Menurut Rasmun (2004), stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap kebutuhan tubuh yang terganggu. Stres merupakan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari serta akan dialami oleh setiap orang. Stres memberi dampak secara total pada individu yaitu dampak terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual. Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa stres merupakan stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada. seseorang. Ditambahkan bahwa stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu (Isaacs, 2004).
Khususnya stres pasca kematian maka kematian merupakan salah satu sumber stres utama dalam hidup. Penelitan yang dilakukan Holmes dan Rahe, (dalam Rahmania dan Tehuteru, 2011) tentang urutan peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres menunjukkan bahwa kematian anggota keluarga menempati urutan kelima dalam hal yang menyebabkan stres. Apalagi jika orang tersebut dekat dengan kita, orang yang dikasihi, maka akan ada masa dimana kita akan meratapi kepergian mereka dan merasa kesedihan yang mendalam. Kita juga merasa sangat kehilangan, tidak bahagia, dan kurang dapat menjalani kehidupan dengan baik (Stroebe, Stroebe & Hansson, 1993). Dalam hal ini salah satu kematian yang sangat menekan dan membuat stres adalah pasangan atau anak.
Stres yang dialami oleh orang tua pasca kematian anak merupakan bagian dari bereveament dan grief (rasa kehilangan ini seringkali disebut sebagai bereveament sedangkan ekspresi dari rasa kehilangan tersebut disebut sebagai grief). Secara mendetail dijelaskan oleh Turner. J,S & Helms, D.B dalam Bifina (2004) mendefinisikan bereavement sebagai kehilangan seseorang yang di cintai karena kematian yang kita cintai. Reaksi berduka (bereavement) akibat kematian mendadak lebih banyak melibatkan respon emosional seseorang (Valentine, 2006), yang berupa perasaan kesepian, tidak berdaya, putus asa,dan shock (Green, 2016). Respon emosional tersebut sangat heterogen tergantung dari intensitas, durasi, dan adaptasi terhadap kehilangan. Dengan demikian stres dari reaksi berduka (bereavement) kemungkinan memiliki konsekuensi negative pada aspek emosional, fisik, sosial, dan fungsi kognitif(Lister, 2008).
Sedangkan pengertian grief merupakan istilah yang mengindikasikan reaksi alamiah yang terjadi pada individu akibat kehilangan (baik berupa primary losses/actual losses maupun secondary losses/symbolic losses) yang meliputi reaksi fisik, psikologis (emosi dan kognisi), perilaku, sosial dan sipiritual. Kondisi objektif individu yang mengalami kehilangan seseorang yang berharga bagi individu tersebut dikneal dengan bereavement sedangkan mourning/grief work adalah respon kehilangan dan duka cita sehingga usaha mengtasinya dan respon untuk belajar hidup dengan apa yang telah terjadi (Corr, Nabe dan Corr, 2009).
Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa grief atau rasa berdukacita merupakan reaksi terhadap kehilangan dimana seseorang mengalami penderitaan emosional ketika sesuatu atau seseorang yang ia cintai atau memiliki harapan yang besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013). Konsep grief telah seringkali dibahas pada berbagai literatur yang berhubungan dengan berbagai peristiwa kehilangan dalam hidup seseorang, seperti kematian dan pemutusan ikatan emosional yang penting. Menurut Santrock (2004) dukacita (grief) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai disaat kita kehilangan orang yang kita cintai. Duka menurut Papalia, dkk (2008) ialah kehilangan, karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan yang sedang berduka dan proses penyesuaian diri kepada kehilangan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran.