Definisi Psychological Ownership (skripsi dan tesis)

Psychological ownership adalah pengalaman psikologis individu
ketika mengembangkan rasa possesif (memiliki) akan suatu target (Van
Dyne, & Pierce, 2004). Menurut Pierce, Kostova, dan Dirks (2001)
target atau objek dari psychological ownership dapat bersifat material
(benda, fasilitas) tetapi juga non material (ide, seni artistik, suara).
Menurut Furby (dalam Van Dyne, & Pierce, 2004) hal yang mendasari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
kemunculan psychological ownership adalah sense of possesion (rasa
memiliki).
Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) menyimpulkan psychological
ownership memiliki 3 poin penting. Pertama, “perasaan kepemilikan”
(feeling of ownership) adalah kondisi bawaan yang ada dalam setiap
kehidupan manusia. Setiap individu memiliki kesempatan
mengembangkan feeling of ownership dalam konteks kehidupan seharihari.
Individu dapat mengembangkan psychological ownership dalam
konteks keluarga, konteks pendidikan, maupun konteks pekerjaan (Van
Dyne, & Pierce, 2004). Kedua, individu mengembangkan “perasaan
kepemilikan” terhadap berbagai objek target (material dan non
material). Ketiga “perasaan kepemilikan” memunyai konsekuensi
penting akan perilaku, emosi, dan psikologis.
Dalam konteks pekerjaan, keberadaan pemilik resmi (legal owner)
ataupun tidak ada pemilik legal (absense of legal owner) tidak akan
memengaruhi kemunculan psychological ownership. Hal ini
dikarenakan seiring berjalannya waktu karyawan yang telah mengenal
dan menyesuaikan dirinya dengan situasi lingkungan kerja akan
mendorong munculnya psychological ownership (Van Dyne, & Pierce,
2004). Karyawan dapat mengembangkan psychological ownership
terhadap hal spesifik yang merupakan bagian dari organisasi. Misalnya
: kelompok kerja, pekerjaan, alat pekerjaan (komputer, mesin) atau
terhadap keseluruhan organisasi (Van Dyne, & Pierce, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Persepsi atas suatu kepemilikan terdiri dari elemen afeksi dan
kognisi. Ketika individu mengakui kepemilikan atas sesuatu (misal : ini
rumah saya”) maka secara kognisi individu memiliki informasi untuk
membedakan tentang mana yang rumahnya dan yang bukan rumahnya.
Secara afeksi individu juga dapat menggunakan perasaannya untuk
mengenali kondisi mana yang merupakan rumahnya atau bukan
(Pierce, Kostova, & Dirks, 2003).
Avey, Avolio, Crossley dan Luthan (2009) menilai psychological
ownership memiliki dua pendekatan yaitu promotive-oriented dan
preventive-oriented. Promotive-oriented adalah pendekatan yang
menjelaskan psychological ownership sebagai sikap yang konstruktif.
Pendekatan promotive-oriented didorong oleh motivasi untuk
mengembangkan dan melakukan peningkatan yang efektif bagi
organisasi. Karyawan dengan pendekatan promotif melihat perubahan
atau perbaikan adalah tindakan yang sesuai aspirasi. Di sisi lain,
preventive-oriented adalah sikap yang cenderung defensif dan kaku.
Pendekatan preventive-oriented didorong oleh motivasi ketakutan
sehingga cenderung berperilaku sesuai dengan aturan untuk
menghindari hukuman. Karyawan dengan pendekatan promotif
cenderung memilih kondisi yang kaku, statis dan tidak banyak terjadi
perubahan.
Avey, Avolio, Crossley dan Luthan (2009) memberikan contoh
yang membantu memahami kedua pandangan yang telah jelaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
sebelumnya. Pada sebuah skenario apakah berbagi informasi akan
mendorong perubahan dan perbaikan dalam organisasi. Karyawan yang
mengaplikasikan pendekatan promotive-oriented akan memilih
mengutarakan pendapat yang dimiliki kepada tim sendiri bahkan tim
dari divisi lain ketika menemukan suatu cara yang dirasa mampu
menyelesaikan maslah. Hal ini dikarenakan karyawan melihat bahwa
perbaikan secara keseluruhan adalah kebutuhan organisasi. Di sisi lain,
karyawan yang lebih preventif ia akan cenderung hati-hati untuk
menahan informasi terhadap orang lain karena mereka menolak adanya
perubahan.
Berdasarkan teori yang sudah peneliti paparkan, peneliti
mendefinisikan psychological ownership sebagai perasaan yang
menjelaskan sejauh mana karyawan memunyai “rasa memiliki secara
psikologis” terhadap organisasi tempat dia bekerja. Rasa memiliki tidak
dikhususkan pada benda atau fasilitas tertentu, melainkan kepada
organisasi secara keseluruhan. Variabel psychological ownership
mengukur persepsi setiap karyawan sejauh mana individu tersebut
memiliki efikasi diri dalam menyelesaikan setiap tugas dan tanggung
jawabnya, mampu mengidentifikasi dirinya untuk beradaptasi dengan
baik di organisasi, dan mau menerima perubahan.