Kepemilikan psikologis bertujuan untuk menjelaskan asumsi dimana karyawan seharusnya memiliki perasaan akan memiliki (sense of ownership) sehingga karyawan akan memberikan energi dan usaha yang lebih terhadap perusahaan (Dai et al., 2021)). (Delyara & Suhariadi, 2021) menyarankan bahwa kepemilikan memanifestasikan dirinya sebagai fenomena hukum, dan juga disadari bahwa kepemilikan sebagai sebuah keadaan psikologis yang penting. Menurut (Pierce et al., 2001) bahwa kepemilikan psikologis diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang merasa bahwa suatu benda atau target adalah sebagai bagian dari diri mereka. Seseorang yang mempunyai rasa memiliki terhadap sesuatu hal akan mendapatkan kepuasan tersendiri atas hal yang dimilikinya. Olckers dan Plessis (2012) juga menambahkan bahwa orang akan lebih peduli dan menjaga miliknya sendiri.
Kepemilikan psikologis telah terbukti mempengaruhi sikap, nilai, dan perilaku terhadap entitas target (Peck dan Shu 2018). Penelitian telah mengidentifikasi banyak konsekuensi positif dari kepemilikan psikologis yang diarahkan pada entitas target (Pierce et al. 2003; Pierce dan Peck 2018). Misalnya, studi tentang efek endowmen (atau “kepemilikan belaka efek, “Beggan 1992) menunjukkan bahwa penilaian individu terhadap nilai suatu objek bervariasi tergantung pada kepemilikan, sehingga orang percaya suatu objek lebih berharga jika mereka pikir mereka memilikinya (Beggan 1992; Dommer dan Swaminathan 2013; Morewedge et al. 2009; Peck dan Shu 2009). Shu dan Peck (2011) menemukan bahwa perasaan memiliki terhadap suatu objek menimbulkan keterikatan emosional untuk objek. Kepemilikan psikologis juga diasumsikan menimbulkan kesediaan karyawan untuk melakukan pengelolaan entitas target tersebut (Van Dyne dan Pierce 2004)