Menurut Lind dan Tyler (Karen et al., 2010) dalam penelitian sebelumnya gagasan yang mendukung bahwa keyakinan tentang keadilan prosedural dikembangkan melalui proses sosialisasi. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa sosialisasi merupakan proses penanaman suatu kebiasaan atau nilai serta aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Pei-Luen, Jun Liu, dkk (2013) menyatakan bahwa dalam kehidupan kerja akan muncul sebuah perbedaan, dan hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah. Dan perbedaan tersebut berkaitan dengan interaksi maupun kolaborasi dari budaya di dalam suatu organisasi tersebut. Dalam hal ini, pengaruh persepsi manajemen tentang keadilan prosedural yang merupakan kebijakan prosedur dalam menentukan sebuah hasil akan bervariasi, tergantung pada norma-norma budaya yang telah melekat pada suatu organisasi atau manajemen. Secara umum, karyawan dengan jarak kekuasaan tinggi menganggap bahwa hubungan antara atasan dan bawahan bersifat hirarkikal sehingga akan tergantung pada atasan, dan akan membentuk keterikatan patuh pada atasan. Sebaliknya karyawan dengan jarak kekuasaan rendah cenderung tidak menggambarkan ketergantungan pada atasan, sehingga tidak membentuk keterikatan patuh pada atasan. Hubungan antara bawahan dan atasan lebih bersifat pragmatis, egaliter dan menganggap bahwa pekerjaan mereka mempunyai status yang sama Hofstede, 2005 (dalam Hunik, 2011). Berkaitan dengan keadilan yang dipersepsikan, pada karyawan dengan jarak kekuasaan tinggi, mereka kurang peduli atau sensitif terhadap keadilan prosedural dan distributif yang ada pada suatu organisasi, karena mereka telah menerima dan meyakini bahwa ketidakadilan yang dirasakan menggambarkan ketidaksamaan kekuasaan antara atasan dan bawahan. Sebagai contoh, dinegara-negara dengan jarak kekuasaan tinggi, praktek pemberdayaan karyawan cenderung rendah.Hal ini karenakaryawan tidak mengambil inisiatif dalam proses pengambilan keputusantetapi hanya menunggu manajer untuk menentukan arahnya (Oloko dan Ogutu, 2012). Sebaliknya, bagi karyawan dengan jarak kekuasaan rendah, mereka lebih peduli dengan keadilan yang terjadi dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena karyawan dengan jarak kekuasaan rendah menganggap bahwa hubungan antara atasan dan bawahan adalah sama atau setara. Atasan dan bawahan menganggap bahwa hubungan keduanya saling bergantungan dan segala sesuatu dapat dirundingkan bersama (Hunik, 2011).
Menurut Budhwar (Sven Hauff et al.,,2015) jarak kekuasaan telah di identifikasikan sebagai aspek yang paling penting dari budaya ketika muncul mempengaruhi praktek manajemen sumber daya manusia. Karena ini adalah aspek penting dari kehidupan kerja, dapat diasumsikan bahwa tingkat jarak kekuasaan harus memoderasi pengaruh persepsi karyawan tentang keadilan organisasional yang kemudian akan mempengaruhi tingkat komitmen karyawan terhadap perusahaan.
Dengan demikian pengaruh persepsi karyawan tentang keadilan pada komitmen tergantung pada jarak kekuasaan yang dirasakan karyawan. Temuan penelitian (Karen et al.,2010) menghasilkan bahwa moderat jarak kekuasaan mempunyai hubungan keadilan prosedural dan perilaku pengambilan keputusan. Temuan selanjutnya bahwa jarak kekuasaan memoderasi pengaruh keadilan prosedural dan keadilan distributif yang dipersepsikan oleh karyawan terhadap komitmen karyawan pada supervisor (Hunik, 2011).