Pengalaman Merek (skripsi dan tesis)

Brand experience telah menarik perhatian dalam praktek pemasaran sekarang ini. Praktisipraktisi pemasaran harus menyadari bahwa dengan memahami apa sebenarnya peran brand experience, akan sangat membantu para pemasar untuk mengembangkan strategi pemasaran. Menurut Brakus, Schmitt, dan Zarantonello (2009), Brand Experience didefinisikan sebagai sensasi, perasaan, kognisi, dan tanggapan konsumen yang ditimbulkan oleh merek, terkait rangsangan yang ditimbulkan oleh desain merek, identitas merek, komunikasi pemasaran, orang dan lingkungan merek tersebut dipasarkan. Untuk dapat mendefinisikan lebih jauh mengenai brand experience Brakus, Schmitt, dan Zarantonello (2009) memulai penelitian dengan melihat sudut pandang konsumen dengan menguji pengalaman-pengalaman konsumen itu sendiri dan bagaimana pengalaman itu menghasilkan pendapat sikap, dan aspek lainnya dari perilaku konsumen. Brand experience dimulai pada saat konsumen mencari produk, membeli, menerima pelayanan dan mengkonsumsi produk. Brand experience dapat dirasakan langsung saat konsumen mengkonsumsi dan membeli produk. Brand experience dapat dirasakan secara tidak langsung saat konsumen melihat iklan atau juga saat pemasar mengkomunikasikan produk melalui sebuah website.

Menurut Schmitt (1999) idealnya, sebuah perusahaan yang ingin menerapkan experiential marketing mampu memberikan experience yang integral, yaitu menyampaikan kelima elemen experience melalui Experience Provider yang terdiri dari:

a. Komunikasi, meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun eksternal, dan public relation.

b. Identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo, warna, dan lain-lain.

c. Tampilan produk, baik desain, kemasan, maupun penampakan. d. Co-branding, meliputi even-even pemasaran, sponsorship, aliansi dan rekanan kerja, lisensi, penempatan produk dalam film, dan sebagainya.

e. Lingkungan spatial, termasuk desain kantor, baik interior maupun eksterior, outlet penjualan, ekshibisi penjualan, dan lain-lain.

f. Web sites

g. Orang, meliputi penjual, representasi perusahaan, customer service, operator call centre.

Schmitt (1999) juga mengemukakan beberapa cara untuk membentuk dan mengelola Brand Experience, yakni:

a. Experience don’t just happen; they need to be planned.

Dalam proses perencanaan, seorang pemasar harus kreatif, memanfaatkan kejutan, intrik, dan bahkan provokasi.

b. Think about the customer experience first.

Seorang pemasar menentukan karakteristik-karakteristik fungsional dari sebuah produk dan manfaat dari merek yang ada.

c. Be obsessive about the details of the experience.

Konsep pemuasan kebutuhan konsumen tradisional melewatkan unsur-unsur sensori, perasaan hangat yang dirasakan konsumen, serta “cuci otak” konsumen, yang meliputi pemuasan seluruh tubuh dan seluruh pikiran konsumen. Schmitt (1999) menyebutkan Exultate Jubilate, yang berarti kepuasan yang amat sangat.

d. Find the “duck” for your brand.

Maknanya, seorang pemasar diharapkan mampu memberikan suatu karakter yang memberikan kesan yang mendalam, yang akan terus-menerus membangkitkan kenangan, sehingga konsumen menjadi loyal. Karakter ini adalah suatu elemen kecil yang sangat mengesankan, membingkai, dan merangkum keseluruhan experience yang dirasakan konsumen. e. Think consumption situation, not product.

f. Strive for “holistic experiences”. Holistic, seperti yang telah disebutkan diatas, adalah sebuah perasaan yang luar biasa, menyentuh hati, menantang intelegensi, relevan dengan gaya hidup konsumen, dan memberikan hubungan yang mendalam antar konsumen.

g. Profile and track experiential impact with the Experiential Grid.

h. Use methodologies eclectically. Metode penelitian dalam pemasaran dapat berbentuk kuantitatif maupun kualitatif, verbal maupun visual, dan didalam maupun diluar laboratorium. Pemasar dalam meneliti harus eksploratif dan kreatif, serta menomorsekiankan tentang reliabilitas, validitas, dan kecanggihan metodologinya.

i. Consider how the experiences changes. Pemasar terutama harus memikirkan hal ini ketika perusahaan memutuskan untuk memperluas merek kedalam kategori baru.

j. Add dynamism and “dionysianism” to your company and brand. Kebanyakan organisasi dan perusahaan pemilik merek terlalu takut, terlalu perlahan, dan terlalu birokratis. Untuk itulah dionysianism perlu diterapkan. Dionysianism adalah kedinamisan, gairah, dan kreativitas.