukan konsumen lebih
    dari satu kali pembelian
  2. Merekomendasikan kepada pihak lain adalah menyarankan atau
    merekomendasikan kepada orang lain mengenai produk yang ia beli
  3. Tidak berniat untuk pindah adalah konsumen setia terhadap produk atau merek
    yang disukai nya dan enggan berpindah merek
  4. Membicarakan hal-hal positif adalah berbicara hal-hal positif produk yang dibeli

Tahapan Terbentuknya Loyalitas


Menurut Rizki Zulfikar (2008:63) konsumen yang loyal mempunyai
fanatisme yang relatif permanen dalam jangka panjang terhadap suatu barang/jasa
pada perusahaan/toko yang menjadi pilihannya, tidak ingin beralih pada barang/jasa
yang lain, bahkan ikut mempengaruhi pihak lain untuk ikut menggunakan
barang/jasa tersebut. Menurut Griffin (2013) dalam Arfad (2015:17) membagi
tahapan pembentukan loyalitas sebagai berikut:

  1. Suspects, Meliputi semua orang yang akan membeli barang atau jasa perusahaan
    tetapi belum tahu apapun mengenai perusahaan dan barang atau jasa dan barang
    atau jasa yang ditawarkan.
  2. Prospects, adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan produk atau jasa
    tertentu dan mempunyai kemampuan untuk membelinya.
  3. Disqualified prospect, yaitu prospek yang telah mengetahui keberadaan atau jasa
    tertentu, tetapi tidak mempunyai kebutuhan akan barang atau jasa tersebut atau
    tidak mempunyai kebutuhan akan barang atau jasa tersebut atau tidak
    mempunyai kemampuan untuk membeli barang atau jasa tersebut.
  4. First time customer, yaitu pelanggan yang membeli untuk pertama kalinya.
    21
  5. Repeat customer, yaitu pelanggan yang telah melakukan pembelian suatu produk
    dua kali atau lebih.
  6. Clients, klien membeli semua barang atau jasa yang ditawarkan dan mereka
    butuhkan.
  7. Advocate, seperti halnya clients, advocates membeli barang atau jasa yang
    ditawarkan dan yang mereka butuhkan, serta melakukan pembelian secara
    teratur. Selain itu mereka mendorong teman-temannya untuk menggunakan jasa
    perusahaan tersebut

Merancang Dan Menciptakan Loyalitas


Dalam kaitannya dengan pengalaman pelanggan bahwa loyalitas pelanggan tidak
bisa tercipta begitu saja, tetapi harus di rancang oleh perusahaan. Menurut Etta dan
Sopiah (2013:105) Adapun Tahap-Tahap Perancangan Loyalitas:

  1. Mendefinisikan Nilai Pelanggan
    a. identifikasi segmen pelanggan sasaran
    b. definisikan nilai pelanggan sasaran dan terbentuk pelanggan mana yang
    menjadi pendorong keputusan pembelian dan terciptanya loyalitas.
    c. Ciptakan diferensiasi janji merek.
  2. Merancang Pengalaman Pelanggan Bermerek
    a. mengembangkan pemahaman pengalaman pelanggan
    b. mereancang perilaku karyawan untuk merealisasikan janji merek.
    c. Merancang perubahan strategi secara keseluruhan.
  3. Melengkapi Orang Dan Menyampaikan Secara Konsiten
    a. mempersiapkan pemimpin untuk menjalankan dan meberikan pengalaman
    kepada pelanggan.
    b. Melengkapi pengetahuan dan keahlian karyawan untuk mengembangkan dan
    memberikan pengalaman kepada pelanggan dalam setiap interaksi yang
    dilakukan pelanggan.
    c. Memperkuat kinerja perusahaan melalui pengukuran dab tindakan
    kepemimpinan.
  4. Menyokong Dan Meningkatkan Kinerja
    a. Gunakan rspon timbal balik pelanggan dan kartawan untuk memelihara secara
    berkisambungan.
    b. Membentuk kerja sama antara sistem personalia dengan proses bisnis yang
    terlibat langsung dalam pemberian dan penciptaan pengalaman pelanggan.
    c. Secara terus-menerus mengembangkan dan mengomunikasikan hasil untuk
    menanamkan pengalaman konsumen bermerek yang telah dijalankan.

Definisi Loyalitas Konsumen


Menurut Oliver (1997) dalam Rizki Zulfikar (2008:66) loyalitas konsumen
adalah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli kembali atau
merepatronisasi yang disukai layanan produk secara konsisten di masa depan,
terlepas dari pengaruh situasional dan pemasaran upaya membuat potensi untuk
menyebabkan perilaku switching. Sedangkan menurut Menurut Dick dan Basu
(1994) dalam Rusmiati P I dan Rizki Zulfikar (2018:3) mendefinisikan loyalitas
pelanggan sebagai kekuatan hubungan antara sikap relatif individu terhadap suatu
kesatuan (merek, jasa, toko, atau pemasok) dan pembelian ulang. Ishaq (2014)
dalam Jeremia dan Djurwati (2019:833) mengatakan loyalitas adalah sebuah
proses, pada akhir proses tersebut, kepuasan mempunyai efek pada perceived
quality, yang dapat memberikan dampak kepada loyalitas dan niat untuk perilaku
tertentu dari seorang pelanggan. Menurut Oliver (2014) dalam Jeremia dan
Djurwati (2019:833) customer loyalty atau loyalitas pelanggan adalah komitmen
yang dipegang erat oleh pelanggan untuk membeli atau mengedepankan suatu
produk berupa barang atau jasa secara konsisten, hal ini menyebabkan pembelian
berulang pada brand yang sama, meskipun pelanggan tersebut mendapatkan
pengaruh situasional atau marketing dari kompetitor untuk mengganti brand lain.
Sedangkan menurut Griffin (2010) dalam Robby (2017:351) loyalitas
pelanggan adalah seorang konsumen dikatakan setia atau loyal apabila konsumen
menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana
mewajibkan konsumen membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu
tertentu. Definisi lain dari Tjiptono (2011) dalam Robby (2017:353) loyalitas
pelanggan adalah pembelian ulang semata mata menyangkut pembelian merek
tertentu yang sama secara berulang kali.
Loyalitas adalah kesetian konsumen yang diberikan kepada produk tersebut
bahwa produk tersebut telah memenuhi kebutuhan konsumen

Indikator Kepercayaan


Menurut Robbins dan Judge (2013:193) Kepercayaan adalah kondisi
psikologis yang ada saat seseorang setuju untuk membuat diri seseorang rentan
terhadapnya lain karena Anda memiliki harapan positif tentang bagaimana keadaan
akan berubah. indikator kepercayaan adalah sebagai berikut:

  1. Integritas menurut Fachreza dan Devilia (2017:737) Integritas merupakan
    kebenaran dari produk atau servis yang diharapkan.
  2. Kompetensi menurut Fachreza dan Devilia (2017:737) Kompetensi adalah
    pengetahuan dan keterampilan teknikal dan interpesonal yang dimiliki individu
    dari produk atau servis yang diharapkan.
  3. Konsistensi menurut Fachreza dan Devilia (2017:737) sesuatu yang
    berhubungan dengan kendala, kemampuan memprediksi dan penilaian individu
    jitu dalam menangani situasi dari produk atau jasa yang diharapkan

Kepercayaan Konsumen Terhadap Atribut Produk


Pada umumnya kepercayaan konsumen selalu berbeda dengan seorang
konsumen lainnya. Mereka harus mengingat bahwa kepercayaan mereka sendiri
terhadap merek tertentu sangat berbeda dari pasar target. Menurut Etta dan sopiah
(2013:202) seseorang membentuk tiga jenis kepercayaan diantaranya:

  1. kepercayaan objek-atribut
    pengetahuan bahwa sebuah objek memeliki atribut khusus disebut kepercayaan
    objek-atribut. Kepercayaan objek-atribut menghubungkan objek, seperti
    seseorang, barang atau jasa, dengan atribut.
  2. kepercayaan atribut-manfaat
    kepercayaan ini merupakan persepsi konsumen tentang seberapa jauh sebuah
    atribut tertentu menghasilkan atau meberikan manfaat tertentu.
  3. kepercayaan objek-manfaat
    17
    kepercayaan objek-manfaat merupakan persepsi konsumen tentang seberapa
    jauh produk, orang, atau jasa tertentu akan memberikan manfaat tertentu

Definisi Kepercayaan


Menurut Menurut Robbins dan Judge (2013:193) Kepercayaan adalah
kondisi psikologis yang ada saat seseorang setuju untuk membuat diri seseorang
rentan terhadapnya lain karena Anda memiliki harapan positif tentang bagaimana
keadaan akan berubah. Menurut Hasan Afzal (2010) dalam Arni Purwanti dan
Rahma Wahdiniwaty (2017:66) Kepercayaan berarti percaya pada keandalan dan
integritas mitra pertukaran. Menurut Kotler dan Keller (2012) dalam Jeremia dan
Djurwati (2019:834) kepercayaan adalah kesediaan perusahaan untuk bergantung
pada mitra bisnis. Kepercayaan tergantung pada beberapa faktor antar pribadi dan
antar organisasi seperti kompetensi, integritas, kejujuran dan kebaikan hati.
Menurut Mowen dan Minor (2013) dalam Robby (2017:351) kepercayaan
konsumen adalah semua pengetahuan yang dimiliki oleh pelanggan dan semua
kesimpulan yang dibuat pelanggan tentang objek, atribut, dan manfaatnya. Menurut
Sumarwan (2012) dalam dalam Robby (2017:351) kepercayaan adalah kekuatan
bahwa satu produk memiliki atribut tertentu.
Dapat disimpulkan dari pengertian menurut beberapa ahli bahwa trust
adalah kesediaan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan
dalam menyediakan produk

Indikator Kualitas Produk


Indikator kualitas produk yang digunakan untuk mengukur kualitas produk
menurut Tjiptono (2011) dalam Peter Halim (2014:159) adalah:

  1. Kinerja Kinerja yaitu nilai keindahan atau daya tarik suatu produk melakukan
    apa yang memang harus dilakukannya dan sejauh mana produk atau jasa
    digunakan dengan benar serta kemampuan perancang produk untuk menangani
    masalah dengan baik yang diberikan kepada konsumen.
  2. Estetika yaitu nilai keindahan atau daya tarik suatu produk, dan bagaimana
    daya tarik produk tersebut bisa menarik konsumen misalnya: keindahan desain
    produk, keunikan model produk, dan kombinasi.
  3. Kesesuaian yaitu kesesuaian produk dalam standar yang baik pada kebutuhan
    yang ada pada masing-masing konsumen dari selera konsumen sampai
    kepuasan konsumen

Perspektif Kualitas


Menurut Etta dan sopiah (2013:99) Ada lima macm perseptif kualitas yang
berkembang. Kelima macam perspekti inilah yang menjelaskan mengapa kualitas
bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi
berlainan. Adapun kelima macam perspektif kualitas tersebut adalah:

  1. Pendekatan Transendental
    Dalam penedekatan ini kualitas di pandang sebagai keunggulan bawaan (innate
    excellence), dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit
    didefinisikan dan dioperasionalisasikan.
  2. Pendekatan Berbasis Produk.
    Pendekatan ini menggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut
    yang dapat di kuantitatifkan dan dapat diukur.
  3. Pendekatan Berbasi Pengguna
    Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada
    orang yang memandangnya sehingga produk yang paling memuaskan
    perferensi seseorang.
  4. Pendekatan Berbasis Manufaktur
    Prespektif ini bersifat berdasarkan pasokan (suppley-based) dan cara khusus
    memperhatikan prakti-praktik perekayasaan dan kemanufakturan dengan
    persyaratan.
  5. Pendekatan Berbasis Nilai.
    Kualitas dalam persepektifnya ini bersifat relatif sehingga produk yang paling
    bernialai dalah barang atau jas yang paling tepat untuk dibeli (best-buy)

Definisi Kualitas Produk


Menurut Kotler dan Armstrong (2012) dalam Utari Wijayati dan Rahma
Wahdiniwaty (2016:37) Kualitas produk adalah kemampuan suatu produk untuk
melaksanakan fungsinya, meliputi kehandalan, daya tahan, ketepatan, kemudahan
operasi, dan perbaikan produk, serta atribut bernilai lainnya.
Menurut Wijaya (2011) dalam Johanes Dkk (2014:1084) Kualitas adalah
sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan, artinya kualitas didasarkan pada
pengalaman aktual pelanggan atau konsumen terhadap produk atau jasa yang
diukur berdasarkan persyaratan-persyaratan tersebut. sedangkan menurut Menurut
Runtunuwu dan Oroh (2014) dalam Risatul Dkk (2019:251) kualitas produk adalah
sebuah kemampuan dari suatu produk dalam rangka melaksanakan sebuah fungsi
yang meliputi kehandalan, daya tahan, kemudahan operasi, ketepatan, kebaikan dari
produk, ataupun sebuah atribut bernilai lainnya. Kualitas produk merupakan
pernyataan tingkat kemampuan dari suatu merek atau produk tertentu dalam
melaksanakan fungsi yang diharapkan menurut Assauri (2015) dalam Siti Dkk
(2020:45) Dari beberapa pengertian menurut ahli dapat disimpulkan bahwa kualitas
produk adalah kemampuan suatu produk yang memenuhi karakteristik kehandalan,
daya tahan, kemudahan dan ketepatan dari produk tersebut.

Keuntungan loyalitas pelanggan bagi perusahaan


Memiliki konsumen yang loyal pada sebuah toko akan mendatangkan
keuntungan, bukan hanya sekedar pendapat tetapi konsumen yang loyal akan
meningkatkan benefit lainnya, diataranya menurut Sujana (2012):
a. Mengurangi biaya pemasaran (Marketing efficiency)
Biaya pemasaran yang dikeluarkan toserba semakin tinggi ketika toserba
mengajak konsumen baru, berbeda dengan adanya konsumen yang loyal
toserba tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk pemasaran.
b. Meningkatkan perdagangan (Sales improvement)
Dengan adanya konsumen yang loyal akan memperkuat posisi toserba di pasar
perdagangan
c. Menarik konsumen baru (Attracting new consumer)
Konsumen yang loyal adalah konsumen yang mengalami rasa puas terhadap
produk atau jasa yang didapat dari toserba. Dengan adanya kepuasan tersebut
konsumen akan menyarankan toserba kepada orang lain sehingga secara tidak
langsung konsumen loyal membantu toserba dalam pemasaran.
d. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing (Early response in facing
competition)
Ketika kompetitor berusaha menarik konsumen dengan melakukan
pengembangan produknya, konsumen yang loyal akan memberikan waktu
kepada toserba untuk merespon sehingga konsumen yang loyal tidak akan
beralih kepada toserba pesaing.
Selanjutnya Solihin (2004) menyatakan bahwa beberapa keuntungan yang
akan diperoleh toserba dengan adanya konsumen yang loyal, yaitu:
a. Sales Growth
Konsumen yang setia biasanya akan melakukan pembelian berulang dalam
waktu yang cukup lama. Ditambah lagi dengan adanya konsumen yang loyal
maka biaya promosi yang dikeluarkan oleh toserba akan berkurang dan
meningkatnya keuntungan dari perusahaan karena konsumen yang loyal akan
merekomendasikan toserba kepada oranglain
b. Profitability
Sejalan dengan meningkatnya laba perusahaan apabila hal ini berlangsung
secara terus menerus dalam rentang waktu yang lama maka toserba memiliki
kesempatan yang besar untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.
c. Referral
Konsumen yang loyal akan berinisiatif merekomendasikan toserba kepada
orang lain.
Penjelasan mengenai keuntungan dari konsumen yang loyal juga dijelaskan
oleh Griffin (2002), diantaranya:
a. Dapat mengurangi biaya pemasaran karena biaya untuk mengajak konsumen
baru lebih mahal
b. Dapat mengurangi transaksi. Mengurangi biaya tawar menawar dalam
membeli barang
c. Dapat mengurangi biaya turnover konsumen (karena pergantian konsumen
yang tidak terlalu banyak)
d. Dapat meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar
perusahaan
e. Meningkatkan word of mouth yang lebih positif, dengan pendapat bahwa
konsumen yang loyal juga menandakan konsumen yang puas.
f. Dapat meminimalisir biaya kegagalan (misalnya biaya pergantian).
Berkaitan dengan pembahasan sebelumnya mengenai keuntungan-keuntungan
yang diperoleh toserba jika konsumen memiliki rasa loyalitas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa konsumen yang loyal akan memberikan penilaian lebih bagi
toserba. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk menarik konsumen
baru karena konsumen yang sudah setia akan berinisiatif untuk merekomendasikan
perusahaan atau toko tersebut kepada orang lain sehingga perusahaan akan
menekan biaya untuk pemasaran. Selanjutnya konsumen yang loyal akan selalu
merasa puas terhadap toko sehingga konsumen akan membeli produk tersebut
dalam jumlah yang tidak sedikit terhadap toko. Hal ini menyebabkan adanya
peningkatan perkembangan penjualan perusahaan yang mengakibatkan
meningkatnya keuntungan yang diperoleh oleh toserba

Faktor –faktor loyalitas konsumen


Menurut Widing, et al. dalam (Tjiptono, 2014) mengemukakan model
loyalitas terhadap toko yang menjelaskan faktor utama yang menyebabkan seorang
pelanggan loyal pada toko tertentu yaitu ada “what” factorsndan “how” factors.
“What” factors mengacumpada produk danljasa apa saja yangmbisa didapatkan
pelanggan dari toko bersangkutan. Sedangkan “how” factors memperlihatkan
proses yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pembelian produk dan jasa oleh
konsumen di sebuah toserba.
a. Nilai harga
Setiap konsumen menginginkan harga yang pantas dengan produk yang
mereka dapatkan, oleh karena itu toserba harus bisa memastikan harga secara baik
dan tepat. Toserba diharapkan selalu mengawasi kualitas produk dengan harga
yang ditawarkan, keterjangkauan harga dengan kesanggupan pembeli, dan harus
selalu mencermati harga yang ditentukan toserba dengan kompetitor.
b. Kualitas produk
Menjaga loyalitas konsumen pada sebuah toko harus diusahakan juga dengan
cara menjaga kualitas produk tersebut agar selalu dalam keadaan baik. Sehingga
konsumen tidak akan menyesal untuk kembali berbelanja di toko. Produk yang
ditawarkan harus bisa dikenal oleh konsumen agar konsumen bisa percaya akan
produk tersebut, perusahaan juga harus bertanggung jawab terhadap daya tahan
kualitas produk, dan perusahaan harus bisa menjadikan produk tersebut bisa
menjadi daya tarik konsumen.
Sangadji dan Sopiah (2013:190) bependapat bahwa kepuasan akan menarik
konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi ulang produk tersebut.
c. Assosrtment
Kelengkapan produk memberikan konsumen pilihan (Sujana, 2012:222).
Assortment merupakan jumlah aneka ragam kategori produk, warna produk, ukuran
produk, jenis produk dan variasi merk berbeda dalam produk yang sama yang
ditawarkan oleh toserba
d. Store brands
Store brands merupakan produk yang dikeluarkan oleh toserba dengan nama
merk khas toserba seperti alfamidi, YOA, BreadCo, dan lan-lain. Biasanya harga
dari store brands lebih murah dibanding merk yang lain dengan kualitas yang
hampir sama. Tujuan adanya store brands atau private labels yaitu untuk
membangun citra toserba di mata konsumen sehingga menimbulkan loyalitas
konsumen pada merk.
e. Kenyamanan
Toserba selalu dalam keadaan bersih, aroma yang wangi, check out yang cepat
sehingga konsumen tidak menunggu dan fasilitas parkir yang memadai akan
memberikan rasa nyaman kepada konsumen saat berbelanja.
f. Kemudahan
Dalam mewujudkan kemudahan berbelanja bagi para konsumen sebaiknya
toserba menyediakan fasilitas yang memadai seperti parkiran yang cukup luas akses
toserba yang mudah dijangkau oleh kendaraan umum dan letak antar rak yang tidak
sempit. Selain itu toserba harus bisa memenuhi tuntutan konsumen untuk
menyediakan produk yang dibutuhkan agar terciptanya sikap loyal dari konsumen.
g. Kualitas pelayanan
Kualitas pelayanan yang bagus yang ditawarkan oleh toserba akan
memengaruhi loyalitas konsumen. Pelayanan ini meliputi keramahan kepada
konsumen, kesigapan karyawan dalam membantu konsumen, kemampuan
menangani masalah yang dihadapi konsumen serta penampilan karyawan yang
diharuskan rapi dan bersih.
h. Kepuasan pelanggan
Kepuasan konsumen ditunjukkan saat konsumen selesai memakai suatu barang
atau jasa tersebut dengan keinginan yang telah terpenuhi. Kotler dalam Sangadji
dan Sopiah (2013 menjelaskan bahwa “kepuasan konsumen adalah sebuah sikap
rasa senang atau tidak puas yang timbul sesudah membandingkan persepsi atau
kesan dengan kemampuan kerja suatu produk dan harapan-harapannya”.
Selanjutnya Daryanto (2013) berpendapat bahwa mempertahankan kepuasan
pelanggan dari waktu ke waktu akan menciptakan relasi yang baik dengan
konsumen. Konsumen bersedia berbelanja kembali ke toserba dan
merekomendasikan toserba kepada orang lain merupakan hal yang sangat
menguntungkan, secara tidak langsung toserba telah melakukan pemasaran.
Selain pengertian diatas Swastha dalam Handoko (2017) menyebutkan ada lima
faktor utama yang mempengaruhi loyalitas, yaitu sebagai berikut:
a. Kualitas produk
Kualitas yang baik dan tahan lama akan mempengaruhi loyalitas konsumen, dan
jika konsumen terus menerus melakukan pembelian akan menjadikan konsumen
loyal untuk berbelanja kembali di toserba
b. Kualitas jasa
Selain kualitas dari produk yang ditawarkan, kualitas jasa juga diperlukan untuk
mempengaruhi loyalitas konsumen, seperti adanya jasa antar pengiriman barang.
c. Emosional
Sikap berpikiran positif dan keyakinan dari pihak toserba akan mempengaruhi
terciptanya ide-ide yang baru sehingga meningkatknya keuntungan toserba.
d. Harga
Setiap konsumen sudah pasti ingin barang yang kualitasnya bagus dan
harganya murah, tetapi biasanya harga yang tinggi disebabkan oleh kualitas produk
yang bagus dan harga yang murah disebabkan kualitas produk yang ditawarkan
biasa saja.
e. Biaya
Konsumen akan berpikir jika toserba mengerluarkan biaya yang besar untuk
sebuah promosi menandakan produk yang ditawarkan akan berkualitas bagus
sehingga konsumen akan lebih setiaterhadap produk tersebut

Mempertahankan loyalitas konsumen


Parasuraman (2007) berpendapat bahwa untuk menciptakan dan
mempertahankan loyalitas konsumen diperlukan beberapa langkah-langkah seperti:
a. Komitmen dan keterlibatan manajemen puncak
Peranan manajemen atas pada pengambilan keputusan sangatlah penting seperti
dukungan, kepemimpinan, komitmen dan partisipasi aktif berperan untuk
mengadakan pertukaran budaya organisasi, struktur kerja, praktik manajemen SDM
dari pandangan secara tradisional menuju pandangan modern
b. Tolok ukur internal (internal benchmarketing)
Proses tolok ukur secara internal mencakup pengukuran dan penilaian atas
susunan yang teratur, rancangan, proses bahan mentah menjadi bahan jadi,
pemasaran jasa yang mendukung toserba, manajemen SDM serta supplier.
Ukuran-ukuran yang dipakai seperti loyalitas konsumen (jumlah persentase dan
jangka loyalitasnya), nilai tambah untuk pelanggan inti dan biaya akibat hasil
produk yang kurang bagus.
c. Identifikasi kebutuhan konsumen
Mengidentifikasi kebutuhan konsumen bisa dilakukan dengan beberapa cara
yaitu, customer window, value research, analisis sensitivitas, evaluasi multiatribut,
analisis konjoin, dan QFD atau quality function development.
d. Penilain kapabilitas persaingan
Pada masa sekarang pemahaman tentang aspek internal toserba dan konsumen
belum cukup memadai tetapi untuk memenangkan persaingan dengan kompetitor,
pengetahuan kapabilitas pesaing harus diketahui.
e. Pengukuran konsumen dan loyalitas pelanggan
Loyalitas konsumen berhubungan dengan apa yang telah dilakukan oleh
konsumen sedangkan kepuasan konsumen mencakup apa yang konsumen
ungkapkan. Oleh karena itu, parametermkepuasan konsumenmlebih subjektif lebih
sukar dikuantifikasi, danllebih sulit dibanding loyalitaskkonsumen.
f. Analisis feedback dari konsumen, mantan konsumen, non konsumen, dan
kompetitor
Selain konsumen saat ini dan kompetitor, cakupan analisis feedback butuh
diperluas dengan melibatkan konsumen tidak aktif dan non konsumen. Dengan
begitu toserba bisa memahami dengan lebih baik mengenai faktor-faktor kepuasan
konsumen dan loyalitas konsumen, serta hal-hal negatif yang dapat menyebabkan
customer defection.
g. Perbaikan berkesinambungan
Loyalitas konsumen merupakan suatu pemeliharaan aset tanpa akhir. Tidak ada
jaminan bahwa seorang konsumen akan terus loyal terhadap toserba, maka dari itu
toserba harus sering menciptakan inovasi baru untuk merespon perubahan dari
waktu ke waktu. Perubahan ini menyangkut 3C (customer, company, dan
competitors). Berbagai metode yang dipakai dalam total quality management
(TQM) dan business process reengineering (BPR) memberikan manfaat untuk
membantu perbaikan berkelanjutan dari loyalitas konsumen

Tahap-tahap loyalitas konsumen


Menjadi konsumen yang loyal membutuhkan proses, dari yang sebelumnya
masih menjadi calon konsumen. Proses tersebut terjadi dalam beberapa tahapan.
Griffin dalam Sangadji dan Sopiah (2013) membagi tahapan loyalitas pelanggan
menjadi sebagai berikut:
a. Terduga (suspects), merupakan semua individu yang belum tentu akan membeli
barang atau jasa kepada sebuah toko, tetapi mereka sama sekali belum
mengetahui toko dan barang atau jasa yang disediakan.
b. Prospek (prospect), meliputi individu-individu yang memerlukan produk atau
jasa dan sudah memiliki kesanggupan untuk membelinya. Individu tersebut
belum pernah melakukan pembelian, tetapi para konsumen telah mengetahui
adanya toserba dan produk yang ditawarkan dari seseorang yang telah
menyarankan kepadanya.
c. Prospek terdiskualifikasi (disqualified prospects), konsumen sudah mengetahui
produk/jasa yang sudah tersedia di toserba tetapi belum memiliki niatan untuk
membeli atau belum memilliki kemampuan untuk membelinya
d. Pelanggan mula-mula (first time customer), merupakan konsumen yang
membeli produk/jasa untuk pertama kalinya. Mereka masih menjadi konsumen
baru.
e. Pelanggan berulang (repeat customer), konsumen yang sudah memperoleh
produk/jasa tersebut lebih dari satu kali di waktu berbeda atau membeli produk
yang berbeda pada waktu yang berbeda juga.
f. Klien adalah konsumen yang membeli semua produk atau jasa yang ditawarkan
oleh toserba dan berbelanja secara teratur. Biasanya konsumen seperti ini sudah
memiliki ketrikatan yang kuat sehingga tidak terpengaruh dengan toserba lain.
g. Pendukung (advocates), seperti halnya klien, individu tahapan pendukung akan
memperoleh barang/jasa yang disediakan dan melakukan pembelian secara
konsisten di toserba. Konsumen tesrsebut juga akan mengajak individu lain
untuk berbelanja di toserba. Dengan begitu secara tidak langsung konsumen
tersebut telah memasarkan toserba kepada orang lain dengan metode word of
mouth.
h. Mitra merupakan ikatan paling kuat antara konsumen dengan toserba, hubungan
ini juga berlangsung lama dan terus menerus karena kedua pihak diuntungkan
satu sama lain

Karakteristik loyalitas konsumen


Konsumen yang memiliki sikap loyal merupakan modal yang
menguntungkan bagi toserba. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik konsumen yang
dimilikinya. Menurut Griffin dalam Sangadji dan Sopiah (2013) menerangkan
bahwa konsumen yang setia terhadap suatu toko memiliki beberapa karakteristik,
yaitu sebagai berikut:
a. Melakukan pembelian secara konsisten (makes regular repeat purchases)
Konsumen yang melakukan pembelian ulang biasanya sudah memiliki jadwal
tersendiri saat berbelanja, bisa sekali dalam satu minggu, sekali dalam dua
minggu atau sekali dalam satu bulan sesuai kebutuhannya masing-masing
konsumen di tempat yang sama.
b. Melakukan pembelian di semua produk atau jasa (purchases across product and
service lines)
Bukan sekedar tertuju pada satu jenis produk, biasanya konsumen yang loyal
membeli produk atau jasa berbeda tersebut di satu toko yang sama.
c. Merekomendasikan produk lain (refer other)
Konsumen jika sudah loyal akan bersedia tanpa diminta untuk
merekomendasikan toserba tersebut kepada orang lain.
d. Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing
(demonstrates on immunity to the full of the competion.)
Konsumen yang loyal tidak mudah terpengaruh dengan produk atau toko lain
karena sudah merasa cocok dengan produk atau toserba tersebut.

Pengertian loyalitas konsumen


Menurut Parasuraman dalam Sangadji (2013) mengatakan bahwa loyalitas
pelanggan dalam konteks pemasaran jasa adalah respon yang bersangkutan dengan
tanggapan untuk memegang kuat perjanjian yang mendasari kelanjutan dalam
hubungan, dan biasanya terlihat dalam pembelian secara terus menerus dari
penyedia jasa yang sama. Lovelock et.al dalam (Prawitasari, 2012) juga
mengemukakan bahwa “Loyalitas konsumen adalah suatu kesediaan konsumen
untuk melakukan pembelian secara terus menerus pada sebuah toserba untuk waktu
yang panjang dan menggunakan barang atau pelayanannya secara berulang, selain
menggunakan konsumen akan berinisiatif untuk menyarankan toserba tersebut
kepada orang lain tanpa paksaan. Sedangkan menurut Oliver dalam Hurriyati
(2010) Loyalitas konsumen adalah perjanjian yang dipegang secara teguh untuk
kembali membeli secara berulang-ulang dan konsisten di masa depan, walaupun
ada pengaruh situasional dari luar dan usaha pemasaran yang berpeluang
menyebabkan perubahan perilaku. Loyalitas konsumen adalah komitmen
konsumen terhadap suatu toserba, atau supplier, berdasarkan sikap positif dan
tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten (Morais, 2005)

Definisi Ritel


Ritel merupakan kata dari bahasa Perancis yaitu Riteller yang berarti
memecah sesuatu. Secara harfiah hanya kata ritel atau retail berartikan eceran atau
membeli secara satu-satu. Manser dalam Sujana (2012) mengemukakakn bahwa
kata retail diartikan sebagai menjual suatu barang atau jasa kepada masyarakat
umum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) retail adalah usaha
bersama dalam bidang perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir.
Selanjutnya pengertian retail menurut Usman (2010) Ritel atau Retailing adalah
kegiatan yang menggabungkan aktivitas pemasaran barang atau jasa secara
langsung kepada konsumen. Pengertian retailer adalah semua organisasi bisnis
seperti warung, swalayan, toserba, yang memperoleh lebih dari setengah
pendapatannya dari retailing atau mengecer. Jadi bisa disimpulkan bahwa ritel
adalah sebuah usaha bisnis yang mengarahkan penjualan produk sekaligus jasa
secara eceran kepada konsumen akhir untuk memuaskan keinginan dan
kebutuhannya.
Beberapa fungsi ritel yang dapat meningkatkan harga jual produk maupun jasa
kepada konsumen menurut Utami (2006) adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan berbagai jenis produk dan jasa
Seorang retailer menawarkan produk dan jasa yang diinginkan dan dibutuhkan
oleh konsumen. Seperti makanan, minuman, pakaian, kebutuhan rumah tangga,
peralatan kesehatan dan lain-lain yang diperlukan untuk kegiatan sehari-hari.
b. Memecah
Retailer membagi beberapa produk yang jumlahnya banyak menjadi satuan,
hal ini disesuaikan dengan pola pembelian konsumen akhir yang memerlukan
barang dengan jumlah yang sedikit sehingga menguntungkan produsen dan
juga konsumen
c. Penyimpanan persediaan
Fungsi selanjutnya ritel adalah menyimpan persediaan produk yang dibutuhkan
sehingga saat konsumen memerlukannya, produk tersebut bisa didapatkan
dengan mudah karena toserba sudah menyimpan persediaan.
d. Penyedia jasa
Konsumen mendapat kemudahan untuk menkonsumsi produk produk dengan
adanya layanan jasa. Contohnya pramuniaga atau service crew yang telah
memajang berbagai produk kedalam kategori tertentu sehingga konsumen bisa
mudah mendapatkan produk yang dibutuhkannya, selain itu adanya
pramuniaga membantu konsumen apabila memerlukan bantuan.
e. Dengan adanya toserba, konsumen bisa mendapatkan barang secara lengkap
dalam satu tempat sehingga tidak perlu berkeliling untuk mendapatkan
beberapa produk yang berbeda.

Definisi Konsumen


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsumen adalah pemakai
barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya). Pengertian
pelanggan (customer) menurut Kotler dan Amstrong (2013) adalah individu-
individu dan organisasi yang membelanjakan dan mendapatkan produk berupa
barang/jasa untuk dipakai oleh diri sendiri. Sedangkan Griffin (2012:31)
mengungkapkan definisi pelanggan (customer) berawal dari kata custom, yang
didefinisikan sebagai “membuat sesuatu menjadi kebiasaan atau biasa dan
mempraktikkan kebiasaan”. Jadi kesimpulannya bahwa konsumen adalah
seseorang yang melakukan pembelian berupa barang/jasa untuk dikonsumsi secara
pribadi atau dikonsumsi bersama orang lain tanpa dijual kembali.
Sangadji (2013) mengatakan bahwa konsumen dapat dikategorikan menjadi
dua jenis yaitu konsumen individu dan konsumen organisasi.

  1. Konsumen individu adalah orang-orang dengan tipe pembelian produk
    berupa barang, jasa atau ide untuk dikonsumsi oleh diri sendiri, bersama
    anggota keluarga, atau bersama teman-teman. Contoh nya seorang ibu yang
    membeli pakaian untuk anaknya, dan seseorang membeli makanan untuk
    dikonsumsi oleh dirinya sendiri.
  2. Konsumen organisasi adalah suatu lembaga atau instansi yang membeli
    produk berupa barang, jasa, atau ide untuk dijual kembali atau untuk
    kepentingan instansi atau lembaga tersebut. Contoh sebuah tempat bimbingan
    belajar membeli buku pelajaran untuk dijual kembali kepada murid-murid
    nya sebagai bahan belajar mengajar. Contoh selanjutnya adalah konsumen
    organisasi yang memakai produk tersebut untuk kepentingan organisasi
    seperti sebuah kantor membeli komputer untuk dipakai di kantor

Definisi loyalitas


Loyalitas merupakan suatu sikap menyenangi suatu brand yang ditunjukkan
oleh konsumen dengan cara pembelian secara teratur dan konsisten terhadap brand
tersebut sepanjang (Setiadi, 2013). Pendapat serupa menyebutkan bahwa loyalitas
diartikan sebagai keinginan yang tinggi untuk membelanjakan kembali suatu
produk atau jasa yang diminatinya di waktu yang akan datang, tanpa terpengaruh
situasi maupun usaha penjual dalam merubah perilaku (Saladin, 2011). Kemudian
menurut Oliver dalam (Hurriyati, 2010) arti loyalitas merupakan keinginan
konsumen yang bertahan untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian
ulang produk atau jasa secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun akan
ada pengaruh dari luar untuk merubah perilaku. Sedangkan menurut Griffin dalam
Hurriyati (2010) mengatakan Loyalitas didefiniskan sebagai pembelian secara tidak
acak yang diekspresikan dari waktu ke waktu untuk beberapa alasan penambilan
keputusan. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa loyalitas adalah perwujudan dari
kebutuhan dasar manusia untuk memiliki, mendapatkan rasa aman dan membangun
keterikatan serta menciptakan emotional attachment (Kartajaya, 2007).
Jadi dapat disimpulkan bahwa dasar dari loyalitas konsumen adalah sikap
konsumen secara lebih jauh terhadap keputusan pembelian produk/jasa dengan cara
berulang dan terus menerus pada suatu toserba di masa yang akan datang tanpa
adanya paksaan dari pihak manapun. Perilaku ini bahkan bisa terjadi saat situasi
dan kondisi pasar berpeluang untuk menyebabkan perubahan perilaku pada
konsumen tersebut. Konsumen yang setia bukan hanya pembeli yang berbelanja
suatu produk secara berulang, namun juga sebagai konsumen yang
mempertahankan suatu sikap positif terhadap toko yang menjadi penyedia
produk/jasa disertai dengan cara menyarankan produk/jasa tersebut kepada orang
lain.

Pengaruh Brand Image terhadap Loyalitas Konsumen


Kotler dan Amstrong (2012) menyatakan bahwa brand atau merek
memiliki pengertian sebagai sebuah nama, istilah, tanda, simbol, atau desain atau
sebuah kombinasi di antaranya, yang bertujuan untuk mengidentifikasikan barang
atau jasa yang dihasilkan oleh produsen.
Penelitian yang dilakukan oleh Manullang (2018) menunjukan hasil
persamaan regresi pertama: LP = 3,503 + 0,246 CM + 0.337KP Artinya citra
merek dan kepuasan konsumen berpengaruh positif terhadap loyalitas konsumen
Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera
Utara.

Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Loyalitas Konsumen


Kualitas layanan yang baik akan sangat mempengaruhi loyalitas
konsumen, hal tersebut juga merupakan salah satu factor yang menentukan atas
berhasil atau tidaknya perusahaan tersebut menjual produknya tersebut
dipasaran. Kualitas layanan adalah suatu penilaian konsumen terhadap
keunggulan atau keistimewaan layanan tersebut, dengan kualitas layanan yang
baik maka produk tersebut akan mendapat keistimewaan di setiap pelanggannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Alam (2019) membuktikan bahwa hasil
kualitas layanan berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan

Pengaruh Persepsi Harga terhadap Loyalitas Konsumen


Harga adalah jumlah uang yang ditagihkan atas suatu produk dan jasa atau
jumlah dari nilai yang ditukar oleh konsumen untuk memperoleh manfaat dari
memiliki atau menggunakan suatu produk atas jasa. Harga merupakan satu-
satunya unsur bauran pemasaran yang memberikan pendapatan atau pemasukan
bagi perusahaan serta bersifat fleksibel.
Penelitian yang dilakukan oleh Pongoh (2016) membuktikan bahwa hasil
dari analisis secara simultan menunjukkan bahwa harga berpengaruh terhadap
loyalitas pelanggan

Indikator Loyalitas Konsumen


Indikator loyalitas konsumen menurut Kotler &Keller (2017:57) adalah :

  1. Repeat Purchase( kesetiaan terhadap pembelian produk )
  2. Retention ( ketahanan terhadap pengaruh yang negative mengenai perusahaan)
  3. Referalls (mereferensikan secara total esistensi perusahaan )
    Menurut Oliver (2016) loyalitas pelanggan adalah komitmen yang
    dipegang teguh untuk membeli kembali produk atau jasa yang disukai di masa
    depan, meskipun ada pengaruh situasional dan upaya pemasaran yang memiliki
    potensi untuk menyebabkan perilaku. Indikator loyalitas pelanggan menurut
    Oliver (2016) :
  4. Behavioral Loyalty
    Perilaku loyal (behavior loyalty) atau perilaku loyal didefinisikan Schiffman dan
    Kanuk (2012) sebagai tingkah laku membeli ulang suatu merek oleh seorang
    pelanggan terhadap kategori produk tertentu. Rundle-Thiele(2015)
    mendefinisikan perilaku loyal sebagai perilaku sesunguhnya dari konsumen
    untuk melakukan pembalian ulang dan merekomendasikannya. Bowen dan Chen
    (2016) mendefinisikan perilaku loyal sebagai perilaku beli konsumen yang
    ditunjukkan dengan tingginya frekuensi konsumen datang ke sebuah toko atau
    membeli suatu produk.
    Berdasarkan beberapa definisi perilaku loyal di atas dapat disimpulkan bahwa
    perilaku loyal adalah perilaku aktual konsumen yang diwujudkan dalam bentuk
    pembelian ulang maupun kesediaan secara sukarela untuk merekomendasikan
    kepada orang lain tentang sebuah merek

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Loyalitas pelanggan


Menurut Hasan (2016) faktor utama yang mempengaruhi loyalitas pelanggan
adalah :

  1. Kepuasan Pelanggan ( Customer satisfaction).
    Kepuasan pelanggan dipertimbangkan sebagai prediktor kuat terhadap
    kesetian pelanggan termasuk rekomendasi positif, niat membeli ulang dan
    lain-lain.
  2. Kualitas Produk atau layanan ( Service quality)
    Kualitas produk atau layanan berhubungan kuat dengan kesetiaan pelanggan.
    Kualitas meningkatkan penjualan dan meningkatkan penguasaan pasar, dan
    mengarahkan/ memimpin konsumen ke arah kesetiaan.
  3. Citra Merek ( Brand Image)
    Citra merek muncul menjadi faktor penentu kesetiaan pelanggan yang ikut
    serta membesarkan/membangun citra perusahaan lebih positif.
  4. Nilai yang dirasakan ( Perceived value).
    Nilai yang dirasakan merupakan perbandingan manfaat yang dirasakan dan
    biaya-biaya yang dikeluarkan pelanggan diperlakukan sebagai faktor penentu
    kesetiaan pelanggan.
  5. Kepercayaan (trust)
    Kepercayaan didefenisikan sebagai persepsi kepercayaan terhadap keandalan
    perusahaan yang ditentukan oleh konfirmasi sistematis tentang harapan
    terhadap tawaran perusahaan.
  6. Relasional pelanggan (customer relationship)
    Relasional pelanggan didefenisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap
    proporsionalitas rasio biaya dan manfaat, rasio biaya dan keuntungan dalam
    hubungan yang terus menerus dan timbal balik.
  7. Biaya Peralihan (Switching cost)
    Dalam kaitannya dengan pelanggan, switching cost ini menjadi faktor
    penahan atau pengendali diri dari perpindahan pemasok/penyalur produk dan
    mungkin karenanya pelanggan menjadi setia.
  8. Dependabilitas ( reliability)
    Tidak hanya sebatas kemampuannya menciptakan superior nilai bagi
    pelanggan, tetapi juga mencakup semua aspek capaian organisasi yang
    berkaitan dengan apresiasi publik terhadap perusahaan secara langsung
    berdampak pada kesetiaan pelanggan.
    Sedangkan menurut Hannah dan Karp (dalam Musanto, 2016) faktor-
    faktor yang mempengaruhi loyalitas pelanggan meliputi :
  9. Kualitas produk/ jasa
    Yaitu merupakan mutu dari semua komponen-komponen yang membentuk
    produk/ jasa sehingga produk /jasa tersebut mempunyai nilai tambah.
  10. Hubungan antara nilai sampai pada harga
    Merupakan hubungan antara harga dan nilai produk/ jasa yang ditentukan
    oleh perbedaan antara nilai yang diterima oleh pelanggan dengan harga yang
    dibayar oleh pelanggan terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh badan
    usaha.
  11. Bentuk produk
    Bentuk produk merupakan komponen-komponen fisik dari suatu produk yang
    menghasilkan suatu manfaat.
  12. Keandalan
    Merupakan kemampuan dari suatu perusahaan untuk menghasilkan produk
    sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan.
  13. Jaminan
    Merupakan suatu jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan untuk
    pengembalian harga pembelian atau mengadakan perbaikan terhadap produk
    yang rusak setelah pembelian.
  14. Respon dan cara pemecahan masalah
    Response to and Remedy of Problems merupakan sikap dari karyawan dalam
    menanggapi keluhan serta masalah yang dihadapi oleh pelanggan.
  15. Pengalaman karyawan
    Merupakan semua hubungan antara pelanggan dengan karyawan.
  16. Kemudahan dan kenyamanan
    Convenience of acquisition merupakan segala kemudahan dan kenyamanan
    yang diberikan oleh perusahaan terhadap produk yang dihasilkannya.
    Berdasarkan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas
    pelanggan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
    mempengaruhi loyalitas pelanggan adalah kepuasan pelanggan (Customer
    satisfaction), kualitas produk atau layanan (Service quality), citra merek (Brand
    Image), nilai yang dirasakan (Perceived value), kepercayaan (trust), relasional
    pelanggan (customer relationship), biaya peralihan (Switching cost),
    dependabilitas (reliability).

Aspek-Aspek Loyalitas Konsumen


Menurut Tjiptono (dalam Sangadji dan Sopiah, 2016) mengemukakan
enam aspek yang bisa digunakan untuk mengukur loyalitas konsumen, yaitu :

  1. Pembelian ulang
  2. Kebiasaan mengkonsumsi produk
  3. Rasa suka yang besar pada produk atau suatu jasa.
  4. Ketetapan pada produk atau jasa.
  5. Keyakinan bahwa produk tertentu produk yang terbaik.
  6. Perekomendasian produk atau jasa kepada orang lain.
    Sedangkan menurut Baloglu (dalam Gunawan dan Djati, 2015) yang
    menyatakan bahwa loyalitas pelanggan memiliki lima aspek, yaitu kepercayaan
    (trust), komitmen psikologi (psychological comitment), perubahan biaya
    (switching cost), perilaku publisitas (word-of-mouth), dan kerjasama
    (cooperation). Selanjutnya Hasan (2016) mengatakan bahwa aspek loyalitas
    pelanggan yaitu :
  7. Pembelian ulang
    Pembelian ulang diartikan sebagai perilaku konsumen yang hanya membeli
    sebuah produk/jasa secara berulang-ulang dan konsisten dimasa yang akan
    datang.
  8. Komitmen Pelanggan terhadap produk/jasa.
    Pelanggan yang loyal tidak hanya membeli ulang suatu produk/jasa tetapi
    juga mempunyai komitmen dan sikap yang positif terhadap produk/jasa.
  9. Rekomendasi dari mulut ke mulut
    Pelanggan yang memiliki loyalitas terhadap produk/jaa akan bersedia
    bercerita hal-hal baik tentang perusahaan dan produknya kepada orang lain,
    teman dan keluarga yang jauh lebih persuasif dibanding iklan.
    Berdasarkan beberapa aspek-aspek loyalitas pelanggan yang dikemukakan
    oleh beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek loyalitas
    pelanggan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek loyalitas pelanggan yang
    dikemukakan oleh Hasan (2014) yaitu pembelian ulang, komitmen pelanggan
    terhadap produk/jasa, dan rekomendasi dari mulut ke mulut.

Karakteristik Loyalitas Konsumen


Karakteristik dari loyalitas ini ialah konsumen melakukan pembelian ulang
secara teratur/regular. Griffin dalam Hurriyati (2015:130) juga menjelaskan
karakteristik pelanggan yang loyal sebagai berikut :

  1. Melakukan pembelian secara teratur (makes regular repeat purchases)
  2. Membeli diluar lini produk/jasa (purchases across product and service lines)
  3. Merekomendasikan produk lain (refers other)
  4. Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing
    (demonstrates an immunity to the full of the competition)
    Selain itu, Hasan (2016) menyatakan bahwa pelanggan yang loyal itu paling
    tidak menunjukkan karakteristik seperti :
  5. Adanya runtutan pembelian dan proporsi pembelian, atau probabilitas
    pembelian.
  6. Tingkat atau ukuran kedekatan pelanggan pada sebuah produk atau jasa.
  7. Adanya perasaan positif terhadap produk atau jasa.
  8. Penggunaan produk atau jasa yang sama secara teratur.
    Berdasarkan dari beberapa karakteristik loyalitas pelanggan yang
    dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik loyalitas pelanggan
    yaitu adanya runtutan pembelian dan proporsi pembelian, atau probabilitas
    pembelian, tingkat atau ukuran kedekatan pelanggan pada sebuah produk atau
    jasa, adanya perasaan positif terhadap produk atau jasa, penggunaan produk atau
    jasa yang sama secara teratur.

Tahap Pembentukan Loyalitas Konsumen


Proses seorang calon pelanggan menjadi pelangganan yang loyal terhadap
perusahaan terbentuk melalui beberapa tahapan. Setiap tahap memiliki kebutuhan
khusus. Dengan mengenali setiap tahap dan memenuhi kebuthan tersebut,
perusahaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengubah pembeli
menjadi pelanggan yang loyal.
Menurut Stanley A. Brown yang dikutip Ratih Hurriyati (2015:433),
loyalitas pelanggan memeiliki tahapan sesuai dengan customer lifetime value.
Tahapan tersebut adalah :

  1. Cognitive Loyalty
    Tahapan ini menekankan loyalitas pada tahapan kognitif atau loyalitas
    berdasarkan kepada keyakinan pelanggan terhadap suatu merk. Pengetahuan
    ini biasa berasal dari pengetahuan sebelumnya atau pengalaman yang baru
    terjadi. Tahap ini merupakan tahap loyalitas paling dangkal, jika sebuah
    transaksi dilakukan secara rutin dan kepuasan tidak diproses sebagai contoh
    jasa membersihkan sampah, maka kedalaman loyalitas tidak akan menjadi
    bagian dari pengalaman pelanggan.
  2. Affective Loyalty
    Pada tahapan ini kesukaan atau kepuasan pelanggan terhadap suatu merek
    berkembang berdasarkan akumulasi menggunakan produk perusahaan,
    pelanggan cukup rentan berganti merek atau mencoba produk competitor,
    diketahui pelanggan yang berganti merek atau produk mengatakan bahwa
    mereka puas dengan merek atau produk sebelumnya.sehingga perusahaan
    lebih menginginkan pelanggan ada pada tahap loyalitas yang lebih dalam.
  3. Conative Loyalty
    Sebagai komitmen untuk membeli kembali spesifik terhadap suatu merek.
    Tahap kognatif dipengaruhi oleh pengalaman positif yang dirasakan
    pelanggan setelah berkali kali menggunakan produk atau merek tersebut.
    Pada tahap loyalty ini pelanggan mempunyai komitmen yang cukup dalam
    untuk menggunakan produk atau merek perushaan.
  4. Action Loyalty
    Merupakan tahap terakhir dari tahap loyalty, dimana cognitive loyalty focus
    kepada aspek kinerja dan merek, affective loyalty focus terhadap bagaimana
    sebuah merek disukai oleh pelanggan, sedangkan conative loyalty
    diekspresikan dalam komitmen atau niat pelanggan untuk membeli kembali
    suatu merek. Action loyalty merupakan sebuah komitmen untuk aksi atau
    tindakan membeli kembali sebuah produk atau merek

Definisi Loyalitas Konsumen


Menurut Griffin dalam Manap (2016:374) A loyal customer has a specific
bias about what to buy and from whom. Two important conditions associated with
loyalty and total share of customer. Many companies operate under the false
impression that a retained customer is automatically a loyal customer. Lebih
lanjut Griffin menyatakan bahwa Loyalty is defined as non-random purchase
expressed over time by some decision-making unit.
Pengertian tentang konsumen yang loyal menurut Griffin (2016:142)
adalah ”A loyal customer is one who makes regular repeat purchases, purchase
across product lines, refers others and demonstrates on immunity to the pull of the
competition”. Hal ini berarti konsumen yang loyal adalah konsumen yang
memiliki ciri-ciri antara lain melakukan pembelian atau menggunakan produk/jasa
secara berulang pada badan usaha yang sama, membeli atau menggunakan lini
produk dan jasa yang ditawarkan oleh badan usaha yang sama, memberitahukan
kepada orang lain tentang kepuasan-kepuasan yang didapat pelanggan dari badan
usaha tersebut dan menunjukkan kekebalan terhadap tawaran-tawaran dari badan
usaha pesaing. Loyalitas telah diakui sebagai faktor dominan yang mempengaruhi
keberhasilan bisnis saat ini, karena loyalitas konsumen (customer loyalty) telah
menjadi tujuan strategis yang paling penting dari perusahaan dalam kurun waktu
belakangan ini.
Menurut Hasan (2016 :75) “Loyalitas pelanggan merupakan perilaku yang
terkait dengan sebuah produk, termasuk kemungkinan memperbaharui kontrak
merek di masa yang akan datang, berapa kemungkinan pelanggan mengubah
dukungannya terhadap merek, berapa keinginan pelanggan untuk meningkatkan
citra positif suatu produk”. Jika produk tidak mampu memuaskan pelanggan,
pelanggan akan bereaksi dengan cara exit (pelanggan menyatakan berhenti
membeli merek atau produk) dan voice (pelanggan menyatakan ketidakpuasan
langsung pada perusahaan). Sedangkan menurut Griffin (2016:31) “Loyalitas
pelanggan didefinisikan sebagai orang yang membeli, khusunya yang membeli
secara teratur dan berulang-ulang”. Pelanggan merupakan seseorang yang terus
menerus dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan
keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan
membayar produk atau jasa tersebut.
Pengertian tentang seorang pelanggan yang loyal menurut Griffin
(2016:547) adalah pelanggan yang memiliki ciri-ciri antara lain melakukan
pembelian secara berulang-ulang pada badan usaha yang sama secara teratur,
membeli lini produk dan jasa yang ditawarkan oleh badan usaha yang sama,
memberitahukan kepada orang lain tentang kepuasan-kepuasan yang didapat dari
badan usaha, dan menunjukkan kekebalan terhadap tawaran-tawaran dari badan
usaha pesaing.
Karakteristik yang dimiliki oleh pelanggan yang loyal:

  1. Melakukan pembelian secara teratur (makes regular repeat purchases)
  2. Membeli diluar lini produk/jasa (purchases across product and service lines)
  3. Merekomendasikan produk lain (refers other)
    Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing
    (demonstratesan immunity to be the full of the competition).
    Priansa (2017) mendefinisikan loyalitas pelanggan merupakan
    komitmen jangka panjang pelanggan, yang diimplementasikan dalam bentuk
    perilaku dan sikap yang loyal terhadap perusahaan dan produknya, dengan cara
    mengonsumsi secara teratur dan berulang, sehingga perusahaan dan produknya
    menjadi bagian penting dari proses konsumsi yang dilakukan oleh pelanggan
    dimana hal tersebut akan mempengaruhi eksistensi perusahaan tersebut.
    Selanjutnya, Tjiptono dan Candra (dalam Priansa, 2017) menyatakan bahwa
    loyalitas pelanggan adalah komitmen pelanggan terhadap suatu produk atau jasa
    yang tercermin dari sikap (attitude) yang sangat positif dan wujud perilaku
    (behavior) pembelian ulang yang dilakukan oleh pelanggan tersebut secara
    konsisten dalam jangka waktu yang lama.
    Loyalitas pelanggan merupakan reaksi atau akibat dari terciptanya
    kepuasan pelanggan sebagai implementasi dari keberhasilan pelayanan yang
    berkualitas dalam memenuhi harapan pelanggan. Pelanggan yang loyal adalah
    mereka yang antusiasme terhadap merek atau produk yang digunakannya.
    Pelanggan yang loyal kepada keputusan pembeliannya tidak lagi
    mempertimbangkan faktor–faktor yang berpengaruh dalam penentuan pilihan
    seperti tingkat harga, jarak, kualitas, dan atribut lainnya, karena telah tertanam
    dalam dirinya bahwa produk atau jasa yang dibeli sesuai dengan harapan dan
    mampu memenuhi kebutuhan

Indikator Citra Merek


Citra merek dapat diukur melalui beberapa indikator pengukuruan.
Berikut merupakan indikator-indikator pengukuran citra merek dari beberapa ahli
yaitu :

  1. Menurut Rangkuti (2015:44) bahwa terdapat beberapa indikator yang
    harus diperhatikan dalam membentuk sebuah citra merek, yaitu :
    a. Recognition (pengenalan), tingkat dikenalnya sebuah merek
    oleh konsumen.
    b. Reputation (reputasi), sebuah merek yang terbukti mempunyai “track
    record” baik berarti tingkat atau status yang dimiliki sebuah merek cukup
    tinggi.
    c. Affinity (daya tarik), sebuah merek mempunyai daya tarik yang
    mempunyai hubungan emosional dengan konsumennya.
    d. Brand loyalty (kesetiaan merek), menyangkut ukuran dari
    kesetiaan pelanggan terhadap suatu merek yang bersangkutan.
  2. Menurut Kotler dan Keller (2016:261) indikator pengukuran citra
    merek adalah sebagai berikut :
    a. Persepsi konsumen terhadap pengenalan produk
    b. Persepsi konsumen terhadap kualitas produk
    c. Persepsi konsumen terhadap ukuran
    d. Persepsi konsumen terhadap daya tahan
    e. Persepsi konsumen terhadap warna produk
    f. Persepsi konsumen terhadap harga
    g. Persepsi konsumen terhadap lokasi
  3. Menurut Sulistyari (2015:4) menyebutkan bahwa indikator-indikator yang
    membentuk brand image, antara lain adalah :
    a. Citra Korporat
    merupakan citra yang ada dalam perusahaan itu sendiri. Perusahaan
    sebagai organisasi berusaha membangun imagenya dengan tujuan tak
    lain agar nama perusahaan ini bagus, sehingga akan mempengaruhi
    segala hal mengenai apa yang dilakukan oleh perusahaantersebut.

  4. d.

Brand Loyalty


Brand loyalty adalah suatu konsep yang sangat penting dalam melakukan
strategi pemasaran. Keberadaan konsumen yang loyal pada merek sangat
diperlukan agar perushaan dapat bertahan hidup. Loyalitas merek sama
artinya dengan keputusan pembelian berdasarkan motivasi yang kuat
untuk membeli kembali. Hal ini juga dapat dilihat sebagai preferensi
pelanggan untuk merek tertentu yang mengakibatkan penggunaan
lanjutan dari merek yang dengan membeliu setiap kali. Untuk menjadi
loyal kepada merek tertentu, pelanggan harus mampu memahami merek
yang tepat untuk menjadikannya sebagai pilihan yang menawarkan
kualitas yang baik dan dengan harga yang sesuai dengan kualitas produk
tersebut

Indikator citra merek

Indikator citra merek menurut Kartajaya (2017) yaitu :
a. Reputation
Reputasi adalah titipan kepercayaan dari masyarakat. Jadi jika
perusahaan mengalami krisis kepercayaan dari publik maka akan
membawa dampak negatif terhadap reputasi perusahaan tersebut dan
perusaan tersebut akan memerlukan usaha keras untuk membbuhkan dan
membangun kembali kepercayaan publik. Reputasi tidak bisa diperoleh
dalam waktu singkat karena harus dibangun bertahun-tahun untuk
menghasilkan sesuatu yang bisa dinilai oleh publik. Reputasi juga baru
bertahan dan sustainable apabila konsistennya perkataan dan perbuatan.
b. Recognition
Recognition adalah ingatan dan persepsi yang tidak membutuhkan
kedalaman pemrosesan. Dalam hal pemasaran tingkat tingkat
dikenalkannya sebuah merek oleh konsumen, jka sebuah merek tidak
dikenal maka produk dengan merek tersebut harus dijual dengan
mengandalkan harga termurah seperti pengenalan logo, desain produk
maupun hal lainnya sebagai identitas dari merek tersebut.
c. Affinity
Affinity adalah sesuatu yang menggerakkan orang, berbicara mengenai
keinginan atau kebutuhan mereka dan membangkitkan keterkaitan
mereka. Mengacu pada pendekatan yang digunakan untuk menarik
perhatian konsumen atau mempengaruhi perasaan terhadap suatu produk
barang atau jasa.

Citra Produk

.
Citra konsumen terhadap suatu produk yang dapat berdampak positif
maupun negatif yang berkaitan dengan kebutuhan, keinginan, dan
harapan konsumen. Image dari produk dapat mendukung terciptanya
sebuah brand image atau citra dari merek tersebut.
c. Citra Pemakai
Dibentuk langsung dari pengalaman dan kontak dengan pengguna merek
tersebut. Manfaat adalah nilai pribadi konsumenyang diletakkan terhadap
atribut dari produk atau layanan yaitu apa yang konsumen pikir akan
mereka dapatkan dari produk atau layanan tersebut.

Komponen Citra Merek


Komponen citra merek (brand image) menurut Simamora dalam Faisal
Fati Manggala (2015:4) terdiri atas tiga bagian, yaitu:

  1. Citra pembuat (corporate image), yaitu sekumpulan asosiasi
    yang dipersepsikan konsumen terhadap perusahaan yang membuat suatu
    barang atau jasa.
  2. Citra pemakai (user image), yaitu sekumpulan asosiasi yang
    dipersepsikan konsumen terhadap pemakai yang menggunakan suatu barang
    atau jasa.
  3. Citra produk (product image), yaitu sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan
    konsumen terhadap suatu barang atau jasa

Faktor yang Mempengaruhi Citra Merek


Membangun Brand Image yang positif dapat dicapai dengan program
marketing yang kuat terhadap produk tersebut, yang unik dan memiliki kelebihan
yang ditonjolkan, yang membedakannya dengan produk lain. Kombinasi yang
baik dari elemen-elemen yang mendukung (seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya) dapat menciptakan Brand Image yang kuat bagi konsumen. Keller
(dalam Alfian B, 2017: 26) mengemukakan faktor-faktor terbentuknya citra merek
atara lain:

  1. Keunggulan produk merupakan salah satu faktor pembentuk Brand Image,
    dimana produk tersebut unggul dalam persaingan. Karena keunggulan kualitas
    dan ciri khas itulah yang menyebabkan suatu produk mempunyai daya tarik
    tersendiri bagi konsumen. Favorability of brand association adalah asosiasi
    merek dimana konsumen percaya bahwa atribut dan manfaat yang diberikan
    oleh merek akan dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan dan keinginan
    mereka sehingga mereka membentuk sikap positif terhadap merek.
  2. Kekuatan merek merupakan asosiasi merek tergantung pada bagaimana
    informasi masuk kedalam ingatan konsumen dan bagaimana proses bertahan
    sebagai bagian dari citra merek. Kekuatan asosiasi merek ini merupakan fungsi
    dari jumlah pengolahan informasi yang diterima pada proses ecoding. Ketika
    seorang konsumen secara aktif menguraikan arti informasi suatu produk atau
    jasa maka akan tercipta asosiasi yang semakin kuat pada ingatan konsumen.
    Pentingnya asosiasi merek pada ingatan konsumen tergantung pada bagaimana
    suatu merek tersebut dipertimbangkan. Dalam membuat kekuatan asosiasi
    merek dapat melalui bauran promosi komunikasi pemasaran (promotion mix).
    Bauran promosi adalah kombinasi dari penjualan tatap muka, periklanan,
    promosi penjualan, publisitas dan hubungan yang membantu pencapaian tujuan
    penjualan.
  3. Keunikan merek adalah asosiasi terhadap suatu merek mau tidak mau harus
    terbagi dengan merek-merek lain. Oleh karena itu, harus diciptakan
    keunggulan bersaing yang dapat dijadikan alasan bagi konsumen untuk
    memilih suatu merek tertentu. Dengan memposisikan merek lebih mengarah
    kepada pengalaman atau keuntungan diri dari image produk tersebut. Dari
    perbedaan yang ada, baik dari produk, pelayanan, personil, dan saluran yang
    diharapkan memberikan perbedaan dari pesaingnya, yang dapat memberikan
    keuntungan bagi produsen dan konsumen.
    Semakin bagus citra merek (brand image) sebuah produk, maka akan
    semakin banyak konsumen yang tertarik untuk membeli dan kloyal kepada
    produk tersebut

Pengukuran Citra Merek


Menurut Shimp dalam Aprianitasari (2015:37), ada tiga bagian yang
terdapat dalam pengukuran citra merek yaitu atribut (harga, kemasan, pemakai,
citra penggunaan, warna, ukuran, desain), manfaat (fungsional, simbolis,
pengalaman) dan evaluasi keseluruhan (nilai/kepentingan subjektif). Harga yang
murah pada suatu produk tentunya akan membangun citra yang positif khususnya
pada konsumen yang sekedar ingin memenuhi kebutuhannya. Namun, untuk
konsumen yang memiliki tingkat ekonomi tinggi, biasanya mengasumsikan
bahwa harga yang mahal akan sebanding dengan kualitas yang diberikan karena
perusahaan tersebut telah memiliki citra merek yang kuat.
Menurut Shimp dalam Bastian (2016:2), citra merek diukur dari 3
hal, yaitu :

  1. Atribut, yaitu ciri-ciri atau berbagai aspek dari merek yang diiklankan.
    Atribut juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu hal-hal yang tidak berhubungan
    dengan produk (contoh : harga, kemasan, pemakai, citra penggunaan), dan
    hal-hal yang berhubungan dengan produk (contoh : warna, ukuran, desain).
  2. Manfaat, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fungsional, simbolis, dan
    pengalaman.
    a. Fungsional, yaitu manfaat yang berusaha menyediakan solusi
    bagi masalah masalah konsumsi atau potensi permasalahan yang
    dapat dialami oleh konsumen, dengan mengasumsikan bahwa suatu
    merek memiliki manfaat spesifik yang dapat memecahkan masalah
    tersebut.
    b. Simbolis, yaitu diarahkan pada keinginan konsumen dalam
    upayamemperbaiki diri, dihargai sebagai anggota suatu kelompok,
    afiliasi, dan rasa memiliki.
    c. Pengalaman, yaitu konsumen merupakan representasi dari
    keinginan mereka akan produk yang dapat memberikan rasa
    senang, keanekaragaman, dan stimulasi kognitif
  3. Evaluasi keseluruhan, yaitu nilai atau kepentingan subjektif
    dimanakonsumen menambahkannya pada hasil konsumsi

Faktor-Faktor Pembentukan Citra Merek


Ada beberapa faktor-Faktor yang Mempengaruhi Citra Merek Schiffman
dan Kanuk (2016) menyebutkan faktor-faktor pembentuk citra merek yaitu:

  1. Kualitas atau mutu, berkaitan dengan kualitas produk yang ditawarkan oleh produsen
    dengan merek tertentu.
  2. Dipercaya dan dapat diandalkan. berkaitan dengan pendapat atau kesepakatan yang
    dibentuk oleh masyarakat tentang suatu produk yang dikonsumsi.
  3. Kegunaan atau manfaat yang terkait dengan fungsi dari suatu produk barang yang
    bisa dimanfaatkan oleh konsumen.
  4. Harga, dalam hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya atau banyak sedikitnya
    jumlah uang yang dikeluarkan konsumen untuk mempengaruhi suatu produk, juga
    dapat mempengaruhi citra jangka panjang.
  5. Citra yang dimiliki oleh merek itu sendiri, yaitu berupa pandangan, kesepakatan dan
    informasi yang berkaitan dengan suatu merek dari produk tertentu

Brand Image (Citra Merek)


Citra merek dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak
konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu. Menurut Kotler dan Amstrong
dalam Fandy Tjiptono (2015:p.105) dimana “Citra merek adalah himpunan
keyakinan konsumen mengenai berbagai merek”. Artinya Brand Images atau
Brand Description, yakni diskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen
terhadap merek tertentu. Dari sebuah produk dapat lahir sebuah merek jika produk
itu menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan fungsi (functional brand),
menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen (image brand) dan
membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen berinteraksi dengannya
(experiental brand).
Kotler dalam Artika Romal (2016:5) mengatakan citra merek adalah
seperangkat keyakinan ide dan kesan yang terbentuk oleh seseorang terhadap
suatu objek. Image atau citra sendiri adalah suatu gambaran, penyerupaan kesan
utama atau garis besar bahkan bayangan yang dimiliki oleh seseorang tentang
suatu merek.
Kotler dan Armstrong (2018:244) menyatakan “brand image
adalah himpunan keyakinan konsumen mengenai berbagai merek”. Brand image
atau brand description merupakan deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan
konsumen terhadap merek tertentu. Sebuah produk dapat melahirkan sebuah
brand jika produk itu menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan fungsi
(functional brand), menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen
(brand image) dan membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen
berinteraksi dengannya (experiental brand).
Menurut Kotler & Keller (2016:G1) mendefinisikan brand image sebagai
˝The perceptions and beliefs held by consumers, as reflected in the associations
held in consumer memory.˝ Hal ini dapat diartikan sebagaipersepsi dan
kepercayaan yang dipegang oleh konsumen, yang tercermin atau melekat dalam
benak dan memori dari seorang konsumen sendiri. Persepsi ini dapat terbentuk
dari informasi atau pengalaman masa lalu konsumen terhadap merek tersebut.

Indikator Kualitas Layanan


Menurut Kotler yang dikutip dalam Tjiptono (2016:28) terdapat lima
indikator dalam kualitas pelayanan sebagai berikut :

  1. Reliabilitas (reliability)
    Memiliki 2 aspek utama yaitu konsistensi kinerja (performance) dan sifat
    tidak dipercaya (dependability), berkaitan dengan kemampuan perusahaan
    untuk memberikan pelayanan yang terbaik sejak pertama kali tanpa
    melakukan kesalahan apapun dalam menyampaikan jasanya dan sesuai
    dengan waktu yang disepakati.
    Daya Tanggap (Responsiveness)
    Berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan karyawan untuk membantu
    para konsumen dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan
    kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat.
  2. Jaminan (Assurance)
    Perilaku karyawan yang mampu menumbuhkan kepercayaan konsumen
    terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para
    konsumennya. Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap
    sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
    menangani setiap pertanyaan atau masalah konsumen.
  3. Empati (Empathy)
    Perusahaan memahami masalah para konsumennya dan bertindak demi
    kepentingan konsumen, serta memberikan perhatian personal kepada para
    konsumen dan memiliki jam operasi yang nyaman.
  4. Bukti Fisik (Tangible)
    Berhubungan dengan daya tarik fasilitas fisik, peralatan/perlengkapan yang
    lengkap, dan material yang digunakan perusahaan bersih, serta penampilan
    dari karyawan rapi.
    Berdasarkan definisi diatas, kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai
    penilaian tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas
    kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keingininan konsumen sebagai hasil dari
    kinerja pelayanan yang sesuai dengan harapan konsumen. Loyalitas konsumen
    dapat diukur, dipahami dan dijadikan sebagai suatu hasil yang baik untuk
    kepentingan peningkatan kualitas layanan jasa yang diberikan kepada pelanggan,
    baik pelanggan yang baru pertama kali maupun pelanggan yang sudah berulang-
    ulang menggunakan jasa tersebut. Perusahaan jasa dan pelayanan lebih
    meningkatkan kualitas proses, karena konsumen biasanya terlibat langsung dalam
    30
    proses tersebut. Sedangkan perusahaan yang menghasilkan produk lebih
    menekankan kepada hasil karena umumnya konsumen tak terlibat pada prosesnya

Definisi Kualitas Layanan


Menurut Lewis dan Booms yang dikutip oleh Tjiptono (2016:180) kualitas
jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai
dengan ekspetasi konsumen. Berdasarkan definisi ini, kualitas layanan ditentukan
oleh kemampuan perusahaan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen
sesuai dengan ekspetasi konsumen. Tjiptono dalam Sunyoto (2015) mengatakan
bahwa kualitas atau mutu dalam industri jasa pelayanan adalah suatu penyajian
produk atau jasa sesuai ukuran yang berlaku di tempat produk tersebut diadakan
dan penyampaiannya setidaknya sama dengan yang diingkan dan diharapkan oleh
konsumen. Menurut Kotler dan Keller (2016:156) kualitas layanan adalah totalitas
fitur dan karakter suatu produk atau pelayanan yang memiliki kemampuan untuk
memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat.
Berdasarkan beberapa definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa
kualitas pelayanan merupakan suatu penyajian produk atau jasa yang sesuai
dengan standar perusahaan dan diupayakan dalam penyampaian produk dan jasa
tersebut sama dengan apa yang diharapkan tamu restoran atau melebihi ekspetasi
tamu.
Gummeson yang dikutip oleh Tjiptono (2017:201) mengidentifikasi
sumber kualitas yang menentukan kualitas pelayanan yaitu:

  1. Production Quality
    Kemampuan suatu produk untuk menjalankan fungsinya yaitu daya tahan
    keandalan, kecepatan beroperasi dan perbaikan. Kualitas pelayanan
    ditentukan oleh kerjasama antara departemen produksi/operasi dan
    departemen pemasaran.
    Delivery Quality
    Kualitas pelayanan dapat ditentukan oleh janji perusahaan terhadap
    konsumen. Misalnya melakukan proses penyampaian produk secara tepat dan
    benar sehingga mampu memuaskan pelanggan.
  2. Design Quality
    Kualitas pelayanan diintegrasikan dalam setiap langkah proses, bukan hanya
    diuji dibagian akhir proses, maksudnya ditentukan sejak pertama kali jasa
    tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
  3. Relationship Quality
    Pelanggan memiliki kepercayaan, kepuasan dan komitmen dalam melakukan
    hubungan dengan perusahaan. Kualitas pelayanan ditentukan oleh relasi
    professional dan sosial antara perusahaan dan stakeholder (konsumen,
    pemasok, perantara, pemerintah, dan karyawan)

Karakteristik Layanan


Kotler (2016) mengemukakan bahwa jasa atau layanan memiliki empat
karakteristik utama yaitu:

  1. Intangibility (tidak berwujud)
    Jasa atau layanan berbeda secara signifikan dengan barang fisik. Bila barang
    merupakan suatu objek, benda, material yang bisa dilihat, disentuh dan dirasa
    dengan panca indra, maka jasa atau layanan justru merupakan suatu
    perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja (performance) atau usaha
    yang sifatnya abstrak. Bila barang dapat dimiliki, maka jasa/layanan
    cenderung hanya dapat dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki (non-
    ownership). Jasa juga bersifat intangible, artinya jasa tidak dapat dilihat,
    dirasa, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Seorang
    konsumen jasa tidak dapat menilai hasil dari sebuah jasa sebelum ia
    mengalami atau mengkonsumsinya sendiri.
  2. Inseparability (tidak terpisahkan)
    Barang biasanya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual, baru
    dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian
    diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Interaksi
    antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran
    jasa layanan bersangkutan. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dari
    jasa/layanan bersangkutan. Hubungan antara penyedia jasa dan pelanggan ini,
    efektivitas staff layanan merupakan unsur kritis. Implikasinya, sukses
    tidaknya jasa atau layanan bersangkutan ditunjang oleh kemampuan
    organisasi dalam melakukan proses rekrutmen dan seleksi, penilaian kinerja,
    system kompensansi, pelatihan, dan pengembangan karyawan secara efektif.
  3. Variability
    Layanan sangat bervariasi. Kualitas tergantung pada siapa yang menyediakan
    mereka dan kapan dan dimana kualitas layanan disediakan. Ada beberapa
    penyebab variabilitas layanan dimana jasa diproduksi dan dikonsumsi secara
    bersama-sama sehingga membatasi control kualitas. Permintaan yang tidak
    tetap membuat sulit untuk memberikan produk yang konsisten dan tetap
    selama permintaan tersebut berada dipuncak. Tingginya tingkat kontak antara
    penyedia layanan dan tamu, berarti bahwa konsistensi produk tergantung
    pada kemampuan penyedia layanan dan kinerja pada saat yang sama. Seorang
    tamu dapat menerima pelayanan yang sangat baik selama satu hari dan
    mendapat pelayanan dari orang yang sama keesokan harinya.
  4. Perishability (tidak tahan lama)
    Perishability berarti bahwa jasa atau layanan adalah komoditas yang tidak
    tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu yang akan
    datang, dijual kembali, atau dikembalikan. Permintaan jasa juga bersifat
    fluktuasi dan berubah, dampaknya perusahaan jasa seringkali mengalami
    masalah sulit. Oleh karena itu perusahaan jasa merancang strategi agar lebih
    baik dalam menjalankan usahanya dengan menyesuaikan permintaan dan
    penawaran.
    Kotler dan Amstrong (2016:261) mengemukakan ada 3 (tiga) karakteristik
    pelayanan, yaitu:
    a. Lebih bersifat tidak berwujud daripada berwujud (more intangible than
    tangible)
    b. Produksi dan konsumsi bersamaan waktu ( simultaneous production and
    consumption).
    c. Kurang memiliki standard an keseragaman (less standardized and uniform)

Definisi Layanan


Layanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan maupun
penyedia jasa kepada konsumen atau sebuah proses pemenuhan kebutuhan
melalui aktivitas orang lain secara langsung. Menurut Sunyoto (2016) terdapat
beberapa pengertian jasa di antaranya adalah jasa itu sebagai deeds (tindakan,
prosedur, aktivitas); proses – proses, dan unjuk kerja yang yang intangible. Jasa
dari sisi penjualan dan konsumsi secara kontras dengan barang: baranng adalah
suatu objek yang tangible yang dapat diciptakan dan dijual atau digunakan setelah
selang waktu tertentu. Menurut Lovelock dan Wirtz (2016:37) yang menyatakan
Layanan adalah kegiatan ekonomi yang ditawarkan oleh salah satu pihak kepada
pihak lain. Seringkali berbasis waktu, kinerja membawa hasil yang diingkan ke
penerima, benda atau asset lainnya adalah tanggung jawab pembeli. Jasa adalah
intangible (seperti kenyamanan, hiburan, kecepatan, kesenangan, dan kesehatan)
dan perishable (jasa tidak mungkin disimpan sebagai persediaan yang siap dijual
atau dikonsumsi pada saat diperlukan) jasa diciptakan dan dikonsumsi secara
simultan.
Pelayanan ialah suatu proses keseluruhan sebuah pembentukan citra dari
perusahaan, baik dengan melalui media berita, membentuk sebuah budaya
perusahaan secara internal, ataupun melakukan sebuah komunikasi mengenai
pandangan perusahaan pada para pemimpin pemerintahan serta public yang
lainnya yang berkepentingan. Pelayanan yang diberikan menyangkut segala usaha
yang dilakukan oleh dilakukan oleh seseorang dalam rangka guna untuk mencapai
tujuan agar bisa mendapatkan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan.
Menurut Kotler (2016:83), “Pelayanan adalah setiap tindakan atau kinerja
yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat
diakaitkan atau tidak dikaitkan pada satu prroduk fisik. Pelayanan merupakan
perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen
dem tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri. Kotler juga mengakatakan
bahwa perilaku tersebutdapat terjadi pada saat sebelum dan sesudah terjadinya
taransaksi. Pada umumnya pelayanan yang bertaraf tinggi akan mengahsilkan
kepuasan yang tinggi serta pembelian ulang yang lebih sering. Menurut Lovelock
dalam (Tjiptono 2084:54), “tingkat keunggulan yang diharapkan dan
pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi
harapan pelanggan”. Tingkat kalitas pelayanan tidak dapat dinilai berdasarkan
sudut pandang konsumen. Karena itu dalam merumuskan strategi dan program
pelayanan pasar bunder harus berorientasi pada kepentingan konsumen
dengan memperhatikan komponen kualitas konsumen. Sedangkan Atep Adya
Barata (2015:23), “pelayanan adalah daya tarik yang besar bagi para pelanggan
sehingga korporat bisnis seringkali menggunakannya sebagai alat untuk menarik
minat pelanggan”.
Sunyoto (2016) menyatakan bahwa dalam jasa selalu ada aspek interaksi
antara pihak konsumen dan pemberi jasa, meskipun pihak – pihak yang terlibat
tidak selalu menyadari. Jasa juga bukan merupakan barang, akan tetapi jasa
adalah suatu proses atau aktivitas, dan aktivitas – aktivitas tersebut tidak
terwujud. Dari beberapa definisi diatas penulis menimpulkan bahwa pelayanan
adalah suatu jasa aktivitas yang ditawarkan kepada pihak lain dalam waktu itu
juga karena jasa tidak dapat disimpan dan tidak berwujud

Bauran Pemasaran


Bauran pemasaran merupakan bagian dari konsep pemasaran yang
mempunyai peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi konsumen untuk
membeli produk atau jasa yang ditawarkan. Kotler dan Armstrong (2017:17)
mendefinisikan baura pemasaran sebagai berikut, Marketing mix is the set of
tactical marketing tools that the firm blends to produce the response it wants in the
target market.Definisi tersebut menyatakan bahwa. Bauran pemasaran adalah
Consumer Characteristic (Karakteristik Konsumen) Budaya, sosial, pribadi 18
seperangkat alat pemasaran taktis diperusahaan memadukan dua menghasilkan
respon yang diinginkan dalam pasar sasaran.
Menurut Kotler dan Keller (2016:119) yaitu: Bauran Pemasaran
(marketing mix) adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan
untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Unsur-unsur
Bauran Pemasaran dapat digolongkan dalam empat kelompok pengertian
dari masing-masing variabel bauran pemasaran didefinisikan oleh Kotler dan
Armstrong (2018:79) sebagai berikut:

  1. Produk: adalah kombinasi barang dan jasa perusahaan menawarkan dua target
    pasar.
  2. Harga: adalah jumlah pelanggan harus dibayar untuk memperoleh produk.
  3. Tempat: adalah mencakup perusahaan produk tersedia untuk menargetkan
    pelanggan.
  4. Promosi: adalah mengacu pada kegiatan berkomunikasi kebaikan produk dan
    membujuk pelanggan sasaran.
    Beda halnya dengan unsur-unsur bauran pemasaran jasa yang dijelaskan
    oleh Rambat Lupiyoadi (2015:91) sebagai berikut:
  5. Produk (product) : adalah keseluruhan konsep objek atau proses yang
    memberikan sejumlah nilai kepada konsumen.
  6. Harga (price) : adalah sejumlah pengorbanan yang haruis dibayar oleh
    pelanggan untuk memperoleh produk atau jasa.
  7. Tempat atau salurah distribusi (place) : yaitu hubungan dengan dimana
    perusahaan melakukan operasi atau kegiatannya.
  8. Promosi (promotion) : merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk
    mengkomunikasikan manfaat produk dan sebagi alat untuk mempengaruhi
    konsumen dalam kegiatan pembelian atau penggunaan jasa sesuai dengan
    kebutuhan.
  9. Orang (people) : merupakan orang-orang yang terlibat langsung dan saling
    mempengaruhi dalamn proses pertukaranj dari produk jasa.
  10. Proses (process) : adalah gabungan semua aktivitas, umumnya terdiri dari
    prosedur, jadwal pekerjaan, mekanisme, dan hal-hal ruton dimana jasa
    dihasilkan dan disampaikan kepada konsumen.
  11. Bukti atau lingkungan fisik perusahaan (physical evidence) : adalah tempat
    jasa diciptakan, tempat penyedia jasa dan konsumen berinteraksi, ditambah
    unsur berwujud apapun yang digunakan untuk mengkomunikasikan atau
    mendukung peranan jasa tersebut.
    Kotler dan Keller (2016:48) mengungkapkan bahwa bauran pemasaran
    tidak hanya mencakup 4p (product), harga (price), tempat (place), dan promosi
    (promotion), terdapat 4p lain dalam modern marketing mix terdiri
    dari people(orang), process (proses), programs (program) dan performance
    (kinerja).
  12. Produk (Product)
    Produk (product), adalah mengelola unsur produk termasuk perencanaan
    dan pengembangan produk atau jasa yang tepat dipasarkan dengan
    mengubah produk atau jasa yang ada dengan menambah dan mengambil
    tindakan yang lain yang memperngaruhi bemacam-macam produk atau
    jasa.
  13. Harga(Price)
    Harga (price), adalah suatu system manajemen perusahaan yang
    akan menentukan harga dasar yang tepat bagi produk atau jasa dan
    harus menentukan strategi yang menyangkut potongan harga, pembayaran
    ongkos angkut dan berbagai variable yang bersangkutan
  14. Lokasi (Place)
    Lokasi (place), yakni memilih dan mengelola saluran perdagangan
    yang dipakai untuk menyalurkan produk atau jasa dan juga untuk melayani
    pasar sasaran, serta mengembangkan system distribusi untuk pengiriman
    dan perniagaan produk secara fisik.
  15. Promosi (Promotion)
    Promosi (promotion), adalah suatu unsur yang digunakan untuk
    memberitahukan dan membujuk pasar tentang produk atau jasa yang baru
    pada perusahaan melalui iklan, penjualan pribadi, promosi penjualan,
    maupun publikasi.
  16. Orang (People)
    Orang (people), adalah semua pelaku yang memainkan peranan penting
    dalam penyajian jasa sehingga dapat mempengaruhi persepsi pembeli.
    Elemen dari orang adalah pegawai perusahaan, konsumen, dan konsumen
    lain. Semua sikap dan tindakan karyawan, cara berpakaian karyawan dan
    15
    penampilan karyawan memiliki pengaruh terhadap keberhasilan
    penyampaian jasa.
  17. Proses (Process)
    Proses (process), adalah semua prosedur actual, mekanisme, dan aliran
    aktivitas yang digunakan untuk menyampaikan jasa. Elemen proses ini
    memiliki arti sesuatu untuk menyampaikan jasa. Proses dalam jasa
    merupakan faktor utama dalam bauran pemasaran jasa seperti pelanggan
    jasa akan senang merasakan system penyerahan jasa sebagai bagian jasa
    itu sendiri.
  18. Program (Programs)
    Program (programs) mencerminkan semua kegiatan konsumen diarahkan
    perusahaan. Ini meliputi 4p serta berbagaikegiatan pemasaran lain yang
    mungkin tidak cocok sebagai tampilan lama pemasaran. Terlepas dari
    apakah merekaonline atau offline, tradisional atau non-tradisional,
    kegiatan ini harus diintegrasikan sehingga seluruh mereka lebih
    besardaripada jumlah bagian mereka dan mereka mencapai beberapa
    tujuan bagi perusahaan.
  19. Kinerja (Performance)
    Kinerja sebagai pemasaran holistik, yaitu untuk menangkap berbagai
    ukuran hasil yang mungkin yang memilikiimplikasi finansial dan
    nonfinansial (profitabilitas serta merek dan ekuitas pelanggan) dan
    implikasidi luar perusahaan itu sendiri (tanggung jawab sosial, hukum,
    etika, dan lingkungan)

Pengaruh kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan


Persaingan dunia bisnis semakin ketat dan tinggi, banyak perusahaan
mulai bersaing dengan cara memberikan kepuasan kepada pelanggan. Hal
ini bertujuan agar pelanggan tersebut memiliki kesetiaan yang cukup
tinggi terhadap produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan
tersebut. Apabila terdapat hubungan yang positif antara kepuasan
pelanggan dengan loyalitas pelanggan dalam suatu perusahaan, maka
dengan adanya kepuasan pelanggan yang cukup tinggi terhadap suatu
produk atau jasa akan sangat berpengaruh terhadap terciptanya loyalitas
pelanggan. Jadi loyalitas pelanggan merupakan fungsi dari kepuasan
pelanggan.
Hasil penelitian Kususmasasti dan Hadiwidjojo, (2017) menyatakan
bahwa kepuasan pelanggan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
loyalitas pelanggan. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Wahyuni dan Irfani,
(2017) hasil ini menyatakan kepuasan pelanggan mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan

Pengaruh sales promotion terhadap loyalitas pelanggan


Sales promotion bisa membantu mempertahankan minat konsumen
terhadap brand. Sales promotion yang menarik dapat membuat konsumen
merasa memiliki keuntungan ketika membeli produk dibandingkan brand
lainnya (Fiona 2019). Promosi penjualan bertujuan untuk mendorong
pembelian produk yang lebih banyak, meningkatkan keinginan untuk
membeli diantara non-pengguna dan menarik konsumen yang beralih dari
merk pesaing (Alvian and Prabawani 2020).
Selain itu promosi bertujuan untuk memberikan informasi,
mendiferensiasikan sebuah produk, meningkatkan penjualan, menstabilkan
penjualan, dan memperjelas sebuah nilai produk dan mempertahankan
konsumen lama (Devi and Jatra 2020). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Sales Promotion berpengaruh terhadap Loyalitas Pelanggan
(Ristiani et al. 2018).

Pengaruh citra merek terhadap loyalitas konsumen


Citra atau kesan yang muncul di dalam kepala tersebut akan
mempengeruhi preferensi dan keputusan pembelian oleh konsumen (Utami
et al. 2017). Membangun Citra merek yang kuat dapat menjadi senjata
untuk unggul dari kompetitor dan memenangkan persaingan bisnis. Untuk
dapat membangun citra yang kuat dibutuhkan strategi yang tepat, waktu
yang lama, dan biaya yang besar. Tetapi ketika citra berhasil dibentuk
akan menjadi salah satu aset yang berharga bagi merek. Citra tersebut
yang akan membentuk loyalitas konsumen sehingga bisnis semakin besar
dan berkembang (Pangemanan et al. 2020).
Hasil penelitian Hangestu dan Iskandar, (2017) menyatakan bahwa
citra merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan.
Hasil ini diperkuat oleh penelitian Wahyuni dan Irfani, (2017) hasil ini
menyatakan citra merek mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
loyalitas pelanggan

Pengaruh citra merek terhadap kepuasan konsumen


Kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan dimana konsumen
merasa senang atau kecewa terhadap suatu produk. Konsumen akan
mengatakan puas akan suatu barang apabila dia mempunyai persepsi baik
terhadap suatu produk. Kepuasaan akan terjadi jika konsumen
mempersepsikan bahwa produk tersebut memiliki tiga indikator citra
merek yang baik, terdiri dari citra pembuat, citra produk, citra pemakai.
Konsumen akan merasa puas dengan produk yang dibeli sesuai dengan apa
yang diinginkan dan harapan dari konsumen. Banyak perusahaan yang
dengan sengaja memberikan kepuasan pada merek, guna untuk
meningkatkan keuntungan atau laba bagi perusahaan. Oleh karena itu,
pembentukan merek pada produk sangat diperlukan, karena itu merupakan
keputusan sikap atau perilaku pada konsumen. Jadi citra merek yang
positif akan menyebabkan terjadinya kepuasan pada pelanggannya.
Hasil penelitian Galang, (2018) menyatakan bahwa citra merek
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Hasil ini
diperkuat oleh penelitian Yana, (2015) hasil ini menyatakan citra merek
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

Pengaruh kualitas produk terhadap loyalitas pelanggan


Konsumen senantiasa melakukan penilaian terhadap kinerja suatu
produk, hal ini dapat dilihat dari kemampuan produk menciptakan kualitas
produk dengan segala spesifikasinya sehingga dapat menarik minat
konsumen untuk melakukan pembelian terhadap produk tersebut. Kualitas
yang diberikan suatu produk dapat mempengaruhi keputusan pembelian
konsumen terhadap produk yang ditawarkan. Hal ini dapat diartikan
bahwa semakin baik kualitas produk maka semakin tinggi loyalitas
konsumen. Kualitas menjadi kunci utama agar produk dikenal dan
dipercaya masyarakat luas (Lesmana 2019). Peningkatan kualitas akan
mendorong loyalitas konsumen (Kususmasasti and Andarwati Hadiwidjojo
2017).
Hasil penelitian Lestari dan Yulianto, (2018) menyatakan bahwa
kualitas produk berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas
pelanggan. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Kususmasasti dan
Hadiwidjojo, (2017) hasil ini menyatakan kualitas produk mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pelangga

Pengaruh kualitas produk terhadap kepuasan pelanggan


Dinamika dalam persaingan usaha yang semakin pesat dalam
menghasilkan dan menjual produk berkualitas, memberikan tantangan
tersendiri bagi perusahaan agar dapat memberikan peluang untuk dapat
bertahan dimasa yang akan datang. Perusahaan harus meningkatkan
kualitas produknya agar konsumen merasakan sebuah kepuasan terhadap
produk tersebut. Kualitas produk memiliki arti penting bagi perusahaan
karena tanpa adanya kualitas produk, perusahaan tidak akan dapat
melakukan apapun dari usahanya.
Kualitas produk dapat mempengaruhi kepuasan konsumen.
Kepuasan tergantung oleh kualitas produk perusahaan, karena jika
semakin tinggi tingkat kualitas poduk maka semakin tinggi tingkat
kepuasan konsumen yang dihasilkan (Kotler et al. 2016). Hasil penelitian
terdahulu menyatakan bahwa Variabel kualitas produk berpengaruh
signifikan terhadap Kepuasan Pelanggan (Aditia et al. 2020). Kualitas
produk akan memberikan cerminan keberhasilan produsen dalam
menghasilkan produk tersebut. Pada dasarnya dalam membeli suatu
produk, seorang pelanggan tidak hanya membeli produk, akan tetapi
pelanggan juga membeli manfaat atau keunggulan yang dapat diperoleh
dari produk yang dibelinya. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin baik
kualitas produk maka semakin tinggi loyalitas konsumen

Sales Promotion


Sales Promotion merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu
program pemasaran. Promosi penjualan pada hakikatnya adalah semua
kegiatan yang dimaksudkan untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan
suatu produk atau jasa kepada pasar sasaran untuk segera melakukan suatu
Tindakan (Alvian and Prabawani 2020).
Menurut Kotler (2015) sales promotion adalah “berbagai kumpulan
alat-alat insentif, yang sebagian besar berjangka pendek, yang dirancang
untuk merangsang pembelian produk atau jasa tertentu dengan lebih cepat
dan lebih besar oleh konsumen atau pedagang. Philip Kotler dan Gary
Armstong (2008:117) Kegiatan promosi produk dapat dikelompokkan
menjadi empat macam kegiatan, yaitu

Periklanan (advertising). Merupakan kegiatan promosi yang banyak
dilakukan. Kegiatan promosi ini dilakukan secara tidak langsung, yaitu
melalui media cetak, media elektronik atau media lainnya (misalnya
papan klame, layar, gambar temple dan sebagainya).

  1. Personal selling, adalah komunikasi langsung (tatap muka) antara
    penjual dan calon pelanggan untuk memperkenalkan suatu produk
    kepada calon pelanggan dan membentuk pemahaman pelanggan
    terhadap produk sehingga mereka kemudian akan mencoba dan
    membelinya.
  2. promosi penjualan (Sales Promotion), dapat dibentuk kombinasi dari
    pendekatan langsung dan melalui media komunikasi massa, contohnya
    pameran atau ekshibisi dengan memamerkan contoh produk ataupun
    pembagian brosur kepada pengunjung.
  3. Pemasaran langsung (direct marketing), adalah hubungan langsung
    dengan konsumen individual yang ditargetkan secara cermat untuk
    memperoleh respons segera dan membangun hubungan pelanggan yang
    langgeng, penggunaan surat.
    Dari definisi-definisi diatas ditarik kesimpulan bahwa sales promotion
    adalah alat-alat insentif yang dipakai untuk merangsang pembelian atau
    penjualan suatu produk atau jasa dengan lebih cepat dan lebih besar yang
    biasanya bersifat jangka pendek. Indicator yang digunakan dalam penelitian
    ini adalah : frekuensi promosi, Kualitas Promosi, Kuantitas Promosi, Waktu
    Promosi dab Ketepatan Promosi (Kotler, Philip dan Keller, 2012)

Citra Merek


Citra merek merupakan petunjuk yang digunakan oleh konsumen untuk
mengevaluasi produk ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
suatu produk. Terdapat kecenderungan bahwa konsumen akan memilih
produk yang telah dikenal baik melalui pengalaman menggunakan produk
maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui berbagai sumber. Citra
merek menurut Kotler dan Keller (2016) adalah persepsi konsumen tentang
suatu merek sebagai refleksi dari asosiasi yang ada pada pikiran konsumen.
Citra merek merupakan asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika
mengingat suatu merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat
muncul dalam bentuk pemikiran dan citra tertentu yang dikaitkan dengan
suatu merek (Pangemanan et al. 2020).
Citra merek tersusun dari asosiasi merek, bahwa asosiasi merek adalah
apasaja yang terkait dengan memori terhadap merek. Asosiasi merek
memiliki tingkat kekuatan tertentu dan akan semakin kuat seiring dengan
bertambahnya pengalaman konsumsi atau penggalian informasi dan akan
bertambah kuat jika didukung oleh jaringan lainnya. Sehingga citra merek ini
penting bagi konsumen untuk menjatuhkan pilihannya dalam membeli sebuah
produk (Haryantini 2019).
Citra merek disimpulkan sebagai representasi dari keseluruhan persepsi
terhadap merek dan dibentuk untuk informasi dan pengalaman masa lalu
terhadap merek itu. Citra merk diukur dengan indicator produk berkualitas,
diproduksi perusahaan terpercaya dan merek mudah didapatkan (Keller,
2013:72)

Kualitas Produk


Produk memiliki arti penting bagi perusahaan karena tanpa adanya
produk, perusahaan tidak akan dapat melakukan apapun dari usahanya.
Pembeli akan merasa cocok, karena itu produk harus disesuaikan dengan
keinginan ataupun kebutuhan pembeli agar pemasran produk dapat berhasil.
Dengan kata lain, pembuatan produk lebih baik diorientasikan pada keinginan
pasar atau selera konsumen (Kususmasasti and Andarwati Hadiwidjojo
2017).
Kualitas produk adalah kemampuan suatu produk atau jasa untuk
melaksanakan fungsinya dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti
keandalannya, daya tahan yang dimilikinya, nilai kemudahannya,
kebutuhannya akan perbaikan, serta nilai-nilai lainnya yang juga perlu
diperhatikan (Lestari and Yulianto 2018). Sedangkan menurut Kotler dan
Amstrong kualitas produk merupakan salah satu sarana positioning utama
pasar (Kotler and Keller 2012). Kualitas produk mempunyai dampak
langsung pada kinerja produk atau jasa, oleh karena itu kualitas berhubungan
erat dengan loyalitas pelanggan (Kususmasasti and Andarwati Hadiwidjojo
2017).
Sifat khas mutu suatu produk yang handal harus mempunyai dimensi,
karena harus member kepuasan dan nilai manfaat yang besar bagi konsumen
dengan melalui berbagai cara. Menurut Sviokla, Kualitas memiliki delapan
dimensi pengukuran yang terdiri atas aspek-aspek sebagai berikut :

  1. Perfomance, Kinerja di sini merujuk pada karakter produk inti yang
    meliputi merek, atribut-atribut yang dapat diukur, dan aspek-aspek
    kinerja individu. Kinerja produk biasanya didasari oleh preferensi
    subjektif pelanggan yang pada dasarnya bersifat umum.
  2. Features, yaitu aspek yang berguna untuk menambah fungsi dasar,
    berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan pengembangannya.
  3. Reliability, hal yang berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan
    suatu barang berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan.
  4. Canformance, hal ini berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap
    spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan
    pelanggan
  5. Durability, Yaitu suatu refleksi umur ekonomis berupa ukuran daya
    tahan atau masa pakai barang.
  6. Servieability. Yaitu karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan,
    kompetensi, kemudahan, dan akurasi dalam memberikan layanan untuk
    perbaikan barang.
  7. Asthetics, merupakan karakterisitik yang bersifat subyektif mengenai
    nilai estetika yang berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi
    dari preferensi individual.
  8. Percived quality, Konsumen tidak selalu memiliki informasi lengkap
    mengenai atribut-atribut produk. Namun demikian, biasanya konsumen
    memiliki informasi tentang produk secara tidak langsung.
    Kualitas produk diukur sejauh mana produk tersebut bisa memuaskan
    pelangganya. Kualitas produk disimpulkan sebagai ciri dan karakteristik
    suatu barang atau jasa yang berpengaruh pada kemampuannya untuk
    memuaskan kebutuhan yang dinyatakan maupun tersirat. Indikator kualitas
    produk adalah kesesuaian spesifikasi produk, kehandalan produk, daya tahan
    produk dan kemudahan produk (Tjiptono dkk. 2008:68)

Kepuasan Pelanggan


Kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan konsumen setelah
membandingkan antara apa yang dia terima dan harapannya (Wahyuni and
Irfani 2017). Seorang pelanggan, jika merasa puas dengan nilai yang
diberikan oleh produk atau jasa, sangat besar kemungkinannya menjadi
pelanggan dalam waktu yang lama. Kepuasan pelanggan merupakan faktor
terpenting dalam berbagai kegiatan bisnis. Kepuasan pelanggan adalah
tanggapan konsumen terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara
harapan yang sebelumnya dengan kinerja produk yang dirasakan (Husain and
Sani 2020).
Kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan bahwa harapannya telah
terpenuhi atau terlampaui (Kotler et al. 2016). Kepuasan pelanggan
merupakan anggapan pelanggan bahwa dengan menggunakan suatu produk
perusahaan tertentu dan harapannya telah terpenuhi. Kepuasan menurut
(Kotler and Keller 2012) adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang
muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja
atau hasil suatu produk dan harapan- harapannya. Kepuasan pelanggan inilah
yang menjadi dasar menuju terwujudnya pelanggan yang loyal atau setia.
Untuk menentukan tingkat kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor
utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan. Menurut Lupiyoadi (2001:
158) ada lima faktor tersebut adalah:

  1. Kualitas produk. Konsumen akan merasa puas bila hasil evaluasi
    mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
  2. Kualitas pelayanan. Konsumen akan merasa puas bila mereka
    mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang
    diharapkan.
  3. Emosional. Konsumen akan merasa bangga dan mendapat keyakinan
    bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk
    atau jasa dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat
    kepuasan yang lebih tinggi.
  4. Harga. Produk atau jasa yang mempunyai kualitas yang sama tetapi
    menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih
    tinggi kepada konsumennya.
  5. Biaya. Konsumen yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau
    tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk dan jasa
    cenderung puas terhadap produk atau jasa itu.
    Dalam mengevaluasi kualitas pelayanan umumnya pelanggan
    menggunakan beberapa atribut factor (Kotler and Bes 2015) berikut:
  6. Bukti langsung (tangibles) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,
    pegawai, dan sarana komunikasi.
  7. Keandalan (reliability) yakni kemampuan memberikan pelayanan
    yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
  8. Daya tanggap (responsibility) yaitu keinginan para staff dan karyawan
    untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan
    tanggap
  9. Jaminan (assurances) mencakup pengetahuan, kemampuan,
    kesopanan, kemampuan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para
    staff, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan.
  10. Empati (emphaty): meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
    komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan
    para pelanggan.
    Kesimpulan yang dapat diambil dari definisi-definisi pengertian
    kepuasan pelanggan di atas adalah suatu tanggapan emosional pada evaluasi
    terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa. Dalam penelitian ini
    untuk mengevaluasi kepuasan pelanggan digunakan factor kualitas
    pelayanan yang terdiri dari 5 dimensi kualitas pelayanan yang terdiri dari
    bukti langsung (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap
    (responsibility), jaminan (assurances) dan empati (emphaty)

Loyalitas Pelanggan


Customer loyalty atau loyalitas pelanggan dalam menikmati Produk
dan Layanan yang digunakan, customer loyal akan setia pada brand, serta
Produk dan Layanan yang digunakan (Haryantini 2019). Loyalitas pelanggan
adalah kecenderungan pelanggan untuk membeli sebuah produk atau
menggunakan jasa yang diberikan oleh suatu perusahaan dengan tingkat
konsistensi yang tinggi (Kususmasasti and Andarwati Hadiwidjojo 2017).
Loyalitas pelanggan akan menjadi kunci sukses tidak hanya dalam jangka
pendek tetapi keunggulan bersaing secara berkelanjutan. Hal ini karena
loyalitas pelanggan memiliki nilai strategik bagi perusahaan. Imbalan dari
loyalitas bersifat jangka panjang dan kumulatif. Jadi semakin lama loyalitas
seorang pelanggan, semakin besar laba yang dapat diperoleh perusahaan dari
seorang konsumen (Lestari and Yulianto 2018).
Loyalitas pelanggan adalah komitmen pelanggan bertahan secara
mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang
produk atau jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun
pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk
menyebabkan perubahan perilaku (Hengestu and Iskandar 2017). Definisi
lain menyatakan bahwa loyalitas pelanggan adalah komitmen pelanggan
terhadap suatu merek toko, atau pemasok, berdasarkan sikap yang sangat
positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten (Lestari and
Yulianto 2018).
Aspek-aspek loyalitas pelanggan yaitu pembelian ulang, komitmen
pelanggan terhadap produk/jasa, dan rekomendasi dari mulut ke mulut
(Haryantini 2019). sehingga dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan
merupakan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi
dimana mewajibkan pembeli membeli paling sedikit dua kali dalam selang
waktu tertentu. indikator loyalitas pelanggan adalah Retensi Pembelian,
Pembelian Berulang, Merekomendasikan dan Merek Pilihan Utama (Kotler
and Keller 2012)

Promosi (Promotion)


Didalam sistem bauran pemasaran, promosi merupakan komponen
penting ke empat setelah produk, harga, dan tempat. Jika ke tiga komponen
penting bauran pemasaran lebih berfokus pada kegiatan marketing di dalam
perusahaan serta rekannya dalam pemasaran, hal ini sedikit berbeda dengan
komponen promosi. Dalam kegiatan promosi perusahaan dapat berkomunikasi
dengan pihak luar yaitu mereka yang berpotensi untuk menjadi konsumen, dengan
tujuan menarik perhatian agar produk perusahaan dapat lebih dikenal.
Menurut Stanton (1991) promosi adalah memberikan informasi kepada,
menghimbau serta mempengaruhi khalayak ramai. Sementara Asri (1986)
mengemukakan promosi merupakan segala usaha untuk memperkenalkan produk
kepada calon konsumen dan membujuk mereka agar membeli, serta mengingatkan
kembali konsumen lama agar melakukan pembelian ulang. Selain itu promosi
juga merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi
tentang barang atau jasa yang di jual dengan maksud untuk menambah pola
prilaku konsumen.
Sedangkan Wiliam Shoell (1993, dalam Alma 2009) menyatakan bahwa
promosi ialah usaha yang dilakukan oleh marketer, berkomunikasi dengan calon
audience. Komunikasi adalah sebuah proses membagi ide, informasi, atau
perasaan audience.
Alma (2009) dalam bukunya mengatakan bahwasanya promosi adalah
sejenis komunikasi yang memberi penjelasan yang meyakinkan calon konsumen
tentang barang dan jasa, dengan tujuan memperoleh perhatian, mendidik,
mengingatkan, serta meyakinkan calon konsumen. Hurriyati (2008)
mengemukakan bahwa tujuan utama dari promosi, yaitu:

  1. Menginformasikan (informing), dimana dapat berupa menginformasikan pasar
    mengenai keberadaan suatu produk baru, memperkenalkan cara pemakaiaan
    produk, menyampaikan perubahan harga produk, menjelaskan cara kerja,
    meluruskan kesan yang keliru, mengurangi ketakutan atau kekhawatiran
    konsumen, serta membangun citra perusahaan.
  2. Membujuk konsumen sasaran (persuading), untuk membujuk pilihan merek,
    pengalihan kemerek tertentu, mengubah persepsi konsumen terhadap atribut
    produk, mendorong pembeli untuk melakukan pembelian disaat itu juga, serta
    mendorong pembeli untuk menerima kunjungan waraniaga (salesmen).
  3. Mengingatkan (remainding), dapat terdiri atas mengingatkan pembeli bahwa
    produk yang bersangkutan dibutuhkan dalam waktu dekat, mengingatkan
    pembeli atas tempat yang menjual produk perusahaan, memberitahu pembeli
    tetap ingat walaupun tidak ada kampanye iklan, serta menjaga agar ingatan
    pertama pembeli jatuh pada produk perusahaan.
    Berdasarkan berbagai definisi serta tujuan promosi di atas dapat di
    simpulkan bahwasanya promosi merupakan suatu kegiatan yang tercakup di
    dalam pemasaran dimana kegiatan ini adalah segala jenis upaya yang dilakukan
    oleh pemasar dalam mengkomunikasikan informasi seputar nilai perusahaan dan
    produk kepada konsumen sasaran dengan tujuan memperoleh perhatian,
    pembelajaran, mempengaruhi, meyakinkan, serta mengingatkan konsumen
    sasaran yang selanjutnya akan memberi pengaruh pada peningkatan penjualan.
    16
    Alma (2009) dalam bukunya menyatakan bahwa dengan kegiatan
    promosi yang baik maka dapat mempengaruhi konsumen mengenai dimana dan
    bagaimana konsumen membelanjakan pendapatan mereka (Alma, 2009). Dalam
    kegiatan promosi sendiri terdapat tiga fungsi utama yang dipegang dalam kegiatan
    promosi, yaitu (Asri, 1986) mencari serta mendapatkan perhatian (attention) dari
    konsumen sasaran, mencari dan menumbuhkan interest pada diri konsumen
    sasaran, mengembangkan rasa ingin (desire) pada konsumen sasaran untuk
    memiliki barang yang di tawarkan. Meskipun secara umum bentuk-bentuk
    promosi memiliki fungsi yang sama, akan tetapi bentuk-bentuk tersebut dapat
    dibedakan berdasarkan tugas-tugas khususnya. Dimana tugas-tugas yang
    dimaksud tersebut sering disebut dengan bauran promosi (promotion mix) yang
    terdiri dari: personal selling, mass selling, promosi penjualan, public relation,
    serta direct marketing (Hurriyati, 2008).
    Kotler dan Armstrong (2006) mengemukakan bahwa bauran promosi
    merupakan suatu paduan spesifik periklanan, promosi penjualan, hubungan
    masyarakat, penjualan personal, dan sarana pemasaran langsung yang digunakan
    perusahaan untuk mengomunikasikan nilai konsumen secara persuasive dan
    membangun hubungan konsumen.
    Lebih jauh Peter D. Bennett (1995, dalam Kotler dan Armstrong, 2006)
    mendefinisikan lima sarana promosi utama dalam bauran promosi sebagai berikut:
  4. Periklanan (advertising) merupakan semua bentuk terbayar presentasi
    nonpribadi dan promosi ide, barang, dan jasa dengan sponsor tertentu.
  5. Promosi penjualan (sales promotion) merupakan insentif jangka pendek
    untuk mendorong pembelian atau penjualan peroduk atau jasa.
  6. Hubungan masyarakat (public relations) merupakan membangun hubungan
    baik dengan berbagai kalangan untuk mendapatkan publisitas yang
    diinginkan, membangun citra perusahaan yang baik, dan menghadapi atau
    menangani rumor, berita, dan kejadian yang tidak menyenangkan.
  7. Penjualan personal (personal selling) merupakan presentasi pribadi yang
    dilakukan oleh wiraniaga perusahaan untuk tujuan penjualan dan membangun
    hubungan pelanggan.
  8. Pemasaran langsung (direct marketing) merupakan hubuangan langsung
    dengan konsumen individual yang ditargetkan secara cermat untuk
    memperoleh respon yang segera dan membangun hubungan pelanggan yang
    langgeng, misalnya penggunaan surat langsung, telepon, televisi respon
    langsung, e-mail, internet, dan sarana lain untuk berkomunikasi langsung
    dengan konsumen.
    Promosi yang baik akan memberikan keuntungan kepada produsen, dimana
    promosi akan menimbulkan goodwill terhadap merek sehingga usaha dengan
    goodwill yang besar akan lebih mudah dalam memperoleh modal. Selain itu
    promosi bukan hanya dapat menyebabkan peningkatan dalam hal penjualan
    produk saja melainkan dapat menyebabkan kestabilan dalam produksi, efek lain
    dari promosi ialah produsen akan terhindar dari persaingan berdasarkan harga,
    dimana dengan adanya promosi maka konsumen melakukan pembelian bukan
    berdasarkan harga saja, tetapi berdasarkan faktor lain yaitu ketertarikan konsumen
    akan mereknya

Tempat (Place)


Elemen marketing mix lainnya yang berada di bawah kendali perusahaan
yang mana sangat berkaitan erat dengan saluran distribusi ialah tempat. Lokasi
atau tempat dimana produk tersebut tersedia serta dengan mudah didapatkan oleh
konsumen menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya
penyaluran produk, hal ini dikarenakan dengan lokasi usaha yang strategis maka
akan memberikan pengaruh terhadap tingkat pengunjung terutama untuk jenis
bisnis kuliner. Hal ini senada dengan Rachmawati (2011) yang mengatakan
bahwasanya lokasi dapat dikatakan menentukan ramai atau tidaknya pengunjung,
lokasi usaha yang berada di pinggir jalan atau ditempat yang strategis cukup
menyedot pengunjung untuk sekadar mampir dan mencicipi hidangan dan konsep
yang ditawarkan.
Lebih jauh Rachmawati (2011) mengemukakan bahwa lokasi atau tempat
merupakan faktor yang penting dalam mencapai keberhasilan sebuah restoran,
yaitu menyangkut antara lain good visibility, easy access, convenience, curb side
appeal, parking. Keputusan saluran distribusi akan mempengaruhi dua hal, yaitu
jangkauan penjualan dan biaya

Harga (Price)


Harga merupakan elemen yang tidak dapat dikesampingkan dalam bisnis.
Bagi konsumen harga merupakan eleman yang seringkali menjadi bahan
pertimbangan dalam pembelian. Harga merupakan elemen dalam bauran
pemasaran yang paling fleksibel karena perubahan harga dapat dilakukan dengan
cepat guna menstimulasi permintaan ataupun merespon tindakan yang berasal dari
pesaing. Surya dan Setiyaningrum (2009) mengatakan bahwa pemasar
mengganggap harga sebagai elemen kunci dari bauran pemasaran dikarenakan
secara langsung harga berhubungan dengan pendapatan dan profit yang diperoleh
oleh perusahaan.
Asri (1986) menyatakan bahwa harga adalah suatu nilai tukar untuk
manfaat yang ditimbulkan oleh barang atau jasa tertentu bagi seseorang. Alma
(2009) mendefinisikan bahwa harga (price) merupakan nilai suatu barang yang
dinyatakan dengan uang. Kotler dan Armstong (2006) mengemukakan bahwa
harga merupakan jumlah semua nilai yang diberikan oleh konsumen untuk
mendapatkan keuntungan dari memiliki atau menggunkan suatu produk atau jasa.
Sementara Swastha (1990, dalam Lembang, 2010) mendefinisikan harga sebagai
sejumlah uang (ditambah beberapa produk) yang dibutuhkan untuk mendapatkan
sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya.
Lebih jauh lagi, Tjiptono (2000, dalam Rachmawati, 2011)
mendefinisikan harga sebagai satuan moneter atau ukuran lainnya termasuk
barang dan jasa lainnya yang ditukarkan agar memperoleh hak kepemilikan atau
pengguna suatu barang dan jasa. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat di
ketahui bahwa harga yang di bayarkan oleh konsumen untuk suatu barang
maupun jasa didalamnya telah mencakup produk beserta layanan yang diberikan
oleh penjual.
Empat indikator yang dapat digunakan untuk mencirikan harga antara
lain, yaitu: 1. Keterjangkauan harga, 2. Kesesuaian harga dengan kualitas produk,

  1. Daya saing harga, 4. Kesesuaian harga dengan manfaat (Stanton, 1998, dalam
    Lembang, 2010)

Produk (Product)


Dalam bauran pemasaran elemen penting yang pertama adalah produk,
dimana perencanaan strategi marketing mix bagi pemuasan kebutuhan dan
keinginan (need and wants) dari konsumen dalam bentuk produk.
Produk merupakan kumpulan atau sekumpulan atribut-atribut yang secara
bersama-sama memuaskan kebutuhan seseorang, baik yang kentara maupun tidak
seperti warna, pembungkusan, harga, prestis, manfaat dan sebagainya, dimana
secara utuh produk tidak hanya menyangkut pengertian fisiknya saja, melainkan
juga perlengkapan, pemasangan, manfaat, instruksi pemakaian, pembungkusan,
serta perawatanya, bahkan hingga merek serta kepastian tentang pelayanan setelah
pembelian atau jika produk tersebut adalah jasa maka sama sekali tidak
menyangkut ujud fisik (Asri, 1986).
Menurut Kotler dan Armstong (2006) produk merupakan semua hal yang
dapat ditawarkan kepada pasar yang meliputi objek-objek fisik, jasa, acara, orang,
tempat, organisasi, ide, ataupun bauran entitas-entitas ini dengan tujuan untuk
menarik perhatian, akuisisi, penggunaan, atau konsumsi yang dapat memuaskan
suatu keinginan ataupun kebutuhan. Jadi, produk dapat berupa manfaat tangible
maupun intangible yang dapat memuaskan konsumen. Produk merupakan
variabel yang penting dari bauran pemasaran karena jika produk yang ditawarkan
oleh perusahaan tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen maka
penjualan produk tersebut akan sulit dan daur hidup produk menjadi lebih singkat
(Surya dan Setiyaningrum, 2009)

Bauran Pemasaran (Marketing Mix)


Pemasaran secara luas didefinisikan sebagai proses social dan manajerial
dimana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang mereka butuhkan dan
inginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan yang lain, dalam konteks
bisnis yang lebih sempit, pemasaran mencakup menciptakan hubungan pertukaran
muatan nilai dengan konsumen yang menguntungkan (Kotler dan Armstrong,
2006).
Asri (1986) mengatakan pemasaran merupakan usaha yang terpadu untuk
mengembangkan rencana-rencana strategis yang diarahkan pada usaha pemuasan
kebutuhan dan keinginan pembeli, guna mendapatkan penjualan yang
menghasilkan laba. Sementara itu Kotler (2000) dalam Alma (2009) menyatakan
bahwa pengertian pemasaran dapat dilihat dalam 2 sudut pandang, yaitu:
marketing adalah proses dimana sesorang atau kelompok orang dapat memenuhi
need dan want melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran barang dan jasa.
Dari sudut pandang manajerial marketing merupakan proses merencanakan
kosepsi, harga, promosi, dan distribusi ide, menciptakan peluang yang
memuaskan individu dan sesuai dengan tujuan organisasi.
Berdasarkan pengertian pemasaran menurut para ahli diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa pemasaran merupakan suatu proses dalam upaya membangun
hubungan konsumen dengan usaha yang terpadu dalam upaya menciptakan nilai
bagi pelanggan serta mendapatkan kembali nilai dari konsumen. Usaha terpadu
yang dimaksud dalam pemasaran ialah untuk memperoleh hasil yang optimal,
meningkatkan penjualan, serta pada ahirnya dapat menaikkan keuntungan, segala
kegiatan dilakukan secara bersama-sama, saling berhubungan serta saling
mempertimbangkan antara yang satu dengan yang lainnya. Salah satu tujuan
utama dari aktivitas pemasaran dalam perusahaan seringkali dilihat dari
pencapaian loyalitas konsumen (Siregar, 2004. dalam Aryani dan Rosinta, 2010).
Dalam memastikan bahwa masing-masing produk dapat memenuhi peranan
diantaranya yaitu mencapai sasaran-sasaran penjualan, bagian pasar, serta laba
untuk suatu produk maka dikembangkan suatu strategi pemasaran. Guiltinan dan
Paul (1990) mengemukakan bahwa strategi pemasaran merupakan pernyataan
pokok tentang dampak yang diharapkan akan dicapai dalam hal permintaan pada
pasar target tertentu, pendekatan terkunci untuk menerapka strategi-strategi ini
ditentukan lewat program-program pemasaran yang spesifik, seperti program
periklanan, program promosi, program pengembangan produk, serta program
penjualan dan distribusi. Terdapat 2 variabel besar dalam strategi pemasaran yaitu
variabel yang tidak dapat di kontrol dan variabel yang dapat dikontrol. Variabel
yang dapat dikontrol terbagi kedalam 4 macam diantaranya ialah marketing mix
(Triyana, 1985 dalam Alma, 2009).
Kotler (2000, dalam Hurriyati, 2008) mengatakan bahwa bauran pemasaran
adalah sekumpulan alat pemasaran yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk
mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasarannya. Selain itu, Hurriyati
(2008) mengemukakan bahwa marketing mix merupakan unsur-unsur pemasaran
yang saling terkait, dibaurkan, diorganisir, dan digunakan secara tepat, sehingga
perusahaan dapat mencapai tujuan pemasaran dengan efektif, sekaligus
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Asri (1986) mendefinisikan
marketing mix sebagai suatu variabel-variabel pemasaran yang dapat dikontrol
yang akan di kombinasikan oleh perusahaan untuk memperoleh hasil yang
maksimal.
Sementara menurut Alma (2009) marketing mix merupakan strategi
mencampur kegiatan-kegiatan marketing, agar dicari kombinasi maksimal
sehingga mandapatkan hasil paling memuaskan. Terdapat 4 komponen utama
yang tercakup dalam aktivitas marketing mix yang dikenal dengan 4 P yang terdiri
dari product, price, place, dan promotion.
Untuk melihat penerapan marketing mix oleh perusahaan maka pengamatan
lebih difokuskan pada persepsi konsumen terhadap marketing mix dimana definisi
dari persepsi menurut Kotler (2007) dalam Fitriana (2015) ialah suatu proses di
mana konsumen minuman kopi dapat memilih, mengatur, dan mengartikan
informasi seputar penerapan marketing mix oleh perusahaan menjadi suatu
gambar yang sangat berarti di dunia

Kepuasan Konsumen


Kepuasan konsumen merupakan hal yang menjadi perhatian utama bagi
pemasar, dengan tercapainya kepuasan konsumen maka akan mendorong
terjadinya pembelian ulang, dimana pada gilirannya akan membentuk loyalitas
konsumen terhadap produk. Dalam menciptakan kepuasan kosumen perusahaan
harus mampu menjadi pusat dari konsumen serta dapat memberikan nilai tertinggi
pada konsumen sasaran. Nilai konsumen yang tinggi akan berdampak pada
kepuasan konsumen. Hurriyati (2008) menyatakan bahwa pelanggan adalah pihak
yang memaksimumkan nilai, mereka membentuk harapan akan nilai serta
bertindak berdasarkan itu. Pembeli akan membeli dari perusahaan yang
memberikan nilai pelanggan tertinggi.
Mamang dan Sopiah (2013) mengemukakan nilai konsumen merupakan
perbedaan antara total nilai konsumen dengan total nilai yang dikeluarkan
konsumen dari pemasaran produk, dimana jumlah nilai bagi konsumen atau
pelanggan merupakan akumulasi dari nilai produk, nilai pelayanan, nilai
karyawan, dan nilai citra. Sementara total biaya pelanggan merupakan akumulasi
dari biaya moneter (uang), biaya waktu, biaya tenaga, dan biaya psikis.
Suatu pencapaian kepuasan konsumen sangat bergantung pada kinerja dari
produk dan harapan dari konsumen. Kotler (2003, dalam Surya dan
Setiyaningrum, 2009) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau
kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau
kesannya terhadap kinerja suatu produk dan harapan-harapannya. Sejalan dengan
hal tersebut Mamang dan Sopiah (2013) mengatakan bahwa kepuasan atau
ketidakpuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari
perbandingan antara kesannya terhadap kinerja produk yang real atau actual
dengan kinerja dari produk yang diharapkan. Kurtz dan Boone (1995, dalam
Surya dan Setiyaningrum, 2009) menambahkan bahwa jika pada saat konsumen
membeli dan menggunakan suatu produk, produk tersebut mampu memenuhi atau
melampaui kebutuhan dan harapannya, maka akan terjadi kepuasan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen
ialah suatu keadaan dimana terjadi suatu kesamaan antara harapan konsumen
terhadap barang atau jasa dengan kenyataan yang diterima konsumen. Jika suatu
produk dapat memenuhi harapan konsumen maka akan tercipta kepuasan
konsumen, akan tetapi jika suatu produk berada jauh dibawah dari harapan
konsumen maka terjadi kekecewaan konsumen.
Meskipun kepuasan konsumen merupakan suatu perasaan yang ada dalam
diri konsumen, tetapi secara umum terdapat atribut-atribut dalam kepuasan
konsumen, sebagaimana pendapat Dutka (1994, dalam Samuel dan Foedjiawati,
2005) bahwa atribut-atribut kepuasan konsumen secara universal, yaitu:

  1. Attributes related to the product, yaitu meliputi: a).Value-price relationship. b).
    Product quality. c). Product benefit. d). Product features. e). Product design. f).
    Product reliability and consistency. g). Range of product or service.
  2. Attributes related to service, yaitu meliputi: a). Guarantee or warranty. b). Delivery.
    e). Complaint handling. f). Resolution of problem.
  3. Attributes related to purchase, yaitu meliputi: a). Courtesy. b). Communication. c).
    Ease or convenience acquisition. d). Company reputation. e). Company competence.
    Pencapaian kepuasan konsumen dalam suatu usaha memang merupakan
    suatu tujuan utama bagi para praktisi pemasaran, baik produk maupun jasa yang
    ditawarkan produsen diharapkan dapat memenuhi keinginan konsumen.
    Begitupun juga dengan usaha berbasis penyajian minuman kopi, tidak seperti
    pada jaman dahulu dimana warung kopi biasanya hadir dengan tema yang
    sederhana dan cenderung seadanya, kini dengan perkembangan tren konsumsi
    minuman kopi menyebabkan konsumen memiliki harapan yang lebih tinggi
    terhadap bagimana suatu warung kopi atau coffee shop dapat memenuhi kepuasan
    konsumen dari sisi produk terutama dari segi kualitas dan rasa produk, harga,
    tempat, serta promosi. Dengan kata lain, konsumen minuman kopi yang merasa
    puas terhadap produk maupun coffee shop tertentu menjadi suatu indikasi bahwa
    coffee shop tersebut telah mampu merealisasikan keinginan dari konsumen,
    sehingga konsumen merasakan persamaan antara ekspektasi dengan realita yang
    terjadi.
    Seringkali kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi suatu prodak maupun
    jasa akan dilihat dari faktor internal konsumen yang meliputi usia, pendidikan,
    pendapatan, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga yang merupakan merupakan
    variabel uncontrollable bagi perusahaan, sehingga variabel ini lebih banyak
    dilihat sebagai kondisi demografis dari konsumen. Kondisi dari faktor internal
    konsumen ini lebih banyak digunakan untuk melihat kondisi segmentasi
    konsumen. Dalam perkembangannya faktor internal konsumen ini tidak dapat
    diabaikan, terutama bagi perusahaan yang memiliki usaha pada sektor jasa kuliner,
    karena pada akhirnya faktor ini akan mempengaruhi permintaan konsumen
    terhadap suatu produk maupun jasa

Loyalitas Konsumen


Dalam suatu bisnis loyalitas konsumen merupakan hal yang sangat penting
bagi perusahaan, dimana salah tujuan utama dari aktivitas pemasaran perusahaan
bermuara pada pencapaiaan loyalitas konsumen. Menurut Reichheld dan Sasser
(1990) dalam Aryani dan Rosinta (2010) loyalitas memiliki korelasi yang positif
terhadap performa bisnis. Loyalitas konsumen secara umum dapat dikatakan
sebagai suatu kesetiaan seseorang terhadap suatu produk, baik berupa barang
maupun jasa tertentu. Dick dan Basu (1994 dalam Surya dan Setiyaningrum,
2009) mendefinisikan loyalitas konsumen sebagai kekuatan hubungan antara
sikap relatif individu terhadap suatu kesatuan (merek, jasa, toko, atau pemasok)
dan pembelian ulang. Loyalitas konsumen menekankan pada runtutan pembelian
yang dilakukan konsumen seperti proporsi dan probabilitas pembelian.
Hurriyati (2008) menyatakan bahwasanya loyalitas adalah komitmen
konsumen bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau untuk
melakukan pembelian ulang produk atau jasa terpilih secara konsisten dimasa
yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran
memiliki potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Loyalitas pelanggan
merupakan reaksi atau akibat dari terciptanya kepuasan pelanggan sebagai
implementasi dari keberhasilan pelayanan yang berkualitas dalam memenuhi
harapan pelanggan (Pratiwi, 2010, dalam Siwi, 2011).
Kotler (2001, dalam Samuel dan Foedjiawati, 2005) mengatakan bahwa
loyalitas dapat dicapai melalui dua tahap, yaitu: (1) Perusahaan harus mempunyai
kemampuan dalam memberikan kepuasan kepada konsumennya agar konsumen
mendapatkan suatu pengalaman positif, berarti pembelian ulang diprioritaskan
pada penjualan sebelumnya. (2) Perusahaan harus mempunyai cara untuk
mempertahankan hubungan yang lebih jauh dengan konsumennya dengan
menggunakan strategi forced loyalty (kesetiaan yang dipaksa) supaya konsumen
mau melakukan pembelian ulang.
Loyalitas konsumen dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya,
sebagaimana yang diungkapkan Griffin (2002, dalam Hurriyati, 2008), konsumen
yang loyal memiliki karakteristik sebagai berikut: 1). Melakukan pembelian
secara teratur. 2). Tidak membeli diluar lini produk atau. 3). Merekomendasikan
produk kepada orang lain. 4). Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk
sejenis dari pesaing.
Sejalan dengan hal tersebut, Grrifin (2002, dalam Hurriyati, 2008)
mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila
memiliki konsumen yang loyal antara lain: 1. Dapat mengurangi biaya dalam
pemasaran (karena biaya untuk menarik pelanggan yang baru lebih mahal). 2.
Dapat menggurangi biaya transaksi. 3. Dapat menggurangi biaya turn over
konsumen (karena penggantian konsumen yang lebih sedikit). 4. Dapat
meningkatkan nilai penjualan silang, yang akan memperbesar pangsa pasar
perusahaan. 5. Mendorong word of mouth yang lebih positif, dengan asumsi
bahwa pelanggan yang loyal juga berarti mereka merasa puas. 6. Dapat
mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya penggantian, dll).
Menurut Mamang dan Sopian (2013) dalam upaya mengukur loyalitas
konsumen dibutuhkan beberapa atribut penilaian, yaitu: 1). Mengatakan hal yang
positif tentang perusahaan kepada orang lain. 2). Merekomendasikan perusahaan
kepada orang lain yang meminta saran. 3). Mempertimbangkan bahwa perusahaan
merupakan pilihan pertama ketika melakukan pembelian jasa. 4). Melakukan
lebih banyak bisnis atau pembelian dengan perusahaan dalam beberapa tahun
yang akan datang.
Lebih jauh Tjipjono (2005, dalam Mamang dan Sopian, 2013)
mengemukakan enam indicator yang dapat digunakan untuk mengukur loyalitas
konsumen, yaitu: 1). Pembelian ulang, 2). Kebiasaan mengkonsumsi merek, 3).
Rasa suka besar kepada merek, 4). Ketetapan pada merek, 5). Keyakinan bahwa
merek tertentu merek yang terbaik, 6). Perekomendasian merek kepada pihak lain.
Tidak berbeda dengan jenis usaha lainnya, pada usaha berbasis coffee shop
konsumen minuman kopi dengan kepuasan konsumen yang terpenuhi akan
cenderung memiliki penilaiaan yang relatif positif terhadap suatu kesatuan
(produk, harga, lokasi, serta promosi) minuman kopi serta memiliki kemungkinan
yang lebih besar untuk dapat melakukan pemebelian ulang, bahkan akan
merekomendasikannya kepada orang lain. Dengan kata lain, semakin tinggi
tingkat kepuasan konsumen maka akan menyebabkan semakin besar pula
kemungkinan konsumen tersebut untuk lebih loyal terhadap suatu produk
minuman kopi.

Kepercayaan


Kepercayaan didefenisikan sebagai persepsi kepercayaan terhadap
keandalan perusahaan yang ditentukan oleh konfirmasi sistematis tentang
harapan terhadap tawaran perusahaan. Zaltman (2015), menyatakan bahwa
kepercayaan adalah kesediaa individu untuk menggantungkan dirinya pada
pihak lain yang terlibat dalam pertukaran karena individu mempunyai
keyakinan (confidence) kepada pihak lain tersebut. Sedangkan Lau (2017),
menyatakan bahwa kepercayaan pelanggan pada merek (brand trust)
didefenisikan sebagai keinginan pelanggan untuk bersandar pada sebuah
merek pada resiko yang dihadapi karena ekspektasi terhadap merek itu akan
menyebabkan hasil yang positif. Menurut Rousseau et al dalam Donni Juni
(2017) Kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian
untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik
dari orang lain.
Dari definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan
merupakan sebuah harapan yang dipegang oleh sebuah individu atau sebuah
kelompok ketika perkataan, janji, pernyataan lisan atau tulisan dari seseorang
individu atau kelompok lainnya dapat diwujudkan.
Karakteristik Kepercayaan Menurut Donni Juni (2017) kepercayaan
dibangun atas sejumlah karakteristik. Berbagai karakteristik yang berkenaan
dengan kepercayaan adalah sebagai berikut:
1 Menjaga Hubungan
Konsumen yang percaya akan senantiasa menjaga hubungan yang baik
antara dirinya dengan perusahaan karena ia menyadari bahwa
hubungan yang baik akan memberikan dampak yang menguntungkan
bagi dirinya.
2 Menerima Pengaruh
Konsumen yang memiliki kepercayaan yang tinggi akan mudah
dipengaruhi sehingga biaya perusahaan/pemasaran untuk program
pemasaran menjadi semakin murah.

  1. Terbuka dalam Komunikasi
    Konsumen yang memiliki kepercayaan tinggi terhadap perusahaan
    akan memberikan informasi yang konstruktif bagi perusahaan sehingga
    arus informasi menjadi tidak tersendat.
  2. Mengurangi Pengawasan
    Konsumen yang percaya biasanya jarang mengkritik sehingga ia
    mengurangi fungsi pengawasan nya terhadap perusahaan/pemasar.
    5 . Kesabaran
    Konsumen yang percaya akan memiliki kesabaran yang berlebih
    dibandingkan dengan konsumen biasa.
    6 . Memberikan Pembelaan
    Konsumen yang percaya akan memberikan pembelaan kepada
    perusahaan/pemasar ketika produk yang dikonsumsinya dikritik oleh
    kompetitir atau pengguna lainnya.
    7 .Memberi Informasi yang Positif
    Konsumen yang percaya akan selalu memberikan informasi yang
    positif dan membangun bagi perusahaan.
  3. Menerima Risiko
    Konsumen yang percaya akan menerima resiko apapun ketika ia
    memutuskan untuk menggunakan produk yang dihasilkan oleh
    perusahaan.
  4. Kenyamanan
    Konsumen yang percaya akan melakukan pembelian secara berulang –
    ulang karena ia percaya bahwa perusahaan/pemasar memberikannya
    kenyamanan untk mengkonsumsi produk dalam jangka pendek maupun
    panjang.
  5. Kepuasan
    Konsumen yang percaya akan mudah untuk diberikan kepuasan
    dibanding konsumen yang tidak percaya.
    Menurut Nguyen et al (2014) indikator kepercayaan sebagai berikut:
    a. Trustworthy yaitu menganggap pihak lain terpercaya untuk
    melakukan suatu pekerjaan.
    b. Benefit yaitu percaya bahwa suatu kegiatan akan mendatangkan
    manfaat
    c. Promise yaitu percaya bahwa pihak lain dapat menepati janji
    d. Job Right yaitu percaya bahwa pihak lain dapat melakukan
    pekerjaan dengan benar

Kepuasan konsumen


Atmaja (2018), mengemukakan bahwa kepuasan masyakrakat perasaan
senang atau kecewa seseorang yang dihasilkan dan membandingkan kinerja
atau hasil yang dirasakan produk atau layanan dengn harapan. Suryati (2015),
kepuasan konsumen adalah tingkat dimana suatu pencapaian performa dari
sebuah produk yang diterima oleh konsumen sama dengan ekspektasi
konsumen itu sendiri. Kotler (2016) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan
diberi peringkat dengan skala satu sampai lima. Pada level kepuasan
pelanggan yang sangat rendah, level satu para pelanggan cenderung
menjauhi perusahaan dan menyebarkan cerita jelek tentang perusahaan
tersebut. Pada level dua sampai empat, pelanggan agak puas tapi pelanggan
masih merasa mudah untuk beralih ketika tawaran yang lebih baik muncul.
Pada level lima, pelanggan cenderung membeli ulang dan bahkan
menyampaikan cerita pujian tentang perusahaan.
Kepuasan konsumen mengacu Kotler dan Keller dalam Rafiah (2019)
ialah rasa kecewa atau puas konsumen setelah menggunakan jasa dari
membandingkan kinerja yang dipersepsikan dengan ekspektasi konsumen.
Konsumen akan puas jika kinerja suatu jasa sesuai yang diharapkan.
Ketidakpuasan terjadi apabila kinerja
suatu jasa yang diharapkan tidak sesuai. Tjiptono (2015) menyebutkan
bahwa ada beberapa poin penting mengenai kepuasan, yaitu, perasaan yang
timbul setelah mengevaluasi pengalaman pemakaian produk, respon
pelanggan terhadap evaluasi persepsi atau perbedaan antara harapan awal
sebelum pembelian dan kinerja aktual produk sebagaimana dipersepsikan
setelah memakai atau mengkonsumsi produk bersangkutan, evaluasi purna
beli keseluruhan yang membandingkan persepsi terhadap kinerja produk
dengan ekspektasi prapembelian, ukuran kinerja ‘produk total’ sebuah
organisasi dibandingkan serangkaian keperluan pelanggan (customer
requirements). Menurut Kotler (2016) Ukuran variabel kepuasan pelanggan
meliputi:
a. Puas terhadap produk
b. Puas terhadap pilihan produk
c. Merekomendasikan produk kepada orang lain
d. Memiliki keinginan untuk tidak berpindah ke produk lain
e. Melakukan pembelian ulang
Faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen menurut
tjiptono dalam suyati (2015) :
a. Kinerja ( performance)
b. Karakteristik operasi pokok dari suatu produk inti yang dibeli ( core
product)
c. Keistimewaan tambahan ( features )
d. Keandalan (reliability)
e. Kesesuaian dengan spesifikasi ( conformance to specification)
f. Daya tahan ( durability)
g. Kekuatan pelayanan, (Serviceability)
h. estetika dan kualitas yang dipersepsikan ( perceived quality)
Kotler & Keller (2016) menyatakan bahwa terdapat tiga indikator
kepuasan konsumen yaitu: loyal terhadap produk, adanya komunikasi yang
positif dari mulut ke mulut dan perusahaan menjadi pertimbangan utama.
a. Loyal terhadap produk
Konsumen yang merasa puasa cenderung akan menjadi loyal. Konsumen
yang puas terhadap produk yang dikonsumsinya akan mempunyai
kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang sama. Keinginan
untuk membeli ulang karena adanya keinginan untuk mengulang
pengalaman yang baik dan menghindari pengalaman yang buruk.
b. Adanya komunikasi dari mulut ke mulut yang bersifat positif
Hal ini dapat berupa rekomendasi kepada calon konsumen yang lain dan
mengatakan hal-hal yang baik mengenai produk dan perusahaan yang
menyediakan produk.
c. Perusahaan menjadi pertimbangan
Hal ini merupakan proses pertimbangan utama ketika adanya kepuasan,
dimana konsumen lebih mengutamakan perusahaan yang sama untuk
mendapatkan jasa atau produk dari perusahaan tersebut

Aspek-Aspek Loyalitas Konsumen


Menurut Hasan (2015) mengatakan bahwa aspek loyalitas konsumen
yaitu :
a. Pembelian ulang
Pembelian ulang diartikan sebagai perilaku konsumen yang hanya
membeli sebuah produk/jasa secara berulang-ulang dan konsisten dimasa
yang akan datang.
b. Komitmen konsumen terhadap produk/jasa.
Pelanggan yang loyal tidak hanya membeli ulang suatu produk/jasa
tetapi juga mempunyai komitmen dan sikap yang positif terhadap
produk/jasa.
c. Rekomendasi dari mulut ke mulut
Pelanggan yang memiliki loyalitas terhadap produk/jasa akan
bersedia bercerita hal-hal baik tentang perusahaan dan produknya kepada
orang lain, teman dan keluarga yang jauh lebih persuasif dibanding iklan.
Sedangkan menurut Tjiptono (dalam Sangadji dan Sopiah, 2013)
mengemukakan enam aspek yang bisa digunakan untuk mengukur loyalitas
konsumen, yaitu :
a. Pembelian ulang
b. Kebiasaan mengkonsumsi produk
c. Rasa suka yang besar pada produk atau suatu jasa.
d. Ketetapan pada produk atau jasa.
e. Keyakinan bahwa produk tertentu produk yang terbaik.
f. Perekomendasian produk atau jasa kepada orang lain.
Berdasarkan beberapa aspek-aspek loyalitas pelanggan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
aspek-aspek loyalitas pelanggan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek
loyalitas konsumen yang dikemukakan oleh Hasan (2015) yaitu pembelian
ulang, komitmen konsumen terhadap produk/jasa, dan rekomendasi dari
mulut ke mulut.

Indikator Loyalitas Konsumen.


Konsumen yang loyal merupakan aset penting bagi perusahaan. Hal ini
dapat dilihat dari indikator yang dimilikinya. Griffin (dalam Sangadji dan
Sopiah, 2015) menyatakan bahwa konsumen yang loyal memiliki indicator
sebagai berikut :
a. Melakukan pembelian secara teratur (makes regular repeat purchases)
b. Melakukan pembelian di semua lini produk atau jasa (purchases across
product and service lines)
c. Merekomendasikan produk lain (refers other)
d. Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing
(demonstrates on immunity to the full of the competition).
Berdasarkan dari beberapa indikator loyalitas konsumen yang
dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa indikator loyalitas konsumen
yaitu adanya runtutan pembelian dan proporsi pembelian, atau probabilitas
pembelian, tingkat atau ukuran kedekatan konsumen pada sebuah produk
atau jasa, adanya perasaan positif terhadap produk atau jasa, penggunaan
produk atau jasa yang sama secara teratur

Pengertian Loyalitas Konsumen


Menurut Mutmainnah (2017). Loyalitas konsumen ialah keterikatan
individu untuk melakukan pembelian ulang dari suatu jasa secara teguh dan
terus berlanjut pada masa yang akan datang. Individu tersebut tetap teguh,
walaupun mendapat pengaruh dari individu lainnya atau perusahaan lainnya
yang sedang melakukan promosi dan memungkinkan membuat perilaku
konsumen berubah. Keterikatan individu untuk melakukan pembelian ulang
dari suatu jasa secara teguh dan terus berlanjut pada masa yang akan datang.
Individu tersebut tetap teguh, walaupun mendapat pengaruh dari individu
lainnya atau perusahaan lainnya yang sedang melakukan promosi dan
memungkinkan membuat perilaku konsumen berubah.
Menurut Richard Oliver dalam Widodo (2018) loyalitas konsumen
adalah komitmen konsumen untuk tetap bertahan dalam penggunaan suatu jasa
ataupun produk berulang dan konsisten yang masa depan, meskipun pengaruh
kondisi dan usaha-usaha pemasaran berpotensi yang mengakibatkan perilaku
yang berubah. Hasan (2015) mengatakan loyalitas konsumen adalah orang
yang membeli secara teratur dan berulang-ulang,mereka secara terus menerus
dan berulang kali datang kesuatu tempat yang sama untuk memuaskan
keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan
membayar produk tersebut.
Berdasarkan beberapa defenisi-defenisi dari beberapa ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa loyalitas konsumen adalah orang yang membeli secara
teratur dan berulang-ulang, mereka secara terus menerus dan berulang kali
datang kesuatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan
memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan membayar produk
tersebut

Pengaruh Kepuasan Konsumen Terhadap Loyalitas Pelanggan


Loyalitas pelanggan merupakan suatu bentuk sikap terhadap kepuasan
layanan yang didapatkan dari beberapa faktor pada kepuasan konsumen. Perilaku
pelanggan yang muncul menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang
terhadap sesuatu yang diinginkan dengan hasil yang telah didapatkan dan akan
meningkatkan kepuasan konsumen secara individu berbeda-beda yang dapat
dipengaruhi oleh faktor yang berbeda-beda juga. Perbedaan kepuasan pada individu
berasal dari berbedaan sesuatu yang diinginkan baik dalam kualitas pelayanan,
kualitas produk, emosional maupun harga untuk kebutuhan masing-masing produk.
Loyalitas pelanggan sangat dipengaruhi dengan adanya kepuasan
konsumen. Menurut Suwarsito (2020: 31) menyatakan konsumen yang sangat puas
akan lebih loyal di bandingkan konsumen yang hanya sekedar puas, dikarenakan
tingkat kinerja yang dapat di terima adalah saat konsumen merasa sangat puas.
Menurut Dakhi dkk (2021: 24) pelanggan yang loyal tanpa harus sangat puas
dikarenakan hanya memiliki sedikit pilihan produk atau bisa juga pelanggan yang
sangat puas tetapi tidak loyal dikarenakan banyaknya alternative produk maka tidak
merasakan kepuasan, yang dapat diartikan kepuasan konsumen sebagai tingkat
perasaan konsumen untuk membandingkan hasil yang di peroleh dengan
harapanya.
Kepuasan konsumen merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
loyalitas pelanggan yang dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa
tujuan layanan dapat tercapai dengan maksimal. Ini berkaitan dengan proses
penting dalam membuat strategi berjalan sesuai yang diinginkan perusahaan juga
sesuai dengan yang diharapkan konsumen agar tercapainya konsumen yang loyal
terhadap perusahaan, jika konsumen merasa puas dengan produk atau jasa serta
tingkat layanan yang diterima dengan baik dan berniat untuk selalu melanjutkan
hubungan baik dengan perusahaan.
Menurut Razak (2016: 160) menyatakan bahwa kepuasan atau
ketidakpuasan pelanggan terhadap perusahaan merupakan evaluasi yang tidak
sesuai antara harapan sebelum melakukan pembelian barang atau jasa layanan dan
kinerja aktual yang dirasakan pelanggan setelah pemakaian barang atau jasa
layanan yang akan menimbulkan perasaan senang, puas, atau kecewa setelah
membandingkan antara barang atau jasa layanan yang dipersepsikan dengan
ekspetasi pelanggan.
Dengan mewujudkan kepuasan konsumen yang baik diharapkan pelanggan
dapat menjadi loyal karena adanya hambatan peralihan yang besar dengan faktor
teknik,ekonomi atau psikologis yang di rasakan sulit untuk beralih kepada penyedia
barang yang lain. Jadi kepuasan konsumen diwujudkan dengan maksud agar dapat
meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan, saat dimana konsumen
mencapai kepuasan tertinggi yang menimbulkan ikatan emosi yang kuat dan
komitmen jangka panjang dengan perusahaan

Faktor-faktor kepuasan konsumen


Menurut Indrasari (2019: 87-88) kepuasan konsumen memiliki lima faktor
sebagai berikut :
a. Kualitas produk, konsumen merasa puas jika hasil evaluasi produk yang
digunakan berkualitas baik.
b. Kualitas pelayanan, konsumen merasa puas jika telah mendapatkan
pelayanan yang baik atau khususnya pada pelayanan jasa, konsumen merasa
puas jika mendapatkan pelayanan sesuai dengan yang diharapkan.
c. Emosional, konsumen merasa bangga saat menggunakan produk tertentu
dengan mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi dan nilai sosial yang
membuat konsumen yakin bahwa orang lain akan kagum terhadap produk
yang digunakan.
d. Harga produk, konsumen mendapatkan kualitas yang sama dengan harga
yang relatif murah dapat memberikan nilai tambah tersendiri.
e. Biaya, konsumen merasa puas jika tidak perlu mengeluarkan biaya
tambahan dan tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan produk
atau jasa.
Menurut Mowen & Minor (2002: 90) menyatakan bahwa faktor kepuasaan
konsumen meliputi, yaitu :
a. Tanggapan emosional, konsumen akan membandingkan testimoni orang
lain dengan pengalaman yang telah didapatkan.
b. Konfirmasi atau diskonfirmasi pengharapan, proses transaksi yang mudah,
cepat, fleksibel, bebas biaya tambahan, gratis ongkos kirim, dan pilihan
metode pembayaran yang beragam menjadi keinginan konsumen.
c. Evaluasi kinerja atau kualitas produk, keseluruhan evaluasi yang sesuai
dengan keinginan konsumen atas barang atau jasa yang telah diterima.
Menurut Daga (2017: 78-79) menyatakan bahwa faktor kepuasaan
konsumen meliputi lima aspek, yaitu :
a. Kualitas produk, konsumen merasa puas jika kinerja, daya tahan, fitur,
reabilita, estetika, dan penampilan produk menghasilkan evaluasi produk
atau jasa yang digunakan berkualitas baik.
b. Harga, konsumen mendapatkan kualitas yang sama dengan harga yang
relatif murah dapat memberikan nilai tambah tersendiri.
c. Kualitas pelayanan (service quality), konsumen merasa puas jika telah
mendapatkan pelayanan yang baik dan sesuai dengan yang diharapan yang
mempunyai konsep SerQual yang memiliki lima dimensi yaitu bukti fisik,
kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati.
d. Faktor emosional (emotional factor), konsumen merasa bangga saat
menggunakan produk tertentu dengan mempunyai tingkat kepuasan yang
lebih tinggi dan nilai sosial yang membuat konsumen yakin bahwa orang
lain akan kagum terhadap produk yang digunakan.
e. Kemudahan, konsumen merasa puas jika adanya kemudahan, kenyamana,
dan efisien seperti tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan dan tidak perlu
membuang waktu untuk mendapatkan produk atau jasa.
Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor kepuasan konsumen adalah kualitas produk, kualitas pelayanan,
faktor tanggapan emosional konsumen, harga produk, biaya konsumen, konfirmasi
atau diskonfirmasi pengharapan, kemudahan.

Dimensi-dimensi kepuasan konsumen


Menurut Candrianto (2021: 78-80) kepuasan konsumen memiliki sembilan
dimensi sebagai berikut :
a. Dimensi tangible (bukti fisik), kemampuan perusahaan untuk menunjukkan
eksistensinya kepada konsumen dengan cara penampilan, baik dalam sarana
maupun prasarana perusahaan dan keadaan lingkungan baik.
b. Dimensi reliability (kehandalan), kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan secara akurat dan terpercaya sesuai yang dijanjikan
pada konsumen.
c. Dimensi responsiveness (daya tanggap), Kemampuan perusahaan yang
dilakukan oleh karyawan untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan
tanggap guna menumbuhkan persepsi positif terhadap perusahaan.
d. Dimensi competence (kompetensi), keterampilan yang dimiliki karyawan
dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan optimal.
e. Dimensi cortesy (kesopanan), sikap sopan santun, respek, perhatian,
keramahan dari perusahaan saat kontak personal, melalui operator telepon,
resepsionis, customer service ataupun customer relations terutama saat ada
keluhan pelanggan.
f. Dimensi credibility (kepercayaan), rasa percaya yang dimiliki pelanggan
kepada perusahaan untuk dapat melaksanakan hal yang sudah dijanjikan,
dapat bertanggung jawab atas muatan barang hingga selesai dan mampu
memberikan nilai melebihi harapan.
g. Dimensi security (keamanaan), kemampuan perusahaan dalam melakukan
pengontrolan dan penjagaan keamanan transaksi data, fasilitas APD,
prosedur K3 dan pengiriman barang.
h. Dimensi communication (komunikasi), kemampuan perusahaan untuk
dapat menyampaikan informasi dengan jelas dan detail kepada konsumen.
i. Dimensi understanding the customer (kemampuan memahami pelanggan),
kemampuan perusahaan untuk dapat memahami keinginan dan kebutuhan
pelanggan.
Menurut Pohan (2007: 17-20) kepuasan konsumen dipengaruhi oleh kualitas
barang atau jasa yang bersifat multidimensi sebagai berikut
a. Dimensi kompetensi teknis, kemampuan yang harus dimiliki karyawan
mencakup pengetahuan, keterampilan, kemampuan, penampilan dan sikap
untuk dapat melayani pelanggan dengan baik.
b. Dimensi keterjangkauan atau akses, kemampuan layanan perusahaan untuk
dapat dengan mudah didapatkan dan dapat di akses tanpa kendala, diukur
dengan jarak transportasi yang akan ditempuh.
c. Dimensi efektivitas, kemampuan perusahaan untuk menunjukkan tingkat
keberhasilan suatu tujuan perusahaan yang dapat diukur dengan
perencanaan baik dalam waktu, biaya dan kualitas.
d. Dimensi efisiensi, kemampuan perusahaan dalam menggunakan sumber
daya yang tersedia secara efisien untuk mencapai tujuan perusahaan yang
dapat diukur dalam penggunaan modal, tenaga kerja, waktu, energi, bahan
baku, dan proses produksi.
e. Dimensi kesinambungan, kemampuan perusahaan untuk dapat terus
menjalin kedekatan dan hubungan baik dengan pelanggan baru ataupun
pelanggan lama.
f. Dimensi keamanan, kemampuan perusahaan untuk dapat meyakinkan
pelanggan bahwa SOP yang ada pada perusahaan dapat berjalan sesuai
standard.
g. Dimensi kenyamanan, perasaan konsumen atas pelayanan yang diberikan
oleh perusahaan, dapat berupa perasaan senang atas jasa yang konsumen
dapatkan sesuai dengan harapan.
h. Dimensi informasi, kemampuan perusahaan untuk dapat menyediakan
layanan komunikasi dengan relative luas untuk bertukar informasi.
i. Dimensi ketepatan waktu, kemampuan perusahaan untuk dapat
menyelesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan oleh konsumen.
j. Dimensi hubungan antar manusia, kemampuan perusahaan agar dapat
menjalin hubungan baik untuk tercipta keserasian, keselarasan, dan
kebahagiaan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan sesuai
harapan.
Menurut Hermanto (2019: 22) kepuasan konsumen memiliki sembilan
dimensi sebagai berikut :
a. Kecepatan petugas pelayanan, kemampuan karyawan untuk dapat
menyelesaikan target saat waktu pelayanan yang telah ditentukan oleh
pelanggan.
b. Fasilitas pelayanan, sarana dan prasarana yang diberikan oleh perusahaan
untuk dapat digunakan konsumen pada saat menerima pelayanan.
c. Keramahan pelayanan, sikap atau perilaku karyawan dalam memberikan
layanan kepada konsumen dengan sopan dan ramah, menghargai dan
menghormati konsumen.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi
kepuasan konsumen adalah dimensi tangible (bukti fisik), dimensi reliability
(kehandalan), dimensi responsiveness (daya tanggap), dimensi competence
(kompetensi)

Pengertian kepuasan konsumen


Dalam sebuah pelayanan pasti terdapat konsumen yang tidak puas terhadap
pelayanan yang sudah diberikan, maka dari itu perusahaan dituntut memberikan
pelayanan semaksimal mungkin untuk konsumen agar mendapatkan kepercayaan
terhadap pelanggan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kepuasan konsumen, yaitu
memberikan layanan sesuai kebutuhan konsumen dan memberikan kepercayaan
terhadap konsumen. Pendapat ini didukung oleh Rifa’i (2019: 43), kepuasan
konsumen dapat didefinisikan sebagai evaluasi setelah konsumen memilih bahwa
alternative yang dipilih dapat memenuhi atau melebihi harapan yang diinginkan
.tingkat kepuasan yang sangat tinggi dapat meningkatkan loyalitas pelanggan
dengan meminimalisir perpindahan pelanggan, meningkatkan jumlah pelanggan,
dan juga mengurangi biaya operasional perusahaan.
Menurut Putranto (2022: 9) kepuasan konsumen mengacu pada keadaaan
konsumen pada saat merasa puas atau maupun saat merasa belum puas setelah
terpenuhi keinginan dan harapan terhadap menu, harga, fasilitas dan pelayanan
yang telah diberikan oleh perusahaan. Pendapat ini didukung oleh Indrasari (2019:
57) menyatakan bahwa kualitas pelayanan sangat mempengaruhi pada kepuasan
konsumen. Meninjau dari teori ini untuk membuat konsumen mendapatkan
kepuasan salah satunya dengan cara memperhatikan kualitas pelayanan yang
diberikan kepada konsumen. Pendapat ini juga didukung oleh Daga (2017: 29) juga
menyatakan bahwa kepuasan adalah fungsi penting dari kepercayaan konsumen
yang harus dijaga baik-baik. Kepuasan konsumen juga dapat mengevaluasi purna
beli dan dapat mengalternatif hasil yang sama atau melebihi harapan konsumen
(Sukesi, 2009: 37).
Mowen dan Minor (2002: 242) menyatakan bahwa kepuasan konsumen
merupakan suatu pelayanan yang diberikan oleh perusahaan kepada pelanggan
dan dipengaruhi oleh penilaian berupa tingkat kepuasan, loyalitas, dan produktifitas
barang oleh pelanggan. Pendapat ini didukung oleh Mardianto (2021: 130) yang
menyatakan bahwa sikap konsumen yang terbentuk dapat menggambarkan
hubungan antara kepercayaan, sikap, dan perilaku yang terkait pada atribut barang
atau jasa pelayanan yang diberikan oleh perusahaan terhapat konsumen.
Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh dapat disimpulkan kepuasan
konsumen adalah proses yang kompleks yang dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor, di luar kualitas layanan yang diberikan perusahaan kepada konsumennya,
maka perusahaan perlu memiliki kelebihan dengan cara memberikan promosi yang
lebih menarik daripada pesaing

Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pelanggan


Menurut Rifa’i (2019: 52) mengatakan bahwa ada lima faktor yang
mempengaruhi loyalitas pelanggan, sebagai berikut:
a. Nilai merek (brand value), nilai yang dimiliki oleh sebuah brand pada
perusahaan yang melekat di benak pelanggan.
b. Karakteristik pelanggan (customer characteristics), karakteristik saat
melakukan pembelian dan menggunakan suatu produk atau jasa secara
terus menerus.
c. Hambatan berpindah (switching barrier), segala bentuk upaya perusahaan
untuk mempersulit pelanggan agar tidak berpindah kepada produk atau jasa
perusahaan lain
d. Kepuasan konsumen (customer satisfaction), Tingkat perasaan seseorang
yang muncul setelah membandingkan produk atau jasa yang
dirasakan dengan produk yang diharapkan.
e. Lingkungan yang kompetitif (competitive environment), segmentasi
industry untuk mengidentifikasi dan menganalisis lingkungan perusahaan
yang mencakup pesaing langsung antar perusahaan.
Menurut Junaedi (2019: 17-18) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas
pelanggan yaitu:
a. Loyalitas aktif, kegiatan konsumen penyaluran informasi dari orang ke
orang lain melalui komunikasi lisan dan perilaku konsumen untuk terus
menggunakan produk atau jasa yang ada pada perusahaan.
b. Loyalitas pasif, konsumen tidak akan pernah berpindah kesetiannya pada
merek atau perusahaan lain, hanya memfokuskan pilihannya pada
satu produk atau jasa yang ada pada perusahaan dan tidak tertarik dengan
penawaran dari perusahaan lain.
Menurut Wicaksono (2022: 506-507) mengungkapkan bahwa loyalitas
pelanggan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu:
a. Kepuasan pelanggan, perasaan kecewa atau senang yang dirasakan akibat
ekspektasi saat membandingkan produk atau jasa yang diterima.
b. Kepercayaan pelanggan, perilaku pelanggan terhadap fungsi, manfaat,
kualitas dari produk atau jasa yang ditawarkan kepada pelanggan saat
melakukan proses pembelian.
c. Komitmen pelangga, keinginan yang kuat dari pelanggan untuk
menciptakan keterikatan, kesetiaan emosional dan hubungan pelanggan
terhadap produk atau jasa dengan cara memberikan sikap dan perilaku yang
baik.
d. Persepsi kualitas layanan, kondisi dinamis antara harapan pelanggan dan
persepsi pelanggan tentang produk atau jasa yang diterima dari penyedia
layanan.
Berdasarkan beberapa uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa faktor
yang digali lebih mandalam keterkaitan dengan loyalitas pelanggan di PT.
Dynagear Pandu Pratama cabang Semarang yaitu kepuasan konsumen

Dimensi-dimensi loyalitas pelanggan


Menurut Junaedi (2019: 20-22) dimensi yang mempengaruhi loyalitas
pelanggan adalah sebagai berikut:
a. Dimensi perilaku, karakteristik perilaku konsumen yang tampak dan dapat
diukur. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengulangan pembelian
produk atau jasa, memperbanyak kapasitas pembelian dengan pembelian
produk atau jasa lain yang tersedia pada perusahaan dan juga
merekomendasikan produk atau jasa kepada orang lain.
b. Dimensi sikap, hubungan antara pelanggan dalam menjalin kerja sama
dengan perusahaan yang di dalamnya mengandung prasangka baik atau
buruk. Mencakup keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian
berulang dan dengan kapasitas yang meningkat, keinginan untuk
membicarakan hal-hal positif tentang perusahaan dan merekomendasikan
produk atau jasa perusahaan kepada orang lain, komitmen untuk tidak
berpindah pada perusahaan pesaing meski kondisi tidak memungkinkan.
Menurut Curatman (2020: 6-7) dimensi yang mempengaruhi loyalitas
pelanggan adalah sebagai berikut:
a. Jenis hadiah, media promosi yang efektif guna sarana menjaga hubungan
baik untuk menumbuhkan minat konsumen dalam rangka meningkatkan
kapasitas penjualan.
b. Waktu pemberian hadiah, situasi yang tepat untuk memberikan sesuatu
yang bermanfaat kepada konsumen agar program perusahaan dapat berjalan
saat momentum yang tepat dengan hasil yang maksimal.
c. Kesesuaian hadiah, keselarasan antara produk, jasa atau target yang
disediakan perusahaan dengan reward yang diterima oleh konsumen.
Dimensi loyalitas pelanggan menurut Syarifudin (2019: 8-9) terdiri dari
empat dimensi yaitu :
a. Word of mouth communication (komunikasi dari mulut ke mulut),
menyatakan hal positif terhadap produk, merekomendasikan produk atau
jasa layanan kepada kerabat dan orang lain.
b. Future refurchace intentation (niat pembelian kembali di masa depan),
menjadikan pilihan pertama pada produk atau jasa, memiliki kebiasaan
pembelian produk atau jasa secara konsisten dan mengurangi pembelian
pada distributor lain.
c. Price sensitivity (sensitivitas harga), kekebalan untuk tidak mudah
terpengaruh oleh daya tarik pesaing dengan produk sejenis meskipun harga
lebih mahal tetapi produk atau jasa dapat tetap memberikan manfaat.
d. Complaining behavior (perilaku mengeluh), sikap yang ditimbulkan saat
terjadi masalah dengan pihak pemberi produk atau jasa.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para tokoh maka dapat
disimpulkan bahwa dimensi loyalitas pelanggan adalah dimensi perilaku, dimensi
sikap, jenis hadiah dan complaining behavior (perilaku mengeluh)

Pengertian loyalitas pelanggan


Pelanggan yang memiliki daya minat yang tinggi terhadap barang yang
dimanifestasikan dalam keinginan agar dapat merekomendasikannya kepada orang
lain yang dapat disebut pelanggan dengan memiliki loyalitas yang tinggi (Kotler &
Keller, 2010: 132). Pendapat ini didukung oleh Sukesi (2009: 23) yang menyatakan
bahwa pelanggan yang loyal akan lebih cenderung menggunakan produk atau jasa
layanan dengan jangka panjang dan juga dapat diekspresikan dalam jangka waktu
yang lama yang akan menghasilkan komitmen terhadap produk atau jasa layanan
yang disediakan oleh perusahaan, juga memiliki keinginan untuk
merekomendasikan barang dan jasa layanan yang disediakan oleh perusahaan.
Menurut Curatman dkk (2020: 4) loyalitas pelanggan dapat dapat dirancang
dengan cara membangun loyalitas konsumen dan meningkatkan laba penjualan
melalui pemberian insetif atau hadiah kepada pelanggan yang bertujuan
meningkatkan loyalitas pelanggan dengan memberi imbalan atas pembelian
berulang konsumen. Pendapat ini didukung oleh Daga (2017: 41) sikap pembelian
ulang seolah menyangkut pembelian terhadap suatu merek, toko, pemasok secara
berulang-ulang dengan sikap baik terhadap penyedia produk atau jasa layanan
dalam jangka waktu yang lama.
Menurut Kotler & Keller (2010: 186) mengungkapkan loyalitas pelanggan
merupakan sebuah komitmen seseorang untuk membeli dan mendukung kembali
produk atau jasa layanan yang diminati di masa yang akan datang meskipun
terpengaruhi kondisi dan berpotensi untuk beralihnya pelanggan. Hal ini
dikarenakan loyalitas pelanggan memiliki nilai strategik bagi perusahaan, imbalan
dari loyalitas bersifat jangka panjang dan kumulatif ini jika semakin lama loyalitas
seorang pelanggan, semakin besar laba yang dapat diperoleh perusahaan dari
seorang pelanggan tersebut.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
loyalitas pelanggan adalah orang yang membeli secara teratur dan berulang-ulang,
pelanggan yang setia akan terus menerus dan berulang kali untuk memuaskan
keinginannya yang dipresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap
produk atau jasa layanan dengan waktu yang lama dan adanya sikap positif untuk
merekomendasikan produk ke orang lain.

Pelayanan dan Keragaman Barang terhadap Loyalitas Konsumen


Pelayanan dan Keragaman Barang berkaitan erat dengan Loyalitas
Konsumen. Menurut Tjiptono (2000:110), “loyalitas konsumen adalah
komitmen pelanggan terhadap suatu merek, toko atau pemasok berdasarkan
sifat yang sangat positif dalam pembelian jangka panjang”. Dari pengertian ini
dapat diartikan bahwa kesetiaan terhahadap merek diperoleh karena adanya
kombinasi dari kepuasan dan keluhan. Sedangkan kepuasan pelanggan tersebut
hadir dari seberapa besar kinerja perusahaan untuk menimbulkan kepuasan
tersebut dengan meminimalkan keluhan sehingga diperoleh pembelian jangka
panjang yang dilakukan oleh konsumen. Loyalitas Konsumen dapat tercipta
dengan adanya pelayanan yang baik dan sesuai dengan yang dirasakan
konsumen diimbangi dengan ragam barang yang dapat memenuhi kebutuhan
dan keinginan konsumen. Apabila pelayanan dan ragam barang sesuai dengan
yang konsumen harapkan maka semakin besar pula kepuasan yang didapatkan
dan melakukan pembelian ulang. Jadi sangat mungkin apabila variabel
Pelayanan dan Pelayanan secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap
Loyalitas Konsumen

Keragaman Barang terhadap Loyalitas Konsumen


Salah satu unsur kunci dalam persaingan diantara bisnis eceran adalah
ragam barang yang disediakan oleh pegecer. Oleh karena itu, pengecer harus
keputusan yang tepat mengenai keragaman produk yang dijual, karena dengan
adanya macam-macam produk dalam arti produk yang dilengkap mulai dari
merk, ukuran, kualitas dan ketersediaan produk setiap saat seperti yang telah
diuraikan di atas. Dengan hal tersebut maka akan memudahkan konsumen
dalam memilih dan membeli berbagai macam produk sesuai dengan keinginan
mereka. Menurut Raharjani (2005:6), bahwa konsumen cenderung memilih
tempat yang menawarkan produk yang bervariasi dan lengkap menyangkut
kedalaman dan keragaman barang yang ditawarkan oleh penjual. Ketersediaan
barang dalam suatu pasar meliputi variasi merk yang banyak, tipe dan ukuran
kemasan barang yang dijual, macam-macam rasa dari suatu produk yang akan
dibeli. Bagi sebuah pasar kelengkapan barang dagangan merupakan faktor
penting untuk menarik konsumen. Semakin lengkap dan beragam barang
sebuah pasar maka semakin memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen,
sehingga konsumen akan memutuskan untuk melakukan pembelian produk
tersebut. Hal ini Relevan dengan pendapat Edi Prasetyo (2011) yang
menyatakan bahwa Keragaman Barang berpengaruh positif terhadap Loyalitas
Konsumen

Pelayanan terhadap Loyalitas Konsumen


Pelayanan berkaitan erat dengan Loyalitas Konsumen. Pelayanan
merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsumen dem tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri.
Kotler juga mengatakan bahwa perilaku tersebut dapat terjadi pada saat
sebelum dan sesudah terjadinya taransaksi. Pada umumnya pelayanan yang
bertaraf tinggi akan menghasilkan kepuasan yang tinggi serta pembelian ulang
yang lebih sering. Zeithml, Berry & Parasuraman dkk dalam Yang (2004:374)
“Pelayanan yang baik dapat mempengaruhi intensitas kunjungan konsumen
pada kesempatan berikutnya pada badan usaha yang bersangkutan. Kualitas
pelayanan adalah permulaan dari kepuasan konsumen. Konsumen dalam
menentukan kualitas pelayanan tidak hanya berdasarkan pada hasil dari suatu
pelayanan tersebut tetapi juga memperhatikan proses pelayanan tersebut.
Service quality is the customer perception of the superiority of the service”.
Penelitian yang dilakukan Dabholkar et. al (2000) menyatakan bahwa kualitas
jasa mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas kosumen. Apabila
pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka
akan tercipta kepuasan konsumen dan melakukan pembelian ulang. Dengan
adanya pelayanan yang baik dapat memenuhi kebutuhan konsumen agar
tercapai kepuasan dan meningkatkan intensitas pembelian kembali, sehingga
pedagang di dalam pasar Bunder tersebut dapat berkembang dengan baik. Hal
ini Relevan dengan pendapat Nurhikmah (2012) yang menyatakan bahwa
Pelayanan berpengaruh positif terhadap Loyalitas Konsumen

Indikator Keragaman Barang


Menurut Engel, James F, dan Miniard, (2001:840) indikator keragaman
barang memiliki empat cara yaitu :
a. Kelengkapan produk yang dijual
b. Produk yang bervariasi
c. Ketersediaan produk yang dijual
d. Macam merek yang tersedia