Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kata “intensi” diartikan sebagai maksud dan tujuan. Oxford Dictionary of Psychology (2008) mendefinisikan intensi sebagai suatu kecenderungan perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan bukan tanpa tujuan. Sedangkan menurut Engel et al. (1993), intensi adalah kompetensi diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Theory planned of behavior membahas secara spesifik, dijelaskan bahwa intensi untuk melakukan suatu perilaku adalah indikasi kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu dan merupakan anteseden langsung dari perilaku tersebut. Intensi dapat diukur melalui tiga prediktor utama yang mempengaruhi yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavior control (Ajzen, 1991). 20 Menurut Near dan Miceli (1985), whistleblowing adalah suatu pengungkapan yang dilakukan oleh anggota organisasi (mantan karyawan atau karyawan) terhadap praktek-praktek perilaku tidak bermoral kepada pihak-pihak yang mampu mempengaruhi atau mengambil tindakan atas perbuatan tersebut (Alleyne, 2016). Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2008), whistleblowing adalah suatu tindakan dari seorang pekerja yang memutuskan untuk melaporkan tindakan illegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerja kepada media maupun kepada atasan.
Tindakan ini dilakukan dengan dasar itikad baik, bukan merupakan keluhan pribadi terhadap kebijakan perusahaan ataupun untuk menjatuhkan pihak tertentu (Semendawai, 2011: 70). Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) memaparkan bahwa dalam kaitannya dengan usaha dari pemerintah untuk menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dan juga termasuk usaha untuk memberantas korupsi, suap dan praktik kecurangan lainnya, berbagai instansi melakukan penelitian seperti Organization for Econoic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untk memberantas perilaku tidak etis adalah melalui mekanisme whistleblowing system (Semendawai, 2011: 42). Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian intensi whistleblowing yaitu suatu keinginan dari seorang individu untuk melakukan pengungkapan kecurangan atau perilaku tidak etis/tidak bermoral yang 21 terjadi pada suatu organisasi kepada pihak yang mempunyai wewenang menindaklanjuti laporan tersebut dengan tujuan untuk memperbaiki organisasi. Whistleblower terbagi menjadi dua kategori ditinjau dari tempat kerjanya, yakni whistleblower di sektor swasta dan whistleblower di sektor pemerintahan. Whistleblower sektor swasta yaitu orang yang mengungkapkan kecurangan (pelanggaran) yang terjadi disebuah perusahaan milik swasta, sedangkan whistleblower sektor pemerintahan ialah pengungkapan kecurangan yang terjadi di instansi-instansi pemerintah (Semendawai, 2011: 4). Whistleblowing terbagi menjadi dua jenis, yaitu whistleblowing internal dan whistleblowing eksternal. Whistleblowing internal terjadi apabila pengungkapan kecurangan yang dilakukan anggota organisasi dilaporkan kepada pimpinan perusahaan oleh karyawan dari organisasi itu sendiri. Sedangkan whistleblowing eksternal yaitu pengungkapan kecurangan yang dilakukan perusahaan yang dilakukan oleh pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok, masyarakat atau aparat hukum (Naomi, 2015). Whistleblower seyogyanya dalam melakukan pengungkapan kecurangan menyertakan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri dan ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Tanpa adanya bukti dan informasi yang memadai laporan tersebut akan sulit untuk ditindaklanjuti bahkan tidak menutup kemungkinan akan dibalas dengan laporan pencemaran nama baik pada pelapor (Tuanakotta, 2012). 22 De George (1986) dalam penelitian Sari (2014) menyebutkan bahwa terdapat tiga kriteria atas whistleblowing yang adil, antara lain: 1. Perilaku tidak etis/kecurangan yang terjadi dalam organisasi diindikasikan dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas. 2. Kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal organisasi yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Apabila kecurangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang akan tetap mendapatkan hasil, dan bahkan kecurangan terus berlanjut, maka pelaporan kecurangan harus dilakukan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik. Komite Nasional Kebijakan Governance atau biasa disingkat dengan KNKG (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa manfaat dari penerapan whistleblowing system antara lain: 1. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran atau tindakan tidak bermoral secara internal terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah terekspos ke publik. 2. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat area kritikal dan proses kerja yang memiliki pengendalian internal lemah serta merancang tindakan perbaikan yang diperlukan. Menurut PP No. 71 Tahun 2000, pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU No.13 23 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, whistleblower yang juga sekaligus saksi (pelapor) adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan atau ia alami sendiri (Semendawai, 2011: 38). Adapun hak-hak yang akan didapatkan whistleblower menurut Komite Nasional Kebijakan Governance atau biasa disingkat dengan KNKG (2008), yaitu: 1. Memperoleh perlindungan dari lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga dari whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan yang diberikan bermacam-macam seperti mendapat identitas baru, tempat kediaman baru yang aman, pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa perlindungan. 2. Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam. 3. Mendapatkan informasi mengenai tindak lanjut atau perkembangan penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah diungkap. 4. Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar (Semendawai, 2011: 10). 24 Dalam lingkup sektor pemerintahan, yang merupakan badan pelayanan publik dinilai cukup rawan terjadi dugaan praktik penyalahgunaan wewenang, pelanggaran, dan tindak pidana yang pada akhirnya dapat merugikan pihak masyarakat luas. Oleh karena itu, pengawasan terhadap praktik administrasi dan keuangan pada lembaga sektor pemerintahan sangat penting untuk dilakukan (Semendawai, 2011: 6)