Teori Desentralisasi (skripsi, tesis, disertasi)

Sejalan dengan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat akibat praktik sistem pemerintahan dengan sistem perencanaan ekonomi tersentralisasi, memasuki akhir dekade 1990-an, semakin banyak pemerintahan di negara-negara berkembang menerapkan agenda desentralisasi yang dipilih sejalan dengan proses reformasi di negara-negara tersebut. Kajian sejumlah ahli administrasi publik, seperti ditulis Odd-Helge Fjeldstad157 menjelaskan, pelaksanaan agenda desentralisasi bertujuan untuk lebih mendorong partisipasi masyarakat dalam konteks kepemerintahan yang demokratis. Melalui agenda desentralisasi, pemerintah daerah diasumsikan lebih dekat menjangkau masyarakat sehingga diharapkan mudah mengidentifikasi kebutuhan rakyatnya agar memberikan pelayanan publik yang lebih memuaskan.158 Rondinelli, seperti dikutip Mugabi,159 mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan atau transfer kewenangan politik dan hukum untuk merencanakan, membuat keputusan dan mengelola fungsi-fungsi publik. Pelimpahan kewenangan tersebut diberikan dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya kepada lembaga-lembaga pelaksana lain di lapangan, yang mencakup: unit lembaga subordinatif pemerintah (sub-ordinate units of government), lembaga publik semiotonom (semi-autonomous public corporations), otoritas pengembangan sebuah wilayah (area wide or regional development authorities), otoritas lembaga fungsional (functional authorities), pemerintah daerah otonom (autonomous local government), atau organisasi non pemerintah (non governmental organizations). Desentralisasi juga didefinisikan sebagai penugasan (assignment), pelimpahan (transfer) atau pendelegasian tanggungjawab aspek politik, administratif dan keuangan (fiscal) pada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Berdasarkan atas kajian Rondinelli dan UNDP, Mugabi membagi desentralisasi menjadi empat tipe, yaitu: dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan divestasi (privatisasi), yang dijelaskan lebih rinci pada  Konsep desentralisasi, menurut Hoessein, pada hakekatnya sama dengan proses otonomisasi lebih luas ke daerah yang diberikan kepada masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi menjadi sebuah daerah otonom sehingga instrumen desentralisasi dipandang sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat

Teori Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintahan telah menjadi fenomena global sejak awal dekade 1970-an, ketika para ilmuwan mengangkat hal tersebut menjadi agenda internasional penting untuk mendapatkan solusi. Ditinjau dari pendekatan teori governance yang mengkaji secara makro proses-proses perubahan dalam kepemerintahan, krisis disebabkan akibat kuatnya hegemoni atau pengaruh negara atas segala aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pelayanan publik yang berkembang semakin kompleks.   Model pemerintahan tradisional yang menggambarkan pendekatan paradigma administrasi publik lama, seperti diuraikan Wahab, dicirikan dengan struktur pemerintahan vertikal, birokrasi yang kental, dan wataknya yang intervensionis. Kondisi ini menyebabkan pemerintahan gagal mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sehingga memunculkan ketidakpuasan masyarakat. Fenomena tersebut kemudian mendorong para ilmuwan administrasi publik melaksanakan berbagai kajian untuk menghasilkan sejumlah model pemerintahan baru agar dapat mengkoreksi model pemerintahan tradisional tersebut. Melalui buku: “The Spirit of Public Administration”, Frederickson tercatat sebagai salah seorang pelopor yang menekankan pendekatan administrasi publik tidak boleh bebas nilai tetapi harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Pendekatan administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity), masalah kewarganegaraan (citizenship), dan etika (ethics) sehingga mengubah pola pikir lama yang menghambat terciptanya keadilan sosial.  Sejumlah pakar ilmu administrasi sebelumnya telah mengembangkan administrasi publik sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, antara lain dengan membentuk Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 dengan tujuan melaksanakan studi perbandingan administrasi publik. Anggota CAG terdiri atas para pakar administrasi publik, antara lain: John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah kemudian muncul konsep administrasi pembangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru, yang salah satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tuntutan pembangunan administrasi di negara-negara berkembang.   Pemikiran baru administrasi publik terus berkembang akibat pengaruh nilai-nilai demokrasi, antara lain konsep partisipasi seperti dikemukakan Montgomery dalam Kartasasmita117, yang menempatkan administrasi tidak terisolasi melainkan tetap berada di tengah-tengah masyarakatnya. Selain menempatkan administrasi publik sebagai instrumen demokrasi, pemikiran ini menggunakannya sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat termasuk masyarakat bawah dan termarginalisasi. Sistem administrasi publik sekaligus memiliki dimensi ruang dan waktu dimana penyelenggaraannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Sejak dekade 1980-an, seperti hasil kajian Dahrendorf, World Development Report,120 dan Wahab,  ada tuntutan politik yang menghubungkan pemberian pelayanan publik yang semakin baik kepada sebagian besar masyarakat merupakan salah satu tolok ukur legitimasi kredibilitas sekaligus kapasitas politik pemerintah di mana pun.  Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya misalnya, ada kecenderungan sikap skeptis yang mempertanyakan peran pemerintah dalam menjalankan kegiatan akivitas pelayanan publik.  Upaya-upaya reformasi administrasi pemerintahan di AS terus dilaksanakan secara luas, baik menyangkut masalah struktural maupun berkaitan dengan masalah perubahan kinerja. Hal ini terus berlanjut memasuki dekade 1990, baik di level nasional, negara bagian, dan pemerintah daerah. Ukuran organisasi kepemerintahan terus mengalami pengurangan yang dilaksanakan seiring kegiatan privatisasi. Fenomena di Amerika Serikat tersebut antara lain dijelaskan oleh Osborne dan Gabler dalam buku: “Reinventing Government,” yang menekankan pentingnya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan; serta Osborne dan Plastrik melalui buku: “Banishing Bureaucracy. The Five Strategies for Reinventing Government.

Strategi Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)

Berbeda dengan Caiden yang meletakkan dasar-dasar konseptual reformasi administrasi, Dror menjelaskan aspek strategi adanya berkelanjutan antara perbaikan administrasi (administrative improvement) dengan reformasi administrasi (administrative reforms). Dror mengartikan reformasi administrasi sebagai: “Directed change of main features of administrative system.” Batasan ini berguna sebagai landasan implementasi reformasi administrasi dalam kebijakan publik.  Sejumlah perubahan kebijakan publik dikategorikan reformasi administrasi, menurut Dror, jika merupakan upaya pembangunan strategi secara sadar terhadap sejumlah faktor utama dalam sebuah sistem administratif. Penekanan terhadap ‘kesadaran’ inilah yang membedakan reformasi administrasi dengan perubahan administrasi secara inkrimental sebagai jawaban atas perubahan sosial. Batasan reformasi administrasi dengan perubahan administrasi lebih berkaitan dengan adanya perubahan karakteristik utama (main features) dari sistem administrasi. Reformasi administrasi secara umum diharapkan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan publik berkaitan dengan sejumlah karakteristik sistem administrasi yang berlaku. Dror  menjelaskan masing-masing karakteristik sistem administrasi tersebut memiliki efektivitas dan efisiensi berbeda jika dikaitkan dengan maksud untuk meraih tujuan yang berbeda. Oleh karena itu, berdasarkan atas tujuan yang akan dicapai dalam proses reformasi administrasi,  Dror membuat enam kluster strategi reformasi administrasi.  Pertama, menghasilkan efisiensi administrasi, dapat diukur dari aspek penghematan nilai uang, misalnya melalui penyederhanaan prosedur, perubahan prosedur, pengurangan duplikasi proses, dan pendekatan yang sama dalam organisasi dan metodenya. Kedua, mengurangi praktik yang memperlemah reformasi administrasi (seperti: korupsi, kolusi, favouritism dan lain-lain). Ketiga, merubah komponen utama sistem administrasi untuk menghasilkan kondisi ideal, misalnya menerapkan merit system dalam kepegawaian, menerapkan sistem anggaran berbasis program, membangun bank data, dan sebagainya. Keempat, menyesuaikan sistem administrasi untuk mengantisipasi efek perubahan sosial akibat modernisasi atau peperangan. Kelima, membagi secara jelas antara pegawai pada sistem administrasi dengan sistem politik, misalnya mengurai kekuasaan birokrat atau aparat pemerintah pada level senior sehingga lebih patuh pada proses politik. Keenam, merubah hubungan antara sistem administrasi dengan seluruh atau sebagian dari komponen masyarakat, misalnya melalui strategi desentralisasi, demokratisasi, dan partisipasi. Pemilihan strategi reformasi administrasi di atas membutuhkan sebuah sistem pembuatan kebijakan yang berkualitas tinggi. Ada tiga alasan utama. Pertama, reformasi administrasi membutuhkan pegawai berkualitas sehingga potensi melakukan kesalahan dikurangi. Kedua, reformasi administrasi memerlukan kemampuan untuk memilih strategi yang tepat di antara banyaknya alternatif strategi yang ada, yang masing-masing dilandasi dengan perbedaan nilai (value), kepentingan (interest) organisasi, dan kepribadian (personalities). Pilihan strategi tersebut erat kaitannya dengan penghitungan biaya politik, mencakup bagaimana mempertahankan koalisi, bagaimana mendapatkan dukungan proses rekrutmen, partisipasi dan sebagainya. Ketiga, reformasi administrasi cenderung mendorong terjadinya kekakuan sistem yang lebih besar (over rigidity) kecuali jika strategi yang dipilih tersebut benar-benar flexible, antara lain dengan kemampuan membangun rencana kontigensi secara jelas Pelaksanaan agenda reformasi administrasi publik diharapkan mencapai tujuan pembangunan yang berkaitan dengan aspek pemerataan pertumbuhan, pengurangan kemiskinan, dan menciptakan perdamaian dan stabilitas di tengah masyarakat karena administrasi publik dijadikan sebagai wahana untuk mempertemukan antara kepentingan pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta.107 UNDP108 lebih jauh menjelaskan: “Reformasi administrasi adalah perubahan yang sangat komprehensif pada berbagai bidang, meliputi struktur organisasi, desentralisasi, manajemen pegawai, keuangan publik, manajemen berbasis hasil, reformasi peraturan dan sebagainya. Juga mencakup reformasi perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik.” Berkaitan dengan perubahan kajian administrasi publik mulai dekade 1980-an, ada kecenderungan untuk mengarahkan administrasi publik tidak semata-mata menghasilkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik oleh negara tetapi juga menjamin adanya distribusi kesempatan yang lebih setara (baik politik, ekonomi, sosial dan budaya) di masyarakat serta mendorong tercapainya pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Disimpulkan bahwa strategi reformasi administrasi tidak hanya bertujuan untuk mendorong tercapainya modernisasi institusi sehingga mengefisienkan biaya pelayanan publik, namun lebih jauh mendorong kemitraan dinamis antara negara, masyarakat sipil, dan sektor bisnis untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Itu tercapai dengan adanya sistem yang meningkatkan tanggungjawab dan menjamin adanya partisipasi lebih luas dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pemberian mekanisme umpan balik untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik. Kajian administrasi publik adalah multi disiplin dan kompleks. Dror mengeksplorasi sejumlah batasan (boundaries) yang dijadikan cara untuk memahami pengembangan strategi reformasi administrasi. Beberapa keterbatasan perlu diperhatikan dalam melaksanakan strategi reformasi administrasi mencakup empat hal.  Pertama, aspek politisi dan institusi politik, artinya untuk mencapai sasaran reformasi administrasi dalam proses kebijakan publik maka antara pejabat administrasi dan politisi perlu memiliki kesamaan kemampuan dan kesepahaman untuk mencapai perubahan yang dituju secara keseluruhan. Kedua, keterbatasan menyangkut kesiapan institusi akademis berkaitan dengan kemampuan institusi tersebut untuk menyediakan dan membangun pejabat publik yang berkualitas. Ketiga, keterbatasan institusi hukum (legal), untuk mengontrol kepatuhan administrasi, khususnya berkaitan dengan jaminan hak-hak individual, dan menegakkan aturan berkaitan dengan norma, nilai dan etika, misalnya sanksi kriminal berkaitan dengan praktik korupsi. Terakhir, keterbatasan pada pembangunan institusi publik, misalnya kekosongan sistem data pengumpulan pajak, kekosongan sistem pengambilan keputusan yang melibatkan publik dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan sebagainya. Berkaitan dengan pilihan strategi reformasi yang tepat untuk dilaksanakan di sebuah negara, Hahn-Been Lee mengkategorisasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) reformasi prosedural yang bertujuan untuk meningkatkan tatanan kemasyarakatan, 2) reformasi teknik yang bertujuan untuk meningkatkan metode administrasi, dan 3) reformasi programatis yang bertujuan meningkatkan kinerja administrasi. Reformasi administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan tatanan kehidupan masyarakat (improved order) biasanya terjadi di negara-negara yang baru saja mengalami pergantian pemerintahan secara cepat dan drastis akibat pergantian rezim, misalnya negara yang baru merdeka dari proses kolonisasi, sehingga perlu adanya tatanan administrasi pemerintahan baru yang dapat menjamin tatanan masyarakat lebih stabil. Untuk memperbaiki tatanan masyarakat tersebut maka jenis reformasi administrasi yang dilaksanakan berupa reformasi prosedural dengan merancang prosedur rutin pemerintahan untuk menjalankan pembangunan.

Dimensi Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)

Reformasi administrasi memiliki pengertian berbeda tergantung sistem politik yang berlaku di tiap negara. Di negara maju, reformasi administrasi bermakna proses perubahan struktur dan prosedur administrasi dalam pelayanan publik, karena organisasi yang melaksanakan pelayanan publik memiliki batasan yang jelas dengan lingkungan sistem sosial dan politik yang ada. Di negara berkembang, reformasi administrasi mencakup konteks yang lebih luas karena bisa berarti proses modernisasi dan perubahan kemasyarakatan akibat proses transformasi nilai-nilai sosial ekonomi masyarakat.93 Akibat luasnya arti reformasi administrasi, untuk mengkajinya, Chau94 membatasi perspektif kajian sistem dalam tiga dimensi, yaitu: 1) organisasi, 2) institusi, dan 3) sumberdaya manusia (human resources). Mengkaji reformasi administrasi dari sudut pandang organisasi95 artinya proses perubahan administrasi pemerintahan didekati melalui perubahan organisasi untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Instrumen reorganisasi administrasi publik antara lain melalui desentralisasi, privatisasi, atau contracting out. Tugas pemerintah lebih diarahkan dalam fungsi kontrol dan koordinasi dibandingkan tugas pengelolaan sehari-hari tugas pelayanan publik. Peter dalam Farazmand96 mengasumsikan pendekatan model lingkungan sebagai model bottom-up, jika pemerintah dan sistem administrasinya (strukturnya), harus beradaptasi secara dinamis dengan lingkungan (ekonomi, politik, dan sosial), sehingga dapat dijamin eksistensinya secara berkelanjutan. Dari sudut pandang pembangunan institusi,97 reformasi administrasi mencakup tujuan dan instrumen secara simultan. Reformasi administrasi akan terlaksana jika ada proses institusionalisasi antar kelompok penyusun organisasi. Model institusional, menurut Farazmand98 mencakup sejumlah kelompok berbeda yang bersama-sama melaksanakan perubahan. Konsep ini menekankan gerakan perubahan organisasi melalui perubahan dan modifikasi nilai-nilai internal dan budaya organisasi selain struktur organisasi. Model institusional menekankan pentingnya nilai kolektif, budaya dan struktur agar organisasi dapat beradaptasi dengan kondisi yang dinamis.99 Peter dalam Farazmand menjelaskan reformasi administrasi dari perspektif institusional memiliki bobot politis dan perlu menjalankan nilai-nilai yang lebih significant dari yang biasa diterima. Model institusional menekankan pentingnya institusionaliasi nilai dan budaya dari lingkungan ke organisasi sekaligus menginstitusionalisasikan nilai-nilai dan budaya organisasi ke lingkungan. Jelaslah bahwa hubungan antara lingkungan dan organisasi bersifat mutualisme, sehingga budaya pemerintahan dan nilai-nilai yang melingkupinya juga mewakili nilai-nilai sosial dan politik yang berlaku di masyarakat. Untuk melembagakan nilai-nilai tersebut, Chau100 menekankan perlunya pembangunan instrumen, kerangka hukum, dan peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan agar dapat bekerja dengan baik. Dimensi terakhir kajian administrasi publik menekankan pentingnya sumberdaya manusia (human resources)101 yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan motivasi kerja yang tinggi. Untuk meningkatkan skill pegawai perlu adanya serangkaian pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka. Peter dalam Farazmand  mendekatinya melalui model purposif (top – down) yang menekankan pentingnya peran aktor tertentu sebagai pemimpin dalam proses reformasi administrasi sektor publik. Para elit lokal dan individu yang memiliki kekuasaan dan otoritas inilah yang membangun ide mereformasi serta mereorganisasi sektor publik

Pengertian Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)

Konsep reformasi administrasi memiliki pengertian yang luas sehingga tidak dapat dijelaskan dalam satu definisi tunggal. Sebagian ahli mendekatinya dari sisi konseptual-normatif (misalnya Montgomery dan Caiden77) dan pakar lainnya melihat dari sudut pandang strategis dan teknis (misalnya: Dror78, Lee dan UNDP). Kebutuhan reformasi administrasi muncul sebagai akibat fungsi proses perubahan administrasi yang tidak dapat berjalan dengan benar (malfunction). Gerakan reformasi dimulai dari adanya keinginan untuk menghilangkan tantangan yang menghambat proses perubahan atau untuk meningkatkan hasil dari proses perubahan yang telah diputuskan.  Seperti dijelaskan Effendi, konsep reformasi administrasi memiliki pengertian lebih luas dari konsep reformasi birokrasi publik yang hanya mencakup aspek organisasi. Dalam berbagai konteks, reformasi administrasi dikenal dengan istilah penyempurnaan administrasi, perubahan administrasi dan modernisasi administrasi.80 Caiden adalah ilmuwan pertama yang mengembangkan konsep reformasi administrasi menjadi satu konsep komprehensif, yaitu: “The artificial inducement of administrative transformation against resistance.”81 Berdasarkan definisi tersebut, reformasi administrasi adalah sesuatu yang disengaja, artinya adanya mandat, kehati-hatian, dan perencanaan; bukan sesuatu yang alami dan otomatis. Reformasi administrasi adalah sesuatu yang dibuat (to induce) karena melibatkan persuasi, argumentasi dan sanksi. Ada tiga aspek yang dapat dijadikan petunjuk utama sebuah reformasi administrasi, yaitu: 1) adanya tujuan pengembangan moral, 2) adanya proses transformasi yang disengaja, dan 3) adanya resistensi administrasi.82 Dari sudut pandang tujuan moral, reformasi administrasi bertujuan untuk meningkatkan kondisi yang ada dengan menghilangkan praktik-praktik administrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya akibat adanya penyalahgunaan kewenangan. Dalam konteks transformasi yang disengaja, reformasi administrasi menghasilkan sejumlah strategi, kegiatan, dan program yang inovatif. Martin dalam Caiden83 mengemukakan reformasi adalah proses yang berlangsung secara radikal, bukan sekadar perubahan secara incremental atau proses penyesuaian yang hanya terjadi pada periferi organisasi dan tidak menyentuh inti organisasi. Dari aspek resistensi administrasi, maka faktor inilah yang membedakan antara reformasi dengan perubahan. Akibat adanya resistensi, proses reformasi embutuhkan dukungan kekuasaan (power) sehingga esensi reformasi administrasi merupakan proses politik.84 Konsep Caiden tersebut sejalan dengan konsep reformasi administrasi yang dikemukakan oleh Montgomery, yang menguraikan reformasi administrasi sebagai: “As a political process designed to adjust the relationship between a bureaucracy and other element in a society, or within the bureaucracy itself……..both the purposes of reforms and the evils addressed vary with their political circumstances.”85 Faktor penting dalam melaksanakan reformasi administrasi adalah adanya inovasi dan kemampuan menghasilkan kemakmuran (wealth creation). Hal tersebut tercapai melalui sejumlah ide dan aktor baru di dalam kombinasi tugas dan hubungan dalam proses administrasi dan kebijakan. Ndue menjelaskan reformasi administrasi terjadi melalui dua kondisi, yaitu: 1) adanya konflik nilainilai yang terjadi antara birokrasi, pegawai publik dan nilai-nilai yang berkembang di publik, dan 2) adanya kesadaran dari para politisi dan masyarakat umum bahwa struktur birokrasi yang ada tidak mampu atau gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.86 Definisi reformasi administrasi Caiden, berguna sebagai acuan untuk melaksanakan strategi reformasi kebijakan publik mulai dari tahapan formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan. Reformasi administrasi pada dasarnya adalah kegiatan perbaikan terus menerus yang memiliki tujuan yang jelas, bukan sekadar upaya pada periode tertentu dan sporadis. Adapun tujuan akhir yang akan dicapai dari reformasi administrasi adalah bagaimana meningkatkan kinerja sektor publik.87 Chau menguraikan reformasi administrasi dilaksanakan melalui tiga proses, yaitu: 1) menganalisis situasi dan sistem administrasi yang sedang berlaku, 2) merumuskan strategi reformasi yang akan ditempuh, dan 3) melaksanakan reformasi administrasi. Ketiga proses reformasi administrasi tersebut diharapkan menghasilkan peningkatan kinerja administrasi publik yang efektif dan efisien, mengurangi kelemahan (antara lain: praktik korupsi, kolusi dan sebagainya)

Kebijakan Pariwisata (skripsi, tesis, disertasi)

Wisata dapat didefinisikan sebagai aktivitas rekreasi untuk merelaksasikan pikiran dari pekerjaan rutin. Mengacu pada UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat, sesame wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Kepariwisataan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intlektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tujuan kepariwisataan yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, serta mempererat persahabatan antar bangsa. Keindahan alam baik secara fisik maupun keanekaragaman hayati merupakan hal 39 penting untuk keberlangsungan aktivitas pariwisata. Mengacu pada UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia, yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Goeldner menemukan, arti kebijakan pariwisata sering diabaikan dalam memastikan keberhasilan tujua pariwisata, dibandingkan kegiatan memasarkan pariwisata, karena kebijakan pariwisata bertujuan menciptakan iklim di mana kolaborasi diantara banyak pemangku kepentingan di bidang pariwisata didukung dan difasilitasi. Dalam istilah Goeldner, kebijakan pariwisata memenuhi enam fungsi, yaitu: Pertama, mendefinisikan aturan permainan, istilah-istilah dimana operator pariwisata harus berfungsi; Kedua, menetapkan kegiatan dan perilaku yang dapat dterima bagi pengunjung; Ketiga, memberikan arahan dan panduan umum untuk semua pemangku kepentingan pariwisata dalam suatu tujuan; Keempat, memfasilitasi konsensus di sekitar strategi dan tujuan khusus untuk tujuan tertentu; Kelima, menyediakan kerangka kerja untuk diskusi publik/swata tentang peran dan kontribusi sektor pariwisata terhadap ekonomi dan masyarakat secara umum; dan Keenam, memungkinkan pariwisata untuk berinteraksi secara lebih efektif dengan sektor ekonomi lainya (Nugroho,2018:74). Sektor pariwisata terus menunjukkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dnia. Menurut Forbes (2019), sektor ini tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengans eua sektor lain dan menymbang 8,8 triiun dolar Amerika Serikat pada ProdukDomestik Bruto (PDB) global tahu 2018. Selain itu, ada 319 juta pekerjaan baru tercipta di sektor ini pada tahun yang sama. Di Indonesia, pariwisata merupakan salah satu penghasil devisa terbesar bagi negara. Bahkan, pada akhir tahun 2019, 40 pendapatan sektor ini diperkirakan mencapai 17,6 miliar dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, pariwisata akan melampaui sektor unggulan di atasnya, yaitu kelapa sawit. Menurut Menteri Pariwisata periode 2014-2019, dulu ketika migas berjaya pada era 1980-an, kita menyebut dua sumber devisa terbesar adalah migas dan non migas. Sekarang, kita ubah istilahnya menjadi sumber devisa pariwisata dan non pariwisata. The World Travel and Tourism Council (WTTC) menyatakan pertumbuhan pariwisata Indonesia tertinggi ke-9 di dunia pada 2017. Dibandingkan dengan Malaysia (4%), Singapura (5,8%), dan Thailand (8,7%), pertumbuhan Indonesia di sektor ini jauh lebih tinggi, yaitu 22%. Namun, Vietnam lebih moncer lagi dengan 29% karena banyak melakukan deregulsi. Para pelaku industri pariwisata sebenarnya menghadapi tantangan yang sangat besar pada abad ke-21. Konsumen membutuhkan produk-produk wisata yang lebih berkualitas. Mereka menginginkan tujuan wisata yang baru dan beda, lebih beragam, dan lebih fleksibel. Mereka mendambakan lingkungan yang bersih, pengalaman berwisata alam, kegiatan wisata petualangan, dan produk-produk wisata yang mencakup budaya, pusaka, dan sejarah (Edgell, 2016). Akibatnya, semakin banyak pihak yang tertarik untuk mengembangkan produk wisata yang berkualitas lebih tinggi dan memberi perhatian lebih besar pada lingkungan alam dan lingkungan binaan, termasuk situs sejarah dan budaya. Lebih jauh lagi, pengusaha dan pemerintah semestinya memperhatikan kelestarian sumber daya yang menjadi daya tarik wisata, bukan semata-mata mengeksploitasi untuk kepentingan sesaat. Pengelolaan sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan dimaksudkan tidak hanya memberikan manfaat bagi generasi saat ini, tetapi juga bagi generasi penerus. Paradigma pariwisata berkelanjutan muncul seiring dengan perkembangan sektor pariwisata sejak lebih dari setengah abad lalu (Weaver, 2006) dan berkembang 41 sejak tahun 1990-an (Swarbrooke, 1998). Ini merupakan salah satu sektor dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks ini, pengembangan pariwisata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan masa depan. Degan kata lain, semua kalangan yang terlibat di dalamnya secara bijaksana menggunakan dan melestarikan sumber daya yang ada, agar bisa bermanfaat dalam jangka panjang. Dampak negatif dari kegiatan wisata ditekan sampai sekecil-kecilnya, sedangkan dampak positifnya dioptimalkan sebesarbesarnya.

Tantangan Dinamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi pemerintah – seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang ketinggalam jaman, kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan dan kebutuhan individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini bertolak belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi yang kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi tindakan yang efektif, serta perubahan yang terus-menerus. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan Chen (2007, p. 3) bahwa Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism in policymaking and implementation. Institutional culture involves how a nation perceives its position in the world, how it articulates its purpose, and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its decision-making and policy choices. In addition, strong organizational capabilities are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective action. Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi sosial 28 dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan mengutip pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi manakala terdapat “leadership intention, cognition and learning which involve continual modification of perceptions, belief structures and mental models, particularly when confronted with global development and technological change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar tetap efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen dalam mewujudkan dynamic governance? Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan. Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif melalui berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang menjadi dasar dari proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan nilai budaya (institutional culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni thinking ahead, thinking again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan-kebijakan adaptif. Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi dan proses kebijakan (membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi) dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar, berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan. Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi dan 29 pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan: a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan yang memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan, b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian tujuan saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program yang ada, c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi ancaman yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan untuk dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam percakapan strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen, 2007, pp. 32–33). Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again melibatkan: a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan balik dari publik, b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang diamati, informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui target yang hilang, c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi karakter dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak, d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya, sehingga kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan 30 e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan lebih dan menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37). Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan proses: a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan diimplementasikan oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa, b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman, c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal, mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh penduduk setempat; d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda yang menciptakan pendekatan inofatif untuk masalah yang muncul, dan e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan kebijakan lokal dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp.41-42). Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan responsif. Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal melalui ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh Negara lain (Neo & Chen, 2007, p. 13). Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Adaptasi kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap tekanan yang 31 datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi dengan ide-ide baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil yanglebih baik; kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan dari masyarakat; dan implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai manifestasi dari dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 13). Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata kelembagaan dan kebiasaan – akan mempengaruhi perilaku. Kearifan lokal ini termanifestasi dalam norma-norma dan konvensi informal. Pada gilirannya, akan memainkan peran penting dalam proses perubahan dan adaptasi berbagai kebijakan. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa asumsi mengenai keutamaan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan terhadap pertingnya relevansi global dan peran penting Negara dalam menciptakan kondisi untuk pertumbuhan, mempengaruhi pemikiran dan pendekatan terhadap pemerintahan. Pilihan kebijakan yang dibuat dibentuk oleh nilai-nilai budaya tentang integritas, meritokrasi, kemandirian, pragmatism, dan kehati-hatian pengelolaan keuangan (Neo & Chen, 2007, p. 14). Dalam mewujudkan dynamic governance, peran pemimpin menjadi sangat penting. Dalam melakukannya, tidak hanya sekedar mengandalkan charisma dan upayanya sendiri saja, akan tetapi dengan membangun kapabilitas organisasi sehingga pengetahuan dan sumberdaya dapat secara sistematis dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai permasalahan (effective action). Yang dibutuhkan untuk mewujudkan dynamic governance adalah proses belajar dan berpikir yang baru, desain beragam pilihan kebijakan, pengambilan keputusan yang analitis, seleksi rasional atas polihan kebijakan, dan efektif implementasi kebijakan. Disinilah peran pemimpin menjadi sangat penting. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berpikir kreatif dan 32 inovatif serta bekerja keras untuk memberikan setting yang tepat untuk mewujudkan dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 14). Upaya memperbaiki kinerja lembaga perlu diinisiasi oleh pemimpin organisasi. Untuk dapat mengambil keputusan dan pilihan yang tepat membutuhkan pemimpin organisasi yang memiliki “necessary motivation, attitude, values, intellect, knowledge and skills to envision the future, develop strategic options and select paths that give the institution the greatest scope for survival and success.”(Neo & Chen, 2007, p. 16). Dynamic governance merupakan hasil dari niat kuat an ambisi pemimpin untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat. Kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang dinamis dengan kemampuan untuk mengelola berbagai elemen secara terintegrasi di tengah perubahan yang terus-menerus melalui strategi yang jelas, manajemen yang cerdas, belajar terus-menerus, dan mencari jalan yang adaptif dan relevan, serta eksekusi kebijakan yang efektif. Secara sistematis membangun kapabilitas semua orang yang terlibat dan juga proses untuk menjamin bahwa ide-ide baru yang inovatif terakomodasi dalam kebijakan, proyek dan program yang realistis, serta secara konsisten mengkoordinasikan seluruh aktivitas organisasi untuk mengarah pada pencapaian tujuan (Neo & Chen, 2007, p. 30). Pada intinya, dynamic governance terjadi manakala “policy-makers constantly think ahead to perceive changes in the environment, think again to reflect on what they are currently doing, and think across to learn from others, and continually incorporate the new perceptions, reflections and knowledge into their beliefs, rules, policies and structures to enable them to adapt to environmental change.”(Neo & Chen, 2007, p. 15). Kapabilitas dinamis inilah yang menjadi kunci rahasia keberhasilan Singapura selama lebih dari empat dekade. Dynamic governance bisa 33 terwujud secara berkelanjutan ketika: “there is a long-term commitment to and investments in building each of the elements in the system and designing the necessary linkages for them to work as a whole.” Perlu digarisbawahi pula bahwa “[t]he interdependent, interacting and reinforcing flows” merupakan detak jantung dari dynamic governance. Tanpa itu, tidak akan pernah ada dynamic governance.

Tata Kelola Pemerintahan Daerah (skripsi, tesis, disertasi)

Perubahan paradigma pemerintahan pasca era reformasi hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang mengganti Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengarahkan pemerintah yang selama ini lebih cenderung pada adanya kekuasaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, sekarang ini berubah menjadi pemenuhan kebutuhan masyarakat (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) melalui kegiatan pengaturan, pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat guna mencapai tujuan pemerintahan. Pemerintahan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang sesuai dengan falsafah negara dan Undang-Undang Dasar, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sehubungan dengan hal ini, dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan salah satu tujuan Negara Republik Indonesia didirikan ialah untuk kemasalahatan rakyat. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah sebagai pelaksana roda pemerintahan memiliki kewajiban untuk kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai panduan dan konsep dalam penatakelolaan peerintahan yang baik dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik, di pusat maupun di daerah, termasuk dengan konsep good governance. Maslan Rikun dkk (2018), mengemukakan bahwa Good Governance merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang universal, karena itu seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Upaya menjalankan prinsip-prinsip good governance perlu dilakukan dalam penyelenggaraan Ada masalah birokrasi yang dihadapi semua Pemerintahan Daerah sehubungan dengan pelaksanaan good governance di dalam Pemerintahan Daerah, baik segi struktur dan kultur serta  nomenklatur program yang mendukungnya. Sampai sekarang penerapan prinsip good governance di pemerintah daerah masih bersifat sloganistik. Terjadinya krisis nasional dan berbagai persoalan di Indonesia antara lain disebabkan dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan terutama birokrasi yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Akibatnya timbul berbagai masalah seperti kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Bahkan kondisi saat ini pun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik (good governance), yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Namun perkembangan teori good governance mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman yang pesat. Berbagai pandangan para ahli mengenai tata kelola pemerintahan seperti sound governance, dynamic governance, dan, sound governance. Konsep-konsep tersebut ditawarkan para ahli untuk kemajuan tata kelola pemerintahan yang memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat. Di Indonesia konsep sound governance, dynamic governance, dan open government belum terlalu popular didegungkan, walaupun sebenarnya elemen-elemen konsep tersebut telah diimplementasikan ke dalam tata laksana pemerintahan di Indonesia. Bila dilihat dalam perbandingan ketiga konsep tersebut, Dynamic Governance lebih sesuai untuk menjelaskan perubahan penyelenggaraan pemerintahan akibat perubahan lingkungan. Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi adanya berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus, respon yang cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif. Atau Dengan kata lain bahwa, kondisi yang dinamis tersebut mendeskripsikan proses belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan yang tiada akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah, maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta dan pemerintah berinteraksi. Lembaga pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dan beragam perilaku sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang 25 berlangsung. Pada gilirannya, kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007:1). Kemudian Neo dan Chen (2007:7) lebih lanjut menjelaskan bahwa governance menjadi dinamis manakala pilihan-pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan perkembangan terbaru dalam lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat sehingga berbagai kebijakan dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan jangka panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan. Lebih dari itu, dinamis lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for longterm survival and prosperity.” Pemerintahan yang dinamis (dynamic governance) menjadi sebuah kapabilitas yang strategis yang perlu dimiliki oleh Pemerintah di berbagai Negara di dunia saat ini. Perubahan berbagai sektor dan aspek kehidupan pada akhirnya melahirkan berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk dapat meresponnya secara lebih efektif dan efisien. Dynamic governance menjadi landasan penting dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan Pemerintah yang adaptif dan responsive terhadap perubahan lingkungan. Kemampuan ini menjadi faktor esensial dalam konteks upaya Pemerintah mewujudkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. (Mudiyati Rahmatunnisa; 2019). Syafri, W, (2012:184) menjelaskan kerangka dasar Dynamic Governance dan elemen-elemennya adalah sebagai berikut: 1) Thinking Ahead Thinking ahead berarti kemampuan mengidentifikasikan faktor lingkungan berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan masa mendatang, memahami dapaknya terhadap sosio ekonomi masyarakat. Proses berfikir kedepan meliputi: 26 1. Menggali berbagai kemungkinan dan antisipasi terhadap berbagai kecenderungan masa depan yang meiliki dampak signifikan terhadap tujuan kebijakan 2. Merasakan dampak pembangunan trehadap pencapaian tujuan pembanunan sedang berjalan dan menguji efektivitas kebijakan, strategi, dan program sedang berjalan 3. Menentukan pilihan-pilihan yangakan digunakan sebagai persiapan menghadapi timbulnya ancaman terhadap peluang yang baru 4. Mempengaruhi para pembuat kebijakan kunci dan para pemangku kepentingan untuk memperhatikan isu-isu yang muncul secara serius dan mengajak mereka untuk membicarakan kemungkinan respon/tanggapan yang akan diambil. 2) Thinking Again Thinking again merupakan kemampuan meninjau kembali berbagai kebijakan, strategi dan program yang sedang berjalan. Kaji ulang dimaksudkan untuk melihat kelaikan dan kecocokan kebijakan, strategi dan program yang sedang berjalan dengan kondisi yangsedang dihadapi dan masa mendatang akibat perubahan lingkungan global yang cepat. 3) Thinking Across Proses berfikir thinking across atau melewati batas ini meliputi: 1. Mencari praktek-praktek implementasi suatu kegiatan yang kurang lebih sama 2. Menggambarkan tentang apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka melakukannya, serta mengambil pelajaran dari pengalaman yang mereka lakukan 3. Mengevaluasi apa yang diterapkan pada local value yang ada 4. Mengungkapkan ide-ide baru 27 5. Menyesuaikan kebijakan dan program dengan kebutuhan setempat.

Pemerintahan Daerah (skripsi, tesis, disertasi)

Lahirnya pemerintahan tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan yang awalnya untuk mengawal eksistensi kekuasaan dalam masyarakat, sehingga masyarakat tersebut tunduk pada kekuasaan yang ada. Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan negara yang semakin mengikuti perkembangan global sehingga kebutuhan masyarakat juga semakin meningkat, maka peran pemerintah yang menganut demokrasi, mengalami perubahan paradigma menjadi pelayanan kebutuhan masyarakat. Paradigma pemerintahan yang demokratis dan modern, lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mendukung kekuasaan pemerintahan. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi 19 yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Semakin banyaknya kebutuhan dan semakin luasnya wilayah kekuasaan membuat negara membagi kekuasaan dengan pemerintahan yang lebih kecil. Penyelenggaraan pemerintahan di wilayah yang lebih kecil diarahkan untuk mempercepat terwujudnya pelayanan dan mendekatkan jangkauan pemerintahan negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat bahwa negara-negara, baik yang berbentuk kerajaan, federasi maupun republik membagi wilayahnya berdasarkan tujuan kondisi sosial politik dan letak geografi suatu negara. Pembagian negara merupakan pembagian wilayah suatu negara berdasarkan sistem tertentu dengan maksud untuk mempermudah administrasi, pemerintahan, dan hal-hal yang sehubungan dengan itu. Hasil dari pembagian tersebut dikenal dengan sebutan umum “subdivisi negara” atau pembagian negara. (Setiawan, 2018, 51) Dalam penyelenggaraan pemerintahan pada wilayah daerah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas-asas pemerintahan daerah. Syafiie (2011: 178-179) menguraikan asas-asas pemerintahan daerah tersebur sebagai berikut: a) Asas Desentralisasi Asas Desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri. Yang dimaksud dengan sebagian urusan adalah karena tidak semua urusan dapat diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, misalnya penyerahan urusan pertahanan dan keamanan, karena akan menimbulkan keberanian daerah untuk melawan Pemerintah Pusat secara separatis, penyerahan urusan moneter akan membuat perbedaan dan kesenjangan pada mata uang, penyerahan urusan peradilan akan 20 membuat pemberontak yang dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Pusat malahan menjadi pahlawan dalam peradilan di daerahnya. Mengurus adalah penyerahan urusan pemerintahan kepada pihak eksekutif sehingga Pemerintah Daerah lalu membangun dinas-dinas sesuai urusan yang diserahkan. Sedangkan pengaturan adalah agar peraturan daerah dapat dibuat sendiri oleh Pemerintah Daerah dengan berdirinya lembaga legislatif daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Keberadaan legislative daerah dan eksekutif daerah inilah yang kemudian mereka mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. b) Asas Dekonsentrasi Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari aparat Pemerintah Pusat atau pejabat di atasnya (misalnya pada wilayah provinsi) jadi begitu suatu departemen di tingkat pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat kepala kantor wilayah provinsi, atau pejabat kepala wilayah provinsi tersebut melimpahkan wewenang kepada kepala kantor departemen di tingkat kabupaten/kota, maka terkadang muncul egoisme sektoral karena Pemerintah Daerah tidak mengetahui pelaksanaan dan sulit untuk ikut mengawasinya. Misalnya dalam hal kemungkinan munculnya tumpang tindih pekerjaan, baik waktunya, biayanya misalnya antara pembangunan bongkar pasang jalan karena pemasangan pipa air minum, kabel telepon dan jaringan listrik. c) Asas Tugas Pembantuan Di satu pihak Pemerintah Pusat khawatir penyerahan semua urusan kepada daerah akan membuat daerah menjadi separatis, tetapi di pihak lain Pemerintah Daerah curiga karena Pemerintah Pusat akan merongrong kekayaan daerah maka tarikulur antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak pernah selesai dari dulu. Seperti diketahui desentralisasi pemerintahan pada zaman penjajahan sangat dibatasi, 21 sehingga aparat dekonsentrasi sangat kewalahan, misalnya dalam keuangan sangat kecil, yaitu sekedar membiayai tugas yang tidak penting, oleh karena itu dalam urusan pemerintahan tertentu Pemerintah Daerah diikutsertakan. Kata lain dari tugas pembantuan ini adalah Medebewind. Mede, dalam bahasa Belanda artinya ikut serta atau turut serta, sedangkan “bewind” juga dalam bahasa Belanda artinya berkuasa atau memerintah. Jadi, Pemerintah Daerah ikut serta mengurus sesuatu urusan tetapi kemudian urusan itu harus dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan melalui 3 (tiga) asas, yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Keadaan ini didasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu, maka keseimbangan dari ketiga asas tersebut senantiasa menjadi perhatian para penyelenggara pemerintahan dan pelaksana pembangunan daerah. Oleh karena itu, masalah pemerintahan daerah akan muncul ke permukaan sebagai salah satu isu yang banyak menarik perhatian untuk dibicarakan oleh kalangan luas, walaupun sekarang ini pelaksanaan pemerintahan daerah (otonomi daerah) lebih menunjukkan sebagai harapan daripada kenyataan. Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah

Pemerintahan (skripsi, tesis, disertasi)

Kata “pemerintahan” berasal dari kata “perintah”, kata perintah tersebut mendapatkan awalan “pe” dan akhiran “an”. Sehingga menjadi kata benda “pemerintah” dan pemerintahan. Pemaknaan pemerintahan oleh Sadjijono (2008:41) menjelaskan bahwa Pemerintahan dalam arti luas yang disebut regering atau goverment, yakni penyelenggaraan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara. Arti pemerintahan meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisiil atau alat-alat kelengkapan negara yang lain yang juga bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit (bestuurvoering), yakni mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan. Titik berat pemerintahan dalam arti sempit ini hanya berkaitan dengan kekuasaan yang menjalankan fungsi eksekutif saja. Pemerintah merupakan organ (perlengkapan atau alat-alat) yang memerintah atau kekuasaan untuk memerintah, sedangkan pemerintahan lebih mengacu pada perbuatan memerintah. Pemerintah di sini juga menunjukkan arti badan atau lembaganya dan pemerintahan menunjukkan arti fungsinya. (Wasistiono, 2009:1.5) Sementara, Menurut Suhady (2009:197), pemerintah (government) ditinjau dari pengertiannya adalah the authoritative direction and administration of the affairs  of men/women in a nation state, city, ect. Dalam bahasa Indonesia sebagai pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan masyarakat dalam sebuah Negara, kota dan sebagainya. Pemerintahan dapat juga diartikan sebagai the governing body of a nation, state, city, etc yaitu lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan Negara, Negara bagian, atau kota dan sebagainya Kemudian Ermaya Suradinata (1998) mendefinisikan pemerintahan secara lebih sederhana sebagai berikut: government is the best defined as the organized agency of the state, expressing and exercing its authority artinya pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah lembaga negara terorganisasi yang menunjukkan dan menjalankan wewenang atau kekuasaannya. Pendapat tersebut menjelaskan tentang kekuasaan dalam pemerintahan sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintahan tanpa kekuasaan tidak mungkin akan dapat berjalan. Berdasarkan uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pemerintahan mempunyai dua makna, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Makna kata “pemerintahan” dalam arti luas berarti pelaksanaan tugas orang, badan, lembaga yang bertindak untuk dan atas nama negara dan diberikan wewenang dalam mencapai tujuan dari negara tersebut. Sementara dalam arti sempit berarti organisasi yang berfungsi sebagai pemerintah atau pelaksana eksekutif Kata perintah itu sendiri paling sedikit ada 4 (empat) unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai berikut: 1. Ada dua pihak yang terlibat, 2. Yang pertama pihak yang memerintah disebut penguasa atau pemerintah, 3. Yang kedua adalah pihak yang diperintah yaitu rakyat, 4. Antara kedua pihak tersebut terdapat hubungan (Syafiie, 2011: 61). 15 Kemudian Setiawan (2020:4) memaknai kata pemerintahan tersebut ke dalam dimensi-dimensi pemerintahansebagai berikut: a. orang atau sekelompok orang yang diperintah dalam suatu negara (rakyat) b. sekelompok orang yang memerintah dalam suatu negara (pemerintah) c. adanya perintah yang diterima dan dipatuhi (kebijakan/peraturan dan implementasinya) d. kewenangan yang diberikan kepada sekelompok orang yang memerintah (kewenangan) e. membantu memenuhi kebutuhan (pelayanan) S.E. Finer (Finer, 1974 dalam Sumaryadi, 2010: 18) mengklasifikasikan pemerintah ke dalam 4 (empat) pengertian, yakni: 1. Pemerintah mengacu pada proses pemerintahan, yakni pelaksanaan kekuasaan oleh yang berwenang. 2. Istilah ini juga bisa dipakai untuk menyebut keberadaan proses itu sendiri kepada kondisi adanya tata aturan. 3. Pemerintah sering berarti orang-orang yang mengisi kedudukan otoritas dalam masyarakat atau lembaga, artinya kantor atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan. 4. Istilah ini juga bisa mengacu pada bentuk, metode, sistem pemerintah dalam suatu masyarakat, yakni struktur dan pengelolaan dinas pemerintah dan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Peranan pemerintahan dalam proses kehidupan manusia diakui oleh dunia dalam perjalanan sejarah manusia. Pemerintah mempunyai peranan penting guna menciptakan keamanan, pengaturan dalam urusan keagamaan dan mengontrol perkembangan ekonomi serta menjamin terlaksananya proses kehidupan sosial.   Bilamana masyarakat berkembang dan menjadi lebih kompleks, pemerintahan juga berkembang menjadi lebih kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam konteks kybernology, Ndraha (2008) berpendapat bahwa pemerintahan bertujuan melindungi hak-hak eksistensi (asasi) manusia, melestarikan lingkungannya, dan memenuhi kebutuhan dasarnya melalui proses interaksi 3 (tiga) peran, yaitu: 1) meningkatkan nilai sumber daya yang ada dan menciptakan (membentuk) sumber daya baru sebagai peran SubKultur Ekonomi (SKE); 2) mengontrol SKE, memberdayakan, dan meredistribusikan nilai-nilai yang telah berhasil ditingkatkan atau dibentuk oleh SKE, melalui pelayanan kepada pelanggan oleh Sub Kultur Kekuasaan (SKK); 3) Mengontrol SKK oleh peran Sub Kultur Pelanggan (SKP) Pemerintah merupakan suatu bentuk organisasi dasar dalam suatu negara. Tujuan dari pemerintah dikatakan oleh Ateng Syafrudin sebagaimana dikutip oleh Tarsito (1978: 10): “Pemerintah harus bersikap mendidik dan memimpin yang diperintah, ia harus serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah, menjadi pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka bersama, menciptakan perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-samar oleh semua orang, yang dilukiskan secara nyata dan dituangkan dalam kata-kata oleh orang-orang yang terbaik dan terbesar”. Berdasarkan tujuan pemerintahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terlihat jelas beberapa fungsi-fungsi dalam proses tersebut. Melihat gejala dan peristiwa pemerintahan sebagaimana yang diutarakan para ahli pemerintahan, maka Istianto (2011:22) mengemukakan fungsi pemerintah antara lain: 17 1. Bersikap mendidik dan memimpin yang diperintah artinya Pemerintah yang berfungsi sebagai leader (pemimpin) dan educator (pendidik). Para pamong, diharapkan dapat memimpin dan menjadi panutan masyarakat; 2. Serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah artinya pemerintah dapat memahami aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pemerintah yang baik adalah mengerti apa yang diinginkan dan menjadi kebutuhan masyarakatnya; 3. Menjadi pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka bersama artinya pemerintah sebagai katalisator dan dinamisator masyarakat. Sebagai katalisator artinya sebagai penghubung bagi setiap kelompok kepentingan di masyarakat. Sedangkan sebagai dinamisator artinya penggerak segala bentuk kegiatan bermasyarakat; 4. Menciptakan perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-samar oleh semua orang artinya pemerintah harus peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, jangan sampai lengah terhadap keinginan yang terjadi di kalangan masyarakat. Banyak pemerintah yang jatuh atau hancur akibat tidak peka terhadap perubahan; 5. Melukiskan semua secara nyata dan dituangkan dalam kata-kata oleh orangorang yang terbaik dan terbesar. Artinya pemerintah bertugas merancang dan atau membuat berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan. Tidak kalah pentingnya, pemerintah harus mengimplementasikannya dengan benar mempersiapkan perangkat dan sumber daya yang terbaik. Fungsi pemerintah dalam pelayanan publik tidak lepas dari hakikat tujuan negara pada mulanya, yaitu mengatur berbagai kepentingan masyarakat agar tidak terjadi benturan antara masyarakat itu sendiri. Kemudian seiring semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat maka negara memerlukan suatu institusi yang 18 mengatur kepentingan itu. Hal ini diungkapkan oleh Ryaas Rasyid (1996) bahwa pemerintah merupakan personifikasi negara, sedangkan birokrasi dan aparaturnya merupakan personifikasi pemerintah. Ungkapan tersebut mungkin terlalu sederhana dan tidak dapat dipungkiri bahwa pihak yang paling aktif dalam kegiatan pengelolaan kekuasaan negara sehari-hari adalah birokrasi yang berperan sebagai pelaksana keputusan-keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin politik. (Wasistiono, 2009: 1.13)

Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Gambhir Bhatta mengemukakan bahwa konsep Governance adalah hubungan antara pemerintah dan warga negara yang memungkinkan kebijakan publik dan program akan dirumuskan, dilaksanakan dan dievaluasi mengacu pada aturan, lembaga, dan jaringan yang menentukan bagaimana sebuah negara atau fungsi organisasi.  Oleh karena itu penyelenggara negara yang kredibel, akuntabel, dan transparan mutlak diperlukan dalam upaya pengembangann suatu negara. Sebagaimana dipaparkan oleh World Bank bahwa kurang berfungsinya lembagalembaga sektor publik dan lemahnya pemerintahan adalah kendala utama bagi pertumbuhan dan pembangunan yang adil di banyak negara berkembang.  Begitu pula dengan yang terjadi di Indonesia, pengembangan profesionalisme manajemen penyelenggaraan haji seringkali terhambat oleh kurang berfungsinya lembaga-lembaga publik khususnya pemerintahan. Dynamic Governance adalah kemampuan pemerintah untuk terus menyesuaikan kebijakan dan program publik, serta mengubah cara kebijakan publik tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, sehingga kepentingan jangka panjang bangsa dicapai. Kedinamisan dalam pemerintahan sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan terutama pada lingkungan yang mengalami ketidakpastian dan perubahan yang cepat dimana masyarakat yang semakin menuntut kecanggihan, lebih berpendidikan, dan lebih terdampak globalisasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan (skripsi, tesis, disertasi)

Menurut Hogwood dan Gunn dalam Nugroho (2003), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan, antara lain: a. kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana; b. tersedia waktu dan sumber daya; c. keterpaduan sumber daya yang diperlukan; d. implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang handal; e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung; f. hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan; g. kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan; h. tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; i. komunikasi dan koordinasi yang baik; Menurut Grindle dalam Wibawa (1994 : 64) implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan berkaian dengan kepentingan yang dipengaruhui oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara konteks implementasi berkaitan dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasan dan kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Mazmanian dan Sebatier mengklafikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasidengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial dan ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukuangan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variable dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan-pemahaman dari lembaga/ badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar. Menurut Hogwood dan Gunn, dalam wahab (1997 : 70-81) untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan, antara lain: 1. kondisi eksternal yang dihadapi oleh Lembaga/badan pelaksana ; 2. tersedia sumber daya yang memadai, termaksud sumber daya waktu; 3. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan; 4. implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang andal; 5. Hubungan sebab akibat yang terjadi satu dengan yang lain; 6. hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan; 7. kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan; 8. tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; 9. komunikasi dan koordinasi yang sempurna; 10. pihak-pihak yang berwenang dapat menuntut kepatuhan pihak lain. Menurut teori George C. Edwards III dalam Subarsono (2005 : 90- 92), Implementasi Kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: 1. Komunikasi Keberhasilan Implementasi Kebijakan mensyaratkan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditranmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. 2. Sumber Daya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumber dayauntuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut akan berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementator, dan sumber daya finansial 3. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokrasi. Apabila implementator memiliki disposisisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. 4. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Struktur organisasi yang telah panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.

Pengertian Implementasi Kebijakan (skripsi, tesis, disertasi)

Implementasi merupakan terjemahan dari kata “implementation”, berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut Webter’s yang berasal dari bahasa Latin “implementum” dari kata “impere” dan “plere”. Kata “implere” dimaksudkan “to fill up”, to fill in”, yang artinya mengisi penuh;melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to full” yaitu mengisi. Selanjutnya kata “to implement” mengandung tiga arti sebagai : (1). Membawa ke sesuatu hasil (akibat); melengkapi dan menyelesaikan; (2). Menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan sesuatu; memberikan yang bersifat praktis terhadap sesuatu; (3) menyediakan atau melengkapi dengan alat. Kemudian, Tachjan(2003 : 64) mengatakan implementasi kebijakan publik “merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/disetujui”. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi. Metter dan Horn dalam Nugroho(2003 : 169-170) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Metter dan Horn mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik

Pemerintahan Dinamis (Dynamic Governance) (skripsi, tesis, disertasi)

Konsep Dynamic Governance yang dikenal saat ini merupakan satu kemampuan pemerintah untuk terus menyesuaikan kebijakan dan program publik, serta pola mengubah cara kebijakan publik tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, sehingga berdampak pada kepentingan jangka panjang dicapai. Kondisi kedinamisan dalam pemerintahan sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan terutama pada lingkungan yang mengalami ketidakpastian dan perubahan yang cepat dimana masyarakat yang semakin menuntut kecanggihan, lebih berpendidikan, dan lebih terdampak globalisasi serta lahirnya berbagai konsep baru dalam penyelenggaraan pemerintahan dan persaingan global Konsep teori Dynamic Governance mencerminkan upaya pemimpin yang dengan sengaja untuk membentuk masa depan mereka. Adapun konsep dasar Dynamic Governance adalah mengkombinasikan budaya dengan kapabilitas sehingga dapat menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa satu konsep Dynamic Governance merupakan kombinasi antara budaya dengan kapabilitas yang menghasilkan perubahan dimana diadasarkan pada Budaya yang menunjukkan keyakinan dan nilai-nilai kelompok tertentu yang dibagi atau dimiliki bersama, sehingga dapat dianggap sebagai akumulasi pelajaran bersama dari masyarakat tertentu berdasarkan sejarah pengalaman bersama yang berwujud menjadi satu tataran nilai kehidupan Peraturan dan struktur pemerintahan adalah pilihan yang dibuat oleh masyarakat dan mencerminkan nilai-nilai dan kepercayaan dari para pemimpinnya, hal ini lah yang menempatkan bahwa dasar kepercayaan (Trust) menjadi tujuan dan harapan tertinggi dari pemerintah yang didapat dari masyarakatnya Kepercayaan kepada pemimpin dalam membentuk aturan, normanorma informal dan mekanisme penegakan yang dilembagakan kemudian menjadi satu kebijakan. Dalam konsep Dynamic Governance, seorang pemimpin harus berpikir secara cerdas dan taktis dengan cara mengartikulasikan ide-idenya dalam pola penyelenggaran orgnasisasi dalam hal ini penyelenggaraan orgnasasi pemerintahan.yang diawali dari berpikir ke depan (think ahead) yang diartikan kemampuan untuk mengidentifikasi perkembangan lingkungan di masa depan, memahami implikasinya, dan mengidentifikasi strategi yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang baru dan mencegah potensi ancaman. Dapat diartikan bahwa maksud berpikir ke depan adalah untuk mendorong satu lembaga dalam menilai risiko strategi dan kebijakan saat ini, me-refresh tujuan, dan konsep inisiatif kebijakan baru untuk mempersiapkan masa depan. Adapun dalam kerangka konseptual Dynamic Governance terdiri dari Budaya, Kemampuan dan perubahan, dimana ketiganya dapat dimaksimalkan ketika mampu bekerja secara interaktif dan sinergis sebagai bagian dari sistem dinamis. Kemampuan berpikir ke depan, berpikir lagi dan berpikir lintas batas juga seharusnya tidak hanya sekadar menjadi satu keterampilan yang berdiri sendiri dan tidak boleh beroperasi sebagai proses independen namun kemampuan ini terdapat hubungan yang saling berkaitan dan jika mereka terhubung secara interdependen bekerja sebagai sebuah sistem, efek potensi mereka dapat diperkuat dan dampak keseluruhan diperkuat. Konsep ini menyangkut penentuan cara mengupayakan kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan jangka panjang dari suatu bangsa, maka pada negara demokratis cara yang ditempuh adalah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan, penetapan institusi dan pola hubungan antar pemangku kepentingan. Terkait dengan pemahaman tersebut, Wirman Syafri mengutip Boon, dan Geraldine (2007) menjelaskan governance sebagai penentuan berbagai kebijakan, institusi, dan struktur yang dipilih, yang secara bersama mendorong untuk memudahkan interaksi kearah kemajuan ekonomi dan kehidupan sosial yang lebih baik

Strategi Pemerintahan (skripsi, tesis, disertasi)

Terdapat beberapa definisi terkait pengertian strategi sebagaimana dikemukakan oleh para ahli dalam bidang strategi dalam buku karya mereka masing-masing. Adapun menurut Marrus (2002:31) strategi dapat didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana dari para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang suatu organisasi, serta dengan disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai dan terlaskana sesuai dengan rencana, disamping itu terdapat pula definisi dari Quinn (1999:10) yang mengartikan konsep strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuantujuan utama, dari kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini strategi yang diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan serta menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan perusahaan, antisipasi perubahan dalam lingkungan, serta adanya satu kesatuan pergerakan yang dilakukan oleh mata-mata musuh. Dari kedua pendapat di atas, maka strategi dapat diartikan sebagai suatu rencana yang disusun oleh manajemen puncak atau tataran inti untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Rencana ini meliputi : tujuan, kebijakan, dan tindakan yang harus dilakukan oleh suatu organisasi dalam mempertahankan eksistensi dan memenangkan persaingan, terutama perusahaan atau organisasi harus memilki keunggulan kompetitif, atau dalam lingkup organisasi pemerintahan lebih kepada pemberian layanan terbaik bagi masyarakat. Menjadi satu kewajiban diperlukanya satu kepastian untuk bisa menjamin agar supaya strategi dapat berhasil baik dengan cara meyakinkan bukan saja dipercaya oleh orang lain, tetapi memang dapat dilaksanakan, sebagaimana Hatten dan hatten (1996: 108-109) memberikan beberapa petunjuknya bahwa satu strategi harus konsiten dengan lingkungan pada dasaranya, strategi dibuat mengikuti arus perkembangan masyarakat yang ada terlebih perubahan konsep dan dinamika pemerintahan yang terjadi dalam lingkungan yang memberi peluang untuk bergerak maju.

Tantangan Dalam Praktek Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi 7 pemerintah – seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang ketinggalam jaman, kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan dan kebutuhan individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini bertolak belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi yang kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi tindakan yang efektif, serta perubahan yang terus-menerus. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan Chen (2007, p. 3) bahwa Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism in policy-making and implementation. Institutional culture involves how a nation perceives its position in the world, how it articulates its purpose, and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its decision- making and policy choices. In addition, strong organizational capabilities are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective action. Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi sosial dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan mengutip pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi manakala terdapat “leadership intention, cognition and learning which involve continual modification of perceptions, belief structures and mental models, particularly when confronted with global development and technological change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar tetap efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen dalam mewujudkan dynamic governance? Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan. Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif melalui berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang menjadi dasar dari proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan nilai budaya (institutional culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni thinking ahead, thinking again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan- kebijakan adaptif. Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi dan proses kebijakan (membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi) dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar, berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan. Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi dan pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan: a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan yang memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan, b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian tujuan saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program yang ada, c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi ancaman yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan untuk dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam percakapan strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen, 2007, pp. 32–33). Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again melibatkan: a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan balik dari publik, b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang diamati, informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui target yang hilang, c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi karakter dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak, d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya, sehingga kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan lebih baik dan menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37). Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi   internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan proses: a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan diimplementasikan oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa, b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman, c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal, mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh penduduk setempat, d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda yang menciptakan pendekatan inovatif untuk masalah yang muncul, dan e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan kebijakan local dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp. 41– 42). Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan responsif. Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal melalui ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh Negara lain (Neo & Chen, 2007, p. 13). Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Adaptasi kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap tekanan yang datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi dengan ide-ide baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil yanglebih baik; kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan dari masyarakat; dan implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai manifestasi dari dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 13). Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata k

Manfaat Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Saat ini, semua Negara di dunia menghadapi lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan yang begitu cepat dan sulit diprediksi. Kemajuan yang diraih sekarang, tidak menjamin keberlangsungan hidup di masa depan. Bisa jadi, seperangkat prinsip, kebijakan dan praktek-praktek yang pada awalnya baik, governance yang statis dan mempertahankan status quo pada akhirnya akan membawa keadaan yang stagnan dan tidak berkembang. Tidak ada perencanaan yang hati-hati akan menjamin relevansi dan efektivitas governance, jika lembaga-lembaga pemerintahan tidak memiliki kapasitas untuk belajar, berinovasi dan berubah di tengah lingkungan global yang terus berubah dan sulit diprediksi (Neo & Chen, 2007, p. 1). Tantangan lain yang dihadapi dunia saat ini adalah inovasi teknologi yang berjalan begitu cepat, telah mengakibatkan banyak kebijakan menjadi cepat usang (obsolescence) dan terbukanya peluang-peluang baru. Demikian halnya dengan kondisi perubahan di masyarakat itu sendiri, di mana semakin banyak dari mereka yang mengenyam pendidikan yang lebih baik (well-educated) dan berinteraksi secara intensif dengan perkembangan global, yang pada akhirnya menuntut untuk 6 terlibat di dalam proses perumusan dan implementasi berbagai kebijakan Negara. Tidak kalah penting adalah berbagai permasalahan di masyarakat yang semakin kompleks, dengan dampaknya yang semakin tidak terduga serta hubungan kausal yang semakin rumit, membutuhkan penyelesaian yang multi-perspektif dan koordinasi dari multi-agency (Neo, 2019; Neo & Chen, 2007, pp. 6–8). Dengan merujuk pengalaman Negara Singapura, Neo dan Chen meyakini bahwa untuk menghadapi beragam tantangan tersebut, Pemerintah menjadi elemen sentral. Pemerintah lewat lembaga-lembaganya memainkan peran dalam menciptakan kerangka hubungan antara pemerintah, masyarakat dan dunia bisnis, serta kondisi untuk dapat memfasilitasi atau sebaliknya, menghambat keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Meski Pemerintah tidak secara langsung menciptakan persaingan industri, namun dapat berperan sebagai “a catalyst and a challenger in shaping the context and institutional structure that stimulates business to gain competitive advantages.”(Neo & Chen, 2007, pp. 2– 3). Di sinilah perlunya dinamisme Pemerintah. Pemerintah melalui lembagalembaganya yang dinamis menurut Neo dan Chen (2007, p. 1), “can enhance the development and prosperity of a country by constantly improving and adapting the socio-economic environment in which people, business and government interact.” Pemerintah dapat mempengaruhi dan mengendalikan pembangunan ekonomi melalui beragam kebijakan, peraturan dan struktur-struktur kelembagaan yang memberikan insentif atau pembatasan atas beragam aktivitas yang beejalan. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperbaiki dan beradaptasi secara terus- menerus merupakan kapasitas mendasar yang perlu dimiliki oleh Pemerintah (baca: lembaga-lembaga Pemerintah) jika ingin memiliki sustained economic development and prosperity.

Makna Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi adanya berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus, respon yang cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif (Neo & Chen, 2007, p. 1). Dengan kata lain, dinamisme atau kondisi yang dinamis itu menggambarkan proses belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan yang tiada akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah, 3 maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta dan pemerintah berinteraksi. Lembaga pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dan beragam perilaku sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang berlangsung. Pada gilirannya, kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007, p. 1). Sementara itu, konsep governance telah diartikan sangat beragam oleh para ahli. Bahkan keberagaman pemaknaan konsep tersebut telah mengakibatkan konsep governance termasuk ke dalam kelompok konsep yang tidak terdefinisi secara jelas, seperti dikemukakan oleh Pierre dan Peters (2000: 7, dalam Chhotray & Stoker, 2009) bahwa konsep governance merupakam konsep yang “notoriously slippery”. Namun demikian, Schneider mengatakan bahwa ketidakjelasan tersebut justru menjadi “[the] secret of its success” sehingga menjadi sebuah konsep yang mengglobal. Dalam pengertiannya yang paling sederhana, Crook dan Manor (1995, dalam Rahmatunnisa, 2010, p. 1) mengatakan bahwa governance dimaknai sebagai “ways of governing”. Secara substantif, Chhotray dan Stokker (2009, p. 3) memaknai governance sebagai “the rules of collective decision-making in settings where there are a plurality of actors or organizations and where no formal control system can dictate the terms of the relationship between these actors and organizations”. Definisi ini memberikan catatan penting terkait empat hal yang menjadi prinsip atau elemen dasar dari konsep governance. Yang pertama terkait “the rules”, di mana yang dimaksud adalah beragam aturan baik formal maupun informal seperti konvensi dan kebiasaan lainnya (customs) dalam proses pengambilan keputusan (what to decide, how to decide, and who shall decide). Elemen yang kedua terkait makna “collective”, dimana beragam keputusan dibuat oleh “a collection of individuals”, yang melibatkan “issues of mutual influence and control”. Ketiga, menyangkut makna “decision-making”, dimana dalam konsep governance proses memutuskan sesuatu secara koletif 4 dapat dilakukan baik untuk skala yang besar menyangkut masyarakat luata, atau berskala kecil menyangkut proses internal organisasi. Keempat, menyangkut makna “no formal control system can dictate” yang merujuk pada kondisi dimana governance menekankan pada collective governing, bukan monocratic government. Pemaknaan serupa juga dikemukakan oleh Bhatta (2005, p. 252), yang menyatakan bahwa governance merupakan “the relationship between governments and citizens that enable public policies and programs to be formulated, implemented and evaluated. In the broader context, it refers to the rules, institutions, and networks that determine how a country or an organization functions.” Pemaknaan Bhatta tersebut secara substantif juga mengandung elemen-elemen kunci sebagaimana dimaksudkan oleh Chhotray dan Stokker. Dari kedua konsep tersebut – dinamis dan governance – Neo dan Chen (2007, p. 7) mengatakan bahwa governance menjadi dinamis manakala pilihan- pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan perkembangan terkini dalam lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat sehingga berbagai kebijakan dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan jangka panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan. Lebih dari itu, dinamis lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for long-term survival and prosperity.” Dalam konteks tersebut, konsep good governance menjadi elemen strategis lainnya yang tidak terpisahkan. Pentingnya memiliki dan mempraktekkan good governance dan lembaga-lembaga pemerintah yang jujur dan kompeten menjadi syarat penting untuk kemajuan ekonomi dan penguatan kesejahteraan masyarakat. Argumentasi ini dikemukakan secara tegas oleh Daniel Kaufmann, Direktur Global Governance dari Bank Dunia, bahwa “Poorly functioning public sector institutions and week governance are major constraints to growth and equitable development in many developing countries.” (dikutip dalam Neo & Chen, 2007, p. 7). Namun demikian, Neo dan Chen (2007, pp. 7–8) berpendapat bahwa sekedar mempraktekkan good governance saja tidaklah cukup untuk 5 mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Bangunan governance yng dibuat pada kurun waktu tertentu, dapat menjadi tidak berfungsi ketika lingkungan berubah. Untuk bisa relevan dan efektif, praktek good governance perlu dinamis. Governance yang dinamis memerlukan proses pembelajaran yang terus- menerus, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang masa depan yang dapat mempengaruhi Negara, kesediaan untuk meninjau beragam kebijakan yang kadaluarsa karena perubahan keadaan, dan keterbukaan untuk beradaptasi dengan pengetahuan global yang disesuaikan dengan konteks unik Negara. Oleh karena itu, dynamic governance dapat dimaknai sebagai “the ability of government to continually adjust its public policies and programs, as well as change the way they are formulated and implemented, so that the long-term interests of the nations are achieved.”

Usaha Perikanan (skripsi dan tesis)

Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. Usaha perikanan di Wilayah Perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh perorangan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia termasuk koperasi. Wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud adalah meliputi: 1. Perairan Indonesia; 2. Sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam Wilayah Republik Indonesia; 3. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). 5 Ruang lingkup kegiatan usaha perikanan tidak hanya memproduksi ikan saja tetapi juga meliputi kegiatan seperti pengadaan saran dan prasarana produksi, pengelolaan, pemasaran, pemodoalan, riset, dan pengembangan, perundang-undangan, serta faktor pendukung lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 5 Amiek Soemarmi, Buku Ajar Hukum Perikanan,[usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Secara garis besar, berdasarkan cara menghasilkan produknya usaha perikanan dapat dibagi menjadi tiga jenis usaha yaitu:  1. Usaha penangkapan 2. Usaha budidaya, dan 3. Usaha pengolahan. Penangkapan ikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 5 adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, memangangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengelola dan atau mengawetkannya. Budidaya perikanan adalah usaha manusia dengan segala tenaga dan kemampuannya untuk meningkatkan produksi ikan kedalam tempat dengan kondisi tertentu atau dengan cara menciptakan lingkungan yang memliki kondisi alam yang cocok bagi ikan.Usaha perikanan yang dilakukan oleh pengusaha di Indonesia untuk menghasilkan produksinya terdapat tiga usaha, yaitu usaha 6 Ibid, hlm. 100-101 7 Murtidjo.Tambak Air Payau, Budidaya Udang dan Bandeng. 1992 dalam Mimit Pramyastanto, Feasibility Studi Usaha Perikanan, (Malang : UB Press. 2011), hlm. 4  perikanan tangkap, usaha perikanan budidaya dan usaha perikanan pengolahan ; 1. Usaha Perikanan Tangkap Usaha perikanan tangkap adalah sebuah kegiatan usaha yang berfokus untuk memproduksi ikan dengan cara menangkap ikan yang berasal dari perairan darat (sungai, muara sungai, danau, waduk, dan rawa) atau dari perairan laut (pantai dan laut lepas). Contoh usaha penangkapan ikan tuna, ikan sarden, ikan bawal laut dan lain-lain. 2. Usaha Perikanan Budidaya Usaha perikanan budidaya atau akuakultur adalah sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk memproduksi ikan dalam sebuah wadah pemeliharaan yang terkontrol serta berorientasi kepada keuntungan. Contoh budidaya ikan lele, ikan gurami, ikan nila, ikan patin dan lainlain. 3. Usaha ikan pengolahan Usaha ikan pengolahan adalah sebuah kegiatan usha yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah yang dimiliki oleh sebuah produk perikanan, baik yang berasal dari usaha perikanan tangkap maupun usaha perikanan atau akuakultur.  Seperti diketahui, ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Hanya dalam waktu sekitar 8 jam sejak ikan ditangkap dan didaratkan sudah akan timbul proses perubahan yang mengarah pada kerusakan. Oleh karena itu, agar ikan dan hasil perikanan lainnya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, perlu dijaga kondisinya. Pengolahan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan sehingga mampu disimpan lebih lama sampai tiba waktunya untuk dijadikan bahan konsumsi. Berbicara mengenai usaha tidak dapat lepas dengan Usaha Mikro, kecil dan menengah, perannya terhadap pertumbuhan perekonomian di Indonesia sangat penting. Ketika terjadi krisis pada tahun 1998, usaha kecil dan menengah mampu bertahan dibandingkan dengan perusahaan besar. Alasannya karena mayoritas usaha berskala kecil tidak tergantung pada modal besar atau pinjaman dari dalam maupun luar negeri. Dalam hal ini pemerintah daerah harus bisa membuat usaha mikro kecil dan menengah ini berkembang untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Untuk menjalankan suatu usaha perikanan, setiap pelaku usaha wajib memiliki izin usaha perikanan. Setiap izin usaha perikanan memiliki isi yang berbeda tergantung untuk apa usaha itu dijalankan. Dalam izin usaha perikanan untuk usaha penangkapan ikan 8 Amiek Soemarmi, Op cit, hlm. 100-101 9 Darminto Hartono,” Eksistensi Pembentukan Lembaga Pemeringkatan Usaha Mikro Kecil Menengah Di Indonesia “, Jurnal masalah-Masalah Hukum,  dicantumkan koordinat daerah penangkapan ikan, jumlah dan ukuran kapal perikanan, jenis alat tangkap ikan yang digunakan, dan pelabuhan pangkalan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (skripsi dan tesis)

Penyelenggara pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, sedangkan pemerintah daerah adalah Gubernur, Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum, perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi Lembaga Sekretariat, unsur pendukung kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah, serta unsur pelaksanaan urusan daerah di wadahi dalam Lembaga Dinas Daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan kepada perangkat pemerintahan atau wakil pemerintahan di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa. Di samping itu penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintah, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil 16 pemerintah,atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.Dalam Bab VII Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bagian pertama mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 57 menerangkan, penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri dari atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Penyelenggara Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas: 1. kepastian hukum;tertib penyelenggara negara; 2. kepentingan umum; 3. keterbukaan; 4. proporsionalitas; 5. profesionalitas; 6. akuntabilitas; 7. efisiensi; 8. efektivitas; dan 9. keadilan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 11 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Daerah, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah 4 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, terdiri atas Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang wajib diselenggarakan berkaitan dengan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Pengertian asas tersebut dapat dilihat dalam penjelasan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu : 1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara 2. Tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. 3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 4. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.  5. Asas proposionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban penyelenggaraan negara. 6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan. 7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Asas efektivitas adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.. 9. Asas keadilan adalah bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara. Dinas Kelautan dan Perikanan merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 218 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa untuk memperlancar tugas-tugas pemerintahan daerah dibentuk dinas daerah. Isi pasal tersebut adalah: 1. Dinas Daerah merupakan unsur pelaksanaan otonomi daerah yang dipimpin oleh seorang kepala dinas.  2. Kepala Dinas mempunyai tugas membantu kepala daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 3. Kepala Dinas dalam melaksanakantugasnya bertanggung jawab Kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Berdasarkan ketentuan di atas, maka Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kebumen sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah memiliki kewenangan mengurus urusan pemerintahan dalam bidang Kelautan dan Perikanan. Tugas dan Wewenang Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kebumen diatur dalam Peraturan Bupati Kebumen Nomor 79 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi, Serta Tata Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan. Dalam Pasal 4 menyatakan, Dinas Perikanan Kabupaten Kebumen mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan urusan pemerintahan bidang Kelautan dan Perikanan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang diberikan kepada daerah. Selanjutnya pada Pasal 5 untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dinas menyelenggarakan fungsi : 1. Penyusunan rencana dan program di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 2. Perumusan kebijakan di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan.  3. Pelaksanaan koordinasi di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 4. Pelaksanaan kebijakan di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 5. Pengendalian, evaluasi dan pelaporan di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 6. Pelaksanaan administrasi dinas 7. Pengendalian penyelenggaraan tugas unit pelaksanaan tekinis dinas ; dan 8. Pelaksanaan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh bupati dengan tugas dan fungsinya. Dalam otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berdasarkan pada sistem manajemen pemerintahan yang baik melalui basis transparansi, akuntabilitas, efektif dan efisien. Dengan menerapkan pemerintahan daerah yang baik, otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab akan tercipta dengan baik, maka fungsi pemerintahan daerah adalah: 1. Menjalankan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. 2. Melaksanakan pembangunan daerah secara merata.  3. Menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara cepat, murah, mudah dan berkualitas.

Pemerintahan Daerah (skripsi dan tesis)

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinas kelautan dan perikanan merupakan unsur pelaksana otonomi daerah, yang dibentuk berdasarkan desentralisasi yaitu penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah ini menggunakan asas-asas sebagai berikut : 1. Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Pasal 1 angka (7) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.  2. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. 3. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 4. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Flypaper Effect Pada Daerah Kaya dan Miskin (skripsi dan tesis)

Penelitian yang dilakukan oleh Maimunah (2006) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang PAD-nya tinggi maupun pada daerah yang PAD-nya rendah (yang diukur melalui rasio DOF masing-masing daerah) di Kabupaten/Kota di pulau Sumatera. Ini berarti flypaper effect yang terjadi pada daerah kaya PAD tidak berbeda dengan flypaper effect yang terjadi pada daerah miskin PAD. Atau dengan kata lain, flypaper effect tidak hanya terjadi pada daerah miskin PAD, namun juga daerah kaya PAD.

Flypaper Effect (skripsi dan tesis)

Oates (1999) dalam Sukriy dan Halim (2003) menyatakan bahwa beberapa penelitian mengenai perilaku Pemerintah Daerah dalam merespon transfer Pemerintah Pusat yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa respon Pemda berbeda untuk transfer dan pendapatan daerahnya sendiri. Ketika respon Pemerintah Daerah lebih besar untuk transfer dibanding pendapatan daerahnya sendiri maka disebut flypaper effect. Penelitian tentang analisis pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) di Indonesia sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Abdul Halim dan Sukriy Abdullah yaitu pada Pemerintah kabupaten/kota di pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Hasil penelitian pada kabupaten/kota di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa secara terpisah, DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah, baik dengan lag maupun tanpa lag. Ketika tanpa menggunakan lag, pengaruh PAD terhadap belanja daerah lebih kuat daripada DAU, tetapi dengan digunakan lag, pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah justru lebih kuat daripada PAD. Hal ini berarti terjadi flypaper effect dalam respon pemerintah daerah terhadap DAU dan PAD (Sukriy dan Halim 2003). Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa stimulus untuk melakukan Belanja Daerah pada tahun t dipengaruhi oleh transfer pemerintah pusat yang diterima daerah periode t-1. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Maimunah (2006) dengan mengambil sampel pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Hasil penelitian yang dilakukan Mutiara Maimunah menunjukkan bahwa secara terpisah maupun serempak, DAU 52 dan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah, baik tanpa lag maupun dengan lag. Ketika diregres secara serempak baik dengan maupun tanpa lag, pengaruh DAU terhadap BD lebih kuat daripada pengaruh PAD. Ini berarti telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah pada kabupaten/kota di Sumatera (Maimunah, 2006).

Perilaku Asimetris Pemda Terhadap Transfer Pemerintah Pusat (skripsi dan tesis)

Penelitian tentang perilaku asimetris pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat dilakukan oleh Laras Wulandari dan Priyo Hari Adi (2008) bahwa kebijakan otonomi memberikan respon yang beragam antar satu daerah dengan lainnya. Tidak semua daerah mempunyai kesiapan yang sama, dikarenakan rendahnya kapasitas fiskal. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan dana perimbangan/transfer kepada pemerintah daerah. Namun demikian, dalam perjalanannya transfer pemerintah pusat justru menjadi diinsentif bagi peningkatan kemandirian daerah. Daerah menjadi lebih bergantung pada transfer pemerintah pusat daripada mengoptimalisasi pendapatan sendiri (PAD). Terdapat indikasi perilaku asimetris daerah dalam merespon transfer dari pemerintah pusat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada kecenderungan perilaku asimetris pemerintah daerah kabupaten atau kota terhadap pemerintah pusat yang diwujudkan dalam APBD. Pengujian hipotesis dilakukan melalui pengukuran Manipulasi Belanja (Expenditure Manipulation) Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota. Pada saat pemerintah daerah menerima transfer dari pemerintah pusat dana itu digunakan tanpa adanya upaya untuk meningkatkan PAD tiap-tiap daerah.

Pengaruh PAD dan DAU Terhadap Belanja Daerah (skripsi dan tesis)

Penelitian mengenai pengaruh pendapatan daerah terhadap pengeluaran daerah sudah pernah dilakukan antara lain oleh Aziz et al. (2000), Blackley (1986), Joulfaian dan Mokeerjee (1990), Legrenzi dan Milas (2001), Von Furstenberg et al. (dalam Sukriy dan Halim, 2003). Dalam beberapa penelitian, hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah disebut dengan tax-spend hypotesis. Hipotesis ini mengandung makna bahwa kebijakan Pemerintah Daerah dalam menganggarkan belanja daerah disesuaikan dengan pendapatan daerah yang diterima. Namun di sisi lain, transfer yang diterima dari Pemerintah Pusat juga turut mempengaruhi besarnya anggaran belanja daerah yang akan dianggarkan oleh Pemerintah Daerah. Legrensi dan Milas (2001) dalam Maimunah (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel municipalities di Italia dan memperoleh hasil bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja Daerah. Kebijakan-kebijkan belanja daerah jangka pendek yang dibuat Pemerintah daerah sangat bergantung pada transfer yang diterima.

Belanja Daerah Belanja (skripsi dan tesis)

daerah adalah semua pengeluaran kas daerah yang menjadi beban daerah dalam satu periode anggaran. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, belanja dapat diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, dan ekonomi (jenis belanja). Pengklasifikasian belanja tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penganggaran dan pelaporan. Oleh karena itu, klasifikasi yang dapat memenuhi fungsi anggaran dan pelaporan harus diformulasikan : 1) klasifikasi menurut fungsi, digunakan untuk analisis historis dan formulasi kebijakan; 2) klasifikasi organisasi, untuk keperluan akuntabilitas; 3) klasifikasi menurut ekonomi, untuk tujuan statistik dan obyek (jenis belanja), ketaatan (compliance), pengendalian (control), dan analisis ekonomi. 41 Klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) dikelompokkan lagi menjadi (i) Belanja Operasi, terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, (ii) Belanja Modal, yaitu belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal, dan (iii) Belanja Lainlain/Tak Terduga. Belanja pemerintah daerah dalam APBD dikelompokkan sebagai berikut: 1. Belanja Operasi. Belanja operasi merupakan jenis belanja yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik 2. Belanja Modal. Jenis belanja ini merupakan belanja yang manfaatnya dapat diperoleh lebih dari satu tahun dan dilakukan untuk menambah aset atau kekayaan daerah, yang mana dari aset atau kekayaan tersebut akan menimbulkan belanja lainnya. 3. Belanja tak terduga. Yaitu belanja tidak tersangka adalah belanja yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial atau pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah.

Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)

Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumbersumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya masing-masing. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan penyempurnaan dari UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000. Berdasarkan undang-undang tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis pajak dan 27 (dua puluh tujuh) jenis retribusi. Hasil penerimaan pajak dan retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap APBD, khususnya bagi daerah kabupaten/kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai oleh dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah. Oleh karena itu, dalam kenyataannya, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang, hampir tidak ada jenis pungutan pajak dan retribusi baru yang dapat dipungut oleh daerah. Oleh karena itu hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, karena tumpang tindih dengan pungutan pusat, serta merintangi arus barang dan jasa antar daerah. 39 1. Hasil Pajak Daerah. Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Propinsi yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sedangkan jenis pajak daerah yang dipungut kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 2. Hasil Retribusi Daerah. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Ada tiga golongan retribusi daerah yaitu: a. Retribusi jasa umum. Yaitu retribusi atas jasa yang diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. b. Retribusi Jasa Usaha. Yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. c. Retribusi perizinan tertentu. Yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan 40 atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana/fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan. d. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan. Yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu deviden atau bagian laba yang diperoleh oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibagikan bagi pemegang saham, dalam hal ini merupakan pendapatan bagi Pemerintah daerah (Bastian, 2001). e. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Yang tergolong dalam jenis pendapatan ini antara lain pendapatan bunga deposito, jasa giro, hasil penjualan surat berharga investasi, pendapatan dari ganti rugi atas kerugian/kehilangan kekayaan daerah, denda, penggantian biaya, dan lain-lain.

Dana Bagi Hasil (DBH) (skripsi dan tesis)

Untuk mengatasi kurangnya sumber pajak daerah, Undang-Undang 33 Tahun 2004 menyediakan dana bagi hasil yang dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten. Hal ini merupakan karakteristik utama kesepakatan pembiayaan yang mempunyai implikasi penting terhadap distribusi sumber daya fiskal antar pemerintah daerah. Pajak penghasilan pribadi kemudian juga menjadi subjek peraturan pembagian pajak. Penerimaan negara yang dibagi-hasilkan terdiri atas : 1. Penerimaan Pajak yang meliputi : a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan c) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. 2. Penerimaan sumber daya alam (SDA) meliputi: a) kehutanan, (b) pertambangan umum, (c) perikanan, (d) pertambangan minyak bumi, (e) pertambangan gas bumi, (f) pertambangan panas bumi. Persentase DBH Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 adalah sebesar 84 % untuk kabupaten/kota, sisanya untuk pusat dan provinsi. Sementara itu, berdasarkan UU No.33 Tahun 2004, untuk kabupaten/kota hanya 64,8%, provinsi 16,2%, dan pusat 10%, sedangkan sisanya sebesar 9% dialokasikan pada biaya pemungutan. Bagi hasil untuk PPh Pasal 25/29 dan Pasal 21 berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 adalah 80% pusat, 8% provinsi, dan 12% untuk kabupaten/kota. Bagi hasil PPh ini tidak diterapkan pada UU No. 25 Tahun 1999. Iuran hak pengusahaan hutan berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 diterapkan masing-masing 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut. Sementara itu berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, iuran hak peusahaan hutan adalah 64% untuk kabupaten/kota penghasil, serta sisanya 16% provinasi dan 20% pusat. Sementara itu, bagi hasil untuk provisi sumber 36 daya hutan pada UU Nomor 25 Tahun 1999 adalah 64% bagi kabupaten/kota penghasil, 16% provinsi, dan 20% pusat. Namun, pada UU Nomor 33 Tahun 2004, persentase bagi hasilnya sebesar 32% untuk setiap kabupaten/kota penghasil dan kota lain dalam provinsi tersebut. Dana reboisasi pada UU Nomor 25 Tahun 1999 merupakan bagian DAK, namun pada UU Nomor 33 Tahun 2004, terdapat persentase bagi hasil dana reboisasi sebesar 60% pusat dan 40% kabupaten/kota penghasil. Bagi hasil untuk pertambangan minyak bumi pada dasarnya tidak terdapat perubahan signifikan, di mana persentasenya adalah 85% pusat, 3% provinsi, dan 6% masing-masing untuk kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut. Hanya saja, pada UU Nomor 33 Tahun 2004, persentase untuk pusat dikurangi menjadi 84,5% saja, sedangkan sisnya 5% dialokasikan untuk anggaran pendidikan dasar. Hal ini juga berlaku pada pertambangan gas, di mana bagi hasil untuk pusat pada UU Nomor 25 Tahun 1999 sebesar 70%, tetapi pada UU Nomor 33 Tahun 2004 menjadi 69,5%. Untuk pertambangan panas bumi baru ada pada UU Nomor 33 Tahun 2004 dengan persentase bagi hasil 20% pusat, 16% provinsi, dan 32% masing-masing untuk kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut. Selain itu, berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, persentase bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTH), dan dana reboisasi untuk pusat dibagikan ke seluruh daerah dan kabupaten/kota. Untuk NAD dan Papua, terdapat pengecualian persentase DBH berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus.

Dana Perimbangan (skripsi dan tesis)

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 25 Tahun 1999 pasal 6, dana perimbangan terdiri dari ; 1) Bagian Daerah (Dana Bagi Hasil) dari PBB, BPHTB, PPh orang pribadi dan sumber daya alam (SDA), 2) Dana Alokasi Umum (DAU), dan 3) Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk mengatasi kurangnya sumber pajak tersebut, UU 25 Tahun 1999 menyediakan dana bagi hasil yang dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, muncul berbagai protes ketidak setujuan atas isi undang-undang tersebut. Protes diajukan oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Nangro Aceh Darussalam, Riau, dan Kalimantan Timur. Mereka sangat tidak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana perimbangan (DAU, DAK, DBH), dan menghendaki adanya revisi terhadap UU tersebut. (Kuncoro, 2012). 31 1. Dana Alokasi Umum (DAU) Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus subsidi daerah otonom dan dana inpres yang diperkenalkan pada era orde baru (Kuncoro, 2004). DAU merupakan block grant yang diberikan pada semua kabupaten dan kota untuk mengisi kesenjangan antara kapasitas dengan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daeripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemerintah daerah di Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25 % dari penerimaan dalam negerinya dalam bentuk DAU. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 27 menggariskan bahwa jumlah DAU sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. Secara definisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003) : 1) Salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN yang pengalokasiannya didasarkan pada konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal (fiscal gap), yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal; 2) instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah di mana penggunannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah; 3) equalization grant berfungsi menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, bagi hasil pajak, dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang diperoleh daerah. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004, plafon DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 % dari penerimaan negara netto dalam APBN. Formulasi DAU dapat dijelaskan sebagai berikut : a. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. b. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, di mana kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi pelayanan dasar umum. c. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. d. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. e. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol, menerima DAU sebesar alokasi daerah. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. f. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Untuk mengompensasi kekurangan, ditambahkan dana melalui dana penyeimbang. Dengan asumsi bahwa terdapat tambahan dana untuk DAU melalui dana penyeimbang, kebutuhan plafon DAU sebenarnya lebih besar dari 26 % penerimaan dalam negeri netto dalam APBN.

Desentralisasi Fiskal dan Dana Transfer (skripsi dan tesis)

Prinsip pelaksanaan desentralisasi di Indonesia pada hakikatnya sejalan dengan pengalaman negara-negara lain dalam melakukan desentralisasi. Sebagaimana diungkapkan Terminassian (1997) bahwa banyak negara di dunia melakukan program desentralisasi sebagai refleksi atas terjadinya evolusi politik yang menghendaki adanya perubahan bentuk pemerintahan ke arah yang lebih demokratis dan mengedepankan partisipasi. Lebih lanjut Terminassian menjelaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi merupakan upaya untuk meningkatkan responsivitas dan akuntabilitas para politikus kepada konstituennya, serta untuk menjamin adanya keterkaitan antara kuantitas, kualitas, dan komposisi penyediaan layanan publik dengan kebutuhan penerima manfaat layanan tersebut. Di Indonesia, pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai salah satu instrument kebijakan pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain (Mardiasmo, 2009) ;  1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance). 2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. 3. Meningkatkan efisiensi peningkatkan sumber daya nasional. 4. Tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran. 5. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sidik et al. (2002) mengemukakan bahwa tujuan pemberian transfer, yaitu: 1. Pemerataan vertikal (vertical equalization). Pemerintah Pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara. Sedangkan pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak lokal. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, karena pemerintah pusat begitu mendominasi penerimaan pajak dan sumber daya alam daerah. Akibatnya, daerah dengan sumber daya alam yang melimpah tidak dapat sepenuhnya merasakan hasil kekayaan daerah mereka sendiri. Kondisi inilah yang akan diatasi dengan menggunakan dana perimbangan, khususnya dana bagi hasil. Dengan dana perimbangan, daerah penghasil akan mendapat porsi yang lebih besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing).  2. Pemerataan horizontal (Horizontal equlization). Kemampuan Daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi tergantung kondisi daerah bersangkutan. Hal ini berimplikasi pada kapasitas fiskal (fiscal capacity) di daerah yang bersangkutan. Di samping itu, tiap daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang berbeda-beda tergantung pada jumlah penduduk, proporsi penduduk, dan keadaan geografis daerah. Hal ini berimplikasi pada bervariasinya kebutuhan fiskal (fiscal need) di daerah-daerah bersangkutan. Selisih antara kebutuhan fiskal dan kemampuan fiskal daerah disebut dengan celah fiskal (fiscal gap). Celah fiskal inilah yang akan ditutup dengan transfer dari Pemerintah Pusat dalam bentuk dana alokosi umum (DAU). 3. Menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Setiap daerah memiliki kemampuan yang bervariasi dalam menyediakan pelayanan umum untuk masyarakatnya, hal ini terutama karena perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh tiap daerah. Sementara itu, standar pelayanan minimum untuk tiap pemerintah daerah di Indonesia sama dan harus tetap dijaga. Oleh karena itu pemerintah pusat harus menjamin standar pelayanan umum di tiap daerah dengan memberikan subsidi. 4. Mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik. Setiap jenis pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah tertentu tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan saja. Misalnya, pendidikan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya antar daerah, dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Namun tanpa adanya imbalan (dalam bentuk pendapatan), pemerintah daerah biasanya enggan berinvestasi dalam hal tersebut. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif ataupun meyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik demikian dapat dipenuhi oleh daerah. 5. Stabilisasi Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan transfer sebagai stabilizer pada saat aktivitas ekonomi daerah lesu ataupun pada saat aktivitas ekonomi meningkat. Pada saat aktivitas perekonomian daerah sedang lesu, pemberian transfer dapat ditingkatkan, dan sebaliknya pada saat perekonomian meningkat pemberian transfer dapat dikurangi. Namun, dalam melakukan hal ini diperlukan kecermatan dalam mengkalkulasi penurunan dan peningkatan transfer dan menentukan saat yang tepat dalam melakukan penurunan dan peningkatan transfer tersebut agar tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi. Transfer pemerintah pusat kepada daerah dapat dibedakan menjadi bagi hasil (revenue sharing) dan bantuan (grants). Grants sendiri dapat dikelompokkan menjadi block grant (besarnya ditentukan berdasarkan formula) dan special grant (ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi khusus). Dalam dana perimbangan yang diterapkan di Indonesia, dana bagi hasil berperan sebagai revenue sharing, dana alokasi umum sebagai block grant dan dana alokasi khusus sebagai special grant.  Pada tataran kebijakan yang lebih aplikatif, desentralisasi fiskal tersebut diwujudkan melalui pemberian sejumlah transfer dana langsung dari pemerintah pusat ke daerah dalam rangka memenuhi asas desentralisasi, pemberian dana yang dilakukan oleh kementrian/lembaga melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta memberikan diskresi kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi sesuai dengan kewenangannya. Di banyak negara yang menganut desentralisasi, kewenangan memungut pajak daerah dan retribusi daerah ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat lokal dan memberikan jaminan kepada rakyat, bahwa pelayanan publik akan semakin membaik dan rakyat akan lebih puas dengan pelayanan yang diberikan (Bahl and Linn, 1998). Mekanisme kebijakan transfer ke daerah, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan penyesuaian. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil (DBH) dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Secara nominal jenis transfer ke daerah dalam bentuk ini tercatat sebagai komponen terbesar dari dana transfer ke daerah (Mardiasmo, 2009). Lebih lanjut Mardiasmo menjelaskan bahwa beranjak dari konsep dasar dan implementasinya dalam desentralisasi fiskal di Indonesia, besarnya transfer dana di daerah seharusnya memiliki korelasi yang positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Desentralisasi Fiskal Terminologi (skripsi dan tesis)

desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup teritorial suatu negara. Sedangkan Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara itu, Smith juga merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki teritorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu negara, maupun pada organisasiorganisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005). Di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, pengertian desentralisasi dinyatakan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini berarti desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung 22 jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 2002). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, baik untuk memenuhi tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999): 1). Desentralisasi politik yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan. 2). Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan. 3). Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan  pelaksanaan desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan. Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follows function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Berdasarkan prinsip money follows function Mahi (2002) menjelaskan bahwa kajian dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal pada dasarnya dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan expenditure assignment dan revenue assignment. Pendekatan expenditure assignment menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran lokal public goods meningkat. Sedangkan dalam pendekatan revenue assignment dijelaskan peningkatan kemampuan keuangan melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan. Dalam membahas desentralisasi fiskal, umumnya terdapat tiga variabel yang sering digunakan sebagai representasi desentralisasi fiskal, yaitu (Khusaini, 2006); 1). Desentralisasi Pengeluaran Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN) [Zhang dan Zou, 1998]. Selain itu Phillip dan Woller (1997) menggunakan rasio pengeluaran daerah terhadap total pengeluaran pemerintah (tidak termasuk pertahanan dan tunjangan sosial). Variabel ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. 2). Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN) (Zhang dan Zou, 1998). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Disamping itu, variabel ini juga mengekspresikan besarnya alokasi pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini juga diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sektor publik atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variabel ini  terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor publik. 3). Desentralisasi Penerimaan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total penerimaan pemerintah (Philips dan Woller, 1997). Variabel ini menjelaskan besaran relatif antara penerimaan pemerintah daerah terhadap penerimaan pemerintah pusat

Belanja Modal (skripsi dan tesis)

Belanja Modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang menfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset/kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasional dan pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Dalam hal tersebut masuk ke dalam pembukuan akuntansi dengan kata lain belanja modal akan mempengaruhi posisi keuangan. Selain itu dalam melakukan belanja modal ada juga aset-aset dari hasil belanja modal yang sifatnya tidak berwujud, akan tetapi masih memiliki ciri yang sama dengan hasil dari belanja modal lainnya. Dalam hal ini tentu saja benlanja modal memiliki kriteria tertentu agar dapat dikatakan sebagai belanja modal. Dalam perspektif kebijakan publik, sebagian besar belanja modal berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga pada setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan kerja yang tidak berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Belanja Modal dibagi atas dua yaitu sebagai berikut : 1. Belanja Publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contohnya pembangunan, perbaikan sektor pendidikan, kesehatan dan transportasi. 2. Belanja Aparatur yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat akan tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contohnya pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan dan pembangunan rumah dinas.

Anggaran Sektor Publik (skripsi dan tesis)

Untuk melaksankan hak dan kewajibanya serta melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rakyat, pemerintah harus mempunyai suatu rencana yang matang untuk mencapai suatu tuuan yang dicita-citakan. Rencana-rencana tersebut yang disusun secara matang nantinya akan dipakai sebagai pedoman dalam setiap langka pelaksanaan tugas negara. Oleh karena itu rencana-rencana pemerintah untuk melaksanakan keuangan negara perlu dibuat dan rencana tersebut dituangkan dalam bentuk anggaran (Ghozali, 1997). Anggaran merupakan pernyataan estimasi kinerja yang hendak dicapai oleh suatu organisasi dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam satuan moneter, sedangkan penggaran adalah proses atau metode untuk memepersiapkan suatu anggaran. Anggaran merupakan artikulasi dari hasil perumusan strategi dan hasil perencanaan strategik yang telah dibuat. Anggaran merupakan managerial plan of action untuk memfasilitas tercapainya tujuan organisasi ( Mardiasmo, 2004). Tahap penggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagagalkan perencanaan yang sudah disusun. Dalam organisasi sektor publik anggaran merupakan instrumen akuntanbilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik. Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran sektor publik merupakan suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktivitas. Menurut Mardiasmo (2004) secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran sektor publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan : 1. berapa biaya-biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja) 2. berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan).

Akuntansi Sektor Publik (skripsi dan tesis)

Akuntansi Sektor Publik dapat didefinisikan sebagai aktivitas jasa yang terdiri dari mencatat, mengklasifikasikan, dan melaporkan kejadian atau transaksi ekonomi yang akhirnya akan menghasilkan suatu infomasi keuangan yang akan dibutuhkan oleh pihak-pihak tertentu untuk pengambilan keputusan, yang diterapkan pada pengelolaan dana publik di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen dibawahnya (Yawa dan Runtu, 2015). Akuntansi sektor publik merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik dan penyelenggaraan Negara dalam rangka pelaksanaan konstitusi Negara. Akuntansi sektor publik pada umumnya berupa lembagalembaga Negara atau pemerintah atau organisasi yang mememiliki keterkaitan dengan keuangan Negara.

Desentralisasi (Otonomi Daerah) (skripsi dan tesis)

Pelaksanaan otonomi daerah/desentralisasi didasarkan pada UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 1. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Sidik (2000), desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD,dan adanya bantuan dalam bentuk tranfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah (Sidik et al, 2002). Pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut :  a. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal. b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan penyerahan atau pengakuan atas wewenang pemerintahan di bidang tertentu untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di bidang tertentu pula. c. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai prakarsa dan aspirasi masyarakat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut : Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement, SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat serta keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pengutan pajak dan retribusi daerah. Untuk dapat menjalankan desentralisasi fiskal secara efektif, maka Pemerintah Daerah mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, yang berakibat mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat

Perangkat Daerah (skripsi dan tesis)

Sumber kekuasasaan dan wewenang bagi Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Kekuasaan dan kewenangan pemerintah yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, baik pada pemerintahan pusat maupun daerah dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat. Pembentuk undang-undang menentukan suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya baik kepada organ yang sudah ada maupun yang baru dibentuk. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan terdiri dari tiga bentuk yaitu pelimpahan kewenangan dengan atribusi, pelimpahan kewenangan dengan delegasi dan pelimpahan kewenangan dengan mandat. Pengertian pendelegasian wewenang adalah pemberian wewenang kepada orang-orang yang ditunjuk oleh pemegang wewenang. Penggunaan pendelegasian wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektivitas organisasi. Oleh karena itu peranan pendelegasian wewenang sangat penting di dalam organisasi. Selain itu, pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari semakin besarnya organisasi. Sistem pemerintahan Indonesia mengalami perubahan mendasar pada tahun 1999 yaitu dengan diberlakukan-nya sistem desentralisasi. Perubahan tata aturan pemerintahan di Indonesia pada hakekatnya merupakan upaya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau Good Governance. Salah satu tujuan Good Governance adalah mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Dengan demikian apa yang menjadi kebutuhan, permasalahan, keinginan, dan kepentingan serta aspirasi masyarakat dapat dipahami secara baik dan benar oleh pemerintah. Sehingga pemerintah mampu menyediakan layanan masyarakat secara efisien, mampu mengurangi biaya, memperbaiki output dan penggunaan sumber daya manusia secara lebih efektif. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ditingkat provinsi, gubernur sebagai kepala daerah tingkat provinsi dibantu oleh Perangkat Daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Inspektorat, Dinas Daerah tingkat provinsi, dan Badan-Badan Daerah Provinsi. Perangkat daerah dibentuk untuk membantu kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah sebagaimana diatur pada Pasal 208 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut: “Kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah.”  Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkat Perangkat Daerah Provinsi adalah unsur pembantu Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perangkat daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Perangkat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan : a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah b. Karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah c. Kemampuan keuangan daerah d. Kesediaan sumber daya aparatur e. Pengembangan pola kerjasama (antar daerah dan/ atau dengan pihak ketiga) Dasar utama pembentukan perangkat daerah adalah adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dan menjadi kewenangan daerah, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dibagi atas urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pengelompokan organisasi perangkat daerah didasarkan pada konsepsi pembentukan organisasi yang terdiri atas 5 (lima) elemen, yaitu: 1. Strategic Apex (Kepala Daerah) 2. Middle Line (Sekretaris Daerah) 3. Operating Core (Dinas Daerah) 4. Technostructure (Badan/Fungsi Penunjang); dan 5. Supporting Staff (Staff Pendukung) Dinas daerah merupakan pelaksana fungsi inti (operating core) yang melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala daerah dalam melaksanakan fungsi mengatur dan mengurus sesuai bidang urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Badan daerah melaksanakan fungsi penunjang (technostructure) yang melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala daerah dalam pelaksanaan fungsi mengatur dan mengurus untuk menunjang kelancaran pelaksanaan fungsi inti (operating core). Dalam rangka implementasi otonomi daerah maka dilakukan penetapan kebijakan penyusunan organisasi perangkat daerah dan struktur organisasi dan tata kerja perangkat tersebut. Perlu dipahami bahwa segala urusan yang menjadi kewenangan daerah harus dilaksanakan dengan kelembagaan yang jelas serta dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kelembagaan daerah merupakan sarana atau wadah dalam penyelenggaraan kewenangan daerah. Kehadiran kelembagaan daerah memberikan kejelasan dalam pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu penataan terhadap kelembagaan daerah menjadi bagian penting dalam rangka pencapaian tujuan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menyusun organisasi perangkat daerahnya. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Pembentukan kelembagaan daerah diatur dalam Pasal 209 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengungkapkan bahwa perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, dan Badan. Perangkat Daerah provinsi juga diamanatkan untuk melaksanakan tugas pembantuan selain juga melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dengan membentuk kelembagaan, maka pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan secara efisien untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pembentukan kelembagaan pemerintah daerah dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Secara teoritis, desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Sedangkan, desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompokkelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Menurut Jayadi N.K bahwa desentralisasi mengandung pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipancarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, “autonomos/autonomia‖”, yang berarti “peraturan sendiri (self-ruling). Merujuk pada dua perkataan tersebut, maka secara sederhana otonomi dapat diartikan sebagai peraturan yang dibuat oleh satu entitas (pemerintahan sendiri) . Kajian klasik milik Hoggart menyatakan otonomi harus dipahami sebagai sebuah interaksi antara pemerintah yang berada di bawahnya. Dalam konteks tersebut, otonomi harus dipahami sebagai Iindependence of localities yang kedap dari adanya campur tangan pemerintah di aras atas. Senalar dengan uraian Hoggart, Samoff menyatakan pula otonomi sebagai transferred power and authority over decision making to local units are the core of autonomy. Berbagai argumen tersebut tidak disanggah oleh Rosenbloom yang menjelaskan otonomi sebagai wujud penyerahan suatu kuasa kepada pemerintah yang lebih rendah tingkatannya untuk mengatur wilayah secara bebas tanpa ada campur tangan dari pemerintah pusat. Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat ndang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelferchtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri) . Atas dasar bahasa dan literatur Belanda, Sarundajang menjelaskan hakikat otonomi daerah adalah38 : 1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah: penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, maka hak itu dikembalikan kepada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan pemerintah (pusat); 2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya; 3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya; 4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain. Dengan demikian suatu daerah otonom adalah daerah yang self government, self sufficiency, self authority, dan self regulation to its law and affairs dari daerah lainnya baik secara vertikal maupun horizontal karena daerah otonom memiliki actual independence. Konsep otonomi daerah sejatinya merupakan amanat yang diberikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang secara umum termaktub dalam Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya pada ayat (5) tertulis “pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemeirntahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. Dan ayat (6) juga menyatakan, pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan perturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, otonomi sebagai Administrative Decentralization yaitu konsep yang melihat otonomi sebagai the transfer of authority from central to local government. Otonomi daerah dipahami sebagai pelimpahan wewenang ketimbang penyerahan kekuasaan. Tujuannya adalah sebagai penciptaan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, otonomi sebagai Political Decentralization, melihat otonomi tidak sekedar sebagaimpelimpahan wewenang melainkan penyerahan kekuasaan the devolution of power from central to local government Dari dimensi teori pemerintahan daerah, pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi berupa pergeseran paradigma pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan prinsip desentralisasi40, Rondinelli dalam Mugabi mengartikan desentralisasi sebagai penugasan (assignment), pelimpahan (transfer), atau pendelegasian tanggung jawab aspek politik, administratif dan keuangan (fiscal) pada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Maddick dalam Hoessein menjelaskan konsep desentralisasi mengandung dua elemen yang saling berhubungan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritori tertentu. Suatu masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi, melalui desentralisasi menjadi berstatus otonomi sejalan dengan pemberlakuan daerah otonom. Otonomi, dengan demikian diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat bukan kepada daerah ataupun pemerintah daerah. Sesuai dengan batasan pengertiannya menurut Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka yang dimaksudkan adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip NKRI, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah salain terdapat unsur staf yang membantu kepala daerah juga terdapat unsur pelaksana Pemerintah Daerah unsur staf dan unsur pelaksana tersebut adalah sekretariat daerah dan dinas-dinas daerah. Pada prinsipnya, penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak lepas dari adanya peran desentralisasi yang merupakan bentuk dari penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang – undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut. Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-daerah tersebut untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna  penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Kewenangan Pemerintah Daerah (skripsi dan tesis)

Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakantindakan hukum tertentu Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat. Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidakberbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban Kewenangan adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi. Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara . Lebih lanjut kemudian F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan sebagai berikut : “Bahwa hanya ada 2 (dua) cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal”. Menurut Pasal 13 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah tingkat provinsi adalah sebagai berikut : 1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas daerah Kabupaten/kota 2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas daerah Kabupaten/kota 3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah Kabupaten/kota 4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah provinsi Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Pemberian kewenangan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya, dilaksanakan melalui suatu proses yang disebut desentralisasi kepada daerah-daerah otonom atau dikenal dengan otonomi daerah. Desentralisasi memiliki dua bentuk yaitu politik dan administratif. Desentralisasi politik yaitu wewenang untuk membuat keputusan dan melakukan kontrol tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada pemerintah lokal dan regional. Desentralisasi adminitratif adalah suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Kewenangannya mulai dari penetapan peraturan sampai keputusan substansial

Pengertian Pemerintah Daerah (skripsi dan tesis)

Pemerintah atau Government dalam bahasa indonesia berarati pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya. Bisa juga berarti lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota, dan sebagainya. Menurut W.S Sayre (1960) pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari negara yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya. Selanjutnya menurut David Apter (1977), pemerintah adalah satuan anggota yang paling umum yang memiliki tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mecangkupnya dan monopoli praktis yang menyangkut kekuasaan paksaannya. Selanjutnya, Daerah adalah lingkungan pemerintah : wilayah, daerah diartikan sebagai bagian permukaan bumi; lingkungan kerja pemerintah, wilayah; selingkup tempat yang dipakai untuk tujuan khusus, wilayah; tempattempat sekeliling atau yang dimaksud dalam lingkungan suatu kota; tempat yang terkena peristiwa sama; bagian permukaan tubuh

Tujuan Pengukuran Kinerja (skripsi dan tesis)

Keuangan Pemerintah Menurut Mardiasmo (2002) Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan yaitu: 1) Memperbaiki kinerja Pemerintah Daerah. 2) Membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. 3) Mewujudkan pertangunggjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan Menurut Halim (2007) Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah dilakukan untuk digunakan sebagai tolak ukur dalam: 1) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. 2) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam meralisasikan pendapatan daerah. 3) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalan membelanjakan pendapatan daerahnya. 4) Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah. 5) Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Sehingga dapat disimpulkan tujuan pengukuran kinerja keuangan pemerintah yaitu pengukuran kinerja yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaca perbaikan secara terus menerus dan pencapaian tujuan dimasa mendatang.

Pengertian Kinerja Keuangan Pemerintah (skripsi dan tesis)

Menurut Bastian (2006) dalam Julitawati (2012) kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan, visi dan misi suatu organisasi. Andirfa dkk (2016) menyatakan bahwa, konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasar pada elemem utama, yaitu: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Sedangkan, dalam pengukuran kinerja menggunakan ukuran efisiensi. Efisiensi adalah pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat efisiens suatu organisasi. Manurut Mardiasmo (2009) dalam Andirfa (2016) proksi pengukuran kinerja pemerintah daerah untuk kabupaten dan kota digunakan dengan rumus efisiensi dan diukur dengan rasio output dengan input. Input adalah sumber daya yang digunakan untuk pelaksanaan suatu kebijakan, program, dan aktivitas. Sedangkan, output adalah hasil yang dicapai dari suatu program, aktivitas, dan kebijakan. Penyebut atau input sekunder seringkali diukur dalam bentuk satuan uang. Pembilang atau output dapat diukur baik dalam jumlah uang ataupun fisik. Pradana (2016) menyatakan bahwa kinerja keuangan pemerintah adalah gambaran tingkat capaian suatu kegiatan yang meliputi anggaran dan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan indikator keuangan, yang ditetapkan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi pengeluaran dan alokasi penganggaran dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka peniliaian kinerja keuangan dapat ditentukan. Menurut Julitawati (2012) apabila kinerja keuangan diatas 100% ke atas dapat dikatakan tidak efisien, 90% – 100% adalah kurang efisien, 80% – 90% adalah cukup efisien, 60% – 80% adalah efisien dan dibawah dari 60% adalah sangat efisien. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulan Kinerja Keuangan Pemerintah merupakan kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah, guna memenuhi kebutuhan agar tidak tergantuh kepada Pemerintah Pusat.

Manfaat Belanja Modal (skripsi dan tesis)

Menurut Indarti dan Sugiarto (2012), manfaat belanja modal yaitu menambah aset tetap / inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Komponen Belanja Modal (skripsi dan tesis)

Belanja Modal dibedakan menurut 7 jenis belanja yaitu: 1) Belanja Modal Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari 1 (satu) periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. 2) Belanja Modal Tanah Belanja Modal Tanah adalah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengadaan/ pembelian/ pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3) Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin tersebut siap digunakan. 4) Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/ penggantian gedung dan bangunan sampai dengan bangunan dan gedung dimaksud dalam kondisi siap digunakan. 5) Belanja Modal Jalan, Irigrasi, dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigrasi, dan Jaringan adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ pengantian/ peningkatan, pembangunan atau pembuatan serta perawatan yang menambah kapasitas sampai jalan, irigrasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap digunakan. 6) Belanja Modal Lainnya Belanja Modal Lainnya adalah pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk pengadaan/ pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria Belanja Modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jaringan (Jalan, Irigrasi dan lain-lain). Termasuk belanja modal ini: kontrak sewa beli (leasehold). Pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, bukubuku dan jurnal ilmiah sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat. 7) Belanja Modal Badan Layanan Umum Belanja Modal Bahan Layanan Umum adalah pengeluaran untuk pengadaan/ perolahan/ pembelian aset yang digunakan dalam rangka penyelenggaraan operasi Belanja Modal Badan Layanan Umum. Sehingga dapat disimpulkan komponen belanja modal meliputi Belanja Modal; Belanja Modal Tanah; Belanja Modal Peralatan dan Mesin; Belanja Modal Gedung dan Bangunan; Belanja Modal Jalan, Irigrasi, dan Jaringan; Belanja Modal Lainnya; dan Belanja Modal Badan Layanan Umum.

Pengertian Belanja Modal (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 53 ayat 1 tentang Pegeloloaan Keuangan Daerah, belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Menurut Uhise (2013), belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi asset tetap atau asset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulan Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapatalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual.

Kelompok Dana Perimbangan (skripsi dan tesis)

Dana Perimbangan dibedakan menurut 3 jenis dana yaitu: 1) Dana Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Dana Bagi Hasil adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Dana Bagi Hasil adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 2) Dana Alokasi Umum Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, Dana Alokasi Umum adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah daam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3) Dana Alokasi Khusus Menurut Undang Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang anggaran dan belanja negara, Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dala APBN. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, Dana Alokasi Khusus adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sehingga dapat disimpulkan Dana Perimbangan dibedakan menjadi Dana Bagi Hasil bertujuan untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah dan untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, Dana Alokasi Khusus bertujuan untuk membantu membiayai kegiatan khusus sebagai urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional

Pengertian Dana Perimbangan (skripsi dan tesis)

Pradana (2016) menyatakan bahwa, Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum, dan Dana PAD = Hasil Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipashkan + Lain-lain PAD yang sah. Alokasi Khusus merupakan sumber pendanaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dana perimbangan didefinikasikan sebagai dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daaerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus. Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2008, dalam rangka pelaksanaan deaentralisasi, kepada daerah diberikan Dana Perimbangan melalui APBN yang bersifat transfer dengan prinsis money follows function. Salah satu tujuan pemberian Dana Perimbangan tersebut adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah, serta meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN bagi daerah untuk mendanai kebutuhan daerah pelaksanaan desentralisasi, yang alokasinya tidak dapat  dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masingmasing jenis pernerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.

Pengukuran Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah tersebut berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)

1) Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang 28 Tahun 2009 pajak daerah yaitu kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daearh bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Adisasmita dan Rahardjo (2014) pajak daerah adalah iuran pajak yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan yang dapat dipisahkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang diguanakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau orang pribadi kepada daerah, digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. 2) Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Menurut Adisasmita (2011) retribusi adalah pungutan yang dilakukan berhubungan dengan jasa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada masyarakat, dengan demikian ciri pokok retribusi adalah sebagai berikut: a) Pemungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. 20 b) Pengenaan pungutan bersifat imbal prestasi atas jasa yang diberikan pemeritah daerah. c) Dikenakan kepada orang yang memanfaatkan jasa yang disediakan pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan retribusi daerah adalah pemungutan yang dilakukan berhubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan secara langsung dan nyata. 3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Menurut Bawono dan Novelsyah (2012), merupakan hasil atas pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dari pengelolaan APBD. Jika ada laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang kemudian dibagihasilkan kepada pemerintah daerah sebagai hasil dari penyertaan modal pemerintah, hal tersebut merupakan Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Menurut Adisasmita (2011), yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu deviden atau bagian laba yang diperoleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibagikan bagi pemegang saham, dalam hal ini merupakan pendapatan bagi Pemerintah Daerah. Ssehingga dapat disimpulkan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan adalah penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan hasil perusahaan milik daerah. 4) Lain-lain PAD yang sah Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Lain-lain PAD yang sah yaitu penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemda, seperti hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, dll Menurut Novalistia dan Rizka (2016), lain-lain pendapatan asli daerah yang sah merupakan pendapatan yang tidak termasuk penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran yang lalu, PAD, bagian hasil pajak dan bukan pajak serta bagian sumbangan dan bantuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal dari lainlain milik pemerintah daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.

Pengertian Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)

Julitawati dkk (2012) menyatakan bahwa, Pendapatan Asli Daerah adalah semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah dan diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Menurut Mardiasmo (2002) PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah tersebut berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang dipunggut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendapatan Daerah (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan serta lain-lain pendapatan yang sah

Faktor Pendukung Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Faktor-faktor yang mendukung terselenggaranya otonomi daerah diantaranya adalah kemampuan sumberdaya manusia yang ada, serta ketersediaan sumber daya alam dan peluang ekonomi daerah tersebut. 1. Kemampuan Sumber Daya Manusia Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah bergantung pada sumber daya manusianya. Disamping perlunya aparatur yang kompeten, pembangunan daerak juga tidak mungkin dapat berjalan lancar tanpa adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu tidak hanya kualitas aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi masyarakat. Dalam mensukseskan pembangunan dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauna tinggi. Sehingga benar benar mampu menjadi inovator yang mampu menciptakan tenaga kerja yang burkualitas. 2. Kemampuan Keuangan/Ekonomi Tanpa pertumbuhan ekonomiyang tinggi, pendapatan daerah jelas tidak mungkin dapat ditingkatkan.sementara itu dengan pendapatan yang memedahi, kemampuan daerah untuk menyelenggarakan otonomi akan menungkat. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, daerah akan mampu untuk membuka peluang-peluang potensi ekonomi yang terdapat pada daerah tersebut. Penmgembangan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, apabila dikelola dengan secaraa optimal dapat menunjang pembangunan daerah dan mewujudkan otonomi. Kemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri akan terus meningkat Sehingga dari pembahasan diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mendukung terselenggaranya otonomi daerah adalah kemampuan  sumber daya manusia, dan kemampuan keuangan/ekonomi

Tujuan Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Menurut Suparmoko (2002) yang menjadi tujuan dari pengembangan otonomi daerah adalah: 1) Memberdayakan masyarakat 2) Menumbuhkan prakarasa dan keratifitas 3) Meningkatkan peran serta masyarakat 4) Mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut Mardiasmo (2002) ada tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:  1) Menciptakan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, tujuan otonomi daerah diharapkan bisa meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Dan dapat menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, untuk mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Asas-asas Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Menurut Wenny (2012) ada beberapa asas penting dalam Undang-Undang otonomi daerah yang perlu dipahami, antara lain: 1) Asas Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2) Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 3) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 4) Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu system pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ada beberapa asas otonomi daerah, antara lain: 1) Asas Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. 2) Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 3) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagaian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Sehingga dapat disimpulkan ada beberapa asas otonomi daerah yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, tugas pembantu, dan perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah.

Pengertian Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)

Di Era Otonomi seperti saat ini kemandirian suatu daerah adalah tuntutan utama yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesiapan sumber daya pun harus diatasi, mengingat kewenangan yang telah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal mengatur pemerintah daerahnya masing-masing. Kemandirian yang dituntut tersebut adalah dimana daerah harus mampu mengatur dan mengelola segala bentuk penerimaan dan pembiayaan tanpa harus tergantung kembali dengan pemerintahan pusat seperti yang terjadi di era sebelum otonomi daerah. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mendefinisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah akan memberikan dampak positif di bidang ekonomi bagi perekonomian daerah. Beberapa indikator ekonomi atas 11 keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah Menurut Bastian (2006): 1) Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah riel, sehingga pendapatan per kapita akan terdorong. 2) Terjadi kecenderungan peningkatan investasi, baik investasi asing maupun domestik. 3) Kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis/usaha di daerah. 4) Adanya kecenderungan meningkatnya kreativitas pemda dan masyarakat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mendefinisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Sedangkan dalam Suparmoko dalam Baihaqi (2011) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengukur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah hak, kewajiban dan kewenangan daerah otonom untuk mangatur, mengukur, dam mengurus kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian Kebijakaan Pariwisata (skripsi dan tesis)

 

Berbagai definisi tentangg kebijakan kepariwisataan dikemukaakan para ahli-ahli pariwisata. Goeldner dan Ritchie (2006) mendefinisikan kebijakan pariwisata sebagai regulasi, aturan, pedoman, arah, dan sasaran pembangunan/promosi serta strategii yang memberikan kerangka dalam pengambilan keputusan individu maupun kolektiif yang secara langsung mempengaruhi pengembangan pariwisata dalam jangka panjang dan sekaligus kegiatan sehari-hari yang berlangsung di suatu destinasi Biederman (2007) menambahkan hal penting dalam definisi kebijakan kepariwisataan dengan mengemukakan bahwa prinsip dari kebijakan kepariwisataan adalah harus menjamin negara maupun daerah mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari kontribusi sosial dan ekonomi yang diberikan pariwisata. Biederman juga menyebutkan bahwa sasaran akhir dari kebijakan pariwisata adalah peningkatan kemajuan negara atau daerah dan kehidupan warga negaranya.
Definisi terakhir menjadikan pemasarann, pengembangan produk, dan pelayanan hospitality memegang peranan penting dalam kebijakan kepariwisataan. Lebih penting lagi, definiisi tersebut mengisyaratkan bahwa kebijakkan kepariwisataan bersifat dinamis dan fleksible dalam melakukan penyesuaian dan penyempurnan terhadap perkmbangan yang terjadi. Kebijakan kepariwistaan terkait erat dengan perencnaan kepariwisataan. Menurut Edgell, dkk. (2008) perencanaan kepaiwisataan memprkuat kedudukan kebijakan kepariwisataan dalam pembangunan. Edgell, dkk (2008) mengemukakan bahwa model perencanaan pariwisata mencakup pernyataan visi dan misi yang diikuti oleh serangkaian tujuan, sasaran, strategi, dan taktik dalam pengembangan pariwisata. Kebijakan dan perencanan kepariwisataan seharusnya dapat berfungsi secara efektif sebagai arah pembangunan kepariwisataan suatu destinasi. Akan tetapi, pda kenyataaannya banyak sekal konflik kepentingan di tiingkat para pngambil keputusan pada saat mengimplementasikan kebijjakan maupun perencanaan kepariwisataan yang sebenarnya sudah disepakati bersama sehingga perkembangan pariwisata tidak laagi mengacu pada kebijakan dan perencanaan ymg sudah dibuat.
Kebijakan merupakan perencanaan jangk panjang yang mencakup tujuan pembangunann pariwisata dan cara atau prosedur pencapaian tujuan tersebut yang dibuat dalam pernyataan-pernyataan formal seperti hukum dan dokumendokumen resmi lainya. Kebijakan yang dibuat permerintah harus sepenuhnya dijadikan panduan dan ditaaati oleh para stakeholders. Kebijakan-kebijakan yang harus dibuat dalam pariwisata adalah kebijakan yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan hubungan politik terutama politik luar negeri bagi daerah tujuan wisata yang mengandalkan wisatawan manca negara. Umumnya kebijakan pariwisata dimasukkan ke dalam kebijakan ekonomi secara keseluruhan yang kebijakannya mencakup struktur dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang harus dibuat sehubungan dengan pembangunan pariwisata adalah kebijakan mengenai ketenagakerjaan, penanaman modal dan keuangan, industri-industri penting untuk mendukung kegiatan pariwisata, dan perdagangan barang dan jasa. Berdasarkan pemaparan tentang kebijakan pariwisata yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masih banyak kawasan wisata yang sangat berpotensi, tetapi masih belum didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu sarana dan prasarana yang dibangun hanya untuk kepentingan likal saja, belum dapat melayani kebutuhan penyelenggaraan pariwisata diluar lokasi. Seperti misalnya penyediaan angkutan wisata hanya  tersedia di area kawasan saja, tetapi sarana angkutan untuk mencapai kawasan tersebut dari akses luar belum tersedia. Selain didukung oleh sarana-sarana yang menunjang dalam kegiatan pengembangan pariwisata juga didukung ileh beberapa sumber-sumber, yakni sumber daya manusia, sumber keuangan dan sumber materi atau fisik. Ketiga sumber itu sangat berkaitan satu sama yang lainnya. Oleh karena itu ketiganya harus benar-benar bisa terpenuhi, karena pengembangannya sangat berpengaruh besar bagi kepariwisataan nasional kita

Desentralisasi Pariwisata (skripsi dan tesis)

Otonomi daerah yang termaksud dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi arus besar desentralisasi serta membuka ruang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakannya sebagai upaya pengoptimalan dan pendayagunaan potensi ekonomi daerah. Pembangunan daerah kemudian berjalan seiring dengan meluasnya ruang otonom daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing. Kewenangan yang otonom didaerah, lewat keberadaan pemerintah daerah kemudian menjadi penyelenggara atas keterlibatan warga dalam menyusun berbagai agenda sesuai dengan kebutuhannya masing – masing. Berbasis indikator pembangunan dan kebijakkan yang ada maka agenda untuk menjadikan pengembangan kota kemudian diimplementasikan dalam penyusunan dokumen RPJM – RPJMD yang antara lain menegaskan : pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat melalui upaya optimalisasi potensi wisata dan kebijakkan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengapresiasi nilai – nilai kearifan lokal sebagai jati diri warga kota sekaligus menjadi pijakan bagi pengembangan wisata didaerah.  Berdasarkan pembahasan diatas bahwa dalam Desentralisasi Pariwisata terdapat beragam strategi yang ada, pengembangan pariwisata menjadi lokomotif atas pengembangan kota, spirit untuk mengembalikan kota sebagai kota yang beridentitas budaya dan pariwisata yang menjadi spirit kolektif. Terintegrasinya sektor pariwisata menjadi bukti bahwa pariwisata telah memasuki sebuah fase yang lebih maju yaitu penata kelolaan yang lebih baik dan melibatkan pihak ketiga (dunia usaha) menjadi bagian dari perkembangan pariwisata. Pariwisata diharapkan menjadi penggerak dalam sektor perdagangan seiring dengan kunjungan para wisatawan, termanfaatkannya berbagai sektor jasa, cinderamata, transportasi, penginapan hingga kontribusi pendapatan bagi pemerintah kota lewat retribusi wisata sehingga memberi argumen bagi pemerintah kota untuk menempatkannya menjadi salah satu prioritas pembangunan didaerah-daerah. Skema tersebut secara massif mampu menjadi strategi yang banyak dikembangkan di daerah dengan beragam modal baik sejarah, destinasi, agro hingga spiritualitas yang mampu menjadi daya tarik.

Konsep Desentralisasi (skripsi dan tesis)

Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Namun penyerahan wewenang ini tidak diberikan secara penuh. Bentuk dari penggunaan asas Desentralisasi adalah adanya otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan sebuah kewenangan dimana suatu daerah memiliki tanggung jawab terhadap urusannya sendiri.  Konsep desentralisasi menurut Brian C Smith dalam prespektif politik dalam Saiman menjelaskan desentralisasi pada masalah distribusi kekuasaan berdasarkan dimensi wilayah atau teritorial suatu negara. Smith menjelaskan bahwa konsep desentralisasi berkaitan dengan besaran pelimpahan kekuasaan (power) dan kewenangan (authoriy) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke p emerintah lokal melalui hirarki secara geografis di negara.
Desentralisasi dapat membawa banyak dampak positif terutama bagi daerah yang tertinggal. Mereka dapat mengembangkan daerahnya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Daerah akan secara mandiri mengembangkan keunggulannya dalam berbagai aspek. Pada asas Desentralisasi daerah otonom dapat mengurusi kebijakannya sendiri sehingga berdampak pada besarnya organ pemerintahan yang ada di daerah. Hal ini kemudian membuat sistem di dalam pemerintahan menjadi sangat kompleks. Banyaknya struktur organisasi yang dibentuk dalam pemerintah daerah dan pusat dapat menimbulkan lemahnya koordinasi.
 Desentralisasi terbagi dalam beberapa bentuk kegiatan utama yaitu desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administrasi (dekonsentrasi). Devolusi menurut Rondinelli adalah penyerahan tugas-tugas dan fungsi-fungsi kepada sub nasional dari pemerintah yang mempunyai tingkat otonomi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi tersebut. Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintah di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu kepada unit-unit untuk dilaksanakan secara mandiri. Sedangkan dekonsentrasi adalah penyerahan tugas-tugas dan fungsi-fungsi dalam administrasi pemerintah pusat kepada unit-unit di daerah. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Menurut Haris, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  Menurut saya dalam penyelenggaraan tata kelola pariwisata yang baik, yang paling dibutuhkan dari sektor publik adalah perubahan cara berpikir maupun bertindak, terutama dengan meninggalkan paradigma lama yang berupa suatu penyelenggaraan pemerintahan yang Sentralisasi untuk menuju kepada paradigma baru yang berupa model penyelenggaraan yang Desentralisasi. Pemberian wewenang dengan menentukan bagian-bagian yang telah ditetapkan dapat membantu mempermudah tugas pemerintah pusat, selain itu pemerintah daerah lebih mengetahui potensi yang bisa dikembangkan didaerahnya.

Pemilihan Jenis Desa Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (skripsi dan tesis)

Tentang Desa Setelah Berlakunya Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah terjadi kebingungan dalam menginterpretasikan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Apakah maksud dari pembuat undang-undang untuk memilih antara Desa Dinas dan Desa Adat atau mengakui kedua Desa tersebut. seperti diketahui Desa Dinas dan Desa Adat di Bali memiliki fungsi yang berbeda, yaitu Desa Adat menjalankan fungsi adat istiadat dan Desa Dinas menjalankan fungsi administratif. Permasalahan Pemilihan jenis Desa di Provinsi Bali didasari oleh adanya ketentuan penjelasan dari Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dimana dalam penjelasan Pasal 6 ini disebutkan Bahwa : ”Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah harus dipilih sal ah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa bertujuan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih (wilayah,Kewenangan dan Lembaga Desa) dalam penentuan jenis desa di Daerah. Dalam penjelasan Pasal 6 ini juga diketahui bahwa ada dua jenis desa yang diakui oleh Pemerintah, yaitu Desa dan Desa Adat. Dalam hal ini Pemerintah Daerah diharuskan untuk memilih diantara dua jenis desa tersebut untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Dalam kasus pemilihan Jenis Desa di Kabupaten Bangli dapat diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten Bangli mengalami kesulitan dalam penentuan jenis Desa yang akan digunakan. Dimana seperti juga pelaksanaan kewenangan antara desa dinas dan desa adat selama ini sudah berjalan berkesinambungan dan saling menunjang. 48 Dalam prakteknya selama ini antara Desa Adat dan Desa Dinas di Provinsi Bali menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing sehingga terjadi sinkronisasi urusan-urusan Adat dan administrasi pemerintahan di tingkat Desa. Dengan adanya ketentuan ini maka memberikan pilihan yang sulit bagi pemerintah Provinsi Bali. Walaupun sebenarnya alasan pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini adalah untuk memberikan dasar kewenangan bagi pemerintahan terbawah dalam hal ini Desa untuk mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya demi kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka memperkuat desa, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), dalam Pasal 19 meyebutkan kewenangan desa adalah sebagai berikut : a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. Kewenangan lokal berskala Desa; c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, disebutkan pada ayat 1 bahwa desa dan desa adat yang ada sebelum Undang-Undang ini diberlakukan tetap diakui sebagai desa. Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa, pemerintah kabupaten dan wali kota menetapkan desa dan 49 desa adat di wilayahnya. Sebenarnya pemilihan jenis desa tidak mendesak untuk dilakukan karena dalam undang-undang Desa disebutkan kalu jenis desa adat maupun Desa Dinas tetap diakui. Hanya saja dalam pelaksanaan undang Undang Desa ini nantinya akan terkait dengan penerimaan Dana Desa yang jumlahnya sangat besar sehingga mampu untuk mempermudah membiayai proses pembangunan di wilayah Desa. Permasalahan yang timbul dari penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu : “ Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat desa atau desa adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam 1 (satuwilayah harus dipilih salah satu jenis desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Dengan adanya opsi pemilihan desa dan desa adat maka mau tidak mau setiap desa yang ada di Provinsi Bali baik itu desa maupun desa adat harus menentukan sikap, format yang digunakan hanya untuk satu jenis desa saja. Masalah ini tentu bukan masalah yang sederhana karena berdasarkan sejarah desa di Provinsi Bali telah terjadi harmonisasi pemerintahan desa yang selama ini antara desa dan desa adat dalam menjalankan kewenangannnya hidup berdampingan dengan harmonisasi pelaksanaan tugas masing-masing. Dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan 50 pemberdayaan masyarakat Desa. Dengan demikian, lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini ialah penataan Desa, kewenangan Desa, Pemerintahan Desa, tata cara penyusunan peraturan di Desa, keuangan dan kekayaan Desa, pembangunan Desa dan pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik Desa, kerja sama Desa, lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat Desa, serta pembinaan dan pengawasan Desa oleh camat atau sebutan lain. Berkaitan dengan pengaturan mengenai Pemerintahan Desa, Peraturan Pemerintah ini mengatur secara lebih terperinci mengenai tata cara pemilihan kepala Desa secara langsung atau melalui musyawarah Desa, kedudukan, persyaratan, mekanisme pengangkatan perangkat Desa, besaran penghasilan tetap, tunjangan, dan penerimaan lainyang sah bagi kepala Desadan perangkat Desa, penempatan perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil, serta tata cara pemberhentian kepala Desa dan perangkat Desa. Maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Kabupaten Bangli secara pembagian administrative wilayah memiliki (4) empat kecamatan dan 73 (tujuh puluh tiga) desa atau kelurahan. Kecamatan Kintamani memiliki Desa Abangsongan, Desa Abuan, Desa Awan, Desa Bantang, Desa Banua, Desa Batudinding, Desa Batukaang, Desa Batur Selatan, Desa Batur Tengah, Desa Batur Utara, Desa Bayungcerik, Desa Bayung Gede, Desa Belancan, Desa Belandingan, Desa Belanga, Desa Belantih, Desa Binyan, Desa Bonyoh, Desa Buahan, Desa Bunutin, Desa Catur, Desa Daup, Desa Dausa, Desa Gunungbau, Desa Katung, Desa Kedisan, Desa Kintamani, Desa Kutuh, Desa 51 Langgahan, Desa Lembean, Desa Mangguh, Desa Manikliyu, Desa Mengani, Desa Pengejaran, Desa Pinggan, Desa Satra, Desa Sekaan, Desa Sekardadi, Desa Selulung, Desa Serai, Desa Siakin, Desa Songan A, Desa Songan B, Desa Subaya, Desa Sukawana, Desa Suter, Desa Terunyan, Desa Ulian. Kecamatan Susut memiliki Desa Abuan, Desa Apuan, Desa Demulih, Desa Pengiangan, Desa Penglumbaran, Desa Selat, Desa Sulahan, Desa Susut, Desa Tiga. Kecamatan Tembuku memiliki Desa Bangbang, Desa Jehem, Desa Peninjoan, Desa Tembuku, Desa Undisan, Desa Yangapi. Dan kecamatan Bangli memiliki Desa Bunutin, Desa Kayubihi, Desa Landih, Desa Pengotan, Desa Taman Bali, Kelurahan Bebalang, Kelurahan Cempaga, Kelurahan Kawan, Kelurahan Kubu. Dalam rangka meningkatkan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, dan mutu pelayanan kepada masyarakat maka dipandang perlu mengatur pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa dalam bentuk Peraturan Daerah.. Hal ini tertuang dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.

Pemerintahan Daerah (skripsi dan tesis)

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa daerah
Indonesia dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi
pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil. Hal ini secara terimplisit
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 18.
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, pengertian Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dimaksud
dengan pemerintah daerah menurut Pasal 1 angka 3 adalah Pemerintah
Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terlepas dari
penyelenggaraan pemerintahan pusat, karena pemerintahan daerah
merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam
teritorial negara Indoenesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturendelandchappen dan volksgemeen schappen29, seperti desa di
Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dn
sebagainya. Daerah-daerah tersebut mempunyai kedudukan dan
masyarakat asli dan dapat dianggap sebagai daerah yang mempunyai
keistimewaan di daerah tersebut. Dengan demikian asas penyelenggaraan
pemerintahan berlaku juga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
termasuk asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggara Pemerintahan Daerah
provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu
oleh Perangkat Daerah. dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah

Desentralisasi (skripsi dan tesis)

Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu ”de” berarti lepas dan centrum berani pusat. Jadi menurut perkataan berasal dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.   Desentralisasi dalam arti self government menurut Smith dalam Khairul Muluk  berkaitan dengan adanya subsidi teritori yang memiliki self government melalui lembaga politik yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yuridiksinya. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah baik provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan atas daerah pemilihan yang mencerminkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan tenentu. Karena dewan perwakilan rakyat daerah merupakan elemen dalam penyelenggraaan pemerintahan di daerah. Menurut Henry Maddick dalam Juanda, desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.   Amrah Muslimin menyebutkan, sistem desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri.   Berdasarkan pendapat Bachrul Elmi menyebutkan, bahwa desentralisasi berarti memberikan sebagian dari wewenang pemerintahan pusat kepada daerah, untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan dan tanggung jawab daerah meliputi : urusan umum dan pemerintahan, penyelesaian fasilitas pelayanan dan urusan sosial, budaya, agama dan kemasyarakatan.  Penyerahan urusan pemerintahan lebih lanjut menurut Siswanto Sunarno  menjelaskan bahwa desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah, Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi. Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan penotonomian menyangkut proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Pada hakekatnya pemerintahan daerah melaksanakan asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah  kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan pemerintahan wajib dan pilihan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan otonomi daerah adalah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah dalam fungsi mengatur bersifat menetapkan peraturanperaturan terhadap kepentingan daerah yang bersifat abstrak berisi norma perintah dan larangan, sedangkan tindakan mengurus bersifat peristiwa konkrit serta tindakan mengadili yaitu mengambil tindakan dalam bentuk keputusan untuk menyelesaikan sengketa dalam hukum publik, privat dan hukum adat. Sistem daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi, pemerintahan daerah melakukan urusan penyelenggaraan rumah tangga sendiri telah didelegasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, oleh Jimly Asshiddiqie27, dinyatakan memiliki kewenangan untuk mengurus, sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri, sehingga dikenal tiga ajaran dalam pembagian penyelenggaraan pemerintah negara,yakni: (1) ajaran rumah tangga materiil; (2) ajaran rumah tangga formil; dan (3) ajaran rumah tangga riil. Lebih lanjut ketiga ajaran rumah tangga ini dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut : 1. Ajaran rumah tangga materiil, untuk mengetahui yang manakah urusan yang termasuk rumah tangga daerah atau pusat. Urusan rumah tangga ini melihat materi yang ditentukan akan diurus oleh pemerintahan pusat atau daerah masing-masing. Dengan demikian pemerintah pusat dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan sesuatu urusan dengan baik karena urusan itu termasuk materi yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh daerah, atau sebaliknya pemerintah daerah tidak akan mampu menyelenggarakan suatu urusan karena urusan itu termasuk materi yang harus diselenggarakan oleh pusat. 2. Ajaran rumah tangga formil, merupakan urusan rumah tangga daerah dengan penyerahannya didasarkan atas peraturan perundangundangan, sehingga hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah dipertegas rinciannya dalam undang-undang. 3. Ajaran rumah tangga riil, yaitu urusan rumah tangga yang didasarkan kepada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata, dengan didasarkan pertimbangan untuk mencapai manfaat yang sebesarbesarnya, sesuatu urusan yang merupakan wewenang pemerintah daerah dikurangi, karena urusan itu menurut keadaan riil sekarang berdasarkan kebutuhan yang bersifat nasional. Akan tetapi sebaliknya suatu urusan dapat pula dilimpahkan kepada daerah untuk menjadi suatu urusan rumah tangga daerah, mengingat manfaat dan hasil yang akan dicapai jika urusan itu tetap 23 diselenggarakan oleh pusat akan menjadi berkurang dan penambahan atau pengurangan suatu wewenang harus diatur dengan undang-undang atau peraturan peraturan lainnya. Pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi seluas-luasnya, berdasarkan pendapat Sudono Syueb menyebutkan pada intinya, bahwa daerah diberikan kebebasan dan kehadirian untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menentukan sendiri kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah dalam pemilihan langsung kepada masyarakat. Melalui pemilihan langsung, maka dihasilkan kepala daerah otonom adalah pemimpin rakyat di daerah bersangkutan yang mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah guna mewujudkan kesejahteraaan rakyat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip demokrasi, karena melibatkan sebesar-besarnya peran rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta menciptakan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang demokratis akan dapat menyelenggarakan roda pemerintahan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi, partisipatif efektif dan efisien serta bermoral yaitu pemerintahan daerah melaksanakan tindakan pemerintahan dengan baik dan mempertanggungjawabkan kepada pemerintah dan rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas, serta dapat berlangsung secara terbuka dan siap dikoreksi oleh rakyat sesuai esensi prinsip transparansi. 24 Menurut pendapat peneliti desentralisasi dalam asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai dengan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dilaksanakan dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kebebasan dan kemadirian yang seluasluasnya dilakukan oleh pemerintahan daerah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh kepala daerah yang memiliki fungsi atau bidang pekerjaan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi sesuai dengan demokrasi.

Asas dan Sistem Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)

Pelaksanan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, jujur dan adil (Luberjurdil). Adapun yang dimaksud dengan asas “Luberjurdil” dalam pemilu menurut Undang-Undang Nomor 08 tahun 2012, tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU No. 08 Tahun 2012 asas pemilihan umum meliputi: a. Langsung, rakyat mempunyai hak untuk memilih secara langsung sesui dengan pilihan hatinya. b. Umum, artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah berhak untuk ikut memilih dan telah berusia 21 tahun berhak di pilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian). c. Bebas, artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun/dengan apapun. d. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).  e. Jujur, pada saat pelsanaan pemilihan umum dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Adil, pada setiap pemilu, partai politik diberikan kesempatan yang sama. Sedangkan berdasarkan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 07 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, asas dalam pemilihan umum terdapat dalam Pasal 3 yaitu: a. Mandiri; b. Jujur; c. Adil; d. Berkepastian hukum; e. Tertib; f. Terbuka; g. Proporsional; h. Profesional; i. Akuntabel; j. Efektif; dan k. Efisien. Demikain asas dan sistem yang seharusnya dilakukan dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Melalui penerapan sistem dan asas tersebut diharapkan sistem demokrasi Indonesia menjadi demokrasi yang bermartabat dan menjadi contoh pelaksanaan sistem demokrasi yang berhasil di negara yang sangat majemuk.

Pengertian Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)

Sebagai konsekuensi warga negara yang tinggal di negara penganut sistem demokrasi adalah mengikuti pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk menyalurkan hak politiknya melalui partisipasi dalam pemilihan umum. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum merupakan hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilihan umum adalah pengejawentahan sistem demiokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan dalam struktur pemerintahan, Michael Rush (2013:87). Lebih lanjut Musfialdy (2015:70) menjelaskan bahwa pemilihan umum merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang merupakan kehendak mutlak bangsa Indonesia setelah menetapkan dirinya sebagai negara demokrasi. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 07 Tahun 20 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum disebutkan dan dijelaskan tentang pengertian Pemilihan Umum, yang selanjutnya disebut Pemilu, adalah wahana yang diberikan oleh negara kepada warga negarnya umtuk melaksanakan haknya dengan menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 Selain beberapa definisi di atas Sarbaini (2015:107) menyatakan bahwa Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatanjabatan politik di pemerintah yang didasarkan pada pemilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat. Secara umum pemilu merupakan perangkat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang sah serta sarana menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan para wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga legislatif, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.
Disi lain Marulak Paradede (2014:85) mengemukakan salah satu alasan pentingnya dilaksanakn pemilihan umum adalah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, memilih wakil rakyat, meyakinkan atau setidak-tidaknya memperbarui kesepakatan pihak warga negara, mempengaruhi perilaku warga negara dan mendidik penguasa untuk semakin mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang memaksakan untuk mempertahankan kekuasaanya. 21 Sehingga dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pengertian pemilihan umum adalah wujud dari implementasi pelaksanaan demokrasi dimana rakyat menyalurkan hak politiknya untuk menentukan pilihan hatinya .

Bentuk partisipasi politik (skripsi dan tesis)

 Jika kita membahas partisipasi politik, alangkah lebih baiknya kita juga membahas tentang bentuk partisipasi politik. Menurut Sahid (2011: 178-179) bentuk partisipasi politik secara umun adalah pemberian suara pada saat pemilihan umum (pemilu), namun jika dirinci lebih lanjut, bentuk partisipasi politik tidak hanya sekedar memberikan suara padasaat pemilihan umum saja, tetapi tentu berbeda jenis dan macamnya, tergantung dari sudut pandang manakah bentuk partisipasi politik tersebut dilakukan. Lebih lanjut bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dijabarkan sebagai berikut:
 a. Voting (pemberian suara)
 Kegiatan voting adalah pemberian suara dalam pemilihan umum (pemilu), voting mempunyai ruang lingkup yang luas, fungsi dari voting (pemberian suara) ini adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah. Oleh karenanya masyarakat mempunyai peran yang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah.
b. Informal group (kelompok informal) dan social movement (pergerakan sosial)
Bentuk partisipasi kelompok informal dan pergerakan sosial adalah berupa kegiatan dari kelompok-kelompok tertentu, yang bertujuan menyalurkan aspirasi mereka serta untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan perkumpulan-perkumpulan organisasi tertentu guna membahas berbagai masalah yang sedang dihadapi dan mencari jalan keluarnya. Bentuk dari partisipasi ini termasuk dalam bentuk partisipasi yang paling tinggi, karena hanya sedikit masyarakat yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya masuk ke dalam kategori derajat partisipasi politik yang tinggi
 c. Direct contact (kontak langsung)
 Bentuk partisipasi ini lebih bersifat personal, digunakan untuk kepentingan personal/per individu, oleh karena itu tingkatan dan derajat partisipasi politik ini termasuk dalam kategori rendah, karena hanya untuk kepentingan pribadi saja. d. Protes activity (aktivitas protes) Bentuk partisipasi politik ini timbul lantaran ketidak puasan masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu terhadap kebijakan 18 yang diambil oleh pemerintah. Bentuk partisipasi ini bisa berupa demontrasi atau bahkan juga bisa kekerasan

Pengertian Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998. Partisipasi terdiri dari dua kata yaitu Pars artinya bagian dan Capere (bahasa latin) yang artinya mengabil peran dalam kegiatan politik. Dalam bahasa lain yakini bahasa inggris sering di sebuat dengan istilah partisipate atau participation yang memiliki arti mengabil peran atau bagian. Jadi partisipasi politik berarti mengambil peranan dalam kegiatan politik negara, Suharno (2004: 102-103). Selanjutnya pertisipasi politik juga dapat didefinisikan sebagai keterlibatan individu samapai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem 16 politik, T. May Rudy (2013: 23). Pendapat lain mengatakan bahwa partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut dalam menentukan pemimpinan pemerintah, Imam Yudhi (2011: 33).

Tujuan Pendidikan politik (skripsi dan tesis)

Setiap kita melakukan kegiatan pasti kita memiliki tujuan yang hendak dicapai, seperti halnya pendidikan politik juga mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan pendidikan politik menurut Siti Khanifah (2015: 1) pada dasarnya adalah untuk mendidik dan mengatur diri sendiri untuk dapat berproses menjadi manusia dewasa dalam mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan politik dan telah memikirkan resiko yang akan didapat dari apa yang telah dilakukan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 pasal 31 tentang partai politik menyebutkan bahwa: terdapat tiga orientasi atau tujuan pendidikan politik. Yaitu pertama, meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketiga, meningkatkan kemandirian, kedewasaan dan membangun 15 karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Berdasarkan kedua definisi dari tujuan pendidikan politik diatas maka setidaknya dapat di simpukan bahwa tujuan pendidkan politik anatar lain adalah mendidik atau mengatur seseorang atau sekelompok orang agar sadar akan hak dan kewajibanya sebagai warga bangsa yang baik. Selain sadar hak dan kewajibanya melaui pendidikan politik sesorang diharapkan juga dapat meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa.

Bentuk-Bentuk Pendidikan Politik (skripsi dan tesis)

Setelah kita memahami mengenai definisi dari pendidikan politik selanjutnya kita akan mencoba memahami mengenai bentuk-bentuk dari pendidikan politik. Pelaksanaan pendidikan politik akan berkaitan dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan pada lapisan masyarakat. Usaha dari keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat terwujud jika tidak diimbangi dengan usaha yang nyata di lapangan. Oleh karena itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan pendidikan politik ini. Rusadi Kartaprawira (2006: 56) berpendapat bahwa pendidikan politik dapat diselenggarakan diantaranya melalui bentuk-bentuk sebagai berikut: 1. Bahan bacaan seperti surat kabar, majalah dan lainlain bentuk publikasi massa yang bisa membentuk pendapat umum; 2. Siaran radio dan televisi serta film (audio visual media); 3. Melaui sosialisai pada lembaga atau asosiasi dalam masyarakat dan juga lembaga pendidikan formal ataupun informal. Sedangkan pendapat lain menurut M. Arifin Nasution (2012: 38) bentuk pendidikan politik yang paling banyak digunakan adalah dengan cara mensosialisasikan materi pendidikan dan visi misi partai mengingat partai politik juga mengemban tugas memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Setelah memahami beberapa pendapat di atas mengenai bentuk – bentuk dari pendidikan politik maka dapat di katakan bahwa 14 sesunnguhnya bentuk-bentuk dari pendidikan politik sangat bervariasi. Salah satu bentuk dari pendidkian politik diantaranya melaui berupa sosialisasi yang kegiatan ini dapat dilakukan oleh partai politik, lembaga pendidikan, perintah maupun tokoh masyarakat. Bentuk pendidikan politik selain melalui sosialisai juga dapat dilakukan melaui media massa dan juga pendidikan formal mauapun non formal

Pengertian Pendidikan Politik (skripsi dan tesis)

 Bagi negara penganut sistem demokrasi pendidikan politik merupakan suatu hal yang sangat penting, mengingat setiap lima tahun sekali masyarakat selau terlibat dalam kegiatan pesta demokrasi. Masyarakat menyalurkan hak politiknya melaui sarana yang disebut pemilihan umum untuk menentukan tokoh yang akan memimpinnya. Salah satu sarana yang dapat dilakukan dalam rangka mencerdaskan atau mendewasakan warga bagsa dalam berdemokrasi salah satunya adalah melalui pendidikan politik. Melaui pendidikan politik tersebut diharapkan masyarakat suatu bangsa dapat memiliki pemahaman tentang demokrasi dan politik yang baik sehingga dapat menyalurkan hak pilihnya secara rasional. Selajutnya kita akan memahami apa yang dimaksud dengan pendidikan politik, pendidikan politik ialah merupakan sarana untuk memberikan pemahaman pada warga negara bahwa untuk mengubah realitas politik ke dalam sistem politik yang ideal, ditandai adanya perubahan kebudayaan politik baru, Soeprapto (2014: 41). Definisi lain juga dikemukakan oleh Kartini Kartono dalam Indrus Affandi (2017: 2) bahwa pendidikan politik adalah upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis dengan tujuan membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara moral dalam pencapaian tujuan politik.
 Selain beberapa pendapat yang telah dipaparkan di atas, pendapat lain juga dikemukankan oleh Satmoko (2015: 320) bahwa pendidikan politik merupakan upaya-upaya yang dicurahkan oleh lembagalembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, yang berusaha membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik yang sejalan dengan kultur politik orang-orang yang bergerak di lembaga-lembaga tersebut pada setiap warga negara, membentuk dan menumbuhkan kesadaran politik dengan segala tingkatannya, sehingga warga negara menjadi sadar dan mampu memperoleh sendiri kesadarannya,  membentuk dan menumbuhkan kemampuan partisipasi politik yang ia mampu dan senang berpartisipasi politik secara aktif, serta ikut memecahkan persoalan-persoalan umum masyarakatnya dengan segala bentuk partisipasi yang memungkinkan, sehingga mengantarkan kepada perubahan menuju yang lebih baik.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, didefinisikan bahwa pendidikan politik merupakan sebuah proses pemahaman dan pembelajaran tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain hal tersebut pendidikan politik diperuntukkan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat sehingga ia dapat berperan sebagai pelaku dan partisipan kehidupan politik. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan akan mampu tercapainya stabilitas nasional yang semakin mantap dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sebagai perwujudan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Setelah memahami berbagi pendapat mengenai pengertian pendidikan politik di atas maka dapat di katakan bahwa pendidikan politik adalah upaya pendidikan yang disengaja untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat serta kesadaran sehingga masyarakat mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik. Maka diharapkan ketiak seseorang atau masyarakat telah mendapatkan pendidikan politik akan mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik secara dewasa, rasional dan bertanggug jawab.

Definisi Politik (skripsi dan tesis)

 Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak dapat terlepas dari yang namanya politik baik itu terjadi secara sengaja maupun yang terjadi begitu saja tanpa kita sadari. Misalnya saja sejak kita masih dibangku sekolah kegitan politik sudah sering kita alami seperti halnya pemilihan ketua kelas, pemilihan ketua OSIS dan menentukan pilihan-pilihan ekstrakulikuler yang kita minati. Setelah kita memasuki usia sekitar 17 tahun kita mulai mengikuti pesta demokrasi dalam bentuk pemilihan umum dimana disitu kita menyalurkan hak politik kita sebagai warga negara yang mempuyai hak suara dalam pemilihan. Setelah kita sering kali melakukan kegitan-kegitan yang berhubungan dengan istilah politik selanjutnya kita akan memahami arti dari politik itu sendiri, istilah politik menurut Ishomudin (2013: 24) adalah serangkaian kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses untuk tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan pengertian politik menurut Paramitha (2017: 1)
Politik adalah suatu jaringan interaksi antar manusia dengan kekuasaan diperoleh, ditransfer dan digunakan. Kegiatan Politik diusahakan untuk mencapai keseimbangan dalam rangka mewujudkan kepentingan bersama dalam sebuah organisasi. Ketika keseimbangan tersebut tercapai, maka kepentingan individu akan mendorong pencapaian kepentingan bersama. Pandangan lain menurut Bedjo Sukarno (2016: 4) mendefinisikan bahwa politik ialah merupakan usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Dimana melaui kegitan politik tersebut diharapkan mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi kepentingan bersama. Bedjo Sukarno (2016: 6) juga menyatakan bahawa unsur paling penting dalam sistem politik ialah pembagian nila-nilai terutama nilai kesejahteraan, keadilan dan keamanan bagi semua warga negara dan untuk semau masyarakat. Dengan begitu politik erat dengan pengambilan kebijakan pemerintah, yang secara normatif harus bersih dan berhasil. Sehingga beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa definisi politik secara umum adalah usaha-usaha yang ditempuh orang atau kelompok untuk mencapi tujuan tertentu.

Pendidikan Politik (skripsi dan tesis)

Pendidikan politk yang bersifat dialogis, terbuka, rasional atau penyadaran merupakan metode untuk mempelajari politik.Dalam lingkungan sekolah, melalui PKn dengan tujuannya yaitu untuk menumbuhkan “Good Citizenship” sehingga anak atau siswa tersebut berguna dan bermanfaat untuk bangsanya. Membaca buku teks, mengikuti perkembanan lewat media masa elektronidan nonelektronik, merupakan cara yang dilakukan untuk memperoleh informasi politik. Pembelajaran politik yang lebih mengemukakan pengarahan politik untuk Dukungan penguasa politik atau memobilisasi dan memanipulasi masyarakat dari pada meningkatkan partipasi politik, mengutamakan pembakitan emosi dan lebih bersifat monolog bukan dialog merupakan indoktrinasi politik, sangan berbeda dengan pendidikan politik. Indoktrinasi politik sering dilakukan oleh partai politik maupun suatu rezim otoriter. (Cholisin, 2002:6) Menurut Kartini (2009:65) Pendidikan politik adalah kegiatan pendidik diri yang dilakukan secara berkelanjutan, guna memahami yang ada pada dirinya serta lingkungan sekitar.
 Penjalasan bebarapa ahli diatas dapat diartikan pendidikn politik pada dasarnya memiliki tujuan untuk mendidik masyarakat agar melek terhadap politik dan dewasa dalam menentukan pilihan politik serta resiko-resiko dari setiap pengambilan keputusan (mengatur dan mendidik diri sendiri) Kedudukan pendidikan politik sangatlah strategis guna meningkatkan pengetahuan politik bagi masyarakat akan politik. Pendidikan politik merupakan metode dalam melibatkan rakyat dalam system politik melalui partisipasi dalam menyalurkan tuntutan dalam dukungannya. Rasadi (1988:54) berpendapat bahwa pendidikan politik adalah fungsi struktur politik dengan tujuan meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar dapat berpartisipasi dalam system politik. Brownhill dan Smart (1989:10), Pendidikan politik berguna dalam membimbing siswa dalam menilai, memahami, dan mengambil keputusan dalam bebagi masalah secara rasional dan tepat, baik itu isu yang controversional maupun masalah yang bias. Crick & Porter (dalam Affandi, 1996) Masyarakat yang paham atau mengetahui tentang tentang politik apabila dapat memahami tentang: 1. Memanfaatkan pengetahuan dan melibatkan diri secara aktif 2. Informai bagaimana sebuah institusi bekerja 3. Mampu memprediksi sebuah isu dan memetuskan secarah efektif 4. Dapat menilai suatu kebijakan secara baik ketika masalah (isu) dipecahkan 5. Melek politik dalam dalam hal ini dapat melihat pandangan orang lain dengan berbagai sudut pandang. 12 Sesorang dikatakan melek politik jika ia mampu secara aktif dalam berpartisipasi secara aktif dalam politik dan tidak hanya sebagai penonton. Keberhasilan pendidikan politik yang dianalisi oleh Alfian yaitu system politik yang ideal atau yang diinginkan dari masyarakat itu sendiri.
Pemerintah seyogyanya melakukan pendidikan politik agar mampu melahirkan masyarakat yang cerdas, aktif dan inisiatif dalam berpartisipasi. Pendidikan politik tidak hanya diajarkan disekolah saja, setidaknya terdapat empat (4) komponen yang bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan politik yaitu penyelenggara pemilu (KPU dan Panwaslu), partai politik, pers dan masyarakat. Alfian (1986:235), Pendidikan politik ialah usaha sadar untuk mengubah peroses sosialisasi politik masyarakat agar memehami dan menghayati nilai-nilai politik yang dicita-citakan. Pengetahuan dan keahlian diperlukan untuk diberikan kepada peserta didik sebagai pegangan untuk dapat berpartisipasi secara sukses dalam politik yang dilakukan oleh pendidik politik. Politik bukan hanya meraih beberapa tujuan atau kekuatan tapi menyangkut tentang nilai dan cara menghormati martabat manusia. Intruksi presiden No. 12 Tahun 1982: “Pendidikan politik merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai budaya politik bangsa”. Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses perubahan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam 13 rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif, dan efisien”. Dapat disimpulkan pendidikan politik adalah proses penurunan nilai-nilai dan norma-norma dasar ideologi suatu negara yang dilakukan dengan sadar, terorganisir, dan berencana dan berlangsung kontinyu dari satu generasi kegenerasi berikutnya dalam rangka membangun watak bangsa (national character building).
Sumantri dan Afandi (1996:126) berpendapat bahwa, diselenggarakan pendidikan politik pada dasarnya ialah untuk memberikan pedoman bagi generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa Indonesia. Melalui kegiatan pendidikan politik diharapkan warga negara memahami akan hak dan kewajiban serta bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berkepribadian utuh, terampil berkesadaran tinggi sebagai warga negara yang baik. Pendidian politik berhubungan dengan sikap dan prilaku seseorang maka dari itu proses ini memerlukan waktu yang lama.

Fungsi Organisasi Sayap (skripsi dan tesis)

Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 12 Ayat (10) “Partai politik Membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik”. Sebagaimana dengan maksud ayat tersebut, maka fungsi organisasi sayap partai politik yaitu mendidik masyarakat agar mampu memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang merupakan kebutuhan bagi peningkatan daya kritis dan partisipasi politik rakyat dalam kehidupan demokrasi, Membimbing dan mendampingi serta memberikan avokasi terhadap masyarakat agar memiliki keberanian untuk menuntut dan menegakkan hak- hak politiknya Sebagai warga negara yang dimarjinalkan negara, membantu memberikan solusi alternative terhadap masalah-masalah nyata yang dihadapi oleh masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik yang menjadi hajat hidup masyarakat, menyampaikan data dan informasi yang benar dan aktual secara terbuka kepada masyarakat mengenai perkembangan kehidupan politik dan kepartaian di Tanah Air untuk mendapatkan umpan balik masyarakat, melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal paradigma dan mental attitude yang kondusif bagi upaya pembaruan partai politik dan pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Dengan memaksimalkan peran organisasi sayap partai politik, sebagai pilar utama kaderisasi, dan penguatan kader, maka secara otomatis proses seleksi kader untuk duduk sebagai legislatif maupun eksekutif akan lebih mengedepankan kualitas intelektual, serta basis massa pendukung dan bukan basis ekonomi. Organisasi sayap partai memiliki fungsi dan peran yang sangat penting bagi partai politik dalam upaya implementasi, sosialisasi dan diseminasi program dan kebijakan partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Organisasi sayap parpol dapat berupa organisasi pemuda, organisasi perempuan, organisasi buruh, organisasi tani, organisasi profesi, dan kelompok-kelompok rakyat terorganisasi sesungguhnya merupakan sumber daya-sumber daya yang harus dibina dalam sebuah organisasi sayap atau  underbow partai, dikembangkan dan diberdayakan oleh partai politik sebagai instrumen penting untuk menarik simpati dan dukungan yang sebesar-besarnya dari segenap lapisan masyarakat yang pada gilirannya mampu memenangkan partai dalam kompetisi politik secara elegan dan bermartabat. Simpati dan dukungan masyarakat terhadap partai direspon dan dikelola dengan baik dan serius karena simpati dan dukungan masyarakat adalah faktor yang menentukan bagi keberhasilan partai dalam meraih kemenangan, disamping faktor penentu lainnya, seperti kualitas sumber daya manusia, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung, kejelasan visi, misi dan platform, serta profesionalitas dan integritas kader dan pimpinan partai.
 Dalam kenyataannya, organisasi sayap atau underbow merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sebuah partai politik. Organisasi sayap memberikan andil besar bagi partai politik baik dalam upaya implementasi, sosialisasi maupun diseminasi program dan kebijakan partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan demokrasi, serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu peran organisasi sayap juga terbilang besar dalam proses rekrutmen dan kaderisasi partai politik, seperti yang terjadi saat ini, hubungan organisasi sayap dengan partai politik dapat diibaratkan seperti simbiosis mutualisme (satu sama lain saling menguntungkan). 30 Bagi partai politik dalam menjelang pemilu, organisasi sayap menjadi lahan untuk mendapatkan dukungan politik. Bahkan partai politik sering membuat organisasi sayap baru, jika segan mencari dukungan dari organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu. Begitu juga dengan keberadaan partai politik yang tidak dapat terpisahkan dengan sistem demokrasi, bahkan menjadi syarat utama mewujudkan sistem tersebut. Melalui partai politik kebijakan dibuat dengan mekanisme proses pembuatan produk perundang- undangan. Sehingga keberadaan organisasi sayap sangat dibutuhkan guna mengontrol dan mengevaluasi kinerja partai politik yang berada di legislatif, baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal ini dilakukan dengan peran kader organisasi sayap yang menjadi politisi partai politik tertentu, sementara pengawasan eksternal dilakukan demonstrasi dan kritikan melalui media massa. (Sony, Peran Organisasi Sayap Partai Politik,https://sonnyudj.wordpress.com).

Pengertian Organisasi Sayap (skripsi dan tesis)

Organisasi sayap merupakan sebuah organisasi bagian dari partai politik yang akan membantu kinerja partai politik dalam menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Pasal 12 ayat (10) menyatakan bahwa salah satu hak partai politik adalah membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik. Organisasi sayap sendiri menurut adalah organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap partai politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing partai politik

Model Kaderisasi (skripsi dan tesis)

a. Kaderisasi untuk Anggota Partai Politik
 Pada umumnya partai politik melakukan proses kaderisasi untuk internal kadernya. Pada partai-partai modern, anggota partai yang telah terdaftar yang membayar iuran keanggotaan secara tetap dalam jangka waktu tertentu secara otomatis akan mendapatkan trainning tertentu oleh partai politik dengan tujuan tertentu pula. Kaderisasi anggota parpol di partai yang pelembagaan politiknya bagus dirancang sedemikian rupa untuk mendapatkan keluaran kader sesuai dengan visi dan misi parpol yang bersangkutan. Proses kaderisasi anggota parpol dilakukan secara sistematis, berjenjang dan dalam jangka waktu tertentu secara terus menerus. Sayangnya di Indonesia, banyak partai politik yang melakukan proses kaderisasi secara insidental dan biasanya hanya diadakan pada waktu menjelang pemilu atau pilkada untuk pemenangan partai atau dalam kaitannya pembekalan calon anggota legislatif. Padahal proses kaderisasi yang bersifat terstruktur selain dapat membantu partai politik dalam meningkatkan kapasitas anggotanya juga menjadi alat untuk menilai potensi anggota-anggota partainya sekaligus parameter bagi parpol untuk melihat sejauh mana pelembagaan partai telah mengakar pada anggota- anggotanya.
 b. Kaderisasi untuk non anggota partai politik
Organisasi sayap partai menjadi sumber penting lainnya dalam kaderisasi partai politik. Melalui sayap partai internasilasi ideologi partai politik dan pembanguan karakter militansi dapat lebih mudah dilakukan dibandingkan sumber kaderisasi yang berasal dari organisasi masyarakat lainnya. Sebab, organisasi sayap merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sebuah partai politik. Organisasi sayap partai memberikan andil besar bagi partai politik baik dalam upaya implementasi, sosialisasi maupun diseminasi program dan kebijakan partai. Organisasi sayap partai dapat berbentuk organisasi pemuda, organisasi mahasiswa, organisasi perempuan, organisasi profesi, serta organisasi keagamaan (Syamsudin, 2016:52). Kaderisasi pada organisasi sayap partai biasa sekaligus menjadi perluasan basis dari parpol yang persangkutan. Sebuah organisasi sayap atau underbow partai, dikembangkan dan diberdayakan oleh partai politik sebagai instrumen penting untuk menarik simpati dan dukungan massa baik untuk memenangkan pemilihan umum maupun untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan partai.

Prinsip Kaderisasi (skripsi dan tesis)

Kaderisasi partai politik dapat dilakukan dengan baik hanya jika dalam proses tersebut berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut: Terbuka. Prinsip terbuka ini mengandung arti bahwa proses kaderisasiharus dapat diikuti oleh semua anggota partai politik, artinya anggota partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelatihan (training) dan kegiatan-kegiatan yang lainnya dalam proses kaderisasi. Kaderisasi perlu disertai jaminan bahwa semua kader yang telah menjadi anggota partai politik maupun anggota sayap partai yang memiliki potensi dan/ atau dengan penilaian lain yang telah ditentukan oleh partai politik yang sifatnya demokratis dapat mengikuti seluruh jenjang kegiatan kaderisasi. Dalam kaitan   ini, perlu juga dimunculkan sistem persaingan yang sehat dan transparan dalam tubuh organisasi partai politik. Kader harus dibiasakan dengan sistem persaingan yang sehat dan transparan. Dengan sistem persaingan yang terbebas dari kolusi dan nepotisme inilah kaderisasi kepemimpinan akan dapat melahirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas. Tertutup/Diskriminatif. Pemberian akses yang berbeda dalam proses kaderisasi juga sekaligus berarti bahwa mekanisme kaderisasi juga membuka ruang yang sama untuk seluruh anggota untuk mengikuti atau mendapatkan promosi dan karier politik melalui proses kaderisasi tanpa membedakan warna kulit, golongan, agama, gender, serta suku. Prinsip non-diskriminatif dalam kaderisasi sekaligus dapat mengurangi oligarkhi parpol terkait dengan kandidasi dalam kontestasi pemilu legislatif, kepala daerah dan presiden/wakil presiden serta pemilihan kader-kader partai di jabatan publik lainnya. Berjenjang. Penjenjangan kaderisasi parpol didasarkan pelapisan yangbertahap, bertingkat atau piramidal. Ini misalnya bisa disusun dengan melakukan penjenjangan kaderisasi tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat lanjut atau penyebutan lainnya. Rasionalisasi penjenjangan model hirarkhi ini bisa dilakukan karena alasan penjenjangan sebagai akibat pentahapan materi kaderisasi (materi bersifat piramidal) dan penjenjangan sebagai akibat pentahapan karir dalam organisasi (karir bersifat piramidal).
 Penggunaan model penjenjangan seperti ini menciptakan beberapa implikasi dalam kaitannya dengan kehidupan internal partai. Pertama, dilakukan karena ada kebutuhan untuk menyelesaikan pada pembekalan kapasitas lainnya. Intinya, materi pengkaderan diandaikan dalam skema piramidal. Pentahapan materi dalam skema piramidal akan berguna untuk dapat memastikan bahwa setiap kader partai akan memiliki tingkat kapasitas yang sama karena melalui proses kaderisasi yang sama (standarisasi). Kedua, penjenjangan kaderisasi sebagai akibat dari kebutuhan persyaratan meniti karir organisasi pada posisi-posisi yang ada di tingkat lokal dengan regional atau pusat. Ini misalnya tampak dari persyaratan tingkat kaderisasi tertentu yang harus diikuti oleh calon ketua partai, sekretaris jenderal dan sebagainya di setiap tingkatan. Namun demikian penjenjangan yang didasarkan pada materi kaderisasi secara otomatis akan berpengaruh pada penjenjangan karir politik yang akan dicapai oleh politisi. Sebagai contoh, seorang yang telah mendapatkan training kaderisasi tingkat pertama , karier politiknya akan berhenti sebagai pengurus parpol ataupun anggota legislatif atau kepala daerah di tingkat kabupaten/kota. Pada akhirnya penjenjangan kaderisasi ini dibutuhkan (Syamsudin, 2016:52)

Kaderisasi Partai Politik (skripsi dan tesis)

 Kaderisasi lebih bersifat sebagai proses intervensi dari partai politik untuk meningkatkan kapasitas individual para anggotanya agar mampu menjalankan sebagai fungsi partai. Selain itu, secara eksternal, kaderisasi juga berartipenting bagi tanggung jawab partai dalam melakukan pendidikan politik kepada publik. Kaderisasi sekaligus juga berguna untuk memastikan bahwa orang-orang yang terseleksi dalam proses rekrutmen adalah orang yang kompeten atau memiliki layolitas terhadap partai. Karakteristik kaderisasi yang ingin dihasilkan ini akan juga ditentukan oleh kecenderungan tipe dari partai yang bersangkutan.   Kaderisasi merupakan hal penting bagi sebuah partai politik, karena ini merupakan inti dari kelanjutan perjuangan partai ke depan dan juga inti dari keberadaan partai politik. Tanpa kaderisasi kepemimpinan, rasanya sangat sulit dibayangkan sebuah partai politik dapat bergerak dan melakukan tugastugasnya dengan baik dan dinamis. Kaderisasi kepemimpinan adalah sebuah syarat mutlak dalam membangun struktur kerja yang mandiri dan berkelanjutan. Kaderisasi sangat penting mengingat perlu ada transfer pengetahuan, keterampilan dan keahlian dalam suatu kajian tertentu. Fungsi kaderisasi dalam partai politik adalah mempersiapkan calon-calon untuk siap menerima mengelola partainya ke depan. Kaderisasi juga merupakan proses untuk melatih dan mempersiapkan anggota partai dengan berbagai keterampilan, disiplin ilmu dan pengalaman untuk mencapai tujuan partai.
Syamsudindkk dalam panduan rekrutmen dan kaderisasi partai politik Partai politik mengatakan, harus menciptakan pola pembinaan kader yang terprogram, terukur, sistematis, dan komprehensif serta berlaku di semua lini kader dan wilayah kader yang mencakup: a) Adanya tata norma, aturan dan tata institusi dalam membentuk sistem pengkaderan, baik pengkaderan umum dan pengkaderan khusus; b) Adanya model rekrutmen yang terbuka dan demokratis; c) Terdapatnya sistem evaluasi pembinaan kader yang berkesinambungan;   d) Membentuk jaringan kerja kader melalui interaksi antar kader demi meningkatkan kualitas kader agar lahir kader-kader yang loyal dan berdedikasi tinggi; e) Perlu dilakukan affirmative action dalam merekrut dan melakukan pola pembinaan perempuan kader partai guna mencapai meningkatkan jumlah perempuan dalam partai politik, parlemen, maupun jabatan-jabatan publik. Selain itu kaderisasi pada kelompok perempuan juga berarti meningkatkan kemampuan dan ketrampilan perempuan terkait dengan peran yang dimainkan dalam partapo politik, parlemen dan jabatan publik lainnya; dan f) Model pembinaan perempuan kader partai, baik dari segi strategi pembinaan, materi pembinaan maupun metode pembinaan hendaknya dikembangkan dan sesuai dengan kebutuhan

Klasifikasi Partai Politik (skripsi dan tesis)

Suatu negara dengan sistem demokrasi tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan partai politik sebagai pilar demokrasi. Partai politik sebagai atribut suatu negara dan mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan jalannya pemerintahan. Partai politik merupakan infrastruktur politik yang ada di masyarakat, partai politik merupakan oraganisasi non pemerintahan yang mempunyai tujuan tertentu dan berusaha untuk mencapai tujuan dengan cara menduduki suatu pemerintahan melalui pemilihan umum. Klasifikasi partai dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Menurut Haryanto, partai politik dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader.
Menurut Haryanto, partai politik dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu (Adrianus, 2005:567) : a) Partai massa, dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun demikian, partai jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan 19 untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri. b) Partai kader, kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya Partai politik pada umumnya dapat di kalsifikasikan menurut tiga kriteria (Kantaprawira, 2002:67). a) Berdasarkan komposisi dan keanggotaanya secara umum partai politik dibagi dalam dua jenis, yaitu partai massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, sedangkan partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. b) Berdasarkan sifat dan orientasinya klasifikasi ini membagi partai menjadi dua jenis, yaitu pertama, partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Kedua, partai ideologi atau partai azas biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat.  c) Berdasarkan sistem kepartaian. Secara konvensional, dikenal tiga sistem klasifikasi sistem kepartaian. Pertama, sistem satu partai (one party system). Dalam suatau negara hanya ada satu partai, atau dalam suatu negara sebenarnya terdapat partai-partai lain, namun karena terlalu kecilnya partai-partai tersebut, hanya satu partai yang dominan dalam politiknya. Kedua, sistem dwi partai, yaitu dalam suatu negara terdapat dua partai. Dalam sistem ini biasanya partai yang menang dalam pemilihan umum menduduki posisi pemerintahan (berkuasa). Sebaliknya partai yang kalah menjadi oposisi setia (loyal oposition) terhadap kebijakan partai yang berkuasa. Ketiga sistem banyak partai (multy party system). Dimaksudkan bahwa di suatu Negara terdapat banyak partai, tidak terpengaruh berapa jumlah partai dan partai mana yang berkuasa

Fungsi Partai Politik (skripsi dan tesis)

 Secara garis besar peran dan fungsi partai politik dapat di bedakan menjadi dua. Pertama, peran dan tugas internal organisasi. Dalam hal ini organisasi partai politik memainkan peran penting dalam pembinaan, edukasi, pembekalan, kaderisasi, dan melanggengkan ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian partai politik. Kedua, partai politik juga mengemban tugas yang lebih bersifat eksternal organisasi, di sini peran dan fungsi partai politik terkait dengan masyarakat luas, bangsa dan negara. Kehadiran partai politik juga memiliki tanggung jawab konstitusional, moral, dan etika untuk membawa kondisi dan situasi masyarakat menjadi lebih baik (Firmanzah, 2008:67). Fungsi, hak, dan kewajiban sebuah partai politik telah diatur dalam Undang- undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
 Berikut merupakan fungsi partai politik menurut UU No.2 Tahun 2011 Pasal 12: a) Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar b) Menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. c) Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat.  d) Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. e) Partisipasi politik warga negara Indonesia, dan Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memerhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Menurut budiardjo dalam menyelenggarakan demokrasi partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut : a) Sebagai sarana komunikasi poltik Partai politik mempunyai fungsi salah satunya sebagai sarana komunikasi politik. Partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara memerintah dengan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena disatu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada masyarakat dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan rakyat.Menurut Sigmund Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik didalam masyarakat politik yang lebih luas. b) Sebagai sarana sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya seseorang memeperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Proses sosialisasi politik berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Proses ini dapat diperoleh secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal, dan  informal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Melalui proses ini masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai sarana sosialisasi politik, seperti sekolah, partai politik, dan pemerintah. Partai politik dalam sistem politik dapat menyelenggarakan proses sosialisasi politik pada masyarakat. c) Sebagai sarana rekrutmen politik Fungsi partai politik ini yakni seleksi kepemimpinan dan kader-kader yang berkualitas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon- calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain. d) Sebagai sarana pengatur konflik Potensi konflik akan selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen dengan berbagai macam suku bangsa, sosial- ekonomi, maupun agama. Peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasi permasalahan yang ada melalui cara berdialog dengan pihak- pihak yang berkonflik, menampung, dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan pada musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.(Budiardjo, 2008:405)

Pengertian Partai Politik (skripsi dan tesis)

Partai politik merupakan salah satu sarana yang menghubungkan antara pemerintah dengan rakyat. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang teroganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiardjo, 2008:404). Dalam bukunya Ekonomic Et Societie Marx Weber memberikan defenisi tentang partai politik, menurutnya partai politik adalah organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut (Firmanzah, 2008:66). Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas mengenai partai politik, partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah negara terutama di negara dengan menerapkan sistem demokrasi. Secara sederhana partai politik merupakan representation of ideas yang harus ada dalam kehidupan politik modern yang demokrasi. Partai politik sebagai suatu organisasi yang  berorientasi pada representation of ideas secara ideal dimaksudkan untuk mewakili kepentingan-kepentingan warga, memberikan jalan kompromi bagi pendapat atau tuntutan yang saling bersaing, serta menyediakan ruang bagi suksesi kepemimpinan politik secara damai dan legitimasi.

Pembelajaran politik pada pemilih pemula (skripsi dan tesis)

 Menurut Sekertariat Jendral KPU (2010) pentingnya peran pemilih pemula karena 20% mereka merupakan bagian dari pemilih. Dengan demikian jumlah pemilih pemula sangatlah besar, dan diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik. Jangan sampai tidak terdaftar dalam DPT atau kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya. Lahirnya dari kelompok ini secara langsung akan memunculkan dampak pencitraan. Untuk pengamanan proses regenarisai kader politik kedepan, walaupun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun apabila tidak mendapatkan dukungan dari kelompok ini, maka cukup merugikan bagi para parpol atau kandidat yang ingin mendulang tinggi hasil dukungan. Pemilih pemula kerap menampilkan sisi yang unik, sering kali memunculkan kejutan dan akan menjanjikan secara kuantitas. Pemilih pemula dengan antusiasme tinggi akan relatif rasional haus akan perubahan yang positif. Pemilih pemula ditempatkan pada swing voters apabila memiliki antusiastinggi namun keputusan belum bulat (www.indonesiamemilih.com diakses 14 Maret 2013).
Partisipasi mereka belum memiliki ideologis tertentu dan didorong oleh dinamika lingkungan politik lokal.Pemilih pemula mudah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, kerabat dan teman. Selain itu juga media massa juga ikut berpengaruh seperti berita, spanduk, poster, dll. Bagi pemilih pemula yang masih sekolah adapun sosialisasi politik iadapatkan melalui mata pelajaran PKn. PKn sebagai pendidikan politik terutama dilakukan lewat sekolah merupakan bagaian dari sosialisasi politik. Menurut Greenstein yang dikutip oleh Cholisin (2000:63), sosialisasi politik diartikan sebagai keseluruhan belajar politik baik formal maupun informal disengaja maupun tidak disengaja (Political socialization is all poltical learning formal informal deliberate and unplanned). PKn sebagai pendidikan politik berarti menyangkut belajar dan mengajar tentang politik dan tentang aktor politik. Dalam hal tertentu pendidikan politik sangat memprihatikan tentang distribusi kekuasaan untuk memajukan rakyat (Renshon,1977:191). Dan PKn sebagai pendidikan politik menurut James Coleman, akan menekankan bagaimana mewujudkan warga Negara yang baik dalam arti mampu berpartisipasi dalam kehidupan Politikya atau kehidupan nasionalnya (we call civic training that part of political life of bis or ber nation) (Prewit & Dawson 1977:141). 60 Dengan demikian tampak jelas bahwa PKn merupakan sosialisasi politik yang formal dan direncanakan (pendidikan politik) untuk mekankan pada kemampuan berpartisipasi warga negara dalam kehidupan politik nasionalnya. Adapun teori belajar politik yaitu:
 a. Teori sistem T
eori sistem dalam ilmu politik dikenalkan oleh Easton kemudian Easton dengan kolengnya Jack Dennis mengaplikasikannya pada studi sosialisasi politik. Sosialisasi politik dianggap memainkan peran utama dalam menjaga kestabilan politik memunginkan sistem politik yang sama berlaku terus menerus sehingga tercapai dan berada pada suasana mapan dan mantap. Sosialisasi politik memungkinkan terjadinya apa yang disebut Almond, (1960), sebagai “system maintenance” (kemampuan bertahan suatu sistem politik secara terus menerus meskipun samba mengalami perubahan-perubahan) (Prewitt & Dawson, 1977:17-23, Alfian 1982:8). Pola belajar politik atau sosialisasi politik menurut teori sistem di arahkan untuk memelihara dan mengembangkan sistem politik ideal yang hendak dibangun adalah sistem politik demokrasi Pancasila, maka arah sosialisasi politik pada sistem ini
. b. Teori hegemonik
Teori hegemonik berarti akan mengarahkan sosialisasi politik pada dukungan sistem politik nasional. Oleh karena itu apa saja pengembangan teori hegemonik dapat mengarahkan pada sosialisasi politik yang akan meahirkan sikap untuk membenci atau memusuhi pemerintah kalau ini dilakukan oleh kelompok oposan. Apa yang diuraikan sejalan dengan prinsip teori hagemoni yang memang merupakan proses sosialisasi politik yang mentransmisikan ideology politik dari kelompok yang dominan kepada kelompok yang di dominasi dalam masyarakat ( Prewitt Dawsom, 19977:24).
 c. Teori Psikodinamik
 Menurut teori ini pengalaman pada masa awal (kanak-kanak) meninggalkan kesan yang sagat mendalamterhadap pembentukan kepribadian seorang anak dan setelah mereka dewasa akan merespon terhadap berbagai peristiwa dan rangsangan di tentukan oleh kebutuhan-kebutuhan pada masa awal.dari perspektif ini, maka kebutuhan-kebutuhan itu akan diadopsi anak ke dalam pandangan  dunia politik, terutama yang akan memberikan kepuasan terhadap kebutuhan pribadinya.
 d. Teori Belajar Sosial
 Teori belajar sosial ini, merupakan kebalikan dari teori psikodinamik. Teori ini menekan pada faktor eksternal sebagai penentu orientasi politik seseorang. Faktor eksternal yaitu penerimaan stimulus atau penguatan yang berasal dari lingkungan. Pesan-pesan yang diterima oleh individu dari lingkungan merupakan faktor yang krusial dalam menentukan pandangan yang akan diadopsi oleh seseorang.
e. Teori Perkembangan Kognitif
Teori perembangan kognitif berada diantara teori psikodinamik dan teori belajar sosial, yaitu menekankan pada interaksi antara lingkungan dan perkembangan kapasitas individu berfikir. Menurut teori ini kemampuan respond an pemahaman individu tentang sesuatu dalam lingkungannya, sangat ditentukan oleh kapsitas berfikirnya. Kualitas pemikiran anak cenderung sederhana dan lebih memahami sesuatu secara abstrak, sedangkan pada remaja dan orang dewasa sudag mulai berkembang kemampuaan berfikir yang lebih komplek dan rinci.
Dengan demikian kualitas pemikiran merupakan faktor yang menentukan perbedaan dalam pandangan dan sikap politik seseorang. Sosialisasi politik dapat dinyatakan sebagai proses mewariskan, memelihara, bahkan mengubah budaya politik suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia budaya politik yang hendak diwariskan adalah budaya politik partisipan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya politik Pancasila dan UUD 1945. Sosialisasi politik yang dilakukan pun sebaiknya yang mendukung pengembangan budaya demokrasi. Oleh karena itu sosialisasi politik yang tepat adalah mengacu pada teori system dan teori belajar sosial. Sedangkan teori psikodinamik dan teori perkembangan kognitif digunakan untuk melengkapinya.  Sosialisasi politik dilakukan melalui berbagai bermacam-macam sarana.
Menurut Mohtar Ma’oed & Collin MacAndrews (2011: 46-49) sarana-sarana sosialisasi politik melalui: 1) Keluarga. Pengaruh keluarga ini adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan (authority). 2) Sekolah. Sekolah memberikan pengetahuan kepada kaum muda tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Sekolah juga merupakan saluran pewarisan nilai dan sikap-sikap masyarakatnya. 3) Kelompok pergaulan. Kelompok pergaulanini mensosialisasikan anggota-anggotanya dengan cara mendorong atau mendesak mereka menyesuaikan diri terhadap sikap-sikap atau tingkah laku di kelompok itu. 4) Pekerjaan. Individu-individu mengidentifikasikan diri dengan suatu kelompok tetentu seperti serikat buruh, dan menggunakan serikat itu sebagai acauan dalam kehidupan politik. 5) Media massa. Disamping memberiakan informasi tentang peristiwaperistiwa politik, media massa juga menyampaikan langsung maupun tidak langsung nilai-nilai utama yang dianut oleh masyarakat. 6) Kontak-kontak politik langsung. Tidak peduli betapa positif pandangan terhadap sistem politik yang ditanam oleh keluarga maupun sekolah, tetapi bila seseorang telah diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, dan dipaksa untuk wajib militer, pandangannya terhadap politik sangat mungkin berubah.
Pkn sebagai pendidikan politik merupakan salah satu bentuk sosialisasi politik yang dilaksanakan melalui sekolah. Dengan pelajaran Pkn peserta didik diajarkan mengenai hak kewajiban warga negara, sistem politik, budaya politik, otonomi daerah, partai politik dan lain sebagainya. Yang pada gilirannya peserta didik diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara bertanggungjawab. 63 Kemudian menurut Suhartono (2009:6) pemilih pemula mempunyai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal informal mencari kesenangan. Oleh sebab itu semua hal yang tidak menyenangkan baginya akan dihindari.

Ciri-ciri pemilih pemula (skripsi dan tesis)

Pemilih pemula secara umum mereka para pelajar, mahasiswi serta pekerja yang berusia muda. Dalam pesta demokrasi pemilih pemula selama ini menjadi sebuah objek kegiatan politik. Yaitu mereka yang memerlukan bimbingan kearah pertumbuhan potensi dan kemampuan tingkat yang optimal agar dapat berperan baik dalm bidang kegiatan politik. Perlu adanya pendidikan politk agar pemilih pemula berkembang menjadi warga Negara yang baik, yang menghayati nilai-nilai luhur dari bangsanyadan sadar akan kewajibannya dalam kerangka nilai-nilai yang membingkainya.  Ciri-ciri pemilh pemula sebagai berikut : a. Warga Negara Indonesia dari pemungutan suara sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah kawin/pernah kawin. b. Baru mengikuti pemilu, memberikan hak pilihnya pertama kali sejak peilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun. c. Mempunyai hak memilih dalam penylenggaraan pilkada 2013

Pemilih pemula (skripsi dan tesis)

Menurut Pahmi Sy (2010:54) pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Pemilihpemula terdiri dari dua kata, yakni pemilih dan pemula. Pemilih adalah orang yang memilih. Sedangkan pemula adalah orang yang mulai atau mula-mula melakukan sesuatu (KBBI online). Pemilih pemula 57 merupakan pemilih yang berusia antara 17-21 tahun atau baru pertama kali ikut dalam pemilu (Maesur zaky, 2009: 14). Menurut pasal 1 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008, Pemilih adalah warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) atau lebih sudah/pernah kawin. Kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No.10 Tahun 2008 merangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara pemilih genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Pengetahuan mereka dengan pemilih lainnya tidak jauh berbeda hanya saja antusiasme dan preferensi.

Ketentuan dan Implikasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah (skripsi dan tesis)

.

 Sistem pilkada yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tiadak memuat secara jelas karakteristik sistem pemilihannya. Sistem pemilihan yang diikuti oleh sistem pilkada di Indonesia adalah campuran antara two round, sistem pemilihan presiden Nigeria, dan sistem first past the post. Sesuai dengan pasal 107 ayat (1) yang berbunyi: “Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara ditetapkan sebagai calon terpilih”. Pasal ini sesuai dengan sistem two round. Namun dalam pasal 107 ayat (2) disebutkan : “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) cari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih

Jenis-jenis Sistem Pilkada (skripsi dan tesis)

 Sistem Pilkada dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni pilkada langsung dan tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua metode tersebut adalah bagaimana partisipasi politik. tepatnya adalah penggunaan suara yang berbeda. Joko J. Prihatmoko (2005: 212) pilkada yang memberikan ruang bagi rakyat untuk memberikan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih 52 dan dipilih dapat disebut dengan tak langsung. Seperti sistem penegakan dan penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem perwakilan, kedaulatan atau suara rakyat diserahkan kepada pejabat pusat. Sebaliknya pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi hak pilih aktif. seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena iotulah pilkada langsung sering disebut implementasi demokrasi partisipan sedangkan pilkada tak langsung adalah implementasi demokrasi elitis. Joko J. Prihatmoko (2005: 210) yang membedakan pilkada langsung dan pilkada tak langsung adalah dengan melihat tahap-tahap kegiatan yang digunakan. dalam pilkada tak langsung rakyat dalam tahap kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali. rakyat ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan elite. dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan yang sangat jeas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan pemilih, penyelengggara, pemantau, bahkan pengawas. Oleh sebab itu dalam pilkada langsung, selalu ada tahap kegiatan langsung, selalu ada tahaapan kegiatan, pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan, dan perhitungan suara.
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Seorang bupati sejajar dengan wali kota, yakni kepala daerah untuk daerah kota. Pada dasarnya bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dikabupaten setempat. Bupati merupakan jabatan politis, karena diusulkan oleh partai politik dan bukan pegawai negeri sipil. Dalam pemilihan kepala daerah langsung rakyat memilih pemimpin daerah melalui mekanisme yang telah ditentukan. Sistem pemilihan yaitu mekanisme untuk menentukan pasangan calon yang akan menjadi kepala daerah. Sistem pemilihan akan menjadi tolak ukur kualitas pilkada yang dilaksanakan. Selain itu juga merupakan ketentuan tata cara untuk menetapkan calon terpilih. Dalam sistem pilkada langsung terdapat beberapa jenis sistem pemilihan yang berbeda. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan 54 kekurangan yang harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana akan berlangsungnya pilkada. Menurut Joko J. Prihatmoko (2005: 115-120), terdapat 5 jenis sistem pemilihan dalam pilkada langsung, yaitu: 1) First Past the Post System First Past the Post system dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah. Sistem ini juga dikenal dengan sistem mayoritas sederhana (simple majority). Konsekuensinya, calon kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separoh jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan. 2) Prefential Voting System atau Approval Voting System Prefential voting system atau approval voting system merupakan sistem dimana pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon kepala daerah yang ada saat pemilihan. Seorang calon kepala daerah akan otomatis menjadi kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai tingkat pertama yang terbesar.
Sistem ini juga dikenal sebagai sistem yang mengakomodasi sistem mayoritas sederhana (simple majority), namun dapat membingungkan proses perhitungan suara sehingga perhitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat. 3) Two Round System atau Run-off System cara kerja Two round system ini adalah dengan dilakukan pemilihan putaran dua (run-off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas mutlak, yaitu lebih dari 50% dari keseluruhan sura dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasanagn calon yang memiliki suara terbanyak harus melalui pemilihan putaran kedua beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. 4) Electoral College System Sistem ini bekerja dengan cara setiap daerah pemilih diberi alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada keseluruhan 55 suara yang diperoleh dalam pilkada yang diperoleh setiap calon dalam daerah pemilihan dihitung. Pemenang disetiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calaon yang memeperoleh suara dewan pemilih terbesar akan dimenangkan pilkada langsung. 5) Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria Seorang kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang pilkada apabila calon bersangkutan dapat memperoleh suara mayoritas sederhana (suara terbanyak diantara suara mayoritas yang ada) dari daerah pemilihan. Sistem ini diterapkan untuk menjamin bahwa kepala daerah terpilih memiliki dukungan dari mayoritas penduduk yang tersebar di berbagai daerah pemilihan. Sistem pilkada langsung memuat tata cara dalam proses pemilihan kepala darah. Sistem pilkada langsung memiliki sub sistem. Di Indonesia sub-sistem ini dilaksanakan oleh KPUD sebagai pelaksana teknis daei pelaksanaan pilkada langsung. KPUD sekaligus melaksanakan fungsi sub-sistem pilkada langsung terdiri dari: 1) Electoral regulation, yaitu segala ketentuan atau atauran mengenai pilkada langsng yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilih dalam peran dan fungsi masing-masing. Dalam sub ini KPUD erwenang membuat berbagai peraturan dan keputusan mengenai pelaksanaan pilkada sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005. 2) electoral process, yaitu seluruh kegitan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan yang berlaku yaitu ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Dalam sub-sistem ini KPUD berkewajiaban menangani persoalan teknis, administrasi dan logistik. 3) Electoral law enforcement, yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politisi, administratif, atau pidana. Dalam sub-sistem ini KPUD berwenang melakukan tindakantindakan hukum yang berfungsi memaksimalkan pelaksanaan tahanan pilkada (Joko J.Prihatmoko, 2005:187).

Kelebihan dan Kelemahan Dilaksanakannya Pilkada (skripsi dan tesis)

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung menyangkut berbagai aspek yang menentukan keberhasilan pemilihan kepala daerah yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, keterampilan petugas lapangan, pendanaan dan peraturan pemilihan. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung yang demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung harus bebas dari segala bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah yang terpilih mendapat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung dapat dihindari. Pada gilirannya pemiihan umum kepala daerah secara langsung akan menghasilkan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien,  karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif.
Dengan adanya pilkada secara langsung, setidaknya akan menghasilkan lima manfaat penting (Joko J. Prihatmoko, 2005: 131-133), yaitu sebagai berikut: 1) Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemiihan kepala daerah secara tidak langsung lewat dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004. Pemilihan kepala daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu. Pemiihan kepala daerah bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan, maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society). 2) Pemilihan kepala daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga dewan perwakilan rakyat daerah yang selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang refresentatif. Dewan pemilihan kepala daerah akan memposisikan kepala daerah juga sebagai pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif). 49 3) Pemilihan kepala daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah yang memiliki legitimasi dan justifikasi yang kuat dimata rakyat. Kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepala dewan perwakilan rakyat daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya. 4) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, karena pemiihan langsung berpeluang mendorong majunya calon da menangnya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat daerah, memuatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat. 5) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif, dan efektif. Tidak gampang digoyang oleh ulah politisi lokal, terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintahan pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan publik yang berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik. Dalam pelaksanaan pilkada langsung selain ada kelebihan tentu terdapat kelemahannya. Kelemahan tersebut ditemukan dalam 50 pelaksanaanya dilapangan. Dalam pilkada, banyak sekali ditemukan penyelewengan-penyelewengan atau kecurangan. Kecurangankecurangan yang sering dilakukan oleh para bakal calon dalam pilkada adalah seperti berikut (S.H. Sarundajang, 2005: 187-188): 1) Money politik. Adanya money politik ini, selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Money politik dilakukan supaya rakyat memilih calon yang sudah memberinya uang. Pada kenyataannya dengan uang memang dapat membeli segalanya. Selain itu, dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. 2) Adanya Intimidasi. Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga masyarakat agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu. 3) Pendahuluan start kampanye. Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut.
Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang  merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai. 4) Kampanye negatif. Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut

Tujuan Diadakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah (skripsi dan tesis)

Salah satu tujuan dari dilakukannya pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah yang sejak tahun 1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Ini merupakan proses demokrasi yang menunjukan orientasinya yang jelas, yaitu penempatan posisi dan kepentingan rakyat diatas berbagai kekuatan elite politik. Elite yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menhegemoni (Ahmad Nadir, 2005:1) Pilkada langsung sesungguhnya merupakan respon kritik konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tak langsung yang sering disebut dengan demokrasi perwakilan. Artinya bahwa rakyat tidak secara langsung mengartikulasi berbagai kepentingannya kepada agenda kebijakan publik, melainkan mewakilkannya pada sejumlah kecil orang tertentu. Ide pilkada langsung dinilai sebagai wujud demokrasi langsung (Ahmad Nadir 2005:15-17). Pilkada langsung bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai solusi dari demokrasi perwkilan yang selama ini telah berjalan cukup lama. Rakyat disuatu daerah dapat memilih sendiri pemimpinnya dengan berdasarkan asas yang berlaku. Pemimpin tersebut diharapkan dapat menyalurkan aspirasi rakyat dan 47 benar-benar menjadi pemimpin yang mengerti agenda otonomi daerah sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan rakyat.

Asas-Asas dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (skripsi dan tesis)

Asas adalah suatu pangkal tolak ukur pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan hubungan atau kondisi yang kita hendaki. Asas pilkada berarti pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Suatu pilkada yang demokratis dapat tercapai jika berjalannya asas-asas yang medasari pilkada tersebut. Pada dasarnya asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama dengan asas dalam pemilu, khususnya pemilu 2004. Pemilu 2004 yang disebut KPU sebagai penyelenggara pemilu 2004 banyak mengusung hal baru guna rekuitmen politik agar kualitas wakil rakyat semakin baik. (mohammad Najib dalam Suparman Marzuki, dkk, 2005:pengantar ix). Asas pilkada langsung telah diatur dalam pasal 56 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004, yang menyebutkan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara 44 demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Hal ini telah ditegaskan kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP No.6 Tahun 2005. Prinsip-prinsip pilkada sama seperti prinsip umum pemilu yang di uraikan sebagai berikut: 1) Langsung Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani tanpa perantara. 2) Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan yang sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengangandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. 3) Bebas Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapu. Di dalam melakasanakan haknya, setiap warga negara diajamin 45 keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. 4) Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada suarat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. 5) Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6) Adil Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun (Hestu Cipto Handoyo, 2003:217- 219) Penggunaan asas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara demokratis. Sehingga jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka hal tersebut 46 merupakan pelanggaran dan harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Arti pilkada langsung (skripsi dan tesis)

 Di era orde baru sebelum bergulirnya reformasi dalam UUD 1945 sebelum diamandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” namun setelah era reformasi, UUD 1945 diamandemen sehingga pada pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini mengandung makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR tetapi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka kepala daerah, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kepala daerah sehingga pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan dari kehendak rakyat dan kedaulatan rakyat. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan sarana demokrasi bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentukan wakil-wakilnya di daerah, pilkada juga merupakan sarana untuk ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seperti halnya negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang mengalami perubahan signifikan pasca runtuhnya orde baru.
Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan bebas menyalurkan pendapatnya dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang pada masa orde baru sangat dibatasi. Kelahiran pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu kemajuan dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mereka kehendaki. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung juga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya.
Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian tersebut dinyatakan pada Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan adanya pilkada secara langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi dilevel lokal. Tip O’Neill, dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa ‘all Politics is local’ yang dapat dimaknai sebagai demokrasi ditingkat nasional akan tumbuh 43 berkembang, dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilainilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya, demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih baik apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta kesantunan politik lokal lebih dulu terbentuk (Leo Agustino, 2009: 17). Ini artinya kebangkitan demokrasi politik di Indonesia (secara ideal dan aktual) diawali dengan pilkada secara langsung, asumsinya; sebagai upaya membangun pondasi demokrasi di Indonesia (penguatan demokrasi di ranah lokal)

Teori pilihan rasional (skripsi dan tesis)

Dikemukanan oleh James S. Coleman (dalam George Ritzer, 2007:394) teori rasional tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tidakan seseorang mengarah jelas pada tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, Struktur-Struktur Kepribadian+ Keyakinan Politik + Tindakan Politik Individu+ Struktur dan proses politik secara holistik= Tingkah Laku yaitu aktor dan sumberdaya. Sumberdaya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Teori rasional memusatkan pada aktor. Menurut George Ritzer (2007:394) aktor dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan pada upaya untuk mencapai tujuan, selain itu aktor juga mempunyai nilai dan pilihan. Teori ini tidak memandang apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi pilihan sumber aktor. Hal yang penting adalah aktor melakukan tindakan yang sesuai tujuan. Menurut Cholisin (2007-155) pilihan rasional adalah kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan alternatif berupa pilihan yang ada. Apabila teori rasional ini dikaitkan dengan pemilih pemula, maka pemilih pemula sebagai aktor dalam pilbup mempunyai tujuan tertentu dengan tidak berpartisipasi (golput). Tujuannya bermacam-macam bersikap masa bodoh, lebih mementingkan kepentingan pribadi, sebagai reaksi protes terhadap pemerintah atau calon kandidat tidak sesuai dengan pilihannya

Teori Behavioralisme (skripsi dan tesis)

 Teori ini menitikberatkan perhatian pada tindakan politik individu yang menonjolkan sejauh mana peranan pengetahuan politik sehingga terpengaruh pada perilaku politiknya (Nasiwan, 2010:33). Kaum behavioralis berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kegiatan politik.Teori Sistem Umum dipercaya juga sebagai akar dari kemunculan Teori Behavioralis, Teori ini mengatakan bahwa motivasi utama tindakan atau perilaku politik manusia adalah hasrat untuk melipatgandakan kemanfaatan akan sesuatu yang bernilai (Nasiwan ,2010:34 ). David Easton dalam Nasiwan (2010:37) mengungkapkan mengenai model psikologi, dimana model ini berusaha memahamkan tentang tingkah laku yang menekan proses belajar dengan variable seperti : 1) Situasi stimulan yang membangkitkan tindakan di dalam lingkungan (menggabungkan diri dengan partai politik, sebagai bentuk upaya memperoleh akses kekuasaan).  2) Timbul semacam dorongan sehingga melakukan sebuah upaya guna memperoleh respon yang memuaskan. 3) Variabel individu semacam keturunan, usia, jenis kelamin, kondisi visiologi yang menentukan cara orang memahami suatu kesempatan yang tersedia (contoh:berupa tindakan politik seperti dukungan saat memilih, bergabung dengan parpol, pressure group atau pergerakan). Tingkahlaku psikologis menerjemahkan bahwa dalam tingkah laku politik manusia bersama kepentingan, tujuan dan motivasi mengakibatkan proses belajar, pemahaman, kognisi, dan simbolis. Tahap sosialisasi selanjutnya adalah kedewasaan yang tercermin dari citra diri, harga diri seseorang sehingga berkepribadian yang positif sehingga individu dewasa yang menjadi semakin kuat dalam ideologinya sehingga cenderung berperilaku melindungi diri dengan hanya bergaul bersama orang-orang sepaham, sekelompok, sepergerakan, atau bahkan ada pula yang melenceng sama sekali dari ideology semula.
David E. Apter dalam Nasiwan (2010:39) menyatakan beberapa model-model sosialisasi, sebagai berikut: 1. Model akumulasi, semakin seorang individu dapat memahami berbagai pengetahuan dan ilmu tentang apa yang dianut (konteks politik), semakin bertambahlah harapan individu tersebut terhadap peran politik. 2. Model alih antarpribadi, memproyeksikan kekuasaan yang terdapat pada orang yang dinilai memiliki kesepadanan dalam pemaknaan kekuasaan tersebut, walau tidak dapat dikatakan sama sedikitpun terlebih sebanding, misal seorang anak memahami kekuasaan seorang presiden yang dilihatnya di televisi sebagai kekuasaan yang sepadan dengan keberkuasaan ayahnya. 3. Model identifikasi, Pengambilan sikap yang seragam dengan figur penting dan lebih tua. Contoh seorang anak memiliki 39 kecenderungan turut memilih dan mendukung partai politik yang menjadi pilihan orang tuanya. 4. Model perkembangan kognitif. Pemahaman konseptual sebagai proses berfikir anak untuk memperluas cakrawala berfikir dan meningkatkan tingkat kognisi anak mengenai kepemahaman akan jaringan isu-isu dan politik, agar tidak terjadi proses indoktrinasi semata.

Pendekatan dalam perilaku memilih (skrispi dan tesis)

Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis. Cholisin (2007: 154) ada lima pendekatan dalam perilaku memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan pilihan rasional. 1) Menurut pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihat sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan partai. 2) Sedangkan pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanya pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar 34 belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama. 3) Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. 4) Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisi psokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalam pemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. 5) Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi.
Yang dipertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Selain itu ada penelitian terdahulu mengenai pendekatan perilaku memilih sebagai berikut: 1) Bambang Kuncoro 1998, (Tesis) melakukan penelitian di Desa Sunyalangu Kabupaten Banyumas menemukan bahwa karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP (Organisasi Peserta Pemilu). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai kecenderungan memilih OPP lebih besar karena ajakan tetangga daripada program yang ditawarkan OPP.
Faktor alasan sosiologis berpengaruh besar dalam perilaku memilih masyarakat. 35 2) J. Kristiadi (2004:30) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak mempengaruhi perilaku memilih. 3) Udin Hamin, 2004, (Tesis) yang melakukan penelitian perilaku memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai, budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat. 4) Darussalam Darussalam, 2004, (Tesis) menemukan bahwa faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku memilih di Indonesia.Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan politik di atas, penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan
Pertama pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas tidak begitu memintingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya. Kedua, para pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah menjabat. Ketiga, pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalau melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal adalah pemilih yang bias dimobilisasi dalam periode kampanye (Rohrscheneider, 2002:367). Ciri khas pemilih ini adalah loyalias yang tinggi. Orientasi policy-problemsoving Tinggi Pemilih rasional Pemilih kritis Rendah Pemilih skeptis Pemilih tradisonal 37 Dan yang keempat, adalah pemilih skeptis yang dimana tidak memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput) dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah, 2008:121-123)

Perilaku Politik (skripsi dan tesis)

Menurut Ramlan Surbakti, (1992:131) seecara umum perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan publik. Sedangkan menurut Sudijono Sastroadmodjo (1993:3) perilaku politik adalah suatu kegiatan rakyat dimana masayarakat ada dalam suaru proses meraih, mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan. Perilaku politik berkaitan dengan tujuan masyarakat, kebijakan mencapai tujuan, dan sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur suatu kehidupan bermasyarakat. Ada tiga analisis untuk melakukan kajian terhadap perilaku politik yaitu individu aktor politik, agresi politik dan tipologi kepribadian politik. Yang dimaksud individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. Sedangkan agresi meliputi individu aktor secara kolektif seperti birokrasi, partai politik, kelompok kepentingan dan lembaga bangsa. Adapun yang dikaji dalam tipologi kepribadian politik yaitu tipe kepribadian otoriter, machialvelis dan demokrat. Dari hasil pendekatan diatas, maka tercipta sebuah model tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu aktor politik sebagai berikut: 33 1) Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa. 2) Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3) Struktur kepribadaian yang tercermin dalam sikap individu. 4) Lingkungan sosial politik langsung seperti situasi yaitu yang memepengaruhi aktor secara langsung, ketika hendak melakukan suatu kegiatan, seperti situasi keluarga, situasi ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan anacaman dalam segala bentuknya (Ramlan Surbakti, 1992: 133)

Bentuk Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Paige dalam Cholisin (2007:153) merujuk pada tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan pemerintah (sistem politik menjadi empat tipe yaitu partisipasi aktif, partisipasi pasif tertekan (apatis), partisipasi militan radikal , dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Sebaliknya jika kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis). Partisipasi militan radikal terjadi apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Dan apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan terhadap pemerintah sangat tinggi maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif). Berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai Negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentukbentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau ketidak puasan warga negara.
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Almond yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed (2011:57-58) yang terbagai dalam dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik non konvensional. Adapun rincian bentuk partisipasi politik konvensional dan non konvensional. 1) Partisipasi politik konvensional a) Pemberian suara atau voting b) Diskusi politik c) Kegiatan kampanye d) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan e) Komunikasi individual dengan pejabat politik atau administratif 2) Partisipasi politik nonkonvensional a) Pengajuan petisi b) Berdemonstrasi c) Konfrontasi d) Mogok e) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda : pengrusakan, pemboman, pembakaran f) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia: penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi. Kemudian David F. Roft dan Frank yang dikutip oleh A Rahman H.I (2007: 286) bentuk partisipasi warga Negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas tertinggi sebagai  partisipan. Apabila intensitas kegiatan masyarakat dalam kegiatan politik dijenjangkan maka akan membentuk piramida partisipasi politik.

Tipologi Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

 A. Rahman H.I (2007: 288) menyatakan bahwa secara umum tipologi partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi: 1) partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. 2) partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. 3) golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menggapsistem politik yang ada menyimpang dari yang dicita-citakan.
Milbrath dan Goel yang dikutip oleh Cholisin (2007: 152) membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori yakni : 1) Partisipasi politik apatis orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. 2) Partisipasi politik spector orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. 3) Partisipasi politik gladiator mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. 4) Partisipasi politik pengritik Orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi politik aktif terletak pada input dan output politik. Sedangkan partsipasi 26 pasif terletak pada outputnya saja.
Selain itu juga ada anggapan masyarakat dari sistem politik yang ada dinilai menyimpang dari apa yang dicita-citakan sehingga lebih menjurus kedalam partisipasi politik yang apatis. Pemberian suara dalam pilbup merupakan salah satu wujud partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini walaupun hanya pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang diberikan dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan, membantu tempat pemungutan suara dan lain-lain. Sedangkan Olsen yang dikutip Oleh A. Rahman H.I (2007: 289) memandang partisipasi sebagai dimensi utama startifikasi sosial.Ia membagi partisipasi menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi lainnya kepada orang lain), warga masyarakat, kelompok marginal (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) dan kelompok yang terisolasin(orang yang jarang melakukan partisipasi politik). Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku yaitu individual dan kolektif.individual yakni seseorang yang menulis surat berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.
Sedangkan yang dimaksud partisipasi kolektif ialah  kegiatan warganegara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua yakni partisipasi kolektif yang konvensional yang seperti melakukan kegiatan dalam proses pemilihan umum dan partisipasi politik kolektif nonkonvensional (agresif) seperti pemogokan yang tidak sah,melakukan hura-hura, menguasai bangunan umum. Partisipasi politik kolektif agresif dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksi agresif yang kuat dan aksi agresif yang lemah. Suatu aksi agresif dikatakan kuat dilihat dari tiga ukuran yaitu bersifat anti rezim (melanggar peraturan mengenai aturan partisipasi politik normal), mengganggu fungsi pemerintahan dan harus merupakan kegiatan kelompok yang dilakukan oleh monoelit. Sedangkan, partisipasi politik kolektif agresif yang lemah adalah yang tidak memenuhi ketiga syarat tersebut diatas. Di negara-negara berkembang partisipasi politik cenderung digerakan secara meluas dan diarahkan untuk kepentingan pembangunan. Orang-orang yang melakukan demonstrasi atau memberikan suara dengan jalan tersebut tampaknya merupakan wujud nyata dari partisipasi politik yang mudah serta mengudang perhataian dari berbagai kalangan.

Faktor-faktor Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Partisipasi politik merupakan suatu aktivitas tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Ramlan Surbakti (1992:140) menyebutkan dua variable penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud 21 dalam kesadaran politik adalah kesadaran hak dan kewajiban warga negara. Misalnya hak politik, hak ekonomi, hak perlindungan hukum, kewajiban ekonomi, kewajiban sosial dll. Kedua, menyangkut bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya. Selain itu ada faktor yang berdiri sendiri (bukan variable independen). Artinya bahwa rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial, afiliasi politik orang tua, dan pengalaman beroganisasi. Yang dimaksud status sosial yaitu kedudukan seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Selanjutnya status ekonomi yaitu kedudukan seseorang dalam lapisan masyarakat, berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang mempunyai status sosial dan ekonomi tinggi diperkirakan tidak hanya mempunyai pengetahuan politik, akan tetapi memiliki minat serta perhatian pada politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (Ramlan Surbakti, 2006:144-145). Selanjutnya menurut Myron Weimer partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal, seperti yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed dan Collin MacAndrews (2011:56-57) 1) Modernisasi Modernisasi disegala bidang akan berimplikasi pada komensialisme pertanian, industrial, meningkatkan arus urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan 22 pendidikan dan pengembangan media massa atau media komunikasi secara luas. 2) Terjadi perubahan struktur kelas sosial Terjadinya perubahan kelas struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang meluas era industralisasi dan modernisasi. 3) Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa modern Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme, membangkitkan tuntuntan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan suara. 4) Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik Pemimpin politik yang bersaing merebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangannya dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. 5) Keterlibatan pemerintah yang semakin luas dalam unsur ekonomi,sosial dan budaya Meluasnya ruang lingkup aktivis pemerintah ini seringkali merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan organisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik.

Sementara itu menurut Milbrath yang dikutip oleh Michael Rush dan Althof (1989:168) memberikan alasan bervariasi mengenai partisipasi seseorang, yaitu: Pertama, berknaan dengan penerimaan perangsang politik. Milbrath menyatakan bahwa keterbukaan dan kepekaan seseorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi dan melalui media massa akan memberikan pengaruh bagi keikutseertaan seseorang dalam kegiatan politik. Kedua, berkenaan dengan karekteristik sosial seseorang. Dapat disebutkan bahwa status ekonomi, karekter suku, usia jenis kelain dan keyakinan (agama). Karakter seseorang berdasarkan faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi politik. Ketiga, yaitu menyingkat sifat dan sistem partai tempat individu itu hidup. Seseorang yang hidup dalam negara yang demokratis, partaipartai politiknya cenderung mencari dukungan massa dan memperjuangkan kepentingan massa, sehingga massa cenderung berpartisipasi dalam politik. Keempat, yaitu adanya perbedaan regional. Perbedaan ini merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap perbedaaan watak dan tingkah laku individu. Dengan perbedaan regional itu pula yang mendorong perbedaan perilaku politik dan partisipasi politik.
 Partisipasi pemilih pemula dalam pilbup langsung memang erat kaitanya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Banyak pertimbangan dalam menggunakan hak pilihnya. Bisa melihat dari sisi visi misi kandidat yang bagus meskipun tidak ada jaminan setelah kandidat terpilih. Selain itu berupa acuan yang digunakan untuk memilih adalah mereka kandidat yang memberikan uang, dan kandidat yang diusung oleh partai yang dianggap pemilih pemula sesuai dengan kriterianya. Pada perilaku pemilih yang rasional pemilih akan menentukan pilihannya berdasarkan isu politik dan kandidat yang diajukan serta kebijakan yang dinilai menguntungkan baginya yang akan ia peroleh apabila kandidat pilihannya terpilih. Pemilih yang rasional tidak hanya pasif dalam berpartisipasi tetapi aktif serta memiliki kehendak bebas.

Pengertian partisipasi politik (skripsi dan tesis)

 Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998. Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu pars yang artinya bagian dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa inggris, partisipate atau participation berarti mengambil bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno, 2004:102-103). Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik 18 menurut Hutington dan Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007: 151) adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
 Selanjutnya Ramlan Surbakti sebagaimana yang dikutip oleh Cholisin (2007:150) memberikan definisi singkat mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Menurut Miriam Budiarjo, (dalam Cholisin 2007:150) menyatakan bahwa partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya. Oleh sebab itu, di negara-negara demokrasi pada umumnyadianggap bahwa partisipasi masyarakatnya lebih banyak, maka akan lebih baik. Dalam implementasinya tingginya tingkat 19 partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatankegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan (Miriam Budiardjo, 2008: 369). Ahli yang lain juga menyebutkan pengertian partisipasi politik:
 1) Keith Fauls Keith Fauls (1999:133) memberikan definisi partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.
2) Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences Herbert McClosky (1972: 252) memberikan definisi partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
 3) Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries Huntington dan Nelson (1997: 3) partisipasi politik sebagai Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Dari pendapat yang dikemukankan oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam hal penentuan atau pengambilan kebijakan pemerintah baik itu dalam hal pemilihan pemimpin ataupun penentuan sikap terhadap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah untuk di jalankan, yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan cara konvensional ataupun dengan cara non konvensional atau bahkan dengan kekerasan (violence)

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (skripsi dan tesis)

Pilkada berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 meliputi: 42 a. Perencanaan program dan anggaran. b. Penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan. c. Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan. d. Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS. e. Pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS; f. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; dan g. Penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih. Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 meliputi: a. pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon Bupati dan Calon Walikota; b. Uji Publik. c. Pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. d. Pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. e. Penelitian persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. f. Penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. g. Pelaksanaan Kampanye; h. Pelaksanaan pemungutan suara; i. Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; j. Penetapan calon terpilih; k. Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan  l. Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih

Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung (skripsi dan tesis)

Menurut Easton dalam Prihatmoko (2005:200) Dalam perspektif teoretis, dapat dijelaskan bahwa pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan suatu sistem yang selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-bagian; (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung; (3) mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Sistem pilkada langsung mempunyai bagian- bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Mekanisme, prosedur dan tata cara dalam pilkada langsung merupakan dimensi electoral regulation, yaitu segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan tata cara dalam sistem adalah terukur (measurable). Sistem pilkada  langsung merupakan sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan proses untuk memilih Kepala Daerah.
Adapun dalam perspektif praktis, pilkada merupakan rekrutmen politik, yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut ditunjukkan dengan kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan DPRD. Aktor utama sistem pilkada adalah rakyat, partai politik, dan calon Kepala Daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) pendaftaran pemilih; (2) pendaftaran calon; (3) penetapan calon; (4) kampanye; (5) pemungutan dan penghitungan suara; dan (6) penetapan calon terpilih. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.

Tinjauan Tentang Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)

 Menurut Reynolds (2001:50) adalah metode yang di dalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan Negara. Pasal 1 UU No. 10 Tahun 2008 menjelaskan bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 39 Di sisi yang lain menurut arti bahasa yang diambil dari website wikipedia Indonesia, pengertian dari Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai Kepala Desa. Pada konteks yang lebih luas, pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatanjabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata “pemilihan” lebih sering digunakan. Dalam pemilu, para pemilih dalam pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Dari kedua pengertian pemilu di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemilu merupakan suatu sarana atau cara yang dapat digunakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dalam pemilu itu sendiri merupakan hak istimewa yang diperoleh oleh rakyat untuk menentukan para wakilnya yang dapat duduk di pemerintahan. Sesuai dengan pengertian dari demokrasi itu sendiri, bahwasannya melalui pemilu ini rakyatlah yang berdaulat di suatu Negara yang memilih wakilnya untuk duduk di parlemen, para wakilnya ini juga berasal dari rakyat dan misi 40 dari wakil rakyat ini adalah mengelola Negara untuk mensejahterakan rakyat yang bernaung di dalam Negara tersebut, sehingga sejalan dengan arti demokrasi yang berbunyi demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Masih menurut pengertian dari demokrasi tadi yang dihubungkan dengan pemilu sebagai suatu cara untuk menegakan demokrasi, dari sinilah banyak para ahli yang menyatakan bahwa pemilu yang berjalan dalam suatu Negara merupakan inti dari demokrasi.

Tinjauan Tentang Persepsi Politik (skripsi dan tesis)

Pengertian persepsi telah dikemukakan oleh banyak ahli dengan pandangan yang berbeda. Persepsi bersifat individual, karena setiap individual memberikan arti tertentu terhadap rangsangan atau stimulasi dari lingkungannya, maka individu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda. Dengan kata lain, persepsi merupakan bentuk pola pikir seseorang dalam memahami suatu objek tertentu yang bersifat subyektif. Selanjutnya masalah persepsi ini diuraikan secara terinci. Menurut Effendy (2005:135) mengenai “Persepsi sebagai proses dimana kita jadi sadar akan objek atau peristiwa dalam lingkungan melalui ragam indera kita seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan penjamahan”. Namun  demikian, karena persepsi tentang peristiwa atau objek tersebut tergantung pada suatu ruang dan waktu, maka persepsi merupakan awal dalam pemikiran sistem informasi yang mengandung nilai informasi yang sangat subyektif dan situasional.
Menurut Ihalauw (2005:87) menyebutkan bahwa “Persepsi adalah cara orang memandang dunia ini. Dari defenisi yang umum ini dapat dilihat bahwa persepsi seseorang akan berbeda dari yang lain, masyarakat dapat membentuk persepsi yang serupa antar warga kelompok masyarakat tertentu”. Proses perubahan persepsi disebabkan oleh proses feal atau fisikologik dari sistem syaraf pada indera manusia, jika suatu stimulus tidak mengalami perubahan-perubahan misalnya, maka akan terjadi adaptasi dan habituasi yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah.
 Selain secara implisit sudah tampak dalam definisi tersebut, argumentasi ini menurut kamus bahasa Indonesia (2005:288) “Persepsi didefinisikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu, atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya”. Rahmat dan Prasetio dalam Tangkilisan (2005:288) mengartikan bahwa “Persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Semua ilmu sosial mempelajari manusia sebagai anggota kelompok. Timbulnya kelompok-kelompok itu ialah karena dua sifat manusia yang bertentangan satu sama lainnya, disatu pihak dia ingin bekerja sama, dipihak lain dia cenderung bersaing dengan sesama manusia. 34 Menurut Rahmat (2004:51) “Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Persepsi memberikan makna pada stimulus inderawi, jadi hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas, sensasi adalah bagian dari persepsi.
 Ada beberapa sub proses di dalam persepsi, dan yang dapat dipergunakan sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif, sub proses pertama yang dianggap penting ialah stimulus atau situasi yang hadir. Mula-mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan situasi atau stimulus, situasi tersebut bisa berupa penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan sosio kultur dan fisik yang menyeluruh. Setelah mendapat stimulus, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan “interpretation”, begitu juga berinteraksi dengan “closure”. Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.
Dalam proses pembentukan persepsi Thoha (2007:127-128) ada beberapa tahap: “Pertama yang dianggap penting adalah stimulus atau situasi yang hadir; kedua adanya registrasi yang menunjukkan mekanisme penginderaan dan sistem syaraf dalam mendengar dan melihat yang selanjutnya terdaftar dalam fikiran. Proses ketiga adalah interpretasi daftar masukan dengan menggunakan aspek kognitif. Proses interpretasi ini tergantung pada cara pendalaman (learning) seseorang, motivasi dan kepribadian seseorang interpretasi terhadap sesuatu informasi yang sama akan berbeda untuk setiap 35 orangnya sehingga tahap ketiga ini menjadi penting dalam memahami persepsi. Selanjutnya proses umpan balik (feed back) dari peristiwa maupun objek”. Menurut Robbins (2001:88) “Persepsi adalah suatu proses dengan mana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka”. Perbedaan dalam mempersepsikan suatu benda yang sama secara berbeda dipengaruhi oleh pelaku persepsi yaitu penafsiran yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi pelaku seperti sikap, minat dan motif. Proses pemaknaan yang bersifat fisikologis sangat dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum.
Selanjutnya Robbins (2001:169) mengatakan “Persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka, meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif”. Menurut Rahmat (2004:42) persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor dan faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi tersebut adalah: a. Pengalaman Apa yang dialami oleh perseptor. Pengalaman ini biasa diperoleh melalui berbagai jalan, diantaranya melalui proses belajar, selain melalui proses rangkaian peristiwa yang pernah dialami seseorang, baik peristiwa buruk maupun baik. b. Motivasi Seseorang hanya akan mendengar apa yang ia mau dengar, seseorang mau melakukan sesuatu jika itu berguna bagi dirinya, oleh karena setiap orang mempunyai kepentingan dan keperluan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. c. Pengetahuan Pengetahuan seseorang diperlukan untuk suatu kecerdasan persepsi. Persepsi ini bisa diukur melalui tingkat pendidikan tinggi dengan sendirinya tingkat pengetahuannya pun menjadi luas. 36 Berdasarkan beberapa kesimpulan tersebut, maka batasan pengertian dalam penyusunan ini adalah suatu proses penafsiran seseorang terhadap suatu obyek tertentu melalui panca indera, yang dilakukan dalam batasan-batasan kesadaran tertentu dan berdasarkan pada suatu pengalaman yang pernah dirasakan. Adapun kata politik secara etimologis bersal dari kata Yunani pilisi yang dapat berarti Kota atau Negara Kota. Dari kata polis ini kemudian diturunkan kata-kata lain seperti “polities” (warga Negara) dan “politicos” nama sifat yang berarti kewarganegaraan (civic), kemudian orang Romawi mengambil oper perkataan Yunani itu dan menamakan pengetahuan tentang Negara (pemerintah) “ars politica” artinya kemahiran tentang masalah- masalah kenegaraan. Selanjutnya Rahmat (2004:42) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang, antara lain: a. Psikologi Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu dialami dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi, yang indah, tentram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang kelabu bagi seseorang yang buta warna. b. Keluarga Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah keluarganya. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi- persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya. c. Kebudayaan Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan dunia ini.
Menurut Winardi (2006:42) adalah “Persepsi merupakan proses kognitif, dimana seseorang individu memberikan arti pada lingkungan”. Menurut Mulyana (2000:162) “Persepsi adalah internal yang memungkinkan kita 37 memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita”. Mulyana (2000:104) yang menyatakan bahwa “Kemampuan daya persepsi dimiliki oleh manusia guna menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan”. Oleh karena itu dengan adanya persepsi akan mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap a. Perhatian masyarakat terhadap sistem politik yang sedang berjalan. b. Perhatian masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi pancasila. c. Persepsi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah untuk memecahkan masalah yang dihadapi rakyat. d. Perhatian masyarakat terhadap kualitas tokoh politik. e. Perhatian masyarakat terhadap kebijakan yang dihasilkan pemerintahan. Persepsi politik yang dimaksud adalah sebagai pemahaman (respon) masyarakat, dalam hal ini, pemuda terhadap objek atau kejadian yang ada disekelilingnya yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Relevansi proposisi tersebut apabila dikaitkan dengan permasalahan ini adalah bahwa masyarakat dirangsang oleh suatu masukan tertentu yaitu, masalah politik dan kemudian masyarakat dirangsang oleh suatu masukan tertentu yaitu, masalah politik dan kemudian masyarakat berespon terhadap masalah politik tersebut. Sehingga menghasilkan kategori yang tepat pada rangsangan tersebut dan kemudian terjadi proses pengambilan keputusan tentang objek yang dicermatinya. Dari persepsi masyarakat tentang politik diartikan sebagai pemahaman dan tanggapan (respon) masyarakat terhadap sistem politik yang sedang berjalan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Berdasarkan pengertian persepsi yang sudah diuraikan di atas maka persepsi dapat diartikan sebagai pendapat, pandangan atau anggapan masyarakat terhadap suatu objek, dalam hal ini mengenai partai politik. Persepsi masyarakat terhadap suatu objek dapat berupa persepsi positif dan persepsi negatif terhadap partai politik. Persepsi positif berarti pandangan atau pendapat masyarakat yang baik terhadap partai politik, sedang persepsi negatif berarti pandangan atau pendapat masyarakat yang negatif terhadap partai politik. Partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota- anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”, (Budiarjo,2008:160-161)

Tinjauan Tentang Kampanye Pilkada (skripsi dan tesis)

Kampanye lebih merupakan suatu ajang manuver politik untuk menarik sebanyak mungkin pemilih dalam pemilu sehingga bisa meraih kekuasaan. Untuk itu segala cara mungkin dipakai, diantaranya janji-janji yang muluk dan acapkali tidak masuk akal. Kampanye kerap kali sekadar basa-basi politik. Rakyat secara umum bersifat apatis atau yang penting aman. Kampanye yang merupakan bagian dari marketing politik pun dirasa perlu oleh partai-partai politik menjelang pemilu. Setelah pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh,  mereka melupakan segala janji yang penting sudah berkuasa, lalu bertindak semau mereka sendiri. Ketidakpercayaan terhadap partai politik semakin kental. Sikap apatis tadi semakin pekat. Orang semakin tak percaya pada politik, sehingga banyak kalangan skeptik yang cukup kritis akhirnya mengambil sikap golput. Menurut masyarakat kelas bawah politik tidak ubahnya pertempuran elite masyarakat dan tidak merubah apapun kondisi yang ada. Pemilu disosialisasikan dengan perebutan dan pembagian kekuasaan ketimbang proses dialogis antara kandidat dan pemilih. Kampanye sebagai suatu proses “jangka pendek”, dimana semakin kuat anggapan tentang tidak relevannya intensitas para kandidat dalam memperkenalkan ide dan gagasan politik yang dimaksudkan untuk sekedar menarik perhatian serta dukungan masyarakat. Masyarakat tidak hanya menilai kandidat dari janji dan harapan yang diberikan selama periode kampanye pendek saja. Cara masyarakat mengevaluasi kandidat juga dipengaruhi oleh kredibilitas dan reputasi politiknya dimasa lalu.
Setiap keputusan dan perilaku politik akan terekam dalam memori kolektif masyarakat dan inilah yang membentuk persepsi masyarakat mengenai kualitas kandidat. Setiap janji dan harapan yang disampaikan selama periode kampanye akan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan, apakah terdapat kesesuaian atau tidak. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kampanye politik selama ini hanya dilihat sebagai suatu proses interaksi intensif dari partai politik kepada 30 publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilu. Dalam defenisi ini, kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik atau perorangan, untuk memaparkan program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikaan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan. Kampanye dalam kaitan ini dilihat sebagai suatu aktivitas pengumpulaan massa, parade, orasi politik, pemasangaan atribut partai (misalnya umbul- umbul, poster, spanduk) dan pengiklanan partai. Periode waktu sudah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Kampanye jangka pendek ini dicirikan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing kontestan, ketidakpastian hasil dan pengerahan semua bentuk usaha untuk menggiring pemilih ke bilik-bilik pencoblosan serta memberikan suara kepada mereka. Banyak kalangan yang hanya mengartikan kampanye politik sebagai kampanye pemilu. Pemahaman sempit tentang kampanye politik ini membuat semua partai politik dan kontestan individu memfokuskan diri pada kampanye pemilu belaka (dimana rentang waktunya sangat terbatas). Semua usaha, pendanaan, perhatian dan energi dipusatkan untuk mempengaruhi dan memobilisasi pemilih menjelang pemilu. Setelah pemilu usai, aktivitas politik dilupakan. Para kandidat hanya melihat bahwa aktivitas politik adalah aktivitas untuk mencoblos, lalu terjadi pengabaian terhadap keberpihakan serta semangat dalam membantu permasalahan Bangsa dan Negara pasca pemilu. Padahal masyarakat dalam mengevaluasi kualitas kandidat juga melihat apa saja yang  dilakukan dimasa lalu.
Pengamatan masyarakat tercurah pada semua aktivitas partai dan kandidat individu, bukannya dipusatkan pada kampanye pemilu saja. Melihat kampanye pemilu sebagai kampanye politik sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Terdapat ketidaksepakatan tentang pengaruh kampanye pemilu terhadap perilaku poncoblosan (Voting behavior). Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa kampanye pemilu melalui aktivitas pengiklanan dan debat publik di televisi meningkatkan partisipasi pemilih. Kampanye pemilu diungkapkan hanya berdampak kecil, kalau tidak mau dibilang tidak berdampak, terhadap perilaku pemilih. Gelman dan King dan Bartels (1993) sebagaimana yang dikutip dari Firmansyah (2007:268) menunjukkan bahwa preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh hari sebelum kampanye pemilu dimulai. Sehingga siapa yang akan memenangkan pemilu dapat dengan mudah ditentukan sebelum pemilu dilaksanakan. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat melihat layak atau tidaknya suatu kandidat tidak hanya terbatas pada kampanye pemilu, melainkan berdasarkan reputasi masa lalu pula.

Partisipasi Politik Ditinjau Dari Perspektif Teori Pertukaran Peter Blau (skripsi dan tesis)

Peter Blau (1987:260), memusatkan perhatian pada proses pertukaran yang menurutnya mengatur kebanyakan perilaku manusia dan melandasi hubungan antar individu maupun antar kelompok. Blau membayangkan empat langkah berurutan, mulai dari pertukaran antara pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial a. Langkah pertama ialah transaksi-transaksi pertukaran antar pribadi akan menghasilkan suatu reward (penghargaan) atau ketidakpuasan. Misalnya seorang mahasiswa baru jurusan Ilmu Pemerintahan ketika memasuki lingkungan kampus merasa bahwa ia harus mentaati aturan yang diberlakukan b. Langkah kedua adalah diferensiasi status dan kekuasaan sebagai akibat oleh apa yang dihasilkan pada langkah pertama. Maksudnya, traksaksi pertukaran yang mengasilkan dua kemungkinan di atas, akan menimbulkan diferensiasi status dan kekuasaan diantara individu. c. Langkah ketiga Blau adalah legitimasi dan organisasi sebagai akibat dari langkah sebelumnya dan akan mendorong langkah berikutnya. Status dan kekuasaan yang secara otomatis terbentuk, menunjukkan adanya legitimasi dan organisasi yang formal. Konsekuensi perbedaan status dan kekuasaan akan menampakkan adanya legitimasi dan organisasi , dimana posisi individu yang terlibat akan harus mengakui  keberadaan pemimpin dalam kelompok yang menjadi bagian dan ciri utama dalam organisasi. d. Langkah terakhir adalah adanya perlawanan dan perubahan.
 Pada tataran ini, Blau melangkah ke level masyarakat dan mendefensiasikan ke dalam dua tipe organisasi sosial. Tipe pertama, organisasi sosial terbentuk dari proses pertukaran dan persaingan. Tipe kedua, organisasi sosial dibangun secara bertahap secara ekplisit untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bersama. Dari langkah keempat Blau ini, menunjukkan bahwa Blau telah melaumpaui penjelasan teori pertukaran Homan yang hanya pada bentuk-bentuk elementer perilaku sosial saja. Lalu dia menambahkan bahwa kepemimpinan dan kelompok-kelompok oposisi ditemukan di dalam kedua tipe organisasi. Pada tipe pertama, kedua kelompok muncul dari interaksi sosial. Dan di dalam tipe kedua, kepemimpinan dan kelompok oposisi dibangun ke dalam struktur organisasi.