Perusahaan dalam pandangan ini adalah alat dari para pemegang saham (pemilik perusahaan), maka apabila perusahaan akan memberikan sumbangan sosial, hal itu akan dilakukan oleh individu pemilik atau individu para pekerjanya, bukan oleh perusahaan itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Model Klasik yang menyatakan bahwa usaha yang dilakukan perusahaan semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan pasar dan mencari untung yang akan dipersembahkan kepada pemilik modal (Syafri, 1993).
Sedangkan dalam pengertian luas, pertanggungjawaban sosial merupakan konsep yang lebih “manusiawi”, dimana suatu organisasi dipandang sebagai agen moral. Oleh karena itu, dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah organisasi – termasuk di dalamnya organisasi bisnis, wajib menjunjung tinggi moralitas. Dengan demikian, kendati tidak ada aturan hukum atau etika masyarakat yang mengatur, tanggung jawab sosial bisa di laksanakan dalam berbagai situasi dengan mempertimbangkan hasil terbaik atau yang paling sedikit merugikan stakeholder-nya. Tindakan tepat yang dilakukan oleh perusahaan akan memberikan manfaat bagi masyarakat (Syafri, 1993).
Akuntansi Sosial Ekonomi (Socio Economic Accounting) atau sering disebut dengan akuntansi sosial merupakan fenomena baru dalam ilmu akuntansi. Akuntansi sosial memiliki perbedaan dengan akuntansi konvensional. Dalam akuntansi konvensional yang menjadi fokus perhatian adalah pencatatan dan pengukuran terhadap kegiatan atau dampak yang timbul akibat hubungan perusahaan dengan pelanggan, sedangkan akuntansi sosial merupakan sub disiplin dari ilmu akuntansi yang melakukan proses pengukuran dan pelaporan dampak-dampak sosial perusahaan. Jadi, dalam akuntansi konvensional tidak sepenuhnya mengakomodasi unsur tanggung jawab sosial perusahaan (Syafri, 1993).
Seluruh pelaksanaan tanggung jawab sosial yang telah dilaksanakan oleh perusahaan akan disosialisasikan kepada publik, salah satunya melalui pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) secara implisit menjelaskan bahwa laporan tahunan harus mengakomodasi kepentingan para pengambil keputusan (Syafri, 1993).
Penjelasan tersebut ditulis dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 tahun 2004, paragraf kesembilan :
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”.
Dalam proses pelaporan keuangan tahunan perusahaan, pengungkapan/disclosure merupakan aspek pelaporan yang kualitatif, yang sangat diperlukan pemakai informasi laporan keuangan. Karena sifatnya yang kualitatif sehingga formatnya tidak terstruktur, yang dapat terjadi secara langsung dalam laporan keuangan tahunan perusahaan melalui penjudulan yang tepat, catatan atas laporan keuangan ataupun berbagai sisipan seperti catatan kaki (Hendriksen, 2001).
Pengungkapan didefinisikan sebagai penyediaan sejumlah informasi yang di butuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal efisien (Hendriksen, 1996, dalam Zuhroh dan I Putu Pande, 2003). Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory), yaitu pengungkapan informasi yang wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary), yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku. Tujuan pengungkapan menurut Securities Exchange Comission (SEC) dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1) protective disclosure yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap investor, dan 2) informative disclosure yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan (Utomo, 2000).
Informasi mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang di uraikan dalam laporan tahunan akan dapat dipahami dan tidak menimbulkan salah interpretasi apabila laporan tahunan tersebut dilengkapi dengan pengungkapan sosial yang memadai. Memberikan informasi yang memadai diharapkan akan dapat berguna bagi pengambilan keputusan oleh pihak-pihak pengguna laporan keuangan (Utomo, 2000).
Banyak teori yang menjelaskan mengapa perusahaan cenderung mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya dan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. Gray et al (1995) dalam Henny dan Murtanto (2001) menyebutkan ada tiga studi yaitu :
- Decision usefullness studies.
Sebagian dari studi-studi yang dilakukan oleh para peneliti yang mengemukakan teori ini menemukan bukti bahwa informasi sosial dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan. Dalam hal ini para analis, bankir, dan pihak lain yang dilibatkan dalam penelitian tersebut diminta untuk melakukan pemeringkatan terhadap informasi akuntansi. Informasi akutansi tersebut tidak terbatas pada informasi akuntansi tradisioanal yang telah dikenal selama ini, namun juga informasi lain yang relatif baru dalam wacana akuntansi. Mereka menempatkan informasi aktivitas sosial perusahaan pada posisi yang moderately important untuk digunakan sebagai pertimbangan oleh para users dalam pengambilan keputusan
- Economic theory studies
Studi ini menggunakan agency theory dan positive accounting theory, dimana teori tersebut menganalogikan manajemen sebagai agen dari suatu prinsipal. Dalam penggunaan agency theory, prinsipal diartikan sebagai pemegang saham atau traditional users lain. Namun pengertian dasar tersebut meluas menjadi seluruh interest group perusahaan yang bersangkutan. Sebagai agen manajemen akan berupaya mengoperasikan perusahaan sesuai dengan keinginan publik (stakeholder).
- Social and political theory studies.
Studi di bidang ini menggunakan teori stakeholders, teori legitimasi organisasi, dan teori ekonomi politik. Teori stakeholders mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para stakeholders. Perusahaan berusaha mencari pembenaran dari para stakeholders dalam menjalankan operasi perusahaannya. Sehingga berakibat semakin besar pula kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap keinginan para stakeholders-nya.
Menurut Murtanto (2006) dalam Media Akuntansi, pengungkapan kinerja perusahaan seringkali dilakukan secara sukarela (voluntary disclosure) oleh perusahaan. Adapun alasan-alasan perusahaan mengungkapkan kinerja sosial secara sukarela antara lain:
- Internal Decision Making : Manajemen membutuhkan informasi untuk menentukan efektivitas informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. Walaupun hal ini sulit diidentifikasi dan diukur, namun analissis secara sederhana lebih baik daripada tidak sam sekali
- Product Differentiation : Manajer perusahaan memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat. Akuntansi kontemporer tidak memisahkan pencatatan biaya dan manfaat aktivitas sosial perusahaan dalam laporan keuangan, sehingga perusahaan yang tidak peduli sosial akan terlihat lebih sukses daripada perusahaan yang peduli. Hal ini mendorong perusahaan yang peduli sosial untuk mengungkapkan informasi tersebut sehingga masyarakat dapat membedakan mereka dari perusahaan lain.
- Enlightened Self Interest : perusahaan melakukan pengungkapan untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder karena mereka dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan.
Pertanggungjawaban sosial berhubungan juga dengan social contract theory. Menurut teori ini, diantara bisnis perusahaan dan masyarakat terdapat suatu kontrak sosial yang secara implisit maupun eksplisit. Dimana dalam kontrak sosial, akuntansi sosial digunakan sebagai serangkaian teknik pengumpulan dan pengungkapan data sehingga memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi kinerja sosial organisasi dalam memberi penilaian mengenai kelayakan operasi organisasi menurut Parker (2002) dalam Nur Cahyonowati (2003). Di samping itu, pertanggungjawaban perusahaan diperlukan untuk menilai apakah kegiatan perusahaan telah memenuhi ketentuan, standar, dan peraturan yang berlaku. Misalnya mengenai polusi, kesehatan dan keselamatan, bahaya pengunaan bahan-bahan yang beracun. Pada saat perusahaan mulai berinteraksi dan dekat dengan lingkungan luarnya (masyarakat), maka berkembang hubungan saling ketergantungan dan kesamaan minat serta tujuan antara perusahaan dengan lembaga sosial yang ada. Interaksi ini menyebabkan perusahaan tidak bisa lagi membuat keputusan atau kebijakan yang hanya menguntungkan pihaknya saja. Tetapi perusahaan juga harus memikirkan kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (stakeholder needs). Jika tekanan dari stakeholder berpengaruh kuat terhadap kontinuitas dan kinerja perusahaan maka perusahaan harus bisa menyusun kebijakan sosial dan lingkungan yang terarah dan terlegitimasi (Nur Cahyonowati, 2003).