Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. Usaha perikanan di Wilayah Perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh perorangan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia termasuk koperasi. Wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud adalah meliputi: 1. Perairan Indonesia; 2. Sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam Wilayah Republik Indonesia; 3. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). 5 Ruang lingkup kegiatan usaha perikanan tidak hanya memproduksi ikan saja tetapi juga meliputi kegiatan seperti pengadaan saran dan prasarana produksi, pengelolaan, pemasaran, pemodoalan, riset, dan pengembangan, perundang-undangan, serta faktor pendukung lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 5 Amiek Soemarmi, Buku Ajar Hukum Perikanan,[usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Secara garis besar, berdasarkan cara menghasilkan produknya usaha perikanan dapat dibagi menjadi tiga jenis usaha yaitu: 1. Usaha penangkapan 2. Usaha budidaya, dan 3. Usaha pengolahan. Penangkapan ikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 5 adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, memangangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengelola dan atau mengawetkannya. Budidaya perikanan adalah usaha manusia dengan segala tenaga dan kemampuannya untuk meningkatkan produksi ikan kedalam tempat dengan kondisi tertentu atau dengan cara menciptakan lingkungan yang memliki kondisi alam yang cocok bagi ikan.Usaha perikanan yang dilakukan oleh pengusaha di Indonesia untuk menghasilkan produksinya terdapat tiga usaha, yaitu usaha 6 Ibid, hlm. 100-101 7 Murtidjo.Tambak Air Payau, Budidaya Udang dan Bandeng. 1992 dalam Mimit Pramyastanto, Feasibility Studi Usaha Perikanan, (Malang : UB Press. 2011), hlm. 4 perikanan tangkap, usaha perikanan budidaya dan usaha perikanan pengolahan ; 1. Usaha Perikanan Tangkap Usaha perikanan tangkap adalah sebuah kegiatan usaha yang berfokus untuk memproduksi ikan dengan cara menangkap ikan yang berasal dari perairan darat (sungai, muara sungai, danau, waduk, dan rawa) atau dari perairan laut (pantai dan laut lepas). Contoh usaha penangkapan ikan tuna, ikan sarden, ikan bawal laut dan lain-lain. 2. Usaha Perikanan Budidaya Usaha perikanan budidaya atau akuakultur adalah sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk memproduksi ikan dalam sebuah wadah pemeliharaan yang terkontrol serta berorientasi kepada keuntungan. Contoh budidaya ikan lele, ikan gurami, ikan nila, ikan patin dan lainlain. 3. Usaha ikan pengolahan Usaha ikan pengolahan adalah sebuah kegiatan usha yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah yang dimiliki oleh sebuah produk perikanan, baik yang berasal dari usaha perikanan tangkap maupun usaha perikanan atau akuakultur. Seperti diketahui, ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Hanya dalam waktu sekitar 8 jam sejak ikan ditangkap dan didaratkan sudah akan timbul proses perubahan yang mengarah pada kerusakan. Oleh karena itu, agar ikan dan hasil perikanan lainnya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, perlu dijaga kondisinya. Pengolahan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan sehingga mampu disimpan lebih lama sampai tiba waktunya untuk dijadikan bahan konsumsi. Berbicara mengenai usaha tidak dapat lepas dengan Usaha Mikro, kecil dan menengah, perannya terhadap pertumbuhan perekonomian di Indonesia sangat penting. Ketika terjadi krisis pada tahun 1998, usaha kecil dan menengah mampu bertahan dibandingkan dengan perusahaan besar. Alasannya karena mayoritas usaha berskala kecil tidak tergantung pada modal besar atau pinjaman dari dalam maupun luar negeri. Dalam hal ini pemerintah daerah harus bisa membuat usaha mikro kecil dan menengah ini berkembang untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Untuk menjalankan suatu usaha perikanan, setiap pelaku usaha wajib memiliki izin usaha perikanan. Setiap izin usaha perikanan memiliki isi yang berbeda tergantung untuk apa usaha itu dijalankan. Dalam izin usaha perikanan untuk usaha penangkapan ikan 8 Amiek Soemarmi, Op cit, hlm. 100-101 9 Darminto Hartono,” Eksistensi Pembentukan Lembaga Pemeringkatan Usaha Mikro Kecil Menengah Di Indonesia “, Jurnal masalah-Masalah Hukum, dicantumkan koordinat daerah penangkapan ikan, jumlah dan ukuran kapal perikanan, jenis alat tangkap ikan yang digunakan, dan pelabuhan pangkalan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (skripsi dan tesis)
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, sedangkan pemerintah daerah adalah Gubernur, Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum, perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi Lembaga Sekretariat, unsur pendukung kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah, serta unsur pelaksanaan urusan daerah di wadahi dalam Lembaga Dinas Daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan kepada perangkat pemerintahan atau wakil pemerintahan di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa. Di samping itu penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintah, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil 16 pemerintah,atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.Dalam Bab VII Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bagian pertama mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 57 menerangkan, penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri dari atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Penyelenggara Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas: 1. kepastian hukum;tertib penyelenggara negara; 2. kepentingan umum; 3. keterbukaan; 4. proporsionalitas; 5. profesionalitas; 6. akuntabilitas; 7. efisiensi; 8. efektivitas; dan 9. keadilan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 11 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Daerah, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah 4 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, terdiri atas Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang wajib diselenggarakan berkaitan dengan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Pengertian asas tersebut dapat dilihat dalam penjelasan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu : 1. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara 2. Tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. 3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 4. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. 5. Asas proposionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban penyelenggaraan negara. 6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan perundang-undangan. 7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Asas efektivitas adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.. 9. Asas keadilan adalah bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara. Dinas Kelautan dan Perikanan merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 218 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa untuk memperlancar tugas-tugas pemerintahan daerah dibentuk dinas daerah. Isi pasal tersebut adalah: 1. Dinas Daerah merupakan unsur pelaksanaan otonomi daerah yang dipimpin oleh seorang kepala dinas. 2. Kepala Dinas mempunyai tugas membantu kepala daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 3. Kepala Dinas dalam melaksanakantugasnya bertanggung jawab Kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Berdasarkan ketentuan di atas, maka Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kebumen sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah memiliki kewenangan mengurus urusan pemerintahan dalam bidang Kelautan dan Perikanan. Tugas dan Wewenang Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kebumen diatur dalam Peraturan Bupati Kebumen Nomor 79 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi, Serta Tata Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan. Dalam Pasal 4 menyatakan, Dinas Perikanan Kabupaten Kebumen mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan urusan pemerintahan bidang Kelautan dan Perikanan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang diberikan kepada daerah. Selanjutnya pada Pasal 5 untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dinas menyelenggarakan fungsi : 1. Penyusunan rencana dan program di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 2. Perumusan kebijakan di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 3. Pelaksanaan koordinasi di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 4. Pelaksanaan kebijakan di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 5. Pengendalian, evaluasi dan pelaporan di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya dan usaha perikanan. 6. Pelaksanaan administrasi dinas 7. Pengendalian penyelenggaraan tugas unit pelaksanaan tekinis dinas ; dan 8. Pelaksanaan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh bupati dengan tugas dan fungsinya. Dalam otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berdasarkan pada sistem manajemen pemerintahan yang baik melalui basis transparansi, akuntabilitas, efektif dan efisien. Dengan menerapkan pemerintahan daerah yang baik, otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab akan tercipta dengan baik, maka fungsi pemerintahan daerah adalah: 1. Menjalankan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. 2. Melaksanakan pembangunan daerah secara merata. 3. Menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara cepat, murah, mudah dan berkualitas.
Pemerintahan Daerah (skripsi dan tesis)
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinas kelautan dan perikanan merupakan unsur pelaksana otonomi daerah, yang dibentuk berdasarkan desentralisasi yaitu penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah ini menggunakan asas-asas sebagai berikut : 1. Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Pasal 1 angka (7) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 2. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. 3. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 4. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Flypaper Effect Pada Daerah Kaya dan Miskin (skripsi dan tesis)
Penelitian yang dilakukan oleh Maimunah (2006) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang PAD-nya tinggi maupun pada daerah yang PAD-nya rendah (yang diukur melalui rasio DOF masing-masing daerah) di Kabupaten/Kota di pulau Sumatera. Ini berarti flypaper effect yang terjadi pada daerah kaya PAD tidak berbeda dengan flypaper effect yang terjadi pada daerah miskin PAD. Atau dengan kata lain, flypaper effect tidak hanya terjadi pada daerah miskin PAD, namun juga daerah kaya PAD.
Flypaper Effect (skripsi dan tesis)
Oates (1999) dalam Sukriy dan Halim (2003) menyatakan bahwa beberapa penelitian mengenai perilaku Pemerintah Daerah dalam merespon transfer Pemerintah Pusat yang telah dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa respon Pemda berbeda untuk transfer dan pendapatan daerahnya sendiri. Ketika respon Pemerintah Daerah lebih besar untuk transfer dibanding pendapatan daerahnya sendiri maka disebut flypaper effect. Penelitian tentang analisis pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah (BD) di Indonesia sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Abdul Halim dan Sukriy Abdullah yaitu pada Pemerintah kabupaten/kota di pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Hasil penelitian pada kabupaten/kota di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa secara terpisah, DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah, baik dengan lag maupun tanpa lag. Ketika tanpa menggunakan lag, pengaruh PAD terhadap belanja daerah lebih kuat daripada DAU, tetapi dengan digunakan lag, pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah justru lebih kuat daripada PAD. Hal ini berarti terjadi flypaper effect dalam respon pemerintah daerah terhadap DAU dan PAD (Sukriy dan Halim 2003). Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa stimulus untuk melakukan Belanja Daerah pada tahun t dipengaruhi oleh transfer pemerintah pusat yang diterima daerah periode t-1. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Maimunah (2006) dengan mengambil sampel pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Hasil penelitian yang dilakukan Mutiara Maimunah menunjukkan bahwa secara terpisah maupun serempak, DAU 52 dan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah, baik tanpa lag maupun dengan lag. Ketika diregres secara serempak baik dengan maupun tanpa lag, pengaruh DAU terhadap BD lebih kuat daripada pengaruh PAD. Ini berarti telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah pada kabupaten/kota di Sumatera (Maimunah, 2006).
Perilaku Asimetris Pemda Terhadap Transfer Pemerintah Pusat (skripsi dan tesis)
Penelitian tentang perilaku asimetris pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat dilakukan oleh Laras Wulandari dan Priyo Hari Adi (2008) bahwa kebijakan otonomi memberikan respon yang beragam antar satu daerah dengan lainnya. Tidak semua daerah mempunyai kesiapan yang sama, dikarenakan rendahnya kapasitas fiskal. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan dana perimbangan/transfer kepada pemerintah daerah. Namun demikian, dalam perjalanannya transfer pemerintah pusat justru menjadi diinsentif bagi peningkatan kemandirian daerah. Daerah menjadi lebih bergantung pada transfer pemerintah pusat daripada mengoptimalisasi pendapatan sendiri (PAD). Terdapat indikasi perilaku asimetris daerah dalam merespon transfer dari pemerintah pusat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada kecenderungan perilaku asimetris pemerintah daerah kabupaten atau kota terhadap pemerintah pusat yang diwujudkan dalam APBD. Pengujian hipotesis dilakukan melalui pengukuran Manipulasi Belanja (Expenditure Manipulation) Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota. Pada saat pemerintah daerah menerima transfer dari pemerintah pusat dana itu digunakan tanpa adanya upaya untuk meningkatkan PAD tiap-tiap daerah.
Pengaruh PAD dan DAU Terhadap Belanja Daerah (skripsi dan tesis)
Penelitian mengenai pengaruh pendapatan daerah terhadap pengeluaran daerah sudah pernah dilakukan antara lain oleh Aziz et al. (2000), Blackley (1986), Joulfaian dan Mokeerjee (1990), Legrenzi dan Milas (2001), Von Furstenberg et al. (dalam Sukriy dan Halim, 2003). Dalam beberapa penelitian, hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah disebut dengan tax-spend hypotesis. Hipotesis ini mengandung makna bahwa kebijakan Pemerintah Daerah dalam menganggarkan belanja daerah disesuaikan dengan pendapatan daerah yang diterima. Namun di sisi lain, transfer yang diterima dari Pemerintah Pusat juga turut mempengaruhi besarnya anggaran belanja daerah yang akan dianggarkan oleh Pemerintah Daerah. Legrensi dan Milas (2001) dalam Maimunah (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel municipalities di Italia dan memperoleh hasil bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja Daerah. Kebijakan-kebijkan belanja daerah jangka pendek yang dibuat Pemerintah daerah sangat bergantung pada transfer yang diterima.
Belanja Daerah Belanja (skripsi dan tesis)
daerah adalah semua pengeluaran kas daerah yang menjadi beban daerah dalam satu periode anggaran. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, belanja dapat diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, dan ekonomi (jenis belanja). Pengklasifikasian belanja tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penganggaran dan pelaporan. Oleh karena itu, klasifikasi yang dapat memenuhi fungsi anggaran dan pelaporan harus diformulasikan : 1) klasifikasi menurut fungsi, digunakan untuk analisis historis dan formulasi kebijakan; 2) klasifikasi organisasi, untuk keperluan akuntabilitas; 3) klasifikasi menurut ekonomi, untuk tujuan statistik dan obyek (jenis belanja), ketaatan (compliance), pengendalian (control), dan analisis ekonomi. 41 Klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) dikelompokkan lagi menjadi (i) Belanja Operasi, terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, (ii) Belanja Modal, yaitu belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal, dan (iii) Belanja Lainlain/Tak Terduga. Belanja pemerintah daerah dalam APBD dikelompokkan sebagai berikut: 1. Belanja Operasi. Belanja operasi merupakan jenis belanja yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik 2. Belanja Modal. Jenis belanja ini merupakan belanja yang manfaatnya dapat diperoleh lebih dari satu tahun dan dilakukan untuk menambah aset atau kekayaan daerah, yang mana dari aset atau kekayaan tersebut akan menimbulkan belanja lainnya. 3. Belanja tak terduga. Yaitu belanja tidak tersangka adalah belanja yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial atau pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah.
Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumbersumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya masing-masing. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan penyempurnaan dari UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000. Berdasarkan undang-undang tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis pajak dan 27 (dua puluh tujuh) jenis retribusi. Hasil penerimaan pajak dan retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap APBD, khususnya bagi daerah kabupaten/kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai oleh dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah. Oleh karena itu, dalam kenyataannya, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang, hampir tidak ada jenis pungutan pajak dan retribusi baru yang dapat dipungut oleh daerah. Oleh karena itu hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, karena tumpang tindih dengan pungutan pusat, serta merintangi arus barang dan jasa antar daerah. 39 1. Hasil Pajak Daerah. Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Propinsi yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sedangkan jenis pajak daerah yang dipungut kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 2. Hasil Retribusi Daerah. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Ada tiga golongan retribusi daerah yaitu: a. Retribusi jasa umum. Yaitu retribusi atas jasa yang diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. b. Retribusi Jasa Usaha. Yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. c. Retribusi perizinan tertentu. Yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan 40 atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana/fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan. d. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan. Yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu deviden atau bagian laba yang diperoleh oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibagikan bagi pemegang saham, dalam hal ini merupakan pendapatan bagi Pemerintah daerah (Bastian, 2001). e. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Yang tergolong dalam jenis pendapatan ini antara lain pendapatan bunga deposito, jasa giro, hasil penjualan surat berharga investasi, pendapatan dari ganti rugi atas kerugian/kehilangan kekayaan daerah, denda, penggantian biaya, dan lain-lain.
Dana Bagi Hasil (DBH) (skripsi dan tesis)
Untuk mengatasi kurangnya sumber pajak daerah, Undang-Undang 33 Tahun 2004 menyediakan dana bagi hasil yang dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten. Hal ini merupakan karakteristik utama kesepakatan pembiayaan yang mempunyai implikasi penting terhadap distribusi sumber daya fiskal antar pemerintah daerah. Pajak penghasilan pribadi kemudian juga menjadi subjek peraturan pembagian pajak. Penerimaan negara yang dibagi-hasilkan terdiri atas : 1. Penerimaan Pajak yang meliputi : a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan c) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. 2. Penerimaan sumber daya alam (SDA) meliputi: a) kehutanan, (b) pertambangan umum, (c) perikanan, (d) pertambangan minyak bumi, (e) pertambangan gas bumi, (f) pertambangan panas bumi. Persentase DBH Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 adalah sebesar 84 % untuk kabupaten/kota, sisanya untuk pusat dan provinsi. Sementara itu, berdasarkan UU No.33 Tahun 2004, untuk kabupaten/kota hanya 64,8%, provinsi 16,2%, dan pusat 10%, sedangkan sisanya sebesar 9% dialokasikan pada biaya pemungutan. Bagi hasil untuk PPh Pasal 25/29 dan Pasal 21 berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 adalah 80% pusat, 8% provinsi, dan 12% untuk kabupaten/kota. Bagi hasil PPh ini tidak diterapkan pada UU No. 25 Tahun 1999. Iuran hak pengusahaan hutan berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 diterapkan masing-masing 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut. Sementara itu berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, iuran hak peusahaan hutan adalah 64% untuk kabupaten/kota penghasil, serta sisanya 16% provinasi dan 20% pusat. Sementara itu, bagi hasil untuk provisi sumber 36 daya hutan pada UU Nomor 25 Tahun 1999 adalah 64% bagi kabupaten/kota penghasil, 16% provinsi, dan 20% pusat. Namun, pada UU Nomor 33 Tahun 2004, persentase bagi hasilnya sebesar 32% untuk setiap kabupaten/kota penghasil dan kota lain dalam provinsi tersebut. Dana reboisasi pada UU Nomor 25 Tahun 1999 merupakan bagian DAK, namun pada UU Nomor 33 Tahun 2004, terdapat persentase bagi hasil dana reboisasi sebesar 60% pusat dan 40% kabupaten/kota penghasil. Bagi hasil untuk pertambangan minyak bumi pada dasarnya tidak terdapat perubahan signifikan, di mana persentasenya adalah 85% pusat, 3% provinsi, dan 6% masing-masing untuk kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut. Hanya saja, pada UU Nomor 33 Tahun 2004, persentase untuk pusat dikurangi menjadi 84,5% saja, sedangkan sisnya 5% dialokasikan untuk anggaran pendidikan dasar. Hal ini juga berlaku pada pertambangan gas, di mana bagi hasil untuk pusat pada UU Nomor 25 Tahun 1999 sebesar 70%, tetapi pada UU Nomor 33 Tahun 2004 menjadi 69,5%. Untuk pertambangan panas bumi baru ada pada UU Nomor 33 Tahun 2004 dengan persentase bagi hasil 20% pusat, 16% provinsi, dan 32% masing-masing untuk kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi tersebut. Selain itu, berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, persentase bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTH), dan dana reboisasi untuk pusat dibagikan ke seluruh daerah dan kabupaten/kota. Untuk NAD dan Papua, terdapat pengecualian persentase DBH berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus.
Dana Perimbangan (skripsi dan tesis)
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 25 Tahun 1999 pasal 6, dana perimbangan terdiri dari ; 1) Bagian Daerah (Dana Bagi Hasil) dari PBB, BPHTB, PPh orang pribadi dan sumber daya alam (SDA), 2) Dana Alokasi Umum (DAU), dan 3) Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk mengatasi kurangnya sumber pajak tersebut, UU 25 Tahun 1999 menyediakan dana bagi hasil yang dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, muncul berbagai protes ketidak setujuan atas isi undang-undang tersebut. Protes diajukan oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Nangro Aceh Darussalam, Riau, dan Kalimantan Timur. Mereka sangat tidak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana perimbangan (DAU, DAK, DBH), dan menghendaki adanya revisi terhadap UU tersebut. (Kuncoro, 2012). 31 1. Dana Alokasi Umum (DAU) Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus subsidi daerah otonom dan dana inpres yang diperkenalkan pada era orde baru (Kuncoro, 2004). DAU merupakan block grant yang diberikan pada semua kabupaten dan kota untuk mengisi kesenjangan antara kapasitas dengan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daeripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemerintah daerah di Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25 % dari penerimaan dalam negerinya dalam bentuk DAU. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 27 menggariskan bahwa jumlah DAU sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. Secara definisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003) : 1) Salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN yang pengalokasiannya didasarkan pada konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal (fiscal gap), yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal; 2) instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah di mana penggunannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah; 3) equalization grant berfungsi menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, bagi hasil pajak, dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang diperoleh daerah. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004, plafon DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 % dari penerimaan negara netto dalam APBN. Formulasi DAU dapat dijelaskan sebagai berikut : a. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. b. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, di mana kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi pelayanan dasar umum. c. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. d. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. e. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol, menerima DAU sebesar alokasi daerah. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. f. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Untuk mengompensasi kekurangan, ditambahkan dana melalui dana penyeimbang. Dengan asumsi bahwa terdapat tambahan dana untuk DAU melalui dana penyeimbang, kebutuhan plafon DAU sebenarnya lebih besar dari 26 % penerimaan dalam negeri netto dalam APBN.
Desentralisasi Fiskal dan Dana Transfer (skripsi dan tesis)
Prinsip pelaksanaan desentralisasi di Indonesia pada hakikatnya sejalan dengan pengalaman negara-negara lain dalam melakukan desentralisasi. Sebagaimana diungkapkan Terminassian (1997) bahwa banyak negara di dunia melakukan program desentralisasi sebagai refleksi atas terjadinya evolusi politik yang menghendaki adanya perubahan bentuk pemerintahan ke arah yang lebih demokratis dan mengedepankan partisipasi. Lebih lanjut Terminassian menjelaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi merupakan upaya untuk meningkatkan responsivitas dan akuntabilitas para politikus kepada konstituennya, serta untuk menjamin adanya keterkaitan antara kuantitas, kualitas, dan komposisi penyediaan layanan publik dengan kebutuhan penerima manfaat layanan tersebut. Di Indonesia, pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai salah satu instrument kebijakan pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain (Mardiasmo, 2009) ; 1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance). 2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. 3. Meningkatkan efisiensi peningkatkan sumber daya nasional. 4. Tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran. 5. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sidik et al. (2002) mengemukakan bahwa tujuan pemberian transfer, yaitu: 1. Pemerataan vertikal (vertical equalization). Pemerintah Pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara. Sedangkan pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak lokal. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, karena pemerintah pusat begitu mendominasi penerimaan pajak dan sumber daya alam daerah. Akibatnya, daerah dengan sumber daya alam yang melimpah tidak dapat sepenuhnya merasakan hasil kekayaan daerah mereka sendiri. Kondisi inilah yang akan diatasi dengan menggunakan dana perimbangan, khususnya dana bagi hasil. Dengan dana perimbangan, daerah penghasil akan mendapat porsi yang lebih besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing). 2. Pemerataan horizontal (Horizontal equlization). Kemampuan Daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi tergantung kondisi daerah bersangkutan. Hal ini berimplikasi pada kapasitas fiskal (fiscal capacity) di daerah yang bersangkutan. Di samping itu, tiap daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang berbeda-beda tergantung pada jumlah penduduk, proporsi penduduk, dan keadaan geografis daerah. Hal ini berimplikasi pada bervariasinya kebutuhan fiskal (fiscal need) di daerah-daerah bersangkutan. Selisih antara kebutuhan fiskal dan kemampuan fiskal daerah disebut dengan celah fiskal (fiscal gap). Celah fiskal inilah yang akan ditutup dengan transfer dari Pemerintah Pusat dalam bentuk dana alokosi umum (DAU). 3. Menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Setiap daerah memiliki kemampuan yang bervariasi dalam menyediakan pelayanan umum untuk masyarakatnya, hal ini terutama karena perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh tiap daerah. Sementara itu, standar pelayanan minimum untuk tiap pemerintah daerah di Indonesia sama dan harus tetap dijaga. Oleh karena itu pemerintah pusat harus menjamin standar pelayanan umum di tiap daerah dengan memberikan subsidi. 4. Mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik. Setiap jenis pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah tertentu tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan saja. Misalnya, pendidikan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya antar daerah, dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Namun tanpa adanya imbalan (dalam bentuk pendapatan), pemerintah daerah biasanya enggan berinvestasi dalam hal tersebut. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif ataupun meyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik demikian dapat dipenuhi oleh daerah. 5. Stabilisasi Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan transfer sebagai stabilizer pada saat aktivitas ekonomi daerah lesu ataupun pada saat aktivitas ekonomi meningkat. Pada saat aktivitas perekonomian daerah sedang lesu, pemberian transfer dapat ditingkatkan, dan sebaliknya pada saat perekonomian meningkat pemberian transfer dapat dikurangi. Namun, dalam melakukan hal ini diperlukan kecermatan dalam mengkalkulasi penurunan dan peningkatan transfer dan menentukan saat yang tepat dalam melakukan penurunan dan peningkatan transfer tersebut agar tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi. Transfer pemerintah pusat kepada daerah dapat dibedakan menjadi bagi hasil (revenue sharing) dan bantuan (grants). Grants sendiri dapat dikelompokkan menjadi block grant (besarnya ditentukan berdasarkan formula) dan special grant (ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi khusus). Dalam dana perimbangan yang diterapkan di Indonesia, dana bagi hasil berperan sebagai revenue sharing, dana alokasi umum sebagai block grant dan dana alokasi khusus sebagai special grant. Pada tataran kebijakan yang lebih aplikatif, desentralisasi fiskal tersebut diwujudkan melalui pemberian sejumlah transfer dana langsung dari pemerintah pusat ke daerah dalam rangka memenuhi asas desentralisasi, pemberian dana yang dilakukan oleh kementrian/lembaga melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta memberikan diskresi kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi sesuai dengan kewenangannya. Di banyak negara yang menganut desentralisasi, kewenangan memungut pajak daerah dan retribusi daerah ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat lokal dan memberikan jaminan kepada rakyat, bahwa pelayanan publik akan semakin membaik dan rakyat akan lebih puas dengan pelayanan yang diberikan (Bahl and Linn, 1998). Mekanisme kebijakan transfer ke daerah, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan penyesuaian. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil (DBH) dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Secara nominal jenis transfer ke daerah dalam bentuk ini tercatat sebagai komponen terbesar dari dana transfer ke daerah (Mardiasmo, 2009). Lebih lanjut Mardiasmo menjelaskan bahwa beranjak dari konsep dasar dan implementasinya dalam desentralisasi fiskal di Indonesia, besarnya transfer dana di daerah seharusnya memiliki korelasi yang positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi Fiskal Terminologi (skripsi dan tesis)
desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup teritorial suatu negara. Sedangkan Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara itu, Smith juga merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki teritorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu negara, maupun pada organisasiorganisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005). Di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, pengertian desentralisasi dinyatakan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini berarti desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung 22 jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 2002). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, baik untuk memenuhi tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999): 1). Desentralisasi politik yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan. 2). Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan. 3). Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan. Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follows function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Berdasarkan prinsip money follows function Mahi (2002) menjelaskan bahwa kajian dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal pada dasarnya dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan expenditure assignment dan revenue assignment. Pendekatan expenditure assignment menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran lokal public goods meningkat. Sedangkan dalam pendekatan revenue assignment dijelaskan peningkatan kemampuan keuangan melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan. Dalam membahas desentralisasi fiskal, umumnya terdapat tiga variabel yang sering digunakan sebagai representasi desentralisasi fiskal, yaitu (Khusaini, 2006); 1). Desentralisasi Pengeluaran Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN) [Zhang dan Zou, 1998]. Selain itu Phillip dan Woller (1997) menggunakan rasio pengeluaran daerah terhadap total pengeluaran pemerintah (tidak termasuk pertahanan dan tunjangan sosial). Variabel ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. 2). Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN) (Zhang dan Zou, 1998). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Disamping itu, variabel ini juga mengekspresikan besarnya alokasi pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini juga diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sektor publik atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variabel ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor publik. 3). Desentralisasi Penerimaan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total penerimaan pemerintah (Philips dan Woller, 1997). Variabel ini menjelaskan besaran relatif antara penerimaan pemerintah daerah terhadap penerimaan pemerintah pusat
Belanja Modal (skripsi dan tesis)
Belanja Modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang menfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset/kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasional dan pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Dalam hal tersebut masuk ke dalam pembukuan akuntansi dengan kata lain belanja modal akan mempengaruhi posisi keuangan. Selain itu dalam melakukan belanja modal ada juga aset-aset dari hasil belanja modal yang sifatnya tidak berwujud, akan tetapi masih memiliki ciri yang sama dengan hasil dari belanja modal lainnya. Dalam hal ini tentu saja benlanja modal memiliki kriteria tertentu agar dapat dikatakan sebagai belanja modal. Dalam perspektif kebijakan publik, sebagian besar belanja modal berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga pada setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan kerja yang tidak berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Belanja Modal dibagi atas dua yaitu sebagai berikut : 1. Belanja Publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contohnya pembangunan, perbaikan sektor pendidikan, kesehatan dan transportasi. 2. Belanja Aparatur yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat akan tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contohnya pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan dan pembangunan rumah dinas.
Anggaran Sektor Publik (skripsi dan tesis)
Untuk melaksankan hak dan kewajibanya serta melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rakyat, pemerintah harus mempunyai suatu rencana yang matang untuk mencapai suatu tuuan yang dicita-citakan. Rencana-rencana tersebut yang disusun secara matang nantinya akan dipakai sebagai pedoman dalam setiap langka pelaksanaan tugas negara. Oleh karena itu rencana-rencana pemerintah untuk melaksanakan keuangan negara perlu dibuat dan rencana tersebut dituangkan dalam bentuk anggaran (Ghozali, 1997). Anggaran merupakan pernyataan estimasi kinerja yang hendak dicapai oleh suatu organisasi dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam satuan moneter, sedangkan penggaran adalah proses atau metode untuk memepersiapkan suatu anggaran. Anggaran merupakan artikulasi dari hasil perumusan strategi dan hasil perencanaan strategik yang telah dibuat. Anggaran merupakan managerial plan of action untuk memfasilitas tercapainya tujuan organisasi ( Mardiasmo, 2004). Tahap penggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagagalkan perencanaan yang sudah disusun. Dalam organisasi sektor publik anggaran merupakan instrumen akuntanbilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik. Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran sektor publik merupakan suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktivitas. Menurut Mardiasmo (2004) secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran sektor publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan : 1. berapa biaya-biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja) 2. berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan).
Akuntansi Sektor Publik (skripsi dan tesis)
Akuntansi Sektor Publik dapat didefinisikan sebagai aktivitas jasa yang terdiri dari mencatat, mengklasifikasikan, dan melaporkan kejadian atau transaksi ekonomi yang akhirnya akan menghasilkan suatu infomasi keuangan yang akan dibutuhkan oleh pihak-pihak tertentu untuk pengambilan keputusan, yang diterapkan pada pengelolaan dana publik di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen dibawahnya (Yawa dan Runtu, 2015). Akuntansi sektor publik merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik dan penyelenggaraan Negara dalam rangka pelaksanaan konstitusi Negara. Akuntansi sektor publik pada umumnya berupa lembagalembaga Negara atau pemerintah atau organisasi yang mememiliki keterkaitan dengan keuangan Negara.
Desentralisasi (Otonomi Daerah) (skripsi dan tesis)
Pelaksanaan otonomi daerah/desentralisasi didasarkan pada UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 1. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Sidik (2000), desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD,dan adanya bantuan dalam bentuk tranfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah (Sidik et al, 2002). Pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal. b. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan penyerahan atau pengakuan atas wewenang pemerintahan di bidang tertentu untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di bidang tertentu pula. c. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai prakarsa dan aspirasi masyarakat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut : Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement, SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat serta keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pengutan pajak dan retribusi daerah. Untuk dapat menjalankan desentralisasi fiskal secara efektif, maka Pemerintah Daerah mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, yang berakibat mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat
Perangkat Daerah (skripsi dan tesis)
Sumber kekuasasaan dan wewenang bagi Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Kekuasaan dan kewenangan pemerintah yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, baik pada pemerintahan pusat maupun daerah dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat. Pembentuk undang-undang menentukan suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya baik kepada organ yang sudah ada maupun yang baru dibentuk. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan terdiri dari tiga bentuk yaitu pelimpahan kewenangan dengan atribusi, pelimpahan kewenangan dengan delegasi dan pelimpahan kewenangan dengan mandat. Pengertian pendelegasian wewenang adalah pemberian wewenang kepada orang-orang yang ditunjuk oleh pemegang wewenang. Penggunaan pendelegasian wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektivitas organisasi. Oleh karena itu peranan pendelegasian wewenang sangat penting di dalam organisasi. Selain itu, pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari semakin besarnya organisasi. Sistem pemerintahan Indonesia mengalami perubahan mendasar pada tahun 1999 yaitu dengan diberlakukan-nya sistem desentralisasi. Perubahan tata aturan pemerintahan di Indonesia pada hakekatnya merupakan upaya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau Good Governance. Salah satu tujuan Good Governance adalah mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Dengan demikian apa yang menjadi kebutuhan, permasalahan, keinginan, dan kepentingan serta aspirasi masyarakat dapat dipahami secara baik dan benar oleh pemerintah. Sehingga pemerintah mampu menyediakan layanan masyarakat secara efisien, mampu mengurangi biaya, memperbaiki output dan penggunaan sumber daya manusia secara lebih efektif. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ditingkat provinsi, gubernur sebagai kepala daerah tingkat provinsi dibantu oleh Perangkat Daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Inspektorat, Dinas Daerah tingkat provinsi, dan Badan-Badan Daerah Provinsi. Perangkat daerah dibentuk untuk membantu kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah sebagaimana diatur pada Pasal 208 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dikutip sebagai berikut: “Kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah.” Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkat Perangkat Daerah Provinsi adalah unsur pembantu Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perangkat daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Perangkat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan : a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah b. Karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah c. Kemampuan keuangan daerah d. Kesediaan sumber daya aparatur e. Pengembangan pola kerjasama (antar daerah dan/ atau dengan pihak ketiga) Dasar utama pembentukan perangkat daerah adalah adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dan menjadi kewenangan daerah, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dibagi atas urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pengelompokan organisasi perangkat daerah didasarkan pada konsepsi pembentukan organisasi yang terdiri atas 5 (lima) elemen, yaitu: 1. Strategic Apex (Kepala Daerah) 2. Middle Line (Sekretaris Daerah) 3. Operating Core (Dinas Daerah) 4. Technostructure (Badan/Fungsi Penunjang); dan 5. Supporting Staff (Staff Pendukung) Dinas daerah merupakan pelaksana fungsi inti (operating core) yang melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala daerah dalam melaksanakan fungsi mengatur dan mengurus sesuai bidang urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Badan daerah melaksanakan fungsi penunjang (technostructure) yang melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala daerah dalam pelaksanaan fungsi mengatur dan mengurus untuk menunjang kelancaran pelaksanaan fungsi inti (operating core). Dalam rangka implementasi otonomi daerah maka dilakukan penetapan kebijakan penyusunan organisasi perangkat daerah dan struktur organisasi dan tata kerja perangkat tersebut. Perlu dipahami bahwa segala urusan yang menjadi kewenangan daerah harus dilaksanakan dengan kelembagaan yang jelas serta dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kelembagaan daerah merupakan sarana atau wadah dalam penyelenggaraan kewenangan daerah. Kehadiran kelembagaan daerah memberikan kejelasan dalam pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu penataan terhadap kelembagaan daerah menjadi bagian penting dalam rangka pencapaian tujuan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menyusun organisasi perangkat daerahnya. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Pembentukan kelembagaan daerah diatur dalam Pasal 209 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengungkapkan bahwa perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, dan Badan. Perangkat Daerah provinsi juga diamanatkan untuk melaksanakan tugas pembantuan selain juga melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dengan membentuk kelembagaan, maka pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan secara efisien untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pembentukan kelembagaan pemerintah daerah dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Secara teoritis, desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Sedangkan, desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompokkelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Menurut Jayadi N.K bahwa desentralisasi mengandung pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipancarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, “autonomos/autonomia‖”, yang berarti “peraturan sendiri (self-ruling). Merujuk pada dua perkataan tersebut, maka secara sederhana otonomi dapat diartikan sebagai peraturan yang dibuat oleh satu entitas (pemerintahan sendiri) . Kajian klasik milik Hoggart menyatakan otonomi harus dipahami sebagai sebuah interaksi antara pemerintah yang berada di bawahnya. Dalam konteks tersebut, otonomi harus dipahami sebagai Iindependence of localities yang kedap dari adanya campur tangan pemerintah di aras atas. Senalar dengan uraian Hoggart, Samoff menyatakan pula otonomi sebagai transferred power and authority over decision making to local units are the core of autonomy. Berbagai argumen tersebut tidak disanggah oleh Rosenbloom yang menjelaskan otonomi sebagai wujud penyerahan suatu kuasa kepada pemerintah yang lebih rendah tingkatannya untuk mengatur wilayah secara bebas tanpa ada campur tangan dari pemerintah pusat. Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat ndang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelferchtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri) . Atas dasar bahasa dan literatur Belanda, Sarundajang menjelaskan hakikat otonomi daerah adalah38 : 1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah: penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, maka hak itu dikembalikan kepada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan pemerintah (pusat); 2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya; 3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya; 4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain. Dengan demikian suatu daerah otonom adalah daerah yang self government, self sufficiency, self authority, dan self regulation to its law and affairs dari daerah lainnya baik secara vertikal maupun horizontal karena daerah otonom memiliki actual independence. Konsep otonomi daerah sejatinya merupakan amanat yang diberikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang secara umum termaktub dalam Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya pada ayat (5) tertulis “pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemeirntahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. Dan ayat (6) juga menyatakan, pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan perturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, otonomi sebagai Administrative Decentralization yaitu konsep yang melihat otonomi sebagai the transfer of authority from central to local government. Otonomi daerah dipahami sebagai pelimpahan wewenang ketimbang penyerahan kekuasaan. Tujuannya adalah sebagai penciptaan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, otonomi sebagai Political Decentralization, melihat otonomi tidak sekedar sebagaimpelimpahan wewenang melainkan penyerahan kekuasaan the devolution of power from central to local government Dari dimensi teori pemerintahan daerah, pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi berupa pergeseran paradigma pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan prinsip desentralisasi40, Rondinelli dalam Mugabi mengartikan desentralisasi sebagai penugasan (assignment), pelimpahan (transfer), atau pendelegasian tanggung jawab aspek politik, administratif dan keuangan (fiscal) pada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Maddick dalam Hoessein menjelaskan konsep desentralisasi mengandung dua elemen yang saling berhubungan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritori tertentu. Suatu masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi, melalui desentralisasi menjadi berstatus otonomi sejalan dengan pemberlakuan daerah otonom. Otonomi, dengan demikian diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat bukan kepada daerah ataupun pemerintah daerah. Sesuai dengan batasan pengertiannya menurut Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka yang dimaksudkan adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip NKRI, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah salain terdapat unsur staf yang membantu kepala daerah juga terdapat unsur pelaksana Pemerintah Daerah unsur staf dan unsur pelaksana tersebut adalah sekretariat daerah dan dinas-dinas daerah. Pada prinsipnya, penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak lepas dari adanya peran desentralisasi yang merupakan bentuk dari penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang – undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut. Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-daerah tersebut untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Kewenangan Pemerintah Daerah (skripsi dan tesis)
Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakantindakan hukum tertentu Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat. Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidakberbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban Kewenangan adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi. Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara . Lebih lanjut kemudian F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan sebagai berikut : “Bahwa hanya ada 2 (dua) cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal”. Menurut Pasal 13 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah tingkat provinsi adalah sebagai berikut : 1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas daerah Kabupaten/kota 2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas daerah Kabupaten/kota 3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah Kabupaten/kota 4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah provinsi Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Pemberian kewenangan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya, dilaksanakan melalui suatu proses yang disebut desentralisasi kepada daerah-daerah otonom atau dikenal dengan otonomi daerah. Desentralisasi memiliki dua bentuk yaitu politik dan administratif. Desentralisasi politik yaitu wewenang untuk membuat keputusan dan melakukan kontrol tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada pemerintah lokal dan regional. Desentralisasi adminitratif adalah suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Kewenangannya mulai dari penetapan peraturan sampai keputusan substansial
Pengertian Pemerintah Daerah (skripsi dan tesis)
Pemerintah atau Government dalam bahasa indonesia berarati pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya. Bisa juga berarti lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota, dan sebagainya. Menurut W.S Sayre (1960) pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari negara yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya. Selanjutnya menurut David Apter (1977), pemerintah adalah satuan anggota yang paling umum yang memiliki tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mecangkupnya dan monopoli praktis yang menyangkut kekuasaan paksaannya. Selanjutnya, Daerah adalah lingkungan pemerintah : wilayah, daerah diartikan sebagai bagian permukaan bumi; lingkungan kerja pemerintah, wilayah; selingkup tempat yang dipakai untuk tujuan khusus, wilayah; tempattempat sekeliling atau yang dimaksud dalam lingkungan suatu kota; tempat yang terkena peristiwa sama; bagian permukaan tubuh
Tujuan Pengukuran Kinerja (skripsi dan tesis)
Keuangan Pemerintah Menurut Mardiasmo (2002) Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan yaitu: 1) Memperbaiki kinerja Pemerintah Daerah. 2) Membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. 3) Mewujudkan pertangunggjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan Menurut Halim (2007) Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah dilakukan untuk digunakan sebagai tolak ukur dalam: 1) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. 2) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam meralisasikan pendapatan daerah. 3) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalan membelanjakan pendapatan daerahnya. 4) Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah. 5) Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Sehingga dapat disimpulkan tujuan pengukuran kinerja keuangan pemerintah yaitu pengukuran kinerja yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaca perbaikan secara terus menerus dan pencapaian tujuan dimasa mendatang.
Pengertian Kinerja Keuangan Pemerintah (skripsi dan tesis)
Menurut Bastian (2006) dalam Julitawati (2012) kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan, visi dan misi suatu organisasi. Andirfa dkk (2016) menyatakan bahwa, konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasar pada elemem utama, yaitu: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Sedangkan, dalam pengukuran kinerja menggunakan ukuran efisiensi. Efisiensi adalah pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat efisiens suatu organisasi. Manurut Mardiasmo (2009) dalam Andirfa (2016) proksi pengukuran kinerja pemerintah daerah untuk kabupaten dan kota digunakan dengan rumus efisiensi dan diukur dengan rasio output dengan input. Input adalah sumber daya yang digunakan untuk pelaksanaan suatu kebijakan, program, dan aktivitas. Sedangkan, output adalah hasil yang dicapai dari suatu program, aktivitas, dan kebijakan. Penyebut atau input sekunder seringkali diukur dalam bentuk satuan uang. Pembilang atau output dapat diukur baik dalam jumlah uang ataupun fisik. Pradana (2016) menyatakan bahwa kinerja keuangan pemerintah adalah gambaran tingkat capaian suatu kegiatan yang meliputi anggaran dan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan indikator keuangan, yang ditetapkan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi pengeluaran dan alokasi penganggaran dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka peniliaian kinerja keuangan dapat ditentukan. Menurut Julitawati (2012) apabila kinerja keuangan diatas 100% ke atas dapat dikatakan tidak efisien, 90% – 100% adalah kurang efisien, 80% – 90% adalah cukup efisien, 60% – 80% adalah efisien dan dibawah dari 60% adalah sangat efisien. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulan Kinerja Keuangan Pemerintah merupakan kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah, guna memenuhi kebutuhan agar tidak tergantuh kepada Pemerintah Pusat.
Manfaat Belanja Modal (skripsi dan tesis)
Menurut Indarti dan Sugiarto (2012), manfaat belanja modal yaitu menambah aset tetap / inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.
Komponen Belanja Modal (skripsi dan tesis)
Belanja Modal dibedakan menurut 7 jenis belanja yaitu: 1) Belanja Modal Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari 1 (satu) periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. 2) Belanja Modal Tanah Belanja Modal Tanah adalah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengadaan/ pembelian/ pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3) Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin tersebut siap digunakan. 4) Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/ penggantian gedung dan bangunan sampai dengan bangunan dan gedung dimaksud dalam kondisi siap digunakan. 5) Belanja Modal Jalan, Irigrasi, dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigrasi, dan Jaringan adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ pengantian/ peningkatan, pembangunan atau pembuatan serta perawatan yang menambah kapasitas sampai jalan, irigrasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap digunakan. 6) Belanja Modal Lainnya Belanja Modal Lainnya adalah pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk pengadaan/ pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria Belanja Modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jaringan (Jalan, Irigrasi dan lain-lain). Termasuk belanja modal ini: kontrak sewa beli (leasehold). Pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, bukubuku dan jurnal ilmiah sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat. 7) Belanja Modal Badan Layanan Umum Belanja Modal Bahan Layanan Umum adalah pengeluaran untuk pengadaan/ perolahan/ pembelian aset yang digunakan dalam rangka penyelenggaraan operasi Belanja Modal Badan Layanan Umum. Sehingga dapat disimpulkan komponen belanja modal meliputi Belanja Modal; Belanja Modal Tanah; Belanja Modal Peralatan dan Mesin; Belanja Modal Gedung dan Bangunan; Belanja Modal Jalan, Irigrasi, dan Jaringan; Belanja Modal Lainnya; dan Belanja Modal Badan Layanan Umum.
Pengertian Belanja Modal (skripsi dan tesis)
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 53 ayat 1 tentang Pegeloloaan Keuangan Daerah, belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Menurut Uhise (2013), belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi asset tetap atau asset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulan Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapatalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual.
Kelompok Dana Perimbangan (skripsi dan tesis)
Dana Perimbangan dibedakan menurut 3 jenis dana yaitu: 1) Dana Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Dana Bagi Hasil adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Dana Bagi Hasil adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 2) Dana Alokasi Umum Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, Dana Alokasi Umum adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah daam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3) Dana Alokasi Khusus Menurut Undang Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang anggaran dan belanja negara, Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dala APBN. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, Dana Alokasi Khusus adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sehingga dapat disimpulkan Dana Perimbangan dibedakan menjadi Dana Bagi Hasil bertujuan untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah dan untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, Dana Alokasi Khusus bertujuan untuk membantu membiayai kegiatan khusus sebagai urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional
Pengertian Dana Perimbangan (skripsi dan tesis)
Pradana (2016) menyatakan bahwa, Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum, dan Dana PAD = Hasil Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipashkan + Lain-lain PAD yang sah. Alokasi Khusus merupakan sumber pendanaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dana perimbangan didefinikasikan sebagai dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daaerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus. Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2008, dalam rangka pelaksanaan deaentralisasi, kepada daerah diberikan Dana Perimbangan melalui APBN yang bersifat transfer dengan prinsis money follows function. Salah satu tujuan pemberian Dana Perimbangan tersebut adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah, serta meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN bagi daerah untuk mendanai kebutuhan daerah pelaksanaan desentralisasi, yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masingmasing jenis pernerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Pengukuran Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah tersebut berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)
1) Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang 28 Tahun 2009 pajak daerah yaitu kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daearh bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Adisasmita dan Rahardjo (2014) pajak daerah adalah iuran pajak yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan yang dapat dipisahkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang diguanakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau orang pribadi kepada daerah, digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. 2) Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Menurut Adisasmita (2011) retribusi adalah pungutan yang dilakukan berhubungan dengan jasa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada masyarakat, dengan demikian ciri pokok retribusi adalah sebagai berikut: a) Pemungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. 20 b) Pengenaan pungutan bersifat imbal prestasi atas jasa yang diberikan pemeritah daerah. c) Dikenakan kepada orang yang memanfaatkan jasa yang disediakan pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan retribusi daerah adalah pemungutan yang dilakukan berhubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan secara langsung dan nyata. 3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Menurut Bawono dan Novelsyah (2012), merupakan hasil atas pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dari pengelolaan APBD. Jika ada laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang kemudian dibagihasilkan kepada pemerintah daerah sebagai hasil dari penyertaan modal pemerintah, hal tersebut merupakan Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Menurut Adisasmita (2011), yang termasuk dalam jenis pendapatan ini yaitu deviden atau bagian laba yang diperoleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibagikan bagi pemegang saham, dalam hal ini merupakan pendapatan bagi Pemerintah Daerah. Ssehingga dapat disimpulkan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan adalah penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan hasil perusahaan milik daerah. 4) Lain-lain PAD yang sah Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Lain-lain PAD yang sah yaitu penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemda, seperti hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, dll Menurut Novalistia dan Rizka (2016), lain-lain pendapatan asli daerah yang sah merupakan pendapatan yang tidak termasuk penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran yang lalu, PAD, bagian hasil pajak dan bukan pajak serta bagian sumbangan dan bantuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal dari lainlain milik pemerintah daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah (skripsi dan tesis)
Julitawati dkk (2012) menyatakan bahwa, Pendapatan Asli Daerah adalah semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah dan diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Menurut Mardiasmo (2002) PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah tersebut berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang dipunggut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendapatan Daerah (skripsi dan tesis)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan serta lain-lain pendapatan yang sah
Faktor Pendukung Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)
Faktor-faktor yang mendukung terselenggaranya otonomi daerah diantaranya adalah kemampuan sumberdaya manusia yang ada, serta ketersediaan sumber daya alam dan peluang ekonomi daerah tersebut. 1. Kemampuan Sumber Daya Manusia Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah bergantung pada sumber daya manusianya. Disamping perlunya aparatur yang kompeten, pembangunan daerak juga tidak mungkin dapat berjalan lancar tanpa adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu tidak hanya kualitas aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi masyarakat. Dalam mensukseskan pembangunan dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauna tinggi. Sehingga benar benar mampu menjadi inovator yang mampu menciptakan tenaga kerja yang burkualitas. 2. Kemampuan Keuangan/Ekonomi Tanpa pertumbuhan ekonomiyang tinggi, pendapatan daerah jelas tidak mungkin dapat ditingkatkan.sementara itu dengan pendapatan yang memedahi, kemampuan daerah untuk menyelenggarakan otonomi akan menungkat. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, daerah akan mampu untuk membuka peluang-peluang potensi ekonomi yang terdapat pada daerah tersebut. Penmgembangan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, apabila dikelola dengan secaraa optimal dapat menunjang pembangunan daerah dan mewujudkan otonomi. Kemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri akan terus meningkat Sehingga dari pembahasan diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mendukung terselenggaranya otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia, dan kemampuan keuangan/ekonomi
Tujuan Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)
Menurut Suparmoko (2002) yang menjadi tujuan dari pengembangan otonomi daerah adalah: 1) Memberdayakan masyarakat 2) Menumbuhkan prakarasa dan keratifitas 3) Meningkatkan peran serta masyarakat 4) Mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut Mardiasmo (2002) ada tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: 1) Menciptakan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, tujuan otonomi daerah diharapkan bisa meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Dan dapat menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, untuk mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Asas-asas Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)
Menurut Wenny (2012) ada beberapa asas penting dalam Undang-Undang otonomi daerah yang perlu dipahami, antara lain: 1) Asas Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2) Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 3) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 4) Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu system pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ada beberapa asas otonomi daerah, antara lain: 1) Asas Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. 2) Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 3) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagaian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Sehingga dapat disimpulkan ada beberapa asas otonomi daerah yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, tugas pembantu, dan perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah.
Pengertian Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)
Di Era Otonomi seperti saat ini kemandirian suatu daerah adalah tuntutan utama yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesiapan sumber daya pun harus diatasi, mengingat kewenangan yang telah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal mengatur pemerintah daerahnya masing-masing. Kemandirian yang dituntut tersebut adalah dimana daerah harus mampu mengatur dan mengelola segala bentuk penerimaan dan pembiayaan tanpa harus tergantung kembali dengan pemerintahan pusat seperti yang terjadi di era sebelum otonomi daerah. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mendefinisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah akan memberikan dampak positif di bidang ekonomi bagi perekonomian daerah. Beberapa indikator ekonomi atas 11 keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah Menurut Bastian (2006): 1) Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah riel, sehingga pendapatan per kapita akan terdorong. 2) Terjadi kecenderungan peningkatan investasi, baik investasi asing maupun domestik. 3) Kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis/usaha di daerah. 4) Adanya kecenderungan meningkatnya kreativitas pemda dan masyarakat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mendefinisikan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam Suparmoko dalam Baihaqi (2011) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengukur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah hak, kewajiban dan kewenangan daerah otonom untuk mangatur, mengukur, dam mengurus kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian Kebijakaan Pariwisata (skripsi dan tesis)
Desentralisasi Pariwisata (skripsi dan tesis)
Otonomi daerah yang termaksud dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi arus besar desentralisasi serta membuka ruang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakannya sebagai upaya pengoptimalan dan pendayagunaan potensi ekonomi daerah. Pembangunan daerah kemudian berjalan seiring dengan meluasnya ruang otonom daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing. Kewenangan yang otonom didaerah, lewat keberadaan pemerintah daerah kemudian menjadi penyelenggara atas keterlibatan warga dalam menyusun berbagai agenda sesuai dengan kebutuhannya masing – masing. Berbasis indikator pembangunan dan kebijakkan yang ada maka agenda untuk menjadikan pengembangan kota kemudian diimplementasikan dalam penyusunan dokumen RPJM – RPJMD yang antara lain menegaskan : pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat melalui upaya optimalisasi potensi wisata dan kebijakkan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengapresiasi nilai – nilai kearifan lokal sebagai jati diri warga kota sekaligus menjadi pijakan bagi pengembangan wisata didaerah. Berdasarkan pembahasan diatas bahwa dalam Desentralisasi Pariwisata terdapat beragam strategi yang ada, pengembangan pariwisata menjadi lokomotif atas pengembangan kota, spirit untuk mengembalikan kota sebagai kota yang beridentitas budaya dan pariwisata yang menjadi spirit kolektif. Terintegrasinya sektor pariwisata menjadi bukti bahwa pariwisata telah memasuki sebuah fase yang lebih maju yaitu penata kelolaan yang lebih baik dan melibatkan pihak ketiga (dunia usaha) menjadi bagian dari perkembangan pariwisata. Pariwisata diharapkan menjadi penggerak dalam sektor perdagangan seiring dengan kunjungan para wisatawan, termanfaatkannya berbagai sektor jasa, cinderamata, transportasi, penginapan hingga kontribusi pendapatan bagi pemerintah kota lewat retribusi wisata sehingga memberi argumen bagi pemerintah kota untuk menempatkannya menjadi salah satu prioritas pembangunan didaerah-daerah. Skema tersebut secara massif mampu menjadi strategi yang banyak dikembangkan di daerah dengan beragam modal baik sejarah, destinasi, agro hingga spiritualitas yang mampu menjadi daya tarik.
Konsep Desentralisasi (skripsi dan tesis)
Pemilihan Jenis Desa Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (skripsi dan tesis)
Tentang Desa Setelah Berlakunya Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah terjadi kebingungan dalam menginterpretasikan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Apakah maksud dari pembuat undang-undang untuk memilih antara Desa Dinas dan Desa Adat atau mengakui kedua Desa tersebut. seperti diketahui Desa Dinas dan Desa Adat di Bali memiliki fungsi yang berbeda, yaitu Desa Adat menjalankan fungsi adat istiadat dan Desa Dinas menjalankan fungsi administratif. Permasalahan Pemilihan jenis Desa di Provinsi Bali didasari oleh adanya ketentuan penjelasan dari Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dimana dalam penjelasan Pasal 6 ini disebutkan Bahwa : ”Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah harus dipilih sal ah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa bertujuan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih (wilayah,Kewenangan dan Lembaga Desa) dalam penentuan jenis desa di Daerah. Dalam penjelasan Pasal 6 ini juga diketahui bahwa ada dua jenis desa yang diakui oleh Pemerintah, yaitu Desa dan Desa Adat. Dalam hal ini Pemerintah Daerah diharuskan untuk memilih diantara dua jenis desa tersebut untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Dalam kasus pemilihan Jenis Desa di Kabupaten Bangli dapat diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten Bangli mengalami kesulitan dalam penentuan jenis Desa yang akan digunakan. Dimana seperti juga pelaksanaan kewenangan antara desa dinas dan desa adat selama ini sudah berjalan berkesinambungan dan saling menunjang. 48 Dalam prakteknya selama ini antara Desa Adat dan Desa Dinas di Provinsi Bali menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing sehingga terjadi sinkronisasi urusan-urusan Adat dan administrasi pemerintahan di tingkat Desa. Dengan adanya ketentuan ini maka memberikan pilihan yang sulit bagi pemerintah Provinsi Bali. Walaupun sebenarnya alasan pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini adalah untuk memberikan dasar kewenangan bagi pemerintahan terbawah dalam hal ini Desa untuk mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya demi kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka memperkuat desa, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), dalam Pasal 19 meyebutkan kewenangan desa adalah sebagai berikut : a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. Kewenangan lokal berskala Desa; c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, disebutkan pada ayat 1 bahwa desa dan desa adat yang ada sebelum Undang-Undang ini diberlakukan tetap diakui sebagai desa. Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa, pemerintah kabupaten dan wali kota menetapkan desa dan 49 desa adat di wilayahnya. Sebenarnya pemilihan jenis desa tidak mendesak untuk dilakukan karena dalam undang-undang Desa disebutkan kalu jenis desa adat maupun Desa Dinas tetap diakui. Hanya saja dalam pelaksanaan undang Undang Desa ini nantinya akan terkait dengan penerimaan Dana Desa yang jumlahnya sangat besar sehingga mampu untuk mempermudah membiayai proses pembangunan di wilayah Desa. Permasalahan yang timbul dari penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu : “ Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat desa atau desa adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam 1 (satuwilayah harus dipilih salah satu jenis desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Dengan adanya opsi pemilihan desa dan desa adat maka mau tidak mau setiap desa yang ada di Provinsi Bali baik itu desa maupun desa adat harus menentukan sikap, format yang digunakan hanya untuk satu jenis desa saja. Masalah ini tentu bukan masalah yang sederhana karena berdasarkan sejarah desa di Provinsi Bali telah terjadi harmonisasi pemerintahan desa yang selama ini antara desa dan desa adat dalam menjalankan kewenangannnya hidup berdampingan dengan harmonisasi pelaksanaan tugas masing-masing. Dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan 50 pemberdayaan masyarakat Desa. Dengan demikian, lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini ialah penataan Desa, kewenangan Desa, Pemerintahan Desa, tata cara penyusunan peraturan di Desa, keuangan dan kekayaan Desa, pembangunan Desa dan pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik Desa, kerja sama Desa, lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat Desa, serta pembinaan dan pengawasan Desa oleh camat atau sebutan lain. Berkaitan dengan pengaturan mengenai Pemerintahan Desa, Peraturan Pemerintah ini mengatur secara lebih terperinci mengenai tata cara pemilihan kepala Desa secara langsung atau melalui musyawarah Desa, kedudukan, persyaratan, mekanisme pengangkatan perangkat Desa, besaran penghasilan tetap, tunjangan, dan penerimaan lainyang sah bagi kepala Desadan perangkat Desa, penempatan perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil, serta tata cara pemberhentian kepala Desa dan perangkat Desa. Maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Kabupaten Bangli secara pembagian administrative wilayah memiliki (4) empat kecamatan dan 73 (tujuh puluh tiga) desa atau kelurahan. Kecamatan Kintamani memiliki Desa Abangsongan, Desa Abuan, Desa Awan, Desa Bantang, Desa Banua, Desa Batudinding, Desa Batukaang, Desa Batur Selatan, Desa Batur Tengah, Desa Batur Utara, Desa Bayungcerik, Desa Bayung Gede, Desa Belancan, Desa Belandingan, Desa Belanga, Desa Belantih, Desa Binyan, Desa Bonyoh, Desa Buahan, Desa Bunutin, Desa Catur, Desa Daup, Desa Dausa, Desa Gunungbau, Desa Katung, Desa Kedisan, Desa Kintamani, Desa Kutuh, Desa 51 Langgahan, Desa Lembean, Desa Mangguh, Desa Manikliyu, Desa Mengani, Desa Pengejaran, Desa Pinggan, Desa Satra, Desa Sekaan, Desa Sekardadi, Desa Selulung, Desa Serai, Desa Siakin, Desa Songan A, Desa Songan B, Desa Subaya, Desa Sukawana, Desa Suter, Desa Terunyan, Desa Ulian. Kecamatan Susut memiliki Desa Abuan, Desa Apuan, Desa Demulih, Desa Pengiangan, Desa Penglumbaran, Desa Selat, Desa Sulahan, Desa Susut, Desa Tiga. Kecamatan Tembuku memiliki Desa Bangbang, Desa Jehem, Desa Peninjoan, Desa Tembuku, Desa Undisan, Desa Yangapi. Dan kecamatan Bangli memiliki Desa Bunutin, Desa Kayubihi, Desa Landih, Desa Pengotan, Desa Taman Bali, Kelurahan Bebalang, Kelurahan Cempaga, Kelurahan Kawan, Kelurahan Kubu. Dalam rangka meningkatkan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, dan mutu pelayanan kepada masyarakat maka dipandang perlu mengatur pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa dalam bentuk Peraturan Daerah.. Hal ini tertuang dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Pemerintahan Daerah (skripsi dan tesis)
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa daerah
Indonesia dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi
pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil. Hal ini secara terimplisit
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 18.
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, pengertian Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dimaksud
dengan pemerintah daerah menurut Pasal 1 angka 3 adalah Pemerintah
Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terlepas dari
penyelenggaraan pemerintahan pusat, karena pemerintahan daerah
merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam
teritorial negara Indoenesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturendelandchappen dan volksgemeen schappen29, seperti desa di
Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dn
sebagainya. Daerah-daerah tersebut mempunyai kedudukan dan
masyarakat asli dan dapat dianggap sebagai daerah yang mempunyai
keistimewaan di daerah tersebut. Dengan demikian asas penyelenggaraan
pemerintahan berlaku juga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
termasuk asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggara Pemerintahan Daerah
provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu
oleh Perangkat Daerah. dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah
Desentralisasi (skripsi dan tesis)
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu ”de” berarti lepas dan centrum berani pusat. Jadi menurut perkataan berasal dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Desentralisasi dalam arti self government menurut Smith dalam Khairul Muluk berkaitan dengan adanya subsidi teritori yang memiliki self government melalui lembaga politik yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yuridiksinya. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah baik provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan atas daerah pemilihan yang mencerminkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan tenentu. Karena dewan perwakilan rakyat daerah merupakan elemen dalam penyelenggraaan pemerintahan di daerah. Menurut Henry Maddick dalam Juanda, desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Amrah Muslimin menyebutkan, sistem desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri. Berdasarkan pendapat Bachrul Elmi menyebutkan, bahwa desentralisasi berarti memberikan sebagian dari wewenang pemerintahan pusat kepada daerah, untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan dan tanggung jawab daerah meliputi : urusan umum dan pemerintahan, penyelesaian fasilitas pelayanan dan urusan sosial, budaya, agama dan kemasyarakatan. Penyerahan urusan pemerintahan lebih lanjut menurut Siswanto Sunarno menjelaskan bahwa desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah, Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi. Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan penotonomian menyangkut proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Pada hakekatnya pemerintahan daerah melaksanakan asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan pemerintahan wajib dan pilihan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan otonomi daerah adalah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah dalam fungsi mengatur bersifat menetapkan peraturanperaturan terhadap kepentingan daerah yang bersifat abstrak berisi norma perintah dan larangan, sedangkan tindakan mengurus bersifat peristiwa konkrit serta tindakan mengadili yaitu mengambil tindakan dalam bentuk keputusan untuk menyelesaikan sengketa dalam hukum publik, privat dan hukum adat. Sistem daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi, pemerintahan daerah melakukan urusan penyelenggaraan rumah tangga sendiri telah didelegasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, oleh Jimly Asshiddiqie27, dinyatakan memiliki kewenangan untuk mengurus, sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri, sehingga dikenal tiga ajaran dalam pembagian penyelenggaraan pemerintah negara,yakni: (1) ajaran rumah tangga materiil; (2) ajaran rumah tangga formil; dan (3) ajaran rumah tangga riil. Lebih lanjut ketiga ajaran rumah tangga ini dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut : 1. Ajaran rumah tangga materiil, untuk mengetahui yang manakah urusan yang termasuk rumah tangga daerah atau pusat. Urusan rumah tangga ini melihat materi yang ditentukan akan diurus oleh pemerintahan pusat atau daerah masing-masing. Dengan demikian pemerintah pusat dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan sesuatu urusan dengan baik karena urusan itu termasuk materi yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh daerah, atau sebaliknya pemerintah daerah tidak akan mampu menyelenggarakan suatu urusan karena urusan itu termasuk materi yang harus diselenggarakan oleh pusat. 2. Ajaran rumah tangga formil, merupakan urusan rumah tangga daerah dengan penyerahannya didasarkan atas peraturan perundangundangan, sehingga hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah dipertegas rinciannya dalam undang-undang. 3. Ajaran rumah tangga riil, yaitu urusan rumah tangga yang didasarkan kepada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata, dengan didasarkan pertimbangan untuk mencapai manfaat yang sebesarbesarnya, sesuatu urusan yang merupakan wewenang pemerintah daerah dikurangi, karena urusan itu menurut keadaan riil sekarang berdasarkan kebutuhan yang bersifat nasional. Akan tetapi sebaliknya suatu urusan dapat pula dilimpahkan kepada daerah untuk menjadi suatu urusan rumah tangga daerah, mengingat manfaat dan hasil yang akan dicapai jika urusan itu tetap 23 diselenggarakan oleh pusat akan menjadi berkurang dan penambahan atau pengurangan suatu wewenang harus diatur dengan undang-undang atau peraturan peraturan lainnya. Pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi seluas-luasnya, berdasarkan pendapat Sudono Syueb menyebutkan pada intinya, bahwa daerah diberikan kebebasan dan kehadirian untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menentukan sendiri kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah dalam pemilihan langsung kepada masyarakat. Melalui pemilihan langsung, maka dihasilkan kepala daerah otonom adalah pemimpin rakyat di daerah bersangkutan yang mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah guna mewujudkan kesejahteraaan rakyat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip demokrasi, karena melibatkan sebesar-besarnya peran rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta menciptakan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang demokratis akan dapat menyelenggarakan roda pemerintahan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi, partisipatif efektif dan efisien serta bermoral yaitu pemerintahan daerah melaksanakan tindakan pemerintahan dengan baik dan mempertanggungjawabkan kepada pemerintah dan rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas, serta dapat berlangsung secara terbuka dan siap dikoreksi oleh rakyat sesuai esensi prinsip transparansi. 24 Menurut pendapat peneliti desentralisasi dalam asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai dengan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dilaksanakan dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kebebasan dan kemadirian yang seluasluasnya dilakukan oleh pemerintahan daerah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh kepala daerah yang memiliki fungsi atau bidang pekerjaan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi sesuai dengan demokrasi.
Asas dan Sistem Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)
Pelaksanan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, jujur dan adil (Luberjurdil). Adapun yang dimaksud dengan asas “Luberjurdil” dalam pemilu menurut Undang-Undang Nomor 08 tahun 2012, tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU No. 08 Tahun 2012 asas pemilihan umum meliputi: a. Langsung, rakyat mempunyai hak untuk memilih secara langsung sesui dengan pilihan hatinya. b. Umum, artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah berhak untuk ikut memilih dan telah berusia 21 tahun berhak di pilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian). c. Bebas, artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun/dengan apapun. d. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot). e. Jujur, pada saat pelsanaan pemilihan umum dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Adil, pada setiap pemilu, partai politik diberikan kesempatan yang sama. Sedangkan berdasarkan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 07 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, asas dalam pemilihan umum terdapat dalam Pasal 3 yaitu: a. Mandiri; b. Jujur; c. Adil; d. Berkepastian hukum; e. Tertib; f. Terbuka; g. Proporsional; h. Profesional; i. Akuntabel; j. Efektif; dan k. Efisien. Demikain asas dan sistem yang seharusnya dilakukan dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Melalui penerapan sistem dan asas tersebut diharapkan sistem demokrasi Indonesia menjadi demokrasi yang bermartabat dan menjadi contoh pelaksanaan sistem demokrasi yang berhasil di negara yang sangat majemuk.
Pengertian Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)
Bentuk partisipasi politik (skripsi dan tesis)
Pengertian Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998. Partisipasi terdiri dari dua kata yaitu Pars artinya bagian dan Capere (bahasa latin) yang artinya mengabil peran dalam kegiatan politik. Dalam bahasa lain yakini bahasa inggris sering di sebuat dengan istilah partisipate atau participation yang memiliki arti mengabil peran atau bagian. Jadi partisipasi politik berarti mengambil peranan dalam kegiatan politik negara, Suharno (2004: 102-103). Selanjutnya pertisipasi politik juga dapat didefinisikan sebagai keterlibatan individu samapai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem 16 politik, T. May Rudy (2013: 23). Pendapat lain mengatakan bahwa partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut dalam menentukan pemimpinan pemerintah, Imam Yudhi (2011: 33).
Tujuan Pendidikan politik (skripsi dan tesis)
Setiap kita melakukan kegiatan pasti kita memiliki tujuan yang hendak dicapai, seperti halnya pendidikan politik juga mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan pendidikan politik menurut Siti Khanifah (2015: 1) pada dasarnya adalah untuk mendidik dan mengatur diri sendiri untuk dapat berproses menjadi manusia dewasa dalam mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan politik dan telah memikirkan resiko yang akan didapat dari apa yang telah dilakukan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 pasal 31 tentang partai politik menyebutkan bahwa: terdapat tiga orientasi atau tujuan pendidikan politik. Yaitu pertama, meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketiga, meningkatkan kemandirian, kedewasaan dan membangun 15 karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Berdasarkan kedua definisi dari tujuan pendidikan politik diatas maka setidaknya dapat di simpukan bahwa tujuan pendidkan politik anatar lain adalah mendidik atau mengatur seseorang atau sekelompok orang agar sadar akan hak dan kewajibanya sebagai warga bangsa yang baik. Selain sadar hak dan kewajibanya melaui pendidikan politik sesorang diharapkan juga dapat meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa.
Bentuk-Bentuk Pendidikan Politik (skripsi dan tesis)
Setelah kita memahami mengenai definisi dari pendidikan politik selanjutnya kita akan mencoba memahami mengenai bentuk-bentuk dari pendidikan politik. Pelaksanaan pendidikan politik akan berkaitan dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan pada lapisan masyarakat. Usaha dari keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat terwujud jika tidak diimbangi dengan usaha yang nyata di lapangan. Oleh karena itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan pendidikan politik ini. Rusadi Kartaprawira (2006: 56) berpendapat bahwa pendidikan politik dapat diselenggarakan diantaranya melalui bentuk-bentuk sebagai berikut: 1. Bahan bacaan seperti surat kabar, majalah dan lainlain bentuk publikasi massa yang bisa membentuk pendapat umum; 2. Siaran radio dan televisi serta film (audio visual media); 3. Melaui sosialisai pada lembaga atau asosiasi dalam masyarakat dan juga lembaga pendidikan formal ataupun informal. Sedangkan pendapat lain menurut M. Arifin Nasution (2012: 38) bentuk pendidikan politik yang paling banyak digunakan adalah dengan cara mensosialisasikan materi pendidikan dan visi misi partai mengingat partai politik juga mengemban tugas memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Setelah memahami beberapa pendapat di atas mengenai bentuk – bentuk dari pendidikan politik maka dapat di katakan bahwa 14 sesunnguhnya bentuk-bentuk dari pendidikan politik sangat bervariasi. Salah satu bentuk dari pendidkian politik diantaranya melaui berupa sosialisasi yang kegiatan ini dapat dilakukan oleh partai politik, lembaga pendidikan, perintah maupun tokoh masyarakat. Bentuk pendidikan politik selain melalui sosialisai juga dapat dilakukan melaui media massa dan juga pendidikan formal mauapun non formal
Pengertian Pendidikan Politik (skripsi dan tesis)
Definisi Politik (skripsi dan tesis)
Pendidikan Politik (skripsi dan tesis)
Fungsi Organisasi Sayap (skripsi dan tesis)
Pengertian Organisasi Sayap (skripsi dan tesis)
Organisasi sayap merupakan sebuah organisasi bagian dari partai politik yang akan membantu kinerja partai politik dalam menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Pasal 12 ayat (10) menyatakan bahwa salah satu hak partai politik adalah membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik. Organisasi sayap sendiri menurut adalah organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap partai politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing partai politik
Model Kaderisasi (skripsi dan tesis)
Prinsip Kaderisasi (skripsi dan tesis)
Kaderisasi Partai Politik (skripsi dan tesis)
Klasifikasi Partai Politik (skripsi dan tesis)
Fungsi Partai Politik (skripsi dan tesis)
Pengertian Partai Politik (skripsi dan tesis)
Partai politik merupakan salah satu sarana yang menghubungkan antara pemerintah dengan rakyat. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang teroganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiardjo, 2008:404). Dalam bukunya Ekonomic Et Societie Marx Weber memberikan defenisi tentang partai politik, menurutnya partai politik adalah organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut (Firmanzah, 2008:66). Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas mengenai partai politik, partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah negara terutama di negara dengan menerapkan sistem demokrasi. Secara sederhana partai politik merupakan representation of ideas yang harus ada dalam kehidupan politik modern yang demokrasi. Partai politik sebagai suatu organisasi yang berorientasi pada representation of ideas secara ideal dimaksudkan untuk mewakili kepentingan-kepentingan warga, memberikan jalan kompromi bagi pendapat atau tuntutan yang saling bersaing, serta menyediakan ruang bagi suksesi kepemimpinan politik secara damai dan legitimasi.
Pembelajaran politik pada pemilih pemula (skripsi dan tesis)
Ciri-ciri pemilih pemula (skripsi dan tesis)
Pemilih pemula secara umum mereka para pelajar, mahasiswi serta pekerja yang berusia muda. Dalam pesta demokrasi pemilih pemula selama ini menjadi sebuah objek kegiatan politik. Yaitu mereka yang memerlukan bimbingan kearah pertumbuhan potensi dan kemampuan tingkat yang optimal agar dapat berperan baik dalm bidang kegiatan politik. Perlu adanya pendidikan politk agar pemilih pemula berkembang menjadi warga Negara yang baik, yang menghayati nilai-nilai luhur dari bangsanyadan sadar akan kewajibannya dalam kerangka nilai-nilai yang membingkainya. Ciri-ciri pemilh pemula sebagai berikut : a. Warga Negara Indonesia dari pemungutan suara sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah kawin/pernah kawin. b. Baru mengikuti pemilu, memberikan hak pilihnya pertama kali sejak peilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun. c. Mempunyai hak memilih dalam penylenggaraan pilkada 2013
Pemilih pemula (skripsi dan tesis)
Menurut Pahmi Sy (2010:54) pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Pemilihpemula terdiri dari dua kata, yakni pemilih dan pemula. Pemilih adalah orang yang memilih. Sedangkan pemula adalah orang yang mulai atau mula-mula melakukan sesuatu (KBBI online). Pemilih pemula 57 merupakan pemilih yang berusia antara 17-21 tahun atau baru pertama kali ikut dalam pemilu (Maesur zaky, 2009: 14). Menurut pasal 1 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008, Pemilih adalah warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) atau lebih sudah/pernah kawin. Kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No.10 Tahun 2008 merangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara pemilih genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Pengetahuan mereka dengan pemilih lainnya tidak jauh berbeda hanya saja antusiasme dan preferensi.
Ketentuan dan Implikasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah (skripsi dan tesis)
.
Jenis-jenis Sistem Pilkada (skripsi dan tesis)
Kelebihan dan Kelemahan Dilaksanakannya Pilkada (skripsi dan tesis)
Tujuan Diadakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah (skripsi dan tesis)
Salah satu tujuan dari dilakukannya pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah yang sejak tahun 1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Ini merupakan proses demokrasi yang menunjukan orientasinya yang jelas, yaitu penempatan posisi dan kepentingan rakyat diatas berbagai kekuatan elite politik. Elite yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menhegemoni (Ahmad Nadir, 2005:1) Pilkada langsung sesungguhnya merupakan respon kritik konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tak langsung yang sering disebut dengan demokrasi perwakilan. Artinya bahwa rakyat tidak secara langsung mengartikulasi berbagai kepentingannya kepada agenda kebijakan publik, melainkan mewakilkannya pada sejumlah kecil orang tertentu. Ide pilkada langsung dinilai sebagai wujud demokrasi langsung (Ahmad Nadir 2005:15-17). Pilkada langsung bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai solusi dari demokrasi perwkilan yang selama ini telah berjalan cukup lama. Rakyat disuatu daerah dapat memilih sendiri pemimpinnya dengan berdasarkan asas yang berlaku. Pemimpin tersebut diharapkan dapat menyalurkan aspirasi rakyat dan 47 benar-benar menjadi pemimpin yang mengerti agenda otonomi daerah sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan rakyat.
Asas-Asas dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (skripsi dan tesis)
Asas adalah suatu pangkal tolak ukur pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan hubungan atau kondisi yang kita hendaki. Asas pilkada berarti pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Suatu pilkada yang demokratis dapat tercapai jika berjalannya asas-asas yang medasari pilkada tersebut. Pada dasarnya asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama dengan asas dalam pemilu, khususnya pemilu 2004. Pemilu 2004 yang disebut KPU sebagai penyelenggara pemilu 2004 banyak mengusung hal baru guna rekuitmen politik agar kualitas wakil rakyat semakin baik. (mohammad Najib dalam Suparman Marzuki, dkk, 2005:pengantar ix). Asas pilkada langsung telah diatur dalam pasal 56 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004, yang menyebutkan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara 44 demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Hal ini telah ditegaskan kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP No.6 Tahun 2005. Prinsip-prinsip pilkada sama seperti prinsip umum pemilu yang di uraikan sebagai berikut: 1) Langsung Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani tanpa perantara. 2) Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan yang sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengangandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. 3) Bebas Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapu. Di dalam melakasanakan haknya, setiap warga negara diajamin 45 keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. 4) Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada suarat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. 5) Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6) Adil Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun (Hestu Cipto Handoyo, 2003:217- 219) Penggunaan asas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara demokratis. Sehingga jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka hal tersebut 46 merupakan pelanggaran dan harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Arti pilkada langsung (skripsi dan tesis)
Teori pilihan rasional (skripsi dan tesis)
Dikemukanan oleh James S. Coleman (dalam George Ritzer, 2007:394) teori rasional tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tidakan seseorang mengarah jelas pada tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, Struktur-Struktur Kepribadian+ Keyakinan Politik + Tindakan Politik Individu+ Struktur dan proses politik secara holistik= Tingkah Laku yaitu aktor dan sumberdaya. Sumberdaya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Teori rasional memusatkan pada aktor. Menurut George Ritzer (2007:394) aktor dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan pada upaya untuk mencapai tujuan, selain itu aktor juga mempunyai nilai dan pilihan. Teori ini tidak memandang apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi pilihan sumber aktor. Hal yang penting adalah aktor melakukan tindakan yang sesuai tujuan. Menurut Cholisin (2007-155) pilihan rasional adalah kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan alternatif berupa pilihan yang ada. Apabila teori rasional ini dikaitkan dengan pemilih pemula, maka pemilih pemula sebagai aktor dalam pilbup mempunyai tujuan tertentu dengan tidak berpartisipasi (golput). Tujuannya bermacam-macam bersikap masa bodoh, lebih mementingkan kepentingan pribadi, sebagai reaksi protes terhadap pemerintah atau calon kandidat tidak sesuai dengan pilihannya
Teori Behavioralisme (skripsi dan tesis)
Pendekatan dalam perilaku memilih (skrispi dan tesis)
Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis. Cholisin (2007: 154) ada lima pendekatan dalam perilaku memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan pilihan rasional. 1) Menurut pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihat sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan partai. 2) Sedangkan pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanya pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar 34 belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama. 3) Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. 4) Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisi psokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalam pemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. 5) Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi.
Yang dipertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Selain itu ada penelitian terdahulu mengenai pendekatan perilaku memilih sebagai berikut: 1) Bambang Kuncoro 1998, (Tesis) melakukan penelitian di Desa Sunyalangu Kabupaten Banyumas menemukan bahwa karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP (Organisasi Peserta Pemilu). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai kecenderungan memilih OPP lebih besar karena ajakan tetangga daripada program yang ditawarkan OPP.
Faktor alasan sosiologis berpengaruh besar dalam perilaku memilih masyarakat. 35 2) J. Kristiadi (2004:30) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak mempengaruhi perilaku memilih. 3) Udin Hamin, 2004, (Tesis) yang melakukan penelitian perilaku memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai, budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat. 4) Darussalam Darussalam, 2004, (Tesis) menemukan bahwa faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku memilih di Indonesia.Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan politik di atas, penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan
Pertama pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas tidak begitu memintingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya. Kedua, para pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah menjabat. Ketiga, pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalau melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal adalah pemilih yang bias dimobilisasi dalam periode kampanye (Rohrscheneider, 2002:367). Ciri khas pemilih ini adalah loyalias yang tinggi. Orientasi policy-problemsoving Tinggi Pemilih rasional Pemilih kritis Rendah Pemilih skeptis Pemilih tradisonal 37 Dan yang keempat, adalah pemilih skeptis yang dimana tidak memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput) dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah, 2008:121-123)
Perilaku Politik (skripsi dan tesis)
Menurut Ramlan Surbakti, (1992:131) seecara umum perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan publik. Sedangkan menurut Sudijono Sastroadmodjo (1993:3) perilaku politik adalah suatu kegiatan rakyat dimana masayarakat ada dalam suaru proses meraih, mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan. Perilaku politik berkaitan dengan tujuan masyarakat, kebijakan mencapai tujuan, dan sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur suatu kehidupan bermasyarakat. Ada tiga analisis untuk melakukan kajian terhadap perilaku politik yaitu individu aktor politik, agresi politik dan tipologi kepribadian politik. Yang dimaksud individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. Sedangkan agresi meliputi individu aktor secara kolektif seperti birokrasi, partai politik, kelompok kepentingan dan lembaga bangsa. Adapun yang dikaji dalam tipologi kepribadian politik yaitu tipe kepribadian otoriter, machialvelis dan demokrat. Dari hasil pendekatan diatas, maka tercipta sebuah model tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu aktor politik sebagai berikut: 33 1) Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa. 2) Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3) Struktur kepribadaian yang tercermin dalam sikap individu. 4) Lingkungan sosial politik langsung seperti situasi yaitu yang memepengaruhi aktor secara langsung, ketika hendak melakukan suatu kegiatan, seperti situasi keluarga, situasi ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan anacaman dalam segala bentuknya (Ramlan Surbakti, 1992: 133)
Bentuk Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Tipologi Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Faktor-faktor Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Partisipasi politik merupakan suatu aktivitas tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Ramlan Surbakti (1992:140) menyebutkan dua variable penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud 21 dalam kesadaran politik adalah kesadaran hak dan kewajiban warga negara. Misalnya hak politik, hak ekonomi, hak perlindungan hukum, kewajiban ekonomi, kewajiban sosial dll. Kedua, menyangkut bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya. Selain itu ada faktor yang berdiri sendiri (bukan variable independen). Artinya bahwa rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial, afiliasi politik orang tua, dan pengalaman beroganisasi. Yang dimaksud status sosial yaitu kedudukan seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Selanjutnya status ekonomi yaitu kedudukan seseorang dalam lapisan masyarakat, berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang mempunyai status sosial dan ekonomi tinggi diperkirakan tidak hanya mempunyai pengetahuan politik, akan tetapi memiliki minat serta perhatian pada politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (Ramlan Surbakti, 2006:144-145). Selanjutnya menurut Myron Weimer partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal, seperti yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed dan Collin MacAndrews (2011:56-57) 1) Modernisasi Modernisasi disegala bidang akan berimplikasi pada komensialisme pertanian, industrial, meningkatkan arus urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan 22 pendidikan dan pengembangan media massa atau media komunikasi secara luas. 2) Terjadi perubahan struktur kelas sosial Terjadinya perubahan kelas struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang meluas era industralisasi dan modernisasi. 3) Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa modern Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme, membangkitkan tuntuntan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan suara. 4) Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik Pemimpin politik yang bersaing merebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangannya dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. 5) Keterlibatan pemerintah yang semakin luas dalam unsur ekonomi,sosial dan budaya Meluasnya ruang lingkup aktivis pemerintah ini seringkali merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan organisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik.
Pengertian partisipasi politik (skripsi dan tesis)
Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (skripsi dan tesis)
Pilkada berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 meliputi: 42 a. Perencanaan program dan anggaran. b. Penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan. c. Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan. d. Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS. e. Pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS; f. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; dan g. Penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih. Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 meliputi: a. pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon Bupati dan Calon Walikota; b. Uji Publik. c. Pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. d. Pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. e. Penelitian persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. f. Penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. g. Pelaksanaan Kampanye; h. Pelaksanaan pemungutan suara; i. Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; j. Penetapan calon terpilih; k. Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan l. Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih
Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung (skripsi dan tesis)
Tinjauan Tentang Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)
Tinjauan Tentang Persepsi Politik (skripsi dan tesis)
Tinjauan Tentang Kampanye Pilkada (skripsi dan tesis)
Partisipasi Politik Ditinjau Dari Perspektif Teori Pertukaran Peter Blau (skripsi dan tesis)
Partisipasi Politik Ditinjau Dari Perspektif Teori Pertukaran George Homans (skripsi dan tesis)
Teori pertukaran sosial dilandasakan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer, orang menyediakan barang atau jasa yang diinginkan. Ahli teori pertukaran ini memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi, akan tetapi mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata. Homans (2007:118) tertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran dan menghindari hukuman. Proses pertukaran dapat dijelaskan lewat lima pernyataan proposional yang saling berhubungan dan berasal dari psikologi ini sebagai berikut : a. Proposisi sukses: Dalam tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, semakin banyak tindakannya semakin banyak pula ganjarannya. Dalam proposisi ini menurut Homans, bahwa bilamana seseorang berhasil memperoleh ganjaran (menghindari hukuman) maka akan cenderung untuk mengulangi tindakan tersebut. 26 Hal yang ditetapkan Homans (2007:118) mengenai proposisi sukses : 1) Semakin sering hadiah diterima menyebabkan semakin sering tindakan dilakukan, akan tetapi hal ini tidak dapat berlangsung tanpa batas. 2) Semakin pendek jarak waktu antara perilaku dan hadiah, maka semakin besar kemungkinan orang mengulangi perilaku. Pemberian hadiah secara intermitten lebih besar kemungkinannya menimbulkan perulangan perilaku ketimbang menimbulkan hadiah yang teratur. b. Proposisi pendorong: Bila dalam kejadian di masa lalu dorongan tertentu atau sekumpulan dorongan telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka semakin serupa dorongan kini dengan dorongan di masa lalu, dan dengan demikian semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa. c. Proposisi nilai: Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan tindakan itu. Proposisi ini khusus berhubungan dengan ganjaran atau hukuman yang merupakan hasil suatu tindakan. d. Proposisi deprivasi-satiasi: Semakin besar keuntungan yang diterima seseorang sebagai hasil tindakannya, maka semakin besar kemungkinan ia melaksanakan tindakan itu. e. Proposisi persetujuan-agresi: Bila tindakan seseorang tidak memiliki sebuah ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diharapkan, maka dia akan marah, dia menjadi sangat cenderung melakukan perilaku agresif, dan hasil perilaku lebih bernilai baginya. f. Proposisi rasionalitas: Dalam memilih di antara berbagai tindakan alternatif, seseorang akan memilih satu diantaranya, yang dia anggap 27 saat itu memiliki value (V), sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas (P), untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Menurut Surbakti (2006:144) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi yang otonom adalah : a. Kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara hal ini menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan dan politik tempat ia hidup. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat tempat dia hidup. b. Kepercayaan terhadap pemerintah yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat atau tidak. Apabila pemerintah sebelumnya dianggap tidak dapat mengakomodir aspirasi masyarakat, maka pada pemilihan politik selanjutnya akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. 25 Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilukada Adapun tahapan penyelenggaraan pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu : a. Tahapan Persiapan b. Tahapan Pelaksanaan c. Tahapan Penyelesaian
Bentuk-bentuk Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Rush dan Althoff (2002:122) mengidentifikasikan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai berikut: a. Menduduki jabatan politik atau administratif b. Mencari jabatan politik atau administratif c. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik d. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik 23 e. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi politikal) f. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya g. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik h. Voting (pemberian suara) i. Apaty total Menurut Mas’oed dan MacAndrews (2000:225) adalah peran serta atau partisipasi politik masyarakat secara umum dapat kita kategorikan dalam bentuk-bentuk berikut : a. Electrolaral activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pemilihan. Termasuk dalam kategori ini adalah ikut serta dalam memberikan sumbangan untuk kampanye, menjadi sukarelawan dalam kegiatan kampanye, ikut mengambil bagian dalam kampanye atau rally politik sebuah partai, mengajak seseorang untuk mendukung dan memilih sebuah partai atau calon pemimpin, memberikan suara dalam pemilihan, mengawasi pemberian dan penghitungan suara, menilai calon-calon yang diajukan dan lain-lainnya. b. Lobbying, yaitu tindakan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menghubungi pejabat pemerintah ataupun tokoh politik dengan tujuan untuk mempengaruhinya menyangkut masalah tertentu. c. Organizational activity, yaitu keterlibatan warga masyarakat ke dalam organisasi sosial dan politik, apakah ia sebagai pemimpin, aktivis, atau sebagai anggota biasa. d. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dengan secara langsung pejabat pemerintah atau tokoh politik, baik dilakukan secara individu maupun kelompok orang yang kecil jumlahnya. Biasanya, dengan bentuk partisipasi seperti ini akan mendatangkan manfaat bagi yang orang yang melakukannya. e. Violance, yaitu dengan cara-cara kekerasan untuk mempengaruhi pemerintah, yaitu dengan cara kekerasan, pengacauan dan pengrusakan.
Tujuan Partai Politik (skripsi dan tesis)
Tujuan yang diharapkan dalam mendirikan dan mengembangkan partai politik Erfiza (2012) adalah: 1. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintahan sehingga dapat turut serta dalam mengambil atau menentukan keputusan politik. 2. Untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan para pemegang otoritas. 3. Untuk menjadi sarana dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuatan politik. 4. Untuk menjadi wadah berhimpun bagi masyarakat atau kelompok yang memiliki ideology dan kepentingan yang sama.
Fungsi – Fungsi Partai Politik (skripsi dan tesis)
Tingkat Pengetahuan (skripsi dan tesis)
Pengertian Pengetahuan Fungsi Partai Politik (skripsi dan tesis)
Pengetahuan merupakan proses kognitif dari individu untuk memberikan arti terhadap lingkungan, sehingga masing-masing individu akan memberikan arti sendiri-sendiri terhadap stimuli yang diterima walaupun stimuli itu sama (Winardi, 1996).Pengetahuan adalah penyimpanan, pengintegrasian, dan pengorganisasian yang diproses dalam memori yang berguna untuk mengakses pengetahuan tersebut (Solso dan Maclin, 2008).Pengetahuan individu tersebut tentu saja akhirnya mempengaruhi cara pandang terhadap suatu hal, peristiwa, orang dan keadaan. Pengetahuan ini dapat di peroleh dari berbagai sumber, baik lembaga formal, informal, maupun nonformal yang kemudian dapat di jadikan acuan dalam berperilaku.Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan individu. Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik disebutkan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Menurut pandangan Mirriam Budiardjo (Efriza, 2012) partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik melalui cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka miliki. Terdapat emat fungsi partai poltik, diantaranya : partai politik sebagai sarana konumikasi politik, partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, partai politik sebagai sarana rekrutmen olitik dan partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dari uraian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan pengetahuan fungsi partai politik merupakan hasil dari mengetahui melalui panca indra, baik indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, maupun raba sesorang, sehingga individu tersebut mampu menjalankan fungsi partai politik dan mengetahui prinsip partai politik untuk menciptakan ikatan moral terhadap partainya
Fungsi dan Tujuan Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Budiardjo (2008) menyatakan bahwa partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi proses-proses politik dalam penentuan pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Partisipasi politik harus benar- benar dilakukan oleh masyarakat agar kebijkan yang diambil pemerintah lebih berpihak dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Melalui partisipasi politik diharapkan mampu membangun suatu sistem politik yang stabil dan menciptakan suatu kehidupan negara yang lebih baik. Di samping itu, Robert Lane (Rush dan Althof, 2008) dalam studinya mengenai keterlibatan politik, mempersoalkan bahwa partisipasi politik memenuhi empat macam fungsi, yakni : 1) Partisipasi politik masyarakat untuk mendukung program-program pemerintah; 2) Partisipasi politik masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarhkan dan meningkatkan pembangunan; 3) Kontrol terhadap pemerinah dalam pelaksanaan kebijakannnya. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi partisipasi politik pada dasarnya adalah sebagai media untuk menyuarkan aaspirasi masyarkat demi mengarahkan dan mengontrol 17 kebijakan pemerintah agar arah pembangunan negara lebih berpusat pada aspirasi dan kepentingan masyarakat demi mewujudkan kehidupan politik negara yang kuat dan dinamis serta sebagai suatu media untuk mengembangkan sistem politik agar mekanisme politik itu hidup dan berjalan sesuai dengan prosesnya
Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Bentuk Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Pengertian Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Tinjauan Tentang Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)
Fungsi Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)
Dalam negara demokratis (pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat) maka salah satu ciri utamanya adalah pemilhan umum untuk memilih partai politik yang akan mendapat kepercayaan rakyat. Pemilihan umum merupakan gambaran yang ideal bagi suatu pemerintahan yang demokratis. Menurut Seymour Martin Lipset demokrasi yang stabil membutuhkan konflik atau pemisahan sehingga akan terjadi perebutan jabatan politik, oposisi terhadap partai yang berkuasa dan pergantian partai-partai berkuasa[1].
Karena itu pemilu bukan hanya untuk menentukan partai yang berkuasa secara sah, namun jauh lebih penting dari adalah sebagai bukti bahwa demokrasi yang berjalan dengan stabil, dimana terjadi pergantian partai-partai politik yang berkuasa
Arti Pemilhan Umum (skripsi dan tesis)
.
Pada hakikatnya pemilu di Negara manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin Negara. pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya.
Pemilihan umum merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis. Fungsinya sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi. Esensinya sebagai sarana demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan Negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan Negara yang benar-benar memancarkan kebawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan perwakilan[1].
Pemilihan Umum pada hakekatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak politik rakyat pada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kendaraan politik, partai politik kemudian hadir dan menawarkan kader-kadernya untuk mewakili hak-hak politik rakyat dalam negara. Tetapi untuk memperjuangkan hak-hak politik rakyat partai politik terlebih dahulu harus memperoleh eksistensi yang dapat dilihat dari perolehan suara dalam pemilihan umum.
Pemilihan umum adalah suatu sarana atau cara untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan, kepentingan rakyat perlu diwakali. Karena pada saat sekarang ini tidak mungkin melibatkan rakyat secara langsung dalam kegiatan tersebut mengingat jumlah penduduk sangat besar. Maka dari itu partai politik manawarkan calon-calon untuk mewakili kepentingan rakyat. Pemilihan umum merupakan saat dimana partai politik bertarung untuk memperoleh eksistensi di lembaga legislatif.
Eksistensi Partai (skripsi dan tesis)
Penulis melihat eksistensi partai sebagai keberadaan sebuah partai politik untuk memegang bagian dalam sistem politik karena kedudukan atau status yang dimilikinya. Keberadaan atau eksistensi partai politik dalam sistem politik ditentukan oleh jumlah suara yang diperoleh pada pemilu, sehingga penulis mengaggap untuk mengukur eksistensi partai adalah dengan melihat upaya dari partai politik dalam memperoleh suara pada pemilu.
Untuk memperoleh suara dalam pemilu diperlukan mesin partai yaitu kader yang hadir melalui proses rekrutmen. Rekrutmen partai politik dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui eksistensi sebuah partai politik. Merupakan suatu hal yang mutlak bagi partai politik untuk merekrut kader untuk berpartisipasi secara aktif dalam kampanye dan mengajukan calon untuk menduduki posisi struktural dalam pemerintahan ( pilkada) mereka harus mendapatkan simpati rakyat dengan menawarkan ide dan tujuan yang membuat mereka merasa bahwa mereka bagian dari proses politik (simbol integritas) dengan begitu mereka akan membentuk pemerintahan dan saluran internal untuk menghasilkan program yang memuaskan untuk sebagian besar warga negara (fungsi agregasi), (Scimitter (1999: 477-478)[1], sementara menurut Ramlan Subakti rekutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan[2].
Basis massa merupakan salah satu indikator eksistensi suatu partai, dimana loyalitas seorang konstituen pada sebuah partai ditentukan oleh identitas partai tersebut. Menurut M. Khoirul Anwar & Vina Salviana identitas partai merupakan perasaan terikat pada kelompok dimana ia menjadi anggota maupun kelompok yang ia pilih[3]. Loyalitas massa pendukung partai akan berpengaruh terhadap perolehan suara sebuah partai politik dalam pemilu, bahkan partai akan melakukan segala upaya agar loyalitas konstituenya tetap terjamin termasuk menggunakan cara-cara yang dianggap sesuai dengan situasi dan kondisi.
Aktor sentral dalam partai politik merupakan indikator eksistensi sebuah partai politik. Menurut Bima Arya aktor central dalam partai politik lebih penting bagi pemilih untuk menentukan partai apa yang dipilih ketimbang alasan-alasan lainnya seperti keyakinan agama, ideologi, etnis dan geografis[4]. Dengan karakter pemilih Indonesia yang rata-rata masih menyandarkan diri pada ketokohan personal dalam preferensi pilihan politiknya, untuk kebutuhan merebut simpati rakyat, kharisma dan popularitas citra figur tokoh adalah kekuatan referen partai politik di Indonesia.
Selain indikator yang telah disebutkan di atas strategi partai merupakan salah satu indikator eksistensi partai, berbagai strategi partai politik yang telah dilakukan sebagaimana yang tertuang dalam platform partai atau dalam manifesto partai yang telah digariskan arah dan perjuangan partai untuk mencapai tingkat popularitas dalam memenangkan suatu pemilu yang berlangsung.
Salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengetahui eksistensi partai politik adalah dengan melihat institutionalisasi partai politik, yang dimaksud dengan institutionalisasi partai politik ialah situasi di mana terdapat stabilitas dalam kompetisi antar-partai, sehingga partai akan memiliki akar stabil di masyarakat, dan partai-partai yang berkompetisi dalam pemilihan umum diterima sebagai alat yang sah untuk menentukan siapa yang akan mengelolah pemerintah, dan partai memiliki aturan yang relatif stabil dan terstruktur (Mainwaring dan Scully, 1995;1)[5]. Secara lebih spesifik Vicky Randall dan Lars Svasand (2002; 13-14) mengusulkan empat kriteria untuk mengukur eksistensi partai[6] yaitu :
- Derajat kesisteman
Derajat kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik. AD/ART partai politik dirumuskan secara komprehensif dan rinci sehingga mampu berfungsi sebagai acuan dan prosedur dalam melaksanakan semua fungsinya sebagai partai politik. Suatu partai politik dapat dikatakan telah terinstitutionalisasi dari segi kesisteman bila partai politik melaksanakan fungsinya semata-mata menurut AD/ART yang dirumuskan secara komprehensif dan rinci itu. Derajat kesisteman suatu partai poilitik dapat dilihat dari asal-usul partai politik tersebut, apakah dibentuk dari atas, dari bawah, atau dari atas yang disambut dari bawah. Berikutnya siapakah yang lebih menentukan dalam partai, apakah seorang pemimpin yang disegani atau pelaksanaan kedaulatan anggota menurut prosedur dan mekanisme yang ditetapkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Siapakah yang menentukan dalam pembuatan keputusan faksi-faksi dalam partai ataukah partai secara keseluruhan merupakan salah satu indikator derajat kesisteman suatu partai politik dan bagaimana partai memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan, apakah bersifat klientelisme atau pertukaran dukungan dengan pemberian materi atau menurut konstitusi partai (AD/ART).
Pemimpin yang dominan dalam partai politik tidaklah dengan sendirinya buruk. Peran pemimpin dominan akan menimbulkan akibat buruk bila sang pemimpin menggunakan kharismanya untuk melanggengkan dominasinya, sedangkan peran dominan pemimpin akan menimbulkan akibat positif bila sang pemimpin menggunakan kharismanya membangun kesisteman dalam partai.
Faksi, dan pengelompokan dalam partai juga tidak dengan sendirinya buruk. Bila pengelompokan dalam partai terbentuk atas dasar primordial, maka pengelompokan akan merusak solidaritas partai karena akan menimbulkan konflik diantara faksi partai tersebut. Tetapi bila pengelompokan berdasar perbedaan pola dan arah kebijakan, maka pengelompokan atau faksi itu justru akan membuat partai politik tersebut akan kaya dengan ide dan konflik yang terjadi justru lebih membangun partai politik tersebut.
Partai politik merupakan wadah konflik atau wadah mengatur dan menyelesaikan konflik. Partai politik juga merupakan peserta konflik dalam pemilihan umum dan dalam pembuatan keputusan di lembaga legislatif. Bahkan, dari fungsinya, partai politik berfungsi menampung dan mengagregasikan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi suatu alternatif kebijakan publik. Dengan melaksanakan fungsi agregasi kepentingan ini, partai politik juga berperan sebagai pihak yang menyelesaikan konflik. AD/ART yang dirumuskan secara komprehensif dan rinci harus mampu memberi kaidah dan prosedur penuntun tindakan partai politik untuk melaksanakan fungsi sebagai lembaga konflik, peserta konflik, dan peyelesaian konflik.
- Identitas nilai
Identitas nilai merupakan orientasi kebijakan dan tindakan partai politik menurut ideologi atau platform partai. Identitas nilai seperti ini tidak hanya tampak pada pola dan arah kebijakan yang diperjuangkan partai politik tetapi juga tampak pada basis sosial pendukungnya. Lapisan sosial atau golongan masyarakat memberi dukungan kepada suatu partai karena mengidentifikasi orientasi politiknya dengan ideologi atau platform partai politik tersebut. Indikator derajat identitas nilai suatu partai politik dapat dilihat dari bagaimana hubungan partai dengan kelompok masyarakat tertentu, apakah partai politik tersebut merupakan gerakan sosial yang didukung kelompok masyarakat tertentu, seperti buruh, petani, dunia usaha, kelas menengah, komunitas agama tertentu, komunitas kelompok etnik tertentu, dan apa yang akan di dapat jika menjadi anggota partai tersebut apakah anggota tersebut akan mendapatkan materi ataukah partai politik tersebut dapat bertindak berdasarkan ideologi partai.
Suatu partai politik dapat dikatakan telah terinstitutionalisasi dari segi identitas nilai, apabila partai itu telah memiliki lapisan sosial atau golongan masyarakat sebagai pendukung loyal atau basis sosial. Karena pola dan arah kebijakan yang diperjuangkannya dan bila dukungan yang diberikan kepada partai itu bukan semata-mata karena menerima materi tertentu dari partai tetapi karena orientasi politiknya sesuai ideologi atau platform partai itu.
Partai politik yang mempunyai basis sosial pendukung yang jelas akan memiliki identitas nilai yang jelas pula, seperti partai buruh sesuai namanya jelas memiliki basis sosial pendukung dari kalangan buruh karena pola dan arah kebijakan yang diperjuangkan partai itu berorientasi pada kepentingan buruh.
- Derajat otonomi
Derajat otonomi suatu partai politik dalam pembuatan keputusan berkait dengan hubungan partai dengan aktor luar partai, baik dengan sumber otoritas tertentu yaitu penguasa, pemerintah maupun dengan sumber dana seperti pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar, dan sumber dukungan massa yaitu organisasi masyarakat. Pola hubungan suatu partai dengan aktor di luar partai dapat berupa hubungan ketergantungan kepada aktor luar, hubungan itu bersifat saling tergantung dan hubungan itu berupa jaringan yang memberi dukungan kepada partai.
Indikator institusional partai politik dapat di ukur dari kemandirian partai tersebut dalam membuat suatu keputusan, apabila keputusan partai politik itu tidak didikte pihak luar tetapi diputuskan sendiri dengan atau tanpa konsultasi dengan aktor luar yang menjadi mitra atau jaringan pendukung partai itu. Suatu partai akan memiliki otonomi dalam pembuatan keputusan apabila partai tersebut mandiri dalam pendanaan.
- Pengetahuan publik
Derajat pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pertanyaan apakah keberadaan partai politik itu telah tertanam bayangan masyarakat seperti dimaksudkan partai politik itu. Yang menjadi isu utama di sini bukan terutama tentang sikap masyarakat mengenai partai politik umumnya, tetapi tentang kiprah masing-masing partai politik bagi masyarakat. Bila sosok dan kiprah partai politik tertentu telah tertanam pada pola pikir masyarakat seperti dimaksudkan partai politik tersebut itu, maka pihak lain baik individu maupun lembaga di masyarakat akan menyesuaikan aspirasi dan harapannya atau sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik itu.
Institutionalisasi partai politik dapat dari segi pengetahuan publik, apabila masyarakat umum mendefinisikan sosok dan kiprah partai politik itu sesuai identitas nilai atau platform partai tersebut dan masyarakat pun dapat memahami mengapa suatu partai politik melakukan jenis tindakan tertentu dan tidak melakukan jenis tindakan lain. Derajat pengetahuan publik ini merupakan fungsi dari waktu dan kiprah partai politik tersebut. Makin tua umur suatu partai politik makin jelas definisi atau pengetahuan publik mengenai partai itu. Makin luas dan mendalam kiprah suatu partai dalam percaturan politik, makin mudah bagi kalangan masyarakat untuk mengetahui sosok dan kiprah partai politik itu.
Selain beberapa indikator yang telah di sebutkan di atas eksistensi partai politik dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar partai itu sendiri. Sebagai institusi, partai politik mengikuti aturan main yang telah di sepakati, menurut Miriam Budiardjo, institusi adalah organisasi yang tertata melalui pola perilaku yang diatur oleh peraturan yang telah diterima sebagai standar[7]. Dalam mempertahankan eksistensi partai politik dihadapkan oleh aturan main. Mekanisme penetapan calon terpilith berdasarkan pada sistem suara terbanyak merupakan mekanisme yang menjadikan tantangan bagi partai politik sebagai institusi yang menerima pengaruh dari adanya perubahan ini terutama pada upaya untuk memperoleh eksistensi pada Pemilu Legislatif 2009. Selain mekanisme suara terbanyak eksistensi partai dipengaruhi oleh sistem kepartaian.
Sistem multi-partai merupakan sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia, sistem memberi kesempatan bagi tumbuhnya partai-partai baru, salah satu hasil reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan berpendapat dan berkumpul yang ditandai dengan banyaknya partai dengan berbagai asas dan ciri tetap harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai baru bermunculan dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai kesempatan untuk mempropagandakan ide-ide dan program-program mereka. Namun disisi lain sistem multi-partai merupakan tantangan tersendiri bagi partai-partai lain untuk memperoleh eksistensi.
Perilaku memilih masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi eksistensi partai. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum adalah sebuah keputusan bagi seseorang apakah akan menggunakan hak pilihnya atau tidak dan akan memilih partai yang mana. Partai politik memperjuangkan untuk memperoleh suara seseorang dalam pemilu untuk memperoleh eksistensinya. Dari sudut pandang pilihan rasional pemilih pertimbangan untung dan rugi, digunakan untuk membuat keputusan tentang partai politik atau kandidat yang akan dipilih[8].
Partai Politik (skripsi dan tesis)
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Partai Politik adalah kendaraan untuk mencapai tujuan politik. Partai Politik diterjemahkan sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945.[1]
Substansi sebuah partai politik adalah sebuah lembaga yang didirikan atas suatu kehendak. Kehendak yang dimaksud disini adalah sebuah konsep ideologis yang mendasari dibentuknya sebuah parpol. Sehingga yang membedakan antara partai politik yang satu dengan yang lain adalah konsep ideoligis atau platform partai. Masing-masing parpol memiliki konsep khas, yang berbeda dengan partai politik lainnya, mereka yang memiliki cara pandang yang sama, konsep ideologis yang sama, bergabung dalam satu partai politik tertentu.
Partai politik dianggap sebagai pusat politik dalam sistem Demokrasi, tujuan partai politik ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Dalam literatur politik, setidaknya dikenal 80 defenisi mengenai partai politik. Namun, terlepas dari variasi yang ada, para pakar politik sepakat bahwa partai politik memiliki beberapa ciri umum sebagai berikut :
- Kumpulan orang-orang yang se-ide dan berupaya mewujudkan ide-ide mereka dalam kehidupan masyarakat,
- Memiliki organisasi yang rapi, yang menjamin kontinyutas kegiatan sepanjang tahun,
- Berupaya menyusun agenda kebijakan publik, serta berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan atas agenda tersebut,
- Berambisi menempatkan wakil-wakilnya dalam jajaran pemerintahan.
Partai politik adalah unsur penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Partai politik menghubungkan masyarakat madani dengan negara dan lembaga-lembaganya. Selain itu, partai menyuarakan pandangan serta kepentingan berbagai kalangan masyarakat. Serupa lembaga-lembaga politik lainnya, partai politik tentu memiliki kelemahan dan kekurangan. Akan tetapi, sentimen anti partai, emoh partai, yang berkembang selama ini bersumber dari orde politik yang melecehkan peran serta warga negara supaya segolongan masyarakat dapat berkuasa dan mengontrol seluruh rakyat dan sumberdaya nasional dengan cara-cara yang monopolistik dan monolitik.
Partai politik dapat berarti organisasi yang mempunyai basis ideologi yang jelas, dimana setiap anggotanya mempunyai pandangan yang sama dan bertujuan untuk merebut kekuasaan atau mempengaruhi kebijaksanaan negara baik secara langsung maupun tidak langsung serta ikut pada sebuah mekanisme pemilihan umum untuk bersaing secara kompetitif guna mendapatkan eksistensi.
Lapalombara dan Myron Weiner melihat partai politik sebagai organisasi untuk mengekspresikan kepentingan ekonomi sekaligus mengapresiasikan dan mengatur konflik[2]. Partai politik dilihat sebagai organisasi yang mempunyai kegiatan yang berkesinambungan serta secara organisatoris memiliki cabang mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah.
Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka[3].
Menurut Ichlasul Amal partai politik merupakan satu keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis[4]. Partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara absah (legitimate) dan damai.
Partai Politik sebagai lembaga kontrol politik tentu saja mempunyai peranan yang sentris untuk menunjukkan kesalahan atau penyimpangan administrasi yang dilakukan oleh oknum yang ingin merusak tatanan demokrasi Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Leo Agustino bahwa salah satu fungsi partai politik adalah melakukan kontrol politik. Kontrol politik sangat dibutuhkan dalam negara demokratis, ia tidak saja sebagai sarana untuk menyediakan nuansa checks and balances yang aktual, tetapi juga kontrol politik berupa kegiatan dalam menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa[5]. Entah dalam hal isi suatu kebijakan ataupun implementasi kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah, tidak hanya itu tujuan dari kontrol politik yang dilakukan oleh partai politik adalah berusaha meluruskan pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang tengah terjadi. Penyimpangan yang akut, kekeliruan yang mewabah, serta berbagai persoalan politik yang terjadi, sebenarnya dapat diselesaikan manakala kontrol politik menjadi instrumen penting dalam membangun kehidupan politik yang sehat.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk patisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela di mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam pemilihan umum, menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan, duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan tersebut, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
Carl J. Friedrich melihat partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil[6]. Sejalan dengan Carl J. Friedrich, R. H. Soltau melihat partai politik sebagai sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih guna menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka[7].
Berbeda dengan dua pemikir sebelumnya yang melihat partai politik lebih berorintasi pada kekuasaan Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties mengemukakan bahwa Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda[8]. Sigmund Neumann melihat partai politik sebagai sarana untuk mewadahi kepentingan politik.
Perlu diterangkan bahwa partai berbeda dengan gerakan (movement). Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Dibanding dengan partai politik, gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamentil sifatnya dan kadang-kadang malahan bersifat ideologi. Orientasi ini merupakan ikatan yang kuat di antara anggota-anggotanya dan dapat menumbuhkan suatu identitas kelompok (group identity) yang kuat. Organisasinya kurang ketat dibanding dengan partai politik. Berbeda dengan partai politik, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilihan umum.
Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Partai politik bertujuan memperjuangkan suatu kepentingan dalam skala yang luas melalui mekanisme pemilu, sedangkan kelompok penekan atau kelompok kepentingan yang lain seperti kelompok profesi, kelompok adat, organisasi kemasyarakatan hanya mengejar kepentingan-kepentingan sesaat dalam ruang lingkup yang lebih kecil serta melewati meknisme politik formal seperti pemilu
PENDEKATAN INSTITUSIONAL BARU (skripsi dan tesis)
Pendekatan institusional baru lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain, berbeda dengan institusional lama yang memandang institusi negara sebagai suatu hal yang statis dan terstruktur. Pendekatan intitusional baru memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu.
Institusional baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis atau perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu[1]. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh aktor beserta juga dengan segala pilihannya. Inti dari Institusional baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin Sebagai Berikut :
- Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
- Pembatasan – pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial dan perilaku dari mereka yang memengang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan terus-menerus.
- Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka masing-masing .
- Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga mempengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
- Pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
- Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing[2].
Pendekatan institusional baru lebih banyak mengkaji tentang bagaimana mengajak masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hal ini bertujuan untuk membentuk institusi yang lebih bernilai dalam konteks tertentu.
Pemilihan umum merupakan saat dimana terjadinya partisipasi yang paling konvensional yang dapat ditemui dihampir semua negara demokratis melalui proses pemberian suara. Melalui pemberian suara saat pemilihan umum ini rakyat kemudian dapat ikut berpartisipasi dalam sistem politik melalui wakil yang telah dipilihnya dalam pemilu, seperti yang dikemukakan oleh Ramlan Subakti bahwa pemilihan umum merupakan sarana memobilisasi dan menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintah dengan jalan ikut serta dalam proses politik[3].
Penggalangan dukungan rakyat terhadap negara memerlukan partai politik sebagai institusi yang hadir untuk mewujudkan hal tersebut. Partai politik menjalankan fungsi-fungsinya dalam sistem politik antara lain sebagai sarana partisipasi politik dan fungsi sebagai pemandu kepentingan, tetapi fungsi utama dari partai politik ialah mencari dan mempertahankan eksistensi dalam bentuk kekuasaan untuk mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi partai tersebut.
Sebagai sebuah institusi pola perilaku partai politik tertata oleh aturan yang telah ditetapkan, tetapi pada kenyataanya aktor dalam partai politik memiliki kecenderungan dalam menentukan pola perilaku partai politik tersebut.
[1] Miriam Budiardjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), (PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2008) hal. 96
[2] Miriam Budiardjo. Op.Cit hal. 98
[3] Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (PT. Grasindo. Jakarta, 2010) hal. 233
TEORI PILIHAN POLITIK (skripsi dan tesis)
Setiap masyarakat dan setiap saat tertentu, tingkat-tingkat, landasan-landasan, dan bentuk-bentuk partisipasi politik jauh lebih banyak dibentuk oleh faktor-faktor politik daripada oleh faktor-faktor lainnya (Huntington,1994:38). Didalam setiap masyarakat, sikap elit politik terhadap partisipasi politik mungkin merupakan faktor tunggal yang paling efektif dalam mempengaruhi sifat pertisipasi politik dimasyarakat itu. Partisipasi yang dimobilisasi hanya terjadi apabila kaum elit politik berupaya melibatkan massa rakyat dalam kegiatan politiknya (Huntington,1994:89). Partisipasi politik yang dimobilisasi pada akhirnya akan menuju kepada sebuah pilihan politik tertentu. Pilihan politik terbentuk karena elit politik yang menginginkan manfaat partisipasi yang luas, berupa dukungan bagi mereka sendiri dan bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Bagi banyak elit politik, partisipasi itu paling banter merupakan satu alat dan bukan suatu nilai utama (Huntington,1994:40). Pilihan politik sebagai wujud partisipasi yang biasanya ditentukan oleh efek-efek terhadap kemampuan para elit politik :
a. Meraih kekuatan dan tetap berkuasa
b. Untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan politik lainnya, seperti kemerdekaan nasional, perubahan revolusioner, pembangunan ekonomi, dan pemerataan sosio-ekonomi (Huntington,1994:41). Pilihan politik terbentuk karena beberapa aspek yang mempengaruhinya. Aspek-aspek tersebut adalah :
1. Patron Klien
Istilah “patron‟ berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132). Menurut Scott (1972) dalam Suprihatin (2002) mengemukakan hubungan patron klien sebagai suatu keadaan khusus dari persekutuan dyadic (dua orang) yang melibatkan sebagian besar persahabatan, sementara seorang atau kelompok yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi berperan sebagai patron, menggunakan pengaruh, dan penghasilannya untuk memberikan perlindungan dan kebaikan kepada seseorang atau kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok in berperan sebagai klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang meliputi pelayanan pribadi kepada patron.
Menurut Scott (1972) dalam (Rustinsyah, 2011) hubungan patron klien adalah a special case of dyadic (two person) ties involving a largerly instrumental friendship in which an individual of higher socio economic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection as benefits for both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to their patron. Hubungan patron klien bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal pribadinya, dan saling mempercayai. Lande (1964) dalam (Rustinsyah, 2011) menyebut model patron klien sebagai solidaritas vertikal. Ciri-ciri hubungan patron klien menurut Scott (1972) adalah
(1) terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran. Ketidak seimbangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi barang atau jasa yang sangat diperlukan bagi klien dan keluarganya agar mereka dapat tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri klien muncul akibat pemberian tersebut, selama pemberian itu masih mampu memenuhi kebutuhan klien yang paling pokok. Jika klien merasa apa yang dia berikan tidak dibalas sepantasnya oleh patron, dia akan melepaskan diri dari hubungan tersebut tanpa sangsi
(2) bersifat tatap muka, sifat ini memberi makna bahwa hubungan patron klien adalah hubungan pribadi, yaitu hubungan yang didasari rasa saling percaya. Masing-masing pihak mengandalkan penuh pada kepercayaan, karena hubungan ini tidak disertai perjanjian tertulis. Dengan demikian, walaupun hubungan patron klien bersifat instrumental, artinya kedua belah pihak memperhitungkan untung-rugi, namun unsur rasa selalu menyertai.
(3) bersifat luwes dan meluas, Dalam relasi Inl bantuan yang diminta patron dapat bermacam-macam, mulai membantu memperbaiki rumah, mengolah tanah, sampai ke kampanye politik. Klien mendapat bantuan tidak hanya pada saat mengalami musibah, tetapi juga bila mengalami kesulitan mengurus sesuatu.
Dengan kata lain, hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, sekaligus sebagai jaminan sosial bagi mereka. Adanya unsur ketimpangan dalam pertukaran dikatakan Scott (1972) sebagai disparity in their relative wealth, power and status. A client, in this sense, is someone who has entered an inequal exchange relation in which he is unable to reciprocate fully. A debt of obligation binds him the patron. Foster (1963) dalam Rustinsyahm (2011) dalam hubungan patron klien atau timbal balik terjadi pada orang yang sama statusnya (colleague contracts). Foster menyebut hubungan patron klien sebagai dyadic contracts. 2. Komunitas Religius Kata community menurut Syahyuti dalam Sari (2009) berasal dari bahas latin “cum” yang mengandung arti kebersamaan dan “munus” yang berarti memberi antara satu sama lain. Maka dapat diartikan komunitas sebagai sekelompok orang yang saling berbagi dan mendukung antara satu sama lain. Iriantara (2004) dalam Sari (2009) mendefinisikan makna komunitas adalah sekumpulan individu yang mendiami lokasi 64 tertentu dan biasanya terkait dengan kepentingan yang sama. Sedangkan menurut Wanger (2004) dalam Sari (2009) komunitas itu adalah sekumpulan orang yang saling berbagi masalah, perhatian atau kegemaran, terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan cara saling berinteraksi terus menerus. Pengertian komunitas menurut Kertajaya Hermawan (2008) adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Menurut James Martineau dalam Rakhmat (2004) istilah religi berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation atau kewajiban. Dalam Encyclopedia of Philosophy, istilah religi ini dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.
3. Karisma
Secara etimologi kata karisma berasal dari bahasa Yunani “Charisma” yang berarti karunia atau bakat khusus (Hariyono, 2009). Karisma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya. Selain itu karisma menurut KBBI berarti atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu. Max Weber dalam Rebiru (1992) mengartikan karisma sebagai gejala sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya. Pengakuan atau kepercayaan kepada tuntutan kekuatan gaib merupakan unsur integral dalam gejala karisma. Karisma adalah pengakuan terhadap suatu tuntutan sosial. Weber dalam Hariyono (2009) mengartikan karisma sebagai sifaf yang melekat pada seorang pemimpin dengan mengatakan 66 pemimpin kharismatik adalah seseorang yang seolah-olah diberi tugas khusus dan karena itu dikaruniai bakat-bakat khusus oleh Tuhan untuk memimpin sekelompok manusia mengarungi tantangan sejarah hidupnya.
4. Rasional
Sulaiman (2011) dalam Wulandari (2014) menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat berpikir rasional sangat penting agar seseorang mampu bersaing untuk maju. Kemampuan berpikir jernih dan rasional diperlukan pada pekerjaan apapun, ketika mempelajari bidang ilmu apapun, untuk memecahkan masalah apapun, sehingga dengan kata lain berpikir rasional ini merupakan aset berharga bagi karir seorang. Kemampuan berpikir rasional menurut Dewey dalam Daryanto (2009; Wulandari, 2014) meliputi langkah-langkah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan. Sedangkan menurut Richetti dan Treogoe dalam Fitriyanti (2009; Wulandari (2014) “Rational thinking helps us arrive at a conclusion to be able to do something”. Menurut Syah (2008) dalam Wulandari (2014) 67 menyatakan bahwa berpikir rasional merupakan perwujudan perilaku belajar terutama yang berkaitan dengan pemecahan masalah