Psychological Ownership (skripsi dan tesis)

Menurut Pierce (2001) psychological ownership merupakan keadaan ketika seseorang merasa memiliki suatu target sebagai kepunyaannya secara psikologis. Rasa memiliki berasal dari berbagai macam target, contohnya peralatan, pekerjaan, objek fisik atau materi, hubungan dengan orang lain, wilayah atau daerah, bagian tubuh, hasil karya, bahkan suara yang didengar. Psychological Ownership menurut Avey (2009) adalah perasaan karyawan yang memiliki tanggung jawab untuk membuat keputusan demi kepentingan jangka panjang. Psychological Ownership menggambarkan sebuah kesadaran individu, pikiran dan keyakinan mengenai kepemilikan terhadap perusahaan. Terdapat tiga aspek dalam psychological ownership berdasarkan pendapat Pierce (2001), yaitu self-efficacy, self identity, dan having a place. Self-efficacy merupakan keyakinan bahwa individu akan berhasi melakukan tugas tertentu. individu yang mampu mengontrol sebuah tindakan akan membuat dirinya memiliki keyakinan untuk menyelesaikan tugasnya. Pada aspek ini, ketika karyawan memiliki efficacy yang bagus dalam suatu tugas tertentu, maka individu akan mengembangkan Psychological Ownership pada bidang tersebut. Self identity, yaitu dimana individu dapat memahami dan menjelaskan identitas dirinya dengan menunjukkan feeling ownership akan suatu benda. Karyawan yang memahami tujuan, visi dan setting kerja, lalu menginternalisasikan nilai tersebut sebagai identitas karyawan, maka ia dikatakan mengembangkan

Psychological Ownership. Having a place, dimana kepemilikan psikologis dapat dijelaskan sebagai motif individu untuk memiliki wilayah atau ruang tertentu untuk memiliki “rumah” sebagai tempat tinggalnya. Memiliki suatu tempat adalah “kebutuhan jiwa manusia” yang penting. Ketika kita tinggal disuatu tempat, itu bukan lagi objek bagi kita, tetapi sudah menjadi bagian dari kita. Oleh karena itu, kemungkinan seseorang untuk mau mencurahkan energi dan sumber daya yang signifikan terhadap suatu target yang akan berpotensi menjadi rumah mereka. Berdasarkan pendapat Avey (2009), aspek yang ada dalam Psychological ownership antara lain, self-efficacy, accountability, belongingness, dan self-identity. Self-efficacy berhubungan dengan keyakinan seseorang untuk dapat melakukan pekerjaan tertentu dengan berhasil. Seseorang akan dengan yakin melaksanakan apa yang menjadi tugasnya karena adanya dorongan yang membuatnya menjadi percaya akan kemampuan yang dimiliki dan dapat melaksanakan tugas tersebut dengan berhasil. Accountability lebih menekankan pada rasa tanggung jawab baik dalam hal tanggung jawab pada diri sendiri maupun tanggung jawab pada apa yang terjadi di organisasi. Dengan pelayanan dan pengorbanan yang diberikan inilah seseorang dapat dikatakan memiliki psychological ownership tingkat tinggi. Belongingness merupakan rasa ikut memiliki perusahaan dimana seseorang sudah merasa nyaman berada di lingkungan kerjanya yang dirasakan sebagai second home dan merasa sebagai pemilik suatu organisasi. Apabila hal tersebut telah terpenuhi, maka kebutuhan sosial maupun kebutuhan sosio-emosional seseorang dapat dikatakan telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan setiap orang membutuhkan rasa diterima dimana individu tersebut dipekerjakan sehingga peran mereka dalam organisasi dapat dikerjakan dengan optimal. Self-identity berkaitan dengan dorongan kuat yang dimiliki seseorang untuk mengidentifikasikan dimana mereka bekerja. Sebagai contoh, orang dapat mendefinisikan diri mereka sebagai pengemudi mobil sport, pemilik kapal pesiar, atau kolektor antik. Psychological ownership yang dimiliki seseorang akan mengidentifikasikan diri mereka menjadi pribadi yang unik sehingga semakin besar pula kontribusi yang mereka lakukan terhadap suatu oraganisasi sebagai identitas pribadi yang ingin mereka tunjukan.

Menurut Pierce (2001), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Psychological Ownership, yaitu Controlling, knowing intimately, dan investing self. Controlling yaitu seseorang dapat dengan leluasa mempengaruhi dan mengendalinya suatu objek untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Hal ini dapat memunculkan rasa puas dan senang sehingga menimbulkan self efficacy pada diri orang tersebut. individu merasa mampu mempengaruhi objek sebagaimana ia mempengaruhi bagian dari tubuhnya.

Kontrol membuat individu merasa objek yang dapat ia pengaruhi adalah bagian dari dirinya. Knowing intimately atau pemahaman yang mendalam mengenai suatu objek. Hal ini membuat individu menemukan makna sosial dari suatu objek. Makna suatu objek yang diberikan oleh lingkungan sosial dapat digunakan individu sebagai identitas diri hingga dapat dikenal dan dihargai. Objek yang terintegrasi dengan self-identity menandakan asosiasi diri terhadap objek. Sedangkan investing self, yaitu dimana individu menginfestasikan diri terhadap suatu objek, sehingga menghasilkan refleksi diri terhadap objek tersebut. investasi energi fisik sebagai energi yang lebih dimaknai secara mendalam membuat objek seakan muncul dalam diri individu. Hal ini menghasilkan kedekatan diri dengan objek dan objek dimaknai sebagai rumah yang memberikan rasa aman dan nyaman.