Penulis melihat eksistensi partai sebagai keberadaan sebuah partai politik untuk memegang bagian dalam sistem politik karena kedudukan atau status yang dimilikinya. Keberadaan atau eksistensi partai politik dalam sistem politik ditentukan oleh jumlah suara yang diperoleh pada pemilu, sehingga penulis mengaggap untuk mengukur eksistensi partai adalah dengan melihat upaya dari partai politik dalam memperoleh suara pada pemilu.
Untuk memperoleh suara dalam pemilu diperlukan mesin partai yaitu kader yang hadir melalui proses rekrutmen. Rekrutmen partai politik dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui eksistensi sebuah partai politik. Merupakan suatu hal yang mutlak bagi partai politik untuk merekrut kader untuk berpartisipasi secara aktif dalam kampanye dan mengajukan calon untuk menduduki posisi struktural dalam pemerintahan ( pilkada) mereka harus mendapatkan simpati rakyat dengan menawarkan ide dan tujuan yang membuat mereka merasa bahwa mereka bagian dari proses politik (simbol integritas) dengan begitu mereka akan membentuk pemerintahan dan saluran internal untuk menghasilkan program yang memuaskan untuk sebagian besar warga negara (fungsi agregasi), (Scimitter (1999: 477-478)[1], sementara menurut Ramlan Subakti rekutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan[2].
Basis massa merupakan salah satu indikator eksistensi suatu partai, dimana loyalitas seorang konstituen pada sebuah partai ditentukan oleh identitas partai tersebut. Menurut M. Khoirul Anwar & Vina Salviana identitas partai merupakan perasaan terikat pada kelompok dimana ia menjadi anggota maupun kelompok yang ia pilih[3]. Loyalitas massa pendukung partai akan berpengaruh terhadap perolehan suara sebuah partai politik dalam pemilu, bahkan partai akan melakukan segala upaya agar loyalitas konstituenya tetap terjamin termasuk menggunakan cara-cara yang dianggap sesuai dengan situasi dan kondisi.
Aktor sentral dalam partai politik merupakan indikator eksistensi sebuah partai politik. Menurut Bima Arya aktor central dalam partai politik lebih penting bagi pemilih untuk menentukan partai apa yang dipilih ketimbang alasan-alasan lainnya seperti keyakinan agama, ideologi, etnis dan geografis[4]. Dengan karakter pemilih Indonesia yang rata-rata masih menyandarkan diri pada ketokohan personal dalam preferensi pilihan politiknya, untuk kebutuhan merebut simpati rakyat, kharisma dan popularitas citra figur tokoh adalah kekuatan referen partai politik di Indonesia.
Selain indikator yang telah disebutkan di atas strategi partai merupakan salah satu indikator eksistensi partai, berbagai strategi partai politik yang telah dilakukan sebagaimana yang tertuang dalam platform partai atau dalam manifesto partai yang telah digariskan arah dan perjuangan partai untuk mencapai tingkat popularitas dalam memenangkan suatu pemilu yang berlangsung.
Salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengetahui eksistensi partai politik adalah dengan melihat institutionalisasi partai politik, yang dimaksud dengan institutionalisasi partai politik ialah situasi di mana terdapat stabilitas dalam kompetisi antar-partai, sehingga partai akan memiliki akar stabil di masyarakat, dan partai-partai yang berkompetisi dalam pemilihan umum diterima sebagai alat yang sah untuk menentukan siapa yang akan mengelolah pemerintah, dan partai memiliki aturan yang relatif stabil dan terstruktur (Mainwaring dan Scully, 1995;1)[5]. Secara lebih spesifik Vicky Randall dan Lars Svasand (2002; 13-14) mengusulkan empat kriteria untuk mengukur eksistensi partai[6] yaitu :
- Derajat kesisteman
Derajat kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik. AD/ART partai politik dirumuskan secara komprehensif dan rinci sehingga mampu berfungsi sebagai acuan dan prosedur dalam melaksanakan semua fungsinya sebagai partai politik. Suatu partai politik dapat dikatakan telah terinstitutionalisasi dari segi kesisteman bila partai politik melaksanakan fungsinya semata-mata menurut AD/ART yang dirumuskan secara komprehensif dan rinci itu. Derajat kesisteman suatu partai poilitik dapat dilihat dari asal-usul partai politik tersebut, apakah dibentuk dari atas, dari bawah, atau dari atas yang disambut dari bawah. Berikutnya siapakah yang lebih menentukan dalam partai, apakah seorang pemimpin yang disegani atau pelaksanaan kedaulatan anggota menurut prosedur dan mekanisme yang ditetapkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Siapakah yang menentukan dalam pembuatan keputusan faksi-faksi dalam partai ataukah partai secara keseluruhan merupakan salah satu indikator derajat kesisteman suatu partai politik dan bagaimana partai memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan, apakah bersifat klientelisme atau pertukaran dukungan dengan pemberian materi atau menurut konstitusi partai (AD/ART).
Pemimpin yang dominan dalam partai politik tidaklah dengan sendirinya buruk. Peran pemimpin dominan akan menimbulkan akibat buruk bila sang pemimpin menggunakan kharismanya untuk melanggengkan dominasinya, sedangkan peran dominan pemimpin akan menimbulkan akibat positif bila sang pemimpin menggunakan kharismanya membangun kesisteman dalam partai.
Faksi, dan pengelompokan dalam partai juga tidak dengan sendirinya buruk. Bila pengelompokan dalam partai terbentuk atas dasar primordial, maka pengelompokan akan merusak solidaritas partai karena akan menimbulkan konflik diantara faksi partai tersebut. Tetapi bila pengelompokan berdasar perbedaan pola dan arah kebijakan, maka pengelompokan atau faksi itu justru akan membuat partai politik tersebut akan kaya dengan ide dan konflik yang terjadi justru lebih membangun partai politik tersebut.
Partai politik merupakan wadah konflik atau wadah mengatur dan menyelesaikan konflik. Partai politik juga merupakan peserta konflik dalam pemilihan umum dan dalam pembuatan keputusan di lembaga legislatif. Bahkan, dari fungsinya, partai politik berfungsi menampung dan mengagregasikan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi suatu alternatif kebijakan publik. Dengan melaksanakan fungsi agregasi kepentingan ini, partai politik juga berperan sebagai pihak yang menyelesaikan konflik. AD/ART yang dirumuskan secara komprehensif dan rinci harus mampu memberi kaidah dan prosedur penuntun tindakan partai politik untuk melaksanakan fungsi sebagai lembaga konflik, peserta konflik, dan peyelesaian konflik.
- Identitas nilai
Identitas nilai merupakan orientasi kebijakan dan tindakan partai politik menurut ideologi atau platform partai. Identitas nilai seperti ini tidak hanya tampak pada pola dan arah kebijakan yang diperjuangkan partai politik tetapi juga tampak pada basis sosial pendukungnya. Lapisan sosial atau golongan masyarakat memberi dukungan kepada suatu partai karena mengidentifikasi orientasi politiknya dengan ideologi atau platform partai politik tersebut. Indikator derajat identitas nilai suatu partai politik dapat dilihat dari bagaimana hubungan partai dengan kelompok masyarakat tertentu, apakah partai politik tersebut merupakan gerakan sosial yang didukung kelompok masyarakat tertentu, seperti buruh, petani, dunia usaha, kelas menengah, komunitas agama tertentu, komunitas kelompok etnik tertentu, dan apa yang akan di dapat jika menjadi anggota partai tersebut apakah anggota tersebut akan mendapatkan materi ataukah partai politik tersebut dapat bertindak berdasarkan ideologi partai.
Suatu partai politik dapat dikatakan telah terinstitutionalisasi dari segi identitas nilai, apabila partai itu telah memiliki lapisan sosial atau golongan masyarakat sebagai pendukung loyal atau basis sosial. Karena pola dan arah kebijakan yang diperjuangkannya dan bila dukungan yang diberikan kepada partai itu bukan semata-mata karena menerima materi tertentu dari partai tetapi karena orientasi politiknya sesuai ideologi atau platform partai itu.
Partai politik yang mempunyai basis sosial pendukung yang jelas akan memiliki identitas nilai yang jelas pula, seperti partai buruh sesuai namanya jelas memiliki basis sosial pendukung dari kalangan buruh karena pola dan arah kebijakan yang diperjuangkan partai itu berorientasi pada kepentingan buruh.
- Derajat otonomi
Derajat otonomi suatu partai politik dalam pembuatan keputusan berkait dengan hubungan partai dengan aktor luar partai, baik dengan sumber otoritas tertentu yaitu penguasa, pemerintah maupun dengan sumber dana seperti pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar, dan sumber dukungan massa yaitu organisasi masyarakat. Pola hubungan suatu partai dengan aktor di luar partai dapat berupa hubungan ketergantungan kepada aktor luar, hubungan itu bersifat saling tergantung dan hubungan itu berupa jaringan yang memberi dukungan kepada partai.
Indikator institusional partai politik dapat di ukur dari kemandirian partai tersebut dalam membuat suatu keputusan, apabila keputusan partai politik itu tidak didikte pihak luar tetapi diputuskan sendiri dengan atau tanpa konsultasi dengan aktor luar yang menjadi mitra atau jaringan pendukung partai itu. Suatu partai akan memiliki otonomi dalam pembuatan keputusan apabila partai tersebut mandiri dalam pendanaan.
- Pengetahuan publik
Derajat pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pertanyaan apakah keberadaan partai politik itu telah tertanam bayangan masyarakat seperti dimaksudkan partai politik itu. Yang menjadi isu utama di sini bukan terutama tentang sikap masyarakat mengenai partai politik umumnya, tetapi tentang kiprah masing-masing partai politik bagi masyarakat. Bila sosok dan kiprah partai politik tertentu telah tertanam pada pola pikir masyarakat seperti dimaksudkan partai politik tersebut itu, maka pihak lain baik individu maupun lembaga di masyarakat akan menyesuaikan aspirasi dan harapannya atau sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik itu.
Institutionalisasi partai politik dapat dari segi pengetahuan publik, apabila masyarakat umum mendefinisikan sosok dan kiprah partai politik itu sesuai identitas nilai atau platform partai tersebut dan masyarakat pun dapat memahami mengapa suatu partai politik melakukan jenis tindakan tertentu dan tidak melakukan jenis tindakan lain. Derajat pengetahuan publik ini merupakan fungsi dari waktu dan kiprah partai politik tersebut. Makin tua umur suatu partai politik makin jelas definisi atau pengetahuan publik mengenai partai itu. Makin luas dan mendalam kiprah suatu partai dalam percaturan politik, makin mudah bagi kalangan masyarakat untuk mengetahui sosok dan kiprah partai politik itu.
Selain beberapa indikator yang telah di sebutkan di atas eksistensi partai politik dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar partai itu sendiri. Sebagai institusi, partai politik mengikuti aturan main yang telah di sepakati, menurut Miriam Budiardjo, institusi adalah organisasi yang tertata melalui pola perilaku yang diatur oleh peraturan yang telah diterima sebagai standar[7]. Dalam mempertahankan eksistensi partai politik dihadapkan oleh aturan main. Mekanisme penetapan calon terpilith berdasarkan pada sistem suara terbanyak merupakan mekanisme yang menjadikan tantangan bagi partai politik sebagai institusi yang menerima pengaruh dari adanya perubahan ini terutama pada upaya untuk memperoleh eksistensi pada Pemilu Legislatif 2009. Selain mekanisme suara terbanyak eksistensi partai dipengaruhi oleh sistem kepartaian.
Sistem multi-partai merupakan sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia, sistem memberi kesempatan bagi tumbuhnya partai-partai baru, salah satu hasil reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan berpendapat dan berkumpul yang ditandai dengan banyaknya partai dengan berbagai asas dan ciri tetap harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai baru bermunculan dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai kesempatan untuk mempropagandakan ide-ide dan program-program mereka. Namun disisi lain sistem multi-partai merupakan tantangan tersendiri bagi partai-partai lain untuk memperoleh eksistensi.
Perilaku memilih masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi eksistensi partai. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum adalah sebuah keputusan bagi seseorang apakah akan menggunakan hak pilihnya atau tidak dan akan memilih partai yang mana. Partai politik memperjuangkan untuk memperoleh suara seseorang dalam pemilu untuk memperoleh eksistensinya. Dari sudut pandang pilihan rasional pemilih pertimbangan untung dan rugi, digunakan untuk membuat keputusan tentang partai politik atau kandidat yang akan dipilih[8].