Berdasarkan pernyataan Averill (dalam Santrock, 2004: 272) bahwa fase duka cita melewati beberapa tahapan. Ditambahkan oleh J. T. Brown & Stoudemire (dalam Papalia, dkk 2004) proses penyelesaian duka (grief work), penyelesaian masalah psikologis yang dihubungkan dengan duka, biasanya mengikuti jalur berikut-walaupun, sebagaimana tahap Kubler-Ross (dalam Santrock, 2004), tahapan tersebut dapat bervariasi. Papalia (2004) mengemukakan bahwa tiga tahap yang dapat dilalui seseorang sehubungan dengan grief yang dialaminya, yaitu:
- Shock dan tidak percaya.
Setelah peristiwa kematian terjadi, seseorang yang ditinggalkan akan mengalami kehilangan dan kebingungan. Ketika ia menyadari bahwa ia telah ditinggalkan, ia akan mengalami perasaan sedih yang meluap-luap serta berkali-kali menangis. Tahap ini berlangsung selama beberapa minggu, terutama setelah kematian yang tiba-tiba atau tidak diharapkan.
- Asik dengan kenangan mereka yang meninggal
Pada tahap ini, seseorang yang ditinggalkan berusaha menerima kematian yang terjadi namun tetap tidak bisa menerima dengan sepenuhnya. Tahap ini berlangsung selama enam bulan atau lebih.
- Resolusi
Tahap ini muncul ketika seseorang yang berduka mulai mencurahkan kembali perhatiannya pada aktivitas sehari-hari. Kenangan akan seseorang yang telah meninggal menimbulkan perasaan cinta yang bertabur duka, ketimbang sakit yang amat sangat dan rasa memiliki.
Turner & Helms (dalam Cahyasari, 2015), menyebutkan bahwa ada beberapa tahapan dari grief yang dijelaskan secara lebih rinci, yaitu:
- Denial Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan tidak percaya dan menyangkal kenyataan bahwa orang yang dicintai telah tiada. Reaksi yang biasanya muncul pada fase ini adalah “Tidak mungkin dia sudah meninggal.”
- Realization Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan secara emosional mulai menyadari bahwa orang yang dicintainya memang sudah meninggal. Umumnya reaksi yang muncul adalah “Ya Tuhan, hal ini memang terjadi, dia sudah pergi untuk selamanya.”
- Feeling of abandonment, alarm, and anxiety, pada fase ini orang yang ditinggalkan merasa khawatir dan gelisah. Karena telah ditinggalkan oleh orang yang dicintainya, reaksi yang biasanya muncul pada fase ini adalah “Tuhan, bagaimana saya menjalani semua ini sendirian?”
- Despair, crying, physical numbness, mental confusion, indecisiveness pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa putus asa, menangis, mati rasa, bingung dan bimbang akibat kematian orang yang dicintai.
- Restlessness (a product of anxiety), insomnia, loss of appetite, irritability, loss of self control, wondering mind. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan mengalami keresahan (hasil dari kecemasan), insomnia, nafsu makan hilang, cepat marah, kontrol diri menurun, serta pikiran kacau.
- Pining (the physical pain and agony of grieving) and search for some token remembrance of the lost love abject. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa merana, timbulnya sakit fisik dan enderitaan atas grief. Selain itu orang yang ditinggalkan akan mencari benda-benda sebagai kenang-kenangan yang mengingatkan pada orang yang telah meninggal.
- Anger, pada fase ini orang yang ditinggalkan merasa marah atas kematian yang menimpa orang yang dicintainya. Kemarahan yang biasanya muncul biasanya diungkapkan dengan kata-kata seperti “mengapa dia harus mati?”
- Guilt, pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa bersalah atas kematian orang yang dicintainya. Umumnya reaksi yang muncul adalah “Seharusnya saya menjaga dia lebih baik, salah saya sehingga dia sakit!”
- Feeling of loss of self or total emptiness, pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa kehilangan atas dirinya sendiri atau merasa kekosongan secara menyeluruh. Reaksi yang muncul umumnya adalah “Sebagian diri saya telah pergi untuk selamanya.”
- Longing (the dull ache that won`t go away event with other). Pada fase ini orang yang ditinggalkan merasakan kerinduan yang sangat mendalam dan merasa sakit atas kesepian atau kehampaan, dan perasaan rindu tersebut tidak hilang, bahkan saat bersama dengan orang lain
- Identification with one`s lost partner by assuming some of her traits, attitudes, or mannerism. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan melakukan identifikasi terhadap orang yang telah meninggal tersebut, dengan meniru beberapa sifat, perilaku atau gaya dari orang yang telah meninggal.
- Profound depression, pada fase ini seseorang merasa sangat depresi akibat kehilangan orang yang dicintai memalui kematian. Umumnya orang yang ditinggalkan berfikir untuk menyusul orang yang dicintainya, yaitu keinginan untuk mati.
- Pathological aspects, such as minor acehs and ailments and marked tendency toward hypochondria. Pada fase ini muncul aspek patologis pada orang yang ditinggalkan, seperti penyakit minor dan penyakit ringan dan ditandai kecenderungan terhadap hypochondria. Reaksi yang umunya muncul adalah “siapa yang akan menjaga dan memperhatikan saya sekarang.”
- Voluntary return to society, pada fase ini orang yang ditinggalkan mulai kembali ke masyarakat atas keinginannya sendiri, setelah sebelumnya sempat menarik diri dari lingkungan.
- The diminishment of grief symptoms and the beginning of full recovery. Pada fase ini simptom-simptom grief yang dialami oleh orang yang ditinggalkan mulai berkurang, mulai mengarah pada kepulihan yang menyeluruh.