Setiap masyarakat dan setiap saat tertentu, tingkat-tingkat, landasan-landasan, dan bentuk-bentuk partisipasi politik jauh lebih banyak dibentuk oleh faktor-faktor politik daripada oleh faktor-faktor lainnya (Huntington,1994:38). Didalam setiap masyarakat, sikap elit politik terhadap partisipasi politik mungkin merupakan faktor tunggal yang paling efektif dalam mempengaruhi sifat pertisipasi politik dimasyarakat itu. Partisipasi yang dimobilisasi hanya terjadi apabila kaum elit politik berupaya melibatkan massa rakyat dalam kegiatan politiknya (Huntington,1994:89). Partisipasi politik yang dimobilisasi pada akhirnya akan menuju kepada sebuah pilihan politik tertentu. Pilihan politik terbentuk karena elit politik yang menginginkan manfaat partisipasi yang luas, berupa dukungan bagi mereka sendiri dan bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Bagi banyak elit politik, partisipasi itu paling banter merupakan satu alat dan bukan suatu nilai utama (Huntington,1994:40). Pilihan politik sebagai wujud partisipasi yang biasanya ditentukan oleh efek-efek terhadap kemampuan para elit politik :
a. Meraih kekuatan dan tetap berkuasa
b. Untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan politik lainnya, seperti kemerdekaan nasional, perubahan revolusioner, pembangunan ekonomi, dan pemerataan sosio-ekonomi (Huntington,1994:41). Pilihan politik terbentuk karena beberapa aspek yang mempengaruhinya. Aspek-aspek tersebut adalah :
1. Patron Klien
Istilah “patron‟ berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132). Menurut Scott (1972) dalam Suprihatin (2002) mengemukakan hubungan patron klien sebagai suatu keadaan khusus dari persekutuan dyadic (dua orang) yang melibatkan sebagian besar persahabatan, sementara seorang atau kelompok yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi berperan sebagai patron, menggunakan pengaruh, dan penghasilannya untuk memberikan perlindungan dan kebaikan kepada seseorang atau kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok in berperan sebagai klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang meliputi pelayanan pribadi kepada patron.
Menurut Scott (1972) dalam (Rustinsyah, 2011) hubungan patron klien adalah a special case of dyadic (two person) ties involving a largerly instrumental friendship in which an individual of higher socio economic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection as benefits for both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to their patron. Hubungan patron klien bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal pribadinya, dan saling mempercayai. Lande (1964) dalam (Rustinsyah, 2011) menyebut model patron klien sebagai solidaritas vertikal. Ciri-ciri hubungan patron klien menurut Scott (1972) adalah
(1) terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran. Ketidak seimbangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi barang atau jasa yang sangat diperlukan bagi klien dan keluarganya agar mereka dapat tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri klien muncul akibat pemberian tersebut, selama pemberian itu masih mampu memenuhi kebutuhan klien yang paling pokok. Jika klien merasa apa yang dia berikan tidak dibalas sepantasnya oleh patron, dia akan melepaskan diri dari hubungan tersebut tanpa sangsi
(2) bersifat tatap muka, sifat ini memberi makna bahwa hubungan patron klien adalah hubungan pribadi, yaitu hubungan yang didasari rasa saling percaya. Masing-masing pihak mengandalkan penuh pada kepercayaan, karena hubungan ini tidak disertai perjanjian tertulis. Dengan demikian, walaupun hubungan patron klien bersifat instrumental, artinya kedua belah pihak memperhitungkan untung-rugi, namun unsur rasa selalu menyertai.
(3) bersifat luwes dan meluas, Dalam relasi Inl bantuan yang diminta patron dapat bermacam-macam, mulai membantu memperbaiki rumah, mengolah tanah, sampai ke kampanye politik. Klien mendapat bantuan tidak hanya pada saat mengalami musibah, tetapi juga bila mengalami kesulitan mengurus sesuatu.
Dengan kata lain, hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, sekaligus sebagai jaminan sosial bagi mereka. Adanya unsur ketimpangan dalam pertukaran dikatakan Scott (1972) sebagai disparity in their relative wealth, power and status. A client, in this sense, is someone who has entered an inequal exchange relation in which he is unable to reciprocate fully. A debt of obligation binds him the patron. Foster (1963) dalam Rustinsyahm (2011) dalam hubungan patron klien atau timbal balik terjadi pada orang yang sama statusnya (colleague contracts). Foster menyebut hubungan patron klien sebagai dyadic contracts. 2. Komunitas Religius Kata community menurut Syahyuti dalam Sari (2009) berasal dari bahas latin “cum” yang mengandung arti kebersamaan dan “munus” yang berarti memberi antara satu sama lain. Maka dapat diartikan komunitas sebagai sekelompok orang yang saling berbagi dan mendukung antara satu sama lain. Iriantara (2004) dalam Sari (2009) mendefinisikan makna komunitas adalah sekumpulan individu yang mendiami lokasi 64 tertentu dan biasanya terkait dengan kepentingan yang sama. Sedangkan menurut Wanger (2004) dalam Sari (2009) komunitas itu adalah sekumpulan orang yang saling berbagi masalah, perhatian atau kegemaran, terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan cara saling berinteraksi terus menerus. Pengertian komunitas menurut Kertajaya Hermawan (2008) adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Menurut James Martineau dalam Rakhmat (2004) istilah religi berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation atau kewajiban. Dalam Encyclopedia of Philosophy, istilah religi ini dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.
3. Karisma
Secara etimologi kata karisma berasal dari bahasa Yunani “Charisma” yang berarti karunia atau bakat khusus (Hariyono, 2009). Karisma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya. Selain itu karisma menurut KBBI berarti atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu. Max Weber dalam Rebiru (1992) mengartikan karisma sebagai gejala sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya. Pengakuan atau kepercayaan kepada tuntutan kekuatan gaib merupakan unsur integral dalam gejala karisma. Karisma adalah pengakuan terhadap suatu tuntutan sosial. Weber dalam Hariyono (2009) mengartikan karisma sebagai sifaf yang melekat pada seorang pemimpin dengan mengatakan 66 pemimpin kharismatik adalah seseorang yang seolah-olah diberi tugas khusus dan karena itu dikaruniai bakat-bakat khusus oleh Tuhan untuk memimpin sekelompok manusia mengarungi tantangan sejarah hidupnya.
4. Rasional
Sulaiman (2011) dalam Wulandari (2014) menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat berpikir rasional sangat penting agar seseorang mampu bersaing untuk maju. Kemampuan berpikir jernih dan rasional diperlukan pada pekerjaan apapun, ketika mempelajari bidang ilmu apapun, untuk memecahkan masalah apapun, sehingga dengan kata lain berpikir rasional ini merupakan aset berharga bagi karir seorang. Kemampuan berpikir rasional menurut Dewey dalam Daryanto (2009; Wulandari, 2014) meliputi langkah-langkah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan. Sedangkan menurut Richetti dan Treogoe dalam Fitriyanti (2009; Wulandari (2014) “Rational thinking helps us arrive at a conclusion to be able to do something”. Menurut Syah (2008) dalam Wulandari (2014) 67 menyatakan bahwa berpikir rasional merupakan perwujudan perilaku belajar terutama yang berkaitan dengan pemecahan masalah