Firmanzah (2008: 189-212), menyampaikan bahwa positioning merupakan tahap akhir dari suatu proses marketing politik setelah segmentasi politik dan targetisasi politik. Marketing politik berfungsi untuk menarik konstituen, mengamankan sistem pemerintahan selama kepala daerah tersebut memimpin, menanamkan imej kepemimpinan yang baik sehingga peluang pada pemilihan periode berikutnya, serta meredam konflik horizontal yang diakibatkan oleh massa dari individu yang menjadi ditempatkan pada positioning politik. Zamroni (2007,dalam Kubangun, 2014:32), mengupas masalah positioning yang menempatkan suatu partai atau kandidat “kedalam pikiran” para pemilih guna meraih posisi dalam kontestasi pemilihan umum. Positioning disini merupakan tindakan untuk menanamkan citra ke dalam benak para pemilih agar tawar produk dari kontestan memiliki posisi yang khas jelas dan bermakna. Kotler dan Keller (2009:292), menyebutkan bahwa “possitioning adalah tindakan merancang penawaran dan citra perusahan agar mendapatkan tempat khusus dalam pikiran pasar sasaran. Tujuannya adalah menempatkan merek tertentu dalam pikiran konsumen untuk memaksimalkan manfaat bagi perusahaan. Hasil positioning adalah terciptanya dengan sukses suatu proporsi nilai yang fokus pada pelanggan”. Sementara itu Hasan (2015:329) menjelaskan bahwa, positioning atau citra bukanlah apa akan yang dilakukan untuk atraksi, tetapi sesuatu yang akan dibentuk dalam pikiran prospek. Mencerminkan “nilai tambah” kepemilikan, organisasi, informasi dan ide. Hermawan Kartajaya (2004 dalam karya ilmiah diploma, 2016:40) menyatakan bahwa positioning merupakan being strategy, yang tidak lain merupakan upaya perusahaan untuk membangun dan mendapatkan kepercayaan pelanggan.