Respon KDRT terhadap Anak Marianne James, Senior Research pada
Australian Institute of Criminology (1994), menegaskan bahwa KDRT memiliki
dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan
kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi
masalah dan emosi.
Respon kekerasan dalam rumah tangga (Efendi, 2009).
a. Akibat kekerasan pada fisik (Saraswati, 2009).
1) Lecet, memar, hematom, luka bekas pukulan senjata tajam dan adanya
kerusakan organ dalam.
2) Cacat, resiko cedera sebagai akibat trauma, misalnya gangguan
pendengaran ,kerusakan mata dan cacat lainnya
3) Kematian
4) Kerusakan integritas kulit
b. Akibat pada perkembangan kesehatan mental ( Irwanto, 2002). Perkembangan
kesehatan mental pada pihak korban kekerasan dalam rumah tangga
mengalami perlakuan yang salah pada umumnya lebih lambat dari manusia
yang normal, yaitu:
1) Mengalami gangguan kepribadian kesehatan mental yaitu menjadi kurang
percaya diri, harga diri rendah, dan selalu menganggap dirinya tidak
sempurna sebagai seorang istri yang sakinah dalam melayani suami atau
pasangannya.
2) Koping individu tidak efektif, takut serta tingkat kecemasan yang tinggi.
3) Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan yaitu:
a) Emosi
Emosi adalah merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas,
suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak (Golmana, 2002).
16
b) Konsep diri
Adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orangorang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita
yang kita inginkan pandangan individu mengenai siapa diri individu,
dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan orang lain pada
diri individu (Mulyana, 2000)
c) Agresif
Agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk
menghindari perlakuan tersebut (Anantasari, 2006).
c. Akibat dari penganiayaan seksual (Nurul, 2004).
Tanda- tanda penganiayaan seksual antara lain:
1) Trauma
2) Nyeri
3) Perdarahan anaus
4) Gangguan emosi, misalnya enuresis, anoreksia
d. Akibat dari penelantaraan rumah tangga (Hayati, 2000).
1) Terpaksa masuk kedunia melacur
2) Menjadi pencuri dan mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya.
3) Merampas milik orang lain
Adapun respon KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan
perkembangannya sebagai berikut:
a. Respon terhadap Anak berusia bayi
Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya
dengan kemampuan kognitif dan beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan
bahwa anak bayi yang menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan
bapak dan ibu sering dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang
buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan
kemungkinan juga anak-anak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal
ini berkonsekuensi logis terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari
ibunya ketika mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi ini pula
berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya,
bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
b. Respon terhadap anak kecil
Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan
upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi
emosinya. Penelitian Cummings dkk (1981) menilai terhadap expresi marah
dan kasih sayang yang terjadi secara alamiah dan berpura-pura. Selanjutnya
ditegaskan bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan
pada anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi
verbal dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan
banyak peneliti berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat
mengancam rasa aman anak dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya.
Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak-anak yang merespon dalam
interaksinya dengan kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah adanya
sikap agresif terhadap teman sebayanya. Yang menarik bahwa anak laki-laki
cenderung lebih agresif daripada anak-anak perempuan selama simulasi,
sebaliknya anak perempuan cenderung lebih distress daripada anak laki-laki.
Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa dampak KDRT terhadap anak
usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem perilaku, seperti
seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-esteem yang
rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama masalah
sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat.
c. Respon terhadap anak usia pra sekolah
Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anakanak yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya
bahwa Anak-anak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya dapat
diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan emosi
negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya
dengan rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan.
Kedua, 17%-nya tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah.
Ketiga, lebih dari sepertiganya, menunjukkan perasaan emosional yang tinggi
(baik positif maupun negatif) selama berargumentasi. Keempat, mereka
bahagia, tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung menunjukkan sikap
agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987)
menemukan anak-anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan
kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada wanita. Hughes (1988)
melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non-TK,
baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT maupun yang
menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang menyaksikan
KDRT menunjukkan tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok
anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih tinggi daripada anakanak non-TK.
De Lange (1986) melalui pengamatannya bahwa KDRT berdampak
terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah. Ini
dapat dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial
dari teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan
dengan kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka mereka cenderung
memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa.
d. Respon terhadap anak usia SD
Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua
merupakan suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun
wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat belajar bahwa kekerasan
adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelsaikan konflik dalam
hubungan kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan
dan kecemasannya berkenaan dengan perilaku orangtuanya.
Hughes (1986) menemukan bahwa anak-anak usia SD seringkali
memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan dengan
prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan
dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986, Christopoulus et al,
1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang
mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem prilaku lebih
banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga yang tidak
mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia,
(Mathias et.al, 1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan
bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam
rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas
ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata,
memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki
kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi.
Ringkasnya, dampak psikologis yang dialami anak korban kekerasan
yaitu, seperti harga diri rendah, Psikosomatik, sulit menjalin relasi dengan
individu yang lain, gangguan belajar, gangguan kejiwaan seperti : depresi,
kecemasan berlebihan, atau gangguan identitas disasosiatif, dan juga
bertambahnya resiko bunuh diri.
e. Respon terhadap Anak remaja
Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi
telah mencapai suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga
dan jaringan sosial di luar rumah, seperti kelompok teman sebaya dan
pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar bahwa ada caracara yang berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di dunia ini.
Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup
dalam keluarga yang penuh kekarasan cenderung dapat meningkatkan
kemungkinan menjadikan isteri yang tersiksa, sementara itu Hughes dan
Barad (1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa angka kejadian
kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung
dapat menimulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya. Tetapi
ditekankan pula oleh Rosenbaum dan O’Leary (1981) bahwa tidak semua
anak yang hidup kesehariannya dalam hubungan yang penuh kekerasa akan
mengulangi pengalaman itu.
Artinya bahwa seberat apapun kekerasan yang ada dalam rumah
tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak
remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja
tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua
orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung
berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih
agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif