Selain beban kerja fisik, beban kerja yang bersifat mental harus pula dinilai.
Namun demikian penilaian beban kerja mental tidaklah semudah menilai beban kerja fisik. Pekerjaan yang yang bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi faal tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan yang ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah. Padahal secara moral dan tanggung jawab, aktivitas mental jelas lebih berat dibandingkan dengan aktivitas fisik karena lebih melibatkan kerja otak (white-collar) dari pada kerja otot (blue-collar). Dewasa ini aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar, pekerja di bidang tehnik informasi, pekerja
dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerjaan dibidang tehnik informasi, pekerja dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerjaan dengan kesiapsiagaan tinggi, pekerja yang bersifat monotomi dll. Menurut Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau. Yang menjadi masalah pada manusia adalah kemampuan untuk memanggil kembali atau mengingat informasi yang disimpan. Proses mengingat kembali ini sebagian besar menjadi masalah bagi orang
tua. Setiap kita tahu bahwa orang tua kebanyakan mengalami penurunan daya ingat. Dengan demikian menurut Eberts (1985) penilaian beban kerja mental lebih tepat menggunakan penilaian terhadap tingkat ketelitian, kecepatan maupun konstansi kerja seperti seperti tes “Bourdon Wiersma”. Sedangkan jenis pekerjaan yang lebih memerlukan kesiapsiagaan tinggi (Vigilance) seperti petugas ‘air traffic controllers’ di Bandar udara adalah sangat berhubungan dengan pekerjaan mental yang memerlukan konsentrasi tinggi. Semakin lama orang berkonsentrasi maka akan semakin berkurang tingkat kesiapsiagaannya. Maka uji yang lebih tepat untuk menilai
Vigilance adalah tes ”waktu reaksi”. Dimana waktu reaksi sering digunakan sebagai cara untuk menilai kemampuan dalam melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan mental.