Banyak faktor yang dapat mempengaruhi munculnya rasa ketidakamanan
dalam bekerja pada diri karyawan. Faktor yang pertama adalah karakteristik
demografis yang meliputi jenis kelamin, usia, masa kerja, status pernikahan dan tingkat pendidikan (Kinnunen, et al, 2000). Pria memiliki tingkat rasa
ketidakamanan dalam bekerja yang lebih tinggi dibandingkan wanita karena
berkaitan dengan peran pria sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga,
sehingga pria akan lebih khawatir ketika menghadapi kehilangan pekerjaan. Usia memiliki hubungan positif dengan rasa ketidakamanan dalam bekerja. Semakin tinggi usia seseorang, semakin tinggi tingkat rasa ketidakamanan dalam bekerjanya. Sebaliknya, pendidikan dan masa kerja berhubungan negatif dengan rasa ketidakamanan dalam bekerja, yaitu semakin rendah pendidikan dan semakin pendek masa kerja maka semakin tinggi rasa ketidakamanan dalam bekerja seseorang.
Faktor yang kedua adalah karakteristik pekerjaan. Menurut Jacobson dan
Hartley (Hassenlink & Vuuren, 1999) karakteristik pekerjaan itu dapat
mempengaruhi rasa ketidakamanan dalam bekerja pada karyawan. Rasa
ketidakamanan dalam bekerja biasanya rentan terjadi pada karyawan yang masa depan pekerjaannya tidak pasti, yang bisa dialami oleh: Karyawan tetap yang terancam kehilangan pekerjaan, Freelancer (pekerja jasa yang tidak terikat pada suatu organisasi) dan karyawan kontrak, karyawan baru yang berada dalam masa percobaan, karyawan dari secondary labour market, seperti kelompok suku bangsa minoritas, pekerja yang cacat, pekerja musiman dan karyawan yang berasal dari agen penyedia karyawan kontrak.
Faktor ketiga adalah kondisi lingkungan. Lingkungan merupakan sumber
ancaman yang berada di luar individu. Ancaman yang berasal dari lingkungan ini meliputi merger, akuisisi, pengurangan jumlah karyawan, reorganisasi dan
penggunaan teknologi baru (Ashford, et al, 1989).
Faktor keempat, ketidak jelasan peran yang berkaitan dengan seberapa
banyak informasi yang dimiliki oleh tenaga kerja mengenai tuntutan pekerjaan
dan prosedur kerja. Karyawan yang tidak mengetahui dengan jelas apa yang
menjadi tanggung jawabnya, prosedur kerja dan kurang adanya umpan balik
menyebabkan karyawan tidak dapat melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya
karyawan tidak mampu memenuhi kontrak psikologisnya sebagai karyawan dan dapat memperbesar rasa ketidakamanan dalam bekerja dalam dirinya (Ashford, et al, 1989).
Faktor kelima adalah karakteristik personal karyawan (internal-external
locus of control, pesimis-optimis). Karyawan dengan locus of control internal
mempunyai persepsi bahwa lingkungan cenderung dapat dikontrol sehingga
mampu melakukan perubahan sesuai dengan keinginannya mengatasi kondisi
dari rasa ketidakamanan dalam bekerja. Sebaliknya, karyawan dengan locus of
control eksternal berhubungan dengan sikap pasif dan keadaan
ketidakberdayaan individu dalam menghadapi lingkungan (Rotter, 1992)
mengganggap lingkungan memberikan peran yang lebih besar terhadap nasibnya
dibandingkan dengan kemampuannya sendiri.
Faktor yang keenam adalah nilai pekerjaan. Nilai dari suatu pekerjaan
tentunya dimaknai secara berbeda oleh setiap orang. Sebagian orang
beranggapan bahwa pekerjaan merupakan faktor utama dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial (Sverke & Hellgren, 2002), namun di
sisi lain pekerjaan tidak hanya dianggap sebagai sumber pendapatan, tetapi juga
memungkinkan individu untuk melakukan hubungan sosial, mempengaruhi
struktur waktu dan berkontribusi dalam perkembangan pribadi individu tersebut.
Oleh karena itu ancaman kehilangan pekerjaan dapat menimbulkan rasa
ketidakamanan dalam bekerja dalam diri karyawan.