Definisi Pajak Tangguhan (skripsi dan tesis)

Menurut Zain (2007), PPh yang dihitung berbasis pada PKP yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah disebut sebagai PPh terutang, sedangkan PPh yang dihitung berbasis laba (penghasilan) sebelum pajak disebut dengan beban PPh. Sebagian perbedaan yang terjadi akibat perbedaan antara PPh terutang dengan beban pajak yang dimaksud, sepanjang menyangkut perbedaan temporer, hendaknya dilakukan pencatatan dan tercermin dalam laporan keuangan komersial dalam akun pajak tangguhan. Pajak tangguhan ini diperhitungkan dalam penghitungan laba rugi akuntansi dalam suatu periode berjalan yang diakui sebagai beban atau manfaat pajak tangguhan. Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak).  (Yuliati, 2004)

Apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran yang lebih besar, maka berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban. Sebagai contoh apabila beban penyusutan aset tetap yang diakui secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan aset tetap yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan metode penyusutan aktiva (aset) tetap, maka selisih tersebut akan mengakibatkan pengakuan beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa yang akan datang. Sehingga selisih tersebut akan menghasilkan kewajiban pajak tangguhan. (Suandy, 2008 : 91) Kewajiban pajak tangguhan ini terjadi apabila rekonsiliasi fiskal berupa koreksi negatif, di mana pendapatan menurut akuntansi komersial lebih besar daripada akuntansi fiskal dan pengeluaran menurut akuntansi komersial lebih kecil daripada akuntansi fiskal (Agoes dan Trisnawati, 2007).

Suandy (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa apabila ada kemungkinan pembayaran pajak yang lebih kecil pada masa yang akan datang maka berdasarkan SAK dapat dianggap sebagai suatu aset. Sebagai contoh rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi berdasarkan peraturan perpajakan atau kemungkinan adanya manfaat ekonomi pada masa yang akan datang yang akan mengurangi beban pajak, maka dapat diakui sebagai suatu aktiva (aset) pajak tangguhan. Sehingga apabila manfaat ekonomi yang dimaksud tidak dapat diperoleh, setiap tahun perusahaan harus melakukan penilaian kembali aktiva pajak tangguhan. Jika terdapat kemungkinan suatu aktiva pajak tangguhan tidak mungkin dapat direalisasikan, maka dilakukan penyisihan (allowance) terhadap terealisasinya aktiva tersebut (Purba dan Andreas, 2005). Aktiva (aset) pajak tangguhan terjadi apabila rekonsiliasi fiskal berupa koreksi positif, di mana pendapatan menurut akuntansi fiskal lebih besar daripada akuntansi komersial dan pengeluaran menurut akuntansi fiskal lebih kecil daripada akuntansi komersial. (Agoes dan Trisnawati, 2007)

Pernyataan Suandy (2008) di atas secara konseptual dapat dijelaskan dengan teori akuntansi mengenai definisi kewajiban dan aktiva (aset). Berdasarkan teori akuntansi mengenai definisi kewajiban dan aktiva (aset), kewajiban didefinisikan sebagai suatu kemungkinan adanya pengorbanan ekonomi pada masa yang akan datang yang muncul dari kewajiban masa kini suatu entitas untuk menyerahkan aktiva kepada entitas-entitas lain sebagai akibat kejadian masa lalu. Sedangkan definisi aktiva (aset) berdasarkan teori akuntansi yaitu sebagai suatu kemungkinan akan adanya manfaat ekonomi pada masa yang akan datang yang diperoleh atau dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat kejadian masa lalu (Purba dan Andreas, 2005).

Pada dasarnya, beban (manfaat) pajak tangguhan yang disajikan dalam laporan komersial laba rugi perusahaan dapat mempengaruhi jumlah nominal laba bersih setelah pajak. Apabila perusahaan secara komersial menghitung PPh yang terutang belum memperhitungkan koreksi fiskal maka akan menyebabkan perbedaan dengan perhitungan PPh terutang menurut fiskus, sehingga besarnya PPh terutang akan mempengaruhi posisi neraca secara laporan komersial. Perbedaan besarnya pajak terhutang tersebut harus dilakukan dengan membuat jurnal penyesuaian yang akan berpengaruh pada besarnya rekening hutang pajak dan juga mempengaruhi besarnya laba setelah pajak yang diakui oleh perusahaan dalam laporan laba rugi. Oeh karena itu, atas perubahan tersebut, perusahaan harus melakukan revisi posisi neracanya (Muljono, 2006)