Voice merupakan perilaku karyawan untuk mengomunikasikan
ide, masukan, keprihatinan, informasi tentang masalah, atau isu tentang
pekerjaan yang disampaikan kepada orang yang memiliki wewenang
untuk mengambil keputusan dengan tujuan untuk meningkatkan atau
mengubah kondisi yang lebih baik pada organisasi (Morrison, 2014;
Detert & Burris, 2007). Isi dari ide yang sampaikan mencakup hal
sederhana seperti ide untuk melakukan sesuatu dengan cara yang
berbeda hingga informasi serius tentang sebuah permasalahan
(Morrison, 2014). Perilaku voice bisa ditujukan kepada atasan atau
supervisor, teman sekerja atau pihak yang berada diluar organisasi yang
memiliki kerjasama (Morrison, 2011).
Berkembangnya istilah voice dimulai sekitar tahun 1970-1980an.
Penelitan yang dilakukan Hirscman pada tahun 1970 (dalam Ashord,
Sutcliffe, Christianson, 2009) mengemukakan konsep exit, voice,
loyalty, neglect sebagai respon atas ketidakpuasan karyawan akan
pekerjaan. Exit merupakan respon tindakan karyawan untuk
meninggalkan organisasi. Voice adalah respon untuk memilih tetap
berada dalam organisasi lalu menyampaikan ketidakpuasanya. Konsep
loyalty ditunjukkan dengan tetap tinggal dalam organisasi tetapi secara
pasif tidak melakukan apapun, sehingga hanya patuh dengan situasi
yang terjadi. Neglect adalah respon karyawan tetap tinggal dalam
organisasi dan mengabaikan tindakan untuk melakukan perbaikan.
Pada tahun 1990-hingga awal 2000, perilaku voice tidak lagi
diarahkan sebagai ungkapan ketidakpuasan kerja melainkan tindakan
dengan tujuan untuk memperbaiki organisasi dibandingkan hanya
mengkritik ketidakpuasan kerja (Van Dyne & LePine, 1998). Voice
dipahami sebagai usaha membenahi sistem kerja dalam perusahaan
(Zhao & Geogre, 2001), dan usaha menunjukkan sebuah kesalahan
yang terjadi dalam organisasi lalu menyampaikan alternatif solusi dari
situasi yang terjadi (Pardo, Delval, & Fuentes, dalam Morrison et al,
2015). Hingga saat ini banyak penelitian (Detert & Burris, 2007;
Ashord, Sutcliffe, Christianson 2009; Ng & Felman, 2011; Burris,
Detert & Romney, 2013) yang mengacu pada konsep voice yang
disampaikan oleh Van Dyne dan LePine (1998).
Van Dyne dan LePine (1998) mendefinisikan voice sebagai
tindakan promotif yaitu tindakan yang bersifat proaktif, individu
mendorong atau menyebabkan sesuatu terjadi. Tindakan ini bersifat
konstruktif dalam bentuk tindakan menyampaikan ide dengan tujuan
untuk memperbaiki organisasi dibandingkan hanya mengkritisinya.
Penelitian Liang, Farh, dan Farh (2012) menambahkan voice juga
tindakan prohibitif yaitu tindakan yang bersifat melindungi dan
mencegah sesuatu yang buruk terjadi.
Van Dyne dan LePine (1998) mengategorikan perilaku voice ke
dalam perilaku extrarole. Definisi extrarole behavior adalah perilaku
yang bersifat positif dan sukarela dilakukan yang memberikan
keuntungan bagi organisasi (Van Dyne & LePine, 1998). Van Dyne dan
Le Pine (1998) menjelaskan, perilaku extrarole memiliki 3 ciri yaitu
perilaku ini diluar job description yang diatur organisasi, tidak diatur
oleh sistem pemberian reward, dan tidak memiliki konsekuensi
hukuman jika tidak dilakukan. Perilaku extra-role memiliki empat
tipologi yaitu prohibitive, promotive, affiliative, dan challenging. Van
Dyne dan LePine (1998) mengategorikan perilaku voice ke dalam
perilaku extra-role dikarenakan voice memenuhi 2 tipologi extra-role
behavior yaitu challenging dan promotive. Secara lebih spesifik Van
Dyne dan Le Pine (1998) menjelaskan promotive adalah tindakan yang
bersifat proaktif individu untuk mendorong atau menyebabkan sesuatu
terjadi. Challenging diartikan sebagai tindakan yang menekankan
tantangan menyampaikan ide terhadap permasalahan.
Tindakan karyawan untuk menyampaikan atau tidak
menyampaikan ide didasari oleh pertimbangan konsekuensi apa yang
akan terjadi dari perilaku voice. Pertimbangan yang dilakukan oleh
karyawan ini dikenal dengan istilah “two key outcome-related
considerations”(Liu, Zhu, & Yang, 2010). Di satu sisi karyawan
menilai menyampaikan ide adalah tindakan yang efektif untuk
memperbaiki organisasi sehingga mereka memiliki efikasi diri untuk
melakukan voice. Namun di sisi lain, terdapat karyawan yang menilai
menyampaikan ide berkaitan dengan hasil yang negatif dan beresiko
bagi dirinya, sehingga cenderung mencari kondisi aman dan melakukan
employee silent.
Konsep yang mirip dengan voice adalah perilaku employee silent.
Ketika karyawan melakukan tindakan secara sadar untuk tidak
menyampaikan ide, masukan, keprihatinan, informasi tentang masalah
atau perbedaan sudut pandang yang berguna untuk perusahaan maka
karyawan melakukan perilaku silent (Morisson & Milliken, 2000; Van
Dyne, Ang, & Botero, 2003).
Secara umum orang dapat mengatakan bahwa perilaku menahan
informasi (silent) akan memiliki lawan kata yaitu mengekspresikan ide
atau informasi (voice). Akan tetapi sudut pandang penelitian akan voice
dan silent tidaklah demikian. Morrison (2014) mengatakan individu
yang tidak voice belum tentu sama dengan perilaku silent. Hal ini terjadi
karena individu yang tidak voice mungkin sedang tidak memiliki ide
atau pesan yang ingin disampaikan (Morrison, 2014). Peneliti lain
menjelaskan, perbedaan voice dan silent bukan terletak pada ada atau
tidaknya penyampaian ide, tetapi karena motivasi yang dimiliki oleh
individu untuk memilih voice atau silent (Van Dyne, Ang, & Botero,
2003).
Selain silent, konsep yang memiliki kemiripan dengan voice adalah issue selling dan whistle-blowing. Dutton & Ashford (1993) mendefinisikan issue selling sebagai usaha individu mengarahkan perhatian pemimpin terhadap suatu masalah atau isu yang sedang marak terjadi. Perilaku issue-selling dilakukan oleh karyawan yang biasanya ditujukan kepada pemimpin organisasi (Morrison, 2014). Perilaku issue-selling membuat individu merasa memiliki nilai plus di mata pemimpin atas informasi penting yang telah diberikan. Pemimpin dengan latar belakang budaya individualis lebih mengharapkan issue-selling di depan publik sedangkan pemimpin dengan latar belakang budaya kolektifis lebih memperhatikan issue-selling yang disampaikan secara personal (Ling, Floyd, & Baldrigde, 2005). Perilaku issue selling dapat dibedakan dengan voice. Perilaku issue selling adalah tindakan yang berfokus mengarahkan perhatian pemimpin pada masalah yang disampaikan. Issue selling disertai dengan perilaku mencari teman untuk menjadi sekutu, membangun koalisi, dan melakukan presentasi formal dengan pemimpin (Morrison, 2014). Whistle-blowing adalah pengungkapan perilaku tidak bermoral, melanggar aturan (illegal) dalam organisasi, dengan tujuan agar pelaku tindakan diberi sanksi yang setimpal (Miceli, Near, & Dworkin, 2008). Individu yang melakukan tindakan whistle-blowing dikenal dengan istilah whistleblowers. Barrnett, Cochran, dan Taylor (1993) menyatakan whistleblowers sering dikucilkan oleh kelompok tempat PLAGIAT
individu bekerja. Hal ini dikarenakan whistleblowers mengungkapkan tindakan ilegal yang menguntungkan dan sengaja ditutupi oleh kelompok tertentu. Dalam konteks kesehatan, perawat melakukan whistle-blowing untuk melindungi pasien dari tindakan medis yang merugikan (Ahern & Mc Donals, 2002). Whistle-blowing berbeda dengan voice. Fokus perilaku whistle-blowing adalah menyampaikan terjadinya tindakan tidak bermoral dan melanggar aturan, sedangkan voice lebih menekankan pada ide atau masukan untuk memperbaiki organisasi (Morrison, 2014). Selain itu Van Dyne dan Le Pine (1998) berpendapat bahwa perbedaan kedua konsep ini didasarkan oleh tipologi dalam extrarole behavior. Whistle-blowing adalah tindakan yang bersifat challenging dan prohibitif sedangkan perilaku voice adalah tindakan yang bersifat challenging dan promotif. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, peneliti merangkum definisi voice adalah tindakan individu untuk menyuarakan ide, gagasan, informasi, gagasan atau saran mengenai permasalahan yang individu temukan dalam lingkungan kerja kepada orang lain yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Tujuan voice adalah meningkatkan organisasi atau perusahaan ke arah yang lebih baik